Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trombositopenia merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada anak sakit
berat dan kelainan laboratorium yang umum ditemukan, insidennya dilaporkan bervariasi 1358%. Pada anak sakit berat yang dirawat di perawatan intensif umumnya terjadi
trombositopenia yang dihubungkan dengan sepsis, Disseminated intravasculer coagulation
(DIC), transfusi darah masif dan kemoterapi yang menyebabkan kegagalan organ yang
berakibat fatal. Trombosit berperan dalam proses koagulasi yang berakhir dengan
pembentukan platelate plug. Jika jumlah trombosit rendah maka proses koagulasi akan
terganggu sehingga terjadi perdarahan. Oleh karena itu penting untuk mengetahui jumlah
trombosit untuk mencegah lebih dini akibat yang lebih fatal yang diakibatkan dari keadaan
trombositopenia. (Agrawal dkk, 2008; Drew dkk, 2000; Arceci dkk,2006).
Trombosit sangat penting untuk menjaga integritas endotel pembuluh darah dan
mengendalikan perdarahan yang berasal dari cedera pembuluh darah kecil melalui
pembentukan sumbatan trombosit (hemostasis primer). Cedera yang lebih luas dan
keterlibatan pembuluh darah yang lebih besar memerlukan, selain trombosit, partisipasi dari
system koagulasi untuk menciptakan sumbatan fibrin yang lebih kuat dan stabil (hemostasis
sekunder). Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang
dari 150.000/mm3 (normal 150.000/mm3- 400.000/mm3) dan merupakan penyebab utama
dalam gangguan hemostasis primer yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada
anak-anak.1
Trombositopenia harus dicurigai ketika seorang anak datang dengan riwayat mudah
memar dan berdarah, terutama pada mukosa atau kulit. Namun, yang paling umum terjadi
dalam pasien anak dengan trombositopenia adalah penemuan tak terduga trombosit rendah
pada hitung darah lengkap (complete blood count) tanpa alasan yang jelas.1
Trombositopenia dapat disebabkan oleh satu dari dua mekanisme, yaitu penurunan
produksi trombosit atau peningkatan penghancuran trombosit di dalam sirkulasi. Manajemen
pada trombositopenia harus disertai dengan pemahaman terhadap penyebab dan perjalanan
klinisnya. Tujuan utama manajemen pasien dengan trombositopenia adalah untuk
mempertahankan jumlah trombosit berada pada level yang aman untuk mencegah perdarahan
yang signifikan. Hal-hal yang menentukan berapakah level aman trombosit pada pasien
1

tertentu bervariasi, tergantung dari penyebab trombositopenia itu sendiri dan pertimbangan
dari semua aspek lain dalam hemostasis, dan tentu pula tingkat aktivitas pasien itu sendiri. 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Trombosit
Trombosit adalah fragmen-fragmen sel tak berinti yang diproduksi dari megakariosit
oleh sumsum tulang. Ketika megakariosit tersebut matur, sejumlah besar trombosit
dilepaskan ke dalam sirkulasi. Setelah dilepaskan, usia trombosit itu sendiri berkisar antara 7
sampai dengan 10 hari, setelah itu mereka dihapus dari peredaran oleh sistem monosit dan
makrofag1.

Gambar 1. Hematopoesis

Trombosit yang beredar melakukan banyak fungsi hemostasis penting. Ketika ada
pembuluh darah kecil terbelah, trombosit berakumulasi pada lokasi cedera dan membentuk
sumbatan hemostatik. Adhesi platelet diawali oleh kontak dengan komponen ekstravaskular
seperti kolagen, dan difasilitasi dengan adanya faktor Von Willebrand. Sekresi mediator2

mediator hemostasis seperti tromboksan, adenosine 5 difosfat, serotonin, dan histamine


