Anda di halaman 1dari 50

PATOGENESIS DAN TATALAKSANA IMMUNE THROMBOCYTOPENIC

PURPURA (ITP)

Immune thrombocytopenic purpura (ITP), juga dikenal sebagai primary immune


atau outoimmune thrombocytopenic purpura, adalah penyebab tersering dari
trombositopenia dan komplikasi perdarahan pada anak-anak dan dewasa. Oleh karena
penyebab dari trombositopeni bermacam-macam mengakibatkan bervariasinya obat
sehingga beragamnya efikasi, toksisitas dan harga ( AHS,1997). ITP merupakan suatu
penyakit yang didapat akibat proses imun pada dewasa dan anak-anak yang ditandai
dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat atau persisten dan tergantung pada
derajat trombositopeni, menyebabkan meningkatnya resiko perdarahan
(Rodeghiero,2008). ITP adalah penyakit autoimmun yang ditandai dengan jumlah
trombosit yang rendah (kurang dari 30.000/l) dan perdarahan ringan sampai yang
mengancam jiwa. Kelainan autoimmun ini menyebabkan peningkatan destruksi
trombosit dan penurunan produksi trombosit (McMillan, 2007).
Prakiraan jumlah insiden ITP adalah 1 per 10.000 sampai 1 per 1000 orang.
Terdapat sekitar 100 kasus baru per 1 juta penduduk pertahun, dengan setengahnya
adalah anak-anak. Wanita lebih sering daripada pria. Perbandingan penderita
perempuan dan laki-laki 2-3:1. Penyakit ini pada umumnya muncul pada awal dewasa,
tetapi insiden dan tingkat keparahan meningkat sesuai dengan peningkatan umur. Ini
mengenai semua umur dan etnis. Jumlah penderita di Amerika diperkirakan sekitar 200
orang pertahun (Psaila, 2007).
ITP diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder berdasarkan penyebab
kelainannya , selain selain akut ( permulaan penyakit kurang dari 6 bulan ) dan kronik.
Terdapat perbedaan ITP pada dewasa dan anak. Pada anak anak kurang dari 5 tahun ,
tiba-tiba muncul petechie atau purpura setelah beberapa hari atau minggu sembuh dari
penyakit infeksi. Rasio anak laki-laki dan perempuan sama.Pada lebih dari 70 persen
kasus akan sembuh dalam 6 bulan, dengan atau tanpa terapi. Tidak demikian ITP pada
dewasa , biasanya berkembang menjadi kronik, onset tidak jelas, dan perempuan dua
kali lebih sering terkena (Cines, 2002).
Immune Trombocyitopenic Purpura kronik adalah kelainan autoimmun dimana
sistem imun penderita bereaksi terhadap autoantigen. Trombositopeni pada ITP adalah
akibat dari destruksi trombosit karena proses imun atau penekanan dari produksi
trombosit. Membran protein dari trombosit menjadi bersifat antigenik dan merangsang
sistem imun memproduksi autoantibodi dan sel T sitotoksik. Autoantibodi ini bereaksi
langsung terhadap glikoprotein GPIIb-IIIa atau GPIb-IX, dan terdeteksi pada sebagian
besar penderita. Etiologi dari ITP belum sepenuhnya diketahui, tetapi diketahui bahwa
autoantibodi ini membungkus trombosit dalam sirkulasi. Trombosit yang terbungkus
oleh antibodi ini kemudian dihancurkan di sistem retikuloendotelial ( hepar dan lien ) ,
mengakibatkan trombositopeni. Sebagai tambahan , Sel T sitotoksik juga merusak
megakariosit (Cines, 2002).
Diagnosa dari ITP ditegakkan dari suatu eksklusi. Menurut Guideline dari
American Society of Hematology (ASH) , diagnosa ITP didasarkan pada anamnesa dan
pemeriksaan fisik serta hitung darah lengkap dan pemeriksaan gambaran darah tepi.
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk menegakkan diagnosa pada pasien berumur
diatas 60 tahun dan pada pasien yang dipertimbangkan untuk splenektomi (ASH,1996).
Terapi lini pertama menurut BCSH maupun ASH adalah kortikosteroid dan atau
IVIG. Apabila refrakter dapat dilanjutkan dengan splenektomi. Dua pertiga kasus akan
mengalami remisi spontan sesudah splenektomi. Sedangkan apabila masih belum
menunjukkan remisi terapi alternatif lain diantaranya adalah IVIG dosis tinggi, vinca
alkaloids, anti D, Danazole, Azathioprine, siklosporin, alemtuzumab, rituximab, atau
mycophenolate mofetil (ASH,1996 ; BCSH,2003).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TROMBOSIT

Trombosit adalah sel kecil tidak berinti dengan bentuk tidak beraturan.
Sel ini tidak mempunyai nukleus yang berisi DNA.Ukuran sel 2-3 mikrometer.
Trombosit merupakan derivat dari fragmentasi prekusor megakariosit. Umur rata-
rata trombosit adalah 10 hari, dengan volume kurang lebih 5 liter. Sepertiganya
terkumpul di limpa. Rata-rata orang dewasa memproduksi 100 ribu permilimeter
kubik perhari , berguna untuk mempertahankan jumlah normal. Jumlah produksi
dapat meningkat 10 kali lipat. Trombosit berperan penting pada hemostasis,
terutama pada pembentukan bekuan darah. Bila jumlah trombosit terlalu rendah ,
perdarahan hebat bisa terjadi. Namun demikian bila jumlah trombosit terlalu
tinggi , bekuan darah mudah terbentuk (trombosis) yang menyebabkan
penyumbatan pembuluh darah dan mengakibatkan stroke, serangan jantung, emboli
paru dan sumbatan pembuluh darah di tempat-tempat lain seperti ekstremitas atas
atau bawah (Kaushansky, 2005)
Gambar 1. Anatomi dan jalur signaling trombosit (Rivera, 2009)

Trombosit mempunyai peran penting dalam homeostasis yaitu pembentukan


dan stabilisasi sumbat trombosit. Pembentukan sumbat trombosit terjadi melalui
beberapa tahap yaitu adesi trombosit, agregasi trombosit dan reaksi pelepasan.
Apabila pembuluh darah luka, maka sel endothel akan rusak sehingga jaringan ikat
dibawah endothel akan terbuka. Hal ini akan mencetuskan adesi trombosit yaitu
suatu proses dimana trombosit melekat pada permukaan asing terutama serat
kolagen. Adesi trombosit sangat tergantung pada protein plasma yang disebut
faktor von Willebrands (vWF) yang disintesis olah sel endothel dan megakariosit .
Faktor ini berfungsi sebagai jembatan antara trombosit dan jaringan sub endothel.
Disamping melekat pada permukaan asing, trombosit akan melekat pada trombosit
lain dan proses ini disebut dengan agregasi trombosit.
Agregasi trombosit mula-mula dicetuskan oleh ADP yang dikeluarkan oleh
trombosit yang melekat pada serat endothel. Agregasi yang terbentuk disebut
agregasi trombosit primer dan bersifat reversibel. Trombosit pada agregasi primer
akan mengeluarkan ADP sehingga terjadi agregasi trombosit sekunder yang bersifat
irreversibel. Disamping ADP , untuk agregasi trombosit diperlukan ion kalsium dan
fibrinogen. Agregasi trombosit terjadi karena adanya pembentukan ikatan antara
fibrinogen yang melekat pada dinding trombosit dengan perantara ion kalsium.
Mula-mula ADP akan terikat pada reseptornya dipermukaan trombosit dan interaksi
ini menyebabkan reseptor untuk fibrinogen terbuka sehingga memungkinkan ikatan
antara fibrinogen dengan reseptor tersebut. Kemudian ion kalsium akan
menghubungkan fibrinogen tersebut sehingga terjadi agregasi trombosit. ADP
yang terikat reseptor pada permukaan trombosit akan mengaktifkan enzim
fosfolipase A2 yang akan memecah fosfolipid yang terdapat pada dinding trombosit
dan dilepaskan asam arakhidonat. Asam arakidonat pada dinding fosfolipase A2
yang akan memecah fosfolipid yang terdapat pada dinding trombosit dan
melepaskan asam arakidonat. Asam arakidonat akan diubah oleh enzim siklo-
oksigenase menjadi prostaglandin G2 (PGG2) yang kemudian akan diubah menjadi
prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim peroksidase. PGH2 akan diubah oleh enzim
tromboksan sintetase menjadi tromboksan A2 (TxA2) yang akan merangsang
agregasi trombosit. TxA2 akan segera diubah menjadi bentuk tidak aktif TxB2.
Didalam sel endotel akan terjadi proses yang sama , akan tetapi PGH2 akan diubah
oleh enzim prostasiklin sintetase menjadi prostasiklin (PG12) yang mempunyai
efek berlawanan dengan TxA2 (Oesman, 2007) .
Selama proses agregasi , terjadi perubahan bentuk trombosit dari bentuk
cakram menjadi bulat disertai dengan pembentukan pseudopodi. Akibat perubahan
bentuk ini maka granula trombosit akan terkumpul ditengah dan akhirnya akan
melepaskan isinya. Proses ini disebut sebagai reaksi pelepasan dan memerlukan
adanya energi. Zat agregator lain seperti trombin, kolagen, epinefrin dan TxA2
dapat menyebabkan reaksi pelepasan. Tergantung zat yang merangsang, akan
dilepaskan bermacam-macam substansi biologik yang terdapat dalam granula padat
dan granula alfa. Trombin dan kolagen menyebabkan pelepasan isi granula padat,
alfa dan lisosom. Dari granula padat dilepaskan ADP, ATP, ion kalsium, serotonin,
epinefrin dan norepinefrin. Dari granula alfa dilepaskan fibrinogen, vWF, F.V,
Platellet Factor 4 (PF.4), Beta tromboglobulin (TG). Sedangkan dari lisosom
dilepaskan bermacam-macam enzim hidrolase asam. Masa agregasi trombosit akan
melekat pada endothel , sehingga terbentuk sumbat trombosit yang dapat menutup
luka pada pembuluh darah (gambar 2). Walaupun masih permeabel terhadap cairan,
sumbat trombosit mungkin dapat menghentikan perdarahan pada pembuluh darah
kecil. Tahap terakhir untuk menghentikan perdarahan adalah pembentukan sumbat
trombosit yang stabil melalui pembentukan fibrin (Oesman,2007).

