Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama di dunia

oada tahun 2011. Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit

ini mentebabkan 1,7 juta kematian pada tahun 2011, hal ini menunjukan

bahwa 3 dari 10 kematian di dunia disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.

Bahkan WHO mempreksiksi akan terjadi peningkatan kemrian akibat penyakit

kardiovaskular dari 17 juta jiwa menjadi 23,4 juta jiwa pada tahun 2030. Pada

tahun 2004 penyakit jantung iskemik menyebabkan 7,2 juta (12%) kematian

dari seluruh penyebab kamatian di dunia.


Prevalensi penyakit kardiovaskular di Indonesia sebanyak 7,2% dengan angka

kematain sebesar 5,1% pada Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun

2007. Pada Intensive Coronacy Care Unit (ICCU) Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo pada tahun 2011, mortalitas salah satu penyakitjantung

iskemik yaitu sindrom koroner akut selama menjalani perawatan sebesar

17,5%. Data tersebut menunjukan bahwa sindrom koroner akut berhubungan

dengan kejadian kematian.


Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kondisi mengancam nyawa yang

bisa terjadi setiap saat pada pasien dengan penyakit jantung koroner. SKA

terdiri dari Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS), Infark Miokard tanpa ST

elevasi (NSTEMI) dan Infark Miokard dengan ST Elevasi (STEMI), dimana

bentuk dari SKA tersebut bergantung pada derajat oklusi arteri koroner dan

berhubungan dengan kejadian iskemia. Oklusi trombus parsial berhubungan

dengan sindrom APTS dan NSTEMI. Sedangkan oklusi trombus total

1
berhubungan dengan iskemia berat dan terjadinya nekrosis yang luas yang

bermanifestasi sebagai STEMI.


Dalam hal ini untuk dapat menegakan diagnosa dan penatalaksanaan yang

tepat di perlukan pemeriksaan penunjang. Dari kriteria WHO didapatkan dua

atau lebih dari tiga kriteria pemeriksaan yaitu adanya nyeri dada yang menjadi

keluhan utama, perubahan elektrocardiografi (EKG), dan peningkatan kadar

biokimia. Awal perkembangan cardiac marker pada pemeriksaan biokimia

darah digunakan untuk mendeteksi Infark Miokard Akut (IMA) dengan

menggunakan enzim jantung Aspartate Aminotransfarse/SGOT dan Lactate

Dehydrogenase/LDH terjadi perkembangan dalam pemeriksaan sehingga

digunakan Creatine Kinase yaitu merupakan cytosolic carrier protein berperan

dalam metabolisme energi dengan mengkatalisis reaksi transfer high energy

phosphate asal ATP. Marker lainnya yaitu CK-MB, Troponin, Mioglobin,

HFABP.

BAB II

PEMBAHASAN

2
2.1 Landasan Teori

2.1.1 Sindrom Koroner Akut

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu kondisi mengancam nyawa

yang bisa terjadi setiap saat pada pasien dengan penyakit jantung koroner. SKA

terdiri dari Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS), Infark Miokard tanpa ST elevasi

(NSTEMI)+ dan Infark Miokard dengan ST elevasi (STEMI). Lebih dari 90%

SKA terjadi karena adanya disrupsi dari plak aterosklerosis yang diikuti agregasi

trombosit sehingga terbentuk trombus pada pembuluh darah koroner.

Pembentukan trombus pada daerah yang sempit menyebabkan terjadinya oklusi

pada pembuluh darah sehingga terjadi ketidakseimbangan antara suplai oksigen

dan kebutuhan oksigen (iskemik)+

Bentuk dari SKA bergantung pada derajat oklusi arteri koroner dan

hubungannya dengan kejadian iskemia. Oklusi dari trombus parsial berhubungan

dengan sindrom APTS dan infark miokard tanpa elevasi segmen ST, dimana

perbedaan keduanya adalah ada atau tidaknya peningkatan penanda serum jantung

seperti CKMB dan Troponin T pada darah, sedangkan oklusi trombus total

berhubungan dengan iskemia berat dan terjadinya nekrosis luas yang

bermanifestasi sebagai infark miokard dengan elevasi segmen ST. Pembentukan

trombus pada SKA merupakan interaksi antara plak ateroskeloris endotel

pembuluh darah, sirkulasi trombosii dan tonus vasomotor dinamik dinding

pembuluh darah yang merupakan dasar mekanisme keadaan trombosis

3
Gambar 2.1 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut

Kejadian SKA bermula dari adanya cedera pada endotel arteri normal

sehingga mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel. Adanya disfungsi pada

endotel mengakibatkan terjadinya peningkatan permeabilitas diikuti inisiasi dan

akumulasi dari lipid ekstra seluler pada lapisan intima. Kemudian akumulasi lipid

ekstraseluler berkembang menjadi lipid ekstraseluler termodifikasi (mLDL)

sehingga akan menginduksi pengeluaran sitokin pro-inflamasi ke intima. mLDL

dan sitokin pro inflamasi menginduksi ekspesi kemokin, salah satunya Monocyte

Cemoattracant Protein-1 (MCP-1)+ sehingga monosit datang da masuk ke intima

dalam bentuk makrifag. Makrofag akan menempel pada reseptor scavenger dan

membentuk foam cell. Kemudiansel otot polos yang berada di tunika media akan

berimigrasi juga ke tunika intima sehingga terjadi pembelahan di tunika intima.

Sel otot polos ini senantiasa membelah dan memproduksi matriks ekstraseluler

sehingga terjadi akumulasi matriks ekstraseluler pada aterosklerosis (fibrous cap).

Sindrom koroner akut terjadi ketika plak mengandung banyak lipid, akumulasi

makrifag, dan menipisnya fibrous cap mengakibatkan plak tersumbat rentan

(vulnerable plaque)+ untuk mengalami disrupsi. Pada saat terjadi disrupsi pada

plak yang rentan, pembuluh darah akan mengalami iskemia hasil dari

berkurangnya aliran darah ke arteri koroner. Berkurangnya aliran darah ke arteri

4
koroner bisa disebabkan oleh trombus oklusi total atau trombus oklusi subtotal.