menyebabkan terjadinya agregasi yang kuat melalui ikatan fibrinogen dan peningkatan
vasokonstriksi lokal. Trombosit juga berperan dalam penghancuran kembali bekuan darah.
Risiko perdarahan meningkat dengan rendahnya jumlah trombosit. 1
Rentang hitung jumlah trombosit normal berkisar antara 150 - 450 x 10 3/L. Risiko
perdarahan tidak akan meningkat sampai penurunan jumlah trombosit yang signifikan hingga
dibawah 100 x 103/L (Gambar 1). Jumlah trombosit lebih besar dari 50 x 10 3/L cukup
untuk kelangsungan hemostasis dalam sebagian besar situasi, dan pasien dengan
trombositopenia ringan kemungkinan besar tidak akan diketahui kecuali jika hitung trombosit
dilakukan atas alasan yang lain. Pasien dengan trombositopenia sedang, dengan jumlah
trombosit antara 30 sampai 50 x 103/L jarang mengalami gejala (seperti mudah lecet atau
berdarah), bahkan dengan trauma yang signifikan. Pasien yang secara persisten hitung
trombositnya antara 10 - 30 x 10 3/L kadangkala juga tanpa gejala dengan aktivitas
keseharian yang normal namun memiliki risiko perdarahan berlebihan pada trauma yang
signifikan. Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali hitung trombositnya kurang dari 10
x 103/L. Pasien seperti ini biasanya mengalami ptekie dan memar, namun bahkan
kadangkala juga asimptomatik. Pada sebagian besar kasus, terlihat bahwa jumlah trombosit
harus kurang dari 5 x 103/L untuk menyebabkan perdarahan kritis spontan (seperti
perdarahan intracranial tanpa disebabkan trauma). 1
Trombosit muda memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih aktif secara hemostasis.
Maka dari itu, pasien dengan trombositopenia destruktif dengan produksi normal tidak akan
mengalami perdarahan hebat karena banyaknya trombosit muda, jika dibandingkan dengan
pasien yang memiliki gangguan fungsi trombosit yang mengakibatkan trombosit tua lebih
banyak di sirkulasi. 1
2.2 Definisi
Purpura trombositopenik idiopatika ialah suatu penyakit perdarahan didapat (acquired)
sebagai

akibat

dari

penghancuran

trombosit

yang

berlebihan,

ditandai

dengan

trombositopenia (trombosit <150.000/mm3), purpura, gambaran darah tepi yang umumnya


normal, dan tidak ditemukan penyebab trombositopenia yang lainnya. Klasifikasi ITP adalah
akut dan kronik disebut kronik bila trombositopenia menetap lebih dari 6 bulan2.
Penyebab ITP adalah kelainan autoimun sehingga penghancuran trombosit dalam sistem
retikuloendotelial meningkat. Kelainan ini biasanya menyertai infeksi virus atau imunisasi
3

yang disebabkan oleh respon sistem imun yang tidak tepat (inappropriate). Akhir-akhir ini
ITP juga sering disebut sebagai immune thrombocytopenic purpura (purpura trombositopeni
imun)2.
2.3 Epidemiologi
ITP

(Idiopathic

thrombocytopenic

purpura)

adalah

penyebab

paling

banyak

trombositopenia imun pada anak-anak, dengan tingkat insidens kasus simptomatik antara 3
sampai 8 per 100.000 anak tiap tahun. Pasien pediatrik yang mengalami ITP biasanya
berumur 2 sampai 10 tahun, dengan insidens tertinggi antara usia 2 sampai 5 tahun. Tidak
terdapat bias gender yang signifikan terhadap insidens ITP pada anak-anak. Merupakan
penyebab tersering trombositopenia tanpa anemia atau neutropenia1.
ITP diperkirakan merupakan salah satu penyebab kelainan perdarahan didapat yang
banyak ditemukan, insiden penyakit simtomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000 anak
pertahun. Di Bagian Anak RSUD Dr. Soetomo terdapat 22 kasus baru pada tahun 2000. 8090% anak dengan ITP menderita episode perdarahan akut yang akan sembuh dalam 6 bulan.
Pada ITP akut tidak ada perbedaan insiden laki-laki maupun perempuan dan akan mencapai
puncak pada usia 2-5 tahun. ITP kronis terjadi pada anak usia > 7 tahun, sering terjadi pada
anak perempuan. ITP rekuren didefinisikan sebagai adanya episode trombositopenia > 3
bulan dan terjadi pada 1-4 % dengan ITP. Kelainan ini juga bisa terjadi pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang juga menderita ITP 3.
2.4 Etiologi
2.5 Patogenesa dan Patofisiologi
Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibodi terhadap glikoprotein yang
terdapat pada membrane trombosit. Penghancuran terjadi terhadap trombosit yang diselimuti
antibody (antibody coated platelets) tersebut dilakukan oleh makrofag yang terdapat pada
limpa dan organ retikuloendotelial lainnya. Megakariosit dalam sumsum tulang bisa normal
atau meningkat pada ITP. Sedangkan kadar trombopoietin dalam plasma, yang merupakan
progenitor proliferasi dan maturasi dari trombosit mengalami penurunan yang berarti,
terutama pada ITP kronis. 3
Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemiologis antara ITP akut dan kronis
menimbulkan dugaan adanya perbedaan mekanisme patofisiologi terjadinya trombositopenia
diantara keduanya. Pada ITP akut, telah dipercaya bahwa penghancuran trombosit meningkat
4

