PENDAHULUAN
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante,
intra, dan postpartum. Pada beberapa kasus preeklampsia ataupun eklampsia sering
ditemukan sindrom HELLP. Sindrom HELLP ialah preeklampsia-eklampsia disertai
1
timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia.
Pada kasus ini akan di bahas mengenai sindrom HELLP.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Singkatan HELLP pertama kali diperkenalkan oleh Weinsteint (1982).
Sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, and low platelet) adalah
kegawatdaruratan obstetrik dimana terjadi preeklampsia/eklampsia yang disertai
timbulnya hemolisis (gambar 1), peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan
trombositopenia.1,2,3
2. EPIDEMIOLOGI
Sindrom HELLP ditemukan pada 0,17 – 0,85 % kehamilan, dan lebih sering
ditemukan pada multipara tua, wanita ras Kaukasian. Pada 70% kasus sindrom
HELLP didiagnosis saat antepartum: 10% sebelum 27 minggu, 70% antara usia
kehamilan 27 – 37 minggu, dan 20% setelah 37 minggu. Pada 30% kasus
terdiagnosis pada saat intra-pratum atau postpartum. Risiko berulang pada
kehamilan berikutnya sekitar 19 – 27% kasus.5,6
3
Sindrom HELLP terjadi pada 1 – 8 per 1000 kehamilan. Pada kehamilan
dengan pre-eklampsia, hasil laboratorium sindrom HELLP ditemukan pada 2 – 20
% kasus, sedang pada kehamilan dengan eklampsia ditemukan hasil laboratorium
yang mendukung sindrom HELLP ditemukan pada 10 – 30 % kasus.6
Data lain yang berhubungan dengan onset munculnya sindrom HELLP
disajikan dalam tabel berikut.4
4
Ras kulit putih Riwayat keluarga preeklampsi
Riwayat keluaran kehamilan yang Antenatal (ANC) minimal
jelek Diabetes mellitus
Hipertensi kronik
Kehamilan multiple
3. KLASIFIKASI
Klasifikasi sindrom HELLP menurut Missisipi (berdasarkan kadar trombosit
darah) yaitu sebagai berikut.1,7
a) Kelas 1
Kadar trombosit ≤ 50.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
b) Kelas 2
Kadar trombosit > 50.000 ≤ 100.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
c) Kelas 3
Kadar trombosit > 100.000 ≤ 150.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
5
4. FAKTOR RISIKO
Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
yang dapat dikelompokkan dalam faktor resiko berikut:1
1. Primigravida.
2. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes
mellitus, bayi besar.
3. Umur yang ekstrim (>35 tahun).
4. Riwayat keluarga pernah preeklamsia/eklamsia.
5. Penyakit-penyait ginjal dan hipertensi yang sudah lama ada sebelum hamil.
6. Obesitas.
5. ETIOPATOGENESIS
Etiologi pasti penyakit belum jelas. Namun ada beberapa teori yang
dihubungakan dengan kejadiannya. Diantaranya akan dibahas berikut ini.1
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal terjadi invasi trofoblas (gambar 2) ke dalam
lapisan otot arteri spiralis yang menyebabkan degenerasi lapisan otot sehingga
menyebabkan dilatasi arteri spiralis. Invasi juga terjadi di jaringan sekitar
arteri spiralis sehingga menyebabkan jaringan menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri mengalami dilatasi. Hal ini disebut dengan
