Anda di halaman 1dari 20

REFERENSI ARTIKEL

PENEGAKAN DIAGNOSIS PADA EDEMA TUNGKAI

Oleh :
Adin Nurhuda G992008001
Naqiyya Syahidah Azman G992102100

Periode : 15 November 2021 – 9 Januari 2022


Pembimbing :
dr. Nurhasan Agung Prabowo, Sp.PD, M.Kes, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS

KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan Klinik


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RS UNS
Referensi artikel dengan judul:

PENEGAKAN DIAGNOSIS PADA EDEMA TUNGKAI

Hari, Tanggal: Selasa, 30 November 2021

Disusun oleh:
Adin Nurhuda G992008001
Naqiyya Syahidah Azman G992102100

Mengetahui dan menyetujui


Staff Pembimbing

dr. Nurhasan Agung P, Sp.PD, M.Kes, FINASIM


BAB I

PENDAHULUAN

Edema adalah kondisi akumulasi cairan berlebih pada jaringan interstisial.


Edema dapat terjadi pada beberapa bagian tubuh, bahkan hingga hampir seluruh
tubuh. Salah satu bagian tubuh yang sering muncul edema adalah tungkai. Edema
dapat muncul sebagai respon terhadap pengobatan, kehamilan, ataupun adanya
kondisi patologis yang mendasari, seperti gagal jantung kongestif, penyakit ginjal,
sindroma nefrotik, penyakit hati, malnutrisi/malabsorpsi, dsb.
Dalam memikirkan diagnosis diferensial edema, hal pertama yang harus
diperhatikan adalah lokalisasi, apakah edema bersifat terlokalisasi atau anasarka
(bilateral). Selain itu, penting juga untuk mencari tahu apakah edema bersifat akut
atau kronik, serta apakah edema dipengaruhi oleh posisi. Edema dapat juga timbul
sebagai efek samping dari beberapa obat.
Dalam menatalaksana edema, perlu dilakukan pendekatan klinis yang
komprehensif dari anamnesis dan pemeriksaan fisik secara sistematis dilengkapi
dengan pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Etiologi yang mendasari proses
terbentuknya edema merupakan target utama dalam penatalaksanaan edema.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Edema adalah suatu keadaan penumpukan cairan di ruang interstisial
diakibatkan ketidakseimbangan pengaturan cairan intraseluler dan
ekstraseluler. Hal ini dapat disebabkan oleh meningkatnya tekanan hidrostatik
kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler dan menurunnya tekanan onkotik
plasma ( Effendi & Pasaribu, 2014).
Sekresi hormon vasopresin, input air, dan transport cairan pada ginjaldapat
mempengaruhi keseimbangan cairan sehingga fungsi pengaturan hemoestasis
cairan ini sebagian besar diperankan oleh organ ginjal. Akumulasi cairan dapat
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan volume
plasma, penurunan tekanan onkotik plasma (hipoalbuminemia), peningkatan
permeabilitas kapiler, atau obstruksi limfatik ( Effendi & Pasaribu, 2014;
Braunwald & Loscalzo, 2012).
Berdasarkan lokasinya, edema bisa dibedakan menjadi edema lokal dan
edema generalisata. Sedangkan berdasarkan karakteristiknya, edema dibedakan
menjadi edema pitting dan non-pitting. Edema dapat terjadi pada beberapa
bagian tubuh, bahkan hingga hampir seluruh tubuh. Salah satu bagian tubuh
yang sering muncul edema adalah tungkai. Edema ini dapat muncul bilateral
ataupun unilateral (Braunwald & Loscalzo, 2012; Trayes, et al., 2013).