karena adanya antibody yang dibentuk saat terjadi respons imun terhadap infeksi
bakteri/virus atau pada imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit.
Mediator-mediator lain yang meningkat selama terjadinya respons imun terhadap infeksi,
dapat berperan dalam terjadinya penekanan terhadap produksi trombosit. Sedangkan pada
ITP kronis mungkin telah terjadi gangguan pada regulasi system imun seperti pada penyakit
autoimun lainnya, yang berakibat terbentuknya antibody spesifik terhadap trombosit 2,3.
Mediator-mediator lain yang meningkat selama terjadinya respon imun terhadap infeksi,
dapat berperan dalam terjadinya penekanan terhadap produksi trombosit. Pada ITP kronis
mungkin telah terjadi gangguan dalam regulasi sistem imun seperti pada penyakit otoimun
lainnya, yang berakibat terbentuknya antibodi spesifik terhadap trombosit. Saat ini telah
diidentifikasi beberapa jenis glikoprotein permukaan trombosit pada ITP, di antaranya GP
IIb-IIa, GP Ib, dan GP V.7-9 Namun bagaimana antibodi antitrombosit meningkat pada ITP,
perbedaan secara pasti patofisiologi ITP akut dan kronis, serta komponen yang terlibat dalam
regulasinya masih belum diketahui.1 Hal tersebut di atas menjelaskan mengapa beberapa cara
pengobatan terbaru yang digunakan dalam penatalaksanaan ITP memiliki efektifitas terbatas,
dikarenakan mereka gagal mencapai target spesifik jalur imunologis yang bertanggung jawab
pada perubahan produksi dan destruksi trombosit2,3.
2.6 Manifestasi Klinis
Pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, trombositpeni sering dideteksi secara tidak
sengaja pada pemeriksan hitung jenis. Pada pasien yang menunjukkan gejala biasanya
muncul dengan keluhan perdarahan mukosa atau perdarahan kutaneus . berupa perdarahan
pada kulit (petekie atau purpura) atau pada mukosa hidung (epistaksis)2.
Perdarahan kutaneus muncul berupa ptekie atau perdarahan kutaneus biasanya muncul
sebagai petechie atau ekimosis superfisial. Pasien yang memiliki thrombositopenia juga
mungkin memiliki perdarahan persisten dari luka yang dangkal. Petechiae, lesi diskret
berukuran sebesar ujung jarum, merah, datar, disebabkan oleh ekstravasasi sel darah merah
dari kapiler kulit, dicirikan dengan menurunnya jumlah platelet atau fungsi platelet. Petechiae
tidak nyeri dan tidak hilang dengan penekanan. Petechie tidak memberikan gejala dan tidak
teraba dan harus dibedakan dari telangiektasis kecil dan vaskulitis purpura (teraba). Purpura
menggambarkan perubahan warna keunguan pada kulit akibat adanya petechiae konfluen.
Ekimosis adalah daerah perdarahan dalam kulit yang tidak nyeri yang biasanya kecil,
multipel, dan dangkal, dan dapat berkembang tanpa trauma yang terlihat. Ekimosis memiliki
5

berbagai warna tergantung kepada darah yang tereksavasasi (merah atau ungu) dan kerusakan
heme yang sedang berlangsung dalam darah yang tereksavasasi oleh makrofag kulit (hijau,
kuning, atau coklat)
Pola perdarahan ini berbeda dari pasien yang memiliki gangguan faktor koagulasi,
seperti hemofilia. Pasien dengan trombositopenia cenderung mengalami sedikit perdarahan
dalam otot atau sendi, banyak perdarahan setelah luka kecil, sedikit perdarahan tertunda, dan
sedikit perdarahan pascaoperasi. Selain itu, pasien yang mengalami gangguan faktor
koagulasi cenderung tidak memiliki petechiae. Meskipun jarang, perdarahan sistem saraf
pusat adalah penyebab kematian paling umum akibat trombositopenia. Ketika perdarahan
tersebut terjadi, sering didahului oleh riwayat trauma kepala. 1
Pasien dengan Purpura Trombositopenik Imun (PTI) biasanya merupakan anak sehat
yang tiba-tiba mengalami perdarahan baik pada kulit, purpura atau perdarahan pada mukosa
hidung (epistaksis). Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya
perdarahan trombosit (platet-type bleeding), yaitu ptekie, pupura, perdarahan konjungtiva,
atau perdarahn mukokutaneus lainya. Perlu dipikirkan penyakit lain, jika ditemukan adanya
pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10%
anak dengan PTI.

