PENDAHULUAN
SLE adalah penyakit autoimun multisistem kronik dengan etiologi yang belum
diketahui, ditandai oleh produksi autoantibodi terhadap self molecules pada nukleus,
sitoplasma dan membran sel dengan berbagai manifestasi klinis. Temuan patologi
primer adalah berupa inflamasi, vaskulitis, deposisi imun kompleks dan vaskulopati.
Perjalanan penyakit ini ditandai oleh periode flares dan remisi. Sedangkan petanda
laboratorium utama penyakit ini adalah adanya ANA (Anti Nuclear antibody) , yang
nampak pada lebih dari 95% penderita SLE. Dengan gambaran pewarnaan nukleus
paling sering adalah difus atau homogen. Selain itu adanya Antibodi Anti –DNA dan
anti–Sm pada SLE jarang nampak pada kelainan lain dan oleh karena itu
mempunyai spesifitas yang tinggi untuk SLE.1
Insiden SLE pada kebanyakan negara adalah sekitar 4 per 100.000
penduduk. Di USA insidennya sekitar 0,7 – 7,2 pada tahun 2006. Insiden rate di
amerika utara , amerika selatan dan eropa berkisar antara 2 sampai 8 per 100.000
penduduk pertahun. Perempuan mempunyai resiko 9 kali lebih besar dibanding laki
laki. 65 % penderita SLE penyakit muncul pada usia 16 – 55 tahun. 20% sebelum
usia 16 tahun dan 20% muncul setelah usia 55 tahun. Prevalensi lupus meningkat
sejak 40 tahun terakhir karena kemajuan dalam diagnosis pada kasus kasus yang
ringan. 2,3.
Pada SLE sistem organ yang paling sering terkena adalah kutaneous,
muskuloskeletal, dan ginjal. Keterlibatan kutaneous antara lain malar rash, discoid
rash, nasal dan oral ulcers, dan vaskulitis cutaneous. Kelainan Muskuloskeletal
antara lain berupa poliathralgia atau poliarthritis, dan jarang myositis. Sedangkan
Lupus nephritis memberi gambaran berupa proteinuria, hematuria, dan atau silinder
eritrosit pada urinalisa. Hampir semua organ dapat terkena. Kelainan hematologi
meliputi leukopenia, lymphopenia, trombositopenia dan hemolitik anemia. Serositis
memberi gambran berupa pleurisy atau efusi pleura, perikarditis dengan atau tanpa
effusi dan jarang berupa nyeri abdomen atau asites. Kelainan neurologis umumnya
berupa kelainan kognitif dan jarang memberi gambaran seizure, psikosis, transverse
myelitis, neuropati kranial atau perifer, mononeuritis multipleks, enchephalopati, dan
stroke. Kelainan sistem gastrointestinal antara lain berupa refluks gastroesofageal,
1,3.
disfagia, nyeri abdomen, konstipasi , diare, perforasi dan perdarahan abdomen.
2
Meskipun pada 25 -50 % pasien SLE dapat mengalami kelainan fungsi hepar
yang bersifat subklinis tetapi perubahan enzim hepar yang sangat tinggi adalah
jarang terjadi. Klinisi akan dihadapkan pada dilemma apakah akan
mengklasifikasikan penderita sebagai penderita penyakit hepar primer yang
berhubungan dengan autoimmune baik secara klinis dan laboratoris dengan
gambaran yang menyerupai SLE seperti Autoimmune hapatitis (AIH) ataukah
kelainan hepar sebagai manifestasi SLE.
Pada laporan kasus ini akan dilaporkan penderita SLE dengan manifestasi
hepatitis. Dengan tulisan ini kita diharapkan mengetahui lebih dalam tentang SLE
dalam hubungannya dengan manifestasinya pada hepar.
KASUS
(HCT) 33,3 %, MCV : 85,6 fL , MCH : 28,8 pg, reticulosit: 0,69, diff count
0/2/41/22/25, Evaluasi Hapusan darah : eritrosit : Normokrom anisositosis, Lekosit :
kesan jumlah turun Trombosit : kesan jumlah turun. Faal hemostasis PPT dan APTT
dalam batas normal. Pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 648 U/L, SGPT
130 U/L, albumin 1,75 mg/dL, ureum 59,9 mg/dL, kreatinin 1,66 mg/dL,Natrium 132
mmol/L, Kalium 4,07 mmol/L, Khlorida 112 mmol/L .Hasil pemeriksaan urinalisa : PH
6 BJ 1.020, protein +2, darah +3, silinder hialin: 1-2/LPK, eritrosit 29,7/LPB, lekosit
1,9 /LPB , bakteri negatif. Hasil BGA : pH 7,30; pCO2 30,0 mmHg;pO2 70,6
mmHg;HCO3 11,48 mmol/L;BE -11,9 mmol/L; saturasi O2 92,7 %. Serologi Anti
dengue IgM (+) dan IgG(+).
