Anda di halaman 1dari 49

CASE REPORT

TRAUMATIC BRAIN INJURY

Oleh :
Fitria Arianty
Dwi Hardiyanti
Andi Muh. Octavian P.
Ahmad Subarkah

C11112015
C11112019
C11112023
C11112024

Supervisor :
dr. Nilla Mayasari, M.Kes, Sp. KFR
PHYSICAL MEDICINE AND MEDICAL
REHABILITATION DEPARTMENT
MEDICAL FACULTY
HASANUDDIN UNIVERSITY
MAKASSAR
2016
1

DAFTAR ISI
Halaman judul ...............................................................................................1
Daftar Isi .........................................................................................................2
Case Report : Traumatic Brain Injury (TBI)
Case Report .................................................................................................... 3
Pembahasan TBI............................................................................................. 13
I.
II.
III.
IV.
V.
VI.
VII.
VIII.
IX.
X.
XI.

Pendahuluan.......................................................................................... 13
Epidemiologi......................................................................................... 13
Definisi ................................................................................................ 15
Anatomi ....... 16
Etiologi ................................................................................................ 20
Patofisiologi ......................................................................................... 21
Klasifikasi ............................................................................................ 26
Diagnosis.............................................................................................. 34
Tatalaksana ........................................................................................... 35
Prognosis............................................................................................... 45
Komplikasi ........................................................................................... 47

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 49

CASE REPORT
1.

IDENTITAS PASIEN

Nama
No. RM
Umur
Jenis Kelamin
Address
Occupation
Religion
Date of Admission
2.

:
:
:
:
:
:
:
:

Mr. R
776001
43 Tahun
Laki-laki
Nabire, Papua
tukang bengkel motor
Moslem
18 Oktober 2016

ANAMNESIS
Keluhan Utama

: Kelemahan Anggota Gerak Sisi Kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien Dikonsul ke Departemen Rehabilitasi Medik dari Departemen Bedah
Saraf dengan keluhan utama yaitu kelemahan anggota gerak tubuh sisi kiri
serta mengalami gangguan dalam berbicara yang dialami sejak 1 bulan yang
lalu. Sebelumnya, Pasien masuk ke RS Wahidin Sudiro Husodo dengan
keluhan utama yaitu Sakit kepala yang juga telah di rasakan sejak 1 bulan
yang lalu pula dimana pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Riwayat
pingsan saat kejadian ada, Riwayat mual dan muntah tidak ada, riwayat kejang
tidak ada. Pasien tiba-tiba tidak mampu mengangkat tangan kiri dan kaki
kirinya. Sebelumnya pasien pernah melakukan pengobatan di rumah sakit
Nabire, Papua. Berdasarkan Mekanisme Trauma : Pasien mengendarai sepeda
motor dan tidak memakai helm. Kemudian dalam keadaan pusing, pasien
melintasi jembatan yang rusak dan pasien terjatuh. Namun mekanisme
selanjutnya pasien sudah tidak mengetahuinya. Riwayat Merokok dan
Mengonsumsi Alkohol ada. Riwayat mengonsumsi NAPZA tidak ada. Buang
Air Besar dan Buang Air Kecil kesan normal
Riwayat penyakit sebelumnya :
Riwayat Trauma Sebelumnya (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat Diabetes Mellitus (-)
Riwayat Penyakit Jantung Kronik (-)
Riwayat Stoke (-)
3.

GENERAL STATUS
Kesadaran
Tekanan Darah

: Compus Mentis ( GCS E4M6V5 )


: 130/70 mmHg
Respiratory rate: 20x/m

Nadi
Tinggi Badan
Berat Badan
Indeks massa tubuh
Kepala
1. Mata

:
:
:
:
:

80x/menit
Temperature : 36,50C
156 cm
56 kg
20,1 kg/m2(Normal)

Eksoptalmus/Enoptalmus

: (-)

Gerakan

: ke segala arah

Kelopak Mata

: edema (-)

Konjungtiva

: injectio konjunctiva (-/-)

Sklera

: ikterus (-/-)

Pupil

: bulat isokor ODS Diameter 2,5 mm

2. Telinga
Pendengaran
Tophi
Nyeri tekan di prosesus mastoideus
3. Hidung

: kesan normal
: (-)
: (-)

Perdarahan

: (-)

Sekret

: (-)

4. Mulut
Bibir
Lidah
Tonsil
Faring
Gigi geligi
Gusi

: pucat (-), kering (-)


: kotor (-), tremor (-),
hiperemis (-)
: T1 T1, hiperemis (-)
: hiperemis (-),
: dalam batas normal
: dalam batas normal

5. Leher
Kelenjar getah bening

: tidak ada pembesaran

Kelenjar gondok

: tidak ada pembesaran

DVS

: R+2 cmH2O

Pembuluh darah

: tidak ada kelainan, arteri


karotis teraba

Kaku kuduk

: (-)

Tumor

: (-)

6. Thoraks
Inspeksi
Bentuk

:
:

Pembuluh darah
Buah dada
Sela Iga
Palpasi
:
Fremitus raba
Nyeri tekan
Massa tumor
Perkusi
:
Paru kiri
Paru kanan
Batas paru-hepar
Batas paru belakang kanan
Batas paru belakang kiri
Auskultasi :
Bunyi pernapasan
Bunyi tambahan

simetris

kiri

dan

kanan

(normochest)
: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
: Normal, tidak melebar
: sama pada paru kiri dan kanan
: (-)
: (-)
: sonor
: sonor
: ICS VI dekstra
: CV Th. X dekstra
: CV Th. XI sinistra
: vesikuler
: Rh -/- ,Wh -/-

7. Abdomen
:
Datar, Ikut Gerak Napas, Peristaltik kesan normal, Tidak ada asites.
8. Extremitas
:
Kekuatan

Refleks Fisiologis

Refleks Patologis

N
N

Visual Analog Scale :


0

10

Interpretasi

: Dependen Berat

4.RESUME
Seorang Laki-laki, Tahun, Dikonsul ke Departemen Rehabilitasi Medik
dari Departemen Bedah Saraf dengan keluhan utama yaitu kelemahan
anggota gerak tubuh sisi kiri serta mengalami gangguan dalam berbicara
yang dialami sejak 1 bulan yang lalu. Sebelumnya, Pasien masuk ke RS
Wahidin Sudiro Husodo dengan keluhan utama yaitu Sakit kepala yang
juga telah di rasakan sejak 1 bulan yang lalu pula dimana pasien
mengalami kecelakaan lalu lintas. Riwayat pingsan saat kejadian ada,
Riwayat mual dan muntah tidak ada, riwayat kejang tidak ada. Pasien tibatiba tidak mampu mengangkat tangan kiri dan kaki kirinya. Sebelumnya
pasien pernah melakukan pengobatan di rumah sakit Nabire, Papua.
Berdasarkan Mekanisme Trauma : Pasien mengendarai sepeda motor dan
tidak memakai helm. Kemudian dalam keadaan pusing, pasien melintasi
jembatan yang rusak dan pasien terjatuh. Namun mekanisme selanjutnya
pasien sudah tidak mengetahuinya. Riwayat Merokok dan Mengonsumsi
Alkohol ada. Riwayat mengonsumsi NAPZA tidak ada. Dari pemeriksaan
fisik ditemukan : Kepala : Normocephal, Anemis (-/-), Ikterus (-/-). Mata :
Bulat, Isokor ODS 2,5 mm. Hidung : dalam batas normal. Mulut : Dalam
batas normal. Leher : Dalam batas normal. Thoraks : Dalam batas normal.
Abdomen : Dalam batas normal.
Ekstremitas :

Sensorik
Otonom

: Dalam Batas Normal


: BAB dan BAK dalam Batas normal

Diagnosis klinis

: Hemiparesis Sinistra et Causa Traumatic Brain Injury

Diagnosis etiologi

: Trauma

Diagnosis topis

: Hematom regio Temporal Sinistra

Diagnosis fungsional : Impairment : Hemiparesis Sinistra

Disability

: Gangguan Activity Daily Living

Handicap

: pasien sulit dalam melakukan pekerjaannya

sebagai tukang bengkel tatkala harus menggunakan seluruh anggota gerak dalam
melakukan pekerjaan tersebut.

