Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

SINDROM ANTIFOSFOLIPID
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Spesialis
Penyakit Dalam
Program Pendidikan Dokter Spesialis

Oleh:
dr. Trya Purnamawati

Pembimbing:

PPDS-1 ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
JAWA TENGAH
2022
LEMBAR PENGESAHAN

SINDROM ANTIFOSFOLIPID

Diajukan sebagai syarat PPDS 1 Ilmu Penyakit Dalam

Oleh :
dr. Trya Purnamawati

Mengetahui / Menyetujui :
dr.
Pada Tanggal :............................................

PPDS-1 ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
JAWA TENGAH
2022
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom Antifosfolipid (APS) adalah penyakit autoimun sistemik dengan kejadian trombotik
atau obstetrik pada pasien dengan antibodi antifosfolipid persisten (1). APS trombotik paling
sering muncul dengan tromboemboli vena tetapi juga dapat muncul dengan trombosis arteri,
terutama stroke. APS obstetrik merupakan penyakit autoimun yang terjadi selama kehamilan
(2). Prevalensi APS pada populasi umum diperkirakan 40-50 per 100.000 populasi. Pada
penyakit autoimun, khususnya lupus eritematosis sistemik (SLE), antibodi antifosfolipid
(aPL) dapat dideteksi pada 40% pasien, tetapi hanya sepertiga dari penderita SLE yang
mengalami manifestasi klinis (3). Gejala atau manifestasi klinis APS mungkin tidak
terdeteksi hingga pasien mengalami masalah kompleks akibat pembekuan darah, seperti
keguguran berulang atau serangan jantung. Penatalaksanaan APS menggunakan
antikoagulan, dimana antikoagulan ini tidak melewati sawar plasenta, sehingga baik
digunakan pada kehamilan untuk pencegahan proses pembentukan tromboemboli vaskuler.
Dosis antikoagulan disesuaikan hingga dicapai keadaan tidak terjadi kekambuhan proses
trombosis (4).
BAB II
II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Sindrom Antifosfolipid (APS) adalah gangguan sistem pembekuan darah yang
menyebabkan trombosis pada arteri dan vena serta menyebabkan gangguan pada kehamilan
yang berujung pada keguguran (5). Gangguan kompleks tersebut berkaitan dengan
mekanisme trombotik dan inflamasi yang diatur oleh protein abnormal dalam darah
berupa autoantibodi antifosfolipid (aPL) dan/atau antikoagulan lupus (LAC). Pada APS, pro
tein ini dapat menyebabkan pembentukan bekuan pada vena dan arteri. Gumpala
n dapat menyebabkan keguguran, membahayakan janin, atau menyebabkan seranga
n jantung, stroke, atau emboli paru. Dalam kasus yang parah, beberapa organ
mungkin rusak (1).

II.2 Epidemiologi
Prevalensi APS pada populasi umum diperkirakan 40-50 per 100.000
populasi. Persentase pada populasi orang sehat sebesar 1- 5%. Sedangkan pada populasi
penyakit autoimun, antibodi APS ditemukan  50 % pada penderita SLE, tetapi han
ya sepertiga dari mereka yang akhirnya akan mengalami manifestasi klinis
(1). Di Indonesia, APS merupakan penyebab utama trombosis dalam kehamilan ya
ng menyebabkan morbiditas dan mortalitas janin serta ibu. Kejadian trombosi
s setelah morbiditas kehamilan terkait APS terjadi pada 63,5% kasus. Pada AP
S trombotik paling sering muncul dengan tromboemboli vena atau trombosis ar
teri, dengan prevalensi masing-masing sebesar 53% dan 20% (2).