Gambar 2.mekanisme terbentuknya sumbat trombosit (Robbin, 2007)

2.2. TROMBOPOESIS NORMAL


Hemopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan banyak
komponen-komponen yang saling terkait antara lain : sel darah baik sel induk, sel
bakal dan sel matur, stroma dan zat-zat yang merangsang sel-sel darah untuk
berproliferasi. Trombosit berasal dari sel induk pluripoten yang oleh stimulasi dari
trombopoetin akan berkembang menjadi megakarioblas yang kemudian menjadi
trombosit matang ( gambar 3 ).
Pemahaman kita tentang thrombopoiesis atau pembentukan platelet darah
sangat meningkat dalam dekade terakhir, dengan kloning dan karakterisasi
thrombopoietin, regulator utama proses ini. Thrombopoietin mempengaruhi hampir
semua aspek produksi trombosit, dari regenerasi dan perluasan HSCs, melalui
stimulasi dari sel progenitor megakaryocyte proliferasi sel, untuk mendukung
pematangan sel-sel ini menjadi sel-sel penghasil trombosit. Mekanisme
trombopoetin secara molekuler dan selular yang mempengaruhi produksi platelet
memberikan wawasan baru interaksi antara pengaruh intrinsik dan ekstrinsik
hematopoiesis dan memberikan kesempatan baru untuk menerjemahkan biologi
dasar ke kemajuan klinis (gambar 4) (Kaushansky, 2005).
Pasokan yang cukup dari platelet sangat penting untuk memperbaiki
kerusakan vaskular terjadi dengan kehidupan sehari-hari, dan untuk memulai
pembentukan trombus dalam kejadian cedera vaskular . Bukti-bukti juga
menunjukkan peranan yang cukup penting platelet dalam perbaikan luka, respon
imun bawaan, dan metastasis sel tumor . Rata-rata jumlah platelet pada manusia
berkisar dari 150-400.000 permilimeter kubik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
individu-individu yang mempunyai jumlah trombosit lebih tinggi dari kisaran
normal memiliki 2-kali lipat peningkatan risiko kejadian kardiovaskular, dan juga
dalam percobaan dengan hewan dengan metastasis kanker, kadar trombosit lebih
tinggi membuat prognosis bervariasi. Dalam keadaan dimana trombosit sangat
diperlukan dapat terjadi peningkatan produksi sampai 10 kali lipat. Regulator
primer dari produksi trombosit adalah trombopoetin, suatu asam glikoprotein yang
dihasilkan oleh hati, ginjal dan sumsum tulang. Hubungan biokimia dan aktivitas
struktur trombopoetin telah diteliti, memiliki sisi yang menempel pada reseptor,
suatu produk selluler proonkogen c-Mpl (Kaushansky,2005) .
Gambar 3. Hematopoesis (Robbin, 2007)
Gambar 4. Mekanisme aktifasi TPO-R oleh TPO (Gernsheimer,2009)

Bukti sebagai regulator humoral thrombopoiesis dibuktikan pertama kali


pada akhir tahun 1950-an ketika plasma tikus yang mengalami perdarahan atau
thrombositopeni disuntikkan ke tikus lain, ternyata mampu menyebabkan
trombositosis. Didasarkan pada eritropoesis, istilah "thrombopoietin" pertama kali
diciptakan pada tahun 1958 untuk menggambarkan zat humoral yang bertanggung
jawab untuk meningkatkan produksi platelet. Pada akhir 1960-an, dalam tes vivo
dikembangkan untuk mendeteksi thrombopoietin tetapi tidak praktis. Pada 1980-an,
penelitian in vitro tentang megakariosit dikembangkan, yang memungkinkan
identifikasi GM-CSF, tetapi apakah zat-zat terdentifikasi , seperti IL-3, GM-CSF,
IL-6, atau IL-11, adalah sama dengan thrombopoietin tetap kontroversial. Kadang-
kadang dalam ilmu pengetahuan, penemuan dari satu disiplin memacu bidang lain
yang sama sekali berbeda penyelidikan. Gambaran tentang virus leukemia
myeloproliferative pada murine di tahun 1986 yang sesuai onkogen (v-mpl) dan
seluler protoonkogen (c-mpl) pada awal 1990-an telah seperti efek pada
thrombopoietin. Didasarkan pada sejumlah gambaran struktural, c-mpl
diidentifikasi sebagai anggota keluarga protein reseptor sitokin hematopoetik , yang
mengarah ke kloning dari ligan, thrombopoietin. Dua tahun kemudian. Awal
percobaan dengan protein rekombinan dimunculkan thrombopoietin sebagai
pengatur fisiologis utama thrombopoiesis, meningkatkan kadar trombosit atau
berefek kebalikan terhadap massa megakariosit dan peningkatantrombosit (gambar
5).

Gambar 5. Mekanisme umpan balik trombopoetin (Kaushansky,2005)

2.3. DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI


Immune Trombositopeni Purpura adalah suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer
kurang dari 150.000 permilimeter kubik) akibat autoantibodi yang mengikat
antigen trombosit menyebabkan destruksi prematur trombosit dalam sistem
retikuloendotelial terutama di limpa (Purwanto, 2006).
Insiden ITP pada dewasa adalah 1 per 10.000 sampai 1 per 1000 orang.
Terdapat sekitar 100 kasus baru per 1 juta penduduk pertahun, dengan setengahnya
adalah anak-anak. Wanita lebih sering daripada pria. Perbandingan penderita
perempuan dan laki-laki 2-3:1. Penyakit ini biasanya muncul pada awal dewasa,
tetapi insiden dan tingkat keparahan meningkat sesuai dengan peningkatan umur.
Jumlah penderita ITP di Amerika diperkirakan sekitar 200 orang pertahun (Psaila et
al., 2007). Insiden ITP pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000 anak pertahun. ITP
akut umumnya terjadi pada anak-anak usia 2-6 tahun. ITP akut pada anak ini 5-
20% akan berkembang menjadi kronik. Insiden ITP kronik pada anak sekitar 0,46%
per 100.000 anak pertahun. Insiden ITP kronik dewasa adalah 58-66 kasus baru
persatu juta populasi pertahun (5,8-6,6 per 100.000) di Amerika maupun di Inggris.
ITP kronik pada umumnya terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata
umur 40-45 tahun. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1:1 pada ITP akut
sedangkan ITP kronik adalah 2-3:1 (Purwanto, 2006).
Immune Trombositopeni Purpura telah didiagnosa pada kembar monozygot
dan pada beberapa keluarga , serta telah diketahui adanya kecenderungan
menghasilkan autoantibodi pada anggota keluarga yang sama. Adanya peningkatan
prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 dihubungkan dengan respon yang
menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid, dan HLA-DRB1*1501
dihubungkan dengan respon yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi.
Meskipun demikian penelitian gagal menunjukkan hubungan yang konsisten antara
ITP dan kompleks HLA yang spesifik (Cines, 2002).

2.4. PATOGENESIS ITP


ITP kronik adalah kelainan autoimmun dimana sistem imun penderita
bereaksi terhadap autoantigen. Trombositopeni pada ITP adalah akibat dari
destruksi trombosit karena proses imun atau penekanan dari produksi trombosit.
Membran protein dari trombosit menjadi bersifat antigenik dan merangsang sistem
imun memproduksi autoantibodi dan sel T sitotoksik (gambar 6). Autoantibodi ini
bereaksi langsung terhadap glikoprotein GPIIb-IIIa atau GPIb-IX, dan terdeteksi
pada sebagian besar penderita. Etiologi dari ITP belum sepenuhnya diketahui,
tetapi diketahui bahwa autoantibodi ini membungkus trombosit dalam sirkulasi.
Trombosit yang terbungkus oleh antibodi ini kemudian dihancurkan di sistem
retikuloendotelial ( hepar dan lien ) , mengakibatkan trombositopeni. Sebagai
tambahan , Sel T sitotoksik merusak megakariosit. Penekanan pada produksi
trombosit berperan pada perkembangan ITP sebagaimana ditunjukkan dengan
abnormalitas megakariosit, respon yang tidak sesuai dari sumsum tulang terhadap
destruksi trombosit.

Gambar 6. Patofisiologi ITP kronik (Lancet,2007)


Patofisiologi dari ITP kronik (gambar 6) adalah sebagai berikut :
trombosit terbungkus autoantigen (1), Sejak trombosit berada di intravaskuler ,
respon immun awal terjadi di limpa (2), dan mungkin meluas sampai sumsum
tulang (3). Bahkan sel memori antigen yang spesifik berkembang, beredar, dan
dimulai respon immun yang lebih luas (4). Ig G anti trombosit (G) diproduksi dan
Limfosit T sitotoksik dihasilkan (6). Autoantibodi berikatan dengan trombosit ,
menyebabkan destruksi trombosit oleh fagositosis lain (7) atau lisis yang diinduksi
oleh komplemen (C) (8) dan terhadap megakariosit menyebabkan penurunan
maturasi dan kematian sel (9). Akibat dari Limfosit T sitotoksisk adalah lisis
trombosit (10) dan mungkin megakariosit lisis (11). Garis tebal menunjukkan
reaksi dengan bukti penelitian yang kuat dan garis yang putus-putus menunjukkan
reaksi yang masih berupa dalil.