remodelling arteri spiralis. Namun, hal ini tidak terjadi pada penderita
preeklampsia/sindrom HELLP sehingga lumen arteri menjadi kaku. Terjadi
kegagalan remodelling arteri spiralis. Perbedaan lumen arteri spiralis pada
kehamilan norma dan kehamilan dengan preeklampsia/sindrom HELLP yaitu
300 mikron.1,8
6
Gambar 2. Invasi trofoblas ke arteri spiralis8
7
4. Peningkatan permeabilitas kapiler,
5. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO
(vasodilator) menurun, sedang endotelin (vasokonstriktor) meningkat,
6. Peningkatan faktor koagulasi.
c. Teori imunologi
Pada teori ini, hasil konsepsi yang pada kehamilan norma tidak ditolak
oleh respon imun ibu, pada kehamilan dengan preeklampsia dianggap sebagai
korpus alienum terjadi reaksi imunitas untuk melawan hasil konsepsi dengan
pembentukan sel-sel radang. Terjadi invasi makrofag di subendotlial yang juga
menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah (gambar 3). Hal ini
merupakan peran dari human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang
berperan penting dalam memodulasi respon imun sehingga hasil konsepsi tidak
ditolak. HLA-G juga melindungi hasil konsepsi dari lisis oleh sel Natural
Killer dan memudahkan terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua
ibu untuk mempermudah dilatasi arteri spiralis seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.1,8
8
pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan dengan menghilangnya
daya refrakter akibat pemberian sintesis prostaglandin inhibitor yang disebut
dengan prostasiklin. Ada kehamilan dengan preeklampsia terjadi kehilangan
daya refrakter pembuluh darah.1
e. Teori genetik
Terdapat faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Dalam hal
ini genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara
familial jika dibandingkan dengan genotip lain.1,8
f. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi yang juga
terjadi pada kehamilan normal. Namun, pada kehamilan dengan preeklampsia
terjadi pelepasan debris yang berlebihan akibat peningkatan stres oksidatif. Hal
ini menyebabkan reaksi inflamasi menjadi meningkat sehingga mengaktivasi
sel endotel, makrofag/granulosit, yang pada akhirnya menimbulkan gejala-
gejala preeklampsia pada ibu.1
6. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang dapat dikeluhkan pasien pada sekitar 52% pasien eklampsia dari
61 pasien dengan sindrom HELLP berhubungan dengan nyeri kepala, mual dan
muntah, gangguan penglihatan dan nyeri epigastrik. Pada beberapa kasus dapat
ditemukan adanya perdarahan spontan atau perdarahan gastrointestinal.2,4,5
9
Gambar 2. Etiopatogenesis preeklampsia9
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti nyeri tekan kuadran
kanan atas, penambahan berat badan yang signifikan, edema generalisata,
peningkatan tekanan darah yang berat, dan ikterus.2,4,5
Berikut akan dijabarkan mengenai kondisi yang menunjukkan gambaran
klinis dari masing-masing organ akibat komplikasi preeklampsia.9
10
anti-hipertensi)
Saturasi <90% memerlukan
terapi O2 ≥50% >1 jam,
intubasi untuk pasien SCTP,
edema paru, iskemik
myokardium atau infark.
Peningkatan leukosit Jumlah platelet <50 x 103/L
Hematologi Peningkatan PTT Dibutuhkan transfusi
Trombositopenia
Gangguan ginjal akut
Peningkatan kadar
(kreatinin >150 μM
ureum
Ginjal tanpa gangguan ginjal
Peningkatan kadar
sebelumya) indikasi untuk
kreatinin
dialisis
Mual atau muntah,
nyeri kuandran kanan
atas atau epigastrik
Disfungsi hati
Peningkatan serum
Hepar Ruptur atau hematom hepar
SGOT, SGPT, LDH,
atau bilirubin
Kadar albumin plasma
rendah
abnormal FHR
IUGR
Abrupsi dengan bukti
Oligohidramnion
gangguan pada ibu dan fetus
Feto-plasental Absent or reversed
Lahir mati
end-diastolic flow by
Doppler
velocimetry
7. DIAGNOSIS
Diagnosis sindrom HELLP dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang mendukung khususnya
pemeriksaan laboratorium.1,2,3,4,5,9
a. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis dini sindrom HELLP berdasarkan hemolisis, tes fungsi hati, dan
disfungsi ginjal.2
11
Hemolisis dapat dibuktikan dengan peningkatan kadar lactate dehydrogenase
(LDH) >600 IU/L dan penurunan kadar serum haptoglobulin. Marker sensitif
ini dapat dideteksi sebelum terjadi peningkatan serum bilirubin indirek dan
penurunan kadar hemoglobin.2,5
Peningkatan enzim hati (SGOT dan SGPT) merupakan marker awal adanya
hemolisis dan kerusakan hepar. Prothrombin time (PT) dan activated partial
thromboplastin time (APTT) bisa saja normal pada awal perjalanan penyakit,
namun kadar produk degradasi fibrin, D-dimer, dan peningkatan kompleks
thrombin-antithrombin, marker terjadinya fibrinolisis dan agregasi trombosit.2,5
Gagal hati akut jarang terjadi karena double vaskularisasi pada hepar dan
fungsi kapasitasnya di bawah rendahnya ambilan oksigen. Walaupun
demikian, mikroangiopati dengan obstruksi sinusoid yang menyebabkan
nekrosis hepar yang bertanggungjawab peningkatan AST (250 IU/L) dan ALT.
Pada 30% kasus, terjadi peningkatan gamma GT, alkalin fosfatase dan serum
bilirubin dalam jumlah sedang. Nekrosis hepatik dan perdarahan intraparenkim
merupakan lesi fokal, sintesis enzim hati masih dapat dipertahankan. PT
biasanya normal, kecuali pada kasus berat dengan komplikasi DIC.5
Trombositopenia merupakan penyebab utama gangguan koagulasi pada
sindrom HELLP. Banyak faktor yang berperan dalam patogenesis
trombositopenia: kerusakan endotel vaskular, perubahan produksi prostasiklin
dan peningkatan deposit fibrin pada dinding vaskular. Terjadi akselerasi
destruksi trombosit, aktivasi trombosit, peningkatan volume trombosit dan
ditemukan produksi megakariosit. Peningkatan respon kalsium trombosit ke
arginin-vasopresin, yang memudahkan terjadinya trombositopenia dan terjadi
pada trimester awal kehamilan, yang dilaporkan sebagai faktor prediktor
preeklampsia.2,5
Bila jumlah trombosit menurun < 50.000/mm3 yang dihubungkan dengan DIC
dengan prognosis buruk.2,5
12
Penurunan jumlah trombosit maternal terjadi segera setelah proses kelahiran,
kemudian mulai meningkat 3 hari post-partum, mencapai >100.000/mm3
setelah 6 hari post-partum. Bila tidak terjadi peningkatan trombosit setelah 96
jam post-partum merupakan indikasi kelainan yang berat, dengan
kemungkinan perkembangan gagal multi-organ.5
Pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada tabel berikut.
