Anda di halaman 1dari 40

I.

PENDAHULUAN
Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat
kanker pada perempuan. Selama 30 tahun terakhir, peningkatan proporsi
perempuan muda yang terkena kanker serviks berkisar antara 10% sampai 40%.
Berdasarkan data World Health Organization, tahun 2020 kanker serviks
menduduki peringkat ke 4 kanker terbanyak pada perempuan dan diperkirakan
ada 604.000 perempuan kasus baru yang terdiagnosis kanker serviks dengan
angka kematian 544.076. Sedangkan di Asia tenggara, kanker serviks menempati
urutan ketiga kanker pada perempuan dengan 62.456 kasus baru dan 35.738 angka
kematian yang paling banyak terjadi di negara berkembang. Kanker serviks di
Indonesia menduduki peringkat kedua setelah kanker payudara. Pada tahun 2020,
di Indonesia diperkirakan ada 36.633 kasus baru kanker serviks setiap tahunnya
dengan 21.003 angka kematian. 1,2
Secara global, usia rata-rata saat didiagnosis kanker serviks adalah 53 tahun.
Sekitar 85% dari kematian di seluruh dunia akibat kanker serviks terjadi di
negara-negara terbelakang atau berkembang, dan angka kematian 18 kali lebih
tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dibandingkan
dengan negara-negara kaya.1,3
Untuk mencegah kanker serviks, wanita dapat diskrining menggunakan
berbagai tes untuk mengidentifikasi mereka yang memiliki atau berisiko
mengalami pra-kanker serviks. Cervical intraepithelial neoplasia (CIN) ditandai
dengan perubahan seluler di zona transformasi serviks. CIN biasanya disebabkan
oleh infeksi human papillomavirus (HPV), terutama jenis HPV berisiko tinggi
seperti strain 16 dan 18 (kedua jenis ini menyebabkan lebih dari 70% kanker
serviks). CIN 1 juga disebut sebagai low-grade squamous intraepithelial lesions
(LSIL) adalah korelasi morfologis HPV infeksi. Lesi CIN2/3 juga disebut high-
grade squamous intraepithelial lesions (HSIL) adalah korelasi pra-kanker serviks
yang, jika tidak diobati dapat berkembang menjadi kanker serviks. Diperkirakan
bahwa, pada 70% wanita yang terkena, CIN 2 atau CIN 3 dapat persisten atau
berkembang menjadi kanker serviks setelah 10–20 tahun. 4,
2

Tiga jenis metode skrining serviks (sitologi, tes HPV, dan inspeksi visual
dengan asetat (IVA) atau dengan visual inspection lugol iodine (VILI) saat ini
banyak digunakan. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Salah
satu metode konvensional skrining berbasis sitologi yang kita kenal dengan Pap
smear. Pap smear melibatkan pengambilan sampel sel dari seluruh zona
transformasi. Sel-sel tersebut difiksasi pada slide dan kemudian dikirim ke
laboratorium di mana ahli sitoteknologi memeriksa sel di bawah mikroskop. Jika
sel abnormal terlihat pada pemeriksaan mikroskopis, tingkat kelainan
diklasifikasikan menggunakan Sistem Bethesda.6 Tes Pap smear telah terbukti
secara efektif mengurangi insiden dan mortalitas kanker serviks di negara-negara
yang memiliki program skrining yang baik .7
Tujuan skrining kanker serviks adalah untu mengidentifikasi lesi prakanker
atau kanker serviks stadium awal. Hasil tes yang tidak normal mengarah ke
manajemen lebih lanjut dengan sitologi ulang, tes HPV, atau kolposkopi dengan
biopsi lesi. Skrining sebelumnya terbatas pada serviks sitologi. Tes HPV telah
menjadi skrining penting alat baik dipasangkan dengan sitologi (pengujian
bersama) atau, baru-baru ini, sebagai skrining yang berdiri sendiri. 8
Hal ini yang mendasari penulis melakukan telaah sistematik terhadap Pap
smear. Kita perlu mengetahui prosedur, hasil, interpretasi Pap smear serta
manajemen yang dapat dilakukan.
3

II. TINJAUAN PUSTAKA


2. 1 Histologi Serviks
Serviks terdiri dari campuran jaringan fibrosa, otot, dan elastis yang dilapisi
oleh epitel kolumnar dan skuamosa. Epitel skuamosa ektoserviks nonkeratin
matur memiliki struktur mirip dengan epitel vagina, namun dalam keadaan normal
tidak memiliki rete pegs seperti yang terlihat di vagina. Epitel skuamosa
ektoserviks nonkeratin terbagi menjadi tiga zona yaitu lapisan sel basal, parabasal,
dan germinal, yang berfungsi dalam pembaruan epitel yang berkelanjutan, zona
tengah (midzone) atau stratum spinosum yang merupakan bagian dominan dari
epitel, dan zona superfisial yang berisi populasi sel yang paling matang.9
Lapisan basal, parabasal atau germinal mengandung dua jenis sel. Salah satu
jenisnya adalah true basal cell yang berdiameter sekitar 10 mm, dengan sedikit
sitoplasma dan inti oval yang berorientasi tegak lurus dengan lamina basal di
bawahnya. Jenis sel lainnya disebut sel parabasal karena penempatan
geografisnya. Sel parabasal lebih besar dari sel basal dan memiliki lebih banyak
sitoplasma. Sel parabasal membentuk lapisan yang tebalnya 1-2 sel di atas lapisan
basal.9
Regenerasi epitel adalah fungsi utama dari lapisan basal dan parabasal. Sel
basal berfungsi sebagai stem cell sedangkan sel parabasal terdiri dari
kompartemen yang bereplikasi aktif (gambar 2.1). Angka mitosis biasanya
ditemukan di parabasal dan tidak pada sel basal dan penanda lain untuk sel yang
berproliferasi secara aktif seperti antigen Ki-67, proliferating cell nucler antigen
(PCNA) dan siklin lain yang terlokalisasi pada sel parabasal.9
Zona tengah (midzone) ditempati oleh sel-sel yang sedang mengalami
pematangan dan ditandai dengan peningkatan volume sitoplasma yang jernih dan
bervakuol secara bertahap dan tidak membelah. Ukuran inti, tetap stabil sampai
tingkat sel yang paling superfisial. Sel-sel ini disebut sebagai sel intermediet.
Zona superfisial membentuk kompartemen epitel skuamosa yang
berdiferensiasi. Sel-sel pada zona superfisial bersifat pipih, memiliki area
sitoplasma yang lebih besar (diameter 50 mm) dan inti piknotik yang lebih kecil
daripada sel intermediet di bawahnya. Sitoplasma merah muda eosinofilik dengan
4

filamen intermediet yang melimpah yang berfungsi dalam memberikan kekakuan.


Sel-sel superfisial juga kadang-kadang mengandung keratinosom yang terikat
membran dengan mikroskop elektron.9

A B
Gambar 2.1. Epitel skuamosa normal. A. Pada kondisi normal, lapisan basal bertindak sebagai
reserve cell. B. Mitosis hanya diidentifikasi dalam sel parabasal.9

Epitel kolumnar adalah sebuah lapisan tunggal yang mensekresi musin dan
melapisi permukaan kanal endoserviks serta struktur kelenjar di bawahnya.
Kelenjar endoserviks adalah struktur yang mewakili lipatan dalam seperti celah
pada epitel permukaan dengan banyak kolateral seperti terowongan yang buta.
Karena arsitektur kompleks dari celah, atau alur ini, struktur tersebut muncul
sebagai kelenjar yang terisolasi di bagian histologis. Epitel yang melapisi celah
identik dengan yang melapisi permukaan, dan akibatnya, bagian penghasil musin
endoserviks tidak dianggap kelenjar namun merupakan membran musin yang
kompleks. Kelenjar sejati (true glands) memiliki lapisan epitel yang berbeda pada
aparatus sekretorinya dibandingkan dengan bagian epitel duktus dan
permukaannya.10
Sel-sel epitel kolumnar memiliki inti di dasar dan sitoplasma tinggi,
seragam, granular halus yang diisi dengan droplet musin. Sel-sel nonsekretori
dengan silia memiliki fungsi utama mendistribusikan dan memobilisasi lendir
endoserviks. Secara biokimia dan imunohistokimia, sel-sel kolumnar dari
5

endoserviks memiliki ciri-ciri epitel sederhana yang ditandai sitokeratin dengan


berat molekul rendah. Folikel limfoid sejati, dengan atau tanpa pusat germinal,
ditemukan di stroma subepitel baik ektoserviks maupun endoserviks.10

Gambar 2.2. Mukosa endoserviks. Tampak struktur kelenjar endoserviks berupa lipatan dalam
seperti celah pada epitel permukaan.10