Gambar 7. Mekanisme Dasar dari ITP


Produksi dari trombosit dan juga kerusakan dari trombosit seharusnya
seimbang untuk menjaga jumlah trombosit yang ada dalam sirkulasi dalam batas
normal dengan kisaran 150-400Gi/L. Dalam kondisi fisiologis masing-masing
proses akan mengkompensasi dari proses yang lain untuk menyeimbangkan kondisi
dari trombosit, misalnya, jika terjadi peningkatan produksi dari trombosit , terjadi
peningkatan destruksi juga terhapad trombosit. Akan tetapi pada ITP terjadi
ketidakseimbangan antara produksi dan juga destruksi dari trombosit, dari gambar
7 menunjukkan proses ITP disebabkan oleh karena penurunan produksi di dalam
sumsum tulang dan penurunan aktivitas dari TPO dan juga peningkatan dari
destruksi .
Telah lama dicurigai bahwa ITP disebabkan oleh auto antibodi.
Kecurigaan ini diperkuat oleh suatu penelitian , bahwa terjadi trombositopeni pada
penerima donor yang sebelumnya sehat kemudian diberikan injeksi plasma
penderita ITP. Trombosit dilapisi oleh Ig G autoantibodi , kemudian akan
mengalami akselerasi klierens oleh Fc-R yang diekspresikan oleh makrofag
jaringan terutama limpa dan hati ( gambar 7 ). Kompensasi produksi trombosit
terjadi pada sebagian besar penderita . Dilain pihak produksi trombosit akan
terganggu, sebagai akibat penghambatan megakariopoesis. Kadar trombopoetin
tidak meningkat mencerminkan massa megakariosit normal. Antigen pertama yang
diduga mendasari ITP adalah glikoprotein IIb/IIIa komplek. Kemudian berikutnya
diidentifikasi antigen Ib/IX, Ia/Iia, IV dan V. Orang dewasa dengan ITP sering kali
menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR sel T, IL-2R dan aktifasi sel T helper
dan T helper tipe 1 . Pada penderita ITP , Sel T menstimulasi sintesa antibodi
sesudah terpapar fragmen dari glikoprotein IIb/IIIa tetapi tidak setelah terpapar
protein asli (Cines, 2002).
Gambar 8. Patogenesis penyebaran epitop pada ITP (Cines,2002)
Masa hidup trombosit memendek pada ITP berkisar dari 2-3 hari sampai
beberapa menit. Penderita ITP dengan trombositopeni ringan sampai sedang
mempunyai masa hidup terukur lebih lama dibandingkan dengan penderita ITP
dengan trombositopeni berat (Purwanto, 2006).
Autoantibodi yang berhubungan dengan trombositopenia ditemukan pada
75% penderita ITP . Autoantibodi IgG antitrombosit ditemukan pada 50-85%
penderita , Ig A ditemukan sesering IgG. Keduanya ditemukan pada penderita yang
sama. Antibodi Ig M ditemukan pada sebagian kecil penderita tetapi tidak pernah
ditemukan sebagai antibodi tunggal. Hilangnya antibodi berkaitan dengan
kembalinya jumlah trombosit yang normal (Purwanto, 2006).
2.5. DIAGNOSIS ITP
Pada anak-anak lebih sering dijumpai ITP akut , sedangkan pada dewasa
lebih sering bentuk kronik. ITP akut memberikan awitan gejala yang mendadak ,
riwayat infeksi sering mengawali terjadinya perdarahan berulang, sering dijumpai
eksantem pada anak-anak . Virus yang sering kali teridentifikasi adalah varisella
zooster dan Ebstein barr. Manifestasi perdarahan biasanya ringan, perdarahan intra
kranial terjadi pada kurang dari 1% kasus. Pada dewasa kasus akut jarang , namun
dapat mengalami perdarahan dan perjalanan menjadi fulminan. ITP akut pada anak
90% akan mengalami remisi spontan, 60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih
dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan (Purwanto, 2006).
Awitan dari ITP kronik biasanya tidak dapat ditentukan , riwayat
perdarahan dari ringan sampai sedang , infeksi dan pembesaran limpa jarang
terjadi. Perjalanan klinik fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu , munkin intermitten atau terus menerus.
Remisi spontan jarang terjadi. Manifestasi perdarahan ITP berupa ekimosis, peteki,
purpura pada umunya berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah
trombosit. Secara umum hubungan tersebut adalah bila AT >50.000 maka biasanya
asimptomatik, AT 30.000-50.000 terdapat luka memar atau hematom, AT 10.000-
30.000 terdapat perdarahan spontan, menoragia dan perdarahan memanjang bila
luka, AT<10.000 terdapat perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan
gastrointestinal dan genitouria) dan resiko perdarahan intrakranial (Purwanto,
2006).
Diagnosis ITP didasarkan pada prinsip dari anamnesa, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan gambaran darah tepi, dengan
menyingkirkan penyebab lain dari trombositopeni. Pasien dengan faktor resiko
HIV harus dilakukan pemeriksaan antibodi HIV. Biopsi sumsum tulang dilakukan
untuk menegakkan diagnosa pada pasien berumur diatas 60 tahun dan pada pasien
yang dipertimbangkan untuk splenektomi. Pemeriksaan tambahan pada umumnya
tidak diperlukan , Jika dilakukan secara rutin untuk menegakkan diagnosa sebelum
splenektomi atau untuk evaluasi penderita ITP yang tidak respon terhadap
glukokortikoid dan splenektomi. Sebelum splenektomi, harus diperiksa fungsi
tiroid untuk menyingkirkan hipertiroid dan hipotiroid subklinik. ITP sekunder
dapat disebabkan oleh SLE, sindroma antifosfolipid, kondisi immunodefisiensi
(defisiensi IgA dan kondisi dengan variasi hipogamaglobulinemia), serta kelainan
limfoproliferatif (Leukemia Limfositik Kronik) atau trombositopeni alloimmun.
Anti kardiolipin, antinuklear antibodi dan antiglobulin test kadang positif meskipun
jarang. Trombositopeni nonimmun herediter dapat muncul seperti gejala ITP.
Beberapa penderita juga menunjukkan gejala anemia hemolitik, netropenia, atau
keduanya sehingga membuat prognosa yang bervariasi. Lamanya perdarahan
mungkin dapat membedakan ITP akut atau kronik. Tidak adanya gejala sistemik
bisa membantu menghilangkan penyebab sekunder atau diagnosa lain. Perlu
anamnesa yang teliti tentang penggunaan obat atau zat lain yang dapat
menyebabkan trombositopeni. Riwayat pada keluarga pada umumnya tidak
ditemukan pada penderita ITP, dan pada pemeriksaan fisik pada umumnya hanya
ditemukan tanda-tanda perdarahan tipe trombosit (peteki, purpura, perdarahan
konjungtiva atau jenis-jenis perdarahan mukokutaneus lain). Terdapatnya
splenomegali mungkin curiga dengan diagnosa lain, meskipun pada anak-anak 10%
membesar. Terlepas dari trombositopenianya, hitung darah normal sesuai umur, jika
abnormal , dapat dijelaskan misalnya anemia oleh karena epistaksis. Pemeriksaan
Gambaran darah tepi dilakukan untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia,
Sindrom Giant trombosit yang diturunkan, atau kelainan hematologi lain. Sebagian
besar akan kelihatan trombosit immatur (megakariosit). Pada pemeriksaan
penunjang pada saat ini hanya menunjukkan sedikit jika tidak ada yang spesifik.
Guidelines dari American Society of Hematology menyatakan bahwa pemeriksaan
sumsum tulang tidak direkomendasikan pada orang dewasa yang kurang dari 60
tahun jika gejala dan tanda jelas, tetapi tepat dilakukan sebelum splenektomi.
Dalam pelaksanaannya pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada penderita
berumur lebih dari 40 tahun dengan tanda-tanda khas ( misalnya orang-orang
dengan sitopenia) atau pada penderita yang memiliki respon terapi kurang (Cines,
2002).
Banyak penderita ITP yang tidak menunjukkan gejala. Sementara penderita
ITP lain menunjukkan gejala perdarahan. Tanda manifestasi dari ITP adalah
perdarahan mukokutaneus dalam bentuk purpura (peteki, ekimosis), epistaksis,
menoragi atau perdarahan mukosa mulut, gastrointestinal atau perdarahan
intrakranial. Prakiraan angka perdarahan yang fatal sekitar 0,02 -0,04 kasus
pertahun. Tertinggi pada penderita lebih dari 60 tahun dengan angka perdarahan
sekitar 0,13 kasus pertahun.Pada anak-anak biasanya bentuk akut, dan akan
mengalami penyembuhan dalam 6 bulan dengan atau tanpa terapi. Sedangkan pada
dewasa lebih sering bentuk kronik. Definisi dari ITP kronik adalah bila ITP
berlangsung selama lebih dari 6 bulan dan mendapatkan terapi karena jarang
sembuh spontan (Bussel, 2006).
Diagnosa dari ITP ditegakkan dari suatu eksklusi. Menurut Guideliness dari
American Society of Hematology (ASH) , diagnosa ITP didasarkan pada anamnesa
dan pemeriksaan fisik sebaik hitung darah lengkap dan pemeriksaan gambaran
darah tepi (tabel 1). Tujuan utama dari anamnesa adalah mengetahui jenis
perdarahan dan untuk membedakan perdarahan mukokutaneus yang berhubungan
dengan trombosit dari hematom visceral, yang mungkin diakibatkan kelainan
pembekuan lain. Penyebab lain dari trombositopeni seperti obat, alkohol,
pseudotrombositopeni, trombositopeni kongenital dan penyakit hepar kronik harus
disingkirkan. Bentuk-bentuk lain dari trombositopeni berhubungan dengan SLE,
Sindrom antibodi antifosfolipid, defisiensi IgA, Leukemia Limfositik Kronik,
Limfoma, HIV dan Hepatitis C Kronik. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat
langsung jenis dan keparahan perdarahan dan menyingkirkan penyebab
reombositopeni lain. Splenomegali, sebagai contoh dalam suatu penelitian
ditemukan bahwa 97,4% penderita ITP mempunyai limpa yang normal. Satu-
satunya tes klinik yang bermanfaat untuk mendiagnosa ITP adalah mengukur
jumlah trombosit. Segera setelah diagnosa ITP dibuat, terapi dimulai (Preumer,
2009).