Daftar Masalah

PROGRAM REHABILITASI MEDIK

FOLLOW UP HASIL REHABILITASI PASIEN


TANGGAL
18 Oktober 2016

FOLLOW UP
Ekstremitas

Komunikasi :
25 Oktober 2016

Afasia Motorik (E4M6VX)


Ekstremitas

10

Komunikasi :
27 Oktober 2016

Afasia Motorik (E4M6V2)


Ekstremitas

(Telah Dilakukan
Rehabilitasi
sebanyak 2 kali)

Komunikasi:
29 Oktober 2016

Afasia Motorik (E4M6V5)


Ekstremitas

Komunikasi:
Afasia Motorik (E4M6V5)

11

TRAUMATIC BRAIN INJURY


I. Pendahuluan1,2
Traumatic Brain Injury merupakan salah satu penyebab kematian,
kesakitan dan kecacatan serta bertanggung jawab pada proporsi yang signifikan
terhadap kematian akibat trauma di Amerika Serikat. Insidensi tahunan dari
trauma kepala yaitu sekitar 600 hingga 900 orang per 100.000 populasi.
Terdapat 200 hingga 500 orang dirawat di unit gawat darurat, 150 hingga 250
orang dirawat di rumah sakit dengan Traumatic Brain Injury, dan 20 hingga 30
orang meninggal ( 50% di rumah sakit dan 50% di luar rumah sakit) per
tahunnya (Bruns and Hauser, 2003). Data menunjukkan bahwa, rata-rata
sekitar 1.400.000 orang mengalami Traumatic Brain Injury setiap tahun di
Amerika Serikat, dimana 50.000 orang meninggal dan 235.000 orang dirawat
di rumah sakit. (CDC, 2007).

12

II. Epidemiologi1,3,4
Sekitar 50% kasus TBI terjadi sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan
bermotor, sepeda motor dan kecelakaan sepeda, atau pejalan kaki yang ditabrak
kendaraan dan 20% dari kekerasan (kekerasan atau luka tembak). Cedera yang
tersisa terjadi sebagai akibat dari jatuh, pelecehan anak, dan cedera saat
olahraga. Penyebab utama dari Traumatic Brain Injury antara lain akibat jatuh
(28%), kecelakaan lalu lintas berupa tabrakan kendaraan bermotor (20%),
bertubrukan dengan benda yang bergerak maupun diam (19%), dan penyebab
lainnya (CDC, 2007).
Meskipun jumlah penderita TBI rawat inap telah menurun selama
beberapa tahun terakhir, masih belum jelas apakah ini mencerminkan
penurunan mutlak dalam jumlah TBI atau kecenderungan manajemen rawat
jalan lebih besar di antara mereka yang cedera ringan. Jumlah dari TBI
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan yang dapat menurun.
Meskipun umumnya dianggap sebagai kondisi yang sering terjadi pada
laki-laki muda, dampak TBI berbagai usia dan keadaan sosial ekonomi.
Gambar 1 memberikan ringkasan dampak gender dan usia pada kejadian TBI.
Puncak terbesar terjadi pada laki-laki antara usia 15 dan 24 tahun, di mana
MVA dan kekerasan adalah etiologi yang paling umum, dan wanita lebih
kurang jumlah 2 atau 3: 1. TBI juga lebih parah pada laki-laki, dengan tingkat
kematian 300-400% lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Di antara
anak-anak di bawah usia 5 tahun dan orang dewasa yang lebih tua dari 75
tahun, distribusi jenis kelamin, tetapi etiologi berbeda. Kecelakaan, pelecehan
anak, dan cedera saat olahraga yang umum di kalangan anak muda, dan jatuh
yang umum di kalangan orang tua.

13

Puncak insidensi dari Traumatic Brain Injury yaitu antara umur 15 - 24


tahun dan orang yang berumur > 64 tahun. Laki-laki memiliki kemungkinan
mengalami Traumatic Brain Injury dua kali lipat lebih besar daripada wanita.
Pada populasi warga sipil, alkohol terlibat pada lebih dari setengah kasus
Traumatic Brain Injury. Menurut penelitian, kecelakaan kendaraan bermotor
terutama kecelakaan sepeda motor, terhitung sebagai salah satu penyebab
traumatic brain injury terbanyak pada warga sipil (Nicholl and LaFrance,
2009).
Di Indonesia sendiri, cedera merupakan salah satu penyebab kematian
utama setelah stroke, tuberkulosis, dan hipertensi ( Depkes RI, 2009 ). Proporsi
bagian tubuh yang terkena cedera akibat jatuh dan kecelakaan lalu lintas salah
satunya adalah kepala yaitu 6.036 (13,1%) dari 45.987 orang yang mengalami
cedera jatuh dan 4.089 (19,6%) dari 20.289 orang yang mengalami kecelakaan
lalu lintas (Riskesdas, 2007 dalam Riyadina, 2009).

14

III. Definisi1,5,6
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak, yaitu
gangguan fungsi normal otak karena trauma tumpul maupun trauma tajam
(Batticaca, 2008). Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit
neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi
epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).
Cedera kepala mayor didefinisikan oleh Yayasan Cedera Kepala Nasional
di Amerika Serikat sebagai akibat traumatik pada otak yang dapat
menyebabkan perubahan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan tingkah laku.
Cedera

kepala

berat

umumnya

didefinisikan

sebagai

cedera

yang

mengakibatkan kondisi koma, dimana koma yang terjadi tidak disebabkan oleh
kondisi ekstrakranial (seperti intoksikasi yang berat) dan tetap berlanjut
setidaknya dalam beberapa waktu setelah periode resusitasi akut. Dengan
menggunakan Skala Koma Glasgow, yang merupakan metode yang paling
umum untuk mendiagnosis koma traumatik, adalah pada pasien yang tidak
membuka matanya meskipun telah diberikan stimulus nyeri, tidak mengluarkan
kata-kata, atau bahkan mengikuti perintah sederhana, dinyatakan dalam
keadaan koma.
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi
setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). Resiko
utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah kerusakan otak akibat atau
pembekakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan

15

peningkatan tekanan intrakranial ( bidang keperawatan Bp. RSUD Djojonegoro


Temanggung, 2005)
IV. Anatomi7,8
A. Bagian bagian Otak
Otak mengatur dan mengkordinir sebagian besar gerakan, perilaku
dan fungsi tubuh homeostasis seperti detak jantung, tekanan darah,
keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh. Otak manusia bertanggung
jawab terhadap pengaturan seluruh badan dan pemikiran manusia.
Otak dilindungi 3 lapisan selaput meninges. Bila membran ini terkena
infeksi maka akan terjadi radang yang disebut meningitis. Ketiga lapisan
membran meninges dari luar ke dalam adalah sebagai berikut.
a. Duramater atau Lapisan Luar

Duramater kadangkala disebut pachimeningen atau meningen


fibrosa karena tebal, kuat, dan mengandung serabut kolagen. Pada
duramater dapat diamati adanya serabut elastis, fibrosit, saraf,
pembuluh darah, dan limfe. Lapisan dalam duramater terdiri dari
beberapa lapis fibrosit pipih dan sel-sel luar dari lapisan arachnoid.
b. Arachnoid atau Lapisan Tengah

Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan duramater


dengan piamater. Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk
pipih dan serabut kolagen. Arachnoid berbentuk seperti jaring labalaba. Antara arachnoid dan piamater terdapat ruangan berisi cairan
yang berfungsi untuk melindungi otak bila terjadi benturan.
c. Piamater atau Lapisan Dalam

Piamater merupakan membran yang sangat lembut dan tipis penuh


dengan pembuluh darah dan sangat dekat dengan permukaan otak.
Lapisan ini berfungsi untuk memberi oksigen dan nutrisi serta
mengangkut bahan sisa metabolisme.
Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu cerebrum atau otak besar,
cerebellum

atau

otak

kecil,

brainstem

atau

batang

otak,

dan

dienchepahalons.
4.A.1.
Cerebrum atau Otak Besar

16

Bagian terbesar dari otak manusia disebut cerebrum disebut juga


sebagai cortex cerebri. Cerebrum membuat manusia memiliki
kemampuan berpikir atau intelektual, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
persepsi, memori, aktifitas motorik yang kompleks, dan kemampuan
visual.
Cerebrum dibagi menjadi dua belahan, yaitu hemisfer kanan dan
hemisfer kiri. Kedua belahan tersebut terhubung oleh saraf. Secara
umum, hemisfer kanan berfungsi mengontrol sisi kiri tubuh dan terlibat
dalam kreativitas serta kemampuan artistik. Sedangkan hemisfer kiri
berfungsi mengontrol sisi kanan tubuh dan untuk logika serta berpikir
rasional.
Cerebrum dibagi menjadi empat lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan disebut sulcus. Keempat
lobus tersebut masing-masing adalah:
a. Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari
cerebrum. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat
alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian
masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol
perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
b. Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor
perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c. Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.
d. Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan
rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan
B.

interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.


