Anda di halaman 1dari 16

CLINICAL SCIENCE SESSION

PAP SMEAR DAN IVA TEST

PSPD Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD


Periode 10 September 2018 s.d 10 November 2018

Disusun oleh:
Livia Giovanni
130112170603

Preceptor :
Dr. Maringan D.L. Tobing, dr., SpOG(K), M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2018
1. Anatomi dan Fisiologi Serviks

Serviks adalah bagian uterus yang terendah dan menonjol ke vagina bagian atas.
Serviks berbentuk silinder, panjangnya 2,5-3 cm, dan mengarah ke belakang bawah. Serviks
terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian supravaginal dan vaginal (portio). Bagian luar dari
serviks pars vaginalis disebut ektoserviks dan berwarna merah muda. Di bagian tengah portio
terdapat lubang yang disebut ostium uteri eksternum. Ostium uteri internum dan ostium uteri
eksternum dihubungkan oleh kanalis servikalis yang dilapisi oleh epitel endoserviks.
Biasanya panjang kanalis servikalis adalah 2,5 cm, berbentuk lonjong, lebarnya kira-kira 8
mm dan mempunyai lipatan mukosa yang memanjang. Serviks sendiri disusun oleh otot
polos (terutama pada endoserviks), jaringan elastis, dan banyak jaringan ikat sehingga kanalis
servikalis mudah dilebarkan dengan dilator. Jika terjadi infeksi pada kanalis servikalis, dapat
terjadi perlekatan dan pembengkakan lipatan-lipatan mukosa sehingga spekulum endoserviks
sulit ataupun tidak mungkin dimasukkan sehingga tidak dapat dilakukan penilaian kanalis
servikalis. Suplai darah untuk serviks berasal dari cabang servikovaginalis arteri uterina,
arteri vaginalis, dan secara langsung dari arteri uterina.

Gambar 1. Anatomi dan Histologi Serviks

Terdapat dua macam epitel yang menyusun epitel serviks, yaitu epitel skuamosa pada
bagian ektoserviks dan epitel kolumnar pada bagian endoserviks atau kanalis servikalis. Batas
kedua epitel tersebut disebut sambungan skuamokolumner (SSK). Pada masa kehidupan

1
wanita terjadi metaplasia pada epitel serviks, di mana epitel kolumnar akan digantikan oleh
epitel skuamosa, yaitu pada saat pra pubertas dan pra menopause. Hal ini dikarenakan pada
saat tersebut terjadi peningkatan esterogen. Estrogen meningkatkan glikogen di vagina yang
kemudian diubah oleh bakteri lactobacillus döderlein. Proses metaplasia ini dibagi menjadi
beberapa fase. Pada fase pertama, sel cadangan subkolumnar berproliferasi menjadi beberapa
lapis, sel-sel belum berdiferensiasi, dan proses ini biasanya dimulai dari puncak jonjot. Pada
fase berikutnya, pembentukan beberapa lapis sel yang belum berdiferensiasi meluas ke bawah
dan ke samping sehingga menjadi satu. Pada fase ketiga, terjadi penyatuan beberapa jonjot
menjadi lengkap sehingga didapatkan daerah yang licin permukaannya. Fase berikutnya
adalah fase pematangan atau maturasi, di mana sel-sel akan mengalami pematangan dan
stroma jonjot yang terdahulu akan menghilang, sehingga terbentuk epitel skuamosa
metaplastik. Akibat proses metaplasia ini, secara morfogenetik terdapat dua sambungan
skuamokolumnar, yaitu SSK original di mana epitel skuamosa asli yang menutupi portio
vaginalis bertemu dengan epitel kolumner endoserviks dengan batas jelas, dan SSK
fungsional yang merupakan pertemuan epitel skuamosa metaplastik dengan epitel kolumnar.
Daerah di antara kedua SSK tersebut disebut daerah transformasi.

2. IVA test

2.1. Definisi

IVA adalah salah satu deteksi dini kanker serviks dengan menggunakan asam asetat
3-5 % secara inspekulo dan dilihat dengan pengamatan mata langsung (mata telanjang).
Dalam waktu 1-2 menit setelah diolesi asam asetat, efek akan menghilang sehingga pada
hasil ditemukan pada serviks normal tidak ada lesi putih atau acetowhite yang menandakan
lesi prakanker. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit, mudah, murah dan informasi
hasilnya langsung. Sensitivitas IVA test lebih tinggi dari pada pap smear.