Batas antara epitel skuamosa berlapis dan epitel kolumnar yang mensekresi
musin pada endoserviks disebut squamocolumnar junction (SCJ). Terdapat dua
SCJ yang berbeda. Salah satunya disebut original SCJ yang merupakan tempat
epitel skuamosa natif dari ektoserviks berbatasan dengan epitel kolumnar
endoserviks pada saat lahir. Bayi baru lahir memiliki beberapa epitel endoserviks
kolumnar yang mensekresi musin pada ektoserviks. Pada sekitar usia 1 tahun,
serviks mulai memanjang. Hal ini menyebabkan migrasi SCJ menuju ostium
eksternal. Faktor hormonal dan fisik lainnya mempengaruhi ukuran dan distribusi
ektopi serviks dengan mengubah bentuk dan volume serviks. Pada saat menarche
atau selama kehamilan, baik rahim dan leher rahim membesar. Pembesaran
serviks disertai dengan perubahan bentuknya yang menghasilkan lebih banyak
eversi atau pengguliran keluar epitel kolumnar endoserviks ke porsio.9
Mukosa endoserviks tampak sebagai zona merah seperti beludru, sangat
kontras dengan epitel portio skuamosa berwarna merah muda yang tembus
6

pandang. Zona transformasi secara histologis ditandai dengan adanya epitel


metaplastik. Konsep zona transformasi sangat penting untuk memahami
patogenesis karsinoma sel skuamosa serviks dan prekursornya, karena hampir
semua neoplasia skuamosa serviks dimulai pada SCJ baru serta batas prekursor
kanker serviks berkaitan dengan sebaran zona transformasi. Sebagian besar
neoplasma serviks dapat diambil sampelnya untuk diagnosis histologis dengan
biopsi punch. Pergerakan SCJ fungsional berlanjut sepanjang tahun-tahun
reproduksi. Oleh karena itu, pada wanita yang lebih tua dan pascamenopause, SCJ
fungsional hampir selalu terletak di dalam ostium eksternal.10
Hubungan antara zona transformasi dan perkembangan neoplasia serviks
berkaitan dengan diskrit sel epitel kuboid yang berada di SCJ. Sel-sel epitel ini
membentuk satu lapisan dan lokasinya konsisten. Karena fitur histologisnya yang
unik, sel-sel ini disebut sel SCJ (gambar 2.3). Sel SCJ memiliki imunofenotipe
unik dibandingkan dengan sel skuamosa atau sel kolumnar endoserviks. Mereka
memiliki pewarnaan positif pada sitokeratin 7, gradien anterior (AGR)2,
diferensiasi klaster (CD) 63, matrix metalloproteinase (MMP)7, dan guanin
deaminase (GDA), sedangkan sel skuamosa dan sel kolumnar endoserviks tidak.9
Human papillomavirus (HPV) risiko tinggi telah terbukti memiliki
imunofenotipe sel SCJ. Oleh karena itu, diperkirakan bahwa sel SCJ adalah sel
target untuk infeksi HPV risiko tinggi yang dapat berkembang menjadi HSIL
serviks atau kanker serviks invasif.8
Metaplasia sel skuamosa adalah penggantian kolumnar, epitel endoserviks
berlapis tunggal dengan epitel skuamosa berlapis. Metaplasia dimulai pada
jaringan kelenjar yang mengalami eversi pada sambungan skuamokolumnar dan
meluas ke arah kanal endoserviks. Area yang ditutupi oleh epitel metaplastik
dapat diidentifikasi sebagai zona transformasi secara kolposkopi. Secara
kolposkopi, daerah tempat terjadinya metaplasia skuamosa disebut zona
transformasi dan dibatasi oleh taut skuamokolumnar asli (ektoserviks) dan baru.11
7

Gambar 2.3. Sel squamocolumnar junction (SCJ). Tampak sel epitel kuboid yang berada di SCJ.9

Sel metaplastik yang sepenuhnya matur dan epitel skuamosa asli mungkin
tidak dapat dibedakan secara histopatologi, tetapi metaplasia sel skuamosa dapat
dikenali dengan adanya kelenjar endoserviks yang mendasarinya (gambar 2.4).
Hal ini yang mengidentifikasi perbatasan antara epitel glikogenasi asli dan
metaplastik. Epitel glikogenasi metaplastik tetapi belum sepenuhnya matur dapat
terdiri dari sel-sel dengan sitoplasma eosinofilik yang lebih kompak dengan rasio
nuclear cytoplasm (N:C) yang sedikit lebih tinggi. Kadang-kadang mitosis normal
mungkin ada. Metaplasia imatur hanya beberapa lapisan sel tebal dan memiliki sel
basaloid seragam tanpa glikogen, yang menjelaskan deskripsi sebelumnya yang
disebut metaplasia transisional. Sisa-sisa epitel kolumnar dapat menutupi epitel
metaplastik. Pembesaran nukleus dapat terlihat, tetapi ketidakteraturan kontur
nukleus dan hiperkromasia nukleus harus meningkatkan kecurigaan untuk
squamous intraepithelial lesion (SIL) dan diagnosis ini harus dikonfirmasi dengan
demonstrasi ekspresi berlebih p16 imunohistokimia. Metaplasia skuamosa tidak
menunjukkan kepositifan p16 tipe blok. Metaplasia imatur papiler sekarang
dikenali sebagai SIL tingkat rendah yang diinduksi HPV risiko rendah dengan
pewarnaan p16 yang tidak merata, dan sebagian besar kasus metaplasia imatur
atipikal dapat direklasifikasi sebagai p16-overexpressing thin HSIL.11
8

Gambar 2.4. Metaplasia sel skuamosa. A. Metaplasia skuamosa imatur melibatkan permukaan
endoserviks dan kelenjar. Epitel metaplastik tebal tidak memiliki deposisi glikogen, tidak adanya
epitel kolumnar tinggi, aktivitas mitosis, dan atipia. B. Metaplasia skuamosa matur. Epitel
skuamosa glikogenasi yang tebal, tidak berkeratin, dengan kelenjar endoserviks di stroma di
bawahnya. 11

Sel skuamosa metaplastik adalah sel poligonal kecil dengan inti oval
seragam dengan membran inti halus (gambar 2.5). Ketika terjadi secara tunggal,
mereka dapat meningkatkan kekhawatiran untuk HSIL. Kurangnya hiperkromasia
dan adanya kontur nukleus yang halus adalah fitur yang membantu dalam
mendukung proses jinak.11
Kesulitan praktik sitologi adalah evaluasi sel metaplastik, terutama yang
memiliki rasio inti terhadap sitoplasma yang tinggi. Seseorang harus
mengevaluasi inti dan sitoplasma. Rasio inti terhadap sitoplasma kurang dari 50%,
kontur inti halus, dan distribusi kromatin yang merata semuanya mendukung
metaplasia skuamosa jinak (gambar 2.6). Rasio inti terhadap sitoplasma yang
lebih besar dengan hiperkromatin dan/atau ketidakteraturan kontur inti dapat
dipertimbangkan sebagai HSIL atau atypical squamous cells – cannot exclude an
HSIL (ASC-H). 12
9

Gambar 2.5. Sel skuamosa metaplasia. Sel skuamosa metaplasia memiliki inti bulat di tengah,
sitoplasma padat dan batas sel yang jelas.12

Metaplasia skuamosa adalah kondisi jinak, tetapi sebagian besar karsinoma


berkembang melalui HSIL setelah infeksi HPV pada epitel metaplastik yang
imatur dan matur. Tingkat maturitas epitel metaplastik yang terinfeksi pada saat
zona transformasi menentukan pola HSIL yang berkembang. 11

Gambar 2.6. Metaplasia skuamosa. Rasio inti terhadap sitoplasma kurang dari 50%, kontur inti
halus, dan distribusi kromatin. 12

2.2. Lesi Prakanker Pada Serviks


10

Lesi prakanker pada serviks adalah perubahan pada sel serviks di zona
transformasi. Menurut WHO, perubahan ini dapat terjadi pada salah satu dari tiga
tahap: neoplasia intraepitel serviks stadium 1 (CIN1), stadium 2 (CIN2), atau
stadium 3 (CIN3). Kondisi ini belum menjadi kanker. Tetapi jika tidak diobati,
CIN2 atau CIN3 yang secara kolektif disebut sebagai neoplasia intraepitel serviks
stadium plus (CIN2+) dapat berkembang menjadi kanker serviks. 13
Peran HPV di serviks kanker pertama kali diusulkan antara tahun 1974 dan
1976. Pada tahun 1976, Meisels dan Fortin menggambarkan "koilocyte" dalam
apusan serviks dan indikasi infeksi HPV. Genotipe HPV untuk jenis risiko tinggi
telah menjadi salah satu tes skrining untuk kanker serviks. Genotipe virus
papiloma manusia dan metode lainnya untuk deteksi HPV juga dapat membantu
evaluasi konvensional Pap smear, sitologi berbasis cairan serta spesimen
jaringan.14
Lebih dari 200 genotipe HPV telah diidentifikasi dan diklasifikasikan
menjadi 16 generasi. Setiap genus kemudian dikelompokkan menjadi spesies dan
jenis. Ada juga jenis lain klasifikasi yang lebih relevan secara klinis, misalnya
HPV kulit dan mukosa berdasarkan lokasi infeksi yang disukai dan HPV risiko
tinggi dan rendah berdasarkan asosiasinya dengan penyakit jinak atau ganas.
Sekitar 40 mutasi subtipe HPV dikaitkan dengan infeksi pada saluran genital dan
13 di antaranya dianggap sebagai karsinogen serviks, termasuk HPV 16, 18, 31,
33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, dan 66. Human papillomavirus 16 dan 18
berkorelasi sekitar 70% dari semua kanker serviks, dengan HPV 18 memiliki
risiko untuk adenokarsinoma, sedangkan HPV 16 untuk karsinoma sel
skuamosa.15
Perjalanan alami infeksi HPV di serviks beradaptasi untuk proses
diferensiasi sel epitel. Human papilloma virus bergantung pada sistem replikasi
DNA sel inang, sehingga infeksi HPV dimulai dari sel basal yang sangat
proliferatif di epitel. Selain keberadaan HPV, mikrolesi pada lapisan sel basal
juga diperlukan untuk akuisisi virus. Untuk memastikan replikasi genom virus dan
menyelesaikan siklus hidup, HPV mengekspresikan E6 dan E7. 13
11

