Anda di halaman 1dari 26

BED SIDE TEACHING

PAD, DVT, CKD

Oleh:
Nur Fadlia Rahmani
H1A322005

Pembimbing:
dr. Amanukarti Resi Oetomo Sp.PD-KGH

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
2023
Peripheral Arterial Disease (PAD)

Etiologi
Peripheral Arterial Disease (PAD) atau bisa juga disebut Peripheral Arterial Occlusive Disease
(PAOD) adalah penyumbatan pada arteri perifer akibat proses atherosklerosis atau proses
inflamasi yang menyebabkan lumen arteri menyempit (stenosis), atau pembentukan trombus. Hal
di atas menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah yang dapat menimbulkan
penurunan tekanan perfusi ke area distal. Penyakit arteri perifer biasanya disebabkan oleh
aterosklerosis. Penyebab lainnya antara lain peradangan pembuluh darah, cedera, atau paparan
radiasi.

Patogenesis terjadinya aterosklerosis pada PAP sama seperti yang terjadi pada arteri koroner.
Lesi segmental yang menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada pembuluh darah
berukuran besar atau sedang. Pada lesi tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan
kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat elastis, fragmentasi lamina elastika
interna, dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan fibrin. Aterogenesis dimulai
dengan lesi di dinding pembuluh darah dan pembentukan plak aterosklerotik. Proses ini dipicu
oleh aksi leokocytemediated inflammation lokal dan oxidized lipoprotein species terutama low-
density lipoproteins (LDL). Faktor risiko berupa merokok, hiperkolesterolemia, diabetes, dan
hipertensi menurut beberapa penelitian dapat mempercepat pembentukan aterosklerosis. Lesi
awal (tipe I) terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan dan terdiri dari akumulasi lipoprotein
intima dan beberapa makrofag yang berisi lipid. Makrofag tersebut bermigrasi sebagai monosit
dari sirkulasi ke lapisan intima subendotel. Kemudian lesi ini berkembang menjadi lesi awal atau
"fattystreak" (tipe II), yang ditandai dengan banyaknya "foam cell". Foam cell memiliki vakuola
yang dominan berisi cholesteryl oleate dan dilokalisir di intima mendasari endotel. Lesi tipe II
dapat dengan cepat berkembang menjadi lesi preatheromic (tipe III), yang didefinisikan dengan
peningkatan jumlah lipid ekstraseluler dan kerusakan kecil jaringan lokal. Kondisi ateroma (tipe
IV) memperlihatkan kerusakan struktural yang luas pada tunika intima dan dapat menimbulkan
gejala atau tanpa gejala. Perkembangan lesi selanjutnya menjadi lesi fibroateroma (tipe V),
secara makroskopis terlihat seperti bentuk kubah, berbatas tegas, dan terlihat plak putih mutiara.
Fibroateroma terdiri dari inti nekrotik yang biasanya terlokalisasi di dasar lesi dekat dengan
lamina elastik interna, terdiri dari lipid ekstraseluler dan sel debris dan fibrotic cap, yang terdiri
dari kolagen dan sel otot polos di sekitarnya.Kejadian ruptur plak akan memperburuk lesi karena
dapat menyebabkan agregasi platelet dan aktivasi fibrinogen, namun tidak sampai menyebabkan
oklusi arteri atau manifestasi klinis
Faktor Risiko
 Diabetes
 Merokok
 Obesitas (indeks massa tubuh lebih dari 30)
 Tekanan darah tinggi
 Kolesterol Tinggi
 Usia semakin bertambah, terutama setelah mencapai usia 50 tahun
 Riwayat keluarga penyakit arteri perifer, penyakit jantung atau stroke
 Tingginya kadar homosistein, komponen protein yang membantu membangun dan
memelihara jaringan
 Stress
 Kelainan sintesis protein seperti protein C dan protein S

Tatalaksana
Penyakit arteri perifer dapat dicegah melalui terapi farmakologi, non-farmakologi, ataupun
keduanya. Manajemen pasien harus mencakup modifikasi gaya hidup, dengan fokus pada
berhenti merokok, olahraga harian (30 menit/hari), indeks massa tubuh normal (≤25 kg/m 2 ),
dan diet. Tatalaksana farmakologi dapat ditambahkan untuk mengontrol tekanan darah dan
pengobatan penurun lipid untuk mencapai kolesterol LDL 2,5 mmol/L (100 mg/dL). Pada pasien
diabetes, glukosa darah harus terkontrol, dengan target hemoglobin terglikasi (HbA1c) 7%. Obat
golongan salisilat merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan pada PAP karena
mempunyai sifat analgesik, antipiretik, antiinflamasi, antireumatik, dan yang paling mutakhir
adalah sebagai antiagregasi trombosit (antitrombotik) atau antiplatelet. Obat golongan salisilat
yang paling banyak digunakan adalah aspirin (asam asetil salisilat). Aspirin berbeda dengan
derivat asam salisilat lainnya karena mempunyai gugus asetil. Gugus asetil inilah yang nantinya
mampu menginaktivasi enzim siklooksigenase, sehingga obat ini dikenal sebagai anti inflamasi
non steroid (AINS) yang unik karena penghambatannya terhadap enzim siklooksigenase bersifat
ireversibel, sementara OAINS lainnya menghambat enzim siklooksigenase secara kompetitif
sehingga bersifat reversible. Aspirin menghambat aktivasi platelet melalui asetilasi enzim COX
dalam platelet secara ireversibel. Karena platelet tidak mempunyai nukleus, maka selama
hidupnya platelet tidak mampu membentuk enzim COX ini. Akibatnya sintesis tromboksan A2
(TXA2) yang berperan besar dalam agregasi trombosit terhambat. Penggunaan aspirin dosis
rendah secara regular (81 mg/hari) mampu menghambat lebih dari 95% sintesis TXA2 sehingga
penggunaan rutin tidak memerlukan monitoring. Molekul prostaglandin I2 (PGI2) yang bersifat
sebagai anti agregasi trombosit diproduksi oleh endothelium pembuluh darah sistemik. Sel ‐sel
endotel ini mempunyai nukleus sehingga mampu mensintesis ulang enzim COX. Hal inilah yang
dapat menjelaskan mengapa aspirin dosis rendah dalam jangka panjang mampu mencegah
serangan infark miokard dan PAP melalui penghambatan terhadap TXA2 namun tidak terlalu
berpengaruh terhadap PGI2. Terapi aspirin mengarah ke pengurangan risiko relatif 25% pada
stroke iskemik, infark miokard, dan kematian vaskular. Aspirin juga mengurangi risiko
kerusakan organ lain yang membutuhkan revaskularisasi pada pasien dengan klaudikasio
intermiten. Farmakologi penghambatan aktivasi trombosit mekanismenya kompleks dan
memerlukan obat-obatan yang memiliki efek lain, karenanya ada kemungkinan efek sinergis
ketika agen digabungkan. Obat yang umum digunakan adalah inhibitor siklooksigenase (aspirin),
dan inhibitor berbagai reseptor permukaan platelet termasuk P2Y12 (clopidogrel, prasugrel, dan
ticagrelor), antagonis reseptor GPIIb/IIIa (abciximab, tirofiban, dan eptifibatide),dipyridamole,
phosphodiesterase 3 (PDE3) inhibitor (cilostazol), warfarin, inhibitor trombin langsung
(dabigatran dan bivalirudin), faktor Xa inhibitor (rivaroxaban dan apixaban), dan heparin. 6
Untuk terapi non-medikamentosa diperlukan modifikasi perilaku dan menghindari faktor-faktor
resiko yang dapat memperburuk penyakit, seperti olahraga, menghindari rokok, menjaga
kesehatan kaki dan mengontrol tekanan darah dan berat badan.
Deep Vein Thrombosis (DVT)