Sehingga akan bermanifestasi kepada sindrom koroner.

2.2 SGOT

SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase ) atau juga dinamakan

AST (Aspartat Aminotransferase ) merupakan enzim yang dijumpai pada otot

jantung dan hati, sementara pada kosentrasi sedang dapat dijumpai pada otot

rangka, ginjal dan pankreas. Konsetrasi rendah dijumpai dalam darah, jika tarjadi

cedera seluler, kemudian dalam jumlah banyak dilepaskan dalam

sirkulasi.Pelepasan enzim yang tinggi dalam serum menunjukan adanya kerusakan

terutama pada jaringgan jantung dan hati.

SGOT/AST serum umumnya diperiksa secara fotometri spektrofotometri, semi

otomatis menggunakan fotometer atau spektrofotometer atau secara otomatis

menggunakan chemistri analyzer

SGOT dalam darah meninggi biasanya karena adanya hemolisis dan pada bayi

baru lahir. Kenaikan 10-100 kali lipat dari normal bila terjadi infark yang

disebabkan oleh otot jantung, hepatitis yang disebabkan oleh sel hati karena

keracunan dan sirkulasi darah terganganggu sehingga terjadinya shock atau

hipoksemia.

Nilai normal SGOT/AST : 10-40 U/L

Laki-laki: s/d 37 U/L

Perempuan: s/d 31 U/L

Nilai rujukan untuk SGOT/AST

5
laki-laki : 0-50 U/L

perempuan : 0-35 U/L

Kondisi yang meningkat SGOT

a. Peningkatan tinggi (> 5 kali nilai normal) : kerusakan hepatoseluler akut, infark

miokard,kolaps sirkulasi, pankreatitis mononukleosis infeksiosa

b. Peningkatan sedang (3-5 kali nilai normal) : obstruksi saluran empedu, aritmia

jantung,gagal jantung kongestif, tumor hati (metastasis atau primer) distrophia

muscularis

c. Peningkatan ringan (sampi 3 kali normal) perikaritis, sirosis, infark, paru,

delirium tremeus, cerebvascular accident (CVA).

2.3 Laktat Dehidrogenase (LDH)

Laktat dehidrogenase (LDH) adalahenzimintrasesuler yang terdapat pada

hamper semua sel yang bermetabolisme, dengan konsentrasi tertinggi yang di

temukan di jantung, otot rangka, hati, ginja, otak dan sel darah merah.

Peningkatan LDH di temukan pada infark miokard akut, CVA, kanker, leukemia

akut, infark pulmonal akut. Laktat dehydrogenase mengkatalisis proses reduksi

piruvat menjadi laktat dan menghasilkan NADH. Reaksi ini berlangsung di

sitosol. AktifitasLDH dapat di periksa dengan menggunakan metode floumeter

dan kolori meter dengan menggunakan spektro fotometer. Pada metode kolori

meter yang di ukur adalah jumlah perubahan kosentrasi NADH. Hasil

pengukuran di nyatakan dengan U/L yang setara dengan (mol/menit dari reaksi

NADH per liter sampel yang diukur).

6
Tujuan pemeriksaan

 Untuk mendiagnosis kerusakan otot miokardium atau otot rangka

 Untuk membandingkan temuan uji dengan uji enzim jantung lainnya

 Untuk membandingkan temuan uji isoenzim LDH, guna menentukan

keterlibatan organ

Hasil pemeriksaan

Kadarnya meningkat 8 jam setelah kejadian infark, mencapai puncak 24-

48 jam kemudian, Kadarnya menurun setelah hari ke 7-12. Nilai rujukan dewasa

LDH total : 100-190 IU/1, 70-250 U/I. Kadar dapat berbeda berdasarkan metode

yang digunakan. Anak (bayi baru lahir) 300-1500 IU/1.

2.4 CK-MB

Kreatin Kinase (CK) merupakan enzim yang ditemukan otot jantung dalam

konsentrasi tinggi pada otot jantung dan otot rangka dan dalam konsentrasi

rendah pada jaringan otak. CKMB adalah enzim jantung yaitu Creatine Kinase

(CK) yang disusun oleh subunit M dan B. CK berperan sebagai pengatur produksi

fosfat berenergi tinggi dan pemanfaatannya untuk kontraksi jantung.

Secara umum, Creatine Kinase berperan sebagai perantara ikatan fosfat

berenergi tinggi melalui kreatin fosfat dari mitokondria ke sitoplasma. Sehingga

ensim ini terdapat pada jaringan yang memiliki kebutuhan energi yang tinggi

seperti di otot jantung.

7
CKMB banyak ditemukan di otot jantung, sehingga total serum Creatine

Kinase dan konsentrasi CKMB meningkat ketika terjadi cedera pada miokardium,

namun CKMB lebih spesifik pada cedera miokardium dibandingkan CK.

Kadar CKMB normal adalah

Dewasa

 Pria : 30 – 180 IU/I, 55-170 u/l pada suhu 37°c


 Wanita : 25 – 150 IU/I, 30 – 135 U/I pada suhu 37°c

Anak

 Neonatus : 65 – 580 IU/l pada suhu 30°c


 Anak laki – laki : 0 – 70 IU/l pada suhu °c
 Anak perempuan : 0 – 50 IU/l pada suhu °c

CKMB akan meningkat dalam 3-6 jam setelah terjadi serangan jantung.

Mencapai puncak dalam 12 – 24 jam, dan kembali normal dalam 48 – 72 jam.

Selain karena serangan jantung, CKMB yang tinggi disebabkan oleh MCI akut,

angina pektoris, iskemia, jantung gagal jantung dan trauma pada otot jantung.

2.5 Troponin I

Troponin adalah suatu protein regulator yang terdapat pada filamen tipis

aparatus kontraktil otot bergaris. Terdiri dari 3 subunit, yaitu troponin T (39 kDa),

troponin I (26 kDa), dan troponin C (18 kDa). Tiap-tiap komponen troponin

memainkan fungsi yang khusus. Troponin C mengikat Ca2+ , troponin I

menghambat aktivitas ATPase aktomiosin dan troponin T mengatur ikatan

troponin pada tropomiosin.

