Anda di halaman 1dari 18

JOURNAL READING

“Vulva cancer”

Oleh :

Lisa Raihan Lutfia

H1A 322002

Pembimbing :

dr. A. Fadhli Busthomi, M.Biomed., Sp.OG

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat

dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas Journal reading yang berjudul

“Vulva cancer”. Journal reading ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas

kepanitraan klinik di bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum

Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada

saya. Serta terima kasih kepada dr. A. Fadhli Busthomi, M.Biomed., Sp.OG selaku

dosen pembimbing yang telah memberikan masukan sehingga tugas ini dapat

diselesaikan.

Saya berharap tugas ini dapat berguna dalam meningkatkan pemahaman

mengenai “Cancer vulva”. Saya menyadari bahwa tugas ini masih belum sempurna.

Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki tugas ini.

Mataram, September 2022

Penulis
Daftar Is
i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................
Pendahuluan..............................................................................................................................................
Epidemiologi..............................................................................................................................................
Faktor risiko..............................................................................................................................................
Anatomi vulva............................................................................................................................................
Patofisiologi................................................................................................................................................
Gambaran klinis........................................................................................................................................
Histopatologi..............................................................................................................................................
Karsinoma Sel Skuamosa........................................................................................................................
Karsinoma Sel Basal................................................................................................................................
Karsinoma verrukosa...............................................................................................................................
Sarkoma...................................................................................................................................................
Kelenjar Bartholin dan Adenokarsinoma Lainnya...................................................................................
Staging........................................................................................................................................................
Terapi.......................................................................................................................................................
Terapi Operatif......................................................................................................................................
Radioterapi............................................................................................................................................
Kemoterapi............................................................................................................................................
Prognosis..................................................................................................................................................
Daftar Pustaka.........................................................................................................................................
Pendahuluan
Menurut Program Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER),
kanker vulva mewakili 0,3% dari semua kasus kanker baru setiap tahun dari 2,6 per
100.000 wanita per tahun di Amerika Serikat (Capria, Tahir and Fatehi, 2021).
Terdapat beberapa jenis histologis, yaitu karsinoma sel skuamosa (SCC) vulva yang
merupakan kategori yang paling umum (95%), diikuti oleh melanoma, sarkoma, dan
basalioma. Tingkat kelangsungan hidup dan waktu relapse berhubungan dengan pola
pertumbuhan histologis tertentu. Prognosis baik apabila kanker vulva didiagnosis
pada stadium awal. Pilihan pengobatan yang tepat untuk kanker vulva penting karena
dapat berpengaruh kuat terhadap seksualitas. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak
perubahan telah dibuat mengenai pengobatan kanker vulva : operasi yang lebih
konservatif, kurang radikal, dan lebih individual diikuti dengan peningkatan hasil
psikoseksual. Pencegahan rutin diikuti dengan deteksi dini dan pemeriksaan
histologis dari setiap lesi vulva yang mencurigakan membantu mendeteksi kanker
vulva pada tahap awal dan mengurangi morbiditas dan mortalitas (Alkatout et al.,
2015).

Epidemiologi
Kanker vulva dapat dibedakan menjadi dua: jenis pertama melibatkan infeksi
human papillomavirus (HPV) yang menyebabkan vulva intraepithelial neoplasia
(VIN), faktor predisposisi kanker vulva. Studi awal menganalisis sampel jaringan dari
48 pasien dengan kanker vulva. DNA HPV diidentifikasi dengan polymerase chain
reaction (PCR) pada 48% kasus yang dieksplorasi, di mana 96% berasal dari subtipe
16 dan 18. Diperkirakan 80% wanita yang tidak diobati menderita VIN III
mengembangkan kanker vulva invasif. kanker vulva yang disebutkan di atas sering
terjadi pada pasien yang lebih muda (35-65 tahun), dan tinjauan baru-baru ini
menunjukkan bahwa sekitar 15% dari semua kanker vulva berkembang pada wanita
di bawah usia 40. Faktor predisposisi lain, misalnya kondiloma atau penyakit menular
seksual (PMS) di masa lalu, status ekonomi rendah, atau penyalahgunaan nikotin.