Etiologi

Trombosis vena dalam (DVT) merupakan penyakit obstruktif yang menghambat mekanisme
refluks vena. DVT biasanya melibatkan sistem vena ekstremitas bawah, dengan pembentukan
bekuan yang berasal dari vena betis dalam dan menyebar ke proksimal. DVT biasanya di
tungkai, namun dapat juga terjadi di lengan, vena mesenterika, dan serebral. Penyebab
thrombosis dibagi menjadi dua yaitu yang terkait dengan imobilisasi dan yang berhubungan
dengan hiperkoagulasi baik yang berhubungan dengan faktor genetik atau didapat. Trombosis
vena adalah penyakit dengan penyebab yang multiple dengan beberapa faktor risiko sering
terjadi bersama-sama pada suatu waktu. Seringkali faktor risiko thrombosis bersifat herediter dan
sudah berlangsung lama, kemudian diperberat oleh adanya faktor risiko yang didapat. Beberapa
faktor risiko thrombosis yang didapat sangat tinggi, dan menyebabkan risiko trombosis vena
lebih dari 50%. Kondisi-kondisi dengan faktor risiko yang tinggi tersebut adalah operasi
ortopedik, neurosurgical, intervensi di daerah abdomen, trauma mayor dengan fraktur yang
multiple, kateter vena sentral, kanker metastase khususnya adenokarsinoma. Faktor risiko sedang
adalah anthiphospholipid antibody syndrome, puerperium, bedrest yang lama. Kanker non
metastase, kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral, dalam terapi hormone tertentu, kegemukan
dan perjalanan yang jauh merupakan faktor risiko yang ringan. Defesiensi protein C dan S yang
homosigot berpotensi untuk menyebabkan terjadinya purpura fulminan yang fatal setelah lahir.
Defesiensi antitrombin dan faktor V Leiden merupakan faktor risiko genetik yang terkuat dengan
risiko trombosis vena sebanyak 20 – 50 kali lipat. Defesiensi protein C dan S yang heterosigot
merupakan fektor risiko sedang yang meningkatkan risiko thrombosis 10 kali lipat. Peningkatan
ringan risiko trombosis terjadi pada kondisi gangguan sistem koagulasi dengan sumber yang
tidak jelas seperti peningkatan faktor prokoagulasi seperti fibrinogen, II, von Willebrand’s factor,
VIII, IX, X dan XI, dan antifibrinolytic factor (TAFI) dan kadar yang rendah dari anticoagulant
factors (TFPI).

Faktor risiko

Berikut adalah faktor risiko yang dianggap sebagai penyebab trombosis vena dalam:
 Berkurangnya aliran darah: Imobilitas (tirah baring, anestesi umum, operasi, stroke,
penerbangan jauh)
 Peningkatan tekanan vena: Kompresi mekanis atau gangguan fungsional yang
menyebabkan berkurangnya aliran di vena (neoplasma, kehamilan, stenosis, atau kelainan
bawaan yang meningkatkan resistensi aliran keluar)
 Cedera mekanis pada vena: Trauma, pembedahan, kateter vena yang dimasukkan secara
perifer, DVT sebelumnya, penyalahgunaan obat intravena
 Peningkatan kekentalan darah: Polisitemia rubra vera, trombositosis, dehidrasi
 Variasi anatomi pada anatomi vena dapat menyebabkan trombosis.

Peningkatan Risiko Koagulasi

 Defisiensi genetik: Protein antikoagulasi C dan S, defisiensi antitrombin III, mutasi faktor
V Leiden
 Didapat: Kanker, sepsis, infark miokard, gagal jantung, vaskulitis, lupus eritematosus
sistemik dan antikoagulan lupus, penyakit radang usus, sindrom nefrotik, luka bakar,
estrogen oral, merokok, hipertensi, diabetes.

Faktor Konstitusional

Obesitas, kehamilan, usia lanjut di atas 60 tahun, pembedahan, perawatan kritis,


dehidrasi, dan kanker merupakan penyebab utama DVT dan VTE. Obesitas dikaitkan
dengan status hiperkoagulabilitas melalui dua mekanisme, 1. peningkatan kadar
fibrinogen yang bahkan mungkin melebihi dua kali lipat nilai normal, dan 2. aliran
sirkulasi vena yang lebih lambat di infra diafragma dan terutama di ekstremitas
bawah. Kedua faktor tersebut, terkait dengan gangguan pada beberapa faktor koagulasi,
mendukung munculnya trombosis vena, tromboflebitis, dan kejadian tromboemboli, dan
sebagian besar tromboemboli paru (PE) yang fatal, yang merupakan penyebab utama
kematian pada pasien obesitas. Faktor risiko potensial trombosis vena dalam dapat
dikategorikan berdasarkan kriteria sementara, persisten, atau tidak beralasan. Oleh karena
itu, faktor risiko sementara adalah sebagai berikut; 1. pembedahan dengan anestesi
umum, 2. rawat inap, 3. operasi caesar, 4. terapi sulih hormon, 5. masa kehamilan dan
peripartum, 6. cedera ekstremitas bawah dengan mobilitas terbatas lebih dari 72 jam.
Perlu dicatat bahwa anestesi umum selama lebih dari 30 menit dan rawat inap lebih dari
72 jam dianggap sebagai faktor risiko sementara DVT. Namun, kanker aktif dan kondisi
medis tertentu yang meningkatkan risiko tromboemboli vena dikategorikan sebagai
faktor risiko persisten. Lupus eritematosus sistemik dan penyakit radang usus merupakan
salah satu kondisi medis yang menjadi faktor predisposisinya