b. Pemeriksaan Pencitraan
Pencitraan pada hepar penting untuk mengevaluasi perdarahan
subkapsular dan intraparenkim dan ruptur hepar. Pada wanita hamil, dapat
dilakukan USG dan MRI untuk mencegah radiasi ionisasi. CT-scan dilakukan
saat post-partum.5
USG transabdominal membuktikan adanya hematom intrahepatik yang
tampak pada monitor dengan struktur hipoekhoik. Sedang CT-scan dan MRI
mendeteksi adanya hemoperitoneum, hematom intrahepatik, dan permukaan
yang irregular antara parenkim hepatik normal dan hematom intrahepatik yang
berhubungan dengan daerah kapsul yang ruptur. Arteriografi hepatik,
merupakan prosedur invasif, dapat mendeteksi perdarahan dan hanya dapat
dilihat sebelum terjadi embolisasi arteri.5
13
c. Biopsi Hepar
Biopsi hepar berisiko terjadinya perdarahan dan ruptur hepar.
Perdarahan periportal, nekrosis fokal parenkim dan steatosis makrovesikular
dapat diobservasi pada 1/3 pasien. Deposit fibrin dan deposit hyalin
ditunjukkan pada imunofluoresens pada level sinusoid hepar. Spesimen hepar
menunjukkan hasil positif pada reaksi terhadap IL-1, IL-8, TNF (dan antibodi
elastase neutrofil) yang negatif pada AFLP.5
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan preeklampsia dan sindrom HELLP masih kontroversial.
Kebanyakan modalitas terapi yang diterapkan sama dengan preeklampsia berat.
Pengobatan harus dilakukan di Intensive Care Units (ICU) dengan dialisis dan
didukung oleh ventilator pada kasus berat, dan terdiri dari plasma expander, obat
antitrombosis, heparin, antitrombin, aspirin dosis rendah, prostasiklin,
imunosupresif, steroid, plasma darah segar, dialisis.5
Pemberian kortikosteroid diikuti oleh perbaikan yang cepat dari segi klinis
maupun parameter laboratorium, sehingga terminasi kehamilan dapat ditunda.
Perbaikan trombositopenia lebih sering diobservasi pada pemberian bertahap dari
dosis rendah ke dosis tinggi. Pemberian kortikoseteroid (deksametason,
betametason) dianggap dapat meningkatkan kadar trombosit darah.5,11
Keuntungan pada maternal yaitu memperpanjang masa antara masuk rumah sakit
dan induksi persalinan, dan keuntungan pada fetus yaitu menambah berat badan
lahir. Plasmafaresis dengan plasma darah segar diberikan pada pasien yang
menunjukkan progresifitas hiperbiliruinemia, kreatinin serum, dan
trombositopenia berat. Hal ini juga direkomendasikan pada pasien dengan sindrom
HELLP yang bertahan lebih dari 72 jam postpartum.5,11
Pedoman pemberian MgSO41,12,13
Syarat pemberian:
14
1. Tersedia antidotum (kalsium glukonat)
2. Refleks patella (+)
3. Frekuensi pernapasan >16 kali/menit
Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam meliputi tekanan darah, Frekuensi nadi,
frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin. Bila frekuensi pernapasan
<16/menit dan/atau tidak didapatkan refleks tendon patella dan/atau terdapat
oligouria (produksi urin <0,5 ml/kgBB) segera hentikan pemberian MgSO 4. Bila
terjadi depresi napas, berikan kalsium glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%) bolus
dalam 10 menit. Bila kejang berulang, berikan MgSO4 2g IV perlahan (10-15
menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat kejang, dapat
dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg/IV selama 2 menit.1
Hipertensi pada preeklampsia diobati dengan pemberian magnesium sulfat,
hidralazin, antagonis kalsium, nitrogliserin, atau natrium nitroprusit (pada krisis
15
hipertensi). Diuretik tidak digunakan secara rutin karena meningkatkan
hipovolemia maternal dan hipoperfusi uteroplasenta.5,12
Penggunaan magnesium sulfat pada pasien dengan preeklampsia berat
menurunkan risiko terjadinya eklampsia. Sedang efek pada bayi masih dalam
penelitian, namun diduga memberikan hasil yang lebih baik dibanding pemberian