Onkoprotein virus E6 dan E7 diperlukan dalam konversi sel menjadi


ganas. Protein E6 akan berikatan dengan protein p53 dan E7 berikatan dengan
protein retinoblastoma yang normalnya berfungsi sebagai tumor supresor (gambar
2.7). Kedua ikatan ini menyebabkan degradasi protein supresor tumor dengan
menghambat inhibitor cyclin dependent kinase (CDK) (p21, p27, p16) serta
menurunkan p53 dan retinoblastoma (pRb). Degradasi p53 oleh oncoprotein E6
memungkinkan sel untuk terus mereplikasi. HPV mengambil keuntungan dari
jalur respons kerusakan ini untuk replikasi sendiri dan menghasilkan cukup
banyak episom yang diperlukan untuk DNA dari HPV berintegrasi ke genom
inang. Dengan demikian, degradasi pRb oleh E7 oncoprotein akan menyebabkan
unscheduled entry ke dalam fase S dari siklus sel yang akhirnya mendorong sel
untuk bereplikasi. 14

Gambar 2.7. Peran gen HPV E6 dan E7 pada karsinogenesis kanker serviks. Protein E6 berikatan
dengan protein p53 dan E7 berikatan dengan pRb.16

Sebagian besar infeksi HPV bersifat sementara, biasanya hilang dalam


waktu sekitar 12 bulan. Dalam kasus dengan perubahan sitologi atau histologis
derajat rendah (lesi intraepitel skuamosa derajat rendah), regresi spontan sering
12

dapat terjadi. Faktor terpenting untuk infeksi HPV persisten adalah genotipe,
dengan HPV 16 dan 18 sebagai kandidat yang paling mungkin. Kontribusi lainnya
faktor yang terlibat adalah imunosupresi, disposisi genetik, komposisi lokasi
mikrobiota vagina, peningkatan stres oksidatif. 15

2.3. Skirining Lesi Prakanker Serviks


Ada beberapa strategi skrining kanker serviks yang saat ini disetujui yaitu
sitologi, co-testing, dan tes HPV primer mengurangi risiko kanker serviks. Pilihan
strategi skrining harus menjadi keputusan bersama oleh dokter dan pasien.
Keseimbangan manfaat, bahaya, dan efektivitas biaya dari setiap strategi skrining
harus dipertimbangkan dengan cermat. 8
Pada tahun 2009, American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) merekomendasikan agar wanita mulai melakukan Pap smear pada usia
21 tahun. ACOG juga merekomendasikan wanita berusia 21 hingga 29 tahun
harus melakukan tes Pap smear setiap tiga tahun. ACOG mencatat bahwa wanita
usia 30 hingga 65 tahun harus melakukan Pap smear dengan tes HPV setiap 5
tahun, dan skrining harus dihentikan setelah usia 65 tahun. Ada populasi khusus
wanita yang harus diskrining lebih sering untuk kanker serviks daripada populasi
umum. Mereka termasuk wanita yang terinfeksi HIV, wanita dengan gangguan
kekebalan (seperti pasien transplantasi organ), wanita yang terpapar
dietilstilbestrol saat dalam kandungan, dan wanita yang sebelumnya dirawat
karena CIN 2, CIN 3, atau kanker serviks.17
Pada tahun 2018, United States Preventive Services Task Force (USPSTF)
merevisi rekomendasi: 17
 USPSTF merekomendasikan skrining untuk kanker serviks setiap 3 tahun
dengan sitologi serviks saja pada wanita berusia 21 hingga 29 tahun.
 USPSTF merekomendasikan skrining setiap 3 tahun dengan sitologi serviks
saja, setiap 5 tahun dengan pengujian hrHPV saja, atau setiap 5 tahun dengan
pengujian hrHPV yang dikombinasikan dengan sitologi (pengujian bersama)
pada wanita berusia 30 hingga 65 tahun.
13

 USPSTF merekomendasikan untuk tidak melakukan skrining kanker serviks


pada wanita di bawah 21 tahun.
 USPSTF merekomendasikan untuk tidak melakukan skrining untuk kanker
serviks pada wanita yang lebih tua dari 65 tahun yang telah memiliki skrining
sebelumnya yang memadai dan tidak berisiko tinggi terkena kanker serviks.
 USPSTF merekomendasikan untuk tidak melakukan skrining kanker serviks
pada wanita yang telah menjalani histerektomi dengan pengangkatan serviks
dan tidak memiliki riwayat lesi prakanker derajat tinggi atau kanker serviks.

2.4. Pap Smear


Pap smear atau pemeriksaan sitologi serviks yang juga dikenal dengan
Papanicolau’s test adalah pemeriksaan mikroskopis sel yang diambil dari serviks
dan digunakan untuk mendeteksi kondisi kanker atau pra-kanker serviks atau
kondisi medis lainnya. Sitologi serviks dengan Pap smear adalah cara yang efektif
untuk skrining kondisi prakanker dan keganasan serviks.18
Penggunaan Pap smear yang meluas sejak tahun 1950-an telah mengurangi
insiden dan kematian akibat kanker serviks invasif dengan lebih dari 80 persen di
Amerika Serikat. Spesifisitas Pap test secara konsisten tinggi dan mendekati 98
persen. Namun, perkiraan sensitivitasnya untuk deteksi CIN 2 atau lebih, lebih
rendah dan bervariasi, berkisar dari 45-65%. Selain itu Pap smear memiliki
sensitivitas yang lebih rendah untuk mendeteksi lesi prakanker adenokarsinoma
daripada skuamosa karsinoma. 8.
Ada dua teknik pengambilan Pap smear yaitu berbasis cairan dan
konvensional. Spekulum akan ditempatkan ke dalam vagina wanita dan
mengidentifikasi serviks. Metode berbasis cairan melibatkan pengumpulan sel
dari zona transformasi serviks dengan menggunakan kuas dan memindahkan sel
ke wadah spesimen. Teknik konvensional melibatkan pengumpulan sel dari zona
transformasi serviks dengan menggunakan sikat dan spatula, memindahkan sel ke
slide, dan memfiksasi slide. Teknik berbasis cairan memungkinkan pengujian
untuk HPV, gonore, dan klamidia dari satu pengumpulan.19
14

Beberapa persiapan yang dilakukan sebelum Pap smear yaitu pasien tidak
boleh menggunakan obat vagina, kontrasepsi vagina atau douche selama 48 jam
sebelum tes, hubungan seksual harus dihindari selama 24 jam sebelum tes, sampel
tidak boleh diambil saat menstruasi, Pap smear tidak boleh dilakukan sampai 6
sampai 8 minggu paskapersalinan. 17

2.4.1. Interpretasi
Tes skrining sitologi tidak memberikan diagnosis akhir. Diagnosis akhir
ditentukan kemudian dengan kolposkopi dan biopsi terarah. Pelaporan sitologi
serviks distandarisasi oleh sistem nomenklatur Bethesda tahun 2014. Sistem
Bethesda tahun 2014 mencakup pernyataan spesifik mengenai kecukupan
spesimen, kategorisasi umum, dan interpretasi atau hasil. Kecukupan spesimen
dibagi menjadi satisfactory for evaluation dan unsatisfactory for evaluation.
Kategori umum dibagi menjadi negatif terhadap lesi intraepitelial atau malignansi
dan abnormalitas epitel. Interpretasi atau hasil dibagi menjadi negatif terhadap lesi
intraepitelial atau malignansi, non-neoplastik, organisme, abnormalitas sel epitel.8
Adekuasi spesimen dibagi menjadi satisfactory cytology dan unsatisfactory
cytology. Spesimen dikatakan adekuat jika mengandung minimal 5000 sel
skuamosa pada sediaan liquid based preparation dan 8000-12.000 sel skuamosa
pada sediaan konvensional, adanya komponen endoservik atau zona transformasi
dan tidak adanya faktor-faktor penggangu seperti bekuan darah, lubrikan, dll. 20
Pada spesimen dengan unsatisfactory cytology dengan HPV negatif atau
tidak diketahui ulangi sitologi dalam 2-4 bulan. Pada wanita 30 tahun atau lebih
yang dilakukan co-testing HPV positif dapat dilakukan ulang sitologi 2-4 bulan
atau kolposkopi (gambar 2.8). Kolposkopi dilakukan pada wanita dua kali
berturut dengan hasil unsatisfactory cytology.20
Pada wanita usia 21-29 tahun dengan hasil sitologi negatif dengan tidak
adanya atau insufisiensi komponen zona transformasi/endoserviks
direkomendasikan skrining rutin. Tes HPV tidak dianjurkan.20
Pada wanita 30 tahun atau lebih dengan hasil sitologi negatif dengan tidak
adanya atau insufisiensi komponen zona transformasi/endoserviks tes HPV
15

dianjurkan atau ulangi sitologi 3 tahun jika tes HPV tidak dilakukan. Jika tes HPV
negatif kembali ke skrining rutin. Jika HPV positif genotipe 16 dan 18 dianjurkan
kolposkopi. Jika bukan HPV 16 dan 18 dapat dilakukan co-testing > 12 bulan.20