Tabel 1.Guidelines ASH untuk ITP

Unsur-unsur penting pada anamnesa dan pemeriksaan fisik pada dewasa dengan curiga
ITP
Anamnesa Pasien
Gejala perdarahan
Jenis perdarahan
Derajat perdarahan
Lama perdarahan
Hemostasis dengan pembedahan yang mendahului, kehamilan
Gejala sistemik
Berat badan turun, panas, nyeri kepala
Gejala dari kelainan autoimmun : artralgia, rash kulit, alopesia,trombosis vena
Faktor resiko HIV
Status kehamilan
Obat yang dapat menyebabkan trombositopeni dan kekmbuhan perdarahan
Heparin, alkohol, kuinidin/kuinin, sulfonamid,aspirin
Riwayat transfusi
Riwayat keluarga trombositopeni
Gejala perdarahan dan kelainan autoimmun
Kondisi komorbid
Penyakit gastrointestinal,penyakit saraf pusat, penyakit saluran kencing
Gaya hidup
Aktivitas yang beresiko untuk mengalami trauma
Pemeriksaan fisik
Tanda perdarahan
Jenis perdarahan (termasuk perdarahan retina)
Derajat perdarahan
Hepar,limpa dan kelenjar limfe
Ikterik dan stgmata hepar kronik
Tanda-tanda infeksi
Tanda-tanda penyakit autoimmun
Artritis, gondok, nefritis dan vaskulitis kutaneus
Gejala trombosis
Fungsi neurologis
Kelainan skeletal

Uji antibodi anti trombosit


Tes immunofluoresen trombosit langsung dipergunakan untuk meneliti adanya
immunoglobulin yang berkaitan dengan trombosit (PAIg); pemeriksaan tidak langsung
dari plasma pasien dengan trombosit donor mempunyai nilai kecil pada penyelidikan
kecurigaan ITP, karena sensitivitas dan spesifisitas lebih rendah daripada test langsung.
Peningkatan kadar dari IgG berhubungan dengan trombosit (PAIgG) terdeteksi pada
sebagian besar penderita dengan ITP, akan tetapi hasilnya tidak cukup spesifik dan
sensitif untuk memastikan bahwa penderita adalah ITP (penderita dengan
trombositopeni non immun misalnya oleh septikemi, sering kali positif). Pengukuran
trombosit dihubungkan dengan antibodi secara uji langsung untuk mengukur trombosit
yang berikatan dengan antibodi yakni dengan Monoclonal-Antigen-Capture Assay ,
sensitifitasnya 45-66% , spesifisitasnya 78-92% dan diperkirakan bernilai positif 80-
83% (Cines,2002). Pemeriksaan antibodi trombosit mungkin bermanfaat untuk orang
dewasa yang :
Kombinasi kegagalan sumsum tulang dengan trombositopeni yang berkaitan
dengan immun
ITP yang refrakter dengan terapi lini pertama dan kedua
DDITP atau Drug Dependent Immune Thrombocytopenia
Kelainan miscellaneous (jarang) misalnya monoklonal gamopati dan acquired
autoantibody-mediated thrombastenia (BCSH,2003).
2.6. PENATALAKSANAAN ITP
2.6.1. PENATALAKSANAAN AWAL
Orang dewasa umumnya membutuhkan pengobatan pada saat awal,
biasanya dengan prednison oral (dosis 1,0-1,5 mg per kilogram berat badan per
hari). Tingkat respons berkisar mulai dari 50 persen sampai lebih dari 75 persen,
tergantung pada intensitas dan lamanya terapi . Sebagian besar terjadi dalam tiga
minggu pertama, tetapi tidak ada konsensus mengenai lamanya pengobatan yang
tepat . Insiden remisi tetap berkisar mulai kurang dari 5 persen hingga lebih dari
30 persen, tergantung pada lamanya dari penyakit , respon kriteria, dan lamanya
follow up. Imunoglobulin Anti-D (75 g per kg) mempunyai efikasi yang baik
pada pasien dengan Rh -positif, tetapi mahal dan umumnya toksik. Intravenous
imun globulin (1 g per kg per hari selama dua hingga tiga hari berturut-turut)
digunakan untuk mengobati perdarahan, saat platelet tetap di bawah 5.000 per
kubik milimeter meskipun sudah diterapi selama beberapa hari dengan
kortikosteroid atau bila terdapat purpura yang ekstensif atau progresif. Sekitar 80
persen pasien berespons, tapi remisi lanjut jarang, dan biaya penggunaan
imunoglobulin intravena adalah tinggi .Insufisiensi renal dan paru dapat terjadi,
dan anafilaksis dapat terjadi pada penderita yang memiliki defisiensi IgA bawaan
(Cines, 2002).
Gambar 9. Pathogenesis ITP dan Pilihan Terapi
Keputusan tentang splenektomi tergantung pada keparahan penyakit,
toleransi terhadap kortikosteroid, dan pilihan pasien berkenaan dengan operasi.
Banyak ahli hematologi yang merekomendasikan splenektomi dalam waktu tiga
sampai enam bulan jika dibutuhkan lebih dari 10 hingga 20 mg prednison per hari
yang diperlukan untuk mempertahankan trombosit di atas 30.000 per kubik
milimeter (Cines, 2002).
Pasien dengan jumlah trombosit lebih dari 20.000 tidak dirawat di rumah
sakit jika tanpa gejala atau hanya purpura ringan. Pasien dengan jumlah trombosit
lebih dari 50.000 tidak memerlukan perawatan rutin, mereka tidak diberikan
Glukokortikoid atau IVIg sebagai pengobatan awal. IVIg juga tidak diberikan
sebagai pengobatan awal pada pasien dengan jumlah trombosit lebih dari 30.000
yang tidak menunjukkan gejala atau hanya purpura ringan. Namun, pengobatan
diindikasikan pada pasien dengan jumlah trombosit antara 20.000 sampai 30.000,
dan mereka yang mempunyai jumlah trombosit kurang dari 50.000 dengan
perdarahan selaput lendir yang bermakna (atau faktor risiko untuk perdarahan,
seperti hipertensi, penyakit ulkus peptikum, atau gaya hidup yang beresiko).
Terapi awal dengan Glukokortikoid (misalnya, prednison) yang sesuai untuk
pasien tersebut. Rawat inap sesuai untuk pasien dengan jumlah trombosit kurang
dari 20.000 dengan perdarahan selaput lendir yang bermakna. Pasien dengan
perdarahan berat yang mengancam hidup juga harus dirawat di rumah sakit dan
harus menerima perawatan intensif , bersama dengan pengobatan untuk ITP:
regimen yang tepat adalah terapi glukokortikoid parenteral dosis tinggi , IVIg, dan
transfusi trombosit. Splenektomi tidak boleh dilakukan sebagai terapi awal pada
pasien yang asimptomatik, purpura kecil, atau bahkan perdarahan selaput lendir.
Pada pasien yang memiliki gejala perdarahan (misalnya, epistaksis, menoragia),
splenektomi sesuai jika jumlah trombosit tetap kurang dari 30.000 setelah 4
sampai 6 minggu perawatan medis. Jika splenektomi elektif direncanakan, tepat
sebelum operasi terapi profilaksis meliputi glukokortikoid IVIg atau terapi oral
untuk pasien dengan jumlah trombosit kurang dari 20.000. Bila ITP gejalanya
menetap setelah pengobatan primer (glukokortikoid) dan splenektomi, dianjurkan
terapi lebih lanjut pada pasien dengan jumlah trombosit kurang dari 30.000
memiliki perdarahan aktif. Yang paling sering direkomendasikan sebagai pilihan
pertama pengobatan termasuk IVIg, Glukokortikoid, aksesori splenektomi, dan
tidak ada perawatan tambahan, namun obat lain juga mungkin tepat ( gambar 9 ).
Wanita dengan ITP dengan jumlah trombosit kurang dari 10.000 setelah
splenektomi dan perawatan lainnya harus mencegah kehamilan (George, 2007).

Gambar 10. Mekanisme kerja dari terapi ITP (Cines,2002)


Penelitian terbaru tentang trombopoesis menunjukkan peran obat
trombopoetin mimetik, merupakan peptida dengan molekul kecil yang bekerja
menyerupai trombopoetin endogen dan meningkatkan produksi trombosit.
Trombopoetin endogen diproduksi di hati dan disekresikan kesirkulasi sistemik
dimana akan berikatan dengan reseptor trombopoetin pada stem sel , sel
progenitor dan trombosit. Aktivasi dari reseptor trombopoetin menstimulasi jalur
JAK2 dan STAT5 kinase yang menyebabkan proliferasi sel. Megakariosit matang
mengeluarkan proplatelet ke pembuluh darah yang selanjutnya akan berubah
menjadi trombosit matang. Trombopoitin meningkatkan produksi dari
megakariosit matang dan trombosit yang akhirnya akan menyebabkan
peningkatan pelepasan trombosit ke dalam pembuluh darah. Romiplostim adalah
suatu peptibodi yang dirancang untuk merangsang reseptor trombopoitin pada
megakariosit dan menyerupai trombopoeitin endogen. Peptibodi ini adalah hasil
perlekatan dari peptida dengan IgG1k-HC, untuk memperpanjang masa hidup
invivo.
Romiplostim menstimulasi jalur JAK2 dan STAT5 kinase menyebabkan
proliferasi sel dan deferensiasi dari megakariosit dan meningkatkan produksi
trombosit. Romiplostim diberikan injeksi perkutan sekali seminggu dalam
penatalaksanaan ITP. Peningkatan trombosit dalam sirkulasi terdeteksi dalam 1-2
minggu setelah awal terapi dan umumnya kembali dalam 1-2 minggu setelah
terapi dihentikan. Beberapa obat lain yang bekerja mengaktivasi trombopoetin
adalah eltrombopag dan AKR-501 merupakan nonpeptida dengan molekul kecil
yang bekerja mengaktifkan trombopoetin. Obat ini menyebabkan proliferasi dari
sel-sel yang tergantung dengan trombopeitin melalui jalur signaling JAK2 dan
STAT5 menyebabkan deferensiasi sel induk megakariosit. Eltrombopag dan
AKR-501 merupakan obat oral yang diberikan satu kali sehari dalam
penatalaksanaan ITP ( Burzynski, 2009 ).
Standar praktis untuk mengawali terapi ITP adalah dengan prednison dan
prednisolon oral dengan dosis 1 mg/kg BB perhari.Hal ini direkomendasikan baik
oleh guidelines ASH maupun BCSH (tabel 9 ).Regimen yang dipergunakan,
lamanya terapi dengan dosis penuh (umumnya 3-6 minggu) dan model dari
tappering (cepat atau lambat) bermacam-macam dengan pertimbangan respon
serta toleransi dari efek samping yang ditunjukkan oleh masing-masing individu.
Tergantung pada dosis awal kortikosteroid dan lamanya penggunaan ,
sekitar 50-75% penderita ITP menunjukkan respon yang positif dalam 3 minggu.
Jika memerlukan terapi lain, prednison oral kadang-kadang ditambah dengan
immunoglobulin intra vena (IVIG) atau metilprednisolon intra vena. IVIG sebagai
terapi ITP kronik termasuk mahal. IVIG meningkatkan jumlah trombosit secara
cepat pada 80% penderita , namun demikian dengan cepat akan turun dalam 3-4
minggu mencapai jumlah trombosit yang sama seperti sebelum terapi. Efek
samping dari pemberian IVIG adalah : reaksi alergi, panas, gagal ginjal, nyeri
kepala, meningitis aseptik dan kejadian tromboemboli (Duhem, 1994 ; Bierling,
2004 ).