Setiap subunit troponin mempunyai berbagai isoform tergantung pada tipe otot

dan dikode oleh sebuah gen yang berbeda. Isoform yang spesifik kardiak dan otot

8
bergaris diekspresikan pada otot jantung dan otot bergaris pada dewasa. Struktur

asam amino troponin T dan I yang ditemukan pada otot jantung berbeda dengan

struktur troponin pada otot skeletal, sedangkan struktur troponin C pada otot

jantung dan skeletal identik. Subunit troponin T (TnT) dan troponin I (TnI)

mempunyai isoform jantung, slow and fast twitch skeletal.

Susunan asam amino subunit TnT isoform fast twitch pada otot skeletal dan

isoform jantung berbeda. Perbedaan isoform tersebut terletak pada residu asam

amino 6-11. Sedangkan isoform slow twitch skeletal TnT diduga identik dengan

isoform jantung, sehingga sering terjadi reaksi silang. TnI mempunyai 3 isoform

yaitu 1 isoform jantung dan 2 isoform otot skeletal (masing-masing 1 isoform

slow-twitch dan fast twitch otot skeletal). Ketiga bentuk isoform TnI tersebut

dikode oleh 3 gen yang berbeda.

Isoform otot jantung TnI menunjukkan perbedaan 40% dengan isoform TnI

otot skeletal. Manusia mempunyai 31 gugus asam amino yang membentuk TnI

dengan gugus terminal N-nya tidak ditemui pada isoform TnI otot skeletal.

Perbedaan asam amino tersebut dipakai sebagai dasar untuk pembuatan reagen

yang spesifik untuk otot jantung.

2.5.1 Troponin sebagai Petanda Biokimia

Pada SKA Kinetika Pelepasan Troponin Setelah Jejas Miokard Ketika terjadi

iskemia miokard, maka membran sel menjadi lebih permeabel sehingga

komponen intraseluler seperti troponin jantung merembes ke dalam interstitium

dan ruang intravaskuler. Protein ini mempunyai ukuran molekul yang relatif kecil

dan terdapat dalam 2 bentuk.

9
Sebagian besar dalam bentuk troponin komplek yang secara struktural

berikatan pada miofibril serta tipe sitosolik sekitar 6-8% pada cTnT dan 2,8-4,1%

pada cTnI.Ukuran molekul yang relatif kecil dan adanya bentuk troponin komplek

dan bebas ini akan mempengaruhi kinetika pelepasannya.

Akan terjadi pelepasan troponin dini segera setelah jejas iskemia, diikuti oleh

pelepasan troponin miofibriler yang lebih lama, yang menyebabkan pola

pelepasan bifasik yang terutama terjadi pada troponin T (cTnT). Sedangkan pada

troponin I (cTnI) karena jumlah troponin sitosoliknya lebih kecil kemungkinan

pelepasannya monofasik. Kadar cTnT mulai meningkat 3-5 jam setelah jejas dan

tetap meningkat selama 14-21 hari. Kadar cTnI mulai meningkat 3 jam setelah

terjadi jejas dan tetap meningkat selama 5-7 hari. Kadar kedua troponin mencapai

puncak 12- 24 jam setelah jejas.

Troponin jantung dapat diukur sebagai unit bebas (misalnya cTnI atau cTnT)

dan dilepas selama stadium dini IMA atau sebagai bagian dari komplek (misalnya

sebagai komplek tersier cTnT-I-C atau komplek biner cTnI-C dan cTnT-I), karena

secara struktural berikatan satu dengan lainnya.

2.5.2 Cardiac Troponin I (cTnI)

Troponin I hanya petanda terhadap jejas miokard, tidak ditemukan pada otot

skeletal selama pertumbuhan janin, setelah trauma atau regenerasi otot skeletal.

Troponin I sangat spesifik terhadap jaringan miokard, tidak terdeteksi dalam darah

orang sehat dan menunjukkan peningkatan yang tinggi di atas batas atas pada

pasien dengan IMA.

Troponin I lebih banyak didapatkan pada otot jantung daripada CKMB dan

sangat akurat dalam mendeteksi kerusakan jantung. Troponin I meningkat pada

10
kondisi-kondisi seperti myokarditis, kontusio kardiak dan setelah pembedahan

jantung. Adanya cTnI dalam serum menunjukkan telah terjadi kerusakan miokard.

Troponin I mulai meningkat 3 sampai 5 jam setelah jejas miokard, mencapai

puncak pada 14 sampai 18 jam dan tetap meningkat selama 5 sampai 7 hari.

Troponin I mempunyai sensitivitas 100% pada 6 jam setelah IMA. Troponin I

adalah petanda biokimia IMA yang ideal oleh karena sensitivitas dan

spesifisitasnya serta mempunyai nilai prognostik pada ATS.

Petanda biokimia ini tidak dipengaruhi oleh penyakit otot skeletal, trauma otot

skeletal, penyakit ginjal atau pembedahan. Spesifisitas cTnI terutama sangat

membantu dalam mendiagnosis pasien dengan problem fisik yang kompleks.

Kekurangan cTnI adalah lama dalam serum, sehingga dapat menyulitkan adanya

re-infark.

Tetapi dari sudut lain adanya peningkatan yang lama ini, berguna untuk

mendeteksi infark miokard jika pasien masuk rumah sakit beberapa hari setelah

onset nyeri dada menggantikan peran isoenzim LDH.

2.5.3 Metode Pemeriksaan Troponin

Uji troponin bisa dilakukan secara kualitatif atau kuantitatif dengan metode

yang beragam. Cara uji yang relatif simpel dan banyak digunakan adalah secara

kualitatif dengan metode imunokromatografi. Contoh uji troponin adalah

Tropospot-I, yaitu suatu uji imunokromatografi in vitro untuk menentukan secara

kualitatif cTnI pada serum manusia sebagai alat bantu diagnosis IMA. Jika sampel

serum ditambahkan pada sample pad, maka sampel serum akan bergerak melalui

konjugasi dan menggerakkan konjugasi anticTnI emas yang melapisi pad

konjugasi.