B. Epidemiologi
Penyebab paling umum dari edema tungkai pada pasien di atas usia 50 tahun
adalah insufisiensi vena dan terkait dengan penuaan, tetapi banyak kondisi
komorbiditas lain yang mendasari seperti gagal jantung, gagal ginjal, gagal hati,
dan trauma dapat mempengaruhi semua kelompok usia. Edema tungkai juga
dapat diamati pada kehamilan.(Goyal, et al., 2021).
C. Etiologi
Penyebab edema perifer dapat dibagi tergantung pada mekanisme yang
mendasarinya seperti di bawah ini.
• Peningkatan Tekanan Hidrostatik Kapiler
o Hipertensi vena regional (sering unilateral) : trombosis vena dalam,
sindrom kompartemen, dan insufisiensi vena kronis
o Hipertensi vena sistemik (seringkali bilateral) : gagal jantung,
perikarditis, hipertensi pulmonal, dan gagal hati/sirosis
o Volume plasma meningkat : kehamilan, edema pramenstruasi, gagal
ginjal, gagal jantung, dan narkoba
• Menurunkan Tekanan Onkotik Plasma
o Kehilangan protein : sindrom nefrotik dan preeklamsia/eklampsia
o Sintesis protein berkurang : malnutrisi/malabsorpsi, gagal hati/sirosis,
dan kekurangan vitamin
• Peningkatan Permeabilitas Kapiler : luka bakar, gigitan serangga,
selulitis, dan reaksi alergi
• Obstruksi limfatik : filariasis, keganasan yang melibatkan kelenjar getah
bening yang menyebabkan obstruksi, dan pascaoperasi setelah
limfadenektomi/radiasi
• Yang lain : myxedema pada hipotiroidisme, lipedema, dan idiopatik
(Trayes, et al., 2013)

D. Patofisiologi
Dua langkah dasar yang terlibat dalam pembentukan edema adalah
perubahan hemodinamik kapiler yang mendukung kebocoran cairan dari
kompartemen vaskular ke interstitium dan retensi natrium dan air ginjal oleh
ginjal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron sebagai mekanisme
kompensasi. Setiap obstruksi vena sistemik atau lokal atau ekspansi volume
plasma menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik yang merupakan
predisposisi edema. Karena plasma tubuh normal hanya sekitar 3 liter, difusi
sejumlah besar air dan elektrolit ke dalam kompartemen interstisial memaksa
retensi natrium dan air ginjal untuk mempertahankan volume intravaskular dan
stabilitas hemodinamik (Trayes, et al., 2013).
Deplesi volume intravaskular efektif yang terjadi pada gagal jantung
kongestif,sirosis hati memulai kaskade neurohumoral untuk mempertahankan
volume sirkulasi yang efektif. Kaskade ini bekerja melalui vasokonstriksi
ginjal, mengurangi filtrasi glomerulus, meningkatkan reabsorpsi natrium secara
proksimal dimediasi oleh angiotensin II dan norepinefrin, dan meningkatkan
reabsorpsi natrium dan air di tubulus pengumpul yang dimediasi oleh aldosteron
dan hormon antidiuretik. Selain itu, faktor-faktor yang diturunkan dari endotel
seperti oksida nitrat dan prostaglandin lebih lanjut membatasi ekskresi natrium
dan air, oleh karena itu, menyebabkan edema.faktor-faktor yang diturunkan dari
endotelium seperti oksida nitrat dan prostaglandin lebih lanjut membatasi
ekskresi natrium dan air, oleh karena itu, meningkatkan edema. Faktor-faktor
yang diturunkan dari endotelium seperti oksida nitrat dan prostaglandin lebih
lanjut membatasi ekskresi natrium dan air, oleh karena itu, meningkatkan
edema (Trayes, et al., 2013).
Kontributor utama untuk mempertahankan tekanan onkotik intravaskular
adalah karena protein impermean, terutama albumin. Albumin penting untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma, dan kadar di bawah 2 g/dl plasma
sering menyebabkan edema. Hipoproteinemia dapat terjadi pada banyak
kondisi, termasuk sindrom nefrotik, defisiensi nutrisi yang parah, dan penyakit
hati yang parah di mana fungsi sintetik hati terganggu. Beberapa obat, seperti
penghambat saluran kalsium, terutama dihidropiridin, lebih terkenal,
menyebabkan edema perifer karena vasodilatasi arteriol yang lebih selektif.
Kondisi lain yang tidak umum adalah miksedema, limfedema, dan edema
idiopatik. Myxedema terjadi pada hipotiroidisme, menyebabkan edema lebih
sering lokal pada kelopak mata, wajah, dan tangan. Ada akumulasi
mukopolisakarida dan protein di interstitium karena peningkatan permeabilitas
kapiler diikuti oleh natrium dan air, tetapi patofisiologi yang tepat pada
miksedema tidak sepenuhnya dipahami. Limfedema disebabkan oleh gangguan
transportasi limfatik yang menyebabkan akumulasi cairan limfatik di
interstitium terutama di ekstremitas (Trayes, et al., 2013; Goyal, et al., 2021).