Tabel 2. Terapi Konvensional pada ITP


2.6.1.1. Terapi lini pertama
Menurut Guidelines dari ASH , terapi awal dengan kortikosteroid pada
lini pertama.Dosis prednison 1-2 mg/kg BB/hari mulai diberikan pada
penderita dengan jumlah trombosit kurang dari 30.000 permilimeter kubik
yang simptomatik, penderita dengan purpura minor, dan mereka dengan
perdarahan membran mukosa dan vagina yang bermakna . Glukokortikoid juga
bisa diberikan pada penderita dengan jumlah trombosit 30.000-50.000
permilimeter kubik jika klinis terdapat perdarahan bemakna dan untuk pasien
dengan perdarahan berat dan mengancam jiwa tanpa memandang jumlah
trombosit. Glukokortikoid tidak disarankan pada penderita dengan trombosit
lebih dari 50.000 permilimeter kubik dengan tanpa gejala atau hanya purpura
minor (ASH, 1996) .
Tidak ada indikasi terapi pada ITP kronik dewasa tanpa gejala
perdarahan atau dengan jumlah trombosit diatas 30.000 permilimeter kubik,
kecuali bila akan dilakukan tindakan yang menyebabkan kehilangan darah
seperti operasi, pencabutan gigi, atau persalinan (BCSH, 2003) .
Menurut BCSH , terapi lini pertama terdiri dari kortikosteroid oral dan
IVIG. Prednisolon atau prednison adalah terapi awal pada sebagian besar
penderita ITP .Dosis pemberian 1 mg/kg BB/hari selama 2-4 minggu.
Kortikosteroid secepatnya diturunkan , khususnya pada penderita yang gagal
terapi sesudah 4 minggu. Pasien yang tidak berespon terhadap kortikosteroid
atau yang tidak tahan terhadap kortikosteroid dosis tinggi untuk
mempertahankan jumlah trombosit disarankan untuk splenektomi.IVIG
sebagai terapi lini pertama pada pasien yang memerlukan peningkatan
trombosit secara cepat, disebabkan gejala perdarahan atau kemungkinan
perdarahan ( misalnya operasi, persalinan atau operasi gigi). Terdapat dua
perbedaan dosis pemberian IVIG yaitu : 0,4 mg/kg BB/hr selama 5 hari dan 1
gram/kg BB perhari sebagai infus tunggal. Keduanya sama-sama efektif
(BCSH, 2003).
Gambar 11 . Bagan Pengelolaan penderita ITP (Cines, 2002)
2.6.1.2. Terapi lini kedua
Penelitian tentang anti-D pada dewasa masih belum adekuat untuk
merekomendasikan obat tersebut untuk dipergunakan pada terapi ITP. Bukti-
bukti morbiditas dan mortalitas masih kurang. Sementara splenektomi sebagai
terapi efektif tidak disarankan pada stadium awal tanpa gejala perdarahan.
Splenektomi disarankan jika jumlah trombosit tetap dibawah 30.000
permilimeter kubik sesudah 4-6 minggu terapi medikamentosa. ASH
merekomendasikan splenektomi pada kondisi sebagai berikut :
a) Penderita telah terdiagnosa selama 6 minggu , mempunyai jumlah
trombosit kurang dari 10.000 permilimeter kubik dan tidak terdapat gejala
perdarahan.
b) Penderita telah terdiagnosa selama 3 bulan , mempunyai riwayat respon
transien atau inkomplet pada terapi primer , mempunyai jumalah
trombosit kurang dari 30.000 permilimeter kubik dengan atau tanpa gejala
perdarahan.
Splenektomi kurang bermakna pada penderita asimptomatik yang telah
terdiagnosa selama 6 minggu dan mempunyai jumlah trombosit lebih dari
50.000 permilimeter kubik. Panelis juga menganggap splenektomi juga tidak
efektif untuk terapi awal pada pasien tanpa perdarahan, minor purpura atau
bahkan perdarahan membran mukosa yang bermakna.
Bila gejala ITP menetap sesudah terapi primer dengan kortikosteroid
dan splenektomi , terapi lebih lanjut disarankan untuk penderita dengan
jumlah trombosit kurang dari 30.000 permilimeter kubik dengan perdarahan
aktif. Rekomendasi untuk kasus ini adalah meliputi IVIG, kortikosteroid dan
splenektomi assesori (ASH, 1996).
Menurut BSCH 2003 , splenektomi disarankan sebagai terapi lini
kedua utama. Dua pertiga dari penderita yang dilakukan splenektomi akan
mencapai jumlah trombosit normal, sering kali tidak memerlukan tambahan
terapi. Penderita diberikan vaksinasi pencegahan sekurang-kurangnya 2
minggu sebelum splenektomi.
Penderita yang mengalami kegagalan terapi kortikosteroid oral dan
splenektomi disebut ITP refrakter. Metil prednisolon berguna sebagai terapi
lini kedua dan pemberian dosis efektif 30 mg/kg BB/hari selama 3 hari, 20
mg/kg BB/hari selama 4 hari, kemudian 5,2 dan 1 mg/kg BB/hari . Bisa
dipergunakan dengan kombinasi siklofosfamid atau IVIG (BCSH, 2003) .
Terapi lini kedua yang lain meliputi splenektomi assesori. Terapi lain
yang disarankan pada kasus yang non kegawatan adalah IVIG dosis tinggi,
vinca alkaloids, anti D, Danazole, Azathioprine dan siklosporin. Pilihan terapi
lini kedua dengan trombosit yang rendah dengan perdarahan meliputi
alemtuzumab, rituximab, atau mycophenolate mofetil. Untuk terapi lain yang
belum direkomendasikan karena masih kurang dalam bukti penelitian adalah
interferon alfa, protein A column, plasmapharesis, atau liposomal doxorubicin
(BCSH, 2003).

2.6.1.3 Terapi Emergensi


Pada kasus-kasus yang perdarahan berat atau mengancam jiwa ,
regimen yang penting adalah metilprednisolon dosis tinggi (1 gram perhari
selama 3 hari), IVIG tunggal atau kombinasi.ASH berpendapat bahwa IVIG
bermakna pada penderita dengan jumlah trombosit kurang dari 50.000
permilimeter kubik dengan perdarahan berat atau mengancam jiwa, tetapi
kurang bermakna pada penderita dengan jumlah trombosit kurang dari 20.000
permilimeter kubik asimptomatik atau hanya dengan purpura minor.
Terapi diberikan segera pada dewasa dengan trombositopenia berat
(trombosit kurang dari 30.000 permilimeter kubik) dan perdarahan aktif dari
saluran gastrointestinal atau genitouria atau SSP. Untuk meningkatkan jumlah
trombosit secara cepat dilakukan tranfusi trombosit (BCSH, 2003).
Gejala neurologis, perdarahan, atau pembedahan darurat segera
dilakukan tindakan.Methylprednisolone (30 mg per kg per hari; maksimum,
1,0 g per hari selama dua atau tiga hari) harus diberikan intravena selama 20
sampai 30 menit bersama dengan imunoglobulin intravena (1 g per kg per hari
selama dua hingga tiga hari) dan infus trombosit ; vincristine dapat sebagai
terapi kombinasi. Splenektomi harus dipertimbangkan jika belum dilakukan.
Plasmapheresis mempunyai manfaat terbatas. Antifibrinolitik terapi (misalnya,
asam aminocaproic) dapat mengurangi perdarahan mukosa, dan rekombinan
faktor VIIa62 harus dipertimbangkan. Untuk pendarahan hebat terus-
menerus, dosis tinggi intravena imunoglobulin dapat diperpanjang sampai lima
hari, bersama dengan infus kontinu platelet (1 unit per jam) (Cines, 2002).

2.6.2. PENGELOLAAN KASUS KAMBUH


Sebagian besar kasus ITP dewasa mengalami satu atau lebih periode
kambuh. Kekambuhan terjadi biasanya terjadi saat penurunan dosis
kortikosteroid atau memerlukan IVIG atau anti-D immunoglobulin. Tidak ada
terapi yang diberikan pada penderita yang simptomatik dengan jumlah trombosit
diatas 30.000 permilimeter kubik, kecuali akan dilakukan tindakan. Pada
beberapa penderita akan membaik dengan sendirinya tanpa tambahan terapi.
Splenektomi disarankan pada sebagian besar kasus relaps atau yang tidak
berespon terhadap kortikosteroid, IVIG atau Anti-D immunoglobulin (Cines,
2002). Sekitar 25% anak-anak dengan ITP mengalami kekambuhan setelah
terapi awal.
BAB III
KESIMPULAN

ITP adalah suatu penyakit yang didapat akibat proses imun pada dewasa dan
anak-anak yang ditandai dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat atau persisten
dan tergantung pada derajat trombositopeni, menyebabkan meningkatnya resiko
perdarahan.
ITP kronik adalah kelainan autoimmun dimana sistem imun penderita bereaksi
terhadap autoantigen. Trombositopeni pada ITP adalah akibat dari destruksi trombosit
karena proses imun atau penekanan dari produksi trombosit. Membran protein dari
trombosit menjadi bersifat antigenik dan merangsang sistem imun memproduksi
autoantibodi dan sel T sitotoksik. Autoantibodi ini bereaksi langsung terhadap
glikoprotein GPIIb-IIIa atau GPIb-IX, dan terdeteksi pada sebagian besar penderita.
Etiologi dari ITP belum sepenuhnya diketahui, tetapi diketahui bahwa autoantibodi ini
membungkus trombosit dalam sirkulasi. Trombosit yang terbungkus oleh antibodi ini
kemudian dihancurkan di sistem retikuloendotelial ( hepar dan lien ) , mengakibatkan
trombositopeni. Sebagai tambahan , Sel T sitotoksik merusak megakariosit.
Diagnosa dari ITP ditegakkan dari suatu eksklusi. Menurut Guideline dari
American Society of Hematology (ASH) , diagnosa ITP didasarkan pada anamnesa dan
pemeriksaan fisik serta hitung darah lengkap dan pemeriksaan gambaran darah tepi.
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk menegakkan diagnosa pada pasien berumur
diatas 60 tahun dan pada pasien yang dipertimbangkan untuk splenektomi.
Terapi lini pertama menurut BCSH maupun ASH adalah kortikosteroid dan atau
IVIG. Apabila refrakter dapat dilanjutkan dengan splenektomi. Dua pertiga kasus akan
mengalami remisi spontan sesudah splenektomi. Sedangkan apabila masih belum
menunjukkan remisis terapi alternatif lain diantaranya adalah IVIG dosis tinggi, vinca
alkaloids, anti D, Danazole, Azathioprine, siklosporin, alemtuzumab, rituximab, atau
mycophenolate mofetil.
Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui patogenesis serta
terapi yang paling tepat untuk ITP.