Jenis kedua kanker vulva termasuk vulvar non-neoplastic epithelial disorders


(VNED) dan usia lanjut yang menyebabkan atypia seluler dan akhirnya menjadi
kanker. Pasien usia lanjut (55-85 tahun), khususnya, menunjukkan tingkat infeksi
HPV yang rendah dan akibatnya jarang berhubungan dengan neoplasia serviks.
Diabetes mellitus, hipertensi, dan obesitas tampaknya berkorelasi dengan kejadian
kanker vulva, tetapi tampaknya tidak bertanggung jawab. Lichen sclerosus,
subkelompok VNED, masih diperdebatkan sebagai faktor risiko predisposisi dalam
perkembangan kanker vulva yang negatif HPV. Karena pruritus parah yang
disebabkan oleh jamur, "siklus gatal-garuk" menyebabkan hiperplasia sel skuamosa
dan seiring waktu berkembang menjadi atipia, diikuti oleh VIN dan akhirnya kanker
invasive (Alkatout et al., 2015).

Faktor risiko
Faktor risiko yang dapat mengembangkan terjadinya kanker vulva termasuk
peningkatan usia, infeksi Human papillomavirus (HPV), merokok, kondisi inflamasi
dari vulva, imunodefisiensi, (Capria, Tahir and Fatehi, 2021).

Anatomi vulva
Vulva terdiri dari genitalia eksterna wanita, yang meliputi labia mayora dan
minora, klitoris, vestibulum, introitus vagina, dan meatus uretra. Vulva berfungsi
untuk mengarahkan aliran urin, mencegah benda asing masuk ke saluran urogenital,
serta sebagai organ sensorik untuk gairah seksual. Arteri pudenda interna dan, pada
tingkat lebih rendah, arteri pudenda eksterna bertanggung jawab atas suplai darah.
Saraf ilioinguinal dan genitofemoral mempersarafi bagian anterior vulva, sedangkan
bagian posterior dipersarafi oleh cabang perineum saraf kutaneus posterior. Sebagian
besar vulva dialiri oleh limfatik yang berjalan secara lateral ke kelenjar getah bening
inguinalis superfisial. Klitoris dan labia minora anterior juga dapat mengalir langsung
ke kelenjar getah bening inguinalis dalam atau iliaka internal (Alkatout et al., 2015).

Patofisiologi
SCC vulva mewakili 90% dari semua kanker vulva dan biasanya berkembang
melalui salah satu dari dua jalur yang berbeda. 30-40% kasus kanker vulva terkait
dengan high risk Human papillomavirus (HR-HPV) untuk perkembangan kanker.
HPV diketahui memiliki onkoprotein E6 dan E7, yang masing-masing menonaktifkan
protein penekan tumor p53 dan RB (Gambar 2). Hilangnya gen supresor tumor ini
menyebabkan hiperproliferasi yang tidak terkontrol. Jalur lain melibatkan perubahan
inflamasi yang menghasilkan sel dengan status p53 utuh tetapi hilangnya inhibitor
kinase tergantung cyclin 2A (p16), juga mengakibatkan proliferasi siklus sel yang
tidak tekontrol dan akhirnya menjadi kanker (Capria, Tahir and Fatehi, 2021).
Gambar 2. Patofisiologi kanker vulva

Gambaran klinis
Gejala kanker vulva yang paling umum dijelaskan adalah riwayat pruritus
yang lama. Gejala yang lebih jarang dilaporkan termasuk perdarahan vulva, disuria,
discharge, dan nyeri. Manifestasi yang paling jelas dari kanker vulva adalah benjolan
atau massa vulva, yang dapat menyebabkan ulserasi, leukoplakik, berdaging, atau
berkutil (Alkatout et al., 2015).

Sekitar 25% melanoma vulva adalah amelanotik, membuat diagnosis sulit


pada banyak pasien. Penyakit Paget vulva dapat memiliki presentasi yang sangat
tidak spesifik, yang sering menyebabkan diagnosis tertunda selama rata-rata dua
tahun, biasanya setelah steroid topikal atau antijamur gagal. Demikian pula,
karsinoma kelenjar Bartholin muncul secara nonspesifik sebagai tumor yang terlihat
tanpa rasa sakit dan sering salah didiagnosis dan ditangani secara tidak tepat sebagai
abses atau kista sebelum diagnosis definitive (Capria, Tahir and Fatehi, 2021).
Gambar 3. Temuan klinis massa yang berasal dari vulva