Cerebellum atau Otak Kecil
Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung
leher bagian atas. Cerebellum berfungsi dalam pengaturan koordinasi
perencanaan gerak, pengaturan tonus, kontrol postur dan keserasian
gerak, pengaturan keseimbangan. Cerebellum juga berfungsi sebagai

17

pengatur sistem saraf otonom, seperti pernafasan, mengatur ukuran


pupil, dan ain-lain.
Jika terjadi cedera atau terdapat kerusakan pada area ini, dapat
mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot.
Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak
mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu
mengancingkan baju.
C.

Brainstem atau Batang Otak


Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum
tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia
termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur
proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu
fight or flight saat datangnya bahaya.
Brainstem terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Mesencephalon disebut juga mid brain adalah bagian teratas dari
batang otak yang menghubungkan cerebrum dan cerebellum. Mid
brain berfungsi dalam mengontrol respon penglihatan, gerakan mata,
pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
b. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari
sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga
sebaliknya. Medulla oblongata bertugas mengontrol fungsi otomatis
otak seperti: detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan
pencernaan.
c. Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat
otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan

D.

apakah kita terjaga atau tertidur.


Dienchephalons
Terdiri

dari

thalamus,

hypothalamus,

subthalamus,

dan

epithalamus.

18

a. Thalamus berfungsi sebagai station relay dari sensoris, berperan


dalam perilaku dan emosi sejalan dengan hubungannya dengan
system limbic, serta mempertahankan kesadaran.
b. Hypothalamus terletak dibawah thalamus yang berfungsi mengatur
emosi, hormon, temperatur tubuh, kondisi tidur dan bangun,
keseimbangan kimia tubuh, serta makan dan minum.
c. Subthalamus merupakan nukleus motorik ekstrapiramida yang
penting. Fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi
pada subtalamus dapat menimbulkan diskinesia.
d. Epithalamus berhubungan dengan sistem limbik dan berperan pada
beberapa dorongan emosi dasar dan integrasi informasi olfaktorius.

Gambar 2. Anatomi Otak

V.

Etiologi2,3,

Menurut Muttaqin (2008) penyebab dari cedera kepala adalah adanya


trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda atau serpihan tulang yang

19

menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke
otak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.
Jenis cedera berdasarkan mekanisme
Coup dan countrecoup Objek yang membentur bagian depan (coup) atau
bagian belakang (countrecoup) kepala; objek yang membentur bagian samping
kepala (coup atau countrecoup); kepala yang mengenai objek dengan
kecepatan rendah
Hematom ekstradural Kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, kecelakaan saat
olahraga
Hematom subdural Kecelakaan lalu lintas atau terjatuh, khususnya pada
orang berusia tua atau orang dengan penyalahgunaan alkohol yang kronik
Perdarahan intracerebral Kontusi yang disebabkan oleh gaya dengan
kekuataan yang besar, biasanya akibat kecelakaan lalu lintas atau terjatuh
dari jarak yang jauh
Fraktur campuran Objek yang mengenai kepala dengan kekuatan yang
besar atau kepala yang membentur objek dengan sangat kuat; fraktur
tulang temporal, fraktur tulang occipital, dampak ke arah atas dari vertebra
cervical (fraktur dasar tulang tengkorak)
Cedera penetrasi Misil (peluru) atau proyektil yang tajam (pisau, pemecah
es, kapak, baut)
Cedera aksonal difus Kepala yang sedang bergerak dan membentur
permukaan yang keras atau objek yang sedang bergerak membentur kepala
yang dalam kondisi diam; kecelakaan lalu lintas (saat kerja atau pejalan
kaki); gerakan kepala memutar.
VI. Patofisiologi1,3,8
Patofisiologi TBI berbeda antara cedera kepala terbuka dan cedera
kepala tertutup, di lain sisi, dan cedera otak penetrating di lain sisi. Berbagai
macam mekanisme yang menyebabkan kerusakan otak traumatik dapat
dikategorikan

kepada

mekanisme-mekanisme

primer

dan

sekunder.

Mekanisme primer terjadi pada saat tabrakan; meknisme sekunder dipacu


oleh mekanisme primer dan, sebaliknya menyebabkan kerusakan otak.

20

TABEL 1. Terminologi Traumatic Brain Injury


Istilah

Definisi

Cedera kepala
akibat benda
tumpul

Traumatic brain injury yang disebabkan oleh kontak


antara kepala dan benda tumpul; sinonim dengan
nonpenetrating traumatic brain injury.
Sinonim dengan traumatic brain injury

Trauma otak
Gegar otak
(commotio cerebri)
Craniocerebral
injury

Sinonim dengan closed head injury, khususnya, closed


head injury ringan.
Sinonim dengan traumatic brain injury

Traumatic brain injury dimana dura tetap utuh.

Closed Head Injury


Cedera kepala
(trauma capitis)
Trauma kepala
Cedera kepala
traumatis
Cedera kepala
terbuka

Traumatic brain injury dimana dura terbuka (misalnya.,


tercedera karena senjata tajam, terbentur benda
bergerak, bertabrakan)

Cedera tembak

Tipe penetratic traumatic brain injury (misalnya.,


tembakan, pecahan bom dari suatu ledakan, senapan
angin)

Penetrating head
injury

Traumatic brain injury yang disebabkan oleh benda


asing yang berpenetrasi ke dura memasuki otak
(misalnya., cedera tembak, cedera tusukan, laserasi oleh
suatu bend yng bergerak)

Penetrating brain
injury

Tipe penetrating traumatic brain injury (misalnya.,


tercedera dengan pisau)

Cedera tikaman

21

Cedera Kepala Terbuka atau Tertutup


Pada cedera kepala tertutup atau terbuka, otak dapat menjadi rusak
karena kontak antara kepala dengan benda lain, dan/atau oleh akselerasi atau
deselerasi otak dengan tengkorak kepala.146 Pada kasus yang dikarenakan
pasien terjatuh, misalnya, otak dengan cepat berdeselerasi ketika kepala
membentur tanah, dan dalam keadaancedera otak dengan cepat berakselerasi
ketika senjata tersebut membentur kepala. Kecelakaan-kecelakaan motorik
biasanya melibatkan baik akselerasi dan deselerasi.
Sebagian besar meknisme-mekanisme primer kerusakan otak pada
cedera kepala terbuka maupun tertutup disebabkan oleh akselerasideselerasi. Mekanisme-mekanisme utama kerusakan otak dihasilkan oleh
akselerasi-deselerasi antara lain diffuse axonal injury (cedera aksonal yang
menyebar), multiple petechial hemorrhages, cedera memar, dan cedera saraf
kranial. Diffuse axonal injury133 mengacu kepada peregangan akson-akson
yang tersebar meluas yang disebabkan oleh rotasi otak mengelilingi
aksisnya. Distribusi kerusakan aksonal bersifat konsisten dengan model
sentripetal cedera kepala tertutup,268 yang mempostulasikan bahwa tekanan
yang terdesak oleh karena rotasi otak mencapai nilai terbesar di permukaan
otak dan melemah pada struktur-struktur otak yang lebih dalam. Model
tersebut dengan tepat memprediksikan bahwa neuroimaging (penginderaan
saraf) abnormalitas-abnormalitas pada TBI yang lebih ringan cenderung
ditemui di dekat korteks, namun pada TBI yang lebih parah ditemui di
bagian dalam seperti halnya daerah-daerah permukaan otak.222 Pada TBI
yang parah, kerusakan aksonal cenderung lebih besar pada saluran-saluran
fiber

yang

lebih

panjang

(misalnya.,

corpus

callosum). 146

Tanpa

mempedulikan poin yang menyebutkan kontak kepala dengan suatu objek


eksternal, cedera-cedera memar paling sering terjadi di lobus-lobus inferior
frontal dan anterior temporal, dimana tempurung kepala berdekatan dengan
permukaan-permukaan bersifat irregular.146
22

Mekanisme-mekanisme sekunder kerusakan otak traumatis termasuk


pendarahan intrakranial (epidural, subdural, dan hematoma-hematoma
intraserebral), pembengkakan otak (edema vasogenik atau sitogenik),
eksitotoksitas, cedera oksidan, dan hipoksia yang dikarenakan menurunnya
tekanan perfusion serebral. Baik kerusakan otak primer maupun sekunder
dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial (increased intracranial
pressure (ICP)), yang sebaliknya dapat memacu mekanisme-mekanisme
kerusakan otak sekunder dalam suatu simpul feedback positif. 146 Perubahan
dan herniasi otak dapat dihasilkan oleh efek massa pembengkakan otak atau
pendarahan

intrakranial.hidrosefalus

merupakan

suatu

sebab

utama

kerusakan otak sekunder yang dapat terjadi jauh setelah cedera tersebut
dialami. (Perhatikan gambar 49-1 sebagai contoh kasus beberapa
mekanisme cedera.)
Excitotoxicity mengacu kepada kerusakan neuronal yang diakibatkan
oleh pengeluaran neurotransmitter excitatory di atas normal oleh neuronneuron yang mengalami cedera.146 Kerusakan otak excitotoxic dapat
dikurangi dengan hipotermia sedang.