E. Anamnesis
Dalam memikirkan diagnosis diferensial edema, hal pertama yang harus
diperhatikan adalah lokalisasi, apakah edema bersifat terlokalisasi atau anasarka
(bilateral). Edema anasarka menandakan adanya pengaruh sistemik. Contoh
kondisi tersering yang bermanifestasi sebagai edema generalisata adalah gagal
jantung, hipoalbuminemia, gangguan hati, gangguan ginjal, anemia, dan
penggunaan obat tertentu. Jika edema hanya terjadi unilateral, maka
pertimbangkan etiologi lokal, misalnya angioedema, limfedema, deep vein
thrombosis (DVT), selulitis, dsb (Stern, et al., 2014).
Selain itu, penting juga untuk mencari tahu apakah edema bersifat akut (<
72 jam) atau kronik (≥ 72 jam), serta apakah edema dipengaruhi oleh posisi.
Edema unilateral akut lebih umum terjadi pada DVT dan selulitis. Edema
unilateral kronik menandakan adanya insufisiensi vena kronik atau obstruksi
akibat tumor atau trombus. Edema bilateral atau anasarka mengarahkan pada
etiologi sistemik, seperti gagal jantung (terutama jantung kanan atau kongestif),
hipertensi pulmoner, penyakit ginjal, penyakit hati, hipoalbuminemia (Trayes,
et al., 2013).
Gambar 1. Alur Pendekatan Klinis pada Edema Unilateral

Gambar 2. Alur Pendekatan Klinis pada Edema Bilateral


Selain itu, edema dapat timbul sebagai efek samping dari beberapa obat.
Mekanisme yang terlibat adalah retensi garam dan air, disertai peningkatan
tekanan hidrostatik kapiler. Saat anamnesis, juga perlu ditanyakan apakah ada
riwayat penyakit tiroid: Grave’s disease dapat mengakibatkan pretibial
myxedema, hipotioidisme dapat mengakibatkan myxedema generalisata
(Trayes, et al., 2013).