Pada ITP akut, pada pemeriksaan fisik akan didapatkan manifestasi

perdarahan berupa ptekie dan memar yang terjadi secara tiba-tiba. Limfadenopati ringan atau
splenomegali mungkin disertai infeksi virus. Sedangkan pada ITP kronik biasanya memiliki
penyakit yang mendasari. Beberapa anak dengan ITP kronik memiliki kelainan imunologik
seperti Evans syndrom atau autoimmune lymphoroliferative syndrom (ALPS). 1
Pada Disseminated Intravaskuler Coagulati (DIC) gejala klinis yang bervariasi dapat
timbul, naman pada dasarnya terjadi proses perdarahan dan trombosisnpada waktu yang
bersamaan. Manifetasi perdarahan yang sering muncul adalah ptekie, ekimosis, hematom di
kulit, hematuria, melena, epistaksis dan perdarahan gusi, serta kesadaran menurun akibat
perdarahan otak. Sedangkan gejala trombisis yang terjadi dapat berupa gagal ginjal akut,
gagal nafas dan iskemia serta kesadaran menurun akibat trombosis pada otak. 6
Pada sepsis, gangguan koagulasi terjadi akibat pembentukan trombin oleh tissue factor,
gangguan mekanisme antikoagulan dan penghentian sistem brinolisis. Pengetahuan tersebut
sangat berguna untuk mengembangkan terapi dan intervensi terhadap pasien dengan sepsis
yang disertai gangguan koagulasi berat. Gangguan koagulasi pada sepsis dapat bervariasi dari

aktivasi koagulasi yang hanya terdeteksi oleh marker sensitif hingga

disseminated

intravascular coagulation (DIC). 12


1.7 Diagnosis
Biasanya pasien ITP merupakan anak yang sehat yang tiba-tiba mengalami
perdarahan baik pada kulit, petekie, purpura atau perdarahan pada mukosa hidung
(epistaksis). 3
Lama terjadinya perdarahan ITP dapat membantu membedakan antara ITP akut dan
kronis. Tidak didapatkannya gejala sistemik dapat membantu menyingkirkan kemungkinan
suatu bentuk sekunder dan diagnosis lainnya. Perlu juga dicari riwayat tentang penggunaan
obat atau bahan yang lain yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga
umumnya tidak didapatkan. 3
Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan tipe
trombosit (platelet type bleeding), yaitu petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, atau
perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain, jika
ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada
lebih kurang 10% anak dengan ITP. 3
Selain, trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan ITP
umumnya normal sesuai dengan umurnya. Pada lebih kurang 15% pasien didapatkan anemia
ringan karena perdarahan yang dialaminya. Pemeriksaan hapusan darah tepi diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pseudotrombositopenia, sindroma trombosit raksasa yang
diturunkan (inherited giant platelet syndrome) dan kelainan hematologi lainnya. Trombosit
yang imatur (megatrombosit) ditemukan pada sebagian besar pasien. Pada pemeriksaan
dengan flow cytometry terlihat trombosit pada ITP lebih aktif secara metabolic, yang
menjelaskan mengapa dengan jumlah trombosit yang sama, perdarahan lebih jarang
didapatkan pada ITP disbanding pada kegagalan sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium
sebaiknya dibatasi terutama pada saat terjadinya perdarahan dan jika secara klinis ditemukan
kelainan yang khas. 3
Perlu tidaknya pemeriksaan aspirasi sumsum tulang secara rutin dilakukan pada anak
dengan dugaan ITP masih menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ahli. Umumnya
pemeriksaan ini dilakukan pada kasus yang meragukan. Namun, tidak pada kasus-kasus
dengan manifestasi klinis yang khas. Beberapa ahli berpendapat bahwa leukemia tidak pernah
nampak dengan trombositopenia saja, tapi tidak semua rumah sakit berpengalaman dalam

pemeriksaan hapusan darah pada anak. Pemeriksaan sumsum tulang dianjurkan pada kasuskasus yang tidak khas, misalnya pada :
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum, misalnya panas, penurunan
berat badan, kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau limpa.
2. Kelainan eritrosit dan leukosit pada pemeriksaan darah tepi.
3. Kasus yang akan diterapi dengan steroid, baik sebagai pengobatan awal atau yang gagal
diterapi dengan immunoglobulin intravena.
Pada audit yang dilakukan di negara maju,disepakati bahwa pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang sebaiknya dilakukan sebelum pengobatan steroid diberikan. Terdapat pula
kesepakatan yang didukung oleh hasil beberapa penelitian retrospektif, bahwa pemeriksaan
sumsum tulang tidak diperlukan pada pasien yang hanya diobservasi atau dengan terapi
immunoglobulin intravena. 3
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada pasien ITP adalah mengukur antibody yang
berhubungan dengan trombosit (platelet-associated antibody) dengan menggunakan direct
assay. Namun pemeriksaan ini juga belum dapat membedakn ITP primer dengan sekunder.
Atau anak yang akan sembuh dengan sendirinya dengan yang akan mengalami perjalanan
menjadi kronis. 3
Diagnosis