2
2.2. Keunggulan IVA Test

Meskipun bersifat pemeriksaan skrining, IVA test memiliki beberapa kelebihan,


antara lain praktis, mudah, teknik pemeriksaan sederhana, dapat dilakukan dimana saja, alat
dan bahan murah dan mudah didapat, hasil segera diketahui dengan cepat, dan efektif karena
tidak membutuhkan banyak waktu dalam pemeriksaan. Selain itu, pemeriksaan ini aman,
tidak memiliki efek samping bagi ibu. Sensitivitas IVA test cukup tinggi dan dapat dilakukan
oleh semua tenaga medis terlatih.

2.3. Syarat IVA Test

Pasien yang dapat dilakukan IVA test biasanya adalah pasien yang sudah pernah
melakukan hubungan seksual. Selain itu, pasien sebaiknya tidak sedang datang bulan/haid,
tidak sedang hamil, dan minimal 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual.

2.4. Hasil IVA Test

Hasil IVA test terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu:


1. IVA negatif, menunjukkan leher rahim normal.
2. IVA radang, serviks dengan radang (servisitis) atau kelainan jinak lainnya (polip serviks).
3. IVA positif, ditemukan bercak putih (aceto white epithelium). Kelompok ini yang
menjadi sasaran temuan skrining kanker serviks dengan metode IVA karena temuan ini
mengarah pada diagnosis pra kanker (dispalsia ringan-sedang-berat atau kanker serviks in
situ).
4. IVA-kanker serviks

2.5. Persiapan IVA Test

Persiapan untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA adalah sebagai berikut:
1. Ruangan tertutup.

3
2. Meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi.
3. Sumber cahaya untuk melihat serviks
4. Spekulum vagina (Graves Speculum)
5. Asam asetat (3-5%)
6. Swab-lidi berkapas
7. Sarung tangan

2.6. Prosedur Kerja

1. Sebelum dilakukan pemeriksaan, berika penjelasan kepada pasien mengenai prosedur


yang akan dijalankan.
2. Pastikan privasi dan kenyamanan pasien, pasien dibaringkan dengan posisi litotomi
3. Vagina dilihat secara visual untuk melihat kelainan dengan bantuan pencahayaan yang
cukup.
4. Spekulum dibasuh dengan air hangat dan dimasukkan ke vagina pasien secara tertutup,
lalu dibuka untuk melihat leher rahim. Bila terdapat banyak cairan di leher rahim,
dibersihkan dengan kapas steril basah.
5. Dengan menggunakan pipet atau kapas, larutan asam asetat 3-5% diteteskan ke leher
rahim. Dalam waktu kurang lebih satu menit, reaksinya pada leher rahim sudah dapat
dilihat.
6. Bila warna leher rahim berubah menjadi keputih-putihan, kemungkinan positif terdapat
kanker. Asam asetat berfungsi menimbulkan dehidrasi sel yang membuat penggumpalan
protein, sehingga sel kanker yang memiliki kandungan protein tinggi berubah warna
menjadi putih.

