Anda di halaman 1dari 25

TUGAS INDIVIDU

Mata Kuliah Sistem Kardiovaskuler


Makalah Percutaneous Corronary Intervention
(PCI)
Di Susun Oleh :
MARIANI SELA MELSANIA UNTHAILAWAL
NIM ST162037
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab nomor satu kematian di dunia,
diikuti oleh kanker dan stroke. Setiap tahunnya di seluruh dunia 3,8 juta pria
dan 3,4 juta wanita meninggal disebabkan oleh penyakit jantung koroner
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab satu dari setiap lima kematian di
Amerika Serikat. Diperkirakan setiap 25 detik, seseorang di Amerika Serikat
mengalami serangan jantung, dan diperkirakan juga setiap satu menit, seseorang
meninggal karena serangan jantung. Penatalaksanaan secara medis dari penyakit
jantung koroner ditujukan untuk stabilisasi plak dan mencegah perkembangannya,
begitu juga untuk mencegah rupturnya plak serta sekuel berikutnya. Di pihak lain
revaskularisasi baik dengan bedah pintas koroner (coronary artery bypass graft)
ataupun percutaneous coronary intervention (PCI) bertujuan untuk
mengembalikan aliran darah koroner yang efektif, sehingga mengatasi iskemik
miokardial serta gejalagejala yang terjadi.
Diperkenalkannya percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA) oleh
Andreas Gruntzig pada tahun 1977 membuat terapi berbasiskan kateter ini
menjadi sebuah alternatif terhadap operasi bedah pintas (bypass surgery) dalam
usaha untuk revaskularisasi koroner pada pasien tertentu. Dikarenakan
keterbatasan peralatan pada era-era awal maka PTCA hanya dapat diaplikasikan
pada termasuk atherectomy (pemotong plak), stent, dan drug-eluting stent saat ini
telah diperkenalkan, dengan tingkat kesuksesan, keamanan dan ketahanan jangka
panjang yang lebih baik, dimana istilah PTCA kini berubah menjadi percutaneous
coronary intervention (PCI) (Baim, 2008). Saat ini lebih dari 500.000 prosedur
PCI dilakukan setiap tahunnya di Amerika Serikat, dan telah diperkirakan bahwa
lebih dari 1.000.000 prosedur dilakukan setiap tahunnya di seluruh dunia
Di Indonesia sendiri tindakan PCI atau lebih sering dikenal dengan istilah
Intervensi Koroner Perkutan (IKP) , pada awalnya hanya dilakukan di Jakarta dan
Surabaya. Tindakan intervensi koroner di Indonesia mulai diperkenalkan tahun
1987, dan sejak lima tahun terakhir ini mulai berkembang di daerah-daerah seperti
Medan, Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Makasar. Perkembangan IKP di
Medan dimulai secara intensif sejak tahun
2002. Tindakan ini dikerjakan di RSUP H. Adam Malik dan RS Gleneagles
Medan. Sejak tiga tahun terakhir tindakan IKP ini telah dapat dilakukan sendiri
oleh sebagian besar staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK
USU Medan. Dari waktu ke waktu jumlah pasien yang dilakukan tindakan ini
semakin meningkat drastis terutama sejak digalakkan program Askes dan
Askeskin. Dimana pada tahun 2002 terdapat sebanyak 120 orang yang
diangiografi serta 23 orang yang dilakukan IKP, dan pada tahun 2004 terdapat
370 orang yang diangiografi dan 95 orang yang dilakukan IKP
B. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian Intervensi Koroner Perkutan (IKP)