Gambar 2.8. Manajemen hasil sitologi unsatisfactory cytology. Unsatisfactory cytology dengan
HPV negatif atau tidak diketahui ulangi sitologi dalam 2-4 bulan. Wanita ≥ 30 tahun dilakukan co-
testing HPV positif dapat dilakukan ulangi sitologi 2-4 bulan atau kolposkopi. 20

2.4.1.1. Atypical squamous cells


Atypical squamous cells (ASC) adalah abnormalitas sel skuamosa yang
dibagi menjadi dua subkategori yaitu atypical squamous cells – undetermined
significance (ASC-US) dan atypical squamous cells – cannot exclude a high-
grade squamous intraepithelial lesion (ASC-H). ASC mengacu pada perubahan
sel sugestif SIL tetapi tidak memenuhi seluruh kriteria SIL. Meskipun sebagian
besar interpretasi ASC-US menunjukkan LSIL, istilah "undetermined
significance" lebih disukai karena sekitar 10-20% wanita dengan ASC-US
terbukti HSIL (CIN 2 atau CIN 3) yang mendasarinya. ASC-US merupakan lebih
dari 90% interpretasi ASC di sebagian besar laboratorium.ASC-H merupakan
10% dari ASC di mana perubahan sitologi menunjukkan HSIL tetapi tidak cukup
untuk interpretasi definitif.12
16

ASC mengacu pada perubahan sitologi sugestif SIL, tetapi secara kualitatif
atau kuantitatif tidak cukup untuk diinterpretasikan sebagai SIL. Temuan sitologi
yang paling konsisten dengan perubahan reaktif jinak harus ditinjau dengan hati-
hati dan diklasifikasikan negatif untuk lesi intraepitel atau keganasan. Interpretasi
ASC mensyaratkan bahwa sel-sel yang bersangkutan menunjukkan tiga fitur
penting: (1) diferensiasi skuamosa, (2) peningkatan rasio nukleus terhadap
sitoplasma, dan (3) perubahan nukleus minimal yang mungkin termasuk
hiperkromatin, penggumpalan kromatin, iregularitas, smudging, dan/atau
multinukleasi. Inti yang tampak tidak normal adalah prasyarat untuk interpretasi
ASC-US. Temuan perubahan sitoplasma dan inti yang terkait dengan infeksi HPV
(perinuklear halo/koilocyte) memerlukan interpretasi SIL.12

• Atypical squamous cells – undetermined significance (ASC-US)


ASC-US mengacu pada perubahan yang menunjukkan LSIL. Adapun
kriteria ASCUS meliputi nukleus kira-kira dua setengah sampai tiga kali luas
nukleus sel skuamosa intermediete normal (sekitar 35 mm2) atau dua kali ukuran
dari inti sel metaplastik skuamosa (sekitar 50 mm2) (gambar 2.9). Tampak sedikit
peningkatan rasio inti terhadap sitoplasma dengan hiperkromasia nukleus minimal
dan distribusi kromatin atau bentuk nukleus yang ireguler (gambar 2.10).

Gambar 2.9. Sel skuamosa intermediete atipikal. Sel dengan nukleus 2−3× dari nukleus sel
skuamosa intermediete normal dan membrane inti tidak beraturan.12

Abnormalitas nukleus berhubungan dengan sitoplasma orangeophilic yang


padat (parakeratosis atipikal) (gambar 2.11), perubahan sitoplasma yang
menunjukkan efek sitopatik HPV (incomplete koilocytosis) meliputi cytoplasmic
17

halo yang tidak jelas atau vakuola sitoplasmik yang menyerupai koilosit tanpa
perubahan nukleus.12

Gambar 2.10. ASC-US. Seorang wanita berusia 28 tahun. Sel skuamosa intermediete dengan
nukleus yang membesar dan sedikit irregular. Kriteria atipia tidak memenuhi kriteria LSIL. High
risk human papilloma virus (hrHPV) positif. Biopsi menunjukkan LSIL (CIN1).12

Gambar 2.11. ASC-US. Seorang wanita berusia 28 tahun. Atipikal binukleus sel intermediete
dengan sitoplasma orangeophilic, sugestif tapi tidak didiagnosis dengan LSIL. hrHPV positif.
Biopsi menunjukkan LSIL (CIN1).12

Terdapat beberapa klasifikasi ASC-US yaitu :


1. Atypical Parakeratosis (APK)
Sel dengan sitoplasma orangeophilic atau eosinofilik padat dan inti piknotik
kecil yang disebut juga dengan parakeratosis harus diklasifikasikan sebagai
negatif for intraepithelial lesion or malignancy (NILM) jika inti tampak normal.
18

Namun, jika nukleus membesar, hiperkromatik, atau konturnya tidak teratur atau
jika sel muncul dalam kelompok tiga dimensi yang disebut sebagai parakeratosis
atipikal, interpretasi ASC atau SIL harus dipertimbangkan tergantung pada derajat
kelainan (gambar 2.12).12
2. Atypical Repair
Perubahan reparatif yang ditandai dengan overlap seluler, diskohesi,
anisonukleosis, dan/atau hilangnya polaritas inti dapat ditetapkan sebagai atypical
repair. Insiden atypical repair telah dilaporkan berkisar antara 25% hingga 43%
pada kelompok populasi berisiko tinggi. Namun, kejadian SIL pada populasi yang
lebih beragam telah terbukti jauh lebih rendah. Diagnosis banding atypical repair
sangat luas. Perubahan yang berada di ujung bawah spektrum atipia umumnya
ditetapkan sebagai ASC.12

Gambar 2.12. Sel atipik keratinisasi. Seorang wanita berusia 25 tahun. Lembaran sel keratotik
dengan pembesaran inti, hiperkromasia dan sitoplasma orangeophilic. hrHPV positif. Biopsi
menunjukkan LSIL dengan keratinisasi yang menonjol. 12
19

Gambar 2.13. ASCUS. Sel dengan sitoplasma pulled-out or streaming effect. Inti menunjukkan
pleomorfisme, ukuran dan bentuk dengan beberapa sel yang multinucleated, nukleolus yang
menonjol.12

3. Atypia in postmenopausal women and in atrophy


Sampel atrofi yang menunjukkan pembesaran inti dengan hiperkromasia
yang tidak sesuai dengan interpretasi definitif SIL juga dapat ditetapkan sebagai
ASC. Pada kasus pasien berisiko tinggi, atypia pada atrofi mungkin memerlukan
interpretasi ASC, jika menimbulkan kekhawatiran untuk HSIL. Interpretasi HSIL
mungkin sulit dilakukan pada latar belakang atrofi karena kurangnya maturitas
(karena rasio inti terhadap sitoplasma yang tinggi) dari sel parabasal. Dalam
pasien dengan risiko rendah, disarankan untuk mengkategorikan atipia ASC dan
memungkinkan pengujian hrHPV tambahan untuk menentukan manajemen yang
dapat menghindari pengobatan berlebihan.12
Pada wanita peri dan pascamenopause, pembesaran nukleus ringan adalah
hal yang umum penyebab ASC. Perubahan pembesaran nukleus ringan tanpa
hiperkromatin yang signifikan atau ketidakteraturan nukleus kadang-kadang
disebut "atypia pascamenopause" dan umumnya tidak terkait dengan penyakit
terkait HPV (gambar 2.14). Pada kasus tidak ditemukannya abnormalitas definitif,
interpretasi NILM lebih disukai terutama pada wanita yang tidak memiliki riwayat
20

penyakit sel skuamousa sebelumnya atau tidak memiliki tes hrHPV positif
sebelumnya. 12

Gambar 2.14. Postmenopausal atypia. Wanita paskamenopause dengan pola sel atrofi, terutama
terdiri dari sel-sel parabasal. Adanya inti yang membesar sesekali adalah ciri khas atipia
paskamenopause dan sering disebut ASC-US. Tes hrHPV biasanya negatif dalam kasus seperti
ini.12

Untuk wanita dengan sitologi ASC-US, reflex HPV testing lebih disukai.
Untuk wanita dengan ASC-US HPV negatif, baik dari reflex HPV testing atau
co-testing, ulangi co-testing 3 tahun. Untuk wanita dengan ASC-US HPV positif,
baik dari reflex HPV testing atau co-testing, kolposkopi direkomendasikan. Ketika
kolposkopi tidak mengidentifikasi CIN pada wanita dengan ASC-US HPV positif,
co-testing pada 12 bulan direkomendasikan. Jika co-testing HPV negatif dan
sitologi negatif, skrining 3 tahun kemudian direkomendasikan. Jika semua tes
negatif pada saat itu, skrining rutin direkomendasikan. Direkomendasikan bahwa
tes HPV setelah kolposkopi tidak dilakukan pada interval kurang dari 12 bulan. 20
Untuk wanita dengan sitologi ASC-US dan tidak ada hasil HPV, sitologi
ulang pada 1 tahun dapat diterima. Jika hasilnya ASC-US atau lebih buruk,
kolposkopi dianjurkan. Jika hasilnya negatif, kembali ke tes sitologi dengan
interval 3 tahun direkomendasikan (gambar 2.15).20
21

Gambar 2.15. Manajemen hasil sitologi ASC-US. Sitologi ASC-US dengan HPV negatif, ulangi
co-testing 3 tahun. ASC-US dengan HPVpositif, kolposkopi direkomendasikan 20

• Atypical Squamous Cells – Cannot Exclude an HSIL (ASC-H)


ASC-H adalah sebutan yang disediakan untuk sebagian kecil kasus ASC (
10% dari semua interpretasi ASC) di mana perubahan sitologi sugestif dari HSIL.
Sel ASC-H biasanya jarang. Beberapa pola mungkin ada termasuk atipikal sel
metaplastik yang immatur, sel yang ramai, atypical repair, atrofi berat, dan
perubahan paskaradiasi yang mengkhawatirkan untuk rekuren atau residual
karsinoma. 12
Adapun kriteria dari ASC-H meliputi :
1. Sel kecil dengan N/C ratio tinggi ( atypical immature metaplasia)
Sel biasanya muncul secara tunggal atau dalam kelompok kecil kurang dari
sepuluh sel. Sel adalah sel metaplastik dengan ukuran inti sekitar 1,5–2,5 kali
lebih besar dari biasanya (gambar 2.16). Rasio nukleus terhadap sitoplasma
mungkin mendekati rasio HSIL. Dalam mempertimbangkan kemungkinan
interpretasi ASC-H atau HSIL, abnormalitas nukleus seperti hiperkromatin,
irregular kromatin, dan bentuk inti abnormal dengan focus irreguler mendukung
interpretasi HSIL. 12
22

Gambar 2.16. ASC-H. Sekelompok sel atipikal imatur metaplastik dengan pembesaran inti, rasio
inti terhadap sitoplasma tinggi, kromatin kasar dan kontur inti tidak teratur. Gambaran ini sugestif
tetapi tidak cukup untuk interpretasi HSIL. Biopsi lanjutan mengungkapkan HSIL (CIN3). 12

2. Hiperseluler
Mikrobiopsi sel skuamosa padat yang mengandung inti yang atipikal seperti
disebutkan di atas, kehilangan polaritas, atau sulit untuk divisualisasikan.
Sitoplasma padat, bentuk sel poligonal, dan fragmen dengan tepi linier yang tajam
umumnya disukai skuamosa di atas diferensiasi kelenjar glandular (endoserviks)
(gambar 2.17).12
Penatalaksanaan wanita dengan hasil sitologi ASC-H, kolposkopi
dianjurkan terlepas dari hasil HPV test (gambar 2.18). 20
23

Gambar 2.17. ASC-H. Sel dengan inti kromatin dan batas teratur. Ketebalan kluster membuatnya
sulit untuk menentukan apakah sel skuamosa atau kelenjar. Disorganisasi sel-sel dalam kelompok
sugestif HGSIL. Namun, fitur nukleus tidak cukup untuk interpretasi definitif. 12

Gambar 2.18. Manajemen hasil sitologi ASC-H. Kolposkopi dianjurkan tanpa melihat hasil tes
HPV . 20

2.4.1.2. Squamous Intraepithelial Lesios (SIL)


Squamous intraepithelial lesion (SIL) dari serviks uteri, juga dikenal
sebagai neoplasia intraepitel serviks (CIN), adalah proliferasi sel skuamosa yang
disebabkan oleh infeksi HPV, menunjukkan abnormalitas maturitas dan/atau
perubahan sitopatik virus yang tidak melawati membran basal. Squamous
24

intraepithelial lesios dibagi menjadi low grade squamous intraepithelial lesios


(LSIL) dan high grade squamous intraepithelial lesios (HSIL).11
Ada beberapa terminologi yang berhubungan dengn Squamous
intraepithelial lesion (SIL). Istilah yang masih dapat diterima seperti LSIL : CIN
1/ condyloma, displasia skuamosa ringan, atipia koilositik, dan koilositosis.
Sedangkan HSIL / CIN 2 disebut juga displasia skuamosa sedang. HSIL/CIN 3
disebut juga dipslasi skuamosa berat atau carcinoma sel skuamosa insitu. 11
SIL terletak di mukosa skuamosa serviks dan paling sering muncul di zona
transformasi. HSIL, khususnya, memiliki predileksi yang kuat untuk
squamocolumnar junction. SIL serviks adalah lesi tanpa gejala yang diidentifikasi
melalui skrining sitologi dan kolposkopi atau dengan inspeksi visual setelah
aplikasi asam asetat 3-5%. Fitur seperti perubahan acetowhite, yodium negatif,
mosaikisme, dan punctation dapat diidentifikasi secara kolposkopik. Secara
kolposkopi, pembuluh darah atipikal selain perubahan besar seperti pemutihan
aseto cepat dan mosaik / punctation yang kasar dapat dilihat.11
Pada populasi dengan skirining yang baik di negara-negara berpenghasilan
tinggi, LSIL memiliki prevalensi cross-sectional 5-10% dan prevalensi HSIL 0,5-
1%. HSIL biasanya terjadi pada usia yang lebih tua dari LSIL, meskipun ada
tumpang tindih yang luas dan HSIL telah ditunjukkan dalam satu atau dua tahun
infeksi HPV pada remaja. Yang penting, tingkat regresi HSIL (CIN 2) lebih tinggi
pada remaja dan wanita muda dibandingkan pada populasi yang lebih tua. 11
Baik LSIL dan HSIL, menurut definisi, disebabkan oleh infeksi HPV. Lebih
dari 40 jenis HPV dapat menginfeksi serviks, meskipun 18 jenis risiko tinggi
(HR) dan sekitar 6 jenis risiko rendah (LR) merupakan mayoritas infeksi. Tipe
HR HPV16 dan HPV18 dan tipe LR HPV6 dan HPV11 telah diidentifikasi dalam
proporsi yang signifikan pada SIL. Namun, peningkatan penggunaan vaksinasi
terhadap tipe ini telah mengurangi frekuensi infeksi ini. 11
Jenis LR-HPV dapat menyebabkan LSIL eksofitik, yang dikenal sebagai
condylomata acuminata (kutil kelamin), dan LSIL datar. Namun, mayoritas (80-
90%) dari LSIL datar disebabkan oleh tipe HR-HPV. Semua LSIL terkait HR-
25

HPV dan jarang terkait LR-HPV memiliki risiko perkembangan menjadi HSIL
dan keganasan. Risiko ini lebih besar untuk lesi HPV16/18-positif .11
Kehadiran DNA HPV diperlukan tetapi tidak cukup untuk pengembangan
SIL, karena banyak infeksi HPV tidak berlanjut menjadi lesi yang dapat dideteksi
secara morfologis. LSIL terjadi ketika infeksi HPV menjadi produktif dalam sel
yang telah memulai pematangan, sedangkan HSIL dihasilkan dari ekspansi klonal
sel yang didorong oleh virus di seluruh epitel. 11
Ekspresi gen virus dikoordinasikan dengan diferensiasi skuamosa pada
LSIL, sedangkan tidak dikoordinasikan dengan diferensiasi skuamosa pada HSIL.
Ekspresi yang tidak terkoordinasi dari protein virus E6 dan E7 dari tipe HR-HPV
adalah kunci untuk induksi abnormalitas genetik dan seluler lainnya yang terkait
dengan perkembangan HSIL. Protein E6 dan E7 mengerahkan efek utamanya
pada protein kontrol siklus sel, khususnya p53 dan RB1 (pRB), masing-masing,
dan interaksi antara E7 dan RB1 bertanggung jawab atas peningkatan regulasi
ekspresi protein p16 pada lesi yang terinfeksi HR- HPV. Protein LR-HPV E7
tidak menginduksi over ekspresi p16. Hal ini menjelaskan tidak adanya
kepositifan p16 pada lesi yang terinfeksi tipe LR-HPV.11
LSIL umumnya DNA-stabil, dan inti membesar biasanya euploid atau
poliploidi. Sebaliknya, HSIL lebih sering menunjukkan aneuploidi daripada
poliploidi, yang mencerminkan peningkatan ketidakstabilan genetik. HGSIL juga
menunjukkan integrasi DNA dan abnormalitas 1p dan 3q lebih sering daripada
LSIL. Hipermetilasi CpG islands di daerah promotor gen supresor tumor
tampaknya penting untuk progresifitas malignan, karena gambaran molekuler ini
umum ditemukan pada HSIL tetapi jarang terlihat pada LSIL.11
Sebagian besar SIL serviks yang terkait hr-HPV adalah lesi datar yang
awalnya tidak terlihat dengan mata telanjang dari latar belakang mukosa normal.
Secara kasar, tidak ada cara untuk membedakan antara LSIL dan HSIL, dan kedua
lesi ini dapat hidup berdampingan. Mereka dapat divisualisasikan secara
makroskopik dengan bantuan kolposkopi dan biasanya hanya setelah aplikasi
asam asetat, yang membuat lesi menjadi putih (dengan HSIL biasanya tampak
lebih putih aseto dan untuk waktu yang lebih lama daripada LSIL). Pengambilan
26

