BAB I
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi1. SLE merupakan prototipe dari penyakit autoimun sistemik dimana
autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri.2 Karakteristik primer peyakit ini berupa
kelemahan, nyeri sendi, dan traum berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan hampir
semua organ, namun paling sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung
dan ginjal.2,3
Di Amerika Serikat hingga bulan Maret tahun 2000 terdapat 500.000 pasien telah
didiagnosa sebagai SLE. 3
Prevalensi SLE di Amerika Serikat yaitu antara14,6/100.000-
50,8/100.000. Insiden bervariasi antara 1,8-1,6/100.000 per tahun. Insiden SLE bervariasi di
seluruh dunia. Eropa Utara telah melaporkan adanya SLE sebesar 40/100.000. 4
Ras Afrika-Amerika tiga hingga empat kali lebih rentan terhadap SLE dibandingkan
wanita kulit putih. Ras Amerika latin dan Asia juga rentan terhadap penyakit ini. 3 Pada anak-
anak prevalensi SLE antara 0/100.000 pada wanita kulit putih di bawah usia 15 tahun sampai
31/100.000 pada wanita Asia usia 10-20 tahun. Insiden SLE pada usia 10-20 tahun
bervariasi yaitu 4,4/100.000 pada wanita kulit putih, 31/100.000 pada wanita Asia,
19,86/100.000 pada kulit hitam dan 13/100.000 pada Amerika latin. 5
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari 3 penelitian yang berbeda di RS.
Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus, tahun 1972-
1976 ditemukan 1 kasus, dan tahun 1988-1990 insiden rata-rata ialah 37,7/10.000 perawatan.
Penelitian oleh Purwanto dkk di Yokyakarta tahun 1983-1986 melaporkan insiden sebesar
10,1/10.000 perawatan. Penelitian di Medan oleh Tagiran antara tahun 1984-1986
mendapatkan insiden sebesar 1,4/10.000 perawatan. 1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Situasi di mana kehamilan tidak dianjurkan pada pasien dengan SLE
3
Pada suatu penelitian sekitar 6-15% wanita mengalami flare selama kehamilan. Sebagian
besar terjadi pada trimester pertama dan kedua, dan dua bulan setelah persalinan. Wanita
yang telah mengalami remisi selama 6 bulan beresiko rendah untuk mengalami flare.
Terdapat peningkatan resiko perdarahan setelah persalinan, yang diakibatkan baik oleh obat
anti-SLE maupun oleh SLE itu sendiri. Preeklampsia terjadi pada 20% wanita hamil dengan
SLE. 3
Kehamilan dapat menyebabkan eksaserbasi SLE. Tinjauan pustaka terhadap aktivitas
penyakit dan mortalitas morbiditas wanita hamil dengan SLE menyimpulkan bahwa terdapat
eksaserbasi aktivitas penyakit pada 50% kehamilan, yang terjadi selama kehamilan atau
pospartum.9
Pasien dengan lupus nefritis yang ingin hamil, haruslah dipertimbangkan. Disamping
keadaan janin, perlu pula dipertimbangkan terjadinya eksaserbasi dengan (mungkin
permanen) gejala ikutan berupa kerusakan organ (yang mungkin akan mempengaruhi
keselamatan maternal). Penelitian terbaru menyebutkan bahwa wanita hamil dengan lupus
nefritis berhubungan dengan meningkatnya kematian maternal dan nefritis eksaserbasi
pospartum.9
Hipertensi, proteinuria, dan insufisiensi ginjal yang baru terjadi pada wanita hamil
dengan lupus dapat menggambarkan terjadinya lupus nefritis aktif atau pembentukan
preeklampsia. Membedakan antara permulaan SLE dan preeklampsia adalah sulit.
Penelitian Buyon dkk menemukan bahwa kadar C4 lebih rendah pada kehamilan dengan
preeklampsia dibandingkan kehamilan normal, dan pada ibu dengan SLE mempunyai kadar
C3 dan C4 yang lebih rendah secara nyata dibandingkan kehamilan normal. Menurunnya
kadar C3 dan C4 pada kehamilan dengan SLE menggambarkan terjadinya flare penyakit
tersebut. Satu pasien dengan SLE yang mengalami preeklampsia tidak memiliki perubahan
pada kadar komplemennya.