2. Untuk mengetahui faktor resiko Intervensi Koroner Perkutan (IKP)

3. Untuk mengetahui indikasi dilakukannya Intervensi Koroner Perkutan (IKP)

4. Untuk mengetahui lokasi penyempitan

5. Untuk mengetahui derajat penyempitan

6. Untuk mengetahui prosedur dilakukannya Intervensi Koroner Perkutan (IKP)

7. Untuk mengetahui komplikasi Intervensi Koroner Perkutan (IKP)


BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian

Intervensi Koroner Perkutan (IKP) adalah suatu teknik untuk menghilangkan


trombus dan melebarkan pembuluh darah koroner yang menyempit dengan
memakai kateter balon dan seringkali dilakukan pemasangan stent. Tindakan ini
dapat menghilangkan penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat
menjadi normal kembali, sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari
Prosedur intervensi koroner diukur dari keberhasilan dan komplikasi yang
dihubungkan dengan mekanisme alat-alat yang digunakan dan juga
memperhatikan klinis dan faktor anatomi pasien
B. Faktor Resiko

Penyempitan pembuluh darah dapat terjadi karena beberapa penyebab.


Penyempitan ini bias dipicu oleh adanya atheroma. Atheroma merupakan plak
ateromatosa yang terdiri atas lesi fokal yang meninggi yang berawal di dalam
intima, memiliki inti lemak ( terutama kolesterol dan ester kolesterol) yang lunak,
kuning dan grumosa serta dilapisi oleh selaput fibrosa putih yang padat. Ukuran
plak bervariasi dari garis tengah 0,3 sampai 1,5 cm, tetapi kadang-kadang
menyatu membentuk massa sebagian lingkaran dinding arteri dan membentuk
bercak-bercak yang tersebar di sepanjang pembuluh. Lesi aterosklerotik awalnya
bersifat fokal dan tersebar jarang, namun seiring dengan perkembangan penyakit
lesi bertambah banyak dan difus
Aterosklerosis terutama mengenai arteri elastik. Di arteri kecil, atheroma dapat
menyumbat lumen, mengganggu aliran darah ke organ distal dan menyebabkan
jejas iskemik. Selain plak aterosklerotik dapat menyebabkan jejas iskemik. Selain
itu, plak aterosklerosis dapat mengalami kerusakan dan memicu terbentuknya
thrombus yang semakin menghambat aliran. Di arteri besar, plak bersifat
destruktif, menggerogoti tunika media di dekatnya dan memperlemah dinidng
pembuluh yang terkena menyebabkan aneurisma yang dapat pecah. Selain itu
atheroma luas bersifat rapuh, sering menghasilkan embolus ke sirkulasi distal.
Plak aterosklerotik memiliki tiga komponen utama yaitu sel,termasuk sel otot
polos, makrofag dan leukosit lain ; matriks ekstrasel, termasuk kolagen, serat
elastik dan proteoglikan serta ; lemak intrasel. Komponen tersebut dapat dalam
proporsi dan konfigurasi yang berbeda-beda di setiap lesi. Biasanya lapisan
fibrosa superfisial terdiri atas sel otot polos dan kolagen yang relatif padat. Di
bawah dan sisi lapisan penutup ini terdapat daerah seluler yang terdiri atas
makrofag, sel otot polos dan limfosit T
Jauh di sebelah dalam dari lapisan fibrosa terdapat inti nekrotik yang mengandung
massa lemak yang tersusun acak, celah yang mengandung kolesterol, debris sel
yang mati, sel busa, fibrin,thrombus dan protein plasma lainnya. Sel busa adalah
sel besar penuh lemak yang terutama berasal dari monosit darah, tetapi sel otot
polos juga dapat memakan lemak untuk menjadi sel busa. Akhirnya, terutama di
sekitar bagian tepi lesi, biasanya terdapat tanda- tanda neovaskularisasi (pembuluh
darah halus yang berpoliferasi). Atheroma tipikal mengandung lemak yang relatif
banyak, tetapi banyak dari apa yan disebut sebagai plak fibrosa mengandung
terutama sel otot polos dan jaringan fibrosa. Faktor-faktor yang turut berperan
dalam penyempitan pembuluh
Faktor-faktor yang turut berperan dalam penyempitan pembuluh darah tersebut
mempengaruhi penyempitan pembuluh darah pada pasien. Faktor risiko tersebut
ada yang dapat diintervensi dan ada juga yang tidak dapat diintervensi.
Faktor risiko tidak dapat diintervensi meliputi :
1. Usia