II.3 Etiologi
Penyebab sindrom antifosfolipid (APS) belum sepenuhnya diketahui. Kondisi ini
disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang memproduksi autoantibodi abnormal yang
disebut autoantibodi antifosfolipid (aPL). Antibodi adalah protein yang diproduksi oleh
sistem kekebalan tubuh untuk membantu melawan infeksi dan penyakit. Mereka adalah
bagian dari sistem pertahanan tubuh dan diproduksi untuk membantu melindungi terhadap
"penyerbu asing", seperti bakteri dan virus. Antibodi memberi sinyal pada sistem kekebalan
untuk melepaskan bahan kimia untuk membunuh bakteri dan virus ini, dan untuk mencegah
penyebaran infeksi. Pada APS, sistem kekebalan menghasilkan antibodi abnormal yang
bukannya menyerang bakteri dan virus, tetapi secara keliru menyerang protein yang
ditemukan di bagian luar sel dalam darah dan pembuluh darah. Produksi autoantibodi ini
kemungkinan dipicu oleh faktor lingkungan, seperti infeksi yang terjadi pada individu dengan
latar belakang genetik yang membuatnya lebih rentan terhadap penyakit. APL dapat hadir
dalam aliran darah untuk waktu yang lama, tetapi kejadian trombotik hanya terjadi sesekali.
aPL meningkatkan risiko pembekuan darah, tetapi trombosis biasanya terjadi ketika ada
kondisi lain yang mendukung pembekuan, seperti tidak aktif dalam waktu lama (misalnya,
dibatasi di tempat tidur), pembedahan, atau kehamilan. Faktor risiko tambahan untuk
trombosis adalah hipertensi, obesitas, merokok, aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah),
penggunaan estrogen (pil KB), dan dapat dikaitkan dengan penyakit autoimun sistemik
(seperti penyakit SLE atau mirip SLE) (1).
Tidak diketahui bagaimana hal ini menyebabkan darah lebih mudah menggumpal.
Tetapi beberapa ahli percaya bahwa menstabilkan konsistensi darah yang tidak terlalu encer
dan tidak terlalu lengket bergantung pada berbagai jenis protein dan lemak yang bekerja
bersama. Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh antibodi abnormal pada orang dengan
APS (5).

II. 4 Faktor Risiko

Penyakit autoimun lain, terutama SLE dapat menjadi faktor risiko munculnya APS
primer. Kondisi lain yang mungkin berkaitan dengan risiko aPL positif, seperti infeksi,
keganasan, dan obat-obatan. Dalam kasus ini, antibodi biasanya bersifat sementara, pada titer
rendah, dan tanpa hubungan yang jelas dengan manifestasi klinis APS. APS primer berisiko
pada sebagian besar orang dewasa muda dari kedua jenis kelamin dengan usia rata-rata 40
tahun. Wanita lebih berisiko terkena APS sekunder meliputi rheumatoid arthritis, sklerosis
sistemik, dermatomiositis atau penyakit autoimun lainnya. Faktor lingkungan juga berisiko
menimbulkan kondisi sindrom antifosfolipid; infeksi virus seperti cytomegalovirus (CMV)
atau parvovirus B19, infeksi bakteri seperti E. coli (bakteri yang sering dikaitkan dengan
keracunan makanan) atau leptospirosis (infeksi yang disebarkan oleh hewan tertentu), obat-
obatan tertentu, seperti obat anti-epilepsi atau pil kontrasepsi oral. Risiko pembekuan darah
ditingkatkan oleh aPL tetapi trombosis biasanya terjadi ketika ada kondisi lain yang
mendukung pembekuan darah, seperti imobilisasi dalam waktu lama (terbatas di tempat
tidur), pembedahan, atau kehamilan. Faktor risiko tambahan untuk trombosis adalah
hipertensi, obesitas, merokok, aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah), dan dapat
dikaitkan dengan penyakit autoimun sistemik (6).

Kelompok antibodi antifosfolipid bersifat heterogen yang ditujukan terhadap


fosfolipid dan/atau protein pengikat fosfolipid, terutama protein LA, anti-β2GP1, dan aCL.
Protein LA menjadi prediktor kuat munculnya risiko trombotik untuk trombosis vena dan
arteri dengan peningkatan 5-16 kali lipat trombosis, diikuti oleh anti-β2GPI yang berkorelasi
terutama dengan arteri daripada trombosis vena. Sebaliknya, aCL berisiko rendah terhadap
kejadian trombosis vena (6).

