PENDAHULUAN
Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat
kanker pada perempuan. Selama 30 tahun terakhir, peningkatan proporsi
perempuan muda yang terkena kanker serviks berkisar antara 10% sampai 40%.
Berdasarkan data World Health Organization, tahun 2020 kanker serviks
menduduki peringkat ke 4 kanker terbanyak pada perempuan dan diperkirakan
ada 604.000 perempuan kasus baru yang terdiagnosis kanker serviks dengan
angka kematian 544.076. Sedangkan di Asia tenggara, kanker serviks menempati
urutan ketiga kanker pada perempuan dengan 62.456 kasus baru dan 35.738 angka
kematian yang paling banyak terjadi di negara berkembang. Kanker serviks di
Indonesia menduduki peringkat kedua setelah kanker payudara. Pada tahun 2020,
di Indonesia diperkirakan ada 36.633 kasus baru kanker serviks setiap tahunnya
dengan 21.003 angka kematian. 1,2
Secara global, usia rata-rata saat didiagnosis kanker serviks adalah 53 tahun.
Sekitar 85% dari kematian di seluruh dunia akibat kanker serviks terjadi di
negara-negara terbelakang atau berkembang, dan angka kematian 18 kali lebih
tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dibandingkan
dengan negara-negara kaya.1,3
Untuk mencegah kanker serviks, wanita dapat diskrining menggunakan
berbagai tes untuk mengidentifikasi mereka yang memiliki atau berisiko
mengalami pra-kanker serviks. Cervical intraepithelial neoplasia (CIN) ditandai
dengan perubahan seluler di zona transformasi serviks. CIN biasanya disebabkan
oleh infeksi human papillomavirus (HPV), terutama jenis HPV berisiko tinggi
seperti strain 16 dan 18 (kedua jenis ini menyebabkan lebih dari 70% kanker
serviks). CIN 1 juga disebut sebagai low-grade squamous intraepithelial lesions
(LSIL) adalah korelasi morfologis HPV infeksi. Lesi CIN2/3 juga disebut high-
grade squamous intraepithelial lesions (HSIL) adalah korelasi pra-kanker serviks
yang, jika tidak diobati dapat berkembang menjadi kanker serviks. Diperkirakan
bahwa, pada 70% wanita yang terkena, CIN 2 atau CIN 3 dapat persisten atau
berkembang menjadi kanker serviks setelah 10–20 tahun. 4,
2
Tiga jenis metode skrining serviks (sitologi, tes HPV, dan inspeksi visual
dengan asetat (IVA) atau dengan visual inspection lugol iodine (VILI) saat ini
banyak digunakan. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Salah
satu metode konvensional skrining berbasis sitologi yang kita kenal dengan Pap
smear. Pap smear melibatkan pengambilan sampel sel dari seluruh zona
transformasi. Sel-sel tersebut difiksasi pada slide dan kemudian dikirim ke
laboratorium di mana ahli sitoteknologi memeriksa sel di bawah mikroskop. Jika
sel abnormal terlihat pada pemeriksaan mikroskopis, tingkat kelainan
diklasifikasikan menggunakan Sistem Bethesda.6 Tes Pap smear telah terbukti
secara efektif mengurangi insiden dan mortalitas kanker serviks di negara-negara
yang memiliki program skrining yang baik .7
Tujuan skrining kanker serviks adalah untu mengidentifikasi lesi prakanker
atau kanker serviks stadium awal. Hasil tes yang tidak normal mengarah ke
manajemen lebih lanjut dengan sitologi ulang, tes HPV, atau kolposkopi dengan
biopsi lesi. Skrining sebelumnya terbatas pada serviks sitologi. Tes HPV telah
menjadi skrining penting alat baik dipasangkan dengan sitologi (pengujian
bersama) atau, baru-baru ini, sebagai skrining yang berdiri sendiri. 8
Hal ini yang mendasari penulis melakukan telaah sistematik terhadap Pap
smear. Kita perlu mengetahui prosedur, hasil, interpretasi Pap smear serta
manajemen yang dapat dilakukan.
3
A B
Gambar 2.1. Epitel skuamosa normal. A. Pada kondisi normal, lapisan basal bertindak sebagai
reserve cell. B. Mitosis hanya diidentifikasi dalam sel parabasal.9
Epitel kolumnar adalah sebuah lapisan tunggal yang mensekresi musin dan
melapisi permukaan kanal endoserviks serta struktur kelenjar di bawahnya.
Kelenjar endoserviks adalah struktur yang mewakili lipatan dalam seperti celah
pada epitel permukaan dengan banyak kolateral seperti terowongan yang buta.