Usia memiliki pengaruh dominan, angka kematian akibat penyakit jantung


iskemik meningkat setiap dekade bahkan sampai lanjut usia. Penyempitan
biasanya belum nyata secara klinis sampai usia pertengahan atau lebih, saat lesi di
arteri mulai mencederai organ. Antara usia 40 dan 60 tahun, insiden infark
miokardium meningkat lima kali lipat.
2. Jenis kelamin
Bila faktor lain setara, laki-laki jauh lebih rentan terkena penyempitan pembuluh
darah dan akibatnya dibandingkan dengan Universitas Sumatera Utara
perempuan. Infark miokardium dan penyulit lain aterosklerosis jarang pada
perempuan pramenopause, kecuali mereka memiliki predisposisi diabetes,
hiperlipidemia atau hipertensi berat. Namun, setelah menopause insiden penyakit
terkait aterosklerosis meningkat, mungkin akibat menurunnya kadar estrogen
alami, memang frekuensi infark miokardium pada
kedua jenis kelamin setara pada usia 70 sampai 80-an tahun. Terapi sulih hormon
pascamenopause sedikit banyak memberi perlindungan terhadap serangan
aterosklerosis.
3. Riwayat keluarga

Predisposisi familial terhadap aterosklerosis dan penyakit jantung iskemik


kemungkinan besar bersifat poligenik. Pada sebagian kasus, predisposisi tersebut
berkaitan dengan berkumpulnya sekelompok faktor risiko lain, misalnya
hipertensi atau diabetes, sedangkan pada yang lain, predisposisi tersebut berkaitan
dengan kelainan genetik dalam metabolisme lipoprotein yang menyebabkan kadar
lemak darah sangat tinggi, seperti hiperkolesterolemia familial
Faktor resiko yang dapat diintervensi :
1. Merokok

Merokok adalah faktor risiko yang sudah terbukti pada laki-laki dan diperkirakan
merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan aterosklerosis pada
perempuan. Merokok satu bungkus atau lebih per hari selama beberapa tahun
dapat meningkatkan angka kematian akibat penyakit jantung iskemik sampai
200%. Berhenti merokok mengurangi risiko secara bermakna.
2. Hipertensi

Hipertensi adalah faktor utama untuk aterosklerosis pada semua usia. Laki-laki
berusia 45 sampai 62 tahun yang tekanan darahnya lebih dari 169/95 mmHg
memperlihatkan peningkatan risiko penyakit jantung iskemik lebih dari 5 kali
lipat dibandingkan dengan mereka yang tekanan Universitas Sumatera Utara
darahnya 140/90 mmHg atau kurang. Baik tingkat sistol maupun diastol, sama
pentingnya dalam meningkatkan risiko. Terapi antihipertensi mengurangi insiden
penyakit terkait aterosklerosis, terutama stroke dan penyakit jantung iskemik
3. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus memicu hiperkolesterolemia dan peningkatan mencolok
predisposisi terjangkit aterosklerosis. Bila faktor lain setara, insiden infark
miokardium setara , insiden infark mikardium dua kali lebih besar pada pengidap
diabetes daripada yang tidak mengidap. Juga terjadi pengingkatan risiko terkena
stroke dan, bahkan yang lebih mencolok mungkin peningkatan seratus kali lipat
risiko ganggren akibat ateroskelrosis di ekstremitas bawah.
4. Hiperkolesterolemia