fenitoin. Mekanisme kerja magnesium sulfat belum jelas namun beberapa teori
menyatakan bahwa magnesium sulfat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
otak dengan memblok reseptor kalsium, reseptor N-methyl-Daspartate dan
vasodilatasi perifer. Selain itu, magnesium sulfat juga secara kompetitig memblo
masuknya kalsium ke synaptic endings dan mengurangi transmisi
neuromuskular.12
Induksi persalinan merupakan terapi spesifik pada sindrom HELLP. Pada ibu
dengan usia kehamilan ≥34 minggu, direkomendasikan untuk induksi sesegera
mungkin. Komplikasi memberat ketika induksi persalinan tertunda lebih dari 12
jam. Pada ibu dengan usia kehamilan antara 24-34 minggu direkomendasikan
untuk pematangan paru terlebih dahulu, untuk menurunkan risiko perdarahan
nekrosis rektokolitis dan perdarahan intraventrikular fetus. Bila tidak ada
komplikasi obstetrik, dianjurkan untuk persalinan pervaginam. Pada 60 % kasus
dibutuhkan persalinan perabdominam.5
9. KOMPLIKASI
Dapat terjadi komplikasi berupa perdarahan otak yang merupakan komplikasi
paling berat yang bersifat fata pada 50-65% kasus. Peningkatan tekanan darah
diastol secara tiba-tiba di atas 120 mmHg meningkatkan risiko komplikasi
hipertensi ensefalopati, aritmia ventrikel, DIC. Komplikasi pada otak jarang terjadi
namun jarang memberat.5
16
Gambar 4. Perdarahan otak8
10. PROGNOSIS
17
Angka mortalitas pada ibu dengan sindrom HELLP berkisar antara 18 – 86
%. Prognosis bergantung pada diagnosis segera dan pendekatan sesegera
mungkin. Mortalitas bayi pada saat perinatal bervariasi antara 6,7 – 70%.
Sindrom HELLP menyebabkan kelahiran prematur. Sekitar 60% menjadi
kematian janin dalam rahim (KJDR), 30% pertumbuhan janin terhambat (PJT),
dan 25% trombositopenia. Masa kritis berkembang setelah induksi persalinan.
Pada kehamilan selanjutnya dapat berulang 43%.5
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. K
Umur : 41 tahun
Alamat : Jl. R.E Martadinata
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri perut
18
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan dari RS Ampana dengan G5P4A0 usia kehamila 26-27 minggu
masuk IGD Kebidanan RSUD undata dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan
sejak pagi tadi, keluhan disertai dengan mual (+), Nyeri ulu hati (+), muntah
(-), Pelepasan darah (-),lendir(-), ketuban (-), demam (-), sakit kepala (-), BAB
(+) biasa, BAK (+) lancar, pasien juga dirujuk karena pergerakan janin dalam
kandungan tidak ada sejak pagi tadi pukul 11 : 00 WITA. HPHT ? Juni 2019.
Riwayat haid:
Menarche = 12 tahun
Siklus haid= Tidak teratur
Lama haid = 5 hari
mengganti pembalut 2 kali sehari.
Riwayat KB:
Pasien menggunakan kontrasepsi PIL KB
Riwayat Perkawinan
19
Menikah 1 kali, usia pernikahan ± 19 tahun
III.PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik Tekanan Darah : 220/140 mmHg
Kesadaran : Compos mentis Nadi : 102 x/menit
BB :- Respirasi : 24 x/menit
TB :- Suhu : 36,7ºC
Kepala – Leher :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), pembesaran KGB (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-).
Thorax :
I : Pergerakan thoraks simetris
P : Vocal Fremitus kanan=kiri
P : Sonor pada kedua lapang paru, batas jantung DBN
20
A : Bunyi pernapasan vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Bunyi jantung I/II murni Regular
Pemeriksaan Obstetri :
Leopold 1 TFU: Setinggi pusat cm
Leopold 2 :-
Leopold 3 : Presentase Kepala
Leopold 4 : 0/5
BJF : Tidak terdengar
Genitalia :
Pemeriksaan Dalam (VT) :
Vulva : tidak ada kelainan Bagian terdepan :-
Vagina : tidak ada kelainan Penurunan :-
Portio :- UUK :-
Pembukaan :- Pintu panggul :-
Ketuban :- Pelepasan :-
Ekstremitas :
Edema ekstremitas bawah -/-
12 – 01 – 2020 15 – 01 -
2020
WBC 14,87 15.6 4.0 – 9.0 (103 U/L)