sampel kolposkopi memiliki sensitivitas yang tidak sempurna, karena SIL datar
terkadang sulit untuk diidentifikasi. Oleh karena itu, hasil biopsi negatif tidak
meniadakan atau mengesampingkan kekhawatiran yang dipicu oleh lesi yang
terdeteksi secara sitologi.11
• LSIL
LSIL dicirikan oleh sepertiga bagian bawah epitel yang menunjukkan
proliferasi sel seperti basal/parabasal yang mungkin menunjukkan aktivitas
mitosis, meskipun biasanya tanpa mitosis atipikal, bersama dengan atipia koilosit
dengan gambaran maturisasi/diferensiasi yang tetap ada. Meskipun sel-sel dari
dua pertiga di atasnya menunjukkan peningkatan sitoplasma dan hilangnya
morfologi parabasal/basal, nukleus yang membesar tetap ada sehingga rasio N:C
tetap meningkat. Inti juga menunjukkan hiperkromatin dan membran nukleus
irreguler, dan mungkin menunjukkan binukleasi atau multinukleasi. Khususnya,
inti ini mungkin sangat atipikal dan mungkin muncul bahkan di lapisan paling atas
epitel di LSIL, dan temuan ini tidak menjamin diagnosis HSIL asalkan sejumlah
besar sitoplasma masih ada. Banyak sel memiliki halo seperti vakuola yang
berbatas tegas di sekitar nukleus. Halo ini biasanya menampilkan batas tegas,
tidak teratur, padat yang membantu membedakannya dari pseudohalo yang kaya
glikogen dan reaktif. Koilositosis biasanya paling menonjol di sepertiga bagian
atas epitel tetapi dapat meluas lebih dalam (gambar 2.19).11
LSIL harus dibedakan dari entitas morfologis serupa. Pertama, epitel
skuamosa jinak reaktif atau inflamasi dapat menyerupai LSIL. Sebanyak 50% dari
biopsi yang didiagnosis sebagai LSIL pada pembacaan awal gagal untuk
menunjukkan RNA HPV dan mendapatkan klasifikasi ulang sebagai jinak/reaktif
pada tinjauan ahli sehingga terjadi overdiagnosis. Pemeriksaan imunohistokimia
p16 tidak memiliki kegunaan pada diagnostik ini, karena banyak LSIL yang
negatif. Namun, pengujian HPV langsung (misalnya hibridisasi in situ RNA HPV)
mungkin informatif. Kedua, HSIL, khususnya moderate HSIL (CIN 2) mungkin
sulit dibedakan dari LSIL (CIN 1) bahkan di antara para ahli. Berbeda dengan
LSIL (CIN 1), moderate HSIL (CIN 2) menunjukkan perluasan morfologi
basal/parabasal dan aktivitas mitosis di luar sepertiga epitel bawah. Namun,
27

penilaian diagnostik mungkin rumit pada bagian tangensial atau kasus dengan
denudasi epitel parsial. HSIL hampir selalu menunjukkan pewarnaan p16 tipe
blok, seperti halnya sebagian besar LSIL. Dengan tidak adanya pewarnaan p16
tipe blok, HSIL sangat tidak mungkin. Imunohistokimia p16 sangat membantu
dalam kasus morfologis yang meragukan ketika dicurigai HSIL, terutama pada
wanita muda (berusia <30 tahun).11

Gambar 2.19. LSIL. A. Permukaan mukosa penuh dengan koilosit dengan inti yang membesar dan
tidak beraturan dan halo perinuclear. B. Pewarnaan p16 bisa negatif (hanya dengan pewarnaan
nukleus dan sitoplasma yang tidak merata). 12

LSIL ditandai dengan sel displastik dengan rasio N:C rendah dan inti yang
membesar ( >3 kali ukuran inti sel intermediate ), hiperkromatik, dan tidak
teratur. Binukleasi dan lingkaran halo koilositik perinuklear yang mungkin ada
(gambar 2.20).11

Gambar 2.20. LSIL. Koilosit dengan inti hiperkromatik yang membesar dan lingkaran perinuklear
yang menonjol keluar. 11

• HSIL
HSIL (CIN 2) menunjukkan kelainan inti full-thickness (hiperkromasia,
kromatin kasar, membran tidak teratur), peningkatan rasio N:C, dan aktivitas
28

mitosis meluas ke duapertiga bagian bawah epitel, tetapi dengan akumulasi


sitoplasma di sel paling atas lapisan (gambar 2.21). HSIL (CIN 3) menunjukkan
atipia tipe basal/parabasal full-thickness tanpa perbedaan yang berarti dalam
maturasi di lapisan epitel paling atas versus paling bawah (gambar 2.22). Baik
HSIL (CIN 2) dan HSIL (CIN 3) dapat menunjukkan gambaran mitosis atipikal
yang tersebar di seluruh epitel, termasuk bagian superfisial. Secara historis, ahli
patologi berusaha untuk mengidentifikasi lesi yang berbeda yang dikenal sebagai
karsinoma in situ, tetapi istilah ini telah dihapus dari leksikon karena pada
dasarnya dicakup oleh HSIL.11
Pola penting dari HSIL termasuk thin HSIL, keratinizing HSIL,
pleomorphic HSIL, papillary HSIL. Thin HSIL biasanya <10 sel tebal.
Keratinizing HSIL, berbeda dari HSIL basaloid konvensional karena sel-selnya
menunjukkan diferensiasi yang lebih dangkal dengan keratinisasi yang menonjol,
tetapi tanpa koilositosis LSIL. HSIL mungkin memiliki konfigurasi papiler ketika
melapisi papila endoserviks. Namun, karsinoma sel skuamosa papiler dapat
didiagnosis tanpa invasi stroma definitif ketika ada lesi yang terlihat secara klinis
atau pola pertumbuhan eksofitik cukup untuk menunjukkan invasi tipe eksofitik.11
Membedakan antara HSIL (CIN 2) dan HSIL (CIN 3) dapat menjadi
tantangan, dengan banyak kasus CIN 2 yang direklasifikasi sebagai CIN 3.
Meskipun kesalahan pada batas diagnostik ini memiliki signifikansi klinis yang
lebih sedikit daripada yang terjadi pada antarmuka LSIL (CIN 1) / HSIL (CIN 2),
ada beberapa dokter yang mempertimbangkan untuk mengobati HSIL (CIN 2)
kurang agresif pada wanita yang ingin mempertahankan kesuburan. Dilema
diagnostik yang lebih relevan secara klinis terjadi pada kasus yang memiliki
gambaran yang sama dengan atrofi dan/atau metaplasia imatur. Perubahan jinak
ini dapat menyamar sebagai HSIL dan sebaliknya. Diagnosis banding terakhir
yang perlu dipertimbangkan untuk HSIL adalah karsinoma sel skuamosa. Ketika
ada keterlibatan crypt yang luas, dengan atau tanpa nekrosis/keratinisasi,
karsinoma harus disingkirkan dengan evaluasi tambahan. Ketika ada pematangan
paradoks, karsinoma harus dipertimbangkan.11
29

Gambar 2.21. HSIL (CIN 2). D. Sel abnormal dengan rasio N:C tinggi di atas sepertiga bagian
bawah mukosa. E. Reaktivitas p16 blok-positif.12

Gambar 2.22. HSIL (CIN 3). G. Sel abnormal dengan rasio N:C tinggi melibatkan lebih dari dua
pertiga ketebalan mukosa. H. Reaktivitas p16 blok-positif.12

HSIL dicirikan oleh sel-sel displastik dengan rasio N:C tinggi ( > 1:1) dan
kontur inti yang tidak teratur, terjadi secara tunggal, bergumpal, atau sebagai
kelompok yang ramai. Inti biasanya hiperkromatik tetapi mungkin juga
normokromik atau hipokromik. Sitoplasma bervariasi dari halus hingga padat atau
metaplastik (gambar 2.23 dan gambar 2.24). 11
30

Gambar 2.23. HSIL (CIN 2). Sel-sel displastik memiliki rasio N:C yang cukup meningkat (1:1)
dan inti dengan kontur nukleus yang tidak teratur.12

Gambar 2.24. HSIL (CIN 3). Sel displastik dengan rasio N:C yang tinggi dan inti hiperkromatik
yang tidak teratur. 12

Pada wanita dengan sitologi LSIL dan tidak ada tes HPV atau tes HPV
positif, dianjurkan kolposkopi. Jika co-testing HPV negatif pada LSIL ulangi co-
testing 1 tahun lagi lebih disukai, tetapi kolposkopi masih dapat diterima. Jika
mengulang co-testing pada 1 tahun dipilih, dan jika sitologi ASCUS atau lebih
buruk atau tes HPV positif (yaitu, jika co-testing hasilnya selain HPV negatif,
sitologi negatif), kolposkopi dianjurkan. Jika hasil co-testing pada 1 tahun adalah
HPV negatif dan sitologi negatif, ulangi co-testing setelah 3 tahun tambahan
dianjurkan. Jika semua tes negatif pada saat itu, skrining rutin direkomendasikan
(gambar 2.25).20
31