Hiperlipidemia adalah fakor risiko utama untuk aterosklerosis. Sebagian besar


bukti secara spesifik menunjukkan hiperkolesterolemia. Komponen utama serum
total yang menyebabkan peningkatan risiko adalah kolesterol lipoprotein densitas
rendah (LDL). Sebaliknya peningkatan kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL)
menurunkan risiko. HDL diperkirakan berperan memobilisasi kolesterol dan
atheroma yang sudah ada memindahkan ke hati untuk diekskresikan ke empedu,
sehingga molekul ini disebut kolesterol baik.
Oleh karena itu, perhatian banyak dicurahkan pada metode farmakologik, dietetik
dan perilaku yang menurunkan LDL, dan meningkatkan HDL serum. Olahraga
dan konsumsi etanol dalam jumlah moderate meningkatkan kadar HDL,
sedangkan obesitas dan merokok menurunkannya.
C. Indikasi Intervensi Koroner Perkutan (IKP)

Adapun indikasi dlakukannya IKP adalah sebagai berikut :


1. Sindroma koroner akut tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI)

Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan
elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam,
bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar
atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk
menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST 0,5 mm
di V1-V3 dan 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi
segmen ST tidak persisten
Pada NSTEMI dan angina pectoris stabil tindakan PCI bertujuan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas coroner.
Kriteria pasien berisiko tinggi adalah :
a. Angina atau nyeri dada berulang pada keadaan istirahat
b. Perubahan segmen ST yang dinamis ( depresi segmen > 0,1mv atau elevasi
segmen ST sementara

c. Peningkatan nilat troponin I, troponin II, atau CKMB

d. Pada observasi hemodinamis pasien tidak stabil

e. Adanya takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel


f. Angina tidak stabil pada pasca infark dini

g. Diabetes mellitus

2. Sindroma koroner akut dengan elevai segmen ST (STEMI)

Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat ditentukan
dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan EKG.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen
ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin,
dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usi a40 tahun, STEMI ditegakkan
jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 2 mm dan 2,5 mm bagi pasien
berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi dalam beberapa
menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu.
IKP yang berpengalaman yang terdiri dari kardiologis intervensi yang terampil.
Stategi reperfusi IKP telah menjadi modalitas pengobatan yang sangat penting
dari STEMI dengan banyak mengalami pada tahun-tahun terakhir ini. Sedangkan
terapi trombolitik dimana dapat digunakan secara luas, mudah diberikan, dan
tidak mahal tetap merupakan pilihan alernatif. IKP telah terbukti lebih superior
disbanding trombolitik dalam pencapaian TIMI 3 flow (perfusi komplit), iskemik
berlang sistemik, mortalitas 30 hari lebih baik dan insiden stroke pendarahan lebih
rendah
D. Lokasi Penyempitan

Dalam tindakan IKP ini harus diketahui anatomi dari pembuluh darah yang
mengalami penyempitan. Sesuai dengan pengertiannya, tindakan IKP ini
dilakukan untuk melebarkan daerah yang menyempit pada pembuluh darah.
Selain itu, faktor anatomi ini mempengaruhi keberhasilan ataupun komplikasi
IKP. Klasifikasi baru membedakan penyempitan berdasarkan tingkat keparahan
yaitu mild, moderate dan severe. Perbedaan tingkatan ini dibedakan berdasarkan
ada tidaknya thrombus da nada tidaknya oklusi
1. Anatomi kasar

Jantung adalah organ berongga dan memiliki empat ruang yang terletak diantara
kedua paru-paru di bagian tengah toraks. Dua per tiga jantung terletak di sebelah
kiri garis midsternal. Jantung dilindungi oleh mediastinum, jantung memiliki
ukuran kurang lebih segenggaman kepalan tangan pemiliknya. Ujung atas yang
lebar mengarah bahu
kanan dan ujung bawah yang mengerucut mengarah panggul kiri. Pelapis terdiri
dari perikardium dan rongga perikardial.
Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan yaitu epikardium di bagian luar yang
terdiri atas lapisan mesotelium yang berada di atas jaringan ikat. Miokardium di
bagian tengah terdiri atas otot jantung yang berkontraksi untuk memompa darah.
Yang terakhir adalah endothelial yang terletak di atas jaringan ikat
2. Ruang Jantung