Karena arsitektur kompleks dari celah, atau alur ini, struktur tersebut muncul
sebagai kelenjar yang terisolasi di bagian histologis. Epitel yang melapisi celah
identik dengan yang melapisi permukaan, dan akibatnya, bagian penghasil musin
endoserviks tidak dianggap kelenjar namun merupakan membran musin yang
kompleks. Kelenjar sejati (true glands) memiliki lapisan epitel yang berbeda pada
aparatus sekretorinya dibandingkan dengan bagian epitel duktus dan
permukaannya.10
Sel-sel epitel kolumnar memiliki inti di dasar dan sitoplasma tinggi,
seragam, granular halus yang diisi dengan droplet musin. Sel-sel nonsekretori
dengan silia memiliki fungsi utama mendistribusikan dan memobilisasi lendir
endoserviks. Secara biokimia dan imunohistokimia, sel-sel kolumnar dari
5
Gambar 2.2. Mukosa endoserviks. Tampak struktur kelenjar endoserviks berupa lipatan dalam
seperti celah pada epitel permukaan.10
Batas antara epitel skuamosa berlapis dan epitel kolumnar yang mensekresi
musin pada endoserviks disebut squamocolumnar junction (SCJ). Terdapat dua
SCJ yang berbeda. Salah satunya disebut original SCJ yang merupakan tempat
epitel skuamosa natif dari ektoserviks berbatasan dengan epitel kolumnar
endoserviks pada saat lahir. Bayi baru lahir memiliki beberapa epitel endoserviks
kolumnar yang mensekresi musin pada ektoserviks. Pada sekitar usia 1 tahun,
serviks mulai memanjang. Hal ini menyebabkan migrasi SCJ menuju ostium
eksternal. Faktor hormonal dan fisik lainnya mempengaruhi ukuran dan distribusi
ektopi serviks dengan mengubah bentuk dan volume serviks. Pada saat menarche
atau selama kehamilan, baik rahim dan leher rahim membesar. Pembesaran
serviks disertai dengan perubahan bentuknya yang menghasilkan lebih banyak
eversi atau pengguliran keluar epitel kolumnar endoserviks ke porsio.9
Mukosa endoserviks tampak sebagai zona merah seperti beludru, sangat
kontras dengan epitel portio skuamosa berwarna merah muda yang tembus
6
Gambar 2.3. Sel squamocolumnar junction (SCJ). Tampak sel epitel kuboid yang berada di SCJ.9
Sel metaplastik yang sepenuhnya matur dan epitel skuamosa asli mungkin
tidak dapat dibedakan secara histopatologi, tetapi metaplasia sel skuamosa dapat
dikenali dengan adanya kelenjar endoserviks yang mendasarinya (gambar 2.4).
Hal ini yang mengidentifikasi perbatasan antara epitel glikogenasi asli dan
metaplastik. Epitel glikogenasi metaplastik tetapi belum sepenuhnya matur dapat
terdiri dari sel-sel dengan sitoplasma eosinofilik yang lebih kompak dengan rasio
nuclear cytoplasm (N:C) yang sedikit lebih tinggi. Kadang-kadang mitosis normal
mungkin ada. Metaplasia imatur hanya beberapa lapisan sel tebal dan memiliki sel
basaloid seragam tanpa glikogen, yang menjelaskan deskripsi sebelumnya yang
disebut metaplasia transisional. Sisa-sisa epitel kolumnar dapat menutupi epitel
metaplastik. Pembesaran nukleus dapat terlihat, tetapi ketidakteraturan kontur
nukleus dan hiperkromasia nukleus harus meningkatkan kecurigaan untuk
squamous intraepithelial lesion (SIL) dan diagnosis ini harus dikonfirmasi dengan
demonstrasi ekspresi berlebih p16 imunohistokimia. Metaplasia skuamosa tidak
menunjukkan kepositifan p16 tipe blok. Metaplasia imatur papiler sekarang
dikenali sebagai SIL tingkat rendah yang diinduksi HPV risiko rendah dengan
pewarnaan p16 yang tidak merata, dan sebagian besar kasus metaplasia imatur
atipikal dapat direklasifikasi sebagai p16-overexpressing thin HSIL.11
8
Gambar 2.4. Metaplasia sel skuamosa. A. Metaplasia skuamosa imatur melibatkan permukaan
endoserviks dan kelenjar. Epitel metaplastik tebal tidak memiliki deposisi glikogen, tidak adanya
epitel kolumnar tinggi, aktivitas mitosis, dan atipia. B. Metaplasia skuamosa matur. Epitel
skuamosa glikogenasi yang tebal, tidak berkeratin, dengan kelenjar endoserviks di stroma di
bawahnya. 11
Sel skuamosa metaplastik adalah sel poligonal kecil dengan inti oval
seragam dengan membran inti halus (gambar 2.5). Ketika terjadi secara tunggal,
mereka dapat meningkatkan kekhawatiran untuk HSIL. Kurangnya hiperkromasia
dan adanya kontur nukleus yang halus adalah fitur yang membantu dalam
mendukung proses jinak.11