Skor APS Global (GAPSS) mencakup profil aPL dan faktor risiko lainnya, yaitu
hipertensi arteri dan hiperlipidemia. Pasien dengan skor GAPSS 10 mungkin dianggap berada
pada risiko yang lebih tinggi dari kejadian trombotik dan oleh karena itu memerlukan
pemantauan lebih dekat, terutama dalam situasi protrombotik yang berisiko tinggi, seperti
pada operasi atau kondisi aktivitas minimal (5).

II. 5 Patofisiologi
Dalam kehamilan, morbiditas dan mortalitas yang dihubungkan dengan APS terutama
disebabkan oleh reaksi autoimun (trombosis) pada jaringan pembuluh darah plasenta.
Mekanisme trombosis karena antibodi antifosfolipid dalam kehamilan belum diketahui secara
pasti, namun yang jelas membran fosfolipid mempunyai banyak fungsi dan bekerja setiap

saat sehingga tidak mengherankan bila suatu waktu dapat menjadi antigen. Ada beberapa
mekanisme yang diduga dapat menyebabkan trombosis tersebut, antara lain penurunan
produksi prostasiklin. Pada sel endotel pembuluh darah terjadi metabolisme asam arakidonat
melalui cyclooxigenase pathway untuk menghasilkan prostasiklin. Sebaliknya, terjadi
metabolisme asam arakidonat untuk menghasilkan tromboksan-A2 (TXA2) pada sel-sel
platelet. Prostasiklin merupakan vasodilator yang poten dan menghambat agregasi platelet,
sedangkan TXA2 berefek sebaliknya. Dengan demikian, penurunan prostasiklin oleh karena
kerusakan endotel berpotensi menimbulkan trombosis melalui agregasi platelet dan
vasokontriksi pembuluh darah. Berbagai mekanisme yang dapat diduga antara lain penurunan
aktivasi protein C, peningkatan pelepasan faktor jaringan, penurunan anti-trombin III,
penurunan fibrinolisis dan peningkatan agregasi platelet. Protein C diaktivasi pada membran
endotel oleh kompleks trombin dan suatu glikoprotein yaitu trombomodulin. Reaksi ini
termasuk reaksi yang tergantung dari adanya fosfolipid dan kalsium. Aktivasi protein C
dengan kofaktor protein S akan menghambat kerja dari faktor VIIIa dan Va dalam sistim
pembekuan darah sehingga akan menurunkan pembentukan trombin. Bila terjadi penurunan
aktivasi protein C maka akan menimbulkan trombosis. Hipotesis terakhir mengaitkan adanya
antibodi antifosfolipid dengan annexin V atau placental anticoagulant protein-1 yang
merupakan suatu regulator dan inhibitor koagulasi alamiah di plasenta. Annexin V berikatan
dengan fosfolipid di permukaan membran sel yang bermuatan negatif (anion), sehingga
mencegah terikatnya faktor-faktor pembekuan darah yang tergantung pada fosfolipid anionik.
Pada APS ini, antibodi antifosfolipid menggantikan annexin V di permukaan membran
sehingga terjadi gangguan pada jalur koagulasi dan terjadilah trombosis (2) (6).

Gambar 1. A, aPL diproduksi oleh sel B; mengikat permukaan anionik,


β-2GPI menjadi 2GPI terbuka. B (kiri), antibodi antifosfolipid berikatan dengan
2GPI, mengaktivasi sel endotel, komplemen, trombosit, neutrofil, dan monosit. B
(tengah), aPL mendorong pembentukan bekuan. B (kanan), aPL mengganggu trofoblas
dan sel desidua. C dan D, aPL mengakibatkan peradangan, vaskulopati, trombosis, dan
komplikasi kehamilan (6).

II. 6 Manifestasi Klinis


Selain ciri khas trombosis vena, arteri, dan/atau pembuluh darah kecil serta
komplikasi kehamilan tertentu, gambaran klinis lain yang relatif umum dari sindrom
antifosfolipid (APS) termasuk livedo reticularis, trombositopenia, atau serangan iskemik
transien. Kegagalan multiorgan juga dapat muncul pada APS karena trombosis pembuluh
darah kecil, suatu kondisi yang disebut sebagai catastrophic antiphospholipid syndrome
(CAPS). Manifestasi klinis APS dapat berupa trombosis vena dalam (DVT), trombositopenia,
livedo reticularis, stroke, tromboflebitis superfisial, emboli paru, keguguran janin, dan TIA
(transient ischemic attack). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kumpulan gejala dapat
muncul bersama-sama. Misalnya, stroke dan penyakit katup jantung, livedo dan trombosis
arteri, trombositopenia dan trombosis pembuluh darah kecil. Selain manifestasi yang
disebutkan di atas, beberapa kemungkinan manifestasi klinis terkait antibodi antifosfolipid
lainnya termasuk penyakit katup jantung, hipertensi pulmonal, trombositopenia, ulkus kulit
dan insufisiensi adrenal karena infark hemoragik, dan defisit kognitif (5).

Gambar 2. Gambaran livedo reticularis pada pasien SLE

II. 7 Diagnosis
Kriteria klasifikasi saat ini untuk diagnosis APS, menurut pernyataan konsensus
internasional 2006, memerlukan setidaknya satu kriteria klinis (trombosis vaskular atau
morbiditas kehamilan) dan setidaknya satu kriteria laboratorium (adanya antikoagulan lupus,
atau hasil tes positif untuk antibodi antikardiolipin atau anti- β 2GPI). Nilai konfirmasi positif
aPL dengan jarak minimal 12 minggu berkaitan dengan nilai positif dari waktu ke waktu, dan
dengan demikian wajib untuk diagnosis APS yang pasti. Antibodi ini bernilai positif pada
titer sedang hingga tinggi (IgG/IgM anticardiolipin > persentil ke-99 atau >40 GPL/MPL, dan
anti- β 2-glikoprotein I > persentil ke-99). Kelemahan dari kriteria ini adalah tidak
memasukkan beberapa kondisi klinis dan laboratorium, yang dikenal sebagai manifestasi
non-kriteria. Ini termasuk livedo reticularis, penyakit katup jantung, epilepsi, atau
trombositopenia (4).
Standard emas untuk deteksi aPL masih kurang, meskipun uji aCL berdasarkan serum
manusia yang dikumpulkan telah digunakan selama lebih dari 20 tahun. Penelitian terbaru
tentang standard baru berdasarkan antibodi monoklonal manusia terhadap β 2GPI dan
preparat antibodi poliklonal masih belum dapat digunakan untuk penilaian plasma LAC-
positif (4).
Trombositopenia dapat diamati pada pasien APS, dengan insiden berkisar antara 22-
42%. Frekuensi trombositopenia lebih tinggi pada APS terkait SLE daripada pada APS
primer. Derajat trombositopenia biasanya sedang, dengan jumlah trombosit biasanya berkisar
antara 100.000 sampai 140.000/mikroL, dan jarang berhubungan dengan kejadian hemoragik.
Trombositopenia merupakan faktor prediktif dari manifestasi terkait APS (trombosis,
morbiditas kehamilan, atau kematian), dan penurunan jumlah trombosit sering mendahului
episode bencana APS (6).
Hipokomplementemia dapat diamati pada APS primer, mirip dengan apa yang
diamati pada pasien dengan SLE. Menurut studi kohort observasional yang mencakup 70
pasien dengan APS primer, hampir setengahnya menunjukkan tingkat komplemen yang
rendah. Namun, tingkat komplemen seperti C3 dan C4 umumnya tidak digunakan untuk tren
aktivitas penyakit karena kadang-kadang digunakan pada SLE. Kelainan laboratorium
lainnya termasuk perpanjangan tes pembekuan darah (misalnya, aPTT), anemia hemolitik,
atau riwayat tes serologi sifilis positif palsu (6).