Jantung terdiri atas empat ruang yaitu atrium kanan dan atrium kiri yang
dipisahkan oleh septum intratial, ventrikel kanan dan ventrikel kiri yang
dipisahkan oleh septum interventrikular. Dinding atrium relatif tipis. Atrium
membawa darah dari vena yang membawa darah kembali ke jantung. Atrium
kanan terletak di bagian superior kanan jantung, menerima darah dari seluruh
Universitas Sumatera Utara tubuh kecuali paru-paru. Vena kave superior dan
inferior membawa darah yang tidak mengandung oksigen.
Arteri koroner terdiri atas Left Coronary Artery (LCA), Left Marginal Artery
(LMA), Right Coronary Artery (RCA), Left Anterior Descending (LAD), Right
Marginal Artery (RMA), Circumflex Artery dan Posterior Descending Artery.
3. Sirkulasi koroner memperdarahi jantung

Arteri koroner kanan dan kiri merupakan cabang aorta tepat di atas katup
semilunar aorta. Arteri ini terletak di atas sulkus koroner. Cabang utama dari arteri
koroner kiri adalah sebagai berikut :
a. Arteri interventrikuler arterior (desenden) yang mensuplai darah ke bagian
anteriorventrikel kanan dan kiri serta membentuk suatu cabang, arteri marginalis
kiri, yang mensuplai darah ke ventrikel kiri.

b. Arteri sirkumpleksa menyuplai darah ke atrium kiri dan ventrikel kiri. Di sisi
anterior, arteri sirkumfleksa beranastomosis dengan arteri koroner kanan.

E. Derajat penyempitan
Derajat penyempitan pembuluh darah coroner dapat dilihat secara visual oleh
operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiografi kuantitatif untuk
mendapatkan penilaian computer mengenai derajat keparahan (Gray dkk, 2005).
Penyempitan koroner dinterpretasikan bermakna jika persentasi stenosis 50 %
pada LMCA atau 75% pada arteri coroner lainnya. Sintha et al pada tahun 1997
dalam Gani Manurung tahun 2008 dikatakan bahwa derajat penyempitan dibagi
menjadi :
1. Grade 0 : penyempitan < 25%