80, 81, 234, 235

Dalam penelitian terhadap

82 orang pasien dengan cedera kepala tertutup yang parah, Marion et al 235
menunjukkan bahwa perawatan awal (rata-rata 10 jam pasca-cedera) dengan
hipotermia memacu penyembuhan neurologis dan meningkatkan outcome
pada pasien dengan skor GCS antara 5 hingga 7. para pasien ditempatkan
pada suhu 32 hingga 33C selama 24 jam, dan kemudian dihangatkan
kembali.
Kerusakan otak dalam TBI oleh karenanya merupakan suatu hasil
akhir dari berbagai efek mekanisme-mekanisme primer dan sekunder ganda
yang terjadi berkali-kali yang pada umumnya menimbulkan pola-pola
kerusakan yang cenderung bersifat menyebar daripada bersifat fokal,
terutama pada para pasien penderita cedera kepala tertutup. Pola kerusakan
otak yang menyebar konsisten dengan gambar kronis atrofi serebral dan
pembesaran ventrikular yang biasanya didapati pada neuroimaging para

23

mantan penderita cedera kepala tertutup.18 Selain komonalitas-komonalitas


tersebut, perbedaan-perbedaan individual dalam pola-pola kerusakan otak
menghasilkan pola-pola campuran kerusakan-kerusakan neurologis dan
neuro-psikologi14 pada individu-individu mantan penderita TBI.
Menyadari pentingnya penundaan, atau penderitaan-penderitaan
sekunder pada otak yang tercedera, the American Academy of Neurological
Surgery (AANS) menerbitkan the Guidelines for the Management of
Severre Head Injury16 untuk mempromosikan perawatan yang lebih baik
dengan menggunakan panduan berdasarkan fakta-fakta yang telah
dikembangkan setelah diadakan suatu kajian yang teliti terhadap literatur.
Dokumen ini terdiri dari rekomendasi-rekomendasi untuk resusitasi tekanan
darah dan oksigenasi, tekanan perfusi serebral, indikasi-indikasi monitoring
ICP dan ambang batas perawatan, dan teknologi monitoring ICP. Juga
dibahas

tentang penggunaan

hiperventilasi

pada manajemen

akut,

penggunaan mannitol dan barbiturat-barbiturat, peranan glukokortikoidglukokortikoid, perawatan hipertensi intrakranial terelevasi, dukungan
nutrisi, dan peranan profilaksis anti-serangan.
Cedera Tembak di Otak
Pada cedera-cedera tembak, sebagian besar kerusakan otak terletak
sepanjang jejak peluru dan fragmen-fragmen tulang yang terkena. 333
implikasi rehabilitasi utama adalah bahwa cedera tembak pada otak pada
umumnya menyebabkan sindrom-sindrom kerusakan otak fokal (misalnya.,
hemiplegia, hemianopsia), dengan secara relatif menghemat pemfungsian
bagian-bagian otak yang terletak jauh dari lintasan misil. (lihat gambar 49-2
untuk suatu contoh kasus cedera tembak pada otak.)
Cedera Otak Anoksik
Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak anoksik adalah iskhemi
yang disebabkan oleh hipoksia atau penurunan perfusi serebral. 145 Meskipun
cedera otak anoksik biasanya menyebabkakan kematian dan cedera neuronal
24

yang menyebar, terdapat kerentanan selektif neuron-neuron pada bagianbagian di dalam hippocampus, cerebellum, dan basal ganglia, dan di dalam
zona-zona batas arterial (misal., area-area yang tertutup cairan) pada
serebrum.145 neuron-neuron pada bagian hippocampus adalah bagian yang
paling rentan, yang berkorelasi dengan tingginya frekuensi amnesia yang
menyertai cedera otak anoksik.170 Lebih lanjut, frekuensi gangguangangguan gerak pada populasi ini berkorelasi dengan kerentanan yang
bersifat selektif terhadap hipoksia neron-neuron di dalam bangsal ganglia
dan serebellum. (lihat gambar 49-3 untuk suatu contoh kasus cedera otak
anoksik.)
VII. Klasifikasi3,9,10
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala
yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai
dalam menentukan derajat cedera kepaka. Cedera kepaladiklasifikasikan dalam
berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan
1. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala
tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput
durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau
cedera tumpul.
a) Trauma kepala nonpenetrasi
Trauma kepala nonpenetrasi atau trauma kepala tertutup, merupakan
akibat dari cedera tumpul. Tidak ada penetrasi benda asing pada dura
(dura masih intak), meskipun dapat terjadi laserasi dura akibat terjadinya
fraktur tulang tengkorak, dan jaringan otak tidak terpapar dengan
lingkungan luar. Trauma tumpul lebih sering terjadi dan meliputi

25

benturan kepala pada permukaan yang keras, atau objek berkecepatan


tinggi yang mengenai kepala. Trauma tumpul dapat mengakibatkan
komosio/ gagar otak, kontusio, epidural hematoma, subdural hematoma.
b) Trauma kepala penetrasi
Saat terjadi penetrasi pada dura, maka akan menimbulkan paparan dari
isi tengkorak pada lingkungan luar, dimana terjadi trauma terbuka, yang
mengakibatkan cedera otak fokal. Cedera kepala penetrasi dihubungkan
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Cedera kepala penetrasi dapat disebabkan oleh mekanisme trauma
yang berbeda. Trauma dapat disebabkan oleh proyektil yang memiliki
kecepatan tinggi atau rendah. Cedera lainnya dapat meliputi luka
tusukan, cedera akibat terkena panah, cedera senjata di industri dan
cedera akibat penggunaan mesin bor. Pada cedera otak yang disebabkan
oleh objek dengan kecepatan rendah, kerusakan hanya terbatas pada
adanya disrupsi jaringan secara langsung. Kadang-kadang tidak terjadi
hilangnya kesadaran. Baik cedera penetrasi dengan kecepatan tinggi
maupun rendah dapat menyebabkan disrupsi dari kulit, tulang tengkorak,
dan selaput otak, sehingga dapat memudahkan kontaminasi cairan
cerebrospinal atau otak dengan mikroorganisme infektif.
2. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (GCS):
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang
dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur
tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)

26

GCS 9-12, tingkat kesadaran pasien bersifat kombatif atau letargis.


tanpa komplikasi cedera intrakranial.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral,
laserasi atau hematoma intracranial.

3. Klasifikasi Cedera kepala menurut patofisiologinya dibagi menjadi dua:


a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acceselarsi descelerasi
rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Termasuk dalam
kelompok ini adalah cedera otak fokal dan cedera otak difus.
CEDERA OTAK FOKAL
1) Perdarahan Epidura (Epidural Hematoma)

27

Epidural hematom adalah hematom yang terletak antara durameter


dan tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri
meningica media (paling sering) dan sinus venosus. Lokasi tersering
berada di daerah temporal dan frontal.
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang
disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis
sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa hemiparese/plegi, Pupil
anisokor, reflek patologis satu sisi. Adanya lateralisasi dan jejas pada
kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi dan jejas
pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan
hemiparese/plegi lataknya kontralateral dengan lokasi EDH.
2) Perdarahan Subdural (Subdural Hematoma)
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat
terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena /
jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan
lambat dan sedikit..
Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom
dibagi 3 meliputi SDH akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian,
SDH subakut terjadi antara 3 hari 3 minggu, SDH kronis jika
perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu. Secara klinis subdural hematom
akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi
yang paling sering berupa hemiparese/plegi

28

Gambar.3:
Epidural
Hematoma,
Subdural
Hematoma,
Intraserebral Hematoma

3) Perdarahan subarachnoid Hematom subarachnoid


Pendarahan yang terjadi pada ruang amchnoid yakni antara lapisan
amchnoid dengan diameter. Seringkali terjadi karena adanya vena yang
ada di daerah tersebut terluka. Sering kali bersifat kronik.
Perdarahan subarachnoid paling sering disebabkan oleh trauma
kranicerebral.