HGB 12.2 10.4 12.0 – 18.0 (g/dL)
21
PLT 70 125 150 -350 (103U/L)
RBC 4.18 3.59 3.76 – 5.70 (106 U/L)
HCT 33.8 31.7 33.5 – 52.0 (%)
MCV 80.9 88.3 80.0 – 10.0 (fl)
MCH 29.2 29.0 28.0 – 32.0 (pg)
MCHC 36.1 32.8 31.0 – 35.0 (g/dl)
BT 4 ( 1-5 menit)
CT 9 (4-10 menit)
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif
HIV Non Reaktif Non Reaktif
RPR (VDRL) Non Reaktif Non Reaktif
15 -01-2020 15 -01-2020
PH 5.5 6.5 < 6,5 (Asam)
> 6,5 (Basa)
Berat jenis 1.025 1.015
Protein 3+ 2+ ( Negatif )
Glukosa Negatif Negatif ( Negatif )
Keton Negatif Negatif ( Negatif )
Bilirubin Negatif Negatif ( Negatif )
Urobilinogen Normal +1 (Normal)
Nitrit Negatif Negatif ( Negatif )
Leukosit Negatif Negatif ( Negatif )
Eritrosit +3 +2 ( Negatif )
Sedimen
22
- Leukosit 1 -2 0–2
- Eritrosit 4–5 0–1
- Silinder Negatif Negatif
- Epitel 0–1 Positif
- Kristal ++ Negatif
USG
V. DIAGNOSIS
G5P4A0 Gravid 24-25 minggu + PEB + Hepertensi kronik + Help syndrome +
Susp IUFD
V. PENATALAKSANAAN
23
IGD Kebidanan
IVFD RL 20 tpm
Metildopa 3 x 500mg
Inj. Dexamethasone 10mg/12jam
Nifedipin 3 x 10 mg
Antasida syr, 3 x 1cth
As. Folat 1 x 1
Konsul penyakit dalam
Rencana USG
VI. FOLLOW UP
P:
IVFD RL 18 tpm
Inj Furosemid 1 amp/12 jam/iv
Amlodipin 2 x 5mg
Asam mefenamat 3 x 1
24
SF 1 x 1
Cefadroxil 2 x 1
Curcuma 3 x 1
25
S: Perdarahan pervaginam (+), Nyeri perut (+), mual (-), muntah (-), pengelihatan
kabur (-), pusing (-), Sakit kepala (-), BAB (+), BAK (+) lancar.
P: Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TD : 140/100 mmHg
N: 84 x/m
RR: 21 x/m
S : 36,7oC
BJF : 126
ASI : - / -
A: P5A0 Partus Preterm induksi persalinan + IUFD + HELLP Syndrom
P:
IVFD RL 20 tpm
MgS04 40%
Inj Dexamethasone 2 ampl /12 jam
Sf 1x1
Nifedipin 3 x 10mg
Metildopa 3 x 500mg
Cefadroxil 2 x 500mg
Asam Mefenamat 3 x 1tab
26
Kesadaran : Compos mentis
TD : 140/90 mmHg
N: 82 x/m
RR: 20 x/m
S : 36,5oC
ASI : - / -
Kontraksi : +
27
S : 36,6oC
ASI : -
A: P5A0 Partus Preterm induksi persalinan + IUFD + HELLP Syndrom
P:
IVFD RL 20 tpm
Inj Dexamethasone 2 ampl /12 jam
Sf 1x1
Nifedipin 3 x 10mg
Metildopa 3 x 500mg
Amlodipin 2 x 5mg
Cefadroxil 2 x 500mg
Asam Mefenamat 3 x 1tab
Curcuma 3 x 1
28
Amlodipin 2 x 5mg
Cefadroxil 2 x 500mg
Asam Mefenamat 3 x 1tab
Curcuma 3 x 1
VII. Resume
Pasien rujukan dari RS Ampana dengan G5P4A0 usia kehamila 26-27 minggu
masuk IGD Kebidanan RSUD undata dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan
sejak pagi tadi, keluhan disertai dengan mual (+), Nyeri ulu hati (+), Vomitus
(-), Pelepasan darah : Loqia rubra (-), lendir (-), ketuban (-), Febris (-), sakit
29
kepala (-), BAB (+) biasa, BAK (+) lancar, pasien juga dirujuk karena pergerakan
janin dalam kandungan tidak ada sejak pagi tadi pukul 11 : 00 WITA. HPHT ?
Juni 2019.
Risayat menarche pada usia 11 tahun, siklus haid tidak teratur, lama haid 5
hari, mengganti pembalut 2 kali sehari. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang
tidak terkontrol, dari hasil anamnesis juga didapatkan bahwa orangtua pasien
mempunyai riwayat hipertensi. Selama menikah pasien pernah menggunakan PIL
KB. Pasien memiliki 5 orang anak, 3 anak pertama hidup, dan 2 diantaranya
meninggal setelah persalinan.
30
31
BAB IV
PEMBAHASAN
Gejala klinis sindrom HELLP tidak spesifik. Gejala yang biasannya muncul
adalah gejala-gejala mirip preeklampsia. Pada kasus ini pasien perempuan berusia 41
tahun datang dalam keadaan hamil anak ke 4, usia kehamilan 26-27 minggu dan
memiliki riwayat hipertensi, dimana keadaan tersebut sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa kasus sindrom HELLP lebih serinng didiagnosis 70% antara usia
kehamilan 27 – 37 minggu. Kejadian meningkat pada wanita multiparitas dan sama
halnya pada kasus dimana pasien dengan paritas dua atau dua kali melahirkan anak.