Kesulitan praktik sitologi adalah evaluasi sel metaplastik, terutama yang
memiliki rasio inti terhadap sitoplasma yang tinggi. Seseorang harus
mengevaluasi inti dan sitoplasma. Rasio inti terhadap sitoplasma kurang dari 50%,
kontur inti halus, dan distribusi kromatin yang merata semuanya mendukung
metaplasia skuamosa jinak (gambar 2.6). Rasio inti terhadap sitoplasma yang
lebih besar dengan hiperkromatin dan/atau ketidakteraturan kontur inti dapat
dipertimbangkan sebagai HSIL atau atypical squamous cells – cannot exclude an
HSIL (ASC-H). 12
9
Gambar 2.5. Sel skuamosa metaplasia. Sel skuamosa metaplasia memiliki inti bulat di tengah,
sitoplasma padat dan batas sel yang jelas.12
Gambar 2.6. Metaplasia skuamosa. Rasio inti terhadap sitoplasma kurang dari 50%, kontur inti
halus, dan distribusi kromatin. 12
Lesi prakanker pada serviks adalah perubahan pada sel serviks di zona
transformasi. Menurut WHO, perubahan ini dapat terjadi pada salah satu dari tiga
tahap: neoplasia intraepitel serviks stadium 1 (CIN1), stadium 2 (CIN2), atau
stadium 3 (CIN3). Kondisi ini belum menjadi kanker. Tetapi jika tidak diobati,
CIN2 atau CIN3 yang secara kolektif disebut sebagai neoplasia intraepitel serviks
stadium plus (CIN2+) dapat berkembang menjadi kanker serviks. 13
Peran HPV di serviks kanker pertama kali diusulkan antara tahun 1974 dan
1976. Pada tahun 1976, Meisels dan Fortin menggambarkan "koilocyte" dalam
apusan serviks dan indikasi infeksi HPV. Genotipe HPV untuk jenis risiko tinggi
telah menjadi salah satu tes skrining untuk kanker serviks. Genotipe virus
papiloma manusia dan metode lainnya untuk deteksi HPV juga dapat membantu
evaluasi konvensional Pap smear, sitologi berbasis cairan serta spesimen
jaringan.14
Lebih dari 200 genotipe HPV telah diidentifikasi dan diklasifikasikan
menjadi 16 generasi. Setiap genus kemudian dikelompokkan menjadi spesies dan
jenis. Ada juga jenis lain klasifikasi yang lebih relevan secara klinis, misalnya
HPV kulit dan mukosa berdasarkan lokasi infeksi yang disukai dan HPV risiko
tinggi dan rendah berdasarkan asosiasinya dengan penyakit jinak atau ganas.
Sekitar 40 mutasi subtipe HPV dikaitkan dengan infeksi pada saluran genital dan
13 di antaranya dianggap sebagai karsinogen serviks, termasuk HPV 16, 18, 31,
33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, dan 66. Human papillomavirus 16 dan 18
berkorelasi sekitar 70% dari semua kanker serviks, dengan HPV 18 memiliki
risiko untuk adenokarsinoma, sedangkan HPV 16 untuk karsinoma sel
skuamosa.15
Perjalanan alami infeksi HPV di serviks beradaptasi untuk proses
diferensiasi sel epitel. Human papilloma virus bergantung pada sistem replikasi
DNA sel inang, sehingga infeksi HPV dimulai dari sel basal yang sangat
proliferatif di epitel. Selain keberadaan HPV, mikrolesi pada lapisan sel basal
juga diperlukan untuk akuisisi virus. Untuk memastikan replikasi genom virus dan
menyelesaikan siklus hidup, HPV mengekspresikan E6 dan E7. 13
11
Gambar 2.7. Peran gen HPV E6 dan E7 pada karsinogenesis kanker serviks. Protein E6 berikatan
dengan protein p53 dan E7 berikatan dengan pRb.16
dapat terjadi. Faktor terpenting untuk infeksi HPV persisten adalah genotipe,
dengan HPV 16 dan 18 sebagai kandidat yang paling mungkin. Kontribusi lainnya
faktor yang terlibat adalah imunosupresi, disposisi genetik, komposisi lokasi
mikrobiota vagina, peningkatan stres oksidatif. 15
Beberapa persiapan yang dilakukan sebelum Pap smear yaitu pasien tidak
boleh menggunakan obat vagina, kontrasepsi vagina atau douche selama 48 jam
sebelum tes, hubungan seksual harus dihindari selama 24 jam sebelum tes, sampel
tidak boleh diambil saat menstruasi, Pap smear tidak boleh dilakukan sampai 6
sampai 8 minggu paskapersalinan. 17
2.4.1. Interpretasi
Tes skrining sitologi tidak memberikan diagnosis akhir. Diagnosis akhir
ditentukan kemudian dengan kolposkopi dan biopsi terarah. Pelaporan sitologi
serviks distandarisasi oleh sistem nomenklatur Bethesda tahun 2014. Sistem
Bethesda tahun 2014 mencakup pernyataan spesifik mengenai kecukupan
spesimen, kategorisasi umum, dan interpretasi atau hasil. Kecukupan spesimen
dibagi menjadi satisfactory for evaluation dan unsatisfactory for evaluation.