4
3. Pap Smear

3.1. Definisi Pap Smear

Pemeriksaan sitologi vagina atau sering disebut pap smear merupakan salah satu
metode diagnosis dini pada karsinoma serviks uteri dan karsinoma korporis uteri yang
dianjurkan dilakukan rutin (0,5 – 1 tahun sekali). Pada pemeriksaan ini bahan diambil dari
dinding vagina atau dari serviks (endo- dan ektoserviks) dengan spatel Ayre (dari kayu atau
plastik). Sel-sel yang diambil pada pap smear kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk
melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada sel-sel dari vagina, serviks, endoserviks, dan
endometrium untuk mendeteksi adanya lesi kanker atau prekanker. Pap smear merupakan
suatu skrining untuk mencari abnormalitas dari wanita yang tidak mempunyai keluhan
sehingga dapat mendeteksi perubahan sel sebelum berkembang menjadi kanker atau kanker
stadium dini. Tindakan ini sangat mudah, aman, murah, cepat, dan relatif tidak nyeri.
Pap smear mengambil nama dari Georgios Papanikolau, seorang dokter yang
meneliti, mengumumkan, serta mempopulerkan tentang teknik tersebut. Berkas penelitian
yang dilakukan dengan ahli patologi Dr Herbert Traut mempunyai dampak yang luar biasa
pada pengurangan jumlah kematian akibat kanker rahim di seluruh dunia. Selain menurunkan
angka kematian, pemeriksaan pap smear secara rutin dapat mempermudah pengobatan
karena kanker serviks lebih awal diketahui. Di seluruh dunia, diperkirakan sebanyak 500.000
kasus baru kanker serviks dan sebanyak 274.000 orang meninggal akibat kanker serviks tiap
tahunnya. Hal ini menjadikan kanker serviks sebagai penyebab kematian tersering kedua
akibat kanker pada wanita. Namun insiden kanker serviks telah mengalami penurunan lebih
dari 50 % dalam 30 tahun terakhir, hal ini disebabkan oleh peningkatan skrining kanker
serviks dengan sitologi servikal. Meskipun secara global insidensi dan prevalensi kanker
serviks telah menurun drastis, namun pada negara berkembang hal tersebut masih tinggi
akibat kurangnya program skrining.

3.2. Tujuan Pap Smear

Tujuan pap smear, yaitu:


1. Evaluasi sitohormonal pada wanita dari sekret vagina yang berasal dari dinding lateral
vagina satu per tiga bagian atas.

5
2. Mendiagnosis peradangan pada vagina dan serviks, baik peradangan akut maupun kronis,
serta identifikasi organisme penyebab peradangan. Sebagian besar peradangan akan
memberi gambaran perubahan sel yang khas pada sediaan pap smear sesuai dengan
organisme penyebabnya, meskipun terkadang ada pula organisme yang tidak
menimbulkan reaksi yang khas pada sediaan pap smear.
3. Mendiagnosis kelainan prakanker (displasia) leher rahim dan kanker leher rahim dini atau
lanjut (karsinoma/invasif). Saat ini, pap smear telah dapat digunakan untuk mendiagnosis
lesi prakanker atau kanker leher rahim dengan ketepatan diagnostik yang tinggi, yaitu
96%, tetapi tetap tidak dapat menggantikan diagnostik histopatologik sebagai alat pemasti
diagnosis. Hal itu berarti setiap diagnosik sitologi kanker leher rahim harus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi leher rahim, sebelum dilakukan
tindakan selanjutnya.
4. Memantau hasil terapi, misalnya terapi hormonal pada pasien dengan infertilitas atau
gangguan endokrin, terapi radiasi pada kasus kanker leher rahim yang telah diobati
dengan radiasi, memantau adanya kekambuhan pada kasus kanker yang telah dioperasi,
dan memantau hasil terapi lesi prakanker atau kanker leher rahim yang telah diobati
dengan elekrokauter kriosurgeri atau konisasi.

3.3. Indikasi pap smear

Pap smear diindikasikan untuk skrining lesi kanker dan lesi prakanker dari serviks.
Wanita yang dianjurkan untuk melakukan tes pap smear biasanya wanita yang telah
melakukan hubungan seksual, terlebih wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi.
Abnormalitas sitologi serviks paling sering ditemukan pada wanita di atas usia 21 tahun.

Tabel 1. Summary of 2012 Screening Guidelines from the American Cancer Society, American
Society for Colposcopy and Cervical Pathology, and American Society for Clinical Pathology

Parameter Rekomendasi ACS


Usia memulai Mulai skrining sitologi pada usia 21 tahun, tanpa mempertimbangkan riwayat
skrining seksual sebelumnya.
Skrining antara Skrining dengan sitologi saja setiap 3 tahun. * Pemeriksaan HPV tidak harus

