Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia Pada Gagal Ginjal Kronik


2.1.1 Definisi Anemia pada Gagal Ginjal Kronik
The National Dyalisis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI)
merekomendasikan anemia pada penyakit gagal ginjal kronik jika kadar
hemoglobin <11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada wanita premenopause dan pasien
prepubertas, dan <120 gr/dl pada laki laki dewasa dan wanita postmenopause. Dan
berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada penyakit ginjal kronik jika
Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30%.

Tabel 2.1. Anemia pada Gagal Ginjal Kronik


a
Stage GFR Description
(ml/min/1.73m2)
1 ≥ 90 Normal or increased GFR
2 60-89 with
other evidence of kidney damage
3A 45-59 Moderate decrease in GFR, with or
3B without other evidence of kidney
damage
4 15-29 Severe decrease in GFR, with or
without other evidence of kidney
damage
5 ≤ 15 Established Renal Failure

2.1.2 Etiologi Anemia pada Penyakit Gagal Ginjal Kronik


Penyebab utama anemia pada GGK (Bakta, 2006; Eckardt,2000 : Wilson,
2005) :
1. Penurunan eritropoesis karena berkurangnya produksi eritropoetin oleh
ginjal akibat kerusakan parenkim ginjal itu sendiri, menurunnya
afinitas hemoglobin terhadap oksigen dan rendahnya set point dari
eritropoetin.
2. Faktor lain diluar eritropoetin antar lian: hemolisis akibat toksis uremik
terhdap membrane eritrosit dan enzim-enzim eritrosit, toksin uremik

Universitas Sumatera Utara


juga dapat menghambat eritropoesis. Disamping itu dapat juga
disebabkan oleh kehilangan darah iatrogenic dan defisiensi besi dan
asam folat serta kehilangan darah melalui traktus genitorius atau
gastrointestinal karena defek hemostasis dimana trombosit tidak
berfungsi dengan baik.

2.2 Erithropoetin
2.2.1 Definisi Erythropoeitin
Erythropoietin (EPO) adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh ginjal
yang memajukan pembentukan dari sel-sel darah merah oleh sumsum tulang
(bone marrow) (Kantz,1991).
Sel-sel ginjal yang membuat erythropoietin adalah khusus sehingga dapat
peka pada tingkat-tingkat oksigen yang rendah didalam darah yang mengalir
melalui ginjal. Sel-sel ini membuat dan melepaskan erythropoietin ketika tingkat
oksigen terlalu rendah.Tingkat oksigen yang rendah mungkin mengindikasikan
anemia, suatu jumlah sel-sel darah merah yang berkurang, atau molekul-molekul
hemoglobin yang membawa oksigen keseluruh tubuh.
Erythropoietin secara kimia adalah suatu protein dengan suatu gula yang
melekat (suatu glycoprotein).Ia adalah satu dari sejumlah dari glycoproteins yang
serupa yang melayani sebagai stimulans-stimulans (perangsang) untuk
pertumbuhan dari tipe-tipe spesifik dari sel-sel darah didalam sumsum tulang
(Ghezzi, 2004).
Erythropoietin menstimulasi (merangsang) sumsum tulang (bone marrow)
untuk menghasilkan lebih banyak sel-sel darah merah.Kenaikan yang berakibat
darinya dalam sel-sel merah meningkatkan kapasitas darah mengangkut oksigen.
Sebagai pengatur utama dari produksi sel merah, fungsi-fungsi utama
erythropoietin adalah untuk :
1. Memajukan perkembangan dari sel-sel darah merah.
2. Memulai sintesis dari hemoglobin, molekul didalam sel-sel darah merah
yang mengangkut oksigen.
Eriytropoietin tidak hanya dihasilkan oleh ginjal. Erythropoietin

Universitas Sumatera Utara


diproduksi pada suatu tingkat yang lebih kecil oleh hati. Hanya kira-kira 10% dari
erythropoietin dihasilkan didalam hati. Gen erythropoietin telah ditemukan pada
kromosom 7 manusia (in band 7q21). Rentetan DNA yang berbeda yang mengapit
gen erythropoietin bertindak untuk mengontrol produksi erythropoietin dari hati
lawan dari ginjal.
Hormon erythropoietin dapat terdeteksi dan diukur dalam darah. Tingkat
dari erythropoietin dalam darah dapat mengindikasikan kelainan-kelainan sumsum
tulang (seperti polycythemia, atau produksi sel darah merah yang meningkat),
penyakit ginjal, atau penyalahgunaan erythropoietin (Fendrey, 2004)

2.2.2 Struktur Kimia pada Erythropoeitin


EPO adalah 30.4 kD glikoprotein dan sitokin kelas 1 yang terdiri dari 165
asam amino. EPO memiliki empat rantai asam oli- gosaccharide sisi (3 N-linked
dan 1 O-linked) dan berisi hingga 14 residu asam sialat.Porsi karbohidrat yang
drate yang memberikan kontribusi 40% dari berat molekulnya. Rantai samping
polisakarida N-linked tampaknya penting untuk biosintesis dan sekresi EPO,
meningkatkan stabilitas dalam darah, dan membatasi hati Ance jelas, sehingga
memfasilitasi transit sistemik EPO dari ginjal ke sumsum tulang .Sifat variabel
kandungan asam sialic menimbulkan EPO isoform dengan perbedaan biaya.
Sebagai ber num gugus asam sialic pada bagian karbohidrat dari EPO meningkat,
begitu juga serum yang paruh sedangkan kapasitas penurunan reseptor mengikat.
Ance jelas (Jelkmann, 1992).
Namun, tampaknya memiliki pengaruh kuat pada aktivitas in vivo dari
afinitas reseptor-mengikat. Setiap molekul EPO memiliki dua reseptor EPO
(EPOR) situs mengikat. Ada dua afinitas dari EPOR untuk EPO dalam larutan:
salah satu tinggi dan satu dari afinitas rendah (kebutuhan 1.000 kali konsentrasi
EPO untuk aktifasi). Sekitar 90% dari sistemik EPO pada orang dewasa pro
diproduksi oleh fibroblas interstitial peritubular di korteks ginjal dan medula luar
ginjal. Mekanisme umpan balik yang melibatkan pengiriman oksigen ke jaringan
tampaknya mengatur produksi EPO. Hipoksia-induci- faktor ble (HIF) mengatur
transkripsi gen EPO di ginjal, yang menentukan EPO sintesis. Proses ini

Universitas Sumatera Utara


tergantung pada tekanan oksigen lokal. HIF cepat hancur dalam sel baik oksigen
melalui penandaan untuk degradasi di protea- beberapa) oleh von Hippel-Landau
penekan tumor protein (pVHL), tapi ketika pengiriman oksigen berkurang, pVHL
berhenti proteolisis yang HIF, meningkatkan kadar HIF, yang kemudian
meningkatkan produksi EPO (Sasaki, 2000).
EPO reseptor (EPOR) adalah 66 kD membran glikosuria protein biasanya
terdiri dari 484 asam amino dan 2 rantai peptida; itu milik keluarga sitokin dan
faktor pertumbuhan reseptor besar [3]. Binding penelitian telah didemonstrasikan
bahwa EPOR memiliki afinitas yang berbeda untuk EPO dan bahwa isoform
EPOR dengan afinitas yang lebih tinggi untuk EPO mungkin bertanggung jawab
untuk efek erythropoietic EPO, sedangkan isoform dengan afinitas yang lebih
rendah untuk EPO mengikat mungkin memiliki efek nonerythropoietic, seperti
jaringan pro-proteksi (Sasaki, 2000).

Domain sitoplasmik dari EPOR mengandung sejumlah phosphotyrosines


yang terfosforilasi oleh aktivasi anggota dari Janus-tipe keluarga tirosin protein
kinase (JAK2), yang terikat pada subunit beta umum dari EPOR [13]. Selain
mengaktifkan protein kinase mitogen-diaktifkan (MAPK), phosphatidylinositol 3-
kinase (PI3K), dan protein kinase B (Akt) jalur (Gambar 1), phosphotyrosines
juga berfungsi sebagai situs docking untuk sinyal transduser dan aktivator
transkripsi (STAT ), seperti STAT5. Tion Dephosphoryla dari JAK dapat
disebabkan oleh fosfatase dengan internalisasi konsekuen dan degradasi kompleks
EPO/EPOR, yang menandai akhir kegiatan EPO. Hal ini untuk mencegah
overactivation, yang dapat menyebabkan exces-erythrocytosis komprehensif
(Semenza, 1991).

2.2.3 Fungsi Fisiologis EPO


Fungsi fisiologis pokok dari EPO adalah produksi sel darah merah, yang
dihasilkan dari proliferasi dan diferensiasi jalur dikontrol ketat. Sel progenitor
hematopoietik awal berdiferensiasi menjadi burst-unit erythroid sel pembentuk
(BFU-Es). Stimulasi terus menerus dengan EPO memicu diferensiasi CFU-Es

Universitas Sumatera Utara


dalam erythroblasts, yang kehilangan inti mereka untuk membentuk
retikulosit.Setelah beberapa hari, retikulosit kehilangan reticulin dan menjadi
eritrosit (sel darah merah) (Sasaki, 2003). Culocytes Reti dan eritrosit berhenti
mengekspresikan EPOR dan berhenti menjadi responsif terhadap EPO (Ghezzi,
2004). EPO mengikat EPORs pada sel progenitor erythroid menyebabkan aktivasi
JAK2-STAT5 sinyal cara path- dan fosforilasi PI3K dan Akt1 [25] (Gambar 1).
Akt-dimediasi fosforilasi Bad di kompleks Bad-Bcl-xL melepaskan protein
antiapoptotic Bcl-xL, yang menekan erythroid sel progenitor apoptosis [26]. Akt
juga terlibat dalam beberapa jalur yang pro kelangsungan hidup sel mote dan efek
antiapoptotic melalui bition inhi- dari FOXO3a, inaktivasi GSK3b, induksi XIAP,
inaktivasi caspases, dan pencegahan rilis krom C sitokrom (Gambar 2). Efek ini
tidak hanya meningkatkan sifat erythropoietic EPO tetapi tampaknya penting
dalam perlindungan jenis sel lain dan dapat menyebabkan dilaporkan neuronal
dan ginjal pro efek yang tektif.

2.2.4. Endogen EPO


EPO manusia disinttesis di sel peritubulus ginjal dan sebagin kecil di hati.
Gen EPO manusia terletak pada kromosos 7pterq22, mengandung 5 ekson dan 4
intron. Gen ini memproduksi sebuah polipeptida setelah proses transkripsi yang
mengandung 193 asam amino. Dalam proses modifikasi setelah translasi,
polipeptida ini mengalami proses glikosilasi pada 3 ikatan nitrogen (N-glikosilasi)
dan 1 ikatan oksigen (O-glikosilasi). Selanjutnya akan terjadi pembentukan ikatan
dusulfida bersamaan dengan pelepasan 27 urutan asam amino hidrofobik
sekretorik. Pada saat memasuki aliran darab, asam amino arigin rantai ujung
karboksil memisahkan diri sehingga total jumlah asam amino adalah 165 asam
amino. Struktur primer EPO matang mengandung 165 asam amino (Masuda,
2000).
Protein EPO berbentuk seutas rantai polipeptida dengan 2 ikatan sulfide
intramolekuldan rantai 4 rantai polisakarida bebas yang terikat pada asam amino
spesifik. Rantai polipeptida yang memberikan 405 berat molekul EPO tidak
didegradasi oleh hati sebelum mencapai sel target. Hormon EPO yang diproduksi

Universitas Sumatera Utara


akan menuju sel induk eritrosit dalam sumsum tulang. EPO lebih berperan pada
tahap CFUE dan pronormoblas yang lebih dekat dengan eritrosit matur daripada
tahap BFU-E.

2.3 Erithropoetin Sebagi Terapi


2.3.1 Recombinant Human Erythropoetin (rHuEPO)
Produksi EPO dengan derajat kemurnian tinggi dapat terlaksana karena
perkembangan teknik rekayasa genetika. Penggunaan EPO endogen untuk tujuan
terapi tidak dimungkinkan karena hormon EPO terdapat pada tubuh manusia
dengan konsentrasi rendah. Dalam perkembangan pembuatan rHuEPO,beberapa
penelitian melaporkan bahwa proses N-glikosilasi memberikan kemampuan
biologi rHuEPO. Adanya peningkatan jumlah akan meningkatkan aktivitas biologi
rHuEPO.
EPO berperan baik sebagai factor ketahanan hidup dan factor
mitogen.Pada sel progenitor eritroid manusia dengan reseptor EPO yang banyak,
yaitu CFU-E dan proeritroblas, EPO berperan sebagai faktor ketahanan
hidup.Model ertropoesis yang didasarkan pada mekanisme pada mekanisme
penghambatan kematian sel yang terprogram oleh EPO dalam populasi sel
progenitor eritroid. Progenitor eritroid tingkat lanjut (CFU-E dan proeritoblas)
bergantung pada adanya EPO secara terus menerus untuk menekan pengguguran
(apoptosis) dan bersifat berbeda bagian (heterogen) sesuai dengan kepekaannya
terhadap EPO(Stockes, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1. Recombinant Human Erythropoetin (rHuEPO)

Universitas Sumatera Utara


Dalam kondisi normal (Gambar A), hanya 1 bagian progenitor eritoid
tingkat lanjut yang membutuhkan sedikit EPO dapat bertahan hidup dan
menghasilkan sejumlah normal eritrosit yang matur.
Pada keadaan gagal ginjal terminal yang ditandai dengan adanya
kegagalan produksi EPO, yaitu sejumlah besar (mayoritas) progenitor eritroid
mengalami apoptosis oleh karena rendahnya kadar EPO dalam sumsum tulang.
Hanya sebuah subpopulasi progenitor yang sangat senditif terhadap EPO dan
hanya membutuhkan kadar EPO dengan dengan pada kadar sangat rendah dapat
bertahan hidup. Pemberian rHuEPO menyebabkan suatu peningkatan aktivitas
eritropoesis dengan jalan menghambat proses apoptosis dari sejumlah besar
progenitor eritrosit tingkat lanjut yang memiliki sensitivitas intermediet (Gambar
B) (Cazolla, 1997).
Pada keadaan anemia karena hemolisis atau kehilangan darah akut,
produksi EPO endogen dari ginjal meningkat beberapa kali lipat yang
menyebabkan tinggi kadar EPO dalam sumsusm tulang. Hampir semua progenitor
eritroid, dapat bertahan hidup.Keadaan ini menyebabkan peningkatan eritropoesis
secara maksimal. Pemberian rHuEPO tidak diperlukan untuk meningkatkan
eritropoesis lebih lanjut (Gambar C) (Cazolla, 1997).

Gambar 2.a : Dalam kondisi normal(normal epo production)


Gambar 2.b :Pada Keadaan Gagal Ginjal (blunted epo production)
Gambar 2.c :Pada Keadaan Anemia(increased epo production)

Universitas Sumatera Utara


2.3.2 Pemakaian (aplikasi) Klinik Penggunaan EPO pada Keadaan Uremia
Sebelum pemakain EPO secara massal, sekitar 75% pasien-pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis memiliki kadar <30% dimana
sekitar 15-25% menurunkan transfuse sel darah merah secara periodic. Pemakian
EPO pada pasien-pasien HD reguler yang memerlukan tarnfusi darah di Amerika
menunjukkan penurunana kebutuhan transfusi yang signifikan.
Pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa reguler,
transfuse darah biasanya dilakukan durante hemodialisis untuk menghindari
kelebihan cairan dalam tubuh.
Terapi yang efektif sampai saat ini didapati dari recombinant human
erithropoetin.terapi ini diberikan secara intravena kepada pasien hemodialisa,
telah terbukti meningkatkan eritropoetin yang drastis. Hal ini memungkinkan
untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfuse darah berakhir.

2.3.3 Farmakokinetik dan Keadaan Uremia


Secara umum pemberian sub-kutan lebih efektif dibandingkan dengan
pemberian intravena. Penelitian farmakokinetik menunjukkan bahwa waktu paruh
pemberian intravena adalah 4-9 hari, sedangkan waktu paruh pemberian sub-kutan
> 24 jam. Perlu diperhatikan untuk tidak menghentikan pemberian rHuEPO hanya
karena target Hb tercapai, Karena kadar Hb menurun lebih rendah dari yang dapat
diantisipasi karena peningkatan Hb sebelumnyamenekan produksi EPO endogen
(Fisher, 2003)

2.3.4 Dosis dan Evaluasi Terapi rHuEPO


The National Kidney Foundation Dialisis Outcomes Quality Initiative
(NFK-DOQI) merekomendasikan suatu pendekatan terapi anemia pada penderita
(pasien) gagal ginjal kronik bila Hb < 11g/dl pada wanita premenopause dan
prepubertas, Hb < 12 g/dl pada wanita pasca menopause dan pria dewasa.
Perhimpunana Nefrologi Indonesia (PERNEFRI, 2001) merekomendasikamn
terapi EPO apabila Hb < 10 g/dl dan hematocrit < 30% sudah disingkirkan.

Universitas Sumatera Utara


2.3.5 Evaluasi Pemberian Terapi rHuEPO
Europian best Practise Guidelines merekomendasikan target Hb > 11 g/dl
pada penderita gagal ginjal kronik. National Kidney
Foundationmerekomendasikan target Ht 33-38%. Berdasarkan Konsensus
Manajemen Anemia pada gagal ginjal kronik, oleh PERNEFRI 2001 target Hb >
10 g/dl dan Hematokrit > 30%.
Parameter yang perlu dievaluasi pada pemberian terapi EPO: hemoglobin
atau hematocrit, indeks sel darah merah, jumlah retikulosit, parameter Status Besi
Tubuh yaitu serum (SI), ion total iron binding capacity (TIBC), saturasi
transferrin, dan ferritin serum.
Pemberian terapi dengan rHuEPO pada keadaan uremia dan non-uremia
menyebabkan terjadinya keadaan defisiensi besi.Oleh karena itu pada pemberina
terapi rHuEPO perlu diperhatikan gejala dan tanda keadaan defisinisi besi yaitu
ferritin serum, saturasi transferrin, dll.
Dua bentuk keadaan iron-deficienct erythropoiesis dapat terjadi dengan
pemberian rHuEPO yaitu (Cazolla, 1997):
1. True Iron Deficiencyterjaid selama pemberian rHuEPO jangka panjang
disebabkan karena adanya perpindahan progresif besi
cadangansimpanan besi tubuh menuju ke eriron.
2. Functional atau Relative Iron Deficiency terjadi pada saat kadar
cadangan status besi yang normal tetapi suplai besi dalam eritron tidak
adekuat untuk memenuhi sel progenitor eritroid.
Adanya ketidakseimbangan suplai besi terhadap eritropoesis ditandainya
dengan adanya oenurunan saturasi transferrin (<20%). Secara umum kadar ferritin
serum < 100 g/L berhubungan dengan adanya functional iron deficiency pada
pemberian terapi dengan rHuEPO. Macdougal dkk. Pada tahun 1992 menggunkan
automated cell counter untuk mendapatkan persentase eritrosit yang hipokromik
(Hb eritrosit individual < 28 g/dl). Pada keadaan normal berjumlah kurang dari
2,5% dari seluruh eritosit. Adanya peningkatan lebih drai 10% selama pemberