Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu sindrom yang melibatkan banyak organ dan memberikan gejala klinis yang beragam. Perjalanan penyakit ini dapat ringan atau berat, secara terus-menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya. Sistemik Lupus Eritematosus lebih banyak dijumpai pada wanita umur antara 13-40 tahun dengan perbandingan perempuan : laki-laki = 9:1 diduga ada kaitan faktor hormonal dengan patogenesis. Dari berbagai laporan penelitian prevalensi dari masing-masing suku berbeda-beda, diperkirakan 15 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk. Suku Indian Amerika, Afrika, dan Hispanik dilaporkan prevalensi SLE sangat tinggi bila dibandingkan dengan suku Caucasian. Diperkirakan prevalensi di Inggris 12,5/100.000, Asia 17/100.000 penduduk, Aborigin 11/100.000. dilaporkan suku-suku di Asia pevalensi SLE pada suku Cina, Jepang, dan Filipina lebih tinggi dibandingkan suku India dan Pakistan (Askandar, 2007). Genetik, lingkungan, hormonal dianggap sebagai etiologi SLE, yang mana ke tiga faktor ini saling terkait erat. Faktor lingkungan dan hormonalberperan sebagai pencetus pada individu peka genetik (Askandar, 2007). Gejala utama Sistemik Lupus Eritmatosus (SLE) adalah kelemahan umum, anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan berat badan. Sekitar 80% kelainan melibatkan jaringan persendian, kulit, dan darah 30- 0% menyebabkan kelainan ginjal, jantung dan sistem saraf, serta 10-30% menyebabkan trombosis arteri dan vena yang berhubungan dengan antibody antikardiolipin. Manifestasi klinis SLE pada sistem saraf dapat berupa neuropsikiartik psikiosis,kejang, stroke, kelumpuhan saraf kranial, maupun mielopati. Angka kejadian mielopatitransversa pada SLE sekitar 1-2%, sedangkan insiden kejadian

mielopati transversa pada populasi umum 1,34/satu juta. Prevalensi SLE diantara etnik adalah wanita kulit hitam 1:250, wanita kulit putih 1:4300, dan wanita Cina 1:1000. Saat ini mortalitas lupus pada dekade 5 tahun terakhir menunjukkan perbaikan. Five year survival rate-nya saat ini hampir 90 %, sedangkan 15 year survival rate-nya berkisar 63-79 %. Kemajuan ini disebabkan pendekatan terapi yang lebih agresif dan kemajuan penggunaan immunosupresan untuk menekan aktivitas penyakit. Prinsip engobatan adalah untuk menekan aktivitas penyakit, untuk mencegah progresivitas dan memantau efek mpaing obat. Sampai saat ini steriod masih digunakan sebagai pilihan utama untuk mengendalikan aktivitas penyakit.

B. TUJUAN

1. Tujuan umum Setelah mengikuti seminar ini, di harapkan mahasiswa dapat memberikana asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit SLE (Systemisc Lupus erythematosus)

2. Tujuan khusus a. Mahasiswa dapat memahami anatomi fisiologi system hematologi b. Mahasiswa dapat menjelaskan Definisi penyakit SLE c. Mahasiswa dapat menjelaskan etiologi SLE d. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis SLE e. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi SLE f. Mahasiswa dapat menyebutkan pemeriksaan penunjang penyakit SLE g. Mahasiswa dapat menjelaskan pencegahan penyakit SLE h. Mahasiswa dapat menerapkan penatalaksanaan penyakit SLE i. Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan Penyakit SLE

C. MAMFAAT

1. Secara teroritis a. Bagi Ilmu Pengetahuan Penulisan ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan

pengetahuan serta menambah ilmu pengetahuan sehingga tercapai wahana ilmiah dari referensi atau bahan kajian dalam menambah ilmu pengetahuan di bidang pendidikan. b. Bagi Ilmu Keperawatan Sebagai bahan literatur dan dapat memberikan informasi serta bagaimana bentuk pelayanan keperawatan pada pasien dengan penyakit SLE (Systemisc Lupus erythematosus).

2. Secara praktis / klinis a. Untuk PSIK Yayasan Pendidikan Darussalam Lhokseumawe Dapat dimanfaatkan dan dijadikan sebagai bahan dasar dalam penelitian selanjutnya. b. Untuk pelayanan Khususnya pelayanan keperawatan diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam memberikan pelayanan keperawatan terhadap klien di RSUCM.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Lupus adalah nama latin untuk srigala, dan dikenal luas dalam ilmu kedokteran bahwa ruam kupu-kupu yang dilihat di pipi sebagai penderita lupus serupa dengan wajah srigala sehingga disebut lupuserythematosus kali pertama untuk menyebut kelainan kulit oleh orang Prancis, Pierre Cazenave, pada 1851. SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri (Djauzi, 2009). SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau imflamasi multisystem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun (Albar, 2003). Secara sederhana, lupus erythemetosus terjadi karena tubuh menjadi alergi terhadap dirinya sendiri. Dalam istilah immunologi dapat dikatakan, lupus adalah kebalikan apa yang terjadi kanker maupun AIDS. Pada Lupus, tubuh melakukan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus asing dan memproduksi banyak antibodi atau protein-protein yang melawan jaringan tubuh sendiri. Karena itu, lupus disebut dengan penyakit autoimun (auto berarti dengan sendirinya) (Wallace, 2007).

B. PREVALENSI

Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Amerika, Cina, dan mungkin

juga Filipina. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda beda, dari berbagai sumber didapatkan data antara lain : 1. Di Amerika Serikat, insiden penyakit SLE adalah 14.6 50.8 kasus/100.000 orang sedangkan prevalensinya 24- 100/100.000 orang. The Lupus Foundation of America (LFA) memperkirakan sekitar 1,5 juta penduduk Amerika Serikat menderita penyakit SLE dengan berbagai tipe terutama wanita. Orang Amerika keturunan Afrika, Hispanik, orang Amerika asli dan orang Asia memiliki resiko besar untuk menderita penyakit SLE. Di Amerika menunjukkan bahwa angka kematian dan kesakitan tertinggi berada di kalangan Negro, kemudian diikuti oleh orang-orang dari Puerto Ricans baru oleh orang-orang kulit putih. Perbedaan ras, disebabkan oleh variasi normal dari g globulin, di mana kadar ini lebih tinggi di kalangan kaum Negro. 2. Prevalensi penyakit SLE di Swedia adalah 36/100.000 orang. 3. Di Inggris prevalensinya hampir sama dengan orang Asia 40/100.000 orang 4. Di negara Eropa prevalensi SLE 20/100.000 orang 5. Penyakit SLE lebih sering menyerang pada usia 15 40 tahun tetapi semua umur bisa saja terkena, penyakit SLE lebih sering menyerang pada wanita daripada pria ( 9 : 1 ) sedangkan pada anak-anak meningkat 10 : 1. 6. Pada wanita Eropa umur 15 -24 tahun prevalensinya 1/700 orang wanita 7. Pada wanita Amerika-Afrika umur 15 24 tahun prevalensinya 1/245 orang wanita Yang menarik perhatian adalah penyakit SLE jarang ditemukan di Afrika. Ada 2 kemungkinan penyebabanya yaitu : a. faktor resiko lingkungan lebih banyak di Amerika Serikat dan Eropa dibanding kan dengan Afrika. b. Campuran dari gen keturunan Afrika dengan orang Eropa

menghasilkan gen-gen yang meningkatkan kerentanan terhadap penyakit SLE ini. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit.

8. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data yang terakhir diperoleh RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi.

Penyakit lupus justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Organ reproduksi wanita menghasilkan estrogen dan progesteron, hormon pria disebut dengan androgen di mana testosteron menjadi hormon paling penting. estrogen atau hormon pada wanita dapat meningkatkan autoimmunity dan secara tidak langsung menimbulkan peradangan, padahal androgen (hormon pria) secara keseluruhan menekan autoimmunity. Estrogen meningkatkan produksi autoantibody. Menghambat fungsi sel pembunuh alami dan mnyebabkan atrophy pada kelenjar thymus. Lebih lanjut, pada SLE, estrogen mengalami proses metabolisme secara berbeda. Akibat kelainan pada jalur kimia (disebut 16 alpha-hydroxylation), pasien lupus memiliki jumlah 16 alpha-hydroxylation dan estriol metabolite lebih banyak. Pria pasien lupus memiliki jumlah testosteron dan androgen lain yang kurang dari angka normal. Pasien yang mengalami sindrom klinifelter labih cenderung mengidap SLE dan berhubungan langsung dengan kelebihan hormon wanita. Pada kehamilan dari perempuan yang menderita penyakit lupus, sering diduga berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan

perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Survei 1960-an menyatakan bahwa meyoritas jenis kelamin janin yang dikandung wanita pasien SLE yang keguguran adalah laki-laki. Ini menunjukkan bahwa janin yang berjenis kelamin laki-laki tidak dilahirkan (resiko SLE), ini juga dapat menjelaskan mengapa sedikit pria yang mengidap SLE.

C. KLASIFIKASI

Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu: 1. Discoid Lupus Yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005). 2. Systemics Lupus SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998). 3. Drug-Induced Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.

Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000). Definitely *tinggi* Possible *sedang* Unlikely *rendah* Hidralazin Prokainamid Isoniazid Klorpromazin Metildopa Fenitoin Kaptropil Lisinopril Enalapril Antikonvulsan Metimazol Penisilinamin Sulfasalazin Sulfonamid Nitrofurantoin Simetidin Propitiourasil

D. ETIOLOGI

Sampai saat penyebab LES (Lupus eritematsus sistemik) belum diketahui, Diduga ada beberapa faktor yang terlibat, antara lain: 1. Genetik 2. Infeksi, virus 3. Sinar ultraviolet 4. Stress 5. Obat-obatan Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan. 6. Hormon Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang menyebabkan wanita sering terserang penyakit lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum

menstruasi atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama esterogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini.

Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan anti bodi secara terus menerus. Anti bodi ini juga berperan dalam komplek imun sehingga mencetuskan penyakit implamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas selbe. Hal ini dapat terjadi karena beberapa factor : 1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B 2. Hiperaktivitas sel T helper 3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor

E. TANDA GEJALA

Tanda dan gejala umum dari penyakit lupus antara lain: 1. Demam 2. Lelah 3. Merasa tidak enak badan 4. Penurunan berat badan 5. Ruam kulit 6. Ruam kupu-kupu 7. Ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari 8. Sensitif terhadap sinar matahari 9. Pembengkakan dan nyeri persendian 10. Pembengkakan kelenjar 11. Nyeri otot 12. Mual dan muntah 13. Nyeri dada pleuritik 14. Kejang

15. Psikosa. 16. Hematuria (air kemih mengandung darah) 17. Batuk darah 18. Mimisan 19. Gangguan menelan 20. Bercak kulit 21. Bintik merah di kulit 22. Perubahan warna jari tangan bila ditekan 23. Mati rasa dan kesemutan 24. Luka di mulut 25. Kerontokan rambut 26. Nyeri perut 27. Gangguan penglihatan.

F. PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan

imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL)-10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibodi yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari komplemen dan

10

sel imun mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida vasoaktif, dan enzim perusak. Pada SLE, sel tubuh sendiri dikenali sebagai

antigen. Target antibodi pada SLE adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel nukleoprotein. Karena didalam tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai antigen maka akan muncul berbagai macam autoantibodi pada penderita SLE. Kerusakan organ disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk 4 istamin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang akan

memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ tersebut. Sistem komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi klinis SLE tergantung dari organ mana yang terkena. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

G. MANIFESTASI KLINIS

Penyakit SLE menyerang banyak sistem dari tubuh, sehingga kemunculan dan perjalanan penyakitnya bervariasi. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda. Secara umum, manifestasi klinis penyakit SLE dapat dibedakan menjadi manifestasi umum dan manifestasi khusus sesuai dengan organ targetnya. Manifestasi SLE adalah sebagai berikut: 1. Manifestasi Umum a. Kelelahan adalah keluhan umum pada 90% penderita SLE. b. Demam pada SLE dapat mencapai > 40oC tanpa leukositosis. Demam pada penyakit ini biasanya tidak disertai dengan menggigil.

11

c. Penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat demam dan menurunnya nafsu makan. d. Gejala konstitusional lain yang sering dijumpai pada penyakit SLE, yang timbul sebelum ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya antara lain adalah rambut rontok, mual muntah dan hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak dan sakit kepala. Jika ditemukan trias demam, nyeri sendi dan rash pada wanita usia subur, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya SLE. Ini karena, ketiga gejala ini merupakan manifestasi klinis yang paling sering pada penderita SLE. 2. Manifestasi Khusus a. Manifestasi Muskuloskeletal Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut. b. Kulit Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari. c. Ginjal Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam selsel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal. d. Sistem saraf Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis

12

maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi. e. Darah Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun. f. Jantung Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut. g. Paru-paru Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas. h. Manifestasi Gastrointestinal Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh peritonitis autoimun. i. Manifestasi Okuler Sindrom Sicca atau Sindrom Sjgren dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis optik yang merupakan manifestasi berat. Kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Manifestasi okuler pada SLE disebabkan oleh pelbagai mekanisme. Antaranya adalah deposit kompleks imun, vaskulitis dan thrombosis. Antibodi anti fosfolipid dapat menyebabkan penyakit vasooklusif pada retina. Gambaran kelainan mata yang dapat ditemukan antara lain adalah pada:

13

1) Palpebra : Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi kulit yang tak jarang mengenai pipi dan hidung. 2) Konjungtiva : Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Pada permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang mukoid disusul dengan hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa. Reaksi ini dapat lokal atau difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat menyebabkan pengerutan konjungtiva. 3) Sklera : Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler yang makin lama makin sering kambuh dan setiap kali kambuh keadaan bertambah berat. Dengan bekembangnya penyakit, skleritis berubah menjadi skleritis nekrotik yang melanjut dari tempat lesi semula ke segala jurusan sampai dihentikan dengan pengobatan. 4) Uvea : Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan sinekia. 5) Retina : Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita. Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses peradangan. Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi terbanyak kedua setelah

keratokonjungtivitis sicca. Penderita retinopati SLE memiliki penyakit sistemik yang aktif dan penurunan angka kesembuhan yang signifikan. Oleh karena itu, monitoring ketat dan pengobatan yang aggresif pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah penting.

Keluhan nyeri pada mata atau gangguan penglihatan pada pasien SLE memerlukan tindakan yang segera dan specialistik.

14

H. KOMPLIKASI

Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya sendiri ataukomplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE sendiri yang paling seringterjadi adalah infeksi sekunder karena system immune penderita yang immunocompromised.Selain itu, sering juga terjadi komplikasi penyakit aterosklerosis akibat peningkatanantiphospholidip antibody. Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapiimunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis dan infark miokardprematur Komplikasi lupus eritematosus sistemik antara lain : 1. Serangan pada Ginjal a. Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal) b. Kelainan ginjal berat (gagal ginjal) c. Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin) 2. Serangan pada Jantung dan Paru a. Pleuritis b. Pericarditis c. Efusi pleura d. Efusi pericard e. Radang otot jantung atau Miocarditis f. Gagal jantung g. Perdarahan paru (batuk darah) 3. Serangan Sistem Saraf a. Sistem saraf pusat 1) Cognitive dysfunction 2) Sakit kepala pada lupus 3) Sindrom anti-phospholipid 4) Sindrom otak 5) Fibromyalgia (kondisi kronis yang menyebabkan nyeri, kekakuan, dan kepekaan dari otot-otot, tendon-tendon, dan sendi-sendi.).

15

b. Sistem saraf tepi Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki c. Sistem saraf otonom gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom

4. Serangan pada Kulit Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi diskoid. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an: a. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin. b. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuh c. Lesi non spesifik d. Rambut rontok (alopecia) e. Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok f. Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing. 5. Serangan pada Sendi dan Otot a. Radang sendi pada lupus b. Radang otot pada lupus 6. Serangan pada Darah a. Anemia b. Trombositopenia

16

c. Gangguan pembekuan d. Limfositopenia 7. Serangan pada Hati a. Hepatosplenomegali non spesifik b. Hepatitis lupoid

I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan urin, darah lengkap ( Hb, lekosit, trombosit, LED=laju endap darah ) Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin. 2. ANA test, antidsDNA. a. ANA test = Anti Nuclear Antibody test. Nuclear adalah inti sel (nukleus). Antibodi adalah protein yang dikeluarkan oleh sel-sel kekebalan tubuh kita (limfosit) untuk memerangi kuman-kuman yang menyerang kita. Nah, pada Lupus, antibodi ini justru menyerang selsel kita sendiri terutama inti dan struktur di dalam inti. Antibodi jahat ini secara umum dinamakan sebagai autoantibodi. Jadi, ANA adalah autoantibodi yang menyerang inti sel kita. ANA test termasuk dalam salah satu kriteria penting untuk mendiagnosa lupus. ANA test positif tidak selalu terkena lupus. Karena ANA test positif bisa terjadi pada beberapa penyakit lain.

17

b. AntidsDNA = anti double stranded DNA. DNA (deoxyribonucleic acid) adalah pembentuk gen kita, yang tersusun dalam rantai ganda (double stranded/ double helix). Gen ada di dalam inti sel kita. Jadi antidsDNA ini merupakan bagian dari ANA, yang menyerang DNA. AntidsDNA ini cukup spesifik untuk Lupus. Artinya, pada penyakit lain, jarang didapatkan. c. Antibodi terhadap DNA, antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik. d. Ada 11 item kriteria, dan untuk mendiagnosa Lupus, minimal ditemukan 4 kriteria yang positif. Inilah kesebelas item kriteria itu: 1) Ruam malar/ ruam kupu-kupu (malar rash/ butterfly rash). Kulit pada kedua pipi dan batang hidung menjadi berwarna kemerahan, kalau menyembuh akan berwarna gelap. Jika dilihat, bentuknya seperti kupu-kupu. Ruam ini menjadi signature sign dari Lupus, meskipun tidak selalu terdapat pada semua penyandang Lupus. 2) Ruam diskoid. Ruam ini berbentuk bundar, kemerahan, kalau menyembuh akan berwarna kehitaman. 3) Luka pada mulut (oral ulcer). Luka kecil-kecil seperti sariawan, yang berulang di mulut, kadang juga di lidah. 4) Fotosensitivitas. Foto: sinar/ cahaya. Jadi maksudnya peka terhadap cahaya matahari, atau lebih spesifik lagi sinar ultra violet. Kalau terkena sinar, maka kulit penyandang Lupus akan menjadi kemerahan, dan bahkan gejala Lupusnya bisa kambuh atau memberat. 5) Radang sendi (arthritis). Sendi-sendi akan terasa nyeri, bahkan kemerahan dan kadang juga bengkak. 6) Gangguan ginjal. Gangguan ginjal disini bukan batu ginjal atau infeksi ginjal, melainkan keradangan ginjal. Lebih tepatnya lagi

18

keradangan pada filter ginjal (glomerulus). Gangguan ini mudah diperiksa dengan pemeriksaan urin lengkap pada saat tidak mens. Disini akan didapatkan protein dan sel darah merah pada urin yang normalnya tidak ada, atau kalau ada, dalam jumlah yang sangat sedikit. 7) Radang pada selaput serosa. Selaput serosa adalah selaput yang membungkus beberapa organ tertentu dari tubuh kita. Yang paling sering adalah radang selaput pembungkus jantung (pericarditis, pericard= selaput pembungkus jantung, itis = radang), radang selaput paru (pleuritis). Keadaan ini dapat langsung ditemukan oleh dokter saat pemeriksaan, tetapi kadang perlu konfirmasi dengan foto ronsen dan echo cardiography (semacam USG khusus untuk memeriksa jantung). 8) Gangguan pada sistem syaraf. Dapat terjadi penurunan kesadaran bahkan sampai koma. Kejang-kejang yang kadang dikira ayan (epilepsi). Bahkan bisa terjadi gangguan ingatan. Nyeri kepala (nyeri yang bukan pusing, pusing = rasa berputar) tidak termasuk salah satu kriteria ini. 9) Gangguan pada sistem darah. Gangguan ini bisa pada sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit) atau trombosit (kepingkeping darah yang berfungsi untuk pembekuan darah). Anemia hemolitik adalah hancurnya sel-sel darah merah sebelum waktunya (sel darah merah yang normal akan dihancurkan setelah 120 hari) dikarenakan faktor autoimun. Lekosit jumlahnya akan menurun, trombosit juga akan menurun. 10) Pemeriksaan imunologi yang positif. Maksudnya disini adalah pemeriksaan autoantibodi khusus. Yang paling sering diperiksa adalah antidsDNA. Bila anti dsDNA negatif, biasanya akan diperiksa antiSm. Pada ANA test positif Lupus dapat didiagnosa jika minimal 4 dari 11 kriteria diatas.