11
Campuran bergerak di antara membran secara kapilari dan bereaksi dengan

antibodi anti-cTnI yang dilapisi pada daerah uji. Kadar cTnI >1,0 ng/mL

menyebabkan terbentuknya pita berwarna pada daerah uji. Tidak adanya cTnI

dalam serum sampel membuat daerah tersebut tetap tak berwarna. Sampel terus

bergerak ke arah kontrol dan membentuk warna pink sampai ungu, menunjukkan

uji yang valid.

Melakukan prosedur uji tersebut, peralatan dan spesimen harus pada suhu

ruangan (sampel sebaiknya baru dan bila disimpan di pendingin, harus ditunggu

sampai tercapai suhu ruangan). Sampel diteteskan secara vertikal pada sumur

sampel sebanyak 2-3 tetes (100-150 ul). Hasil dibaca antara 5 sampai 15 menit.

Interpretasi meliputi positif dan valid bila 2 pita warna tampak dalam 15 menit

(hasil tes dapat dibaca segera setelah pita warna tampak pada area tes); negatif

bila area tes tanpa pita warna dan area kontrol tampak pita warna dan invalid, jika

tak terbentuk pita warna pada regio kontrol.

2.6 Troponin T

Kemampuan untuk mengukur protein kontraktil (troponin) adalah tonggak

sejarah dalam diagnosis jejas miokard. Saat ini troponin (T atau I) adalah pertanda

biokimia yang lebih dipilih untuk jejas miokard. Troponin memperbaiki CK_MB

dalam spesifisitas, sensitivitas dan lebih lamanya time window untuk mendeteksi

kejadian kardiak. Penjelasan tentang peran troponin pada diagnosis IMA akan

diuraikan lebih lanjut.

2.6.1 Struktur Troponin T

12
Troponin adalah suatu protein regulator yang terdapat pada filament tipis

apartus kontraktil otot bergaris. Terdiri dari 3 subunit, yaitu troponin T (39kDa),

troponin I (26kDa), dan toponin C (18 kDa).

Tiap-tiap komponen troponin memainkan fungsi yang khusus. Troponin T

mengatur ikatan troponin pada tropomiosin. Troponin C mengikat Ca2+ dan

troponin I menghambat aktivitas ATPase aktomiosin. Setiap subunit troponin

mempunyai berbagai isoform tergantung pada tipe otot dan dikode oleh sebuah

gen yang berbeda.

Isoform yang spesifik kardiak dan otot bergaris diekspresikan pada otot dan

dikode oleh sebuah gen yang berbeda. Isoform yang spesifik kardiak dan otot

bergaris diekspresikan pada otot janung dan otot bergaris pada deawasa. Struktur

asam amino troponin T dan I yang ditemukan pada otot jantung berbeda dengan

struktur troponin pada otot skeletal, sedangkan struktur troponin C pada otot

jantung dan steletal identik.

Subunit troponin T (TnT) dan troponin I (TnI) mempunyai isoform jantung,

slow and fast twitch skeletal. Susunan asam amino subunit TnT isoform fast

13
twitch pada otot skeletal dan isoform jantung berbeda. Perbedaan isoform tersebut

terletak pada residu asam amino 6-11. Sedangkan

isoform slow twitch skeletal TnT diduga identik dengan isoform jantung,

sehingga sering terjadi reaksi silang. TnI mempunyai 3 isoform yaitu 1 isoform

jantung dan 2 isoform otot skeletal (masing-masing 1 isoform slow-twitch dan

fasttwitch otot skeletal). Ketiga bentuk isoform TnI tersebut dikode oleh 3 gen

yang berbeda. Isoform otot jantung TnI menunjukkan perbedaan 40% dengan

isoform TnI otot skeletal. Manusia mempunyai 31 gugus asam amino yang

membentuk TnI dengan gugus terminal N-nya tidak ditemui pada isoform TnI otot

skeletal. Perbedaan asam amino tersebut dipakai sebagai dasar untuk pembuatan

reagen yang spesifik untuk otot jantung.

2.6.2 Troponin dan Regulasi Kontraksi Otot

Pada tahun 1960-an telah dihipotesiskan bahwa kontraksi otot bergaris diatur

oleh komplek protein khusus yang berlokasi pada filament aktin yang disebut

tropomiosin.

Tropomiosin terdiri dari 2 bagian yaitu tropomiosin dan troponin. Dalam setiap

sel otot (miosit) terdapat ribuan elemen kontraktil yang disebut sarkomer.

Sarkomer satu dengan yang lain dipisahkan oleh suatu pita gelap yang disebut pita

Z. Tiap sarkomer mengandung protein aktin, miosin, troponin dan tropomiosin.

Protein aktin adalah filamen tipis (struktur mirip benang) yang memanjang dari

pita Z ke arah pusat sarkomer. Protein miosin adalah filamen tebal, dengan pusat

sarkomer dan filamen aktin yang tumpang-tindih. Kontraksi otot terjadi saat

filamen aktin terdorong kearah pusat filament miosin. Ketika terjadi hal demikian,

pita Z ditarik saling menutup satu dengan lainnya dan otot memendek.3 Proses

14
kontraksi dikontrol oleh 2 protein, yaitu troponin komplek 3 protein dan

tropomiosin yang menempel pada filamen aktin. Pada relaksasi sarkomer, tempat

ikatan pada filamen aktin ditutup oleh tropomiosin, yang mengubahnya menjadi

tidak aktif.

Dengan adanya kalsium, troponin menggeser tropomiosin dari tempat ikatan

aktin. Tempat ini berikatan dengan tonjolan (kepala miosin) dari molekul miosin.

Setiap terjadi ikatan terbentuk jembatan silang. Kepala miosin dari jembatan

silang dipakai dan dilepas dari tempat ikatan aktin. Kepala dimiringkan ke

belakang dan seterusnya (power stroke) dan berjalan langkah demi langkah

mendekati filamen aktin, menariknya ke arah pusat dari filamen miosin. Teori

kontraksi ‘Walk along’ berasal dari fenomena ini. Jembatan silang yang terbentuk

lagi, akan memperbesarkekuatan kontraksi.