Patofisiologi

Menurut triad Virchow, berikut adalah mekanisme patofisiologi utama yang terlibat dalam DVT:
 Kerusakan pada dinding pembuluh darah vena
 Turbulensi aliran darah
 Hiperkoagulabilitas
Pembentukan trombus biasanya dimulai dari valve pocket vena pada betis dan meluas ke
proximal. Proses seperti ini biasanya terjadi pada penderita setelah dilakukan operasi. Sebagian
besar thrombus mulai terbentuk selama operasi, beberapa hari atau minggu atau bulan setelah
operasi. Beberapa data yang menunjukkan awal terjadinya thrombus di valve pocket vena adalah
peningkatan ekspresi endothelial protein C receptor (EPCR) dan thrombomodulin (TM) dan
penurunan ekspresi dari Von Willebrand factor (vWF) pada endotel katup vena. Ini
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan antikoagulan seperti (EPCR dan TM) dan terjadi
penurunan prokoagulan (vWF) pada katup vena.6 DVT pada daerah ekstremitas bawah
diklasifikasikan menjadi dua yaitu proximal DVT apabila yang terkena vena poplite atau yang
lebih proximal dan distal DVT apabila yang terkena adalah vena di betis atau yang lebih distal.
DVT proximal memiliki arti klinis yang lebih penting karena berhubungan dengan beberapa
penyakit yang serius seperti kanker yang aktif, gagal jantung kongestif, kegagalan respirasi, unur
diatas 75 tahun. Sedangkan DVT distal biasanya berhubungan dengan imobilisasi dan operasi.7
PE yang fatal biasanya berasal dari DVT proximal. Post thrombotic syndrome yang ditandai
dengan pembengkakan kaki, nyeri, pelebaran vena, indurasi dan ulkus pada kulit baiasanya
terjadi 1 tahun setelah DVT terjadi pada 17% - 50% kasus DVT proximal. Suatu manifestasi
yangjarang dari DVT adalah massive venous thrombosis yang akut yang menyebabkan drainase
vena ekstremitas tersumbat. Hal ini akan menyebabkan phlegmasia alba dolens, phlegmasia
cerulia dolens dan gangrene vena. Pada phlegmasia alba dolens trombosis hanya terjadi pada
vena-vena yang dalam tetapi tidak terjadi pada vena kolateralnya. Sedangkan pada phlegmasia
cerulia dolens thrombosis terjadi sampai pada vena kolateralnya sehingga akan menyebabkan
sekuesterasi cairan tubuh dan edema yang berat.
Pemeriksaan penunjang

Sekitar 15 – 25% dari semua pasien yang dicurigai DVT atau PE terbukti adnya trombosis di
sistem vena atau paru. Oleh karena itu proses diagnostic kedua penyakit tersebut mempunyai
tujuan yaitu 1) untuk eksklusi adanya trombosis secepatnya dan seaman mungkin, kalau
memungkinkan tidak invasive, mudah dengan metode yang costeffective; 2) menentukan adanya
trombosis pada yang lain dengan imaging yang akurat. Tujuan dari yang pertama adalah
menghindari test yang tidak perlu atau menghindari pemberian antikoagulan. Semua gejala dari
DVT adalah bengkak, nyeri, kemerahan, dilatasi vena superfisialis dan Homan’s sign adalah
tidak spesifik dan tidak cukup kuat untuk menyingkirkan atau mendiagnosis penyakit. Gold
standard diagnosisnya adalah contrast venography. Meskipun cara ini sangat akurat tetapi
memerlukan fasilitas radiologi dan ahlinya, bersifat invasif dan tidak nyaman bagi pasien. Vena
yang tidak dapat ditekan dengan ultrasonografi merupakan dasar diagnostik yang mengganti
contrast venography. Pemeriksaan ini mempunyai keterbatasan pada thrombosis vena femoralis
di groin atau trombosis vena poplitea di daerah fossa poplitea. Test ini memiliki sensitifitas dan
spesifisitas 95 – 100% pada DVT proximal. Metode ini kurang akurat pada DVT vena di daerah
betis. Untuk dapat menyingkirkan adanya DVT dengan cepat dan aman penggunaan test clinical
probability dan D-dimer sangat mambantu. Clinical probability dapat dinilai dengan
menggunakan tabel dibawah ini dengan kemungkinan hasil DVT likely atau DVT unlikely dan
PE likely atau PE unlikely. D-dimer merupakan produk dari degradasi cross-linked fibrin, oleh
karena itu D-dimer yang rendah dapat membantu untuk menyingkirkan adanya trombosis. Pada
kondisi normal hasil D-dimer akan tinggi pada pasien dengan usia diatas 70 tahun, oleh karena
itu test ini kurang bermanfaat pada populasi umur tersebut. Sebanyak 30 – 50% pasien yang
dirujuk dengan kecurigaan DVT ternyata mimiliki clinical probability unlikely dan D-dimer
normal sehingga pemeriksaan DVT lebih lanjut dapat ditunda dan pemberian antikoagulan juga
tidak diberikan.

Clinical prediction rule

Secara umum pendekatan diagnosis VTE menggunakan clinical model dengan menggunakan
penilaian klinik yang standar (kombinasi faktor risiko, gejala dan tanda) dan selanjutnya
dibuatkan stratifikasi kecurigaan adanya DVT. Meskipun metode ini telah dipakai di pusat
pelayanan kesehatan primer maupun sekunder, tetapi metode ini tidak bisa menjamin
memberikan hasil yang akurat. Model yang paling umum dipakai adalah model yang
dikembangkan ole Wells dan kawan-kawan. Berdasarkan atas presentasi klinis dan faktor risiko
penderita dibagi menjadi tiga kelompok seperti low, moderate dan high probability. Kelompok
dengan high probability mempunyai risiko thrombosis 85%, kelompok moderate probability
mempunyai risiko 33% dan low probability mempunyai risiko 5%. Selanjutnya Wells dan
kawan-kawan mengelompokkan penderita hanya menjadi dua yaitu DVT unlikely jika skor ≤ 1
dan DVT likely bila skor > 1.