DAFTAR PUSTAKA

British Committee for Standarts in Haematology GHTF, 2003. Guidelines for The
Investigation and Management of Idiopathic Thrombocytopenic Purpura in
Adults, Children and in Pregnancy. Br J Haematol 120:574-96

Bussel J, 2006. Treatment of Immune Thrombocytopenic Purpura in Adults. Semin


Hematol 43 suppl 5 S3-10

Cines DB, Blanchette VS, 2002. Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl J Med.
2002 ; 346: 995- 1008

Cines DB, Bussel JB, 2005. How I Treat Idhiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP
). Available from :<http://www.bloodjournal.org> ( Accesed September 18,
2009 )

Gernsheimer T, 2009. Chronic Idiopathic Trombocytopenic Purpura. Mechanism of


Pathogenesis. The Oncologist 2009;14:12-21. Available from
:http://www.TheOncologist.com ( Accesed September 18, 2009 )

George JN, Woolf SH, Raskob GE et al, 1996. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura
: a Practice Guideline Developed by Explicit Methods for The American
Society of Hematology. Blood 88: 3-40

Kaushansky K , 1998. Thrombopoetin. Editor Wood AJJ. The New England Journal
of Medicine Sept 10,1998. Massacusetts Medical Society. Available from
http://www.nejm.org > ( Accesed August 31,2009 )

Kaushansky K , 2005. The Molecular Mechanism that Control Trombopoiesis. The


journal of Clinical Investigation vol 115 no. 12 December 2005 S 3339-3347.
Available from :<http://www.jci.org> ( Accesed August31, 2009 )
Konkle AB, 2008. Disorder of Platelets and Vessel Wall in Fauci AS,Lngo DL,
Braunwald F, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J ( Eds ) : Harrison
s Principles of Internal Medicine 17th edition vol I, Mc Graw Hill
Medical S 721-22

Linker CA, 2008. Blood Disorder in McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM ( Eds )
: Lange 2008 Current Medical. Elsevier Inc. P 421-422

Mc Millan R, 2007.The Pathogenesis if Chronic Immune Thrombocytophenic


Purpura. Semin Hematol vol .44 suppl 5 S3-11

Preumer J, 1009. Treatment Options for Chronic Immune Thrombocytopenic Purpura.


American Journal of Health system Pharmacy vol.66 no.2 suppl.2 S1-22

Psaila B, Bussel JB, 2007. Immune Thrombocytopenic Purpura. Hematol Oncol Clin
North Am 21: 743-59, vii

Purwanto I, 2006. Purpura Trombositopenia Idiopatik dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi


B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (Eds) : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Edisi IV Hal 669-74

Rivera J, Lozano ML, Nunez LN, Vicente V, 2009. Platelet Receptors and Signaling in
the Dynamicsof Thrombus Formation. Haematologica 2009; 94(5)

The Secretary BCSH, 2003. Guidelines For The Investigation and Management of
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura in Adults, Children and in Pregnancy.
British Journal of Haematology vol.120. p.574-596
KLASIFIKASI DAN TATALAKSANA CA PARU

Klasifikasi Kanker Paru


Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer, SCLC) dan
kanker paru sel tidak kecil (non-small lung cancer, NSCLC). Klasifikasi ini digunakan
untuk menentukan terapi. Termasuk didalam golongan kanker paru sel tidak kecil
adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel besar, atau campuran dari ketiganya.
Karsinoma sel skuamosa (epidermoid) merupakan tipe histologik kanker paru yang
paling sering ditemukan, berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel
termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas
mendahului timbulnya tumor. Karsinoma sel skuamosa biasanya terletak sentral di
sekitar hilus, dan menonjol ke dalam bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui
beberapa sentimeter dan cenderung menyebar secara langsung ke kelenjar getah bening
hilus, dinding dada, dan mediastinum. Karsinoma ini lebih sering pada laki-laki
daripada perempuan.
Adenokarsinoma, memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat
mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen
bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan
fibrosis interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah dan limfe pada
stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan gejala-
gejala.
Karsinoma bronkoalveolus dimasukkan sebagai subtipe adenokarsinoma dalam
klasifikasi terbaru tumor paru dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel ganas yang besar
dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti
bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh
cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempattempat yang jauh.
Karsinoma sel kecil umumnya tampak sebagai massa abu-abu pucat yang terletak di
sentral dengan perluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan dini kelenjar getah
bening hilus dan mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor dengan bentuk bulat
hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular. Gambaran mitotik sering
ditemukan. Biasanya ditemukan nekrosis dan mungkin luas. Sel tumor sangat rapuh dan
sering memperlihatkan fragmentasi dan crush artifact pada sediaan biopsi. Gambaran
lain pada karsinoma sel kecil, yang paling jelas pada pemeriksaan sitologik, adalah
berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor dengan sedikit sitoplasma yang saling
berdekatan.
Karsinoma sel besar adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk
dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung
timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat
ke tempat-tempat yang jauh.
Bentuk lain dari kanker paru primer adalah adenoma, sarkoma, dan mesotelioma
bronkus. Walaupun jarang, tumor-tumor ini penting karena dapat menyerupai
karsinoma bronkogenik dan mengancam jiwa.

Klasifikasi tumor paru menurut WHO tahun 2015

Epithelial tumours
1. Adenocarcinoma
Lepidic adenocarcinoma
Acinar adenocarcinoma
Papillary adenocarcinoma
Micropapillary adenocarcinoma
Solid adenocarcinoma
Invasive mucinous adenocarcinoma
Mixed invasive mucinous and non-mucinous
adenocarcinoma
Colloid adenocarcinoma
Fetal adenocarcinoma
Enteric adenocarcinoma
Minimally invasive adenocarcinoma
Non-mucinous
Mucinous
Preinvasive lesions
Atypical adenomatous hyperplasia
Adenocarcinoma in situ
Non mucinous
Mucinous
2. Squamous cell carcinoma
Keratinizing squamous cell carcinoma
Non-keratinizing squamous cell carcinoma
Basaloid squamous cell carcinoma
Preinvasive lesion
Squamous cell carcinoma in situ
3. Neuroendocrine tumours
Small cell carcinoma
Combined small cell carcinoma
Large cell neuroendocrine carcinoma
Combined large cell neuroendocrine carcinoma
Carcinoid tumours
Typical carcinoid
Atypical carcinoid
Preinvasive lesion
Diffuse idiopathic pulmonary neuroendocrine cell
hyperplasia
4. Large cell carcinoma
5. Adenosquamous carcinoma
6. Pleomorphic carcinoma
7. Spindle cell carcinoma
8. Giant cell carcinoma
9. Carcinosarcoma
10. Pulmonary blastoma
11. Other and unclassified carcinomas
Lymphoepithelioma-like carcinoma
NUT carcinoma
12. Salivary gland-type tumours
Mucoepidermoid carcinoma
Adenoid cystic carcinoma
Epithelial-myoepithelial carcinoma
Pleomorphic adenoma
13. Papillomas
Squamous cell papilloma
Exophytic
Inverted
Glandular papilloma
Mixed squamous cell and glandular papilloma
14. Adenomas

Mesenchymal tumours
1. Pulmonary hamartoma
2. Chondroma
3. PEComatous tumours
Lymphangioleiomyomatosis
PEComa, benign
Clear cell tumour
PEComa, malignant
4. Congenital peribronchial
Myofibroblastic tumour
5. Diffuse pulmonary lymphangionatosis
6. Inflammatory myofibroblastic tumour
7. Epitheloid haemangioendothelioma
8. Pleuropulmonary blastoma
9. Synovial sarcoma
10. Pulmonary artery intimal sarcoma
11. Pulmonary myxoid sarcoma with EWSR1-CREB1 translocation
12. Myoepithelial tumours
Myoepithelioma
Myoepithelial carcinoma

Lymphohistiocytic tumours
1. Extranodal marginal zone lymphoma of mucosa-associated lymphoid
tissue (MALT lymphoma)
2. Diffuse large B-cell lymphoma
3. Lymphomatoid granulomatosis
4. Intravascular large B-cell lymphoma
5. Pulmonary Langerhans cell histiocytosis
6. Erdheim-Chester disease
Tumours of ectopic origin
1. Germ cell tumours
Teratoma, mature
Teratoma, immature
2. Intrapulmonary thymoma
3. Melanoma
4. Meningioma, NOS

3.4 Penatalaksanaan
Manajemen terapi dibagi atas:
1. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK = non small cell
carcinoma)
2. Kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK = small cell carcinoma)

3.5.1 Kanker Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) Kanker
paru jenis karsinoma bukan sel kecil terdiri dari berbagai jenis, antara lain:
Karsinoma sel skuamosa (KSS)
Adenokarsinoma
Karsinoma sel esar (KSB)
Jenis lain yang jarang ditemukan

3.5.1.1 Kebijakan umum pengobatan KPKBSK


Pilihan pengobatan sangat tergantung pada stadium penyakit, tampilan
umum penderita, komorbiditas, tujuan pengobatan dan cost-effectiveness.
Modalitas penanganan yang tersedia adalah bedah, radiasi, kemoterapi, dan
terapi target. Pendekatan penanganan dilakukan secara integrasi
multidisiplin.