Dari bahan sputum dengan pemeriksaan SPS didapatkan hasil negatip dan dari
kultur sputum didapatkan kuman Klebsiela pneumonia.
PEMBAHASAN
Pada kasus ini penderita adalah seorang perempuan 35 tahun dari anamnesa
didapatkan perut makin membesar , disertai mual dan muntah setiap kali makan
serta kehilangan nafsu makan. Sejak 3 bulan sebelumnya mengeluh batuk dengan
dahak putih, selain itu juga menderita sariawan, nyeri telan, nyeri sendi, rambut
rontok dan berat badannya turun sekitar 10 Kg. Sejak 1 bulan ini penglihatan kabur
dan pada kedua kelopak mata seperti memar kekuningan. Meriang dan berkeringat
pada malam hari, tetapi kalau siang agak berkurang.
If 4 of these criteria, well documented, are present at any time in a patient's history, the
diagnosis is likely to be SLE. Specificity is 95%; sensitivity is 75%. Source: Criteria
published by EM Tan et al: Arthritis Rheum 25:1271, 1982; update by MC Hochberg,
Arthritis Rheum 40:1725, 1997.
Tabel 2. Clinical and immunologic criteria used in the SLICC classification system*
Clinical criteria 7. Renal
6
1. Acute cutaneous lupus, including: Urine protein–to-creatinine ratio (or 24-hour urine
Lupus malar rash (do not count if malar discoid) protein) representing 500 mg protein/24 hours
Bullous lupus OR red blood cell casts
Toxic epidermal necrolysis variant of SLE 8. Neurologic
Maculopapular lupus rash Seizures
Photosensitive lupus rash Psychosis
in the absence of dermatomyositis Mononeuritis multiplex
OR subacute cutaneous lupus (nonindurated in the absence of other known causes such as
psoriaform and/or annular polycyclic lesions that primary vasculitis
resolve without scarring, although Myelitis
occasionally with postinflammatory Peripheral or cranial neuropathy
dyspigmentation or telangiectasias) in the absence of other known causes such as
2. Chronic cutaneous lupus, including: primary vasculitis, infection, and diabetes mellitus
Classic discoid rash Acute confusional state
Localized (above the neck) in the absence of other causes, including
Generalized (above and below the neck) toxic/metabolic, uremia, drugs
Hypertrophic (verrucous) lupus 9. Hemolytic anemia
Lupus panniculitis (profundus) 10. Leukopenia (_4,000/mm3 at least once)
Mucosal lupus in the absence of other known causes such as
Lupus erythematosus tumidus Felty’s syndrome, drugs, and portal hypertension
Chillblains lupus OR
Discoid lupus/lichen planus overlap Lymphopenia (_1,000/mm3 at least once)
3. Oral ulcers in the absence of other known causes such as
Palate corticosteroids, drugs, and infection
Buccal 11. Thrombocytopenia (_100,000/mm3) at least once
Tongue in the absence of other known causes such as drugs,
OR nasal ulcers portal hypertension, and thrombotic
in the absence of other causes, such as vasculitis, thrombocytopenic purpura
Behc¸et’s disease, infection (herpesvirus),
inflammatory bowel disease, reactive arthritis, Immunologic criteria
and acidic foods 1. ANA level above laboratory reference range
4. Nonscarring alopecia (diffuse thinning or hair 2. Anti-dsDNA antibody level above laboratory
fragility with visible broken hairs) reference range (or _2-fold the reference range if
in the absence of other causes such as alopecia tested by ELISA)
areata, drugs, iron deficiency, and androgenic 3. Anti-Sm: presence of antibody to Sm nuclear
alopecia antigen
5. Synovitis involving 2 or more joints, 4. Antiphospholipid antibody positivity as determined
characterized by swelling or effusion by any of the following:
OR tenderness in 2 or more joints and at least 30 Positip test result for lupus anticoagulant