Kategori umum dibagi menjadi negatif terhadap lesi intraepitelial atau malignansi
dan abnormalitas epitel. Interpretasi atau hasil dibagi menjadi negatif terhadap lesi
intraepitelial atau malignansi, non-neoplastik, organisme, abnormalitas sel epitel.8
Adekuasi spesimen dibagi menjadi satisfactory cytology dan unsatisfactory
cytology. Spesimen dikatakan adekuat jika mengandung minimal 5000 sel
skuamosa pada sediaan liquid based preparation dan 8000-12.000 sel skuamosa
pada sediaan konvensional, adanya komponen endoservik atau zona transformasi
dan tidak adanya faktor-faktor penggangu seperti bekuan darah, lubrikan, dll. 20
Pada spesimen dengan unsatisfactory cytology dengan HPV negatif atau
tidak diketahui ulangi sitologi dalam 2-4 bulan. Pada wanita 30 tahun atau lebih
yang dilakukan co-testing HPV positif dapat dilakukan ulang sitologi 2-4 bulan
atau kolposkopi (gambar 2.8). Kolposkopi dilakukan pada wanita dua kali
berturut dengan hasil unsatisfactory cytology.20
Pada wanita usia 21-29 tahun dengan hasil sitologi negatif dengan tidak
adanya atau insufisiensi komponen zona transformasi/endoserviks
direkomendasikan skrining rutin. Tes HPV tidak dianjurkan.20
Pada wanita 30 tahun atau lebih dengan hasil sitologi negatif dengan tidak
adanya atau insufisiensi komponen zona transformasi/endoserviks tes HPV
15
dianjurkan atau ulangi sitologi 3 tahun jika tes HPV tidak dilakukan. Jika tes HPV
negatif kembali ke skrining rutin. Jika HPV positif genotipe 16 dan 18 dianjurkan
kolposkopi. Jika bukan HPV 16 dan 18 dapat dilakukan co-testing > 12 bulan.20
Gambar 2.8. Manajemen hasil sitologi unsatisfactory cytology. Unsatisfactory cytology dengan
HPV negatif atau tidak diketahui ulangi sitologi dalam 2-4 bulan. Wanita ≥ 30 tahun dilakukan co-
testing HPV positif dapat dilakukan ulangi sitologi 2-4 bulan atau kolposkopi. 20
ASC mengacu pada perubahan sitologi sugestif SIL, tetapi secara kualitatif
atau kuantitatif tidak cukup untuk diinterpretasikan sebagai SIL. Temuan sitologi
yang paling konsisten dengan perubahan reaktif jinak harus ditinjau dengan hati-
hati dan diklasifikasikan negatif untuk lesi intraepitel atau keganasan. Interpretasi
ASC mensyaratkan bahwa sel-sel yang bersangkutan menunjukkan tiga fitur
penting: (1) diferensiasi skuamosa, (2) peningkatan rasio nukleus terhadap
sitoplasma, dan (3) perubahan nukleus minimal yang mungkin termasuk
hiperkromatin, penggumpalan kromatin, iregularitas, smudging, dan/atau
multinukleasi. Inti yang tampak tidak normal adalah prasyarat untuk interpretasi
ASC-US. Temuan perubahan sitoplasma dan inti yang terkait dengan infeksi HPV
(perinuklear halo/koilocyte) memerlukan interpretasi SIL.12
Gambar 2.9. Sel skuamosa intermediete atipikal. Sel dengan nukleus 2−3× dari nukleus sel
skuamosa intermediete normal dan membrane inti tidak beraturan.12
halo yang tidak jelas atau vakuola sitoplasmik yang menyerupai koilosit tanpa
perubahan nukleus.12
Gambar 2.10. ASC-US. Seorang wanita berusia 28 tahun. Sel skuamosa intermediete dengan
nukleus yang membesar dan sedikit irregular. Kriteria atipia tidak memenuhi kriteria LSIL. High
risk human papilloma virus (hrHPV) positif. Biopsi menunjukkan LSIL (CIN1).12
Gambar 2.11. ASC-US. Seorang wanita berusia 28 tahun. Atipikal binukleus sel intermediete
dengan sitoplasma orangeophilic, sugestif tapi tidak didiagnosis dengan LSIL. hrHPV positif.
Biopsi menunjukkan LSIL (CIN1).12
Namun, jika nukleus membesar, hiperkromatik, atau konturnya tidak teratur atau
jika sel muncul dalam kelompok tiga dimensi yang disebut sebagai parakeratosis
atipikal, interpretasi ASC atau SIL harus dipertimbangkan tergantung pada derajat
kelainan (gambar 2.12).12
2. Atypical Repair
Perubahan reparatif yang ditandai dengan overlap seluler, diskohesi,
anisonukleosis, dan/atau hilangnya polaritas inti dapat ditetapkan sebagai atypical
repair. Insiden atypical repair telah dilaporkan berkisar antara 25% hingga 43%
pada kelompok populasi berisiko tinggi. Namun, kejadian SIL pada populasi yang
lebih beragam telah terbukti jauh lebih rendah. Diagnosis banding atypical repair
sangat luas. Perubahan yang berada di ujung bawah spektrum atipia umumnya
ditetapkan sebagai ASC.12
Gambar 2.12. Sel atipik keratinisasi. Seorang wanita berusia 25 tahun. Lembaran sel keratotik
dengan pembesaran inti, hiperkromasia dan sitoplasma orangeophilic. hrHPV positif. Biopsi
menunjukkan LSIL dengan keratinisasi yang menonjol. 12
19
Gambar 2.13. ASCUS. Sel dengan sitoplasma pulled-out or streaming effect. Inti menunjukkan
pleomorfisme, ukuran dan bentuk dengan beberapa sel yang multinucleated, nukleolus yang
menonjol.12
penyakit sel skuamousa sebelumnya atau tidak memiliki tes hrHPV positif
sebelumnya. 12
Gambar 2.14. Postmenopausal atypia. Wanita paskamenopause dengan pola sel atrofi, terutama
terdiri dari sel-sel parabasal. Adanya inti yang membesar sesekali adalah ciri khas atipia
paskamenopause dan sering disebut ASC-US. Tes hrHPV biasanya negatif dalam kasus seperti
ini.12
Untuk wanita dengan sitologi ASC-US, reflex HPV testing lebih disukai.
Untuk wanita dengan ASC-US HPV negatif, baik dari reflex HPV testing atau
co-testing, ulangi co-testing 3 tahun. Untuk wanita dengan ASC-US HPV positif,
baik dari reflex HPV testing atau co-testing, kolposkopi direkomendasikan. Ketika
kolposkopi tidak mengidentifikasi CIN pada wanita dengan ASC-US HPV positif,
co-testing pada 12 bulan direkomendasikan. Jika co-testing HPV negatif dan
sitologi negatif, skrining 3 tahun kemudian direkomendasikan. Jika semua tes
negatif pada saat itu, skrining rutin direkomendasikan. Direkomendasikan bahwa
tes HPV setelah kolposkopi tidak dilakukan pada interval kurang dari 12 bulan. 20
Untuk wanita dengan sitologi ASC-US dan tidak ada hasil HPV, sitologi
ulang pada 1 tahun dapat diterima. Jika hasilnya ASC-US atau lebih buruk,
kolposkopi dianjurkan. Jika hasilnya negatif, kembali ke tes sitologi dengan
interval 3 tahun direkomendasikan (gambar 2.15).20
21
Gambar 2.15. Manajemen hasil sitologi ASC-US. Sitologi ASC-US dengan HPV negatif, ulangi
co-testing 3 tahun. ASC-US dengan HPVpositif, kolposkopi direkomendasikan 20
Gambar 2.16. ASC-H. Sekelompok sel atipikal imatur metaplastik dengan pembesaran inti, rasio
inti terhadap sitoplasma tinggi, kromatin kasar dan kontur inti tidak teratur. Gambaran ini sugestif
tetapi tidak cukup untuk interpretasi HSIL. Biopsi lanjutan mengungkapkan HSIL (CIN3). 12
2. Hiperseluler
Mikrobiopsi sel skuamosa padat yang mengandung inti yang atipikal seperti
disebutkan di atas, kehilangan polaritas, atau sulit untuk divisualisasikan.
Sitoplasma padat, bentuk sel poligonal, dan fragmen dengan tepi linier yang tajam
umumnya disukai skuamosa di atas diferensiasi kelenjar glandular (endoserviks)
(gambar 2.17).12
Penatalaksanaan wanita dengan hasil sitologi ASC-H, kolposkopi
dianjurkan terlepas dari hasil HPV test (gambar 2.18). 20
23
Gambar 2.17. ASC-H. Sel dengan inti kromatin dan batas teratur. Ketebalan kluster membuatnya
sulit untuk menentukan apakah sel skuamosa atau kelenjar. Disorganisasi sel-sel dalam kelompok
sugestif HGSIL. Namun, fitur nukleus tidak cukup untuk interpretasi definitif. 12
Gambar 2.18. Manajemen hasil sitologi ASC-H. Kolposkopi dianjurkan tanpa melihat hasil tes
HPV . 20
HPV dan jarang terkait LR-HPV memiliki risiko perkembangan menjadi HSIL
dan keganasan. Risiko ini lebih besar untuk lesi HPV16/18-positif .11
Kehadiran DNA HPV diperlukan tetapi tidak cukup untuk pengembangan
SIL, karena banyak infeksi HPV tidak berlanjut menjadi lesi yang dapat dideteksi
secara morfologis. LSIL terjadi ketika infeksi HPV menjadi produktif dalam sel
yang telah memulai pematangan, sedangkan HSIL dihasilkan dari ekspansi klonal
sel yang didorong oleh virus di seluruh epitel. 11
Ekspresi gen virus dikoordinasikan dengan diferensiasi skuamosa pada
LSIL, sedangkan tidak dikoordinasikan dengan diferensiasi skuamosa pada HSIL.