Penegakan ksus
Klasifikasi Sindrom HELLP pada pasien ini yaitu, masuk dalam kelas II
karena dari hasil pemeriksaan trombosit 70 x 103/L dan SGOT 62 U/L dan SGPT
71/L ini berdasarkan klasifikasi Missisipi, Sedangkan klasifikasi menurut Tenesse
pasien masuk dalam HELLP sindrom komplit dimana trombosit <100.000/ml dan
AST/ALT ≥40 IU/L.
Baku emas penegakan diagnosis Sindrom HELLP masih menggunakan hasil
pemeriksaan laboratorium yang memberikan bukti adanya hemolisis, peningkatan
enzim hepar, dan trombositopenia. Pada kasus ini sudah dilakukan pemeriksaan
baku emas dan hasilnya sangat mengarah kepada sindrom HELLP. Namun masih
terdapat perbedaan-perbedaan untuk menentukan patologi tersebut.
Bukti adanya hemolisis pada pemeriksaan darah adalah ditemukannya
fragmentosit atau sel burr pada pemeriksaan apusan darah tepi, peningkatan LDH,
penurunan Hemoglobin, dan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi. Pada kasus ini
tidak dilakukan pemeriksaan apusan darah tepi, pemeriksaan LDH, dan pemeriksaan
bilirubin. Dalam hal ini bisa saja dilakukan pemeriksaan yang seperti diatas tetapi
tiap center rumah sakit berbeda-beda dalam melakukan penegakan diagnosis. Saat ini,
yang banyak digunakan untuk pemeriksaan bukti hemolisis adalah adanya kadar LDH
32
>600 U/L, namun Smulian et al. Mengatakan bahwa nilai ambang LDH mungkin
<600 U/L, tergantung metode pemeriksaan yang dilakukan, dan sayangnya belum ada
kesepakatan tentang cara pemeriksaannya.
Selain itu, adanya penurunan Hb dan peningkatan bilirubin biasanya belum
terdeteksi pada kasus akut, sehingga belum bisa dijadikan patokan. Sebenarnya
indikator yang lebih spesifik adalah penurunan kadar haptoglobin atau tidak
terdeteksinya haptoglobin, namun belum bisa menjadi pemeriksaan rutin.
Abnormalitas hepar ditentukan dengan peningkatan enzim-enzim hepar seperti ALT,
AST, dan kadar bilirubin.
Mengikuti terapi medikamentosa preeklampsia-eklampsia dengan melakukan
monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit <50.000/ml atau adanya tanda
koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu protrombin, waktu tromboplastin
parisal dan fibrinogen. Pada kasus ini belum dilakukan pemeriksaan PT dan aPPT
karena trombosit yang didapatkan >50.000/ml. Jika didapatkan kadar trombosit
<100.000/ml atau trombosit 100.000-150.000/ml dengan disertai tanda-tanda,
eklampsia, hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan deksametason 10 mg
iv tiap 12 jam.
Pada kasus ini telah diberikan terapi deksametason karena trombosit
<100.000/ml dengan tanda dan gejala seperti diatas, dan setelah beberapa hari
monitoring didapatkan hasil yang cukup memuaskan dimana terjadi kenaikan
trombosit yang signifikan dan penurunan enzim hati kembali ke nilai normal. Pada
pasien postpartum deksametason diberikan 10 mg iv tiap 12 jam 2 kali, kemudian
diikuti 6 mg iv tiap 12 jam 2 kali. Terapi deksametason dihentikan bila tela terjadi
perbaikan laboratorium, yaitu trombosit > 100.000/ml dan penurunan LDH serta
perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik preeklampsia-eklampsia.
SGOT 62 U/L dan SGPT 71/L Pada kasus pemberian deksametason
dihentikan pada hari ketiga perawatan karena sudah terjadi kenaikan trombosit
>100.000/ml dan gejala klinis sudah berkurang yang berarti terjadi perbaikan secara
33
klinis dan bermakna. Perbaikan gejala klinik setelah pemberian deksametason dapat
diketahui dengan : meningkatnya produksi urin, trombosit, menurunnya tekanan
darah, menurunnya kadar LDH, dan AST.
Penggunaan deksametason dosis tinggi pada ibu dengan sindrom HELLP juga
menjadi isu tatalaksana sindrom ini. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terapi
dengan deksametason 10 mg setiap 12 jam dapat mengurangi morbiditas ibu dan
meningkatkan jumlah trombosit lebih cepat. Namun penelitian lain juga menyebutkan
bahwa deksametason tidak mengurangi komplikasi pada ibu, seperti gagal ginjal akut,
edema paru, dan oligouria.
Pemberian deksametason juga tidak mengurangi kebutuhan transfusi darah
serta mengurangi secara signifikan durasi perawatan di rumah sakit. Pada kasus ini
dimana pasien mengalami komplikasi gagal ginjal akut yang harus dilakukan
hemodialisa, hal ini sejalan dengan teori bahwa terapi deksametason tidak
mengurangi komplikasi yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
34
3. Jebbink J, Wolters A, Fernando F, Afink G, Post J, Ris-Stalpers C. Molecular
genetics of preeclampsia and HELLP syndrome – A review. Biochimica et
Biophysica Acta 2012: 1960–69.