Gambar 3. Edema Akibat Penggunaan Obat-Obatan

F. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan penilaian airway, breathing dan
circulation secara cepat. Setelah pasien stabil, dilakukan pemeriksaan fisik
lengkap dari kepala hingga kaki. Pemeriksaan fisik harus menilai penyebab
edema, seperti gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit liver atau penyakit
tiroid. Pada edema juga harus dievaluasi untuk perubahan pitting dan kulit.
1. Keadaan Umum dan Tanda Vital
Pada pemeriksaan keadaan umum dan tanda vital, perlu dievaluasi :
a. Tekanan darah
b. Laju pernapasan
c. Laju nadi
d. Suhu
e. Saturasi oksigen
2. Leher
Distensi vena leher mungkin menandakan adanya gagal jantung kongestif
atau tamponade jantung. Ukuran tiroid juga dinilai, karena gagal jantung
dapat terjadi akibat hipertiroid. Adanya deviasi trakea juga dapat
menunjukkan kemungkinan kelainan anatomi atau pneumothorax.
Auskultasi untuk stridor pada saluran napas atas menunjukkan obstruksi
jalan napas.
3. Thorax (Paru dan Jantung)
a. Inspeksi
Pemeriksaan toraks dapat menunjukkan peningkatan diameter
anteroposterior, kesimetrisan dinding dada, peningkatan frekuensi
pernapasan, deformitas tulang belakang seperti kifosis atau skoliosis,
bukti trauma seperti jejas dan penggunaan otot bantu pernapasan.
Kifosis dan skoliosis dapat menyebabkan restriksi paru.
b. Palpasi
Palpasi dada dilakukan untuk menilai pengembangan dinding dada,
fremitus raba, mencari adanya nyeri tekan dan tanda – tanda emfisema
atau krepitasi subkutan.
c. Perkusi
Perkusi pada dinding dada untuk memastikan bunyi sonor pada seluruh
lapang paru dan bunyi redup pada jantung. Apabila terdengar bunyi
redup di lapang paru kemungkinan menunjukkan adanya akumulasi
cairan atau massa. Hipersonor pada perkusi dapat menunjukkan
kemungkinan pneumothorax
d. Auskultasi
Auskultasi dilakukan untuk mendengarkan suara paru dan suara
jantung. Normalnya pada paru akan terdengar suara dasar vesikuler.
Pada jantung akan terdengar bunyi jantung satu akibat dari penutupan
katup mitral dan bunyi jantung dua akibat dari penutupan katup aorta
dan pulmonal. Adanya suara napas tambahan seperti mengi dapat
dikaitkan dengan edema paru atau emboli paru. Apabila terdengar bunyi
jantung tambahan seperti S3 gallop menunjukkan overfilling jantung
terlihat pada disfungsi sistolik ventrikel kiri dan gagal jantung kongestif.
Gallop S4 menunjukkan dismotilitas dan disfungsi ventrikel kiri.
Murmur dapat mengindikasikan disfungsi katup. Bunyi jantung yang
berkurang dapat mengindikasikan tamponade jantung.
4. Abdomen
a. Inspeksi
Inspeksi dilakukan untuk menilai besar dan bentuk perut, keadaan
dinding perut (apakah terdapat ascites, stria, pelebaran pembuluh darah
vena). Dinilai juga apakah terdapat tanda jejas dan memar.
b. Auskultasi
Auskultasi dilakukan untuk mengevaluasi bising usus.
c. Perkusi
Memastikan terdengar timpani di seluruh lapang abdomen.
d. Palpasi
• Palpasi dapat dilakukan dengan satu tangan atau bimanual. Jika
hepar membesar biasanya teraba saat inspirasi, normalnya hepar
tidak teraba. Bila teraba sedikit kemungkinan terjadi hepatoptose,
pastikan dengan menentukan batas paru hepar.
• Palpasi lien dapat dilakukan dengan metode schuffner (membagi
garis penghubung titik dari arcus aorta kiri dengan umbilikus). Lien
dapat membesar pada kasus malaria, hipersplenisme, leukemia,
sirosis hepar, dan lain-lain.
• Ginjal terletak di retroperitoneal sehingga pemeriksaan harus secara
bimanual. Pemeriksaan fisik ginjal biasa disebut sebagai
pemeriksaan ballotement. Pemeriksaan ballotement dinyatakan
positif bila ginjal teraba oleh tangan yang berada di atas perut.
5. Ekstremitas
Edema ekstremitas bawah dikaitkan dengan gagal jantung kongestif, dan
pembengkakan ekstremitas menunjukkan kemungkinan trombosis vena
dalam yang dapat menyebabkan emboli paru. Clubbing finger serta sianosis
mengindikasikan adanya hipoksia kronis yang parah. Pitting merupakan
lekukan yang masih ada di daerah edema setelah tekanan diberikan. Hal ini
terjadi ketika cairan dalam ruang interstitial memiliki konsentrasi rendah
protein, yang berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik plasma dan
gangguan yang disebabkan oleh tekanan kapiler meningkat (misalnya,
DVT, CHF, kompresi vena iliaka) .