Perdarahan

menyebabkan

kerusakan

subarachnoid
neurologik,

sendiri

tetapi

biasanya

hidrocephalus

tidak
dan

vasospasme cerebral, yang merupakan komplikasi lambat biasanya


terlihat beberapa hari atau minggu setelah terjadinya perdarahan.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa perdarahan subarachnoid
akibat trauma dapat menyebabkan vasospasme cerebral yang signifikan
yang dapat diukur melalui peningkatan kecepatan aliran pada evaluasi
Doppler transkranial. Perdarahan subarachnoid traumatik cenderung
terdistribusi pada konveksitas otak, dan juga dapat terjadi pada basal,
intrasilvial, dan intraventrikular.
4) Perdarahan Intraserebri (Intraserebral Hematoma)

29

Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada


jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam
jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan
kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi.
Hematom intracerebral terjadi pada 2-3% orang yang mengalami
cedera kepala, dapat bersifat tunggal atau multipel, dan juga dapat
disertai kontusi otak. Meskipun paling sering terjadi pada lobus frontal
atau temporal, hematom ini juga dapat terjadi pada substansi alba dari
bagian dalam hemisfer otak. Pembuluh darah yang kecil mengalami
trauma akibat cedera penetrasi atau benturan dengan tenaga yang besar.
Selanjutnya hematom intracerebral berperan seperti massa yang makin
meluas, dapat meningkatkan tekanan intrakranial, menimbulkan
kompresi

jaringan

otak,

dan

menyebabkan

koma.

Hematom

intracerebral yang tertunda dapat terjadi dalam waktu 3-10 hari setelah
kejadian cedera kepala.
Intraventricular hemorage adalah salah satu perdarahan intraserebral.
Definisi primary Intraventricular hemorrhage (PIVH)dikemukakan
pertama kali oleh Sanders, pada tahun 1881,yaitu terdapatnya darah
hanya dalam sistem ventrikuler, tanpaadanya ruptur atau laserasi
dinding ventrikel. Disebutkanpula bahwa PIVH merupakan perdarahan
intraserebral

nontraumatikyang

Sedangkanperdarahan
pecahnyapembuluh

sekunder
darah

daerahperiventrikular,

terbatas

sistem

intraventrikuler

intraserebral

yang

pada

meluas

dalam
ke

ventrikel.

muncul
dan

sistem

jauh

akibat
dari

ventrikel.

Darahmemasuki ventrikel melalui robekan ependim.


CEDERA OTAK DIFUS
Cedera otak ini disebut difus karena secara mkroskopis tidak
ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi
neurologis, walaupun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia

30

atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma. Biasanya disebabkan


karena penekanan pada batang otak oleh massa yang mendesak,
sehingga menyebabkan kerusakan pada batang otak atau jaringan
serebrum.
1) Konkusio/Gagar Otak
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap
setelah terjadinya cedera pada otak, menyebabkan kebingungan, sakit
kepala dan rasa mengantuk yang abnormal.Karakteristiknya adalah
hilangnya kesadaran, amnesia sementara (hilangnya memori), konfusi,
disorientasi, perubahan visual, disfungsi otonom, sakit kepala, tinitus,
dan iritabilitas dengan derajat yang bervariasi, tanpa adanya
abnormalitas cerebral yang bermakna (tidak disertai adanya kerusakan
patologis pada otak).
2) Kontusio Serebri
Kontusi cerebral merupakan area yang mengalami kerusakan pada
parenkim otak dan dapat menimbulkan defisit neurologis bergantung
pada lokasi anatominya. Kontusi umumnya ditemukan paling sering
pada lobus frontal, khususnya pada bagian ujung dan sepanjang
permukaan orbital inferior; pada lobus temporal, khususnya pada kutub
anterior dan sepanjang permukaan inferior; dan pada daerah sambungan
frontotemporal. Bagian anterior dari lobus frontal dan temporal
merupakan bagian yang rawan atau rapuh karena kontur yang kasar dari
tulang tengkorak pada regio ini. Kontusi kadang dihubungkan dengan
disrupsi dari sawar darah otak dan dapat disertai penyulit berupa
perluasan dari perdarahan yang terjadi, pembentukan edema, atau
kejang. Kontusi yang besar dapat menimbulkan efek massa yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi otak. Hal
ini mengakibatkan perubahan pada fungsi perhatian, memori, afek,
emosi, dan tingkah laku. Pada kasus yang jarang terjadi, kontusi terjadi

31

pada lobus parietal dan occipital. Kontusi cerebral fokal dapat bersifat
superfisial, dan hanya melibatkan girus otak. Kontusi hemoragik dapat
berkumpul menjadi hematom intrakranial konfluen yang luas.
Kontusi biasanya bersifat lokal dan dihubungkan dengan adanya
perdarahan, edema, dan nekrosis. Kontusi dapat dibagi menjadi dua
kelompok. Kontusi coup lebih berat pada jaringan otak dibawah lokasi
benturan dan biasanya berhubungan dengan cedera akselerasi. Kontusi
countrecoup berlokasi pada permukaan otak yang berlawanan dengan
lokasi trauma dan dihubungkan dengan cedera deselerasi. Kontusi
traumatik juga dihubungkan dengan kejadian hematom intracerebral
superfisial.

Gambar.4 Kontusio Serebri


3) Cedera Aksen Difus
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih
dari 6 jam. Cedera aksonal difus menggambarkan kerusakan otak
dimana terjadi disrupsi dari proyeksi akson neuronal pada substansi
alba cerebral, dan terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan
kesadaran segera atau menjadi koma pada saat terjadinya trauma
kepala. Bergantung pada tingkat keseriusan cedera, pasien dapat
mengalami cedera aksonal difus yang ringan, sedang, atau berat. Akibat

32

adanya perbedaan gradien akselerasi pada beberapa area di otak selama


terjadintya benturan primer, maka dapat terjadi efek kekuatan yang
tersebar pada perhubungan substansi alba dengan grissea, corpus
callosum, atau batang otak. Akibat dari kekuatan ini adalah robekan
difus dari akson-akson dan pembuluh darah kecil. Cedera aksonal difus
merupakan akibat dari efek kocokan (efek inersia dari input mekanik
pada kepala yang berhubungan dengan level akselerasi dan deselerasi
yang tinggi, efek gerakan kepala). Akselerasi rotasional (gerakan
memutar) merupakan mekanisme primer cedera, yang menimbulan
adanya gaya dan distorsi di dalam otak. Gerakan kepala yang secara
bebas
VIII. Diagnosis1,2,11
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
- Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
- Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
- Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
- tanda dan gejala :
a. Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus
b. Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan
berfikir kompleks
c. Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
- Gambaran klinis secara umum pada cedera kepala :
a. Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran.
b. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal.
c. Respon pupil mungkn lenyap.
d. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK.
e. Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial.
f. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.

33

2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis


3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
- Linier
- Impresi
- Terbuka/tertutup
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Neuroradiologik
Pemeriksaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan
kerusakan pada TBI perlu dikerjakan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan
kepala, yang merupakan pemeriksaan imaging untuk mengetahui struktur
jaringan otak. CT scan merupakan teknik alternatif selama tahap perawatan
akut karena sensitifitasnya terhadap adanya darah, fraktur-fraktur tengkorak
atau wajah, dan sebagian besar cedera intrakranial lainnya yang membutuhkan
perawatan kegawatdaruratan. CT scan kepala bisa didapatkan dengan cepat dan
tidak bersifat kontraindikasi dengan adanya material logam di dalam tubuh atau
peralatan penunjang hidup. Keterkaitan-keterkaitan antara hasil-hasil awal CT
scanning otak dan outcome total di kemudian hari (kemampuan untuk tetap
bertahan sadar atau. kematian atau vegetatif) dapat dipahami dengan baik.
Temuan-temuan CT normal menunjukkan prognosis yang terbaik, dan temuantemuan CT pada hematoma subdural akut, pendarahan intraserebral, dan
pembengkakan hemisphere bilateral besar-besaran menunjukkan prognosis
yang lebih buruk.110,

337

Nilai temuan CT scan dalam memprediksi outcome

penderita TBI selama rehabilitasi masih perlu diinterpretasikan. Dengan


informasi dari CT Scan, dokter dapat menentukan prognosis penderita TBI. 90
MRI kepala, merupakan tehnik imaging yang canggih, menghasilkan
gambar yang lebih baik dalam hal struktur atau area abnormal dengan lokasi
dekat dengan tulang dibanding dengan CT scan kepala. MRI otak pada
umumnya lebih sensitif daripada CT scan dalam hal menilai lesi-lesi otak
akibat traumatis karena resolusinya yang lebih besar. MRI secara selektif lebih

34

sensitif daripada CT scan terhadap cedera-cedera sayatan nonpendarahan dan


terhadap luka-luka memar di beberapa area tertentu, seperti area frontal inferior
dan batang otak, yang terletak di dekat permukaan-permukaan yang tulangtulangnya menonjol yang menghasilkan artefak pada CT scanning.131
Kekurangan-kekurangan MRI adalah waktu yang diperlukan untuk scanning
cukup lama, ketidakmampuan meengakses pasien selama masa tersebut, dan
kontraindikasinya dengan material-material logam di dalam tubuh pasien atau
peralatan medis.
Ectroencephalography (EEG) merupakan prediktor yang handal akan
kemampuan seseorang sembuh dari cedera otak traumatis, sebagai prediktor
outcome fungsional. Pola-pola tertentu EEG, seperti spindle (kumparankumparan) tidur yang abnormal dan predominansi gelombang-gelombang alfa,
menunjukkan prognosis yang buruk. EEG kuantitatif mungkin memiliki suatu
peran dalam memprediksikan outcome kelangsungan hidup dan fungsional
serta secara kontinyu memonitor status neurologis.
IX.