6
usia 21–29 dilakukan pada kelompok umur ini.
Skrining antara Skrining dengan kombinasi sitologi dan pemeriksaan HPV setiap 5 tahun
usia 30-65 (dianjurkan) atau sitologi saja setiap 3 tahun. * Skrining HPV saja secara umum
tidak direkomendasikan.
Usia berhenti Usia 65 tahun, jika wanita memiliki skrining awal negatif dan tidak dinyatakan
skrining risiko tinggi kanker serviks.
Skrining setelah tidak diindikasikan untuk wanita tanpa leher rahim dan tanpa riwayat lesi
histerektomi prakanker grade tinggi (misalnya, CIN2 atau CIN3) dalam 20 tahun terakhir
atau kanker serviks.
Wanita yang Skrining dengan rekomendasi yang sama dengan wanita tanpa vaksin HPV.
vaksin HPV
Pedoman ini tidak ditujukan pada populasi spesial ( seperti, wanita dengan riwayat kanker serviks,
wanita yang rahimnya terpapar dietilstilbestrol, wanita yang immunocompromised) yang mungkin
membutuhkan skrining lebih intensif atau alternatif lain.

3.4. Jenis-Jenis Test Pap Smear

Ada 2 cara pemeriksaan pap smear, yaitu pemeriksaan sitologi konvensional dan
pemeriksaan sitologi berbasis cairan. Pemeriksaan sitologi konvensional dilakukan dengan
menggunakan sikat untuk pengambilan sampel, sehingga kualitas preparat yang dihasilkan
tergantung pada operator yang membuat usapan pada kaca benda. Sampel bisa jadi kurang
representatif dan tidak menggambarkan kondisi pasien sebenarnya, serta kemampuan deteksi
terbatas karena sebagian sel tidak terbawa dan preparat yang bertumpuk dan kabur karena
kotoran/faktor pengganggu. Sementara itu, pemeriksaan sitologi berbasis cairan merupakan
metode baru untuk meningkatkan keakuratan deteksi kelainan sel-sel leher rahim. Dengan
metode ini, sampel dimasukkan ke dalam cairan khusus sehingga sel atau faktor pengganggu
lainnya dapat dieliminasi. Selanjutnya, sampel diproses dengan alat otomatis lalu dilekatkan
pada kaca benda kemudian diwarnai lalu dilihat di bawah mikroskop oleh seorang dokter ahli
patologi anatomi. Karena itu, sampel memadai karena hampir 100% sel yang terambil
dimasukkan ke dalam cairan dalam tabung sampel dan proses terstandardisasi karena
menggunakan prosesor otomatis, sehingga preparat (usapan sel pada kaca benda)
representatif, lapisan sel tipis, serta bebas dari kotoran/pengganggu. Selain itu, sampel dapat
digunakan untuk pemeriksaan HPV-DNA.

7
3.5.Persiapan Pemeriksaan Pap Smear

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan pap smear
antara lain selama 24 jam sebelum pemeriksaan sebaiknya menghindari persetubuhan,
penggunaan tampon, pil vagina, ataupun mandi berendam dalam bath tub. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari kontaminasi ke dalam vagina yang dapat mengacaukan hasil
pemeriksaan. Selain itu, pasien sebaiknya tidak sedang menstruasi, karena darah dan sel dari
dalam rahim dapat mengganggu keakuratan hasil pap smear.

Gambar 2. Gambaran Pemeriksaan Sitologi Konvensional dan berbasis Cairan

8
3.6. Prosedur Pemeriksaan Pap Smear

Prosedur pemeriksaan pap smear adalah:


1) Persiapan alat-alat yang akan digunakan, meliputi spekulum bivalve (cocor bebek),
spatula Ayre, kaca objek yang telah diberi label atau tanda, dan alkohol 95%.
2) Pasien berbaring dengan posisi litotomi.
3) Pasang spekulum sehingga tampak jelas vagina bagian atas, forniks posterior, serviks
uterus, dan kanalis servikalis.
4) Periksa serviks apakah normal atau tidak.
5) Spatula dengan ujung pendek dimasukkan ke dalam endoserviks, dimulai dari arah jam
12 dan diputar 360˚ searah jarum jam.
6) Sediaan yang telah didapat, dioleskan di atas kaca objek pada sisi yang telah diberi tanda
dengan membentuk sudut 45˚ satu kali usapan.
7) Celupkan kaca objek ke dalam larutan alkohol 95% selama 10 menit.
8) Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam wadah transpor dan dikirim ke ahli patologi
anatomi.