D-dimer assay

D-dimer merupakan hasil dari degradasi cross-linked fibrin oleh plasmin. Test ini menunjukkan
aktivitas secara umum dari koagulasi dan fibrinolisis. Merupakan biomarker yang terbaik dari
suatu VTE. Kombinasi dari clinical probability model dan test D-dimer dapat menyingkirkan
sebanyak 25% pasien yang dengan gejala klinis meyerupai DVT tanpa perlu pemeriksaan lebih
lanjut. Bahkan pada pasien dengan VTE yang rekuren kombinasi ini (clinical probability dan D-
dimer) terbukti cukup baik untuk menyingkirkan adanya trombosis, terutama pada pasien dengan
clinical prtetest probabilitynya yang rendah. Pemeriksaan D-dimer sangat sensitif (nilainya
sampai 95%) tetapi specifisitinya rendah. Nilai negative prediction value D-dimer adalah hampir
100%. Oleh karena itu hasil test D-dimer yang negatif sangat baik untuk menyingkirkan DVT
maupun PE. Hasil positif palsu dari D-dimer adalah pada inflamasi, kehamilan, malignansi, usia
tua dan kehamilan. Peningkatan D-dimer dapat dipakai seagai prediksi outcome yang buruk pada
anak-anak dengan kejadian trombosis yang akut. Negatif palsu dari D-dimer juga bisa terjadi
pada penderita yang menggunakan heparin. Oleh karena itu disarankan untuk test D-dimer
sebaiknya dilakukan sebelum memberikan heparin.

Venous ultrasonography

Venous ultrasonography merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien dengan DVT likely.
Bersifat non-invasive, aman, mudah didapat, dan relatif murah. Kriteria ultrasonografi mayor
adanya trombosis adalah gagalnya penekanan lumen vena dengan tekanan yang cukup dengan
probe USG. Keunggulan lain dari venous ultrasound ini adalah dapat mendeteksi adanya Baker’s
cyst, hematoma dalam otot atau di daerah yang lebih superfisialis, lymphadenopathy, aneurisma
femoralis, tromboplebitis superfisialis dan abses. Pengunaan alat ini memiliki keterbatasan untuk
mendeteksi trombus didaerah distal. Penekanan vena dengan probe USG ini memiliki
kekurangan pada pasien-pasien yang gemuk, edema, dan nyeri di lokasi vena yang diperiksa.
Penggunaan alat USG yang lebih baru seperti compression B-mode ultrasonography dengan atau
tanpa color Duplex imaging mempunyai sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk proximal
DVT yang simtomatik. Trombosis di betis memiliki sensitivitas 73%. Pemeriksaan ulang venous
ultrasound hanya diindikasikan pada pasien gejala DVT tetapi hasil pemeriksaan awal normal
atau pada penderita yang seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan metode lain tetapi
mempunyai kontraindikasi untuk pemeriksaan dengan metode tersebut atau fasilitas yang tidak
tersedia. Serial ini tidak diperlukan pada pasien yang berdasarkan kriteria Wells unlikely dan test
D-dimer negatif.

Contras venography

Venography merupakan test definitif untuk DVT, tetapi sangat jarang dikerjakan karena test non-
invasive seperti D-dimer dan venous ultrasound cukup baik dan akurat untuk mendiagnosis
DVT. Prosedurnya meliputi pamasangan kanul pada vena, penyuntikan kontras bisanya contrast
noniodinated seperti Omnipaque. Pemberian volume contrast yang cukup banyak yang
dilarutkan dengan normal salin menghasilkan test yang lebih baik. Tanda utama yang ditemukan
pada thrombosis vena ini adalah adanya filling defect pada vena. Tanda lainnya adalah adanya
tanda-tanda putusnya gambar kontrast pada vena tiba-tiba. Pemeriksaan trombosis dengan
metode ini bersifat invasive, nyeri, terpapar oleh radiasi dan risiko alergi oleh karena kontras.
Disamping itu bisa juga terjadi gangguan pada ginjal akibat penggunaan kontras tersebut. DVT
yang baru bisa juga di sebabkan oleh karena prosedur venography tersebut yang kemungkinan
besar disebabkan oleh iritasi dan kerusakan endotel. Penggunaan contrast yang nonionic
mengurangi risiko reaksi alergi dan trombogeniknya.

Magnetic resnonance imaging (MRI)

Cara ini sangat sensitif untuk mendiagnosis DVT di daerah pelvis, DVT di daerah betis dan DVT
didaerah extremitas atas. Cara ini baik juga untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya
pada pasien yang DVT. MRI merupakan test pilihan untuk mendiagnosis DVT di daerah vena
iliaka atau vena cava inferior pada saat computed tomography venography merupakan
kontraindikasi atau diperkirakan secara teknik mengalami kesulitan. Tidak ada radiasi ion tetapi
mahal, dan memerlukan ahli radiologi untuk interpretasinya

Tatalaksana

Mekanikal

Metode mekanik untuk mencegah DVT adalah pneumatic intermitent compression (IPC),
graduated compression stocking (GCS) atau venous foot pump. IPC akan meningkat aliran vena
dalam di betis mencegah stasis vena sehingga dapat mencegah trombosis. Review Cochrane
mendapatkan penurunan 50% VTE dengan menggunakan graduated compression stocking. IPC
selain dapat mengurangi risiko thrombosis juga dapat meningkatkan aktivitas fibrinolitik
endogen dengan mengurangi plasminogen activator inhibitor-1. Penggunaan pencegahan DVT
dengan metode kombinasi (mekanikal dan farmakologikal) mengurangi risiko trombosis lebih
baik dibandingkan dengan metode mekanikal atau farmakologikal dan terutama pada kelompok
dengan penderita dengan risiko trombosis yang tinggi. Pencegahan dengan metode mekanik
sangat penting pada pasien-pasien yang berisiko tinggi untuk terjadinya perdarahan dengan
penggunaan antikoagulan seperti pada pasien-pasien yang sedang atau baru terjadi perdarahan
sauran cerna, stroke perdarahan atau pada pasien dengan gangguan hemostatik seperti pasien
dengan trmbositopenia. Kontraindikasi metode mekanik adalah iskemia pada ekstremitas
disebabkan oleh peripheral vascular disease. Pemakaian setiap hari dari elastic compression
stocking dapat menurunkan insiden postphlebitis syndrome sebanyak 50%.