Tatalaksana Traumatic Brain Injury 2,4,11-17


A. Terapi Spesifik Traumatic Brain Injury12,13,4,15,16,17
Dalam melakukan suatu proses rehabilitasi, maka dilakukan beberapa

komponen yang harus dilakukan untuk menentukan planning terapi yang akan
diberikan kepada pasien. Komponen tersebut berupa diagnosis, daftar
masalah yang terjadi pada pasien, dan capaian yang diharapkan. Berikut tabel
yang dapat menjadi bentuk plan rehabilitasi berdasarkan problem yang
muncul pada pasien yang akan diterapi.1

35

Tabel . Daftar masalah yang memungkinkan terjadi disertai bentuk rencana terapi
dan pencapaian yang diharapkan.
Terkhusus untuk penatalaksanaan rehabilitasi pada pasien Traumatic Brain
Injury pada umumnya memiliki kesamaan dengan penatalaksanaan rehabilitasi
pada pasien yang mengalami stroke maupun permasalahan pada otak dengan
etiologi lainnya, dimana bentuk rehabilitasi yang termasuk 2,3,5:
1. Terapi Fisik :
Terapi fisik difokuskan pada pergerakan. Terapi fisik membantu
mengembangkan cara untuk mengimbangi paralisis melalui penggunaan
otot yang masih mempunyai fungsi normal, membantu mempertahankan
dan

membentuk

adanya

kekuatan

dan

mengontrol

bekas

yang

dipengaruhinya pada otot dan membantu mempertahankan ROM dalam


mempengaruhi anggota badan untuk mencegah otot dari pemendekan
( kontraktur ) dan terjadinya kecacatan. Jika pertumbuhan kembali saraf

36

yang diharapkan, terapi fisik menggunakan retrain yang mempengaruhi


anggota badan selama pemulihan. Terapi fisik juga menggunakan
peralatan yang sesuai seperti penyangga badan dan kursi roda . 2,3,5

Gambar. Range of Motion pada setiap sendi


2. Terapi Kerja ( Occupational Therapy ):
Fokus terapi kerjaadalah pada aktivitas sehari hari seperti makan dan
mandi. Terapi kerja mengembangkan alat dan tehnik khusus yang
mengijinkan perawatan sendiri dan jalan memberi kesan untuk
memodifikasi rumah dan tempat kerja bahwa pasien dengan kelemahannya
bisa hidup normal. 2,3,5
3. Terapi Ortotik Prostetik
Terapi ini dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan mencegah atau
mengoreksi kecacatan pasien. Digunakan alat bantu seperti tripod,
quadripod, dan walker. 2,3,5
4. Terapi Wicara (Speech Therapy) :
Ada dua tahapan pemulihan bahasa: (1) penyembuhan awal yang spontan
yang dimulai dalam beberapa hari dari onset dan berakhir sekitar 1 bulan

37

(mungkin lebih) setelah onset; dan (2) pemulihan jangka panjang, yang
berlangsung berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Idealnya, terapi intensif
afasia harus dimulai dan dipertahankan secepat-cepatnya saat pasien
dinyatakan stabil secara medis dan neurologis (meskipun dengan
penundaan sampai 6 bulan post onset, terapi masih menunjukkan
manfaat). Terapi wicara harus ditujukan kepada pasien dan keluarga pasien
atau pihak lain yang terkait. Terapi biasa diberikan 3-5 kali perminggu
untuk 2-3 bulan, selama itu pasien direevaluasi pada bulan pertama dan
setelah bulan kedua atau ketiga. Saat kemajuan terapi mencapai hasil yang
tinggi, maka pemberian terapi secara bertahap dihentikan (penghentian
mendadak akan membahayakan secara psikologis) dengan mengurangi
terapi 1-2 kali perminggu, kemudian tiap 1 sampai 2 bulan dengan
reevaluasi pada bulan keenam dan kesepuluh.4
Terapi wicara (individu atau grup) untuk afasia pada umumnya dilaporkan
bermanfaat dan tidak merugikan pada pasien dengan etiologi nonprogresif
(stroke dan tumor otak yang sudah dikeluarkan). Terdapat kepercayaan
tradisional yang menyatakan pemulihan spontan yang bermakna selesai
dalam waktu 3-6 bulan post onset. Akan tetapi, studi terbaru pada evolusi
afasia berat dalam 2 tahun pertama postonset dengan catatan perbaikan
signifikan dalam fungsi komunikasi sampai 18 bulan, dengan perbaikan
terbesar terjadi pada 6 bulan pertama. 4
Adanya bermacam-macam tipe dari afasia mungkin memerlukan
pendekatan terapi serta cara komunikasi yang berbeda4:
1) Afasia Global lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan
anggota keluarga untuk komunikasi dengan penderita dari pada
peningkatan kemampuan bahasa dari penderita. Tehnik yang
digunakan:
Menggunakan suara dan ekspresi wajah.
Menunjuk benda-benda tertentu di lingkungannya untuk
memberi masukan visual

38

Menggunakan gerak-isyarat yang sederhana untuk suatu ide


(misalnya: menganggukkan kepala untuk ya, menggelengkan

kepala untuk tidak).


Gunakan tata bahasa yang sederhana, bicara pelan-pelan,

jangan mengubah topik terlalu cepat


2) Afasia Broca penanganan ditekankan kepada pengembangan
kemampuan mengeluarkan suara (sesukanya) sebagai alat
untuk mengekspresikan maksudnya (dapat dengan bantuan
gambar-gambar, foto-foto maupun cermin).
3) Afasia Wernicke
Pada permulaan ditekankan kepada peningkatan komprehensi
pendengaran dan umpan baliknya.
Mengembangkan kesadaran bahwa ada gangguan komunikasi.
Memperbaiki kualitas keluaran.
4) Afasia Konduksi ciri utamanya repetisi kata-kata yang berat
gangguannya.

Penanganannya

dengan

tehnik

mengurangi

kecepatan bicara, memperpanjang durasi fonem, belajar mengawali


bicara dengan mudah. Pasien dengan afasia konduksi sadar akan
kekeliruannya dan berusaha membetulkannya.
5) Afasia Anomik penanganannya ditekankan pada membangun
kembali asosiasi di antara kata-kata dengan cara :
Mengindividualkan kata-kata yang menjadi target.
Latihan memvisualkan kata-kata target.
Melatih memikirkan ciri-ciri fisik dari kata-kata target.
Melatih mencari sinonim kata dan definisi kata-kata target.
5. Terapi Khusus Lainnya :
Pasien membutuhkan pelayanan terapi pernafasan, konselor bagian
rahabilitasi, pekerja sosial, nutrisi, berbicara, guru pengajar khusus, terapi
rekreasi atau klinik.
Salah satu bentuk terapi yang dapat diberikan seperti terapi menelan.
5.1 Terapi Menelan
Beberapa bentuk terapi yang dapat dilakukan dalam melatih cara menelan
pada pasien yang mengalami permasalahan proses menelan, antara lainnya 4 :
5.1.1 Compensatory swallowing maneuver

39

Manuver menelan dirancang untuk menempatkan bagian tertentu


dari proses menelan normal dibawah kontrol volunter yang meliputi:
- Effortful swallow: bertujuan mem-perbaiki gerakan dasar lidah ke
arah posterior selama fase faringeal. Penderita diminta untuk
menelan dengan menggerakan lidah ke arah posterior secara kuat
untuk membantu perjalanan bolus melewati rongga faring.
- Supraglotic swallow: bertujuan menutup pita suara sebelum dan
selama proses menelan sehingga melindungi trakea dari aspirasi.
Makanan atau minuman di tempatkan dalam mulut, penderita
diminta untuk menarik napas dalam kemudian ditahan, lalu penderita
menelan 1-2 kali sambil tetap menahan napas, dan batuk dengan
segera setelah menelan.
- Super-supraglotic swallow: dirancang untuk menutup pintu masuk
jalan napas secara volunter dengan mengangkat kartilago aritenoid
ke anterior, ke bagian dasar dari epiglotis sebelum dan selama proses
menelan serta menutup erat pita suara palsu.
- Mandehlson maneuever: penderita diminta untuk merasakan adanya
sesuatu bergerak pada bagian dalam lehernya saat menelan,
kemudian melakukan proses menelan kembali (menggunakan dry
swallow atau dengan 1 ml air) tetapi diminta untuk menahan gerakan
tadi selama 3-5 detik, kemudian menelan dan rileks.
5.1.2 Teknik untuk memperbaiki oral sensory awareness
Terdapat beberapa jenis teknik yang meliputi:
1. Menekan sendok ke arah bawah melawan lidah saat pemberian
makanan ke dalam mulut.
2. Memberikan bolus dengan karakteristik sensorik tertentu, seperti
bolus dingin, bolus dengan tekstur tertentu, atau bolus dengan rasa
yang kuat seperti jus lemon
3. Memberikan bolus yang harus dikunyah sehingga proses
mengunyah tersebut akan memberikan stimulasi oral.
4. Memberikan volume bolus yang besar.