minutes of morning stiffness False-positip test result for rapid plasma reagin
6. Serositis Medium- or high-titer anticardiolipin antibody level
Typical pleurisy for more than 1 day (IgA, IgG, or IgM)
OR pleural effusions Positip test result for anti–_2-glycoprotein I (IgA, IgG,
OR pleural rub or IgM)
Typical pericardial pain (pain with recumbency 5. Low complement
improved by sitting forward) for more than 1 day Low C3
OR pericardial effusion Low C4
OR pericardial rub Low CH50
OR pericarditis by electrocardiography 6. Direct Coombs’ test in the absence of hemolytic
in the absence of other causes, such as infection, anemia
uremia, and Dressler’s pericarditis
ANA positip pada >98% pasien SLE selama perjalanan penyakitnya. Kadar
antibodi IgG terhadap dsDNA dan antibodi terhadap Sm antigen keduanya spesifik
untuk SLE dan oleh karena itu keduanya sangat menyokong diagnosis apabila
didapatkan gambaran klinis yang sesuai. Adanya multipel autoantibodi pada
seseorang tanpa gejala klinis yang mendukung tidak seharusnya didiagnosis
7
sebagai SLE, meskipun pada penderita tersebut mempunyai resiko yang lebih besar
ketika gejala klinis mulai muncul pada kebanyakan penderita beberapa tahun
kemudian setelah munculnya autoantibodi. Berdasarkan kriteria ACR maupun
SLICC penderita ini telah memenuhi kriteria diagnosa untuk SLE. 4.
Hepar bukanlah merupakan target organ utama untuk SLE, akan tetapi
kelainan fungsi hepar telah banyak dilaporkan pada beberapa dekade terakhir.
Kondisi kelainan hepar yang lanjut merupakan kondisi yang jarang pada penderita
SLE dan perubahan histologi pada lupus hepatitis nampaknya tidak spesifik seperti
steatosis, fibrosis, focal necrosis, dan round cell infiltration pada portal area.
Gambaran peningkatan enzim hepar bervariasi antar pasien. Jika yang dominan
adalah injuri hepatosit , maka peningkatan aminotransferase menjadi temuan yang
dominan. Peningkatan ALP dan bilirubin terutama terjadi pada sindrom kolestasis.
Jaundice dan peningkatan ALP serta Ɣ-GT lebih jarang terjadi dibandingkan
peningkatan serum transaminase, meskipun demikian jaundice dilaporkan terjadi
pada 12-25% penderita. 5,6
Kelainan enzim hepar pada SLE bersifat multifaktorial atau disebabkan oleh
aktifitas penyakit. Penderita SLE yang aktif cenderung/mempunyai resiko yang lebih
tinggi untuk terjadinya hepatitis lupus dibandingkan penderita SLE yang tidak aktif,
sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya hepatitis lupus dapat dihubungkan
dengan aktifitis penyakit SLE. Hepatitis lupus sering sulit dibedakan dengan etiologi
penyakit hepar yang lain, karena seringnya penderita SLE mendapatkan terapi
dengan berbagai macam obat yang dapat menyebabkan drug induced hepar injury,
overlap dengan penyakit imun hepar yang lain, atau nampak sebagai komplikasi
hepatitis viral. 6
Pada penelitian Zheng (2013) yang bertujuan untuk mencari gambaran klinis
yang jelas dari hepatitis lupus ,setelah menyingkirkan penyebab penyakit hepar yang
lain seperti drug induced hepar injury, alkoholic hepar disease , hepatitis viral
(hepatitis A, B,C, D, E, Epstein-Barr virus (EBV) or cytomegalovirus (CMV)),
autoimmune associated hepar diseases (AIH and PBC (primary biliary cirrhosis)),
genetic atau metabolic hepar diseases, non-hepatic elevation of hepar enzymes
(hemolysis dan myositis) menemukan bahwa pada 504 penderita SLE didapatkan
sejumlah 9,3% (47 orang) mengalami hepatitis lupus. Pada 45 dari 47 penderita
didapatkan peningkatan ALT ringan sampai sedang. 39 dari 45 penderita penderita
8
Adapted from Alvarez F, Berg PA, Bianchi FB, et al. J Hepatol 1999;31:929 938.