Gambar 3. Prosedur Pemeriksaan Pap Smear

9
3.7. Syarat Pengambilan Bahan

Penggunaan pap smear untuk mendeteksi dan mendiagnosis lesi prakanker dan
kanker leher rahim, dapat menghasilkan interpretasi sitologi yang akurat bila memenuhi
syarat yaitu:
1) Bahan pemeriksaan harus berasal dari portio leher rahim.
2) Pengambilan pap smear dapat dilakukan setiap waktu diluar masa haid, yaitu sesudah
hari siklus haid ketujuh sampai dengan masa pramenstruasi.
3) Apabila pasien mengalami gejala perdarahan diluar masa haid dan dicurigai penyebabnya
kanker leher rahim, sediaan pap smear harus dibuat saat itu walaupun ada perdarahan.
4) Pada peradangan berat, pengambilan sediaan ditunda sampai selesai pengobatan.
5) Pasien dianjurkan untuk tidak melakukan irigasi vagina (pembersihan vagina dengan zat
lain), memasukkan obat melalui vagina atau melakukan hubungan seks sekurang-
kurangnya 24 jam, sebaiknya 48 jam.
6) Pasien yang sudah menopause, pap smear dapat dilakukan kapan saja.

3.8. Interpretasi Hasil Pap Smear

Terdapat banyak sistem dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan Pap Smear,


sistem Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithelial Neoplasma (CIN), dan sistem Bethesda.
Klasifikasi Papanicolaou membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas, yaitu:
1) Kelas I : tidak ada sel abnormal.
2) Kelas II : terdapat gambaran sitologi atipik, namun tidak ada indikasi adanya
keganasan.
3) Kelas III : gambaran sitologi yang dicurigai keganasan, displasia ringan sampai sedang.
4) Kelas IV : gambaran sitologi dijumpai displasia berat.
5) Kelas V : keganasan.
Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di Amerika
Serikat Pada sistem ini, pengelompokan hasil uji Pap Smear terdiri dari:
1) CIN I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada kurang dari
sepertiga lapisan epitelium.
2) CIN II merupakan displasia sedang dimana melibatkan dua pertiga epitelium.

10
3) CIN III merupakan displasia berat atau karsinoma in situ yang dimana telah melibatkan
sampai ke basement membrane dari epitelium.
Klasifikasi Bethesda pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988. Setelah melalui
beberapa kali pembaharuan, maka saat ini digunakan klasifikasi Bethesda 2001. Klasifikasi
Bethesda 2001 adalah sebagai berikut :
1) Sel skuamosa
a. Atypical Squamous Cell of Undetermined Significance
(ASC-US) yaitu sel skuamosa atipikal yang tidak dapat
ditentukan secara signifikan. Sel skuamosa adalah datar,
tipis yang membentuk permukaan serviks.
b. Low-grade Squamous Intraephitelial Lesion (LSIL) ,
yaitu tingkat rendah berarti perubahan dini dalam
ukuran dan bentuk sel. Lesi mengacu pada daerah
jaringan abnormal, intaepitel berarti sel abnormal
hanya terdapat pada permukaan lapisan sel-sel.
c. High-grade Squamosa Intraepithelial (HSIL) berarti bahwa terdapat perubahan yang
jelas dalam ukuran dan bentuk abnormal sel-sel (prakanker) yang terlihat berbeda
dengan sel-sel normal.
d. Squamous Cells Carcinoma Invasive

2) Sel glandular
a. Atypical Glandular Cells (AGC), specify endocervical, endometrial or not otherwise
specified (NOS)

11
b. Atypical Endocervical Cells, favor neoplastic, specify endocervical or not otherwise
specified (NOS)
c. Endocervical Adenocarcinoma In situ (AIS)
d. Adenocarcinoma.

Tabel 1. Klasifikasi Lesi Prakanker dengan beberapa sistem

3.9. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi hanya berupa perdarahan ringan dan infeksi. Pasien
harus diedukasi tentang kemungkinan bercak darah yang keluar dari vagina segera setelah
pap smear dilakukan, karena hal ini dianggap normal.