Farmakologi

Unfractionated heparin (UFH), low molecular-weight heparin (LMWH), fondaparinux, obat


penghambat trombin oral yang selektif, dan penghambat faktor Xa merupakan obat yang efektif
untuk mencegahan DVT. Beberapa studi melaporkan insiden DVT dan PE termasuk PE yang
fatal akan menurun dengan pemberian UFH dosis kecil. LMWH mempunyai keuntungan
tambahan bila dibandingkan dengan UFH. LMWH dapat diberikan satu atau dua kali sehari
tanpa perlu memonitor faal koagulasi. Keuntungan lain seperti efek antikogulan yang dapat
diprediksi, kadar LMWH dalam plasma yang dosis dependen, waktu paruh yang panjang,
kejadian perdarahan yang kecil, dan insiden heparin induced thrombocytopenia (HIT) yang lebih
kecil bila dibandingkan dengan UFH.19 Risiko osteoporosis yang terkait dengan heparin lebih
rendah pada LMWH bila dibandingkan dengan UFH hal ini disebabkan oleh karena LMWH
tidak meningkatkan jumlah dan aktivitas osteoklas. Bila dibandingkan UFH, LMWH mempunyai
efek yang lebih besar dalam menghambat faktor Xa, dan mempunyai efek yang lebih sedikit
terhadap antitrombin III (AT III) yaitu dengan menghambat trombin. Kontraindikasi pemberian
LMWH sebagai tromboprofilaksis adalah perdarahan intra kranial, perdarahan yang tidak dapat
dikontrol, dan injuri corda spinalis parsial yang berhubungan dengan hematoma pada spinal.
Fondaparinux merupakan pentasakarida sintetik dan sudah diakui sebagai tromboprofilaksis
DVT. Bekerja menghambat secara selektif faktor Xa dengan cara mengikat antitrombin dengan
afinitas yang tinggi. HIT tidak dilapokan terjadi pada penggunaan Fondaparinux karena tidak
mengganggu fungsi dan agregasi trombosit, Fondaparinux mempunyai respon yang dapat
diprediksi. Pemantauan prothrombin time (PT) atau partial thromboplastin time (PTT) tidak
diperlukan pada pemberian fondaparinux. Kesimpulannya adalah fondaparinux mempunyai
efektivitas yang sama bahkan lebih baik daripada obat yang ada sekarang, mempunyai kelebihan
seperti risiko perdarahan yang lebih kecil, tidak perlu pemantauan laboratorium, dan
pemberiannya cukup hanya satu kali sehari.20 Dabigatran merupakan obat penghambat trombin
yang baru. Dabigatran diserap secara cepat di saluran pencernaan dengan bioavailabilitas 5 - 6%.
Mempunyai waktu paruh 8 jam setelah dosis pertama dan waktu paruh dapat memanjang sampai
17 jam setelah diberikan beberapa dosis dengan peningkatan kadar mencapai puncak dalam
plasma dalam waktu 2 jam. Obat dieksresi melalui ginjal. Dabigatran mempunyai
bioavailabilitas yang rendah, mempunyai efek antikoagulan yang dapat diprediksi, dan tidak
tidak memerlukan evaluasi koagulasi. Dabigatran sudah mendapat persetujuan dalam prevensi
VTE pada operasi ortopedi di Canada dan Eropa.

Studi RE-COVER membandingkan dabigatran dan warfarin dalam pengamatan 6 bulan pada
pasien dengan VTE akut. Dabigatran mempunyai efektivitas yang sama dengan warfarin dalam
mencegah VTE yang berulang, dengan komplikasi perdarahan mayor yang berimbang antara
kedua kelompok, dan total kejadian perdarahan yang lebih rendah. Studi lain (RE-NOVATE II)
membandingkan efikasi dan keamanan dabigatran dibandingkan dengan enoxaparin subkutan
sebagai tromboprofilaksis pada pasien yang akan menjalani total hip arthroplasty (THA).
Profilaksis dengan dabigatran 200 mg mempunyai efektivitas yang sama dengan enoxaparin 40
mg dalam menurunkan risiko VTE, dan lebih baik menurunkan risiko VTE mayor bila
dibandingkan dengan enoxaparin. Risiko perdarahan sama pada kedua kelompok. Rivaroxaban
merupakan penghambat faktor Xa yang selektif dan poten, mempunyai onset yang cepat dan
biovaibilitas yang tinggi (80%), serta waktu paruh 4 - 12 jam. Studi EINSTIEN-DVT
menunjukan rivaroxaban mempunyai efektivitas yang sama dengan LMWH, enoxaparin,
fondaparinux, dan warfarin dalam mencegah VTE yang berulang. Hasil dari studi RECORD fase
III menunjukan rivaroxaban 10 mg lebih baik dari enoxaparin sebagai profilaksis VTE pada
operasi ortopedi. Obat ini juga mempunyai kelebihan seperti merupakan obat oral dengan dosis
sekali sehari dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Obat lain seperti apixaban dan
edoxaban masih dalam proses uji klinis. Antikoagulan oral seperti warfarin dapat dimulai pre-
operasi, saat operasi, dan pasca-operasi sebagai pencegahan VTE. Warfarin dikontraindikasikan
sebagai tromboprofilaksis pada pasien anterpartum karena dapat melewati barier plasenta dan
menyebabkan teratogenik serta perdarahan pada fetus. Obat ini dikatakan aman selama menyusui
karena tidak terakumulasi di air susu. Tidak seperti warfarin, heparin aman dan direkomendasi
pada kehamilan dan laktasi. Penggunaan aspirin tunggal tidak direkomendasikan sebagai
tromboprofilaksis terhadap VTE.