Histopatologi
Squamous Cell Carcinoma (SCC)
Squamous Cell Carcinoma adalah subtipe histologis yang paling umum dari
kanker vulva. Lesi prekursor untuk SCC adalah vulvar intraepithelial neoplasia
(VIN) dan dapat dibagi menjadi dua kategori: HPV dependen tipe biasa (uVIN) dan
HPV independen tipe diferensiasi (dVIN). Terminologi terpadu untuk semua lesi
skuamosa terkait HPV dan merekomendasikan penggunaan Low-Grade Squamous
Intraepithelial Lesion (LSIL) dan High-Grade Squamous Intraepithelial Lesion
(HSIL). Pada tahun 2014 klasifikasi tumor WHO membagi lesi intraepitel skuamosa
vulva sebagai LSIL, HSIL, dan dVIN. Pada tahun 2015, Internationl Society study of
vulvovaginal disease (ISSVD) menerima dan menyetujui klasifikasi terminologi
serupa.

 uVIN: (LSIL, HSIL). tipe biasa yang bergantung pada HPV yang biasanya
mempengaruhi pasien yang lebih muda dan cenderung tidak berkembang menjadi
SCC. Ada hubungan yang kuat subtipe ini dan riwayat merokok, dan lebih sering
terlihat pada SCC basaloid atau berkutil. Subtipe ini biasanya p16 positif dan p53
negatif pada imunohistokimia, sedangkan dVIN biasanya p16 negatif dan p53 positif.
VIN tipe biasa akan berkembang menjadi SCC invasif hanya pada 5% kasus tetapi
bertanggung jawab atas 40% dari semua SCC vulva.
 dVIN: Tipe terdiferensiasi yang tidak bergantung pada HPV biasanya berkembang
menjadi SCC yang terkeratinisasi. Subtipe ini sebagian besar muncul dari penyakit
kulit kronis, dengan lichen sclerosis dan lichen planus yang paling umum. Hal ini
ditandai dengan atipia seluler dari lapisan basal epitel vulva. dVIN hanya 5% dari lesi
vulva prainvasif tetapi memiliki tingkat transformasi ganas yang lebih tinggi daripada
uVIN dan diidentifikasi sebagai prekursor pada sekitar 35% SCC vulva. Pasien
dengan lichen sclerosus memerlukan pemantauan seumur hidup karena risiko
akhirnya mengembangkan SCC vulva, meningkatkan durasi penyakit (1% pada 2
tahun dengan lichen sclerosus, dan 37% pada 25 tahun dengan penyakit).

SCC vulva dapat dikategorikan menjadi tiga subtipe histologis: kutil, basaloid, dan
keratinisasi. Subtipe kutil dan basaloid sebagian besar ditemukan pada pasien berusia
40 hingga 44 tahun dan berhubungan dengan HPV. Subtipe keratinisasi dikaitkan
dengan pasien yang lebih tua dan tidak tergantung pada HPV. Jenis ini menyumbang
60-80% dari semua subtipe SCC. Ini dapat terjadi di mana saja di vulva tetapi paling
sering ditemukan di labia mayora dan perineum.

Basal Cell Carcinoma (BCC)


Basal cell carcinoma adalah keganasan vulva yang relatif jarang. Sekitar 2% BCC
mempengaruhi vulva, dan BCC vulva didiagnosis hanya pada 8% dari semua
keganasan vulva. Diagnosis BCC vulva biasanya dibuat pada dekade ketujuh atau
kedelapan, paling sering dengan lesi labia mayora dan pruritis vulva. Kebanyakan
BCC adalah dari subtipe nodular, dengan subtipe superfisial menjadi yang paling
umum kedua. Diagnosis dermoskopi BCC mengungkapkan pembuluh arborizing,
telangiectasias, globul biru, dan struktur putih mengkilap. Studi pencitraan hanya
diperlukan untuk penyakit lokal yang luas yang mencurigakan untuk kerusakan dan
invasi struktural yang mendasarinya.
Verrucous carcinoma
Etiologi verrucous carcinoma (VC) vulva tidak diketahui, dan tidak ada lesi
prekursor penyakit ini yang telah dijelaskan. Namun, hubungan dengan lichen
simpleks kronikus dan lichen sclerosus telah dilaporkan. Secara histologis, VC adalah
tumor yang berdiferensiasi baik dengan proliferasi epitel akantotik yang nyata dan
atypia nukleus yang minimal. Tumor berkembang dengan memanjangnya rete ridges
yang menjadi ciri khas dari jenis lesi ini. Berbeda dengan SCC, VC tidak memiliki
overekspresi p53. lesi ini biasanya berkutil dan bisa menjadi cukup besar tanpa risiko
metastasis. Penanganan yang direkomendasikan adalah eksisi lokal.