Tropinin sebagai petandan niokimia pada SKA. ketika pelepasan troponin setelah

jejas miokard. Ketika terjadi iskemia miokard, maka membran sel menjadi lebih

permeabel sehingga komponen intraseluler seperti troponin jantung merembes ke

dalam interstitium dan ruang intravaskuler. Protein ini mempunyai ukuran

molekul yang relatif kecil dan terdapat dalam 2 bentuk. Sebagian besar dalam

bentuk troponin komplek yang secara struktural berikatan pada miofibril serta tipe

sitosolik sekitar 6-8% pada cTnT dan 2,8-4,1% pada cTnI.

13,15 Ukuran molekul yang relatif kecil dan adanya bentuk troponin komplek

dan bebas ini akan mempengaruhi kinetika pelepasannya.15 Akan terjadi

pelepasan troponin dini segera setelah jejas iskemia, diikuti oleh pelepasan

troponin miofibriler yang lebih lama, yang menyebabkan pola pelepasan bifasik

yang terutama terjadi pada troponin T (cTnT).

15
Sedangkan pada troponin I (cTnI) karena jumlah troponin sitosoliknya lebih

kecil kemungkinan pelepasannya monofasik. Kadar cTnT mulai meningkat 3-5

jam setelah jejas dan tetap meningkat selama 14-21 hari. Kadar cTnI mulai

meningkat 3 jam setelah terjadi jejas dan tetap meningkat selama 5-7 hari. Kadar

kedua troponin mencapai puncak 12- 24 jam setelah jejas.

Troponin jantung dapat diukur sebagai unit bebas (misalnya cTnI atau cTnT)

dan dilepas selama stadium dini IMA atau sebagai bagian dari komplek (misalnya

sebagai komplek tersier cTnT-I-C atau komplek biner cTnI-C dan cTnT-I), karena

secara structural berkaitan satu dengan yang lainnya.

2.6.3 Cardiac Troponin T (cTnT)

Troponin T ditemukan pada otot skeletal dan jantung selama pertumbuhan

janin. Troponin T juga didapatkan selama jejas otot, pada penyakit otot (misal

polimiositis), regenerasi otot, gagal ginjal kronik. Hal ini dapat mengurangi

spesifisitas troponin T terhadap jejas otot jantung.3 Setelah jejas miokard

peningkatan kadar cTnT terdeteksi kira-kira bersamaan dengan CK-MB, dengan

kadar yang dapat dideteksi 3 sampai 4 jam setelah IMA.

Troponin T tetap meningkat kira-kira 4-5 kali lebih lama daripada CKMB,

karena sustained release protein yang secara structural berikatan dengan miofibril

yang mengalami desintegrasi, dengan kadar yang masih dapat dideteksi hingga

240 jam setelah IMA.1,6 Peningkatan yang lama dari cTnT akan mengganggu

diagnosis perluasan IMA atau adanya re-infark.

Pemeriksaan kadar cTnT mempunyai sensitivitas sampai 100% terhadap

kerusakan miokard dalam 4-6 jam setelah IMA. Spesifisitas cTnT dalam diagnosis

IMA tinggi, tetapi terdapat faktor yang dapat mengurangi spesifisitasnya.

16
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cTnT dilepas dari sel-sel miokard pada

ATS, sehingga mengurangi spesifisitas untuk diagnosis IMA.

Hal lain yang dapat mengurangi spesifisitasnya adalah gen untuk cTnT

ditemukan pada otot skeletal selama pertumbuhan janin. Selama jejas otot dan

regenerasinya, otot skeletal nampaknya kembali ke keadaan janin, yang melepas

cTnT dalam darah. Peningkatan kadar cTnT ditemukan pada gagal ginjal kronik,

kemungkinan disebabkan oleh myopati akibat gagal ginjal kronik.

Sensitivitas dan Spesifitas Uji Troponin

Penelitian tentang sensitivitas dan spesifisitas cTnT dan cTnI untuk diagnosis

IMA dan mendeteksi jejas miokard telah banyak dilakukan, dengan hasil yang

bervariasi. Untuk diagnosis IMA, secara umum sensitivitas dan spesifisitas

troponin dan CK-MB menunjukkan hasil yang mirip, sedangkan untuk

mendeteksi jejas miokard troponin lebih sensitif dan spesifik dibanding CK-MB.

Penelitian menunjukkan, CK-MB meningkat pada semua pasien dengan

diagnosis IMA, sedangkan cTnT meningkat pada semua pasien IMA serta

beberapa pasien ATS.6 Penelitian lain menunjukkan Sensitivitas cTnT untuk

diagnosis IMA dalam 3 jam pertama nyeri dada mirip dengan CK-MB.

Sensitivitas pemeriksaan troponin T meningkat (100%) dalam 4 sampai 6 jam

setelah onset nyeri. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa spesifisitas uji cTnI

jauh lebih besar dibanding uji CK-MB.

Uji cTnI lebih spesifik dan sama sensitifnya dengan uji CK-MB dalam

diagnosis IMA dalam 7-14 jam setelah onset nyeri.3 Penelitian klinik lain telah

menunjukkan perbaikan Sensitivitas dan spesifisitas terhadap troponin T dan I

dibanding CK-MB. Mayr et al2 menunjukkan bahwa pasien dengan IMA

17
didapatkan peningkatan cTnI yang lebih awal daripada CKMB. Penelitian lain

mengevaluasi efek kardioversi pada kadar CK-MB dan cTnI dan menunjukkan

peningkatan kadar CK-MB setelah kardioversi, sedangkan cTnI tidak terpengaruh

Pada penelitian yang melibatkan 170 pasien yang masuk RS dengan dugaan

IMA, kemudian dilakukan pemeriksaan kadar troponin. Dengan menggunakan cut

off untuk kedua troponin sebesar 0,1 μg/L, didapatkan hasil, setelah 4-8 jam

masuk RS sensitivitas cTnT dan cTnI berturut-turut adalah sebesar 99% dan 96%

serta spesifisitasnya berturut-turut sebesar 78% dan 88%.15 Sedangkan

Zimmerman et al1 meneliti 955 pasien dengan nyeri dada yang diduga nyeri

iskemik, yaitu pasien dengan lama nyeri dada minimal 15 menit dan berusia >21

tahun.