ITP

ditegakkan

dengan

menyingkirkan

kemungkinan

penyebab

trombositopenia yang lain. Bentuk sekunder kelainan ini didapatkan bersamaan dengan
Eritematosus Lupus Sistemik (ELS), sindroma antifosfolipid, leukemia atau limfoma,
defisiensi IgA, hipogamaglobulinemia, infeksi HIV atau hepatitis C dan pengobatan dengan
heparin atau quinidin. 3
Pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, kemungkinan suatu trombositopenia
congenital perlu disingkirkan. Pada sindrom Bernard-Soulier perdarahan sering lebih hebat
fari jumlah trombosit yang diduga (contohnya, perdarahan yang nyata pada jumlah trombosit
30.000/mm3). Pada sindrom Wiskott-Aldrich didapatkan trombosit yang lebih kecil dari
normal, sedangkan pada ITP biasanya lebih besar dari bentuk trombosit normal. Kelainan
congenital lain yang dapat menyebabkan perdarahan pada bayi dan terdiagnosa sebagai ITP
adalah penyakit von Willebrands tipe IIb, yang disebabkan faktor von Willebrand abnormal
agregasi trombosit dan trombositopenia. 3
Anak yang lebih tua dan mereka yang mengalami perjalanan menjadi kronis, perlu
dipikirkan adanya kelainan autoimun yang lebih luas, serta perlu dicari adanya tanda-tanda
dan atau gejala-gejala dari ELS atau sindrom antifosfolipid. 3

Pada anak yang menderita varisela yang disertai trombositopenia perlu dilakukan
pemeriksaan yang lebih teliti, sebab meskipun jarang namun dapat mengancam jiwa
berhubungan dengan kekurangan protein S yang didapat dan thrombosis mikrovaskuler. 3
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Temuan Laboratorium
2.8.1.1 Darah
Kelainan trombosit dari segi ukuran dan morfologi pada umumnya sering ditemukan.
Biasanya didapatkan platelet abnormal dari segi ukuran ( diameter 3-4 mikron). Trombosit
kecil yang abnormal dan fragmen fragmen trombosit ("mikropartikel") juga ditemukan dan
temuan tersebut

setara dengan microspherocytes dan schistocytes . meskipun fragmen

megakariosit mungkin terlihat pada apusan darah rutin, studi kuantitatif mengungkapkan
jumlah abnormal fragmen ini .1
Perkiraan volume trombosit rata-rata (Mean Platelet Volume- MPV) dan tingkat
heterogenitas ukuran trombosit (distribusi trombosit) dengan cara penghitungan partikel
secara otomatis mungkin, jika ada, memberikan informasi yang berguna dalam mengevaluasi
pasien dengan ITP . Adanya sejumlah megathrombocyte menghasilkan nilai MVP yang
tinggi dan menyebabkan distribusi trombosit juga meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan
abnormal anisositosis trombosit.

Teori yang tepat yang mendasari megathrombocytosis

sebenarnya masih belum pasti, tapi hal ini mungkin karena produktifitas yang meningkat
sebagai respon terhadap penghancuran trombosit. 1
Kondisi anemia sebanding dengan tingkat kehilangan darah dan biasanya
normositiik. Jika perdarahan

yang terjadi berat dan lama,anemia zat besi bisa terjadi.

Perdarahan hebat yang baru terjadi bisa menyebabkan retikulositosis dan makrositosis
relative. Antibodi antiplatelet pada pasien dengan ITP biasanya tidak bereaksi silang dengan
eritrosit meskipun hanya berupa fragmen eritrosit. Pada pasien juga bisa ditemukan uji
Coomb positif dan anemia hemolitik autoimun. Kombinasi keduanya dikenal sebagai
sindrom Evans. 1
jumlah total leukosit dan hitung jenis biasanya normal, kecuali untuk perubahanperubahan akibat perdarahan akut seperti neutrofilia ringan sampai sedang dengan
peningkatan bentuk imatur. Eusinophilia juga bisa ditemukan terutama pada anak-anak,
tetapi temuan ini tidak terlalu berarti. 1
9

uji hemostasis dan pembekuan darah menunjukkan perubahan pada keadaan


trombositopenia, contohnya pemanjangan bleeding time. hasil uji pembekuan darah,
termasuk protrombin time, parsial tromboplastin time, biasanya normal pada pasien dengan
trombositopenia ringan. Sedikit peningkatan dari FDP (fibrinogen degradation product)
dapat ditemukan dalam plasma beberapa pasien dengan ITP . konsentrasi thrombopoietin
tidak meningkat secara signifikan pada pasien ITP, berbeda dengan pasien dengan
trombositopenia akibat penurunan produksi. 1
2.8.1.2 sumsum tulang
perubahan dalam sumsum tulang biasanya terbatas pada megakariosit meskipun
hiperplasia normoblastic dapat berkembang sebagai akibat dari kehilangan darah. leukosit
biasanya normal namun kadang- kadang dapat ditemukan eosinophilia. Megakariocyte,
ukrannya biasanya meningkat, tapi jumlahnya bisa normal atau meningkat. Abnormalitas
morfologi sel ini muncul pada sebagian pasien ITP. pemeriksaan sumsum tulang kadangkadang

membantu terutama dalam membedakan

ITP dengan kondisi lainnya yang

meragukan. Perubahan perubahan diatas bisa ditemukan pada hampir semua kasus
trombositopenia yang disebabkan oleh penghancuran platelet besar-besaran sehingga
perubahan tersebut

tidak khas dalam menegakkan diagnosis ITP. Perbedaan antara

megakariocyte yang ditemukan pada ITP akut dan kronis tidak jelas dan pemeriksaan
sumsum tulang tidak sangat membantu dalam menentukan prognosis. 1
2.8.1.3 antiplatelet antibodi
trombositopenia autoimun adalah diagnosis eksklusi dan bergantung pada gambaran
klinis. Beberapa jenis tes antibodi antiplatelet telah dikembangkan dan dilaporkan selama
bertahun-tahun. Pemeriksaan ini mengukur berbagai jenis Ig termasuk antibodi antiplatelet
serum, Ig permukaan terkait-platelet atau Ig trombosit total dan sekarang tidak bisa dijadikan
patokan. Pada penelitian terbaru pada uji antibodi antiplatelet, antibodi monoklonal untuk
glicoprotein membran spesifik platelet yang terlibat dalam ITP digunakan dalam uji
penangkapa antigen (juga disebut glycoprotein immobilization assays). studi terbaru telah
melaporkan bahwa spesifisitasnya 78 sampai 93%. Namun sensitivitas nya (49 sampai 66%)
sehingga tidak cukup untuk menyingkirkan ITP jika tes ini negative. Pada masa yang akan
dating mungkin akan digunakan pemeriksaan flow cytometry dalam diagnosis dan tindak
lanjut dari trombositopenia autoimun. 1
2.9 TATALAKSANA
10

Terdapat perbedaan signifikan pada manajemen ITP pada anak yang dipublikasi pada
guideline dari Negara-negara maju. Berdasarkan American Society of Hematology,
tatalaksana terbaik adalah observasi, kecuali jika jumlah platelet
perdarahan mukosa signidikan atau

20.000/mm3 dengan

10.000/mm3 dengan purpura minor. Tatalaksana

yang digunakan pada ITP akut diantaranya adalah Intravenous Immunoglobulin (IVIg),
kortikosteroid, dan anti-D immunoglobulin (anti-D Ig). Peranan obat-obatan tersebut masih
kontroversi. Obat-obatan diatas hanya meningkatkan jumlah platelet namun tidak
mempengaruhi perjalanan klinis penyakit 14
Manajemen awal ITP
1. Menentukan status penyakit pasien

Tentukan jenis perdarahan yang dialami pasien

Tentukan waktu perdarahan, lokasi, dan tingkat keparahan dari perdarahan

Tentukan apakah pasien memiliki faktor-faktor resiko perdarahan seperti


penggunaan antithrombotic agents atau pekerjaan dengan risiko tinggi

Apakah pasien akan menjalani prosedur bedah?

Apakah pasien ini akan lebih merespon terapi yang direkomendasikan?

Apakah perdarahan yang dialami pasien mengganggu aktivitas sehari-hari atau


menimbulkan ansietas.

2. Pertimbangan umum dalam terapi awal

Mayoritas pasien tanpa perdarahan atau perdarahan ringan (ditentukan sebagai


perdarahan dengan manifestasi pada kulit saja, seperti ptekie dan memar) dapat
diobservasi saja berapapun jumlah trombositnya

Terapi

lini

pertama

berupa

observasi,

kortikosteroid,

IVIg,

atau

anti-D

immunoglobulin

Anti-D harus digunakan secara hati-hati berdasarkan peringatan dari FDA baru-baru
ini akan hemolisis. Maka dari itu tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan

11

perdarahan yang menyebabkan penurunan hemoglobin, atau pasien dengan hemolysis


autoimun.
3. Pertimbangan khusus terapi pada anak

Single-dose IVIg (0.8-1.0 g/kg) atau kortikosteroid short course digunakan sebagai
terapi lini pertama

IVIg sebaiknya digunakan dibandingkan dengan kortikosteroid jika dibutuhkan


peningkatan jumlah platelet

Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan kortikosteroid jangka panjang


dibandingkan dengan jangka pendek.