3.5.1.2 Bedah
Modalitas ini adalah terapi utama utama untuk sebagian besar KPKBSK,
terutama stadium I-II dan stadium IIIA yang masih dapat direseksi setelah
kemoterapi neoadjuvan. Jenis pembedahan yang dapat dilakukan adalah
lobektomi, segmentektomi dan reseksi sublobaris. Pilihan utama adalah
lobektomi yang menghasilkan angka kehidupan yang paling tinggi. Namun,
pada pasien dengan komorbiditas kardiovaskular atau kapasitas paru yang
lebih rendah, pembedahan segmentektomi dan reseksi sublobaris paru
dilakukan. Kini, reseksi sublobaris sering dilakukan bersamaan dengan
VATS.
Intervensi menggunakan bronkoskopi berkembang dalam tahun-tahun
terakhir, terutama untuk obstruksi saluran pernapasan sentral (trakea dan
bronkus) akibat keganasan, dengan saluran bronkial sehat dan parenkim yang
berfungsi dengan baik distal dari stenosis. Penilaian sebab dan luas stenosis,
dan permeabilitas saluran bronchial distal dari stenosis dapat dilakukan
menggunakan bronkoskopi fleksibel. Fungsi permeabilitas dapat dinilai
menggunakan pemeriksaan CT scan. Metode bronkoskopi intervensi yang
paling sering digunakan adalah dengan bronkoskopi kaku (rigid
bronchoscopy) dan pengeluaran massa secara mekanik, terutama untuk
massa proximal, intralumen. Komplikasi paling sering intervensi ini adalah
perdarahan.
Selain itu, bronkoskopi kaku juga dapat digunakan dengan terapi laser. Pada
prosedur ini, berbagai tipe gas seperti CO2 dan KTP digunakan untuk
menimbulkan koagulasi dan merusak tumor intralumen. Komplikasi yang
sering terjadi adalah perforasi, perdarahan dan fistula bronkovaskular.
Bronkoskopi kaku juga dapat digunakan dengan krioterapi untuk merusak
jaringan maligna. Ini dilakukan dengan memberikan suhu yang sangat
rendah menggunakan expansi dari cairan gar kriogenik yang menyebabkan
dehidrasi, kristalisasi sel, apoptosis, dan iskemia jaringan. Metode yang
terakhir ini dianjurkan sebagai penanganan paliatif stenosis proksimal non-
obstruktif tanpa gangguan pernapasan akut. Kadang, aspirasi bronkial harus
dilakukan setelah 1-2 hari untuk mengeluarkan sisa jaringan tumor.
Teknik anestesi yang dapat digunakan adalah anestesi umum, dan dapat
dikombinasikan dengan anestesi regional (epidural, blok paravertebral).

3.5.1.3 Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam tatalaksana
kanker paru. Radioterapi dalam tatalaksana Kanker Paru Bukan Sel Kecil
(KPKBSK) dapat berperan di semua stadium KPKBSK sebagai terapi kuratif
definitif, kuratif neoajuvan atau ajuvan maupun paliatif.

3.5.1.3.1 Indikasi/Tujuan
Radioterapi kuratif definitif pada sebagai modalitas terapi dapat diberikan
pada KPKBSK stadium awal (Stadium I) yang secara medis inoperabel atau
yang menolak dilakukan operasi setelah evaluasi bedah thoraks dan pada
stadium lokal lanjut (Stadium II dan III) konkuren dengan kemoterapi. Pada
pasien yang tidak bisa mentoleransi kemoradiasi konkuren, dapat juga
diberikan kemoterapi sekuensial dan radiasi atau radiasi saja. Pada pasien
Stadium IIIA resektabel, kemoterapi pre operasi dan radiasi pasca operasi
merupakan pilihan. Pada pasien Stadium IV, radioterapi diberikan sebagai
paliatif atau pencegahan gejala (nyeri, perdarahan, obstruksi). (NCCN
Kategori 2A).

3.5.2.3.2 Teknik, Simulasi dan Target Radiasi


Computed Tomography (CT) based planning menggunakan teknik Three
Dimensional Conformal Radiation (3D-CRT) merupakan standar minimal
radioterapi kuratif pada kanker paru, bila fasilitas tersedia. Teknologi lebih
canggih seperti IMRT/VMAT dan IGRT dapat digunakan, dan baik untuk
memberikan radioterapi kuratif dengan aman.

Proses simulator dengan CT-Scan, pasien diposisikan dengan menggunakan


alat imobilisasi, kontras intravena dengan atau tanpa kontras oral, dalam
posisi supine, kedua tangan di atas kepala untuk memaksimalisasi jumlah
beam yang
41

dapat diberikan. Jika memungkinkan, simulasi 4 Dimensi (4D)


sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi pergerakan internal struktur
intra torakal. Jika tidak memiliki alat simulasi 4D dapat
menggunakan:
a) Simulasi dengan slow CT
b) Pengambilan CT saat inspirasi maksimal dan minimal

Pengambilan gambar pre kontras perlu dilakukan untuk membantu


delineasi. PET/CT scan membantu meningkatkan akurasi penentuan
target volume, terutama pada pasien dengan atelektasis signifikan
dan jika kontras intravena dikontraindikasikan. PET/CT sebaiknya
dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 4 minggu sebelum
perencanaan radiasi, dan apabila memungkinkan dilakukan dalam
posisi yang sama dengan posisi saat simulasi radioterapi.

Energi foton yang direkomendasikan adalah 4 MV-10 MV, dianggap


cukup untuk menembus jaringan paru berdensitas rendah sebelum
masuk ke tumor.

Pendefinisian target radiasi harus berdasarkan terminologi


International Commission on Radiation Units and Measurements
50,62,83 (ICRU- 50,62,83); yaitu gross tumor volume (GTV),
clinical target volume (CTV) dan planning target volume (PTV).
PTV mencakup ITV (memasukan margin untuk pergerakan target)
ditambah setup margun untuk mempertimbangkan variablitias
posisioning dan mekanik.

Agar delineasi dapat dilakukan dengan akurat, harus


mempertimbangkan hasil pemeriksaan fisik, CT scan dengan
kontras, PET/CT Scan, mediastinoskopi atau ultrasonografi
endobronkial (EBUS). Standar margin dari GTV ke CTV adalah
0,6-0,8 cm. Margin dari CTV (atau ITV) ke PTV adalah 1-1,5 cm
jika tidak ada fasilitas IGRT, seperti cone beam CT (CBCT) atau
42

EPID harian (kv imaging); 0,5-1 cm untuk 4D CT planning atau


CBCT; 0,5 cm jika 4DCT planning dan EPID harian; 0,3 cm 4DCT
planning dan CBCT harian. Untuk fraksi konvensional, EPID harian
dan CBCT mingguan sering digunakan untuk margin CTV ke PTV
0,5 cm.

Belum ada konsensus khusus untuk delineasi target KPKBSK pasca


operasi. Beberapa senter radioterapi ada yang memasukkan KGB
yang terlibat, hilus ipsilateral, dan 1 stasiun KGB di atas dan di
bawah KGB yang terlibat (Trial ART, 2009).

3.5.1.3.1 Dosis radioterapi


Tabel 3.3. Dosis radioterapi pada teknik Stereotaktic Body Radiation
Therapy
(SBRT)

Dosis Total Jumlah Fraksi Contoh Indikasi


25-34 Gy 1 Lesi perifer, kecil (<2cm), terutama
jika
jarak > 1 cm dari dinding dada
45-60 Gy 3 Tumor perifer, jarak > 1 cm dari
dinding
dada
48-50 Gy 4 Tumor sentral/perifer < 4-5 cm
terutama
jika jarak > 1 cm dari dinding dada
50-55 Gy 5 Tumor sentral/perifer terutama jika
jarak >
1 cm dari dinding dada
60-70 Gy 8-10 Tumor sentral
43

Tabel 3.4. Dosis yang Biasa Digunakan pada Fraksinasi


Konvensional dan Radioterapi Paliatif
Tipe Terapi Dosis Total Dosis /Fraksi Lama Terapi
Radiasi definitif 50-70 Gy 2 Gy 6-7 minggu
tanpa kemoterapi
Radiasi Pre Op 45-54 Gy 1,8 2 Gy 5 minggu
Radiasi Pasca Op
Batas negatif 50-54 Gy 1,8 2 Gy 5-6 minggu
Ekstensi 54-60 Gy 1,8 2 Gy 6 minggu
ekstrakapsular
atau 60-70 Gy 2 Gy 6-7 minggu

positif margin
mikroskopis
Gross tumor

Radiasi paliatif
30-45 Gy 3 Gy 2-3 minggu
SVKS
20-30 Gy 3-4 Gy 1-2 minggu
Meta tulang
8-30 Gy 3-8 Gy 1 hari-2 minggu
dengan
(sesuai (sesuai guideline (sesuai guideline
massa jaringan guideline tumor otak) tumor otak)
lunak tumor otak)
Meta tulang
tanpa massa
jaringan lunak
Meta otak

Selain peresepan dosis, yang perlu diperhatikan adalah dosis


jaringan sehat sekitarnya. Deliniasi organ sehat harus mengacu
kepada pedoman dari Radiation Therapy Oncology Grup (RTOG)
0618, 0813, 0915 untuk SABR/SBRT Trials.
44

Tabe 3.5 Batasan dosis OAR pada SABR/SBRT

OAR 1 Fraksi 5 Fraksi


Medula Spinalis 14 Gy 30 Gy
Esofagus 15,4 Gy 105% preskripsi PTV
Pleksus brakialis 17,5 Gy 32 Gy
Jantung/pericardium 22 Gy 105% preskripsi PTV
Pembuluh darah besar 37 Gy 105% preskripsi PTV
Trakea dan Bronkus 20,2 Gy 105% preskripsi PTV
proksimal
Iga 30 Gy
Kulit 26 Gy 32 Gy
Lambung 12,4 Gy

3.5.1.3 Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan sebagai modalitas neoadjuvant pada
stadium dini, atau sebagai adjuvant pasca pembedahan. Terapi
adjuvant dapat diberikan pada KPKBSK stadium IIA, IIB dan IIIA.
Pada KPKBSK stadium lanjut, kemoterapi dapat diberikan dengan
tujuan pengobatan jika tampilan umum pasien baik (Karnofsky
>60%; WHO 0-2). Namun, guna kemoterapi terbesar adalah sebagai
terapi paliatif pada pasien dengan stadium lanjut.