II. 8 Tata Laksana


Manajemen pasien aPL-positif pada APS primer atau sekunder harus mencakup
langkah-langkah umum berikut: (1) kontrol ketat faktor risiko kardiovaskular, termasuk
tekanan darah tinggi, hiperkolesterolemia, berat badan, dan menghindari merokok; (2)
memantau nilai profil aPL risiko tinggi, yang meliputi nilai aPL positif tiga, LA atau titer aPL
yang terus-menerus tinggi, riwayat APS trombotik dan/atau obstetrik, adanya penyakit
autoimun seperti SLE (3).
Terapi pencegahan trombosis primer dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg per
hari) berdasarkan rekomendasi EULAR dapat diberikan pada pasien karier aPL asimtomatik,
yakni tidak memenuhi kriteria klasifikasi trombosis vaskular atau obstetri. Pada pasien
dengan SLE tanpa trombosis atau komplikasi obstetri dengan nilai aPL risiko tinggi dapat
diberikan aspirin dosis rendah. Namun, pada pasien dengan nilai aPL risiko rendah,
pemberian aspirin dosis rendah masih perlu dipertimbangkan. Selain itu, risiko trombosis
pada pasien dengan SLE dapat dicegah dengan hidroksiklorokuin (200-400 mg per hari).
Efektivitas hidroksiklorokuin untuk profilaksis primer pada pasien positif aPL yang tidak
memiliki penyakit autoimun sistemik masih belum diketahui (7).
Pencegahan trombosis sekunder, terapi awal dengan heparin tak terfraksi (250
IU/kgBB subkutan dua kali sehari) atau heparin berat molekul rendah (enoxaparin 1,5
mg/kgBB atau 1 mg/kgBB dua kali sehari). Terapi antikoagulan jangka panjang dengan
antagonis vitamin K seperti warfarin dengan target INR: 2-3, direkomendasikan. Terapi
warfarin intensitas tinggi dengan target INR: 3-4, diteliti tidak lebih jauh mengurangi risiko
trombosis berulang. Pada pasien dengan nilai aPL dan tromboemboli vena yang tidak
terprovokasi, penghentian terapi antikoagulan akan dikaitkan dengan risiko trombosis
berulang yang sangat tinggi. Untuk pasien usia tua dengan penyakit stroke dan nilai titer
antibodi anticardiolipin yang rendah, penggunaan aspirin tunggal memiliki efektifitas yang
sama dengan warfarin. Namun, pasien dengan profil antibodi antifosfolipid risiko sedang
hingga tinggi sering diobati dengan warfarin (target INR: 2-3), dengan atau tanpa aspirin
dosis rendah. Terapi warfarin intensitas tinggi (target INR: 3-4) lebih banyak digunakan
untuk trombosis arteri. Rivarobaxan tidak boleh digunakan pada pasien dengan nilai aPL
positif tiga (7).
Pencegahan trombosis vena dan arteri sekunder yang gagal menggunakan warfarin
dapat diberikan penambahan aspirin dosis rendah, hidroksiklorokuin, atau statin. Penggunaan
antikoagulan yang berbeda, seperti heparin juga dapat dikombinasikan pada kondisi ini.
Namun, perlu diwaspadai bahwa peningkatan INR palsu dan pemberian dosis warfarin
subterapeutik dapat terjadi karena aPL dapat menyebabkan pemanjangan waktu protrombin.
Kondisi ini harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium bergantung pada
sensitivitas tromboplastin yang digunakan. Penggunaan antikoagulan oral secara langsung
telah digunakan sejak tahun 2010, namun penggunaan terapi tersebut pada kondisi
protrombotik berat seperti sindrom antifosfolipid dan trombositopenia akibat heparin masih
terbatas (7).