Penemuan ini menyebutkan bahwa pengujian terhadap kadar komplemen mungkin
berguna untuk membedakan kejadian preeklampsia dengan flare penyakit pada pasien SLE.
Insiden preeklampsia meningkat pada pasien SLE. 9
Terdapat hubungan yang jelas antara lupus antikoagulan dengan antibodi
antikardiolipin dengan vaskulopathy desidua, infark plasenta, pertumbuhan janin terhambat,
preeklampsia dini, dan kematian janin berulang. Pada wanita tersebut, seperti halnya
penderita lupus, juga memiliki insiden tinggi terhadap trombosis arteri dan vena, serta
hipertensi paru.6
4
2.1.1 DIAGNOSIS
Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11 manifestasi berikut (kriteria
dari the American Rheumatism Association) : 7,10
Eritema fasial (butterfly rash)
Lesi diskoid
Fotosensitivitas
5
Oral ulcers
Arthritis
Serositis (pleuritis or perikarditis)
Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular casts)
Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis)
Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000/uL) atau limfopenia
pada 2 atau lebih pemeriksaan, trombositopenia)
Gangguan Immunologi (preparat sel LE positif, jumlah anti-DNA atau anti-Sm
abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu)
Abnormal ANA titer
2.1.3 PENATALAKSANAAN
Hingga kini SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun, pengobatan
yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi, mengatasi fase
akut dan dengan demikian dapat memperpanjang remisi dan survival rate.1
Penatalaksanaan SLE sesuai dengan gejala yang ditimbulkannya. Penatalaksanan utama
adalah menciptakan suatu lingkungan yang dapat memberikan “istirahat” pada jiwa dan raga,
perlindungan dari sinar matahari (bahkan yang melalui jendela), nutrisi yang sehat, terapi
pencegahan infeksi, menghindari semua alergen dan faktor-faktor yang dapat memperberat
penyakit.1
Karena kesuburan pasien SLE tidak terganggu dan waktu konsepsi sangat berhubungan
dengan aktivitas penyakit, maka kontrasepsi merupakan bagian yang penting untuk
penanganan pasien SLE. Tampaknya kondom dan diafragma merupakan alat kontrasepsi
teraman, walaupun kurang efektif. 9 Penggunaan IUD sebaiknya dihindari karena pasien SLE
mempunyai resiko infeksi yang lebih besar. 6
6
Pada gagal ginjal terminal lupus nefritis dapat ditanggulangi dengan cukup baik oleh
dialisis dan transplantasi ginjal. 1
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapat
pengobatan dengan obat imunosupresif. 1
Seperti disebutkan sebelumnya angka abortus, kelahiran mati, partus prematurus, dan
preeklampsia meningkat pada SLE dengan kehamilan. Terutama apabila terjadi kelainan
ginjal dan hipertensi, maka prognosis menjadi sangat buruk. Abortus buatan dapat
dipertimbangkan. Jika pasien demikian dalam jalannya kehamilan menunjukkan gejala-gejala
azotemia, maka kehamilan harus diakhiri. Dan kehamilan tidak dianjurkan bagi SLE dengan
komplikasi ginjal. 11
2.1.5 PENGOBATAN
Meskipun belum ada penelitian acak yang membandingkan pemberian prednison pada
wanita hamil namun glukokortioid biasanya digunakan pada pengobatan SLE pada
7
kehamilan. Pada umumnya dosis yang digunakan kurang lebih sama dengan penderita yang
tidak hamil. Meskipun telah ditemukan meningkatnya kejadian celah palatum pada binatang
percobaan, tetapi efek teratogeniknya pada manusia sangat rendah. Demikian juga efek
supresi pada ginjal neonatus sangatlah rendah.
Salah satu alasan yang menyebabkan pemberian prednison cukup aman adalah didapatkannya
11--oldehidrogenase pada plasenta. Enzim ini akan mengubah prednison menjadi 11-
ketoform yang tidak aktif, dan hanya 10 % yang aktif dan dapat mencapai janin. Efek
glukokortikoid pada ibu diantaranya adalah penambahan berat badan, striae, acne, hirsutism,
supresi imun, osteonekrosis, dan ulkus saluran pencernaan.