Sarkoma
Sarkoma vulva yang paling umum adalah leiomyosarcoma (LMS), diikuti oleh
dermatofibrosarcoma protuberans (DFSP), sarkoma epiteloid, fibrohistiocytomas
ganas, dan sarkoma sinovial. Sarkoma sinovial dibagi lagi menjadi tipe histologis
monofasik, bifasik, dan tidak berdiferensiasi. Monophasic hanya berisi sel spindel,
tipe biphasic mengandung kedua jenis sel epitel dan spindel, sedangkan karakteristik
keduanya tidak berdiferensiasi. Sarkoma vulva adalah tumor yang tumbuh lambat
paling sering pada klitoris dan labia minora, memiliki usia yang lebih muda saat
diagnosis (usia rata-rata 41 tahun), dan invasi kelenjar getah bening yang jarang. Usia
rata-rata DFSP saat diagnosis adalah 45 tahun dan terkait dengan translokasi yang
menyebabkan disinhibisi tirosin kinase. Ini bisa saja karena penggunaan inhibitor
tirosin kinase dalam pengelolaan subtipe sarkoma vulva ini. Sarkoma epiteloid vulva
didiagnosis pada usia rata-rata termuda (31 tahun) dan cenderung menunjukkan
kelangsungan hidup terendah dari semua kanker vulva.

Kelenjar Bartholin dan Adenokarsinoma Lainnya


Kanker utama kelenjar Bartholin sangat jarang dan muncul dari kelenjar atau saluran
reproduksi. Presentasi biasanya pertumbuhan massa tanpa rasa sakit di labia mayora
selama 5 sampai 6 dekade. Kanker kelenjar Bartholin paling sering menunjukkan
subtipe histologis SCC atau adenokarsinoma (Capria, Tahir and Fatehi, 2021).
Staging
Staging kanker vulva menggunakan klasifikasi dari Federasi Internasional
Ginekologi dan Obstetri (FIGO) dan dilakukan melalui pembedahan. Terapi dan
Prognosis berhubungan dengan stadium pembedahan (Capria, Tahir and Fatehi,
2021).

Stadium I Tumor terbatas pada vulva atau perineum, tidak ada metastasis nodal.

IA: Tumor 2 cm dengan invasi stroma 1 mm

IB: Tumor >2 cm atau invasi stroma >1 mm

Stadium II Tumor dengan berbagai ukuran dengan perluasan ke struktur perineum


yang berdekatan (uretra bawah, vagina bagian bawah, anus), tidak ada metastasis
nodal

Stadium III Tumor dengan berbagai ukuran dengan atau tanpa perluasan ke struktur
perineum yang berdekatan (uretra bawah, vagina bagian bawah, anus), dengan
metastasis inguinofemoral nodus

IIIA: 1 metastasis kgb (≥5 mm) atau 1 hingga 2 metastasis kgb (<5 mm)

IIIB: 2 kgb metastasis (≥5 mm) atau 3 kgb metastasis (<5 mm

IIIC: metastasis kgb dengan penyebaran ekstra-kapsular

Stadium IV Tumor menginvasi struktur regional atau distal lainnya.

IVA: Tumor menginvasi salah satu dari berikut: uretra bagian atas dan/atau mukosa
vagina, mukosa kandung kemih, mukosa rektal, atau terfiksasi pada tulang panggul,
atau nodus inguinofemoral yang terfiksasi atau mengalami ulserasi

IVB: Setiap metastasis jauh, termasuk kelenjar panggul


Terapi
Terapi Operatif
Standar emas untuk karsinoma vulva invasif kecil sekalipun adalah
vulvektomi radikal dengan pengangkatan tumor primer dengan margin lebar diikuti
dengan reseksi en bloc dari inguinal dan, seringkali, kelenjar getah bening panggul.
Operasi ini menunjukkan tingkat morbiditas yang tinggi dengan sekitar 50% dari
infeksi luka dan komplikasi pasca operasi. Sifat operasi yang luas dan distorsi yang
tak terelakkan dari penampilan daerah perineum dapat menyebabkan masalah besar
bagi pasien mengenai hubungan, fungsi seksual, dan, akibatnya, citra tubuh dan
kepercayaan diri. Oleh karena itu, di sebagian besar, reseksi en bloc tradisional telah
digantikan. Selain sayatan berbentuk diseksi vulvektomi, dua sayatan terpisah di
daerah selangkangan dibuat untuk linfoadenectomi (LNE) inguinalis. Prosedur ini
menunjukkan tingkat penyembuhan yang lebih tinggi (Alkatout et al., 2015).