II. 9 Komplikasi
Catastrophic antiphospholipid syndrome (CAPS) adalah jenis APS paling ekstrim
yang mencakup trombosis organ multipel simultan dan berkembang dalam waktu singkat
dengan tingkat kematian yang tinggi. Meskipun sangat terkait dengan keberadaan LAC, tidak
ada penentu laboratorium atau klinis lain yang diketahui terkait dengan CAPS. Kondisi ini
ditandai dengan kegagalan multiorgan yang progresif (hari hingga beberapa minggu) (4,6).
Kriteria berikut diperlukan untuk diagnosis CAPS yang pasti, yakni keterlibatan tiga
atau lebih organ, sistem, dan/atau jaringan, perkembangan manifestasi progresif dalam waktu
kurang dari 1 minggu, adanya oklusi pembuluh darah kecil setidaknya pada satu organ atau
jaringan yang dibuktikan pada pemeriksaan histologis, dan nilai aPL positif (4).
Pengobatan sejak dini sangat penting dilakukan pada pasien CAPS. Terapi yang
digunakan dengan kombinasi antikoagulan, glukokortikoid, imunoglobulis intravena (IVIG),
dan pertukaran plasma. Pemberian glukokortikoid berupa metilprednisolone intravena dengan
dosis 250-1.000 mg selama 3 hari dapat menjadi terapi lini pertama pada CAPS,
trombositopenia berat, anemia hemolitik, atau keduanya. Pilihan terapi lini pertama atau
kedua yang dapat diberikan adalah IVIG dengan dosis 1-2 g/kgBB diberikan selama 3-5 hari.
Pada trombositopenia berat, pemberian dosis IVIG dapat diulang satu kali biasanya 1-2 hari
setelah dosis pertama (6) (7). Kejadian CAPS masih sedikit ditemukan, sehingga tidak ada
studi terkontrol yang telah dilakukan dan terapi yang diusulkan didasarkan pada evidenced
base yang berkualitas rendah.
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Antifosfolipid (APS) adalah gangguan sistem pembekuan darah yang menyebabkan
trombosis pada arteri dan vena. Prevalensi APS pada populasi umum diperkirakan 4
0-50 per 100.000 populasi. Faktor risiko berupa penyakit autoimun, infeksi virus
atau bakteri, penggunaan obat-obatan tertentu, hipertensi, obesitas, merokok,
dan aterosklerosis. Manifestasi klinis dapat muncul berupa manifestasi pada trombosis,
obstetrik, kutan, hematologik, jantung, dan ginjal. Diagnosis ditegakkan dengan minimal satu
kriteria klinis dan atau kriteria laboratoris. Terapi yang diberikan berupa profilaksis aspirin
dosis rendah, heparin, atau warfarin. Komplikasi berupa keterlibatan tiga atau lebih kelainan
organ/jaringan dapat menimbulkan Catastrophic antiphospholipid syndrome (CAPS).
DAFTAR PUSTAKA

1. Suleman Bhana M. Antiphospholipid Syndrome. American College of Rheumatology. 2019;


2. Saputra D, Wahid I. Sindroma Antifosfolipid Primer. Jurnal Kesehatan Andalas [Internet]. 2019;8(2). Available
from: http://jurnal.fk.unand.ac.id
3. Amine Ghembaza, David Saadoun. Management of Antiphospholipid Syndrome. Biomedicines Journal. 2020;8
(508):1–17.
4. Limper M, de Leeuw K, Lely AT, Westerink J, Teng YKO, Eikenboom J, et al. Diagnosing and treating antipho
spholipid syndrome: a consensus paper.
5. Sammaritano LR. Antiphospholipid syndrome. Vol. 34, Best Practice and Research: Clinical Rheumatology. Bai
lliere Tindall Ltd; 2020.
6. Garcia D, Erkan D. Diagnosis and Management of the Antiphospholipid Syndrome. New England Journal of M
edicine. 2018 May 24;378(21):2010–21.
7. Tektonidou MG, Andreoli L, Limper M, Amoura Z, Cervera R, Costedoat-Chalumeau N, et al. EULAR recomm
endations for the management of antiphospholipid syndrome in adults. Annals of the Rheumatic Diseases. 2019
Oct 1;78(10):1296–304.
 

Anda mungkin juga menyukai