4. Sibai BM. A practical plan to detect and management of HELLP syndrome.
OBG management 2005.
5. Mihu D, Costin N, Mihu CM, Seicean A, Ciortea R. HELLP Syndrome – a
Multisystemic Disorder. J Gastrointestin Liver Dis 2007; 16 (4): 419-424.
6. BMJ. HELLP syndrome. British med j 2015.
7. Satpathy HK, Satpathy C, Donald F. HELLP syndrome. J Obstet Gynecol India
2009; 59 (1): 30-40.
8. Cunningham FG, et al. Williams obstetric. 24th ed. New York: McGraw Hill;
2014. P728-770.
9. Magee LA, et al. Diagnosis, Evaluation, and Management of the Hypertensive
Disorders of Pregnancy: Executive Summary. J Obstet Gynaecol Can 2014; 36
(5): 416–38.
10. Baxter JK, Weinstein L. HELLP syndrome: the state of the art. Obs and gynec
survey 2004; 59 (12): 838-45.
11. Woudstra DM, Chandra S, Hofmeyr GJ, Dowswell T. Corticosteroids for
HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low platelets) syndrome in
pregnancy (Review). Cochrane Library 2010; 9: p9.
12. Tukur J. The use of magnesium sulphate for the treatment of severe pre-
eclampsia and eclampsia. Annals of African Medicine 2009 ; 8 (2):76-80.
13. WHO. Pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan. 1st ed.
Jakarta: kementrian kesehatan Republik Indonesia; 2013.
35
I. DEFINISI
Menurut WHO dan American College of Obstetricians and
Gynecologist yang disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim
dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada
kehamilan 20 minggu atau lebih.1
II. EPIDEMIOLOGI
Kelahiran mati lebih sering terlihat dengan semakin mudanya usia
gestasional.3 Melahirkan bayi (kematian janin di luar usia kehamilan 20
minggu) terjadi pada tingkat keseluruhan 6,2 per 1.000 kelahiran di Amerika
Serikat. Tingkat kematian janin antara usia kehamilan 20-27 minggu tetap
stabil pada 3,2 per 1.000 kelahiran, sementara tingkat kematian janin di luar
usia kehamilan 28 minggu sedikit menurun dari 4,3 menjadi 3,0 per 1.000
kelahiran sejak 1990-an.2
36
Di A.S., masih ada perbedaan ras yang signifikan dalam tingkat
kelahiran mati, dengan wanita kulit hitam non-Hispanik yang mengalami
kelahiran mati pada tingkat 11,13 vs 4,79 per 1.000 kelahiran hidup dan
kematian janin dibandingkan dengan wanita kulit putih non-Hispanik. Wanita
Hispanik juga berisiko tinggi lahir mati dibandingkan dengan wanita kulit putih
non-Hispanik (5,44 per 1.000 kelahiran hidup dan kematian janin). Meskipun
akar perbedaan ini tidak diragukan lagi bersifat multifaktorial, sebagian besar
peningkatan kematian janin diperkirakan disebabkan oleh etiologi infeksius dan
komplikasi kebidanan.2
37
Sedangkan faktor risiko terjadinya kematian janin intra uterin
meningkat pada ibu >40 tahun, pada ibu infertil, kemokonsentrasi pada ibu,
riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi ibu, dan kegemukan.1
Penderita diabetes berisiko tinggi lahir mati, terutama jika ada riwayat
kontrol glikemik yang buruk. Kehamilan ini berisiko tinggi mengalami
38
kelainan kongenital, kelainan pada pertumbuhan janin dan perkembangan
persalinan abnormal. Hiperglikemia ibu memicu peningkatan produksi insulin
pada janin untuk mengendalikan hiperglikemia janin berikutnya. Insulin, pada
gilirannya, merangsang pertumbuhan janin, yang jika berlebihan dapat
menyebabkan asidosis metabolik karena insufisiensi plasenta. Beberapa
penelitian melaporkan kontrol glikemik ibu yang buruk sebagai temuan pada
wanita dengan lahir mati, dengan peningkatan risiko keseluruhan 2,5-5 kali
lipat dibandingkan dengan pasien diabetes non-diabetes.2
A. Penyebab Fetal
Beberapa tipe abnormalitas janin menyumbang sekitar 25 hingga
50 persen dari seluruh kelahiran mati. Insidennya malformasi kongenital
mayor sangat bervariasi karena beberapa bias. Hal ini bergantung pada
bagaimana otopsi dilakukan dengan dan jika demikian, meliputi
pengalaman, minat, dan pelatihan terhadap ahli patologi. Defek tabung-
saraf, hidrops, hidrosefalus terisolasi, dan penyakit jantung kongenital
kompleks merupakan penyebab tersering. 3
B. Penyebab Plasental
Banyak penyakit janin akibat abnormalitas plasenta yang juga
dikategorikan sebagai penyebab maternal atau fetal. Solusio plasenta
merupakan penyebab kematian janin tunggal yang paling sering
39
teridentifikasi. Infeksi membran dan plasenta yang bermakna biasanya
berkaitan dengan infeksi janin. Infark plasenta terlihat sebagai area
degenerasi trofoblastik fibrinoid, klasifikasi, dan infark iskemik akibat
oklusi arteria spiralis. Perdarahan fetal-maternal yang cukup untuk
menenimbulkan kematian janin dilaporkan pada 4,7 persen dari 319
kematian janin di Los Angeles Country Women’s Hospital. Sindrom
twin-twin transfusion merupakan penyebab umum kematian janin pada
kehamilan multifetal multikorionik.3
C. Penyebab Maternal
Meskipun terlihat hanya memberikan sedikit kontribusi pada
kematian janin, faktor maternal sering kurang diperhatikan. Beberapa
hipertensif dan diabetes merupakan dua penyakit maternal yang paling
sering dan menyebabkan 5 sampai 8 persen kelahiran mati.3
2. Pemeriksaan Fisik :
40
Inspeksi :Tinggi fundus uteri berkurang atau lebih rendah dari usia
kehamilannya. Tidak terlihat gerakan-gerakan janin yang
biasanya dapat terlihat pada ibu yang kurus.