40

5. Thermal tactile stimulation (TTS) dengan melakukan gerakan


stroking pada arkus faringeus anterior. Stroking dilakukan
menggunakan kaca laring berukuran 00 (telah dimasukan dalan es
selama 10 detik) pada arkus faringeus anterior dari bagian dasar
ke arah atas sejauh yang bisa dijangkau. Terapi ini diangap bisa
memberikan stimulus sensorik ke batang otak dan korteks sehingga
saat penderita sudah mulai fase oral, maka fase faringeal akan
terpicu lebih cepat.
5.1.3 Stimulasi elektrikal
Neuromuscular electrical stimulation (NMES) bekerja dengan
memberikan stimulasi listrik pada otot-otot menelan lewat elektroda
yang ditempatkan di atas otot-otot tersebut. Beberapa studi tentang
penggunaan stimulasi listrik ini menunjukkan bahwa NMES
merupakan alternatif terapi yang efektif dan aman untuk penderita
disfagia serta dapat digunakan pada anak-anak. Penggunaan NMES
ini efektif pada disfagia akibat penyakit tertentu seperti stroke, kanker
pada kepala dan leher, serta multipel sklerosis.
5.1.4 Terapi latihan
Terapi

latihan

digunakan

untuk

me-nguatkan

otot-otot,

meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS) dan koordinasi dari mulut,


rahang, bibir, lidah, palatum, dan pita suara. Terapi latihan yang
biasanya digunakan antara lain: latihan LGS rahang, latihan penguatan
otot lidah, latihan adduksi pita suara, dan latihan metode Shaker.
5.1.5 Penyesuaian peralatan yang digunakan
Beberapa peralatan telah dibuat untuk membantu penderita
disfagia, termasuk penderita yang juga mengalami kelemahan
ekstremitas atas yang akan memengaruhi kemandirian penderita untuk
makan. Peralatan tersebut misalnya gelas dengan sedotan, nose cutout
cup, plate guard, sedotan, serta garpu dan sendok yang dimodifikasi.

6. Constraint Induced Treatment Program:


Yaitu cara penatalaksanaan digunakan pada paralysis yang terjadi setelah
terkena stroke dan injuri otak. Cara ini menjanjikan dapat meningkatkan

41

fungsi lengan pada seseorang rata rata setahun setelah terkena stroke.
Penatalaksanaan ini terdiri dari dua bagian2,3,5 :
A. Pertama : memaksa dengan lengan pasien yang tidak terkena ,
pasien menjaga lengannya dengan kain selendang atau sarung tangan
dengan lapisan empuk untuk mencegah penggunaan lengan.Hal ini
menganjurkan pasien untuk menggunakan lengan yang lemah
sebanyak mungkin.
B. Kedua : shaping part

yang menampilkan pergerakan tertentu

seseorang lebih dan lebih untuk sepanjang waktu. Fase ini dapat
mempertimbangkan pelajaran, belajar menggunakan kembali lengan.
Terapi akan menggunakan cara pergerakan khusus dan bersamaan
dengan pergerakan dalam tugas sehari hari seperti : mengancing
baju, mengutip koin, menulis untuk membantu mengingat yang baru
dipelajari.
7. Modalitas
Modalitas yang dapat digunakan dalam rehabilitasi pada pasien yang
mengalami TBI biasanya digunakan selepas dari perawatan di Rumah Sakit.
Namun, dapat pula digunakan ketika dalam masa perawatan yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya atropi otot atau penurunan massa otot yang
diakibatkan imobilisasi lama. Bentuk terapi modalitas yang dapat diberikan
2,3,5

:
Terapi Panas seperi sinar infrared atau hot packs untuk mengurangi
nyeri, relaksasi spasme otot superfisial dan meningkatkan aliran
darah superfisial. Micro Wave Diatherymy (MWD), Short Wave
Diathermy (SWD), Ultra Sound Diathermy (USD).
Terapi listrik atau Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation
(TENS) untuk menghilangkan nyeri dan spasme otot. atau NMES
(Neuromuscular Electrical Stimulation) yang tujuannya untuk
muscle strengthening dan cegah atrofi/mempertahankan massa dan
kekuatan otot
Teknik masase merupakan terapi fisik tertua dan termurah. Pada
indikasi dan teknik yang tepat, hasil trapeutik sangat nyata.

42

Digunakan untuk menghilangkan nyeri otot dan tendon, spasme


otot, adhesi jaringan kutan dan subkutan serta relaksasi.
Hidroterapi adalah terapi fisik dengan menggunakan sifat-sifat fisik
air. Manfaat air di dalam terapi latihan terlihat dari efek buoyancy
air yang akan mengurangi efek gravitasi pada bagian manapun dari
tubuh sehingga terdapat penurunan aktifitas tubuh dan latihan tidak
disertai rasa nyeri.
A. Terapi Medikamentosa2,4,11
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah
mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder
disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau
oleh karena kompresi jaringan otak. Pengatasan nyeri yang adekuat
juga direkomendasikan pada penderita cedera kepala.
Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut :
- A = Airway (jalan nafas)
Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan
mengeluarkan darah, gigi yang patah, muntahan, dsb. Bila
perlu lakukan intubasi (waspadai kemungkinan adanya
fraktur tulang leher)
- B = Breathing (pernafasan)
Pastikan pernapasan adekuat. Perhatikan frekuensi, pola
nafas dan pernafasan dada kanan dan kiri (simetris). Bila
ada gangguan pernafasan, cari penyebab apakah terdapat
gangguan pada sentral (otak dan batang otak) atau perifer
(otot pernafasan atau paru-paru). Bila perlu, berikan
oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target saturasi
O2>92%.
- C = Circulation (sirkulasi)
Pertahankan tekanan darah sistolik > 90 mmHg. Pasang
sulur intravena. Berikan cairan intravena drip, NaCl 0,9%

43

atau Ringer Laktat. Hindari cairan hipotonus. Bila perlu


berikan vasopresor dan inotropik.
- D = Disability
yaitu untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum
dengan pemeriksaan cepat status umum dan neurologi.
Tanda-tanda vital, GCS, pupil, pemeriksaan neorologis
cepat, luka-luka, anamnesa.
Penatalaksanaan lainnya:
1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk
mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu
manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntahmuntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus
dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
7. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu
banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer
dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran

rendah,

makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian


protein tergantung nilai urea N.
Tindakan terhadap peningktatan TIK
1. Pemantauan TIK dengan ketat.
2. Oksigenisasi adekuat.
3. Pemberian manitol.

44

4. Penggunaan steroid.
5. Peningkatan kepala tempat tidur.
6. Bedah neurologi
Tindakan pendukung lain
1. Dukungan ventilasi.
2. Pencegahan kejang.
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
4. Terapi anti konvulsan.
5. Klorpromazin untuk menenangkan pasien.
6. Pemasangan selang nasogastrik.
C. Terapi Bedah
X. Prognosis1,2
Memprediksi hasil keluaran dari TBI adalah hal yang sulit. Prognosis
dibatasi oleh langkah-langkah penilaian dan hasil yang relatif terukur. Glasgow
Skala Outcome telah digunakan di banyak hasil studi, tetapi terbatas kegunaa
klinisnya karena kategori yang sangat luas klasifikasi. faktor premorbid, seperti
usia, cedera otak sebelum, keadaan dan kesehatan kejiwaan, dan riwayat
penggunaan narkoba atau alkohol, mempengaruhi hasil akhir TBI. Hasil
dikaitkan dengan keparahan cedera yang diukur dengan GCS, lamanya kondisi
tidak sadar, atau amnesia pasca trauma. Pasien dengan komplikasi akut
hipoksia, lesi massa pada neuroimaging awal, dan masalah cardiopulmonary
cenderung memberikan hasil yang lebih buruk. Waktu pemulihan mungkin
jauh lebih jelas beberapa minggu, bukan beberapa hari, setelah cedera.
Dalam hal prognosis, mayoritas penderita TBI berat dengan gcs 8
memiliki kerusakan-kerusakan neurologis dan neuropsikologis yang berakibat
pada

kecacatan-kecacatan

fungsional. Waktu

yang

dibutuhkan

untuk

memperoleh penyembuhan neurologis maksimum dari TBI berat sekitar satu


tahun pada kasus-kasus besar, namun bisa jadi lebih lama dalam sebagian besar
cedera yang lebih parah.