Ekspresi yang tidak terkoordinasi dari protein virus E6 dan E7 dari tipe HR-HPV
adalah kunci untuk induksi abnormalitas genetik dan seluler lainnya yang terkait
dengan perkembangan HSIL. Protein E6 dan E7 mengerahkan efek utamanya
pada protein kontrol siklus sel, khususnya p53 dan RB1 (pRB), masing-masing,
dan interaksi antara E7 dan RB1 bertanggung jawab atas peningkatan regulasi
ekspresi protein p16 pada lesi yang terinfeksi HR- HPV. Protein LR-HPV E7
tidak menginduksi over ekspresi p16. Hal ini menjelaskan tidak adanya
kepositifan p16 pada lesi yang terinfeksi tipe LR-HPV.11
LSIL umumnya DNA-stabil, dan inti membesar biasanya euploid atau
poliploidi. Sebaliknya, HSIL lebih sering menunjukkan aneuploidi daripada
poliploidi, yang mencerminkan peningkatan ketidakstabilan genetik. HGSIL juga
menunjukkan integrasi DNA dan abnormalitas 1p dan 3q lebih sering daripada
LSIL. Hipermetilasi CpG islands di daerah promotor gen supresor tumor
tampaknya penting untuk progresifitas malignan, karena gambaran molekuler ini
umum ditemukan pada HSIL tetapi jarang terlihat pada LSIL.11
Sebagian besar SIL serviks yang terkait hr-HPV adalah lesi datar yang
awalnya tidak terlihat dengan mata telanjang dari latar belakang mukosa normal.
Secara kasar, tidak ada cara untuk membedakan antara LSIL dan HSIL, dan kedua
lesi ini dapat hidup berdampingan. Mereka dapat divisualisasikan secara
makroskopik dengan bantuan kolposkopi dan biasanya hanya setelah aplikasi
asam asetat, yang membuat lesi menjadi putih (dengan HSIL biasanya tampak
lebih putih aseto dan untuk waktu yang lebih lama daripada LSIL). Pengambilan
26
sampel kolposkopi memiliki sensitivitas yang tidak sempurna, karena SIL datar
terkadang sulit untuk diidentifikasi. Oleh karena itu, hasil biopsi negatif tidak
meniadakan atau mengesampingkan kekhawatiran yang dipicu oleh lesi yang
terdeteksi secara sitologi.11
• LSIL
LSIL dicirikan oleh sepertiga bagian bawah epitel yang menunjukkan
proliferasi sel seperti basal/parabasal yang mungkin menunjukkan aktivitas
mitosis, meskipun biasanya tanpa mitosis atipikal, bersama dengan atipia koilosit
dengan gambaran maturisasi/diferensiasi yang tetap ada. Meskipun sel-sel dari
dua pertiga di atasnya menunjukkan peningkatan sitoplasma dan hilangnya
morfologi parabasal/basal, nukleus yang membesar tetap ada sehingga rasio N:C
tetap meningkat. Inti juga menunjukkan hiperkromatin dan membran nukleus
irreguler, dan mungkin menunjukkan binukleasi atau multinukleasi. Khususnya,
inti ini mungkin sangat atipikal dan mungkin muncul bahkan di lapisan paling atas
epitel di LSIL, dan temuan ini tidak menjamin diagnosis HSIL asalkan sejumlah
besar sitoplasma masih ada. Banyak sel memiliki halo seperti vakuola yang
berbatas tegas di sekitar nukleus. Halo ini biasanya menampilkan batas tegas,
tidak teratur, padat yang membantu membedakannya dari pseudohalo yang kaya
glikogen dan reaktif. Koilositosis biasanya paling menonjol di sepertiga bagian
atas epitel tetapi dapat meluas lebih dalam (gambar 2.19).11
LSIL harus dibedakan dari entitas morfologis serupa. Pertama, epitel
skuamosa jinak reaktif atau inflamasi dapat menyerupai LSIL. Sebanyak 50% dari
biopsi yang didiagnosis sebagai LSIL pada pembacaan awal gagal untuk
menunjukkan RNA HPV dan mendapatkan klasifikasi ulang sebagai jinak/reaktif
pada tinjauan ahli sehingga terjadi overdiagnosis. Pemeriksaan imunohistokimia
p16 tidak memiliki kegunaan pada diagnostik ini, karena banyak LSIL yang
negatif. Namun, pengujian HPV langsung (misalnya hibridisasi in situ RNA HPV)
mungkin informatif. Kedua, HSIL, khususnya moderate HSIL (CIN 2) mungkin
sulit dibedakan dari LSIL (CIN 1) bahkan di antara para ahli. Berbeda dengan
LSIL (CIN 1), moderate HSIL (CIN 2) menunjukkan perluasan morfologi
basal/parabasal dan aktivitas mitosis di luar sepertiga epitel bawah. Namun,
27
penilaian diagnostik mungkin rumit pada bagian tangensial atau kasus dengan
denudasi epitel parsial. HSIL hampir selalu menunjukkan pewarnaan p16 tipe
blok, seperti halnya sebagian besar LSIL. Dengan tidak adanya pewarnaan p16
tipe blok, HSIL sangat tidak mungkin. Imunohistokimia p16 sangat membantu
dalam kasus morfologis yang meragukan ketika dicurigai HSIL, terutama pada
wanita muda (berusia <30 tahun).11