Untuk SCC dengan kedalaman invasi 1mm, eksisi lokal luas tanpa
limfadenektomi cukup dengan margin bedah yang direkomendasikan 1 hingga 2 cm.
Jika kedalaman tumor lebih besar dari 1mm atau diameter tumor melebihi 2 cm,
reseksi radikal dengan margin meluas ke fasia perineum dan penilaian kelenjar getah
bening inguinal harus dilakukan. Perawatan yang lebih agresif ini direkomendasikan
karena risiko metastasis kelenjar getah bening dan peningkatan risiko kematian untuk
kekambuhan selangkangan. Untuk karsinoma verukosa, eksisi lokal biasanya cukup;
namun, penyakit lanjut mungkin memerlukan reseksi radikal. Margin bebas tumor
mengurangi risiko kekambuhan.

Demikian pula, eksisi lokal yang luas dengan margin bebas tumor juga
direkomendasikan untuk melanoma vulva seperti pada melanoma kulit karena
pembedahan radikal untuk mengobati melanoma vulva tidak meningkatkan
kelangsungan hidup dan dikaitkan dengan peningkatan morbiditas. Pada sarkoma
vulva, pengobatan standar adalah eksisi lokal radikal, dengan eksisi margin yang
tidak memadai menjadi prediktor terpenting kekambuhan.

Keputusan untuk melakukan limfadenektomi staging harus dipertimbangkan


secara hati-hati berdasarkan risiko penyakit dan morbiditas yang tak terlihat. Sekitar
14 hingga 48% pasien kanker vulva mengalami limfedema yang signifikan secara
klinis setelah diseksi selangkangan. Evaluasi kelenjar getah bening harus dilakukan
untuk kanker vulva dengan DOI >1mm. Faktor-faktor yang terkait dengan potensi
risiko limfedema termasuk durasi tindak lanjut, prosedur bedah yang digunakan,
stadium kanker, adanya infeksi luka, peningkatan BMI, dan radiasi adjuvant atau
kemoterapi. Jenis penilaian kelenjar getah bening juga berdampak pada morbiditas,
dengan mereka yang menjalani limfadenektomi lengkap memiliki risiko limfedema
lima kali lebih tinggi daripada mereka yang menjalani biopsi kelenjar getah bening
sentinel (SNL). Konsep SLN telah terbukti aman dan layak untuk kanker tertentu
seperti kanker payudara, melanoma, dan beberapa kanker ginekologi, termasuk
kanker vulva. Studi pemetaan SLN pada kanker vulva stadium awal telah terbukti
aman dengan tingkat deteksi tinggi dan sensitivitas tinggi bila dilakukan oleh ahli
bedah berpengalaman dan direkomendasikan untuk melanoma vulva yang baru
didiagnosis.

Untuk BCC vulva, biopsi kelenjar getah bening umumnya tidak diperlukan.
Pada pasien dengan melanoma, biopsi SLN direkomendasikan pada reseksi bedah
tumor primer. Penilaian kelenjar getah bening bilateral versus unilateral mengikuti
kriteria SCC. Pada pasien dengan karsinoma verukosa, lesi bersifat invasif lokal,
dengan tumor berukuran hingga 15 cm dengan sedikit atau tanpa risiko metastasis
kelenjar getah bening. Namun, karena kemungkinan koeksistensi SCC dengan VC
dan perbedaan pengobatan yang cukup besar, biopsi yang cukup besar dan dalam
harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit penyerta. Setelah menyingkirkan
SCC, diseksi kelenjar getah bening rutin harus dihindari untuk karsinoma verukosa.
Untuk sarkoma vulva, diseksi kelenjar getah bening dilakukan untuk kasus di mana
kelenjar getah bening secara klinis positif. Rekomendasi pengobatan untuk karsinoma
kelenjar Bartholin mirip dengan SCC vulva.