AMA, antimitochondrial antibody; anti LC1, antibody to hepar cytosol type 1; anti LKM1, antibody to
hepar/kidney microsomes type 1; anti SLA, antibody to soluble hepar antigen; ANA, antinuclear
antibody; AP:AST (or ALT) ratio, ratio of alkaline phosphatase level to aspartate or alanine
aminotransferase level; HLA, human leukocyte antigen; IgG, immunoglobulin G; pANCA, perinuclear
9.
anti neutrophil cytoplasmic antibody; SMA, smooth muscle antibody
Dari data bahwa penderita tidak mengkonsumsi alkohol, obat obatan herbal
secara rutin, pengobatan yang bersifat hepatotoksik jangka panjang seperti obat
tuberkulosis, maka ketiga hal tersebut dapat disingkirkan. Adanya suatu AIH pada
penderita ini kemungkinannya sangat kecil didasarkan pada adanya peningkatan
transaminase (SGOT) > 500 U/L, peningkatan ALP yang sangat tinggi serta adanya
Lupus nephritis yang akan diuraikan pada bagian berikut ini.
Definisi Lupus nefritis didasarkan pada manifestasi klinis dan laboratoris yang
memenuhi kriteria ACR ( proteinuria persistent > 0,5 gr perhari atau dengan dipstik >
+3, dan atau didapatkan silinder seluler termasuk sel darah merah, hemoglobin,
granuler, tubuler atau campuran). ACR juga merekomendasikan bahwa spot urine
protein/creatinine ratio > 0,5 dapat digantikan dengan protein urin 24 jam, dan active
urinary sediment ( >5 RBC/LPB, >5 WBC/LPB tanpa adanya infeksi, atau silinder
seluler RBC atau WBC) dapat menggantikan silinder seluler. Dan yang paling
optimal , kriterianya adalah biopsi ginjal menunjukkan adanya immune complex–
mediated glomerulonephritis yang sesuai dengan LN . Diagnosis LN dianggap valid
apabila dibuat oleh rheumatologist atau nephrologist. Adanya hasil pemeriksaan
11
urinalisa pada pasien ini berupa proteinuria, hematuria, lekosituria, silinder berbutir
dan tidak dijumpai tanda tanda infeksi mendukung diagnosis lupus nephritis.11.
Infeksi virus pada SLE diduga berperan pada perkembangan, sebagai faktor
pemicu dan kambuhnya SLE. Beberapa peneliti telah memenunjukkan adanya
peningkatan aktivasi sistem imun dan produksi antibodi selama infeksi virus akut.
Selain itu seringkali infeksi virus akut tersebut menjadi pasangan ketika terjadi
kambuhnya atau munculnya gejala SLE. Menyebabkan kesulitan dan seringkali
menjadi penyebab misinterpretasi tanda klinis dan pengobatan yang tidak optimal.
12,13.
dibandingkan dengan SGPT hal ini kemungkinan karena waktu paruh SGPT yang
17
lebih pendek dibanding SGPT.
Diantara 1.585 penderita dengue yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan
serologi, didapatkan 65,2% (1034) penderIta didapatkan peningkatan AST dan atau
ALT dengan rata rata peningkatan AST adalah 93.3 U/L dan ALT adalah 86.0
U/L.Peningkatan AST >10xUL terjadi pada 3,4% (54 pasien) sedangkan ALT>10x
UL terjadi pada 1,8% (28 pasien). 17.
Dari uraian tersebut diatas maka selain menderita SLE dengan Nephritis
Lupus , penderita ini juga mengalami infeksi dengue, dimana infeksi dengue tersebut
bersifat komorbid (menyertai) penyakit SLE sebelumya,sehingga memperberat
penyakit tersebut. Oleh karena itu meningkatnya kadar hepar enzim pada penderita
ini yang sangat tinggi kemungkinan juga karena komorbid dengan adanya dengue
virus.
Pada penderita ini didapatkan adanya abnormalitas profil lipid berupa
peningkatan kadar trigliserida (Tg), kholesterol, dan penurunan kadar HDL.