3. Pemeriksaan Penunjang :
a. USG (Ultrasonografi)
1) Tidak adanya pergerakan janin (termasuk denyut jantung) yang
diukur selama periode observasi 10 menit dengan USG,
merupakan bukti kuat adanya kematian janin.
b. Foto Radiologi
Setelah 5 hari tanpak tulang kepala kolaps, tulang kepala saling
tumpang tindih (gejala ‘spalding’), tulang belakang hiperrefleksi,
edema sekitar tulang kepala, tampak gambaran gas pada jantung dan
pembuluh darah.
c. Pemeriksaan Urine :
Pemeriksaan HCG menjadi negatif setelah beberapa hari
kematian janin
41
3. Mencari penyebab kematian janin.
1. Deskripsi bayi
a. malformasi
b. bercak/ noda
c. warna kulit – pucat, pletorik
d. derajat maserasi
2. Tali pusat
a. prolaps
b. pembengkakan - leher, lengan, kaki
c. hematoma atau striktur
d. jumlah pembuluh darah
e. panjang tali pusat
3. Cairan Amnion
a. warna – mekoneum, darah
b. konsistensi
c. volume
4. Plasenta
a. berat plasenta
b. bekuan darah dan perlengketan
c. malformasi struktur – sirkumvalata, lobus aksesorius
d. edema – perubahan hidropik
5. Membran amnion
a. bercak/noda
b. ketebalan
42
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan
tanda vital ibu; dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan.
Diberitahukan kepada keluarga tentang kemungkinan penyebab kematian janin;
rencana tindakan; dukungan mental pada penderita dan keluarga, yakinkan
bahwa kemungkinan lahir pervaginam.1 Begitu kematian janin didiagnosis,
waktu dan rute persalinan harus ditentukan pada usia kehamilan, keadaan klinis
yang sesuai, dan yang terpenting, preferensi pasien.2
43
a. Jika serviks matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin atau
prostaglandin.
b. Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan
prostaglandin atau kateter foley, dengan catatan jangan lakukan
amniotomi karena berisiko infeksi
c. Persalinan dengan seksio sesarea merupakan alternatif terakhir
5. Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun
dan serviks belum matang, dilakukan pematangan serviks dengan
misoprostol:
a. Berikan misoprostol 25 mcg dipuncak vagina dan dapat diulang sesudah
6 jam
b. Jika tidak ada respon sesudah 2x25 mcg misoprostol maka naikkan dosis
menjadi 50mcg setiap 6 jam. Jangan berikan lebih dari 50 mcg setiap
kali dan jangan melebihi 4 dosis.
6. Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika untuk metritis.
7. Jika tes pembekuan sederhana lebih dari 7 menit atau bekuan mudah pecah,
waspada koagulopati
8. Berikan kesempatan kepada ibu dan keluarganya untuk melihat dan
melakukan kegiatan ritual bagi janin yang meninggal tersebut.
9. Pemeriksaan patologi plasenta adalah untuk mengungkapkan adanya
patologi plasenta dan infeksi.5
44
Pasien harus didorong untuk mencari konseling prakonsepsi mengenai
kehamilan berikutnya.2
IX. PENCEGAHAN
Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang sudah atau mendekati
aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun, tidak bergerak, atau
gerakan janin terlalu keras, perlu dilakukan pemeriksaan USG untuk
mengevaluasi kegawatan janin sebelum terjadi kematian dan terminasi
kehamilan dapat segera dilakukan bila terjadi gawat janin. 1
45
komplikasi kehamilan, dan patologi dan hasil evaluasi kelahiran mati lainnya
jika tersedia. 2
Respon kesedihan yang segera atau terlambat dari para calon ibu dan
ayah adalah alamiah dan perlu diantisipasi. Separuh wanita yang mengalami
kematian perinatal membutuhkan perawatan psikiatri untuk menghindari
komplikasi psikiatri. 4
46