Gambar 1. Pitting Edema


Pemeriksaan ekstremitas bawah harus berfokus pada maleolus medial, bagian
tulang tibia, dan dorsum kaki. Pitting edema juga terjadi pada tahap awal dari
lymphedema karena masuknya cairan kaya protein ke dalam interstitium, sebelum
fibrosis dari jaringan subkutan. Oleh karena itu, kehadirannya tidak bisa
mengecualikan diagnosis lymphedema.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan darah perifer lengkap, laju endap darah, SGOT-SGPT,
ureum, kreatinin, elektrolit, glukosa darah dan analisis gas darah.
Pengukuran brain natriuretic peptide (untuk CHF), pengukuran kreatinin
dan ureum (untuk penyakit ginjal), SGOT-SGPT dan pengukuran albumin
(untuk penyakit hati). Pada pasien yang datang dengan onset akut
pembengkakan unilateral ekstremitas atas atau bawah, enzim-linked
immunosorbent assay d-dimer dapat menyingkirkan DVT pada pasien
berisiko rendah. Namun, tes ini memiliki kekhususan yang rendah, dan
konsentrasi d-dimer mungkin meningkat karena tidak adanya thrombosis.
2. Duplex Ultrasound (DUS)
Duplex ultrasound (DUS) adalah tes pencitraan awal dan seringkali
satu-satunya dilakukan pada pasien dengan pembengkakan tungkai bawah
tanpa penyebab yang jelas berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan
laboratorium, atau ketika rincian lebih lanjut diperlukan untuk membuat
keputusan terapeutik. Pemeriksaan non-invasif dan berbiaya rendah ini
dapat mengevaluasi ekstremitas untuk penyebab vaskular dan non-vaskular
dari pembengkakan akut dan kronis yang dapat melihat anatomi vena,
fungsi katup, dan patensi. Dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas >90%
untuk DVT, refluks vena, dan etiologi non-vaskular, pembengkakan dapat
dengan mudah dievaluasi dengan androbust (Malgor & Labropoulos, 2013).
3. Limfoskintigrafi
Aliran getah bening tidak dapat dideteksi dengan USG. Oleh karena
itu, secara tidak langsung limfoskintigrafi radionuklida, dapat menunjukkan
adanya sumbatan pada saluran limfatik, adalah metode pilihan untuk
mengevaluasi lymphedema ketika diagnosis tidak dapat dibuat secara klinis.
4. Magnetic Resonance Imaging
Pasien dengan unilateral edema ekstremitas bawah yang tidak
menunjukkan trombosis proksimal pada ultrasonografi dupleks mungkin
memerlukan pencitraan tambahan untuk mendiagnosa penyebab edema jika
kecurigaan klinis untuk DVT tetap tinggi. Magnetic resonance angiography
dengan venography dari tungkai bawah dan panggul dapat digunakan untuk
mengevaluasi secara intrinsik atau ekstrinsik panggul atau paha DVT.
Kompresi vena iliaka kiri oleh iliac arteri (sindrom Mei-Thurner) harus
dicurigai pada wanita antara 18 dan 30 tahun yang hadir dengan edema dari
ektermitas kiri bawah. Magnetic resonance imaging dapat membantu dalam
diagnosis etiologi muskuloskeletal, seperti air mata gastrocnemius atau
kista poplitea. T1-weighted magnetic resonance Lymphangiography dapat
digunakan untuk langsung memvisualisasikan saluran limfatik ketika curiga
lymphedema.
5. Brain Natriuretic Peptide (BNP)
Dalam keadaan darurat, sensitivitas BNP atau N-terminal (NT) pro-
BNP secara substansial lebih tinggi daripada spesifisitasnya, dan
penggunaannya paling besar dilakukan untuk evaluasi gagal jantung sebagai
penyebab edema tungkai pada pasien. Secara umum, gagal jantung tidak
mungkin terjadi pada nilai BNP <100 pg/mL dan sangat mungkin pada nilai
BNP >500 pg/mL.
6. Venografi dengan Ultrasound Intravaskular (IVUS)
Venografi dengan ultrasonografi intravaskular (IVUS) adalah
modalitas lain yang tersedia tidak hanya untuk penilaian tetapi juga untuk
memandu dan menetapkan hasil anatomi pengobatan endovaskular dari
etiologi vena abdomen/panggul dari edema ekstremitas bawah. Meskipun
ini adalah pendekatan invasif, lesi vena, stenosis, dan kompresi dapat dinilai
dengan sensitivitas >85%. Venografi dengan IVUS harus disediakan untuk
kasus-kasus sesekali di mana pencitraan DUS, CT, atau MR tidak
meyakinkan atau sebagai bagian dari prosedur dengan maksud untuk
mengobati obstruksi vena secara endovaskular (Saleem et al., 2020).

H. Diagnosis Banding
Langkah-langkah diagnostik harus disesuaikan dengan riwayat pasien,
pemeriksaan klinis, dan manfaat potensial dari intervensi yang memerlukan
pencitraan untuk menghindari pengujian yang berlebihan dan mengikuti
pendekatan yang hemat biaya. Evaluasi meliputi riwayat vena dan limfatik yang
lebih rinci dan DUS fisik serta vena pada ekstremitas bawah. Evaluasi sistem
vena termasuk pencitraan untuk refluks dan obstruksi. Ultrasonografi dupleks
menentukan diagnosis banding yang baik dan dapat mendeteksi penyebab lain
seperti kista popliteal, massa, hematoma, efusi, dll. Jika patologi vena
diidentifikasi, penentuan stadium penyakit vena kronis pasien harus dilakukan
dengan menggunakan klasifikasi CEAP (Gasparis et al, 2020).
Pasien dengan penyakit vena lanjut (insufisiensi vena kronis atau C3-C6)
dan pembengkakan biasanya memiliki penyakit gabungan vena dan limfatik.
Sekarang diterima bahwa lebih dari 90% reabsorpsi filtrat kapiler terjadi
melalui limfatik. Peningkatan filtrasi yang disebabkan oleh hipertensi vena
dapat memperberat kapasitas sistem limfatik dan menyebabkan pembengkakan.
Ketika ini terjadi untuk waktu yang lama, cedera ireversibel pada limfatik dapat
menyebabkan pembengkakan yang tidak akan hilang setelah koreksi patologi
vena, pembengkakan tersebut secara klinis digambarkan sebagai
phlebolymphedema (Mortimer & Rockson, 2014).