Dari total 955 pasien tersebut, didapatkan 119 pasien dengan diagnosis IMA

(didasarkanpada gejala klinis dan hasil pemeriksaan CK-MB mass >7 ng/ mL dan

rasio CK-MB mass : CK >2,5% pada >2 sampel dalam 24 jam pertama onset

nyeri dada). Dengan menggunakan cut off untuk cTnT sebesar 0,1 ng/mL dan

cTnI sebesar 1,5 ng/ mL, setelah onset gejala 10 jam, didapatkan nilai sensitivitas

cTnT dan cTnI berturut-turut sebesar 87% dan 96%, sedangkan spesifisitasnya

sebesar 93% untuk keduanya.

Untuk mendeteksi adanya jejas miokard, troponin terbukti lebih spesifik dan

sensitif dibanding CK-MB. Troponin secara konsisten tetap sebagai faktor risiko

independen, meskipun gejala, perubahan EKG dan faktor risiko tradisional lain

disertakan. Rekomendasi ACC/AHA 2001 untuk stratifikasi risiko dini terfokus

pada EKG dan petanda biokimia, menyatakan bahwa troponin spesifik jantung

adalah preferrable sedangkan CK-MB acceptable. Juga direkomendasikan bahwa

troponin berguna sebagai single test untuk

18
Metode Pemeriksaan Troponin

Uji troponin bisa dilakukan secara kualitatif atau kuantitatif dengan metode

yang beragam. Cara uji yang relative simpel dan banyak digunakan adalah secara

kualitatif dengan metode imunokromatografi. Contoh uji troponin adalah

Tropospot-I, yaitu suatu uji imunokromatografi in vitro untuk menentukan secara

kualitatif cTnI pada serum manusia sebagai alat bantu diagnosis IMA. Jika sampel

serum ditambahkan pada sample pad, maka sampel serum akan bergerak melalui

konjugasi dan menggerakkan konjugasi anticTnI emas yang melapisi pad

konjugasi.

Campuran bergerak di antara membran secara kapilari dan bereaksi dengan

antibodi anti-cTnI yang dilapisi pada daerah uji. Kadar cTnI >1,0 ng/mL

menyebabkan terbentuknya pita berwarna pada daerah uji. Tidak adanya cTnI

dalam serum sampel membuat daerah tersebut tetap tak berwarna. Sampel terus

bergerak ke arah kontrol dan membentuk warna pink sampai ungu, menunjukkan

uji yang valid.31 Melakukan prosedur uji tersebut, peralatan dan specimen harus

pada suhu ruangan (sampel sebaiknya baru dan bila disimpan di pendingin, harus

ditunggu sampai tercapai suhu ruangan).

Sampel diteteskan secara vertikal pada sumur sampel sebanyak 2-3 tetes (100-

150 ul). Hasil dibaca antara sampai 15 menit. Interpretasi meliputi positif dan

valid bila 2 pita warna tampak dalam 15 menit (hasil tes dapat dibaca segera

setelah pita warna tampak pada area tes); negatif bila area tes tanpa pita warna

dan area kontrol tampak pita warna dan invalid, angina stabil, ATS dan IMA

adalah hal yang vital untuk menentukan pasien mana yang harus diterapi

trombolisis.

19
Salah satu penyebab rendahnya terapi trombolisis adalah karena kurangnya

sarana diagnostik dini IMA yang reliable yang selain berdampak pada rendahnya

terapi trombolisis juga menyebabkan sekitar 5% pasien IMA salah diagnosis

sebagai bukan IMA. Petanda biokimia yang banyak digunakan adalah mioglobin,

CK-MB isoenzim, dan troponin (T atau I).

CKMB sebagai standard emas diagnosis IMA mempunyai keterbatasan, yaitu

tidak kardiospesifik, dapat meningkat pada trauma otot, tidak cukup sensitif untuk

memprediksi IMA pada 0-4 jam setelah nyeri dada dan tidak mendeteksi jejas

pada pasien dengan onset infark yang lama. Saat ini troponin (T atau I)

merupakan petanda biokimia yang lebih disukai untuk mendeteksi jejas miokard,

karena hampir spesifik absolut jaringan miokard dan mempunyai sensitivitas yang

tinggi, bahkan dapat menunjukkan adanya nekrosis miokard yang kecil.

Adanya nekrosis miokard yang kecil tidak terdeteksi pada EKG maupun oleh

CK-MB dan menunjukkan risiko tinggi IMA dan kematian mendadak jangka

pendek maupun jangka panjang. Jadi troponin bisa sebagai diagnostik sekaligus

sebagai prognostik. Troponin T maupun I ternyata mempunyai Sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi untuk memonitor keberhasilan terapi reperfusi

(angioplasty koroner atau trombolisis arteri koroner).

Risiko kematian/infark non-fatal jangka pendek pada SKA secara langsung

berkaitan dengan kadar cTnT atau cTnI. Sebaliknya pasien dengan troponin

negatif mempunyai prognosis jangka pendek yang baik. Berdasar adanya petanda

yang spesifik dan sensitif ini telah memberikan perubahan dalam metode terapi.

Troponin positif tampaknya lebih menguntungkan dengan terapi penghambat

glikoprotein IIb/IIIa dan atau intervensi koroner.

20
Kendala Pemeriksaan Troponin

Sensitivitas dan spesifisitas uji troponin T dan I telah diteliti secara luas.

Laporan tentang sensitivitas dan spesifisitas uji troponin sangat beragam. Tetapi

secara umum uji troponin sebagai petanda adanya jejas miokard mempunyai

Sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dan lebih superior dibanding CK-

MB.13,15 Bervariasinya laporan sensitivitas dan spesifisitas uji troponin untuk

diagnosis IMA disebabkan belum adanya nilai acuan yang standar untuk cTnT dan

cTnI karena perbedaan peralatan, kebijaksanaan institusi dan interpretasi dari

penemuan riset.