2. Grade 1 : penyempitan 25-49 %

3. Grade 2 : penyempitan 50-74%

4. Grade 3 : penyempitan 75-94 %

5. Grade 4 : penyempitan 95%

F. Prosedur Melakukan Tindakan Intervensi Koroner Perkutan (IKP)

Adapun prosedur melakukan tindakan IKP terdiri dari beberapa langkah. Pertama
melakukan akses perkutan. Dalam proses ini arteri femoralis harus diidentifikasi
lebih dahulu (atau yang lebih jarang bisa menggunakan arteri radialis atau arteri
brachialis pada lengan) dengan menggunakan suatu alat yang disebut jarum
pembuka
Setelah jarum sudah masuk, sheath introducer diletakkan pada jalan pembuka
untuk mempertahankan arteri tetap terbuka dan mengontrol perdarahan. Melalui
sheath introducer ini, guiding catheter dimasukkan. Ujung guiding catheter
ditempatkan pada ujung arteri koroner. Dengan guiding catheter, penanda
radiopak diinjeksikan ke arteri koroner, hingga kondisi dan lokasi kelainan dapat
diketahui.
Selama visualisasi sinar X , ahli jantung memperkirakan ukuran arteri koroner dan
memilih ukuran balon kateter serta guide wire coronary yang sesuai. Guiding wire
coronary adalah sebuah selang yang sangat tipis dengan ujung radio opak yang
fleksibel yang kemudian dimasukkan melalui guiding cathether Universitas
Sumatera Utara mencapai arteri koroner. Dengan visualisasi langsung, ahli
jantung memandu kabel mencapai tempat terjadinya blokade . Ujung kabel
kemudian dilewatkan menembus blokade.
Setelah kabel berhasil melewati stenosis, balon kateter dilekatkan dibelakang
kabel. Angioplasti kateter kemudian didorong kedepan sampai balon berada di
dalam blokade. Kemudian baru balon balon dikembangkan dan balon akan
mengkompresi atheromatous plak dan menekan arteri sehingga mengembang. Jika
stent ada pada balon, maka stent diimplantkan atau ditinggalkan pada tubuh untuk
mendukung arteri dari dalam agar tetap mengembang.
IKP seharusnya dilakukan oleh orang berpengalaman, dari operator dan institusi
tinggi. Dalam melaksanakan tindakan ini tidak diperlukan anastesi, walaupun
pasien dikasi obat pereda nyeri/sedatif. Pasien biasanya boleh bergerak beberapa
jam selepas tindakan, dan pulang pada hari yang sama atau besoknya.
Setelah tindakan IKP dilakukan, pasien diberi obat antitrombolisis. Semua pasien
harus mengambil aspirin tanpa batas waktu (sebagai pencegahan sekunder dari
CVD). Dual terapi antitrombosis diperlukan untuk pasien dengan stent koroner
untuk mengurangi risiko trombosis stent: Hal ini biasanya terjadi aspirin dan
clopidogrel. Lamanya pengobatan clopidogrel tergantung pada penetapan klinik
Jika operasi diperlukan, maka harus dipertimbangkan apakah antitrombolisis
boleh diteruskan. Setelah itu diperlukan konsul dengan ahli kardiologi
berhubungan dengan risiko penghentian obat-obatan dan segala yang diperlukan.
Penggunaan proton-pump inhibitor bersamaan dengan clopidogrel (untuk
mencegah pendarahan gastrik) adalah kontroversial, setelah bukti-bukti
menunjukkan bahwa PPI dapat memperburuk hasil dan bahwa dua obat dapat
berinteraksi.
Dalam melakukan tindakan IKP dapat dilakukan pemasangan stent bersalut obat
atau sering disebut Drug-Eluting Stent (DES). Pada prinsipnya DES Universitas
Sumatera Utara merupakan stent bersalut obat. Obat yang dipakai harus
mempunyai efek antiploriferatif dan antiinflamasi sehingga dapat menekan
hiperflasia neointima. Dengan demikian secara teoritis, obat yang potensial toksik
bila diberikan secara sistemik dapat diberi secara lokal dalam konsentrasi yang
amat kecil, tetapi efektif dan lebih aman. Supaya obat dapat menempel pada stent
diperlukan polimer. Polimer berfungsi sebagai pengangkut obat dan setelah stent
dipasang obat akan mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding pembuluh
Stent koroner merupakan benda asing bagi tubuh yang dapat menimbulkan adhesi
platelet dan mengaktivasi kaskade koagulasi. Implantasi dengan tekanan tinggi
dapat menimbulkan trauma pada pembuluh darah
Hasil jangka panjang tergantung dari reaksi tubuh terhadap polimer dan obat dan
juga terhadap stent itu sendiri. Penyelidikan-penyelidikan terdahulu dengan stent
bersalut emas, juga dengan QuaDS stent, aktinomisin, dan batimastat, ternyata
gagal karena DES ini lebih menyebabkan reaksi ploriferasi, peradangan atau lebih
trombogenik daripada stent biasa.
Selain DES, cutting balloon juga merupakan tindakan pada intervensi coroner.
Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3 sampai 4 pisau pemotong yang
ditempel secara longitudinal pada balon. Dengan demikian bila dikembangkan,
maka plak akan mengalami insisi longitudinal dan diharapkan akan terjadi
redistribusi plak yang lebih baik pada dilatasi dengan tekanan yang lebih rendah
dibandingkan angioplasti balon biasa. Pada beberapa penelitian menyebutkan
bahwa penggunaan cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk terapi instent
restenosis
Saat melakukan tindakan IKP, Intravascular Ultrasound merupakan bagian yang
terpisahkan dari penelitian-penelitian mengenai Drug Eluting Stent. Penggunaan
IVUS dapat menentukan lokasi yang tepat serta ekspansi stent yang optimal
terhadap seluruh pembuluh endotel pada waktu IKP
Indikasi pemeriksaan IVUS sewaktu DES adalah pada kelompok pasien berisiko
tinggi yaitu : gagal ginjal, tidak dapat menggunakan pengobatan Universitas
Sumatera Utara antiplatelet ganda, diabetes mellitus, fungsi ventrikel kiri jelek
dan kelompok lesi risiko tinggi yakni, penyakit cabang utama kiri (left main),
percabangan (bifurkasi), lesi ostial , pembuluh darah.
G. Komplikasi