Gambar 2.19. LSIL. A. Permukaan mukosa penuh dengan koilosit dengan inti yang membesar dan
tidak beraturan dan halo perinuclear. B. Pewarnaan p16 bisa negatif (hanya dengan pewarnaan
nukleus dan sitoplasma yang tidak merata). 12
LSIL ditandai dengan sel displastik dengan rasio N:C rendah dan inti yang
membesar ( >3 kali ukuran inti sel intermediate ), hiperkromatik, dan tidak
teratur. Binukleasi dan lingkaran halo koilositik perinuklear yang mungkin ada
(gambar 2.20).11
Gambar 2.20. LSIL. Koilosit dengan inti hiperkromatik yang membesar dan lingkaran perinuklear
yang menonjol keluar. 11
• HSIL
HSIL (CIN 2) menunjukkan kelainan inti full-thickness (hiperkromasia,
kromatin kasar, membran tidak teratur), peningkatan rasio N:C, dan aktivitas
28
Gambar 2.21. HSIL (CIN 2). D. Sel abnormal dengan rasio N:C tinggi di atas sepertiga bagian
bawah mukosa. E. Reaktivitas p16 blok-positif.12
Gambar 2.22. HSIL (CIN 3). G. Sel abnormal dengan rasio N:C tinggi melibatkan lebih dari dua
pertiga ketebalan mukosa. H. Reaktivitas p16 blok-positif.12
HSIL dicirikan oleh sel-sel displastik dengan rasio N:C tinggi ( > 1:1) dan
kontur inti yang tidak teratur, terjadi secara tunggal, bergumpal, atau sebagai
kelompok yang ramai. Inti biasanya hiperkromatik tetapi mungkin juga
normokromik atau hipokromik. Sitoplasma bervariasi dari halus hingga padat atau
metaplastik (gambar 2.23 dan gambar 2.24). 11
30
Gambar 2.23. HSIL (CIN 2). Sel-sel displastik memiliki rasio N:C yang cukup meningkat (1:1)
dan inti dengan kontur nukleus yang tidak teratur.12
Gambar 2.24. HSIL (CIN 3). Sel displastik dengan rasio N:C yang tinggi dan inti hiperkromatik
yang tidak teratur. 12
Pada wanita dengan sitologi LSIL dan tidak ada tes HPV atau tes HPV
positif, dianjurkan kolposkopi. Jika co-testing HPV negatif pada LSIL ulangi co-
testing 1 tahun lagi lebih disukai, tetapi kolposkopi masih dapat diterima. Jika
mengulang co-testing pada 1 tahun dipilih, dan jika sitologi ASCUS atau lebih
buruk atau tes HPV positif (yaitu, jika co-testing hasilnya selain HPV negatif,
sitologi negatif), kolposkopi dianjurkan. Jika hasil co-testing pada 1 tahun adalah
HPV negatif dan sitologi negatif, ulangi co-testing setelah 3 tahun tambahan
dianjurkan. Jika semua tes negatif pada saat itu, skrining rutin direkomendasikan
(gambar 2.25).20
31
Gambar 2.25. Manajemen wanita dengan LSIL. LSIL dan tidak ada tes HPV atau tes HPV positif,
dianjurkan kolposkopi. Jika co-testing HPV negatif pada LSIL ulangi co-testing 1 tahun lagi lebih
disukai, tetapi kolposkopi masih dapat diterima. 20
Wanita dengan LSIL yang berusia 21-24 tahun, tindak lanjut dengan sitologi
pada interval 12 bulan direkomendasikan. Kolposkopi tidak direkomendasikan.
untuk wanita dengan ASC-H atau HSIL positif pada follow up 12 bulan,
kolposkopi adalah direkomendasikan. Untuk wanita dengan ASC-US atau lebih
buruk pada tindak lanjut 24 bulan, kolposkopi dianjurkan. Untuk wanita dengan
dua hasil negatif berturut-turut, kembali ke skrining rutin direkomendasikan. 20
Wanita hamil dengan LSIL, kolposkopi lebih disukai. Kuretase endoserviks
pada wanita hamil tidak diperbolehkan. Untuk ibu hamil usia 21-24 tahun, tindak
lanjut sesuai dengan pedoman pengelolaan LSIL pada wanita usia 21-24 tahun
direkomendasikan. Menunda kolposkopi sampai 6 minggu paskapersalinan dapat
diterima. Untuk ibu hamil yang tidak ada sitologi, histologi, atau kecurigaan
kolposkopi CIN2+ pada kolposkopi awal, tindak lanjut paskapersalinan adalah
direkomendasikan. Kolposkopi dan sitologi tambahan selama hamil pada kondisi
ini tidak dapat diterima. 20
Wanita paskamenopause dengan LSIL dan tidak ada tes HPV termasuk
mendapatkan tes HPV, pengulangan sitologi pada 6 bulan dan 12 bulan, dan
32
kolposkopi. Jika tes HPV negatif atau jika CIN tidak teridentifikasi di kolposkopi,
sitologi ulangi dalam 12 bulan dianjurkan. Jika tes HPV positif atau sitologi ulang
ASC-US atau lebih buruk, kolposkopi dianjurkan. Jika dua tes sitologi berulang
berturut-turut adalah negatif, kembali ke skrining rutin. 20
Wanita dengan sitologi HSIL, loop electrosurgical excision atau kolposkopi
harus dilakukan, kecuali pada populasi khusus. Untuk wanita tidak dikelola
dengan segera eksisi, kolposkopi dianjurkan terlepas dari hasil HPV yang
diperoleh pada co-testing. Dengan demikian, reflex HPV testing tidak dianjurkan.