Radioterapi
Radiasi direkomendasikan untuk kanker vulva sebagai terapi tambahan untuk
penyakit metastasis yang dikonfirmasi secara histologis dan sebagai terapi utama
untuk penyakit lanjut lokal yang diikuti dengan reseksi radikal dari sisa tumor. Bila
biopsi SLN positif, dapat diterima untuk mempertimbangkan radiasi adjuvant dengan
atau tanpa kemoterapi atau untuk melakukan limfadenektomi inguinal total dan terapi
adjuvant hanya jika fitur-fitur berisiko tinggi diidentifikasi; seperti margin reseksi
positif atau tertutup, penyakit multifokal, beberapa kgb yang terlibat, atau ekstensi
ekstrakapsular. Pendekatan terakhir direkomendasikan terutama jika terdapat 2 nodus
positif atau 1 nodus positif dengan metastasis >2 mm. Pada metastasis jauh,
pengobatan paliatif, terutama difokuskan pada peningkatan kualitas hidup. Dalam
kasus ini, kemoradiasi dapat digunakan untuk menghilangkan gejala di lokasi tumor
primer dan panggul. Untuk melanoma vulva, radioterapi memiliki manfaat yang
terbatas, dan penggunaan radioterapi neoadjuvant belum dijelaskan.
Kemoterapi
Kemoterapi untuk karsinoma vulva bersifat paliatif dan seringkali tidak
efektif; namun, rejimen kemoterapi yang paling sering digunakan adalah berbasis
platinum, artinya terdiri dari cisplatin, diberikan sendiri atau dalam kombinasi dengan
agen lain, seperti 5-Fluouracil, paclitaxel , vinorelbine, atau mitomycin C. Karena
sejumlah kecil kasus yang diperlukan untuk kemoterapi, belum ada pengobatan
standar. Tingkat respons aktual terhadap kemoterapi ini rendah. Oleh karena itu,
penting untuk fokus pada agen biologis baru, seperti gefitinib dan erlotinib, yang
tampaknya memiliki hasil yang baik: gefitinib (Iressa) dan erlotinib (Tarceva) adalah
inhibitor tirosin kinase oral. Enzim-enzim ini terkait dengan Reseptor Faktor
Pertumbuhan Epidermal manusia (EGFR). Dengan menghambat tirosin kinase,
gefitinib dan erlotinib mencegah EGFR merangsang pertumbuhan sel yang tidak
terkendali yang berkontribusi pada pertumbuhan tumor. Gefitinib dikombinasikan
dengan trastuzumab telah diselidiki dalam garis sel karsinoma vulva manusia (A431)
dan tampaknya meningkatkan radiosensitivitas.

Prognosis
Prognosis pasien dengan kanker vulva cukup baik bila pengobatan diberikan
pada waktu yang tepat. Keterlibatan kelenjar getah bening inguinal dan / atau
femoralis adalah faktor prognostik yang paling signifikan untuk kelangsungan hidup
pada pasien dengan kanker vulva. Pertumbuhan ekstrakapsular dari metastasis
kelenjar getah bening, dua atau lebih kelenjar getah bening yang terkena, dan lebih
dari 50% penggantian kelenjar getah bening oleh tumor adalah prediktor
kelangsungan hidup yang buruk. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun secara
keseluruhan berkisar dari 70% hingga 93% untuk pasien dengan kelenjar getah
bening negatif dan dari 25% hingga 41% untuk mereka yang memiliki kelenjar getah
bening positif. Faktor prognostik lainnya termasuk stadium, invasi ruang limfatik
kapiler, dan usia yang lebih tua. Lesi berulang di kelenjar getah bening, serta di
tempat yang jauh, tidak dapat dioperasi atau radioterapi, dan tingkat kelangsungan
hidup 5 tahun umumnya kurang dari 5%.
Daftar Pustaka
Alkatout, I., Schubert, M., Garbrecht, N., Weigel, M.T., Jonat, W., Mundhenke, C.
and Günther, V., 2015. Vulvar cancer: epidemiology, clinical presentation, and
management options. International journal of women's health, 7, p.305.

Capria, A., Tahir, N. and Fatehi, M., 2021. Vulva Cancer.

Zimmermmann, J.B., de Morais, B.C.F., de Paula, A.J.F., Costa, A.L.M., Dias, B.A.,
Bonfim, B.R., Resende, B.T., Ferreira, A.C.V., Marangoni, M.C., Paiva, A.R. and da
Fonseca, L.M.A., 2019. VULVAR TUMOR-CASE REPORT AND LITERATURE
REVIEW. Asploro Journal of Biomedical and Clinical Case Reports, 2019(2), p.69.

Anda mungkin juga menyukai