45

Ketika menangani masalah prognosis, seseorang harus mengklarifikasi,


"Prognosis untuk apa?" Menilai peluang untuk ambulasi mandiri dengan atau
tanpa alat bantu atau kemandirian dalam kegiatan hidup sehari-hari jauh
berbeda dengan yang dapat kembali bekerja atau prognosis mengenai hidup
atau mati. Khususnya di kalangan pasien dengan pekerjaan profesional tingkat
yang lebih tinggi, bahkan penurunan kecil dalam kemampuan intelektual dapat
menghancurkan prestasi kerja. Di sisi lain, orang yang dipekerjakan dalam
pekerjaan fisik lebih (yaitu, konstruksi) mungkin jauh lebih dipengaruhi oleh
fisik daripada cacat kognitif.
XI. Komplikasi1,3,6,11
komplikasi-komplikasi

medik

utama

yang

dihadapi

dalam

masa

rehabilitasi cedera otak


1.

Spastisitas

Spastisitas yang diakibatkan oleh cedera otak memiliki banyak


kesamaan dengan spastisitas yang menyertai stroke. Meskipun spastisitas
bisa jadi menguntungkan, penurunan resiko thrombophlebitis dan pada
beberapa kasus membantu dalam hal fungsi, ia juga dapat menciptakan
deformitas impresif, rasa sakit, dan komplikasi-komplikasi medik lainnya.
2.

Epilepsi Post-traumatris

Diperkirakan bahwa sekitar 5% dari semua orang yang dirawat di


rumah sakit karena TBI akan mengembangkan serangan sisa, yang
didefinisikan sebagai serangan yang terjadi satu minggu atau lebih setelah
cedera. Akan tetapi, hadirnya faktor-faktor resiko tertentu dapat
meningkatkan probabilitas pembentukan serangan sisa atau epilepsi
posttraumatis/posttraumatic epilepsy (PTE).
3.

Hidrosefalus Posttraumatis

Hidrosefalus merupakan komplikasi dari cedera otak traumatis.


Abnormalitas fundamental dalam hidrosefalus adalah suatu keadaan yang
46

tidak seimbang dalam produksi dan absorpsi cairan serebrospinal (CSF).


Secara keseluruhan, kerusakan absorbsi ditemukan pada sebagian besar
kasus hidrosefalus.
4.

Kerusakan Syaraf Kranial

Kerusakan syaraf kranial merupakakn konsekuensi wajar cedera otak.


Kerusakan yang dihasilkan, seperti segala sesuatu yang berkaitan dengan
sensasi (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa) dan menelan, dapat
berakibat pada kerusakan lanjut fungsi pada pasien TBI.
Sembilan belas persen pasien yang diperiksa akhir-akhir ini pada suatu
penelitian multicenter memiliki kerusakan pada satu atau lebih syarafsyaraf kranial. Syaraf kranial VII (9% dari pasien) mengalami cedera
paling sering, diikuti oleh syaraf kranial III (6% dari pasien), yang paling
jarang mengalami cedera adalah syaraf kranial IX dan XI. Kerusakan pada
syaraf kranial II berakibat pada neuropati optik yang nampak sebagai
ketidakmampuan/kehilangan visual pada berbagai tingkatan. Cedera pada
sistem motor mata (misalnya, syaraf kranial III, IV dan VI) dapat terjadi
pada beberapa level, baik secara sentral dan perifer.
5.

Hipertermia Posttraumatis

Hipertermia merupakan kejadian wajar selama masa penyembuhan


dari trauma. Infeksi sebagai suatu penyebab hipertermia posttraumatis
yang paling mungkin, karena seorang penderita cedera otak mudah terkena
berbagai komplikasi seperti infeksi saluran kencing, pneumonia aspirasi,
dan atelectasis.
6.
Komplikasi

Komplikasi Paru-Paru
paru-paru

akut

akibat

dari

trauma

termasuk

pneumothorax, hemothorax, atelectasis, bacterial dan chemical pneumonia,


ventilasi mekanik yang lama dan neurogenic pulmonary edema (NPE).
Pneumonia merupakan komplikasi yang umum dari TBI. Lebih dari 80%
47

pasien TBI bertambah serangan pneumonia selama 7 hari pertama setelah


cedera. Pneumonia awal biasanya nosocomial.
7.

Komplikasi Gastrointestinal dan Nutritional

Insiden dyspaghia pada pasien TBI pada saat pemindahan ke


rehabilitasi sekitar 27%. stress gastritis dapat benar-benar terjadi pada
pasien TBI. Erosi superfisial mucosal

dapat meluas

sampai pada

muscularis mucosa, Pendarahan Gastrointestinal.


8.

Incontinence

Fecal incontinence menyertai cedera otak sangat umum, khususnya


pasien dengan gangguan kognitif yang signifikan.
9.

Thromboplebitis

Deep Venous thrombosis (DVT) diperkirakan terjadi pada 40%


sampai 54%dalam berbagai kasus yang menyertai trauma utama pada
kepala. Factor resiko penting bagi DVT cedera otak berikut ini termasuk
immobilitas/ tidak mengalami mobilitas, lemah otot, berkaitan dengan
retak tulang, trauma vascular secara langsung, dan catheterization venous.

DAFTAR PUSTAKA
1. Singh R and Michael W. Traumatic Brain Injury. In: Cooper G. Editors.
Essential Physical Medicine and Rehabilitation. Humana Press Inc.,
Totowa, NJ, 2006; p.1-33
2. Arif Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi ke-3. Jakarta:
Media Aesculalpius FKUI; 2000.
3. Japardi, I. 2004. Cedera Kepala. Jakarta: PT. Buana Ilmu Popular
4. PERDOSSI. 2006. Konsesus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan
Trauma Spinal. Jakarta: PERDOSSI
5. Mardjono, M. Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT. Dian
Rakyat
48

6. Lindsay, K.W., Bone, I. 1997. Neurology and Neurosurgery Illustrated.


UK: Churcill Livingstone
7. Lane R. et al. Psychosom Med. Philadelphia: Lippincott Williams &
Walkins; 2009.
8. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Edisi ke-3. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama; 1998.
9. Rowland, L.P. 1995. Merritts Textbook of Neurology Ninth Edition. USA:
William and Wilkins
10. Victor, M., Ropper, A. H., & Adams, R. D. (2001).Adams and Victor's
principles of neurology. New York: Medical Pub. Division, McGraw-Hill.
11. Coats, T. J. (2004). NICE head injury guidelines. Emergency Medicine
Journal, 21(4), 402402.
12. Christoph Gutenbrunner, et all. White Book On Physical And
Rehabilitation Medicine In Europe. Section of Physical and Rehabilitation
Medicine, Union Europenne des Mdecins Spcialistes (UEMS),
European Board of Physical and Rehabilitation Medicine. 2006. P. 36-37
13. Takata, S. & Yasui, N. 2007. The Effect of Bedrest on Various Parameters
of Physiological Function. The journal of medical investigation,
Department of Orthopedic Surgery, The University of Tokushima School
of Medicine, Tokushima, Japan.
14. Cuccurullo, Sara . Physical Medicine and Rehabilitation Board Review.
Department of Physical Medicine and Rehabilitation University of
Medicine and Dentistry of New Jersey Robert Wood Johnson Medical
School. Demos Medical Publishing, 386 Park Avenue South, New York,
New York. 2006. p.47-76
15. Miller RM, Groher M, Yorkston KM, Rees TS, Palmer JB. Speech,
language, swallowing and auditory rehabilitation. In: Delisa JA, Gans
BM, Walsh NE. editors. Physical Medicine and Rehabilitation, Principle
and Practise, Volume 1 (Fourth Edition). Philadelphia: Lippincot Williams
and Wilkins, 2005; p. 1025-50.
16. Whyte J, Hart T, Laborde A, Rosenthal M. Rehabilitation Issues in
Traumatic Brain Injury. In Physical Medicine and Rehabilitation:
Principles and Practice, Ed. 4. Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins. 2004, 1677-1714.
17. J, Hart T, Laborde A, Rosenthal M. Rehabilitation Issues in Traumatic
Brain Injury. In Physical Medicine and Rehabilitation: Principles and
Practice, Ed. 4. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins. 2004, 16771714.

49

Anda mungkin juga menyukai