Acuan batas atas yang secara luas diterima yang menunjukkan IMA adalah

kadar cTnT serum 0,1 sampai 0,2 ug/L atau kadar cTnI serum 1,5 sampai 3,1

μg/L. Faktor lain yang berperan terhadap standarisasi batas acuan adalah adanya

troponin yang ditemukan dalam sitoplasma seperti diuraikan diatas. Disamping itu

masih menjadi bahan diskusi standarisasi pengukuran troponin dalam serum,

apakah sebagai unit bebas (misal cTnT atau cTnI) atau bagian dari unit komplek

(misal cTnT-C atau cTnT-I).13

2.7 Mioglobin

Mioglobina dalah protein yang berukuran kecil (sekitar 17.200 dalton) yang

terdapat di otot jantung dan otot rangka, berfungsi menyimpan dan memindahkan

oksigen dari hemoglobin dalam sirkulasi keenzim – enzim respirasi di dalam sel

kontraktil. Ketika terjadi kerusakan pada otot, mioglobin di lepas kedalam

sirkulasi darah. Mioglobin di saring dari darah oleh ginjal dan di ekskresikan

melalui urin. Jika sejumlah besar mioglobin yang dilepaskankedalamalirandarah,

sepertisetelah trauma parah, mioglobin berlebihan dapat menyebabkan kerusakan

21
pada ginjal dan akhirnya mengakibatkan kegagalan ginjal.

Peningkatan mioglobin serum terjadi 2-6 jam setelah terjadi kerusakan jaringan

otot jantung atau otot rangka, mencapai kadar tetinggi dalam waktu 8-12 jam, dan

kembali normal dalam waktu 18-36 jam. Mioglobin urin dapat di deteksi selama

3-7 hari setelah cedera otot.

 Pemakaian Diagnostik

Peningkatan mioglobin darah berarti bahwa telah terjadi kerusakan sangat

terbaru pada jantung atau jaringan otot rangka. Karena mioglobin juga

ditemukan pada ototr angka, peningkatan kadar dapat terjadi pada pasien yang

mengalami kecelakaan, kejang, operasi, atau penyakit otot, seperti distrofi

otot.

Mioglobin memiliki sensitivitas yang tinggi untuk cedera otot, namun tidak

spesifik untuk jantung. Karena itu mioglobin tidak banyak digunakan untuk

mendiagnosis serangan jantung karena Troponin jauh lebih spesifik.

Peningkatan mioglobin dalam waktu 12 jam setelah nyeri dada akut harus

dikonfirmasi dengan uji enzim jantung (CK, CK-MB dan Troponin), EKG dan

tanda – tanda klinis juga harus diperhitungkan untuk memastikan infark

miokard akut(AMI).

Kadar mioglobin biasanya sangat rendah atau tidak terdeteksi dalam urin.

Tingginya kadar mioglobin urin mengindikasikan peningkatan risiko kerusakan

ginjal dan kegagalan. Pengujian tambahan, seperti BUN, kreatinin, dan urine,

dilakukan untuk memantau fungsi ginjal. Peningkatan sekresi mioglobin ke urin

dapat menyebabkan reaksi di pstick positif untuk darah samar karena adanya

aktivitas pseudoperoksidase.

 Masalah Klinis

22
Peningkatan kadar mioglobin serum dapat dijumpai pada infark miokard akut

(AMI), cedera otot rangka, luka bakar berat, polimiositis, trauma, prosedur bedah,

intoksisitas alkohol akut disertai delirium tremens, gagal ginjal, stress metabolik.

Mioglobinuria (mioglobindalamurin) dapat di jumpai pada kerusakan

miokardium akibat AMI, cedera jaringan otot traumatik, iskemia berat,

ketoasidosis diabetik, delirium tremens, infeksi sistemik diserta idemam, luka

bakar berat, serta distrofi muskular. Tanda-tanda klinis dan uji lainnya harus

diperhatikan untuk menentukan penyebab terjadinya mioglobin dalam urin.

 Prosedur

Mioglobin diukur dengan immunoassay. Sampel darah vena harus diambil

segera setelah AMI akut atau setelah nyeri pengambilan dilakukan pada saat

admission dan setiap 2-3 jam sampai 12 jam. Hindari terjadinya hemolisis. Tidak

terdapat pembatasan asupan makanan atau minuman. Mioglobin stabil dalam

darah lengkap atau dalam serum yang disimpan dalam lemari pendingin selama

beberapa jam sampai beberapa hari.

Mioglobin uria dapat dideteksi dari sampel urine acak untuk dugaan luka trauma

otot yang luas dan kerusakan ginjal.

 NilaiRujukan

Dewasa : 12-90 ng/ml, 12-90 µg/l

Wanita : 12-75 ng/ml, 12-75 µg/l

Pria : 20-90 ng/ml, 20-90 µg/l

Urine : tidakterdeteksi

 Faktor yang Mempengaruhi Temuan Laboratorium

1. Sampel untuk uji mioglobin serum diambil satu atau dua hari setelah MCI

akut atau cedera akut

23
2. Mengambil sampel urin dalam waktu 3 jam setelah cedera akut. Spesimen

urin ulang harus diambil dalm waktu 24 jam setelah terjadi cedera (otot

rangka atau jantung)

3. Hemolisis spesimen darah Injeksi intra musculus (IM) atau sehabis latihan

berat

2.8 HeartFattyAcidBinding Protein

HeartFattyAcidBinding Protein (H-FABP) adalah protein intraseluler

berukuran kecil 15 kDa yang dibentuk pada jaringan yang memiliki metabolisme

asam lemak aktif, termasuk jantung, hati, dan usus. Fungsi utamanya adalah untuk

memfasilitasi translokasi asam lemak rantai Panjang intraseluler. Fungsi lainnya

untuk tranduksi sinyal dan proteksi kardiomiosit.H-FABP tidak hanya dibentuk

pada kardiomiosit, tetapi juga pada otot skeletal, tubulus distal ginjal, otak,

kelenjar mammae dan plasenta dalam jumlah kecil.