Kemudian pemberian glukokortikoid pada kehamilan juga dapat menyebabkan intoleransi
glukosa. Dengan demikian pasien yang diberikan glukokortikoid harus dilakukan skrining
untuk mencegah diabetes gestasional. Glukokotikoid juga menyebabkan retensi air dan
natruim yang mungkin menyebabkan hipertensi yang secara tidak langsung dapat
menyebabkan pertumbuhan janin terganggu. 9,12
Penelitian terbaru mengatakan pemberian
glukokortikoid hanya diberikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh SLE. 12
. Pemberian beberapa obat imunosupresi yang lain seperti
azathiopirine, methotrexate dan cyclophospamide sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan
dengan SLE, dikarenakan efek teratogeniknya pada manusia. Kecuali pada keadaan tertentu
pada SLE yang sangat berat misalkan pada Progressive proliferative glomerulonefritis12
Pemberian obat anti malaria pada Kehamilan dengan SLE seperti kloroquin dan
hydroxychloroquin dapat menimbulkan kelainan kongenital yang cukup berat, dikarenakan
ototoksisitasnya. Akan tetapi banyak bayi yang dilahirkan dari ibu-ibu yang minum obat anti
malaria ternyata normal. 12
NSAID adalah analgesik yang biasa diberikan pada penderita kehamilan dengan SLE
tetapi, malangnya obat ini dapat menyebabkan kelainan yang cukup serius. Yaitu dapat
menyebabkan kelainan faktor pembekuan darah pada fetoneonatal. Pemberian aspirin dua
minggu sebelum partus dapat menyebabkan perdarahan intrakranial pada bayi-bayi
prematur. Indometasin dilaporkan berhubungan dengan kontriksi pada duktus arteriosus.
Yang mana bisa menyebabkan trombosis arteri pulmonalis, hipertrofi pembuluh-pembuluh
darah pulmo, gangguan oksigenasi dan gagal jantung. NSAID juga berhubungan dengan
menurunnya produksi uruin dan oligohidramnion dan insufisiensi ginjal. Asetaminophen dan
codein bisa dipakai sebagai analgesi pada wanita hamil dengan SLE. 12
8
2.2.2 PATOFIOLOGI
Sejumlah penelitian telah menyarankan bahwa NLE disebabkan oleh perjalanan
transplasental autoantibodi ibu [5, 7].
Autoantibodi ini dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan yang berkembang dan meningkatkan risiko melahirkan bayi dengan NLE. Sekitar
98% bayi yang terkena memiliki trans-fer autoantibodi ibu terhadap Ro / SSA, La / SSB, dan,
lebih jarang, U1-RNP. Namun, hanya 1-2 % dari ibu dengan autoantibodi ini memiliki
neonatus dengan NLE, terlepas dari apakah ibu bergejala atau tidak [8].
52-kD Ro / SSA (Ro52) ribonucleoprotein adalah target anti-genik yang sangat terkait
dengan respons autoimun pada ibu yang anaknya memiliki NLE, blok jantung bawaan, dan
kelainan konduksi lainnya [9].
Anti-Ro52 / SSA autoantibodi memusuhi aktivasi saluran
kalsium tipe-L yang diinduksi serotonin pada sel atrium janin manusia dan memicu respons
inflamasi, yang pada akhirnya menyebabkan fibrosis dan jaringan parut pada simpul
atrioventrikular, simpul sinus, dan bundelnya [ 9, 10].
Ini mungkin menjelaskan kelainan
elektrofisiologis pada NLE dan patogenesis gangguan irama jantung, yang dapat
menyebabkan berkurangnya curah jantung dan perkembangan selanjutnya dari gagal jantung
kongestif [9].
Dalam model tikus, Boutjdir et al. [11]
menunjukkan bahwa IgG yang
10
mengandung antibodi anti-Ro / SSA dan -La / SSB menginduksi blok AV lengkap dalam
detak jantung dan persiapan multi-seluler, sehingga melibatkan interaksi preferensial dari
antibodi ini dengan saluran kalsium dan / atau protein regulator terkait.
Ini konsisten dengan penghambatan saluran kalsium yang diamati yang mungkin merupakan
faktor penting yang berkontribusi terhadap patogenesis penyumbatan jantung lengkap. Cacat
konduksi ini disebabkan oleh antibodi anti-Ro / SSA dan anti-La / SSB serta autoantibodi lain
terhadap adrenoceptor jantung dan reseptor muskarinik asetilkolin [12].
Antibodi yang terkait dengan blok jantung dan dengan penyakit kulit diyakini
berbeda; antibodi terhadap ribonukleo-protein 52/60-kD Ro / SSA dan 48-kD dikaitkan
dengan blok jantung, sedangkan antibodi terhadap ribonucleoprotein La / SSB 50-kD
dikaitkan dengan penyakit kulit [12, 13].
Di sisi lain, autoantibodi anti-U1RNP biasanya
dikaitkan dengan lesi kulit atipikal tanpa kelainan jantung atau sistemik dalam sejumlah kecil
kasus NLE dan dapat berperan dalam patogenesis trombositopenia [10]
. Telah dibuktikan
bahwa antibodi anti-U1RNP dari pasien dengan penyakit jaringan ikat dapat langsung
mengenali berbagai antigen pada permukaan endotel arteri pulmonalis, termasuk komponen
U1RNP atau polipeptida lain yang tidak diketahui.
Hasil ini menunjukkan bahwa pengikatan HPAEC pada autoantibody ini mungkin
menjadi salah satu pemicu peradangan sel endotel pada berbagai penyakit jaringan ikat [14]
.
Spektrum penyakit kulit pada bayi yang positif antibodi U1RNP mirip dengan bayi yang
positif antibodi Ro / SSA dengan NLE. Penyumbatan jantung komplit bukan merupakan fitur
NLE antibodi-positif U1RNP. Penelitian pengetikan HLA menunjukkan pola imunogenetik
yang lebih beragam pada ibu dengan antibodi U1RNP bayi dengan NLE yang lebih beragam
dibandingkan dengan ibu yang positif antibodi Ro / SSA. Telah ditunjukkan bahwa jumlah
anti-tubuh ibu, daripada kehadirannya, dikaitkan dengan cedera jaringan janin . Namun,
[13]
hanya beberapa neonatus yang terpapar antibodi ini yang mengalami komplikasi. Oleh karena
itu, faktor-faktor lain seperti titer antibodi ibu, kecenderungan genetik, dan faktor lingkungan
seperti infeksi virus mungkin terlibat. Selain itu, induksi apoptosis pada kardiomiosit kultur
telah dibuktikan menghasilkan ekspresi antigen Ro / La pada permukaan sel untuk pengakuan
dengan sirkulasi antibodi ibu [15]
. Diperkirakan bahwa in vivo, kardiosit apoptosis opsonized
semacam itu meningkatkan respons inflamasi oleh penduduk makrofag dengan kerusakan
pada jaringan konduksi di sekitarnya.
Selain keberadaannya di kulit dan jantung, antigen Ro juga ditemukan di hati, usus,
paru-paru, otak, dan sel darah — jaringan yang paling sering terkena NLE [3].
Radiasi
ultraviolet dan estrogen meningkatkan ekspresi antigen Ro pada permukaan keratinosit [3]
.
11
Meskipun radiasi ultraviolet dapat menginduksi atau memperburuk lesi kulit, itu tidak
diperlukan untuk perkembangan mereka [10] .
Karena kesempatan terbatas untuk paparan sinar matahari pada neonatus dan bayi muda,
fotosensitifitas lebih sering terlihat setelah fototerapi untuk hiperbilirubinemia neonatal [10] .
2.2.3 EPIDEMIOLOGY
NLE adalah penyakit autoimun yang jarang didapat yang terjadi pada 1 dari setiap
20.000 kelahiran hidup di AS [5] . Di tempat lain, epidemiologi biasanya dijelaskan dalam seri
kasus kecil [7, 16]
. Kehadiran kompleks histokompatibilitas mayor tertentu seperti antigen
leukosit manusia B8 dan antigen leukosit manusia DR3 pada ibu mempredisposisi bayi
menjadi NLE dan blok jantung bawaan [17, 18] . Meskipun tidak ada kecenderungan rasial yang
jelas, perbedaan dalam hasil antara minoritas dan kulit putih telah diamati [5, 10, 16, 18-20] .
Seperti banyak penyakit autoimun, laporan dari Research Registry for Neonatal Lupus
/ US menunjukkan bahwa rasio perempuan-laki-laki adalah sekitar 2: 1 dengan NLE kulit,
tetapi distribusi gender untuk penyakit jantung kira-kira sama [21, 22] .
Risiko NLE atau blok jantung bawaan terjadi pada seorang wanita yang dites positif
Ro / SSA yang belum pernah memiliki anak dengan NLE atau blok jantung bawaan kurang
dari 1%. Banyak ibu seropositif dengan antibodi anti-Ro / SSA dan anti-La / SSB melahirkan
bayi yang tidak menunjukkan tanda dan gejala NLE. Namun, pada mereka yang memiliki
bayi dengan NLE, risiko penyakit jantung dan / atau kulit untuk kehamilan di masa depan
tinggi. Insiden blok jantung bawaan adalah 15-30% pada bayi dengan NLE. [19] Blok jantung
biasanya berkembang dalam rahim antara minggu ke-18 dan ke-24 kehamilan. Bayi yang
lahir dari ibu dengan hipotiroidisme karena autoantibodi tiroid dan positifitas anti-Ro / SSA
berisiko sembilan kali lebih tinggi terkena blok jantung lengkap bawaan dibandingkan bayi
yang lahir dari ibu dengan ibu yang hanya memiliki kepositifan anti-Ro / SSA [23]. Sekitar
40-60% ibu tidak menunjukkan gejala ketika bayi didiagnosis memiliki NLE [8]
. Ibu yang
tersisa mungkin memiliki SLE, sindrom Sjogen, rheumatoid arthritis, atau gangguan
autoimun yang tidak berbeda. Ibu dengan sindrom Sjogen primer atau sindrom autoimun
yang tidak berbeda memiliki risiko lebih besar melahirkan bayi dengan blok jantung lengkap
bawaan dibandingkan dengan SLE [12, 24]
. Tidak ada hubungan dengan penyakit autoimun
paternal. [12]
12
2.2.7 PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas SLE pada masa kanak-kanak tergantung pada sistem organ
yang terpengaruh [5, 7]
. Anak-anak dengan NLE memiliki hasil jangka panjang yang sangat
baik ketika hanya lesi kulit yang hadir [36]
. Lesi kulit biasanya menghilang pada usia 6 bulan
bersamaan dengan pembersihan tubuh ibu dari sirkulasi anak [5, 24, 31]
. Keterlibatan kulit
mungkin, jarang, menyebabkan pembentukan bekas luka. Meskipun anak-anak dengan
penyakit kulit mungkin lebih rentan mengembangkan SLE atau autoimunitas di kemudian
hari, ini terutama karena kecenderungan genetik mereka, bukan karena mereka menderita
NLE.
Saudara kandung mereka yang tidak terpengaruh juga berisiko mengalami pengembangan
SLE atau autoimunitas. Sementara lesi kulit NLE sendiri jinak, NLE kulit dikaitkan dengan
risiko 6-10 kali lipat untuk anak berikutnya dengan NLE jantung [5, 24, 31]
. NLE dengan
keterlibatan jantung dikaitkan dengan angka kematian 20-30% pada periode neonatal [5, 24, 31]
.
Mortalitas sangat tinggi dalam kasus blok jantung kongenital dengan kardiomiopati
bersamaan [19, 26]
. Kematian paling sering terjadi akibat gagal jantung kongestif yang
disebabkan oleh blok jantung bawaan. Sekitar 57 hingga 66% pasien dengan blok jantung
bawaan akhirnya membutuhkan alat pacu jantung [5, 24, 31, 36]
. Mereka yang menggunakan alat
pacu jantung berisiko mengalami kardiomiopati dilatasi dalam hidup mereka [37] .
Kematian juga bisa terjadi di kemudian hari sebagai akibat dari kegagalan alat pacu
jantung. Namun, banyak anak-anak dengan blok jantung bawaan mungkin relatif tidak
menunjukkan gejala sampai remaja, ketika mereka mulai berolahraga. Pada saat itu, mereka
dapat mengembangkan sinkop dan memerlukan implantasi alat pacu jantung.