Gambar 2. Alur Diagnosis pada Edema Tungkai

Jika penyebab pembengkakan kemungkinan didasarkan pada vena, tetapi


jika penyakit vena tidak teridentifikasi oleh DUS ekstremitas bawah atau jika
temuan vena tidak sepenuhnya menjelaskan derajat pembengkakan, disarankan
pemeriksaan DUS vena pada vena panggul. Pemeriksaan ini juga disarankan
untuk edema unilateral atau bilateral onset lambat pada pasien yang lebih tua
yang tidak dapat dijelaskan untuk menyingkirkan massa retroperitoneal yang
menekan IVC atau vena iliaka di perut dan panggul (Gasparis et al, 2020)..
Obesitas secara fungsional dapat menyebabkan obstruksi vena iliaka dan
IV yang mengakibatkan edema dengan semua stigmata CVD tanpa penyakit
vena infra-inguinal yang teridentifikasi. Pencitraan vena normal pada
kebanyakan pasien dengan limfedema primer dan lipedema. Kedua patologi
sebagian besar didiagnosis berdasarkan riwayat dan fitur karakteristik pada
pemeriksaan fisik. Namun, penting untuk diketahui bahwa tidak semua pasien
memiliki temuan klasik ini. Pencitraan limfatik dapat membantu ketika
gambaran khas limfedema tidak ada atau ketika perawatan bedah sedang
dipertimbangkan pada pasien tanpa bukti penyakit vena yang signifikan. DUS
dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan limfedema dan lipedema
dengan mengecualikan penyakit vena yang signifikan dan menunjukkan
akumulasi cairan subkutan atau jaringan adiposa yang berlebihan (Szel et al.,
2014). Langkah-langkah diagnostik harus disesuaikan dengan riwayat pasien
dan pemeriksaan klinis untuk menghindari pemeriksaan yang berlebihan dan
mengikuti pendekatan yang hemat biaya. Di era di mana beberapa tes sering
dipesan tanpa riwayat yang tepat dan pemeriksaan klinis, sangat penting untuk
mengurangi biaya dan alokasi sumber daya yang tepat. Hal ini terutama berlaku
untuk pasien dengan edema kaki karena sangat umum ditemukan baik pada
stadium akut maupun kronis (Szel et al., 2014).