2.8.1 Peranan Klinis H-FABP

H-FABP merupakan protein berukuran kecil yang terdapat pada otot jantung

dan skeletal sehingga lebih cepat dikeluarkan ke sirkulasi saat integritas membran

terganggu akibat iskemia. H-FABP dapat dideteksi 2-3 jam setelah iskemia dan

turun ke kadar normal dalam 12-24 jam. Kandungan H-FABP pada miokardium

jauh lebih banyak dari otot skeletal dan terbalik dengan jumlah kandungan

mioglobin yang lebih banyak di otot skeletal.

Fakta ini dapat digunakan untuk mendiferensiasi cedera yang terjadi apakah

cedera otot skeletal saja atau ada cedera miokardium dengan menggunakan rasio

mioglobin/H- FABP, umumnya rasio 2-10 pada cedera miokardium.Batas normal

24
H-FABP dalam plasma jauh lebih rendah dibandingkan mioglobin, peningkatan

H-FABP lebih cepat dibandingkan troponin ataupun mioglobin.

Oleh karena itu, H-FABP dapat memberikan sensitivitas dan spesifitas lebih

tinggi di bandingkan mioglobin. Peningkatan probabilitas mendeteksi

infarkmiokard akut dilakukan pengukuran saat pasien masuk dan 1-2 jam

setelahnya. H-FABP juga mampu menunjukkan adanya iskemia miokardium,

meskipun tidak ada tanda jelas nekrosis miosit.

2.8.2 Interpretasi Klinis Kadar H-FABP

Menurut penelitian Viswanathan keadaan normal kadar H-FABP

menetapkan wanita 5,3 ug/L dan 5,8 ug/L untuk pria. Peningkatan plasma H-

FABP berhubungan dengan peningkatan risiko kematian 2,5 kali dan gagal

jantung 2 kali dalam 10 bulan setelah sindrom koroner akut. Penelitian lain

menyatakan H-FABP dapat memprediksi mortalitas jangka panjang dan tidak

tergantung troponin , highsensitivity C-reactive protein dan factor risiko Global

RegistryofAcuteCoronaryEvents).Pemeriksaan ini berguna pada pasien dengan

fungsi ginjal normar ataupun menurun.

BAB III

KESIMPULAN

25
Dari kriteria WHO 50% penderita menunjukkan EKG (Electrocardiogram)

yang khas. Tetapi sekitar 20–30% penderita IMA tidak mengeluhkan adanya nyeri

dada atau silent infact misalnya pada penderita Diabetes Mellitus (disfungsi saraf

otonom). Jika tanda-tanda klinis tidak khas dan ST elevasi EKG non diagnostik

negatif perlu konfirmasi marker biokimiawi kerusakan miokardial

Cardiac troponin I (cTnI) dan troponin T (cTnT) merupakan uji primer

dalam diagnosis AMI karena memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi.

Salah satu kriteria diagnosis AMI antara lain adanya simptom iskemik, adanya

perubahan gelombang Q pada EKG, perubahan segmen ST dan intervensi arteri

koroner. Troponin lebih sensitif dari CKMB untuk deteksi nekrosis otot jantung.

Myoglobin, suatu penanda yang meningkat cepat setelah AMI, diterima sebagai

penanda dini tetapi kurang spesifik bila dibandingkan dengan troponin apabila

hasil myoglobin positif maka diperlukan uji konfirmasi menggunakan troponin

atau CKMB. Troponin jantung akan tetap meningkat 7-10 hari setelah onset

kerusakan jantung, oleh karena itu untuk menduga periode reinfark perlu

dievaluasi menggunakan troponin atau CKMB. Sedangkan untuk penanda yang

meningkat cepat lainnya ada H-FABP yang dapat memberikan sensitivitas dan

spesifitas lebih tinggi di bandingkan mioglobin.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4759524/pdf/main.pdf.
diaksespadatanggal 16 Oktober 2018.

2. BruinsSlot MHE, Heijden G, Rutten FH, Spoel OP, Mast EG, Bredero AC,
et al. Heart-type fatty acid-binding protein in acute myocardial infarction
evaluation (FAME): Background and design of a diagnostic study in
primary care. BMC Cardiovascular Disorders 2008; 8: 8.

3. Viswanathan K, Kilcullen N, Morrell C, Thistlethwaite SJ, Sivananthan M,


Hassan TB, et al. Heart-type fatty acid-binding protein predicts long-term
mortality dan re-infarction in consecutive patients with suspected acute
coronary syndrome who are troponin-negative. JACC. 2010; 55(23): 2590-
8.

4. Okamoto F, Sohmiya K, Ohkaru Y, Kawamura K, Asayama K, KimuraH,


et al. Human heart-type cytoplasmic fatty acid-binding protein(H-FABP)
for the diagnosis of acute myocardial infarction. Clinicalevaluation of H-
FABP in comparison with myoglobin and creatinekinase isoenzyme MB.
ClinChem Lab Med. 2000; 38: 231-8

5. Kilcullen N, Viswanathan K, Das R, Morrell C, Farrin A, Barth JH, et


al.Heart-type fatty acid-binding protein predicts long-term mortalityafter
acute coronary syndrome and identifies high- risk patientsacross the range
of troponin values. J Am Coll Cardiol. 2007; 50: 2061-7.

6. Adiputro, D., 2011 CKMB Pada Orang Penderita Infark Miokardium


Akut. Fakultas Kedokteran Diponegoro. Availabe from :www.
eprints.undip.ac.id /Dwi_Adiputro
7. Zimmerman J, Fromm R, Meyer D, Boudreaux A, Wun CC, Smalling R et
al. Diagnostic marker cooperative study for the diagnosis of myocardial
infarction. Circulation 1999;99:1671-77.
8. Sargowo D, Samsu N. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan I pada
Diagnosa Infark Miokard. Bagian Penyakit Dalam Fakulta Kedokteran
Universitas Brawijaya. 2007
9. Yuantari Rahma. 2013. Cardiac Marker. Jakarta : Universitas Islam
Indonesia
10. Muniyato Puspita. 2014. Kadar Ceratinine Kinase MB, Troponin T dan
Gambaran ST Deviasi Sebagai Faktor Prediktor Terjadinya Major Adverse
Cardiac Event Pada Pasien Sindrom Koroner Akut. Jakarta: UIN

27

Anda mungkin juga menyukai