19

J. PENATALAKSANAAN

Tidak ada obat untuk SLE. Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala, beberapa penatalaksanaan antara lain : 1. Penatalaksanaan untuk SLE dengan gejala ringan: a. NSAID : untuk mengatasi gejala reumatik, radang selaput dada dan radang lainnya b. Krim kortikosteroid : untuk mengatasi gejala ruam pada kulit c. Obat anti malaria (hydroxychloroquine) : untuk mengatasi gejala di kulit dan artritis d. Pembatasan diet 1) Rendah garam 2) Tinggi asam folat : Alpukat, daging, kuning telur 3) Omega 3 : minyak ikan, ikan tuna, salmon 4) Cukup kalsium : susu, keju, bayam, brokoli 5) Rendah lemak : hindari gorengan, jeroan, daging berlemak tinggi, santan 2. Penatalaksanaan untuk SLE dengan gejala berat a. Glukokortikoid sistemik b. Sitotoksik imunosupresif

Contoh obat: Cyclophosphamide i. Mychophenolate Mofetil ii. Azathioprine 3. Pendidikan Kesehatan a. Penjelasan tentang lupus dan etiologinya b. Klasifikasi dan gejalanya masing-masing c. Masalah fisik d. Masalah psikis e. Pemakaian obat dan efek samping

20

f. Pemaparan pada yayasan lupus (YLI (Yayasan Lupus Indonesia))

Pendidikan Kesehatan ke keluarga dan pasien untuk perawatan di rumah a. Pasien dianjurkan untuk cukup istirahat dan menghindari kelelahan. Namun tidak terlalu membatasi aktifitas. b. Pasien dianjurkan memakai baju tertutup, topi, payung dan anti UV spf 30 bila pergi ke luar ruangan. c. Pasien dianjurkan untuk menghangatkan sendi yang sakit dengan cara kompres lembab. d. Pasien dianjurkan untuk berolahraga namun juga memperhatikan tingkat kelelahan. e. Pasien dianjurkan untuk tidak merokok dan menghindari paparan asap rokok. Keluarga pasien dijelaskan mengenai dampak sosial yang akan dialami Pasien.

21

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada Putri Safira Ramadhana dengan dx medis Sistemik Lupus Eritematosis keperawatan yaitu : 1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan sel penyalur oksigen dan nutrisi 2. Risikoinfeksi berhubungan dengan prosedur invasif 3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri sendi 4. Kurang pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang terpapar informasi Dari keempat diagnosis keperawatan di atas semua teratasi sebagian dan melanjutkan tindkan keperawatan sampai tujuan tercapai seluruhnya. didapatkan 4 diagnosis

B. Saran Untuk perawat 1. Diharapkan dapat menjaga kerjasama yang bagus yang sudah terjalin antara sesama perawat maupun tim kesehatan lain 2. Diharapkan memeprtahankan dan meningkatkan kinerja dalam melakukan asuhan keperawatan sesuai standar 3. Diharapkan dapat mempertahanan sikap profesional dan ramah tamah kepada klien Untuk praktikan 1. Diharapkan mampu menerapkan teori yangsudah dipelajari dengan praktik nyata di Ruang Melati 4 RSUP Dr Sardjito

22

2. Diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan yang singkat untuk mendapatkan pembelajaran 3. Diharakan aktif bertanya kepada perawat maupun tim kesehatan lainnya apabila ada hal yangbelum dimengerti Untuk Keluarga Klien 1. Diharapkan selalu menaati program pengobatan yang ada 2. Diharakan mampu kooperatif terhadap semua instruksi dari para tenaga kesehatan

23

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC FKUI. 1985. Imlu Kesehatan Anak I. Jakarta : FKUI Herdman, Heather. 2010. Nanda Internasional Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Penerbit: EGC Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Sachrim, Rosa M. 1994. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC

24

Anda mungkin juga menyukai