Gambar 2.25. Manajemen wanita dengan LSIL. LSIL dan tidak ada tes HPV atau tes HPV positif,
dianjurkan kolposkopi. Jika co-testing HPV negatif pada LSIL ulangi co-testing 1 tahun lagi lebih
disukai, tetapi kolposkopi masih dapat diterima. 20

Wanita dengan LSIL yang berusia 21-24 tahun, tindak lanjut dengan sitologi
pada interval 12 bulan direkomendasikan. Kolposkopi tidak direkomendasikan.
untuk wanita dengan ASC-H atau HSIL positif pada follow up 12 bulan,
kolposkopi adalah direkomendasikan. Untuk wanita dengan ASC-US atau lebih
buruk pada tindak lanjut 24 bulan, kolposkopi dianjurkan. Untuk wanita dengan
dua hasil negatif berturut-turut, kembali ke skrining rutin direkomendasikan. 20
Wanita hamil dengan LSIL, kolposkopi lebih disukai. Kuretase endoserviks
pada wanita hamil tidak diperbolehkan. Untuk ibu hamil usia 21-24 tahun, tindak
lanjut sesuai dengan pedoman pengelolaan LSIL pada wanita usia 21-24 tahun
direkomendasikan. Menunda kolposkopi sampai 6 minggu paskapersalinan dapat
diterima. Untuk ibu hamil yang tidak ada sitologi, histologi, atau kecurigaan
kolposkopi CIN2+ pada kolposkopi awal, tindak lanjut paskapersalinan adalah
direkomendasikan. Kolposkopi dan sitologi tambahan selama hamil pada kondisi
ini tidak dapat diterima. 20
Wanita paskamenopause dengan LSIL dan tidak ada tes HPV termasuk
mendapatkan tes HPV, pengulangan sitologi pada 6 bulan dan 12 bulan, dan
32

kolposkopi. Jika tes HPV negatif atau jika CIN tidak teridentifikasi di kolposkopi,
sitologi ulangi dalam 12 bulan dianjurkan. Jika tes HPV positif atau sitologi ulang
ASC-US atau lebih buruk, kolposkopi dianjurkan. Jika dua tes sitologi berulang
berturut-turut adalah negatif, kembali ke skrining rutin. 20
Wanita dengan sitologi HSIL, loop electrosurgical excision atau kolposkopi
harus dilakukan, kecuali pada populasi khusus. Untuk wanita tidak dikelola
dengan segera eksisi, kolposkopi dianjurkan terlepas dari hasil HPV yang
diperoleh pada co-testing. Dengan demikian, reflex HPV testing tidak dianjurkan.
Prosedur eksisi diagnostik direkomendasikan untuk wanita dengan HSIL ketika
pemeriksaan kolposkopi tidak memadai, kecuali selama kehamilan. Wanita
dengan CIN 2 dan CIN 3 harus dikelola sesuai dengan pedoman konsensus
(gambar 2.26). 20

Gambar 2.26. Manajemen wanita dengan HSIL. Sitologi HSIL, loop electrosurgical excision atau
kolposkopi harus dilakukan. 20

Wanita berusia 21-24 tahun dengan HSIL, kolposkopi dianjurkan.


Perawatan segera (see and treat ) tidak dapat diterima. Ketika CIN 2+ tidak
diidentifikasi secara histologis, observasi hingga 24 bulan menggunakan
kolposkopi dan sitologi pada interval 6 bulan direkomendasikan, asalkan
pemeriksaan kolposkopi memadai dan penilaian endoserviks negatif atau CIN1.
33

Jika CIN2, CIN3, diidentifikasi secara histologis, manajemen sesuai dengan


pedoman konsensus. 20
Jika selama follow up kolposkopi atau sitologi HSIL
bertahan selama 1 tahun, biopsi dianjurkan. Jika HSIL bertahan selama 24 bulan
prosedur eksisi diagnostik dianjurkan.Setelah dua hasil sitologi negatif berturut-
turut dan tidak ada bukti kelainan kolposkopi tingkat tinggi, kembali ke rutinitas
skrining. 20

2.4.1.3. Atypical Endocervical Cell


Atypical endocervical cell adalah sel tipe endoserviks yang menunjukkan
nukleus atipik yang melebihi perubahan reaktif atau reparatif yang jelas namun
tidak memiliki fitur adenokarsinoma endoserviks in situ atau adenokarsinoma
invasif. Interpretasi dari atypical glandular cells (AGC) harus memenuhi syarat
untuk menunjukkan apakah sel berasal dari endoserviks atau endometrium. Jika
asal sel tidak dapat ditentukan maka istilah glandular dapat digunakan. Sel
endoserviks atipikal harus dikualifikasi lebih lanjut ketika entitas tertentu
termasuk neoplasia.12
Gambaran yang dapat ditemukan pada atypical endocervical cells : not
otherwise specified (NOS) adalah sel ditemukan dalam bentuk lembaran dan strip
dengan beberapa sel berkerumun, nukleus tumpang tindih, dan / atau
pseudostratification. Terjadi pembesaran nukleus, hingga tiga sampai lima kali
luas nukleus endoserviks normal serta terdapat beberapa variasi ukuran dan
bentuk nukleus, hiperkromasia nukleus ringan, irreguler kromatin ringan,
gambaran mitosis jarang, sitoplasma mungkin meningkat, tetapi rasio inti
terhadap sitoplasma meningkat dan batas sel yang berbeda sering terlihat (gambar
2.27).12
Gambaran yang dapat ditemukan pada atypical endocervical cells: favor
neoplastic adalah morfologi sel, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, kurang
dari interpretasi adenokarsinoma endoserviks in situ atau adenokarsinoma
invasive. Sel-sel abnormal tampak dengan nukleus yang ramai, tumpang tindih,
dan/atau pseudostratification. Kelompok sel jarang dengan rosette (bentuk
kelenjar) atau feathering, inti membesar dan sering elongated dengan beberapa
hiperkromasia, kromatin kasar dengan heterogenitas, kadang-kadang mitosis
34

dan/atau debris apoptosis, rasio inti terhadap sitoplasma meningkat, batas sel
mungkin tidak jelas (gambar 2.28). 12

Gambar 2.27. Atypical endocervical cell. Tampak nukleus membesar peningkatan rasio N:C,
prominent, terkadang tampak beberapa anak inti dan aktivitas mitosis.12

Sel-sel kelenjar endoserviks dan endometrium dapat menunjukkan berbagai


perubahan seluler yang terkait dengan berbagai proses jinak di kanalis
endoserviks dan endometrium. Banyak dari perubahan reaktif ini tidak spesifik
untuk entitas penyakit tertentu, tetapi signifikan sebagai meniru neoplasia kelenjar
di sitologi serviks. Sel endoserviks reaktif dicirikan oleh adanya honeycomb atau
susunan seperti lembaran dengan sitoplasma yang melimpah, batas sel yang jelas,
dan nukleus tumpang tindih yang minimal. Beberapa derajat pleomorfism ukuran
sel dan pembesaran inti dapat dilihat, namun inti tetap bulat atau oval dengan
kontur halus dan kromatin berbutir halus dan terdistribusi merata. Nukleolus
mungkin menonjol, dan multinukleasi terutama pada kasus repair dan inflamasi.
Musin sitoplasma mungkin berkurang, memberikan kluster sel dengan tampilan
yang lebih hiperkromatik. Konstelasi perubahan reaktif ini harus dianggap sebagai
negatif for intraepithelial lesion or malignancy dan tidak termasuk dalam kategori
AGC. 1
35

Gambar 2.28. Atypical endocervical cells, curiga suatu neoplasia. Sel tampak ramai dengan rasio
N:C yang meningkat dan aktivitas mitosis. Tepi lembaran tampak feathering. 12

Wanita dengan semua subkategori AGC dan AIS kecuali sel endometrium
atipikal, kolposkopi dengan endoserviks pengambilan sampel direkomendasikan
terlepas dari hasil HPV. Oleh karena itu, pemeriksaan reflex HPV testing tidak
dianjurkan, dan pengulangan sitologi serviks tidak dapat diterima. Pengambilan
sampel endometrium dan endoserviks direkomendasikan dengan kolposkopi pada
wanita berusia 35 tahun ke atas dengan semua subkategori AGC dan AIS.
Pengambilan sampel endometrium juga direkomendasikan untuk wanita yang
lebih muda dari 35 tahun dengan indikasi klinis menunjukkan mereka mungkin
berisiko untuk neoplasia endometrium (perdarahan vagina yang tidak dapat
dijelaskan atau kondisi yang menunjukkan anovulasi kronis). Untuk wanita
dengan atipikal sel endometrium, evaluasi awal terbatas pada pengambilan sampel
endometrium dan endoserviks lebih disukai, dengan kolposkopi dapat diterima
baik pada evaluasi awal atau ditunggu sampai hasil pengambilan sampel
endometrial dan endoserviks diketahui (gambar 2.29).20
36