Anti-D dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada anak dengan Rh+
yang belum displenectomy dengan mempertimbangkan risiko-risiko di atas. 15

Terapi Khusus
1. Splenectomy: Direkomendasi pada anak-anak dengan perdarahan signifikan dan
persisten dan respons yang kurang terhadap terapi kortikosteroid, IVIf, dan anti-D
dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas hidup.
2. Rituximab: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak dengan ITP yang memiliki
perdarahan signifikan dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas hidup. Juga
dipertimbangkan sebagai alternatif splenectomy pada anak-anak dengan ITP kronik
atau yang gagal splenectomy.
3. Agonis Reseptor Trombopoietin: Masih dipelajari pada berbagai studi namun belum
ada petunjuk penggunaan pada anak yang telah dipublikasi
4. Deksametason dosis tinggi: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak atau remaja
dengan ITP dengan perdarahan massif dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas
hidup. Dapat dipertimbangkan sebagai alternative splenectomy pada anak dengan
ITP kronik atau pada pasien yang gagal splenectomy
5. Immunosupresi: Beberapa agen telah dilaporkan, namun data tentang agen yang
spesifik masih kurang untuk rekomendasi. 15

12

4. Pertimbangan Khusus pada ITP Sekunder


1. ITP Sekunder (HIV-associated)
-

Tatalaksana penyakit dasar HIV dengan antiviral therapy sebelum tatalaksana


lainnya pada pasien dengan perdarahan signifikan

IVIg, kortikosteroid, atau anti-D dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan
terapi lanjutan

Splenectomi dapat dipertimbangkan pada pasien yang gagal diterapi dengan obatobatan awal

2. ITP Sekunder (HCV-associated)


-

Terapi antiviral dapat dipertimbangkan jika tidak ada kontraindikasi, namun jumlah
platelet harus dimonitor secara ketat pada situasi yang beresiko terjadi
trombositopenia akibat interferon

Jika dibutuhkan terapi, tatalaksana awal harus dengan IVIg

3. ITP Sekunder (H.pylori-associated)


-

Test rutin terhadap Helicobacter Pylori tidak dianjurkan pada anak dengan ITP
yang tidak teratasi namun asimptomatik

Terapi dilanjutkan dengan eradikasi H.Pylori jika ditemukan infeksi

4. MMR-Related ITP
-

Anak-anak dengan riwayat ITP namun belum diimunisasi dapat menerima


vaksinasi MMR pertama

Pada anak dengan ITP yang berhubungan/tidak dengan vaksinasi yang telah
menerima dosis pertama vaksinasi MMR, titer vaksin dapat diterima. Jika anak
menunjukkan imunitas lengkap, tidak perlu diberikan vaksin MMR lanjutan. Jika
anak tidak memiliki imunitas yang adekuat, anak dapat diimunisasi ulang pada usia
yang dianjurkan. 15