I. Tatalaksana
Penatalaksanaan edema harus dipandu oleh etiologi yang mendasari,
yang umumnya meliputi insufisiensi vena kronis, limfedema, DVT, dan edema
yang diinduksi obat.
1. Insufisiensi Vena Kronis
Pada pasien dengan insufisiensi vena kronis, terapi diuretik harus
dihindari kecuali dalam kondisi komorbiditas (misalnya CHF). Terapi
mekanis direkomendasikan termasuk elevasi kaki dan stoking kompresi
dengan 20 sampai 30 mmHg untuk edema ringan dan 30 sampai 40 mmHg
untuk edema berat dengan komplikasi ulserasi. Terapi kompresi
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit arteri perifer. Sehingga,
pengukuran ankle brachial index (ABI) harus dipertimbangkan pada pasien
dengan faktor risiko penyakit arteri perifer sebelum meresepkan terapi
kompresi (Braunwald et al., 2012).
2. Limfedema
Andalan pengobatan limfedema melibatkan fisioterapi dekongestif
kompleks, yang terdiri dari pijat limfatik manual dan perban multilayer.
Tujuan awalnya adalah untuk meningkatkan resorpsi cairan sampai respon
terapeutik maksimum tercapai. Fase pemeliharaan pengobatan termasuk
stoking kompresi pada 30 sampai 40 mmHg. Dalam sebuah penelitian
terhadap 155 pasien dengan limfedema terkait kanker dan non-kanker, 95%
pasien tercatat terjadi pengurangan edema tungkai setelah menggunakan
perangkat kompresi. Diuretik tidak memiliki peran dalam pengobatan
limfedema (Stanisic et al., 2012).
3. Deep Venous Thrombosis (DVT)
Kejadian trombotik akut diobati dengan terapi antikoagulasi
(heparin atau warfarin [Coumadin] yang tidak terfraksi atau berat molekul
rendah) untuk mencegah perkembangan bekuan darah atau perkembangan
sindrom pascatrombotik. Sindrom pascatrombotik ditandai dengan
pembengkakan kaki kronis, nyeri, kram, dan perubahan kulit termasuk
telangiektasis, yang terjadi pada 20% hingga 50% pasien dalam waktu lima
tahun setelah kejadian trombotik (Kathryn et al., 2013).
Selain antikoagulan, stoking kompresi harus digunakan setelah DVT
untuk mencegah sindrom pascatrombotik. Dalam review Cochrane dari dua
uji coba terkontrol secara acak membandingkan stoking kompresi elastis (20
sampai 30 mm Hg) dengan plasebo pada pasien dengan DVT, mereka yang
memakai stoking kompresi memiliki penurunan yang signifikan secara
statistik dalam risiko pengembangan sindrom pascatrombotik (rasio odds =
0,39; interval kepercayaan 95%, 0,20 hingga 0,76) setelah dua tahun
(Kathryn et al., 2013).
4. Edema yang Terinduksi Obat-Obatan
Pada pasien dengan dugaan edema yang diinduksi obat, obat
penyebab harus dihentikan jika memungkinkan. Pada pasien yang memakai
CCB untuk mengobati hipertensi, penggunaan ACE inhibitor mungkin lebih
bermanfaat daripada terapi ARB dalam mengurangi edema perifer yang
diinduksi oleh CCB (Kathryn et al., 2013).
5. Penyebab Lain
Tidak ada pengobatan untuk lipedema. Penurunan berat badan tidak
mempengaruhi kondisi ini. Sindrom nyeri regional kompleks diobati
dengan terapi fisik yang dikombinasikan dengan obat-obatan seperti steroid
sistemik dan antidepresan trisiklik. Apnea tidur obstruktif diobati dengan
ventilasi tekanan positif (Kathryn et al., 2013).

J. Prognosis
Prognosis dari edema tungkai sangat bervariasi tergantung pada etiologi
yang mendasari dan demografi pasien.
REFERENSI

Braunwald E, Loscalzo J. Edema. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th
ed. New York, NY: McGraw-Hill; 2011. http://www.
accessmedicine.com/content.aspx?aid=9097476. Accessed January 7, 2012.

Effendi, . I. & Pasaribu, R., 2014. Chapter 269 : Edema patofisiologi dan
penanganannya.. In: In Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6th ed.. Jakarta:
Interna Publishing, pp. 2059-64.

Goyal, A., Cusick, A. & Bansal, P., 2021. Peripheral Edema. [Online]
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554452/
[Accessed November 2021].

Malgor RD and Labropoulos N. Diagnosis of venousdisease with duplex


ultrasound. Phlebology 2013; 1:158–161.
Saleem T, Knight A and Raju S. Diagnostic yield ofintravascular ultrasound in
patients with clinical signsand symptoms of lower extremity venous disease.J
Vasc Surg Venous Lymphat Disord 2020; 8: 634–639.
Mortimer PS and Rockson SG. New developments inclinical aspects of lymphatic
disease. J Clin Invest 2014;124: 915–921.
Stanisic MG, Gabriel M, Pawlaczyk K. Intensive decongestive treatment restores
ability to work in patients with advanced forms of primary and secondary
lower extremity lymphoedema. Phlebology. 2012; 27(7):347-351.
Szel E, Kemeny L, Groma G, et al. Pathophysiologicaldilemmas of lipedema. Med
Hypotheses 2014; 83:599–606.

Stern, S., Cifu, A. & Altkorn, D., 2014. Symptom to diagnosis an evidence-based
guide. New York: McGraw-Hill Medica.
Trayes, K., Studdiford, J., Pickle, S. & Tully, A., 2013. Edema: diagnosis and
management. Am Fam Physician, 88(2), pp. 102-110.

Anda mungkin juga menyukai