Ada beberapa jenis kemoterapi yang dapat diberikan. Lini pertama


diberikan kepada pasien yang tidak pernah menerima pengobatan
kemoterapi sebelumnya (chemo nave). Kelompok ini terdiri dari
kemoterapi berbasis- platinum dan yang tidak mengandung platinum
(obat generasi baru). Pilihan utama obat berbasis-platinum adalah
sisplatin, pilihan lain dengan karboplatin.

Efek samping sisplatin yang paling sering ditemukan adalah


toksisitas gastrointestinal. Pada pasien yang mengalami efek
samping dengan sisplatin, dapat diberikan karboplatin. Kemoterapi
ini dapat ditoleransi dengan lebih baik oleh pasien usia lanjut atau
45

dengan komorbiditas berat. Efek samping


karboplatin yang paling sering berupa hematotoksisitas. Obat
kemoterapi lini pertama tidak berbasis-platinum yang dapat
diberikan adalah etoposid, gemsitabin, paklitaksel, dan vinoralbin.
Kombinasi sisplatin dengan gemsitabin memberikan angka
kehidupan paling tinggi, namun respon paling baik adalah terhadap
regimen sisplatin dengan paklitaksel. Komplikasi yang paling sering
ditemukan adalah febris neutropenia atau perdarahan akibat supresi
sum-sum tulang, hiponatremia atau hipomagnesemia, toksisitas
ginjal, dan neuropati perifer.

Kemoterapi lini kedua diberikan kepada pasien yang pernah


mendapat kemoterapi lini pertama, namun tidak memberikan
respons setelah 2 siklus, atau KPKBSK menjadi lebih progresif
setelah kemoterapi selesai. Obat-obat kemoterapi lini kedua adalah
doksetaksel dan pemetreksat. Selain itu, dapat diberikan juga
kombinasi dari dua obat tidak-berbasis platinum. Kemoterapi lini
ketiga dan seterusnya sangat tergantung pada riwayat pengobatan
sebelumnya.

3.5.1.4 Terapi target


Terapi target diberikan pada penderita dengan stadium IV KPKBSK
EGFR mutasi positif yang sensitif terhadap EGFR-TKI. Terapi
EGFR-TKI yang tersedia yaitu Gefitinib, Erlotinib atau Afatinib.
3.5.1.5 Terapi kombinasi
Terapi radiasi dan kemoterapi dapat diberikan pada kasus-kasus
tertentu, terutama yang tidak memenuhi syarat untuk menjalani
pembedahan. Selain itu, terapi kombinasi dapat diberikan dengan
tujuan pengobatan pada pasien dengan tampilan umum baik
(Karnofsky >70%) dan penurunan berat badan minimal, dan pasien
usia lanjut yang mempunyai komorbiditas berat atau kontraindikasi
operasi. Regimen kemoterapi dan terapi radiasi dapat diberikan
secara bersamaan (concurrent therapy), selang-seling (alternating
46

therapy), atau secara sekuensial. Hasil paling baik didapat dari


regimen concurrent therapy.

3.5.1.6. Pilihan terapi berdasakan stadium


1. Stadium 0
Modalitas terapi pilihan adalah pembedahan atau Photo Dynamic Therapy
(PDT).

2. Stadium I
Modalitas terapi pilihan adalah pembedahan, yang dapat dilakukan
bersamaan dengan VATS. Bila pasien tidak dapat menjalani
pembedahan, maka dapat diberikan terapi radiasi atau kemoterapi
dengan tujuan pengobatan. Selain itu, juga dapat diberikan
kombinasi terapi radiasi dengan kemoterapi. Pada stadium IB, dapat
diberikan kemoterapi adjuvant setelah reseksi bedah.
3. Stadium II
Terapi pilihan utama adalah reseksi bedah, jika tidak ada
kontraindikasi. Terapi radiasi atau kemoterapi adjuvant dapat
dilakukan bila ada sisa tumor atau keterlibatan KGB intratoraks,
terutama N2 atau N3. Bila pasien tidak dapat menjalani
pembedahan, maka dapat diberikan terapi radiasi dengan tujuan
pengobatan. Kombinasi terapi radiasi dengan kemoterapi dapat
memberikan hasil yang lebih baik.
4. Stadium IIIA
Pada stadium ini, dapat dilakukan pembedahan (bila tumor masih
dapat dioperasi dan tidak terdapat bulky limfadenopati), terapi
radiasi, kemoterapi, atau kombinasi dari ketiga modalitas tersebut.
Reseksi bedah dapat dilakukan setelah kemoterapi neoadjuvant
dan/atau dengan kemoterapi adjuvant, terutama pada pasien dengan
lesi T3-4, N1. Pada pasien yang tidak dapat menjalani pembedahan,
dapat dilakukan terapi radiasi sendiri dengan tujuan pengobatan.
Kombinasi terapi radiasi dengan kemoterapi dapat memberikan hasil
yang lebih baik. Jika ada keterlibatan kelenjar getah bening atau
respons buruk terhadap operasi, maka pemberian kemoterapi sendiri
47

dapat dipertimbangkan. Regimen ini terdiri dari 4-6 siklus


pemberian obat kemoterapi. Pada pasien dengan adenokarsinoma
dan hasil uji mutasi gen EGFR positif, dapat diberikan obat
golongan EGFR-TKI.

5. Stadium IIIB
Modalitas pengobatan yang menjadi pilihan utama bergantung pada
kondisi klinis dan tampilan umum pasien. Terapi radiasi sendiri pada
lesi primer dan lesi metastasis ipsilateral dan KGB supraklavikula.
Kemoterapi sendiri dapat diberikan dengan regimen 4-6 siklus.
Kombinasi terapi radiasi dan kemoterapi dapat memberikan hasil
yang lebih baik. Obat golongan EGFR-TKI diberikan pada
adenokarsinoma dengan hasil uji mutasi gen EGFR positif yang
sensitif EGFR-TKI.

6. Stadium IV
Tujuan utama terapi pada stadium ini bersifat paliatif.
Pendekatan tata laksana KPKBSK stadium IV bersifat
multimodalitas dengan pilihan terapi sistemik (kemoterapi, terapi
target), dan modalitas lain (radioterapi , dan lain-lain)
Catatan:
Regimen kemoterapi lini pertama adalah kemoterapi berbasis
platinum (sisplatin atau karboplatin) dengan salah satu obat generasi
baru.
Sisplatin/Karboplatin + etoposid
Sisplatin/Karboplatin + gemsitabin
Sisplatin/Karboplatin + paklitaksel
Sisplatin/Karboplatin + doksetaksel
Sisplatin/Karboplatin + vinorelbine
Sisplatin/Karboplatin + pemetreksed

Regimen kemoterapi lini kedua adalah monoterapi doksetaksel,


monoterapi pemetreksed, atau kombinasi dari dua obat baru
48

(regimen non-platinum). Pada kondisi tertentu, untuk lini pertama


dapat diberikan kemoterapi berbasis platinum (doublet platinum lini
pertama seperti di atas) ditambahkan anti- VEGF (bevacizumab).
Pada rekurensi, pilihan terapi sesuai metastasis. Modalitas yang
dapat digunakan termasuk radiasi paliatif, kemoterapi paliatif, atau
bedah paliatif.

3.5.2 Kanker Paru jenis Karsinoma Sel Kecil (KPKSK)


Secara umum, jenis kanker paru ini dapat dibagi menjadi dua kelompok:
1. Stadium terbatas (limited stage disease = LD)
2. Stadium lanjut (extensive stage disease = ED)
Berbeda dengan KPBSK, pasien dengan KPKSK tidak memberikan
respon yang baik terhadap terapi target.

3.5.2.1 Stadium terbatas


Pilihan modalitas terapi pada stadium ini adalah kombinasi dari
kemoterapi berbasis-platinum dan terapi radiasi toraks. Kemoterapi
dilakukan paling banyak 4-6 siklus, dengan peningkatan toksisitas
yang signifikan jika diberikan lebih dari 6 siklus. Regimen terapi
kombinasi yang memberikan hasil paling baik adalah concurrent
therapy, dengan terapi radiasi dimulai dalam 30 hari setelah awal
kemoterapi. Pada pasien usia lanjut dengan tampilan umum yang
buruk >2, dapat diberikan kemoterapi sisplatin, sedangkan pasien
dengan tampilan umum baik (0-1) dapat diberikan kemoterapi
dengan karboplatin. Setelah kemoterapi, pasien dapat menjalani
iradiasi kranial profilaksis (prophylaxis cranial irradiation, PCI).
Regimen kemoterapi yang tersedia untuk stadium ini adalah EP,
sisplatin/karboplatin dengan etoposid (pilihan utama),
sisplatin/karboplatin dengan irinotecan. Reseksi bedah dapat
dilakukan dengan kemoterapi adjuvant atau kombinasi kemoterapi
dan radiasi terapi adjuvant pada TNM stadium dini, dengan/tanpa
pembesaran kelenjar getah bening.
49

3.5.2.2 Stadium lanjut


Pilihan utama modalitas terapi stadium ini adalah kemoterapi
kombinasi. Regimen kemoterapi yang dapat digunakan pada
stadium ini adalah: sisplatin/karboplatin

dengan etoposid (pilihan utama), sisplatin/karboplatin dengan


irinotecan. Pilihan lain adalah radiasi paliatif pada lesi primer dan
lesi metastasis.
50

Daftar Pustaka

1. WHO histological classification of the tumours of the lung. In: tumor of


the lung-WHO classification 2004.
2. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Paru. Komite
Penanggulangan Kanker Nasional. 2013.

Anda mungkin juga menyukai