Prosedur eksisi diagnostik direkomendasikan untuk wanita dengan HSIL ketika
pemeriksaan kolposkopi tidak memadai, kecuali selama kehamilan. Wanita
dengan CIN 2 dan CIN 3 harus dikelola sesuai dengan pedoman konsensus
(gambar 2.26). 20
Gambar 2.26. Manajemen wanita dengan HSIL. Sitologi HSIL, loop electrosurgical excision atau
kolposkopi harus dilakukan. 20
dan/atau debris apoptosis, rasio inti terhadap sitoplasma meningkat, batas sel
mungkin tidak jelas (gambar 2.28). 12
Gambar 2.27. Atypical endocervical cell. Tampak nukleus membesar peningkatan rasio N:C,
prominent, terkadang tampak beberapa anak inti dan aktivitas mitosis.12
Gambar 2.28. Atypical endocervical cells, curiga suatu neoplasia. Sel tampak ramai dengan rasio
N:C yang meningkat dan aktivitas mitosis. Tepi lembaran tampak feathering. 12
Wanita dengan semua subkategori AGC dan AIS kecuali sel endometrium
atipikal, kolposkopi dengan endoserviks pengambilan sampel direkomendasikan
terlepas dari hasil HPV. Oleh karena itu, pemeriksaan reflex HPV testing tidak
dianjurkan, dan pengulangan sitologi serviks tidak dapat diterima. Pengambilan
sampel endometrium dan endoserviks direkomendasikan dengan kolposkopi pada
wanita berusia 35 tahun ke atas dengan semua subkategori AGC dan AIS.
Pengambilan sampel endometrium juga direkomendasikan untuk wanita yang
lebih muda dari 35 tahun dengan indikasi klinis menunjukkan mereka mungkin
berisiko untuk neoplasia endometrium (perdarahan vagina yang tidak dapat
dijelaskan atau kondisi yang menunjukkan anovulasi kronis). Untuk wanita
dengan atipikal sel endometrium, evaluasi awal terbatas pada pengambilan sampel
endometrium dan endoserviks lebih disukai, dengan kolposkopi dapat diterima
baik pada evaluasi awal atau ditunggu sampai hasil pengambilan sampel
endometrial dan endoserviks diketahui (gambar 2.29).20
36
Gambar 2.29. Manajemen wanita dengan AGC. AGC dan AIS kecuali sel endometrium atipikal,
kolposkopi dengan pengambilan sampel endoserviks direkomendasikan terlepas dari hasil HPV 20
III. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
4. World Health Organization. WHO Guidelines for Screening and treatment of precancerous
lesions for cervical cancer prevention. 2nd ed. Geneva: World Health Organization: 2021.p -
1-115
6. Xie Y, Tan X, Shao H. VIA / VILI is more suitable for cervical cancer prevention in
Chinese poverty-stricken region: a health economic evaluation. BMC Public Health
2017:1-9.
8. Hoffman BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM, Schaffer JI, Corton MM.
Williams gynecology in preinvasive lesions of the lower genital tract. 4 th . New York:
McGraw-Hill; 2016.p624-44
9. Kurman RJ, Ellenson LH, Ronnett BM. Blaustein’s Pathology of the Female Genital Tract.
7th . Switzerland: Springer Nature; 2019. p240–80.
10. Lindberg MR, Lamps LW. Diagnostic Pathology Normal Histology.2nd ed. Canada:
Elsevier; 2018.p354-67.
12. Nayar R, Wilbur DC. The Bethesda system for reporting cervical cytology. 3 rd ed. New
York; Springer. 2015. p103-240
13. Tsehay B, Afework M. Precancerous lesions of the cervix and its determinants among
Ethiopian women: Systematic review and meta-analysis. PLoS One 2020; 15(10): 1-16
15. Balasubramaniam SD, Balakrishnan V, Oon CE, Kaur G. Key molecular events in cervical
cancer development. Med 2019;55(7):1-13.
16. Bedell SL, Goldstein LS, Goldstein AR, Goldstein AT. Cervical Cancer Screening: Past,
Present, and Future. Sex Med Rev 2020;8(1):28-37
17. Saslow D, Solomon D, Lawson HW, Killackey M, Kulasingam SL, Cain J, Garcia FA.
American Cancer Society, American Society for Colposcopy and Cervical Pathology, and
American Society for Clinical Pathology Screening Guidelines for the Prevention and Early
Detection of Cervical Cancer. Am J Clin Pathol 2012;62(3):147-72.
18. Parkin D, Pisani P, Ferlay J. The pap test procedure. Int J Cancer 2017; 36:1473-1478.
19. Rashid A, Naz U, Sarwar A, Ashraf MM, Manzoor Z, Munawar SH. Historical Perspective
of Cervical Cytology. J Univ Med Dent Coll 2017;8(4).
20. Massad LS, Einstein MK, Huh WK, Katki HA, Kinney WK, Schiffman M, Solomon D,
Wentzensen N, Lawson HW. Updated consensus guidelines for the management of
abnormal cervical cancer screening tests and cancer precursors. J Low Genit Tract Dis
2013;7(15):1-27.