3.10. Tatalaksana Lesi Prakanker Serviks

Deteksi awal stadium dini lesi prakanker serviks akan memberikan prognosis yang
lebih baik. Terdapat berbagai pilihan terapi yang dapat dilakukan, mulai dari laser ablasi dan
krioterapi yang biasa digunakan untuk displasia ringan, serta cold knife, konisasi, atau laser
konisasi yang biasa digunakan untuk displasia moderat, dan terakhir adalah eksisi seperti

12
LEEP, LLETZ, konisasi, sampai histerektomi. Namun, terapi yang berlebihan dapat
menyebabkan ganguan pada fertilitas di masa reproduktif. Karena itu, hasil pap smear harus
ditindaklanjuti dengan baik dan tepat agar pasien mendapatkan pengobatan yang tepat sesuai
kondisinya.

Gambar 4. Alur penatalaksanaan hasil pap smear

Beberapa tindakan yang dapat diambil, antara lain:


 Krioterapi, yaitu prosedur sederhana untuk mendestruksi area prakanker pada serviks
dengan cara pembekuan. Cryoprobe diletakkan pada serviks dan membekukan
permukaannya menggunakan gas karbon dioksida (CO2) atau nitrogen oksida (N2O).
Cryoprobe diterapkan pada serviks dua kali selama tiga menit setiap kali dengan jarak 5
menit (teknik double-freeze). Krioterapi sangat efektif untuk pengobatan lesi kecil, tapi
untuk lesi yang lebih besar angka kesembuhan di bawah 80%.
 Cold Knife Cone (konisasi pisau), merupakan cara eksisi berbentuk kerucut dari bagian
serviks dengan menggunakan cold knife conization, termasuk area ektoserviks dan

13
endoserviks. Tingkat konisasi akan tergantung pada ukuran lesi dan kemungkinan
ditemukan kanker invasif. Konisasi direkomendasikan untuk pengobatan NIS II dan NIS
III.
 Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of The
Transformation Zone (LLETZ) adalah penghapusan daerah abnormal pada serviks
dengan menggunakan kawat panas dari aliran listrik tegangan rendah konstan. Teknik ini
berhasil mengeradikasi prakanker sebanyak 90% kasus. LEEP dipergunakan untuk lesi
intraepithelial derajat tinggi (HSIL) karena kedalaman pengambilan jaringan dapat lebih
besar sehingga seluruh kripta endoserviks dapat terambil yang mungkin luput pada
pemakaian krioterapi.
 Vaporasi laser, terutama untuk HSIL telah menggantikan tempat terapi kauterisasi,
krioterapi atau konisasi pisau di Negara maju. Kelemahan alat ini adalah biaya yang
relatif mahal hasil tidak berbeda dengan metoda terapi lainnya. Evaporasi laser pada
HSIL memberikan keberhasilan terapi sampai 94% pada lesi kurang dari 2,5 cm dan 92%
untuk lesi lebih dari 2,5 cm.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan. In: Pemeriksaan Ginekologik. Jakarta: PT Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo,164-165.
2. Price & Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2.
Edisi6. Jakarta: EGC.
3. Ries LA, Melbert D, Krapcho M, Stinchcomb DG, Howlander N, Horner MJ, et al.
2009. SEER cancer statistics review. Bethesda (MD): National Cancer Institute.
4. U.S. Cancer Statistics Working Group. 2010. United States Cancer Statistics: 1999-2007
Incidence and Mortality Web-based Report. Atlanta (GA): Department of Health and
Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, and National Cancer
Institute.
5. Cervical cancer, human papillomavirus (HPV), and HPV vaccines: Key points for policy-
makers and health professionals. 31 December 2008. World Health Organization.
6. Diananda, R. 2009. Panduan Lengkap Mengenai Kanker. Yogyakarta: Mirza Media
Pustaka.
7. Karjane NW, Chelmow D. Pap Smear. Medscape Medical News; 2012.
(http://emedicine.medscape.com/article/1947979-overview#showall diakses 18 Oktober
2018).
8. Lestadi, Julisar. 2009. Sitologi Pap Smear : Alat Pencegahan & Deteksi Dini Kanker
Leher Rahim. Jakarta : EGC.
9. Cervical Cytology Screening. December 2009. ACOG Practice Bulletin.
10. Rasjidi, Imam. 2008. Manual Prakanker Serviks. Jakarta : Sagung Seto.
11. Marquardt, N., 2002. Cervical Neoplasma and Carcinoma. In: Marquardt, N.,
ed.Obstetrics and Gynecology, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,547-
565.

15

Anda mungkin juga menyukai