Hiperlipidemia pada SLE sering terjadi, dan nampak pada lebih dari 50% kasus
Lupus nephritis. Penyebab sekunder peningkatan tersebut adalah Nephrotic
syndrome dan penggunaan kortikosteroid. Peningkatan Trigliserida dan penurunan
kadar HDL (Lupus dyslipoproteinemia) berkorelasi kuat dengan aktifitas penyakit
SLE sedang dengan kholesterol korelasinya rendah. Penelitian Borba (1997)
menunjukkan adanya peningkatan kadar Tg pada penderita baru SLE yang belum
mendapatkan terapi steroid. Hal ini kemungkinan karena peningkatan sintesis TNFα,
terutama dengan adanya Lupus nephritis. TNFα mampu menghambat lipoprotein
lipase (LPL) yang merupakan enzim utama yang bertugas mendegradasi partikel
trigliseride-rich VLDL dalam sirkulasi. Pada SLE, aktifitas LPL turun sekitar 50%
dibanding pada orang normal. . Pada suatu penelitian didapatkan penurunan kadar
HDL pada 78% penderita SLE aktif dan 29% SLE yang inaktif. Penurunan kadar
HDL berhubungan juga dengan peningkatan kadar TNFα dan soluble TNFα receptor
pada pasien SLE. 18.
Hiperlipidemia pada penderita ini kemungkinan juga dipengaruhi oleh adanya
infeksi dengue. Pada pathogenesis infeksi dengue akan dihasilkan sitokin . Sitokin
yang disekresi tersebut mempunyai pengaruh terhadap transkripsi gen sitokin
berikutnya. Akibatnya terjadi peningkatan jumlah sitokin ( IL-4, IL-5, IL-6, TNFα ) .
Peningkatan produksi sitokin antara lain akan mempengaruhi metabolisme lemak.
13
Terjadi penurunan kadar HDL akibat penurunan aktivitas Lecithin Cholesterol Acyl
Transferase ( LCAT ) dan peningktan kadar Trigliserida akibat peningkatan sintesa
asam lemak dan lipolisis . 19,20.
Telah dilaporkan satu kasus penderita SLE dengan Lupus nephritis disertai
Dengue fever. Penegakan diagnosa SLE, Lupus nephritis dan Dengue fever
didasarkan pada pemeriksaan klinis dan laboratorium. Pada 25 -50 % pasien SLE
dapat mengalami kelainan fungsi hepar yang bersifat subklinis tetapi perubahan
enzim hepar yang sangat tinggi adalah jarang terjadi. Meningkatnya perubahan
enzim hepar yang sangat tinggi pada penderita ini selain karena SLE juga karena
komorbid dengan adanya Dengue fever. Adanya suatu AIH pada penderita ini
kemungkinannya sangat kecil didasarkan terutama oleh adanya Lupus nephritis dan
adanya peningkatan transaminase (SGOT) > 500 U/L, peningkatan ALP yang
sangat tinggi meskipun hal ini mungkin dipengaruhi juga oleh adanya dengue virus.
Berdasarkan perjalanan penyakit pada penderita ini adanya dengue fever hanya
bersifat komorbid dan bukan merupakan faktor pencetus atau etiologi dari SLE.
Adanya abnormalitas profil lipid berupa peningkatan kadar trigliserida (Tg),
kholesterol, dan penurunan kadar HDL pada pasien ini menunjukkan SLE yang aktif
selain itu juga akibat adanya infeksi dengue.
14
KEPUSTAKAAN
11. Hahn BH, Mcmahon MA, Wilkinson A, Wallace WD, Daikh DI, Fitzgerald JD,
et all. American College of Rheumatology Guidelines for Screening,
Treatment, and Management of Lupus Nephritis Arthritis Care & Research
Vol. 64, No. 6, June 2012, pp 797–808
12. talib SH, Bhattu SR, Bhattu R, Deshpande SG, Dahiphale DB. Dengue fever
triggering systemic lupus erythematosus and lupus nephritis: a case report
International Medical Case Reports Journal 2013:6 71–75
13. de Souza LJo, Alves JG, Nogueira MR, Neto CG, dos Goytacazes C, Bastos
DA. Aminotransferase Changes and Acute Hepatitis in Patients With Dengue
Fever: Analysis of 1,585 Cases The Brazilian Journal of Infectious Diseases
2004;8(2):156-163
14. Ramos-Casals M, Cuadrado MJ, Alba P, Sanna G, Brito-Zerón P, Bertolaccini
L, et. All.Acute viral infections in patients with systemic lupus erythematosus:
description of 23 cases and review of the literature. Medicine (Baltimore).
2008 Nov;87(6):311-8.
20. Khovidhunkit W, Kim MS, Memon RA, Shigenaga JK, Moser AH, Feingold,
Effects of infection and inflammation on lipid and lipoprotein metabolism:
mechanisms and consequences to the host Journal of Lipid Research, 2004,
Vol. 45, pp.1169–1196.