Beberapa studi menggunakan aspirin sebagai profilaksis DVT menunjukan aspirin memberikan
hasil yang beragam dalam mencegah VTE pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Namun studi
lain tidak menunjukan hasil yang tidak lebih baik dari obat lain. Durasi pemberian
tromboprofilaksis tergantung pada risiko VTE. Pada pasien yang akan menjalani THA atau
fraktur panggul, pemanjangan durasi pemberian profilaksis VTE direkomendasikan sampai 10
hari atau bisa sampai 35 hari pada pasien dengan risiko tinggi VTE. Pasien dengan sakit berat,
pemberian tromboprofilaksis direkomendasikan terus dilanjutkan sampai pasien diperbolehkan
pulang.25 TERAPI Tujuan pengobatan DVT adalah mencegah terjadinya trombus, PE akut,
trombosis yang berulang, dan munculnya komplikasi lanjut seperti hipertensi pulmonal dan post
thrombotic syndrome (PTS). Terapi awal diharapkan dapat mencapai dosis terapi dengan UFH,
LMWH, atau fondaparinux.1 Studi menunjukan efikasi terapi pada heparin tergantung pada
target dosis terapi yang harus dicapai dalam waktu 24 jam, seperti target aPTT 1,5 – 2,5 kali
kontrol. Nilai ini identik dengan kadar heparin dalam darah 0,3 – 0,7 U/mL.26 LMWH
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan UFH dalam pengobatan DVT akut. UFH lebih
direkomendasikan pada gangguan ginjal tidak seperti LMWH yang lebih banyak dieksresi
melalui ginjal. Heparin yang diberikan bersamaan dengan warfarin, selanjutnya dapat dihentikan
setelah pemberian 4-5 hari dengan target International Normalized Ratio (INR) 2 – 3. Pemberian
heparin dan warfarin secara bersamaan pada waktu awal sangat penting, karena faktor II, IX, dan
X baru akan terpengaruh oleh warfarin setelah lebih dari 5 hari. Pemanjangan INR biasanya
disebabkan oleh penurunan faktor VII dengan waktu paruh 5 sampai 7 jam.1,2 Warfarin masih
tetap merupakan obat pilihan terapi jangka panjang dalam mencegah pembentukkan clot.
LMWH direkomendasikan pada pasien kanker dan kehamilan karena warfarin
dikontraindikasikan pada kehamilan. Terapi antikoagulan jangka panjang dengan LMWH lebih
efektif daripada warfarin dalam mencegah trombosis vena yang berulang pada pasien kanker
tanpa adanya peningkatan kejadian perdarahan yang bermakna. Durasi pemberian antikoagulan
tergantung pada episode kejadian DVT, faktor risiko VTE, dan adanya tromboflebitis. Pada
pasien yang mengalami DVT pertama kali dan berhubungan dengan faktor risiko yang tidak
tetap seperti operasi atau trauma, mempunyai risiko kekambuhan yang rendah durasi pemberian
terapi antikoagulan selama 3 bulan dikatakan cukup. Pemberian antikoagulan jangka panjang
harus dipertimbangkan pada kondisi trombosis berulang, pasien dengan risiko yang tinggi seperti
kanker dan unprovoke DVT atau PE, tidak didapatkan risiko terjadinya perdarahan, dan kontrol
terhadap antikoagulan yang baik.
Chronic Kidney Disease (CKD)

Etiologi

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama >3 tahun
berdasarkan kelainan patologis atau pertanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Faktor yang
memengaruhi kecepatan kerusakan serta penurunan fungsi ginjal dapat berasal dari genetic,
perilaku, lingkungan maupun proses degenerative. Penyebab CKD pada anak usia < 5 tahun
paling sering adalah kelainan kongenital misalnya displasia atau hipoplasia ginjal dan uropati
obstruktif. Sedangkan pada usia > 5 tahun sering disebabkan oleh penyakit yang diturunkan
(penyakit ginjal polikistik) dan penyakit didapat (glomerulonefritis kronis).

Kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD

Stadium

Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi awal kerusakan ginjal
dan penatalaksanaan, serta untuk pencegahan komplikasi CKD.
Diagnosis

Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Bila
glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan didapatkan edema, hipertensi,
hematuria, dan proteinuria. Penderita CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) biasanya
asimtomatik dan gejala klinis biasanya baru muncul pada CKD stadium 4 dan 5. Kerusakan
ginjal yang progresif dapat menyebabkan:

- Peningkatan tekanan darah aibat overload cairan dan produksi hormon vasoaktif
(hipertensi, edem paru dan gagal jantung kongestif)
- Gejala uremia (letargis, perikarditis hingga ensefalopati)
- Akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga keadaan fatal yaitu aritmia
- Gejala anemia akibat sintesis eritropoietin yang menurun
- Hiperfosfatemia dan hipokalsemia (akibat defisiensi vitamin D3)
- Asidosis metabolik akibat penumpuan sulfat, fosfat, dan asam urat

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan analisis urin awal dengan menggunakan tes dipstick dapat mendeteksi dengan cepat
adanya proteinuri, hematuri, dan piuri. Pemeriksaan mikroskopis urin dengan spesimen urin yang
telah disentrufugasi untuk mencari adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kast.

Laju filtrasi glmerulus setara dengan penjumlahan laju filtrasi di semua nefron yang masih
berfungsi sehingga perkiraan GFR dapat memberikan pengukuran kasar jumlah nefron yang
masih berfungsi. Pemeriksaan GFR biasanya dengan menggunakan creatinine clearance, akan
tetapi untuk pemeriksaan ini kurang praktis karena membutuhkan pengumpulan urin 24 jam.
Untuk kepentingan praktis perhitungan GFR digunakan rumus berdasarkan formula Schwartz
atau Counahan- Barrat

Pencitraan

Pemeriksaan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis CKD dan memberikan petujuk
kearah penyebab CKD.

- Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
- Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan karena aman,
mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan modalitas terpilih untuk
kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun USG kurang sensitif dibandingkan CT
untuk mendeteksi massa, tetapi USG dapat digunakan untuk membedakan kista jinak
dengan tumor solid, juga sering digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal
polikistik.
- CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi pada
pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk mengidentifikasi
batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal
untuk menghindari terjadinya gagal ginjal akut.
- MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT tetapi tidak
dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi adanya trombosis
vena renalis. Magnetic resonance angiography juga bermanfaat untuk mendiagnosis
stenosis arteri renalis, meskipun arteriografi renal tetap merupakan diagnosis standar.
- Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan
radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic acid (DMSA). Pemeriksaan
ini lebih sensitif dibandingkan intravenous pyelography (IVP) untuk mendeteksi parut
ginjal dan merupakan diagnosis standar untuk mendeteksi nefropati refluks.
- Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter
- Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk mendiagnosis
dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan ini diindikasikan apabila
dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal meskipun USG dan CT scan tidak
menunjukkan adanya hidronefrosis.

Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid sekunder yang
merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usia tulang untuk memberikan terapi
hormon pertumbuhan

Tatalaksana

Evaluasi dan penanganan pasien dengan CKD memerlukan pengertian konsep terpisah namun
saling berhubungan mengenai diagnosis, kondisi komorbid, derajat keparahan penyakit,
komplikasi penyakit dan risiko hilangnya fungsi ginjal serta peyakit kardiovaskular.

Sedangkan terapi untuk CKD meliputi:

- Terapi spesifik, berdasarkan diagnosis


- Evaluasi dan penanganan kondisi komorbid
- Memperlambat kerusakan fungsi ginal
- Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular
- Pencegahan dan terapi penyakit komplikasi (hipertensi, anemia,gagal tumbuh)
- Penggantian fungsi ginjal dengan dialisis atau bahkan transplantasi ginjal (2)

Terapi dislipidemi
Dislipidemi merupakan faktor risiko primer penyakit kardiovaskular dan komplikasi penyakit
ginjal progresif karena dapat menyebabkan aterosklerosis difus dan iskemi renal. Abnormalitas
lipid pada CKD paling sering adalah peningkatan trigliserida, low density lipoprotein (LDL)
yang diakibatkan gangguan klirens. Rekomendasi dari KDOQI bertujuan mengurangi kadar
kolsterol < 100 mg/dL dan trigliserid < 200 mg/dL. Atorvastatin dan kolestiramin efektif dan
aman digunakan pada anak.1,3-5,11,15

Terapi Hipertensi

Hipertensi menyebabkan kerusakan langsung pembuluh darah nefron sehingga ginjal kehilangan
kemampuan otoregulasi tekanan dan laju filtrasi glomerulus dengan hasil akhir hiperfiltrasi yang
bermanifestasi sebagai albuminuri. Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan
angiotensin receptor blocker (ARB) lebih efektif dibandingkan antihipertensi lain dalam
mencegah progresifitas kerusakan ginjal karena obat-obatan tersebut menurunkan tekanan
intraglomerular dan proteinuri melalui efek langsung terhadap tekanan darah sistemik dan
sirkulasi glomerulus.

Terapi anemia

Anemia pada penyakit ginjal kronis teradi akibat produksi eritropoietin yang menurun dan massa
sel tubular renal yang berkurang. Kompensasi jantung terhadap anemia menyebabkan hipertrofi
ventrikel dan kardiomiopati sehinga meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung atau penyakit
jantung iskemik. Rekomendasi KDOQI menyebutkan target hemoglobin 11 hingga 12 g/dL pada
penderita CKD, dan penderita dengan kadar feritin serum < 100 ng/mL harus mendapat
suplementasi besi. Recombinant human erythropoietin (rHuEPO) dengan dosis 50-150
mg/kgBB/hari subkutan digunakan untuk anemia akibat CKD.

Catheter Double Lumen (CDL

Catheter Double Lumen (CDL) adalah sebuah alat yang terbuat dari bahan polimer
silikon mempunyai dua cabang, selang merah (artery line) untuk keluarnya darah dari tubuh ke
mesin dan selang biru (venous line) untuk masuknya darah dari mesin ke tubuh. Penggunaan
CDL ditujukan untuk pasien yang membutuhkan cuci darah dalam keadaan darurat. CDL hanya
bersifat sementara, kurang dari tiga minggu dan akan dilepas saat pasien sudah tidak diharuskan
menjalani cuci darah, atau sudah memiliki akses yang lebih permanen. Pemasangan CDL juga
berperan penting untuk mencegah komplikasi yang akan berkaitan dengan morbiditas dan
mortalitas. mengoptimalkan pengobatan pasien dengan AKI tanpa akses permanen yang tersedia
untuk hemodialisis, atau orang-orang dengan CKD yang tidak lagi memakai akses vaskular
permanen. Saudi Journal of Kidney Diseases and Transplantation at Nigerian Dialysis Unit
membuktikan bahwa penggunaan CDL pada vena jugularis internal dan beberapa di vena
subclavia aman dan jarang dikaitkan dengan komplikasi utama pada pasien hemodialisis

Beberapa komplikasi yang timbul akibat penusukkan kateter seperti disritmia atrium dan
disritmia ventrikel. Disritmia atrium dapat terjadi 40% pada pemakaian kateter subclavian dan
terjadi 20% disritmia ventrikel. Terjadi komplikasi pneumothoraks 1-5% pada kateter subclavia
tetapi kurang dari 0,1% pada kateter jugularis internal. Selain itu, terjadi pula komplikasi akibat
penusukkan adalah emboli udara, perforasi pada dinding jantung atau vena sentral, tamponade
pericardium dan tertembusnya arteri (Ma’ruf, 2018). Komplikasi akibat dari pemasangan kateter
yang lain seperti infeksi, disfungsi kateter, trombosis, stenosis, adhesi kateter, atau port clamp
fracture (3)

AV Shunt

Pasien penyakit ginjal kronik dengan etiologi apapun memerlukan terapi pengganti.
Terapi pengganti yang dibutuhkan oleh pasien penyakit ginjal kronik harus dapat menggantikan
fungsi. ekskresi maupun fungsi endokrin dari ginjal. Hal ini dikarenakan pada penyakit ginjal
kronik, kedua fungsi ini memburuk.Terapi pengganti dapat dibagi menjadi dua yaitu
transplantasi ginjal dan dialysis. Transplantasi ginjal yang berhasil akan menggantikan seluruh
fungsi ginjal yang rusak, sedangkan dialysis menggantikan sebagian fungsi ekskresi. Dialisis
dapat digolongkan menjadi dialisis peritoneal dan hemodialisis. Hemodialisis adalah proses yang
melibatkan difusi dan ultrafiltrasi dengan tujuan pembuangan unsur tertentu dari darah dengan
memanfaatkan perbedaan laju difusi darah ketika melewati membran semipermeabel.
Hemodialisis dilakukan dengan cara memompa darah pasien dan mengalirkannya menuju
kompartemen darah yang dibatasi membran semipermeabel buatan dengan kompartemen
dialisat. Cairan dialisat memiliki komposisi elektrolit mirip serum normal yang tidak
mengandung sisa metabolik dan tidak mengandung pirogen. Cairan darah dan dialisat akan
mengalami perubahan konsentrasi dari rendah hingga mencapai konsentrasi zat terlarut yang
sama, proses ini disebut difusi. Sedangkan, ultrafiltrasi adalah perpindahan air dari kompartemen
darah menuju kompartemen dialisat dengan menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada
kompartemen dialisat (4).

Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke mesin dialisis haruslah adekuat. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu akses khusus untuk hemodialisis terutama untuk hemodialisis rutin. Pada
umumnya, akses ini dibentuk pada lengan dengan menyambungkan vena lengan dengan arteri
radialis atau ulnaris. Hal ini akan menimbulkan shunt aliran darah dari arteri ke vena sehingga
vena akan membesar dan mengalami epitelialisasi. Lokasi AV shunt (akses) yang digunakan
dalam hemodialisis sangat beragam. Di Indonesia sendiri, para ahli bedah menggunakan akses
melalui femoral yang digunakan sebanyak 2%, akses jugular digunakan sebanyak 1% kasus
hemodialisis dan akses subclavia digunakan sebanyak 3%. Mayoritas akses yang digunakan
adalah akses vaskuler

Arteriovenous Shunt (AV Shunt) merupakan tindakan operasi menyambungkan


(anastomosis) arteri dan vena pada lengan atau bagian tubuh lain dengan tujuan menjadikan
sambungan tersebut sebagai akses hemodialisis. AV shunt adalah gold standart dalam membuat
akses vascular untuk hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik. AV shunt dibuat untuk
meningkatkan efektivitas fungsi dialisis dan mengurangi risiko serta komplikasi yang dapat
terjadi pada akses vaskuler lainnya. AV Shunt atau juga disebut cimino shunt menyebabkan
tekanan lebih tinggi mengalir ke pembuluh darah vena yang telah disambung hingga timbul
desiran (thrill) maupun bruit pada auskultasi. Vena yang telah menjadi lebih besar
memungkinkan kemudahan akses puncture (tusuk) ke pembuluh darah untuk hemodialisis.
Tanpa akses yang memadai seperti ini, Tindakan hemodialisis yang rutin dilakukan oleh vena
tidak akan dapat menahan tusukan jarum cuci darah berulang

Pada prinsipnya, pembuatan AV shunt yang baik diawali dari arteri dan vena yang berada pada
bagian lengan yang lebih distal dan lengan yang tidak dominan. Hal ini ditujukkan supaya masih
terdapat cadangan arteri dan vena pada bagian proksimal ketika terjadi kegagalan pembuatan
akses pada bagian distal. Berdasarkan letaknya, pembuatan AV shunt memiliki prioritas yakni
pada lengan bagian distal dan lengan yang tidak dominan. Jika tidak memungkinkan, AV shunt
dapat dilakukan pada proksimal lengan tidak dominan dan terakhir pada bagian proksimal lengan
yang dominan. Lokasi pergelangan tangan menjadi prioritas utama dalam pembuatan AV shunt
karena memiliki keuntungan yang banyak. Arteri dan vena yang umumnya digunakan adalah
arteri radialis dan vena cephalica. Nama lain anastomosis ini adalah radiocephalica fistula.
Pembuatan AV shunt juga dapat dilakukan pada arteri brachialis dengan vena cephalica. Tipe
anastomosis ini sangat disarankan untuk pasien dengan DM karena keunggulan aliran yang
dibentuk dan kecepatan maturasinya. Walaupun dengan metode ini hasilnya sangat baik, namun
pada jenis fistula ini sangat sering terjadi insiden “steal syndrome”, terutama jika arteriotominya
sangat panjang. Fistula jenis ini juga dapat membuat hilangnya daerah forearm yang tersisa
untuk pembuatan akses lain di masa depan. Revanur et al (2015) mengatakan bahwa fistula
brachiocephalica sangat menguntungkan sebagai alternatif pada pasien tua, wanita dan DM
dengan 74% kasus mempertahankan patensi selama satu tahun dari 137 prosedur yang dilakukan.

Pemilihan pembuatan AV shunt brachiocephalica biasanya dilakukan apabila dari hasil


pemeriksaan USG duplex tidak ditemukan vena cephalica yang cocok di daerah pergelangan
tangan (Vena Cephalica wrist sinistra diameter 0,10 cm non kompresibel), sehingga dipilih
daerah yang lebih proksimal (brachiocephalica fistula). Brachiocephalica fistula memiliki angka
kegagalan sekitar 10% dan memiliki tingkat patensi jangka panjang yang baik. Pemasangan AV
Shunt dilakukan bukan pada saat pasien datang ke UGD. Sebelum dilakukan pembuatan AV
shunt, terlebih dahulu dilakukan perbaikan keadaan umum, seperti hemodialisa dengan double
lumen dan transfusi darah, sehingga pasien tidak mengalami overload cairan, Hb meningkat dan
ureum menurun. Maturasi primer brachiocephalica fistula membutuhkan waktu 8-12 minggu.
Sehingga prosedur hemodialisis melalui akses belum dapat langsung dilakukan pasca operasi
sampai terjadi maturasi dari internal AV shunt tersebut.

Sambungan yang dilakukan dengan AV shunt akan meningkatkan aliran darah dengan
cepat. Hal ini mengakibatkan perbesaran pada arteri dan vena. Selain itu terjadi juga penebalan
dinding terutama pada pembuluh darah vena. Setelah dilakukan operasi AV shunt mengalami
peningkatan kecepatan aliran darah. Aliran darah yang awalnya 21,6 ± 20,8 ml/menit meningkat
menjadi 208 ± 175 ml/menit setelah operasi. Aliran ini dapat meningkat hingga 600 sampai 1200
ml/menit. Proses selanjutnya adalah terjadi peningkatan wall shear stress dan tekanan pada
dinding vena yang disebabkan oleh meningkatnya aliran darah pada vena. Wall shear stress
merupakan suatu tekanan gesekan yang dihasilkan oleh darah terhadap dinding pembuluh darah
yang searah dengan aliran. Kemudian, akan terjadi perubahan struktur sel dan ekstrasel pada
pembuluh darah
Komplikasi juga dapat terjadi pada operasi AV shunt, seperti gagal pirau, stenosis pada kaki
vena proksimal (48%), thrombosis (9%), aneurisma (7%), gagal jantung karena pirau terlalu
besar (lebih besar dari 20% cardiac output), arterial steal syndrome dan iskemia distal (1,6%),
hipertensi vena distal dari shunt pembengkakan, hiperpigmentasi, indurasi kulit dan terkadang
terjadi ulserasi

Anda mungkin juga menyukai