13

Agent-agent Terapi dan Dosis Terapi ITP


Agent

Dosis

Rituximab

375 mg/m2/minggu dibagi 4 dosis

Anti-D Immunoglobulin

50-75 g/kg, diulang dalam interval 3 minggu sesuai jumlah


trombosit

Siklofosfamid

150 mg/hari hingga 8 minggu

Colchicine

200 mg/hari hingga 4 minggu

Deksametason

40 mg/kg/hari selama 4 hari, diulang dalam interval 4 hari

Danazol

400 mg 2 kali sehari selama 1 bulan/lebih

IVIG

1 g/kg dalam dosis terbagi, diulang dalam interval 2-4


minggu pada dosis 400 mg/kg

Prednison

1 mg/kg/hari selama 14 hari

Vincristine

2 mg pada interval 5-7 hari dalam 2 dosis atau lebih

Vinblastin

7,5 mg pada interval 5-7 hari dalam 3 dosis atau lebih

Tabel.1: Pilihan terapi farmakologik ITP. 16


Beberapa perubahan tatalaksana farmakologik awal pada ITP
1. Kortikosteroid
Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Telah dilakukan suatu
randomized trial sejak guideline sebelumnya dikeluarkan yang membandingkan observasi
saja dengan pemberian prednisone 2 mg/kg/hari selama 2 minggu yang kemudian di taperingoff selama 21 hari pada pasien dengan jumlah platelet antara 10 - 29 x 109/L tanpa tanda
perdarahan mukosa. Dengan target jumlah platelet 30 x 109/L. Tidak terdapat perbedaan
statistik signifikan antara pemberian prednisone dengan observasi dalam mencapai target
(secara berurutan 2 hari vs 4 hari). Selain itu tidak terdapat perdarahan baru yang
membutuhkan perawatan tambahan pada kedua grup. Tidak ada bukti yang memadai untuk
menentukan apakah penggunaan kortikosteroid pada populasi dengan risiko perdarahan
tinggi berguna atau tidak. Walaupun demikian, anak dengan jumlah platelet kurang dari 10 x
109/L atau dengan perdarahan mukosa masih dipertimbangkan untuk diberikan terapi
kortikosteroid rutin oleh dokter. Jika kortikosteroid dipilih sebagai tatalaksana awal, tidak
terdapat bukti ataupun support terhadap dosis atau pemilihan yang mana lebih baik
14

dibandingkan yang lain. Pemberian kortikosteroid jangka panjang pada anak dengan ITP akut
harus dihindari karena efek sampingnya. 17
2. IVIg
Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Sebuah meta-analisis
yang membandingkan tatalaksana dengan IVIg (pada dosis 0.8 sampai 1.0 g/kg) dan
kortikosteroid dilaporkan mengumpulkan data dari 6 trial. Hasil akhir yang diharapkan adalah
jumlah platelet > 20 x 109 dalam 48 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang menerima
kortikosteroid 26% lebih kurang mendapatkan hasil. 17
3. Anti-D Immunoglobulin
Terdapat perubahan signifikan dibandingkan guideline ASH 1996, dengan data-data
terbaru termasuk kemungkinan risiko hemolysis. Sejak 1996 telah dilakukan 3 randomized
trial yang membandingkan terapi antara anti-D dalam berbagai dosis dengan IVIg. Dengan
hasil yang menunjukkan bahwa terapi anti-D lebih baik pada dosis 75 g/kg dibandingkan
dengan 50 g/kg, namun hasil perbandingan antara anti-D dengan IVIg pada 3 studi tersebut
kontradiktif, dengan salah satu hasil mengatakan pemberian IVIg lebih baik dan studi lain
mengatakan Anti-D dosis yang lebih tinggi lebih baik.
Data dari Tarantino et al menunjukkan bahwa Anti-D pada dosis 50 g/kg sama
efektifnya dengan pemberian IVIg, dan Anti-D pada dosis 75 g/kg lebih efektif namun
dengan efek samping yang lebih besar. Anti-D hanya disarankan pada pasien dengan Rhesus
positif, yang test antiglobulin direct-nya negative, dan tidak menjalani splenectomy. Dan
risiko intravascular hemolysis harus diperhatikan dan dipertimbangkan dibandingkan dengan
manfaatnya. 17

15

Daftar Pustaka
1. Consolini. Deborah M. Thrombocytopenia in Infants and Children. Pediatric in
Review. American Academy of Pediatrics; 2011. H. 135-151
2. Setyoboedi B, Ugrasena IDG. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 : Purpura Trombositopenik
Idiopatika pada Anak (patofisiologi, tata laksana serta kontroversinya). Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK-TDC UNAIR RS Dr. Soetomo Surabaya; Juni 2004
3. Permono. H. Bambang dkk. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan
Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006
4. Chaerulfatah. Alex, Setiabudi. Djatnika et al. Thrombocytopenia and Platelet
Transfusions in Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome.
Dengue Bulletin. Vol. 27; 2003

16

5. Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J, Angus DC.
The Epidemiology of Severe Sepsis in Children in the United States. Am J Respir
Crit Care Med. 2003;1;167(5):695-701.
6. Rehman. A. Immune Thrombocytopenia in Children with Reference to LowIncome Countries. Eastern Meditterranean Health Journal, Vol. 15, No. 3; 2009.
H. 729-737
7. 2011 Clinical Practice Guideline on the Evaluation and Management of Immune
Thrombocytopenia. American Society of Hematology; 2011. H.1-8
8. Greer. John P et al. Wintrobes Clinical Hematology, Vol. 2, Twelfth Edition.
Lippincott Williams & Wilkins; 2009
9. Neunert. Cindy, Lim. Wendy et al. The American Society of Hematology 2011
Evidence

Based-Practice

Guideline

for

Immune

Thrombocytopenia.

Bloodjournal.hematology.org; 2011. H. 4190-4207

17

Anda mungkin juga menyukai