Meskipun intervensi ini bermanfaat untuk melebarkan pembuluh darah yang


menyempit, dalam kenyataannnya juga memiliki komplikasi. Komplikasi dapat
dibagi menjadi dua kategori yaitu yang secara umum berkaitan dengan kateterisasi
arteri dan yang berhubungan dengan teknologi yang spesifik yang digunakan
untuk prosedur pada coroner
1. Trombolisis stent

Walaupun angka kejadian hanya 1-2%, kejadian trombolisis stent masih berisiko
sehingga stent harus itu dilapisi oleh endothelium dan hal tersebut biasanya
muncul sebagai MI akut, dengan tingkat kematian tinggi. Trombolisis stent sering
sewaktu bulan pertama pemasangan, tapi bisa muncul berbulan dan bertahun
setelah pemasangan PCI.
2. Stenosis stent

Hal ini berhubungan dengan proses penyembuhan yang berlebihan dari dinding
pembuluh darah yang bertimbun pada lumen stent. Stenosis biasanya terbentuk
dalam 3-
6 bulan dan tidak jarang angina muncul kembali, tetapi jarang menyebabkan MI.
Stenosis stent terjadi dalam 4-20% dari stent
3. Komplikasi mayor

Komplikasi mayor lain termasuk kejadian yang jarang, tetapi bisa mengakibatkan
kematian (0,2% dalam kasus berisiko tinggi), MI akut (1%) yang mungkin
memerlukan CABG darurat, stroke (0,5%), termponade jantung (0,5%) dan
perdarahan sistemik (0,5%). Kematian terjadi saat proses di rumah sakit. Stroke
terjadi saat otak kehilangan fungsi neurologis yang disebabkan oleh iskemik 24
jam setelah onset.
4. Komplikasi minor

Komplikasi minornya adalah alergi terhadap medium kontras, nefropati dan


komplikasi pada bagian yang dimasuki, seperti perdarahan dan hematoma. Gagal
ginjal meliputi terjadinya peningkatan serum kreatinin lebih 2 mg/dl
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

IKP adalah suatu teknik untuk menghilangkan trombus dan melebarkan pembuluh
darah koroner yang menyempit dengan memakai kateter balon dan seringkali
dilakukan pemasangan stent. Tindakan ini dapat menghilangkan penyumbatan
dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi normal kembali, sehingga
kerusakan otot jantung dapat dihindari
Prosedur intervensi koroner diukur dari keberhasilan dan komplikasi yang
dihubungkan dengan mekanisme alat-alat yang digunakan dan juga
memperhatikan klinis dan faktor anatomi pasien
B. Saran

Dengan terbentuknya makalah ini, diharapkan agar para pembaca lebih dapat
memahami tentang intervensi perkutan koroner
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/31132/Chapter%20I.pdf?s
equence=5

Anda mungkin juga menyukai