Gambar 2.29. Manajemen wanita dengan AGC. AGC dan AIS kecuali sel endometrium atipikal,
kolposkopi dengan pengambilan sampel endoserviks direkomendasikan terlepas dari hasil HPV 20

2.5. Tes HPV dan Co-testing


Infeksi HPV secara klinis dicurigai berdasarkan lesi atau hasil sitologi,
histologi dan kolposkopi, yang semuanya subjektif dan seringkali tidak akurat.
Serologi tidak dapat diandalkan dan tidak dapat membedakan infeksi masa lalu
dari infeksi saat ini. Tes HPV lebih akurat mengkonfirmasi infeksi HPV. Tes HPV
melibatkan deteksi langsung asam nukleat HPV dengan menghambat hibridisasi,
nucleic acid amplification testing (NAAT), polymerase chain reaction (PCR) atau
teknik lainnya. Saat ini, empat uji klinis htHPV disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) dan semuanya menggunakan NAAT untuk mendeteksi 13
atau 14 jenis htHPV yang berbeda. Tiga dari tes ini dapat melaporkan secara
spesifik keberadaan HPV 16 atau HPV 18 untuk membantu stratifikasi risiko.
Hasil tes HPV negatif tidak menyingkirkan infeksi HPV genital karena hanya
HPV onkogenik spesifik yang diuji, dan sensitivitas ditetapkan untuk mendeteksi
neoplasia serviks.8
Tes HPV pada uji praktik klinis hanya untuk mendeeksi13 atau 14 jenis
hrHPV. Hal ini memiliki beberapa indikasi yang meliputi skrining kanker serviks,
triase kelainan sitologi yang lebih rendah untuk pengujian ulang nanti atau
37

kolposkopi segera, pengawasan setelah kolposkopi, atau pengawasan setelah


perawatan. Sampai saat ini, penggunaannya untuk skrining kanker serviks primer
terbatas pada co-testing, yang merupakan tes pap disertai tes HPV. Namun,
pengujian HPV saja untuk skrining kanker serviks sekarang telah mendapat
persetujuan dari satu badan pengawas.8
Peran pengujian HPV dalam skrining kanker serviks menarik karena
sensitivitas langsungnya yang lebih besar untuk CIN 3 atau kanker serviks dan
objektivitas hasilnya. Namun, pedoman skrining yang menggabungkan pengujian
HPV harus mengimbangi spesifisitas yang lebih rendah, terutama pada wanita
muda.8
Co-testing adalah kombinasi dari tes DNA HPV dan Pap smear. Kombinasi
tes HPV dengan sitologi meningkatkan sensitivitas tes skrining tunggal untuk
neoplasia tingkat tinggi dan mengarah pada deteksi dini dan pengelolaan HSIL.
Kurangnya sensitivitas dengan sitologi saja untuk adenokarsinoma serviks dan
peningkatan insiden keduanya mendukung pengujian HPV untuk skrining primer.
Co-testing menawarkan nilai prediksi negatif hampir 100% untuk neoplasia
tingkat tinggi, Karena itu, ditambah dengan perkembangan yang lambat dari
infeksi HPV baru menjadi neoplasia atau kanker tingkat tinggi dan peningkatan
biaya, co-testing diulang pada interval 5 tahun jika baik sitologi dan temuan tes
HPV negatif.8
38

III. KESIMPULAN

Cervical intraepithelial neoplasia (CIN) ditandai dengan perubahan seluler


di zona transformasi serviks. CIN biasanya disebabkan oleh infeksi human
papillomavirus (HPV), terutama jenis HPV berisiko tinggi seperti strain 16 dan 18
(kedua jenis ini menyebabkan lebih dari 70% kanker serviks). CIN 1 juga disebut
sebagai low-grade squamous intraepithelial lesions. Lesi CIN2/3 juga disebut
high-grade squamous intraepithelial lesions.
Salah satu metode skrining berbasis sitologi yang kita kenal dengan Pap
smear. Tujuan skrining adalah untuk mengidentifikasi lesi prakanker atau kanker
serviks stadium awal. ACOG merekomendasikan wanita berusia 21 hingga 29
tahun harus melakukan tes Pap smear setiap tiga tahun. Interpretasi sitologi tidak
memberikan diagnosis akhir. Sebaliknya, diagnosis akhir ditentukan kemudian
dengan kolposkopi dan biopsi terarah, sesuai indikasi. Interrpretasi sitologi
Papsmear merujuk pada Bethesda 2014. Interpretasi ditafsirkan dengan negative
for intraepithelial lesion or malignancy (NILM) atau salah satu atau lebih
abnormalitas pada sel epithel seperti ASC-US, ASC-H, LSIL, HSIL, AGC.
39

DAFTAR PUSTAKA

1. Dang Phan N, Nguyen T, Vo N, Thi Le T, Hoang Tran T, Truong P. Epidemiology,


incidence, mortality of cervical cancer in southeast asia and their relationship: An update
report. Asian J Pharm Clin Res 2020. 12(3):97-101.

2. Sung H, Ferlay J, Siegel RL, Laversanne M, Soerjomataram I, Jemal A. Global cancer


statistics 2020 : GLOBOCAN estimates of incidence and mortality worldwide for 36
cancers in 185 countries. CA Cancer J Clin 2021. 71: 209- 249. 

3. Arbyn M, Weiderpass E, Bruni L, de Sanjosé S, Saraiya M, Ferlay J. Estimates of


incidence and mortality of cervical cancer in 2018: A worldwide analysis. Lancet Glob
Heal 2020;8(2):191–203.

4. World Health Organization. WHO Guidelines for Screening and treatment of precancerous
lesions for cervical cancer prevention. 2nd ed. Geneva: World Health Organization: 2021.p -
1-115

5. D’Alessandro P, Arduino B, Borgo M, Saccone G, Venturella R, Cello AD, Zullo Fulvio.


Loop electrosurgical excision procedure versus cryotherapy in the treatment of cervical
intraepithelial neoplasia: a systematic review and meta-analysis of randomized controlled
trials. Gynecol Minim Invasive Ther 2018;7(4): 145–151.

6. Xie Y, Tan X, Shao H. VIA / VILI is more suitable for cervical cancer prevention in
Chinese poverty-stricken region: a health economic evaluation. BMC Public Health
2017:1-9.

7. Sankaranarayanan R, Budukh AM, Rajkumar R. Effective screening programmes for


cervical cancer in low and middle-income developing countries. Bull World Health Organ
2001;79(10):954-962.

8. Hoffman BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM, Schaffer JI, Corton MM.
Williams gynecology in preinvasive lesions of the lower genital tract. 4 th . New York:
McGraw-Hill; 2016.p624-44

9. Kurman RJ, Ellenson LH, Ronnett BM. Blaustein’s Pathology of the Female Genital Tract.
7th . Switzerland: Springer Nature; 2019. p240–80.

10. Lindberg MR, Lamps LW. Diagnostic Pathology Normal Histology.2nd ed. Canada:
Elsevier; 2018.p354-67.

11. Herrington C, Kim K-R, Kong C, Longacre T, McCluggag W, Mikami Y. WHO


Classification of Tumours Editorial Board  Female Genital Tumours. 5th ed. France :
International Agency for Research on Cancer;20121. p335-89.

12. Nayar R, Wilbur DC. The Bethesda system for reporting cervical cytology. 3 rd ed. New
York; Springer. 2015. p103-240

13. Tsehay B, Afework M. Precancerous lesions of the cervix and its determinants among
Ethiopian women: Systematic review and meta-analysis. PLoS One 2020; 15(10): 1-16

14. Zheng R, Heller DS. High-Risk Human Papillomavirus Identification in Precancerous


Cervical Intraepithelial Lesions. J Low Genit Tract Dis 2020;24: 197–201.
40

15. Balasubramaniam SD, Balakrishnan V, Oon CE, Kaur G. Key molecular events in cervical
cancer development. Med 2019;55(7):1-13.

16. Bedell SL, Goldstein LS, Goldstein AR, Goldstein AT. Cervical Cancer Screening: Past,
Present, and Future. Sex Med Rev 2020;8(1):28-37

17. Saslow D, Solomon D, Lawson HW, Killackey M, Kulasingam SL, Cain J, Garcia FA.
American Cancer Society, American Society for Colposcopy and Cervical Pathology, and
American Society for Clinical Pathology Screening Guidelines for the Prevention and Early
Detection of Cervical Cancer. Am J Clin Pathol 2012;62(3):147-72.

18. Parkin D, Pisani P, Ferlay J. The pap test procedure. Int J Cancer 2017; 36:1473-1478.

19. Rashid A, Naz U, Sarwar A, Ashraf MM, Manzoor Z, Munawar SH. Historical Perspective
of Cervical Cytology. J Univ Med Dent Coll 2017;8(4).

20. Massad LS, Einstein MK, Huh WK, Katki HA, Kinney WK, Schiffman M, Solomon D,
Wentzensen N, Lawson HW. Updated consensus guidelines for the management of
abnormal cervical cancer screening tests and cancer precursors. J Low Genit Tract Dis
2013;7(15):1-27.

Anda mungkin juga menyukai