Tingkat kekambuhan blok jantung kongenital rendah, sekitar 15%, tetapi ini hampir
tiga kali lebih tinggi daripada risiko blok jantung kongenital pada primigravida dengan
antibodi diduga [12]
. Uji klinis prospektif tentang penggunaan steroid fluorinated antenatal
pada wanita dengan antibodi anti-SSA / Ro dan / atau anti-SSB / La dengan blok jantung
yang diidentifikasi dalam rahim diperlukan sebelum rekomendasi definitif dapat dibuat.
17
menerima korosterosteroid selama kehamilan atau mulai menerima terapi steroid setelah
kehamilan 16 minggu memiliki blok jantung bawaan. Blok jantung bawaan lengkap, sekali
dikembangkan, tidak menanggapi pengobatan kortikosteroid dalam rahim. Empat bayi yang
ibunya menerima pengobatan kortikosteroid sebelum kehamilan 16 minggu memiliki lesi
kulit NLE.
Para penulis menyimpulkan bahwa setelah tersumbat, blok jantung kongenital lengkap tidak
dapat dipulihkan, dan terapi kortikosteroid ibu tidak secara efektif mencegah LE kulit.
Namun, terapi perawatan prenatal dengan prednisolon atau betametason yang diberikan
kepada ibu dimulai pada awal kehamilan (sebelum usia kehamilan 16 minggu) dapat
mengurangi risiko pengembangan blok jantung bawaan yang dimediasi antibodi pada
keturunannya [44]
. Ibu dengan SLE harus dirawat dengan obat yang efektif dan aman untuk
janin [45] .
Pendekatan semacam itu dapat mengurangi atau mengurangi prevalensi penyumbatan
jantung lengkap yang terkait dengan NLE. Tincani et al. baru-baru ini melaporkan
peningkatan kejadian ketidakmampuan belajar pada anak-anak yang lahir dari ibu dengan
SLE [45].
Kortikosteroid dan beberapa obat imunosupresif dapat digunakan pada kehamilan untuk
mengendalikan penyakit ibu. Beberapa data menunjukkan bahwa paparan janin yang lama
terhadap deksametason dapat mengganggu perkembangan otak [46]. Di sisi lain, Tincani et
al. diikuti 6 anak (rentang usia, 14-65 bulan), lahir dari pasien yang diobati dengan
deksametason karena blok jantung bawaan [45]
. Anak-anak ini ditemukan memiliki
kecerdasan normal [45] .
19
BAB III
Kesimpulan
SLE adalah suatu penyakit yang kronis, rekuren, dan dapat menyebabkan kegagalan
multi organ yang cukup menyulitkan untuk mendiagnosa penyakit ini secara tepat, sehingga
diperlukan kombinasi dari manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis yang
akurat sangatlah penting karena dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas baik pada ibu
maupun pada bayi.
Neonatal lupus erythematosus (NLE) mengacu pada spektrum klinis kelainan kulit,
jantung, dan sistemik yang diamati pada bayi baru lahir yang ibunya memiliki antibodi
terhadap Ro / SSA dan La / SSB. Kondisi ini mungkin terkait dengan gejala sisa serius.
Neonatus dengan NLE harus dikelola di pusat perawatan tersier, dan keterlibatan tim
multidisiplin dapat diindikasikan.
20
Rujukan
13. E. Jaeggi, C. Laskin, R. Hamilton, J. Kingdom, and E. Silver- man, “The importance of the
level of maternal anti-Ro/SSA antibodies as a prognostic marker of the development of car-
diac neonatal lupus erythematosus. A Prospective Study of 186 antibody-exposed fetuses and
infants,” Journal of the American College of Cardiology, vol. 55, no. 24, pp. 2778–2784,
2010.
14. M. Okawa-Takatsuji, S. Aotsuka, S. Uwatoko et al., “Endothe- lial cell-binding activity of
anti-U1-ribonucleoprotein anti- bodies in patients with connective tissue diseases,” Clinical
and Experimental Immunology, vol. 126, no. 2, pp. 345–354, 2001.
15. M. E. Miranda-Carus, A. D. Askanase, R. M. Clancy et al., “Anti-SSA/Ro and anti-SSB/La
autoantibodies bind the sur- face of apoptotic fetal cardiocytes and promote secretion of TNF-
α by macrophages,” Journal of Immunology, vol. 165, no. 9, pp. 5345–5351, 2000.
16. J. Liu, Y. H. Yang, Y. T. Lin, and B. L. Chiang, “Clinical char- acteristics of neonatal lupus
erythematosus,” Journal of Micro- biology, Immunology and Infection, vol. 34, no. 4, pp.
265–268, 2001.
17. P. H. Schur, I. Meyer, M. Garovoy, and C. B. Carpenter, “Asso- ciations between systemic
lupus erythematosus and the major histocompatibility complex: clinical and immunological
con- siderations,” Clinical Immunology and Immunopathology, vol. 24, no. 2, pp. 263–275,
1982.
18. S. Miyagawa, K. Shinohara, T. Fujita et al., “Neonatal lupus erythematosus: analysis of HLA
class II alleles in mothers and siblings from seven Japanese families,” Journal of the
American Academy of Dermatology, vol. 36, no. 2, part 1, pp. 186–190, 1997.
19. P. M. Izmirly, A. Saxena, M. Y. Kim et al., “Maternal and fetal factors associated with
mortality and morbidity in a multi-racial/ethnic registry of anti-SSA/Ro-associated cardiac
neonatal lupus,” Circulation, vol. 124, pp. 1927–1935, 2011.
20. S. Miyagawa, “Neonatal lupus erythematosus: a review of the racial differences and
similarities in clinical, serological and immunogenetic features of Japanese versus Caucasian
patients,” Journal of Dermatology, vol. 32, no. 7, pp. 514–522, 2005.
21. J. P. Buyon, R. Hiebert, J. Copel et al., “Autoimmune- associated congenital heart block:
demographics, mortality, morbidity and recurrence rates obtained from a national neonatal
lupus registry,” Journal of the American College of Cardiology, vol. 31, no. 7, pp. 1658–
1666, 1998.
22. A. R. Neiman, L. A. Lee, W. L. Weston, and J. P. Buyon, “Cut- aneous manifestations of
neonatal lupus without heart block: characteristics of mothers and children enrolled in a
national registry,” Journal of Pediatrics, vol. 137, no. 5, pp. 674–680, 2000.
23. D. Spence, L. Hornberger, R. Hamilton, and E. D. Silverman, “Increased risk of complete
congenital heart block in infants born to women with hypothyroidism and anti-Ro and/or anti-
La antibodies,” Journal of Rheumatology, vol. 33, no. 1, pp. 167–170, 2006.
24. A.Brucato,M.Frassi,F.Franceschinietal.,“Riskofcongenital complete heart block in newborns
of mothers with anti- Ro/SSA antibodies detected by counterimmunoelectrophore- sis: a
prospective study of 100 women,” Arthritis & Rheuma- tism, vol. 44, pp. 1832–1835, 2001.
25. E. Silverman and E. Jaeggi, “Non-cardiac manifestations of neonatal lupus erythematosus,”
Scandinavian Journal of Im- munology, vol. 72, no. 3, pp. 223–225, 2010.
26. L. A. Lee, “Cutaneous lupus in infancy and childhood,” Lupus, vol. 19, no. 9, pp. 1112–1117,
2010.
27. C. Lynn Cheng, S. Galbraith, and K. Holland, “Congenital lupus erythematosus presenting at
birth with widespread ero- sions, pancytopenia, and subsequent hepatobiliary disease,”
Pediatric Dermatology, vol. 27, no. 1, pp. 109–111, 2010.
28. Y. Penate, D. Lujan, J. Rodriguez et al., “Neonatal lupus ery- thematosus: 4 cases and clinical
review,” Actas Dermosifiliogr, vol. 96, pp. 690–696, 2005.
29. D.ElishandN.B.Silverberg,“Neonatallupuserythematosus,” Cutis, vol. 77, no. 2, pp. 82–86,
2006.
30. R. Cimaz, M. Biggioggero, L. Catelli, S. Muratori, and S. Cambiaghi, “Ultraviolet light
exposure is not a requirement for the development of cutaneous neonatal lupus,” Lupus, vol.
11, no. 4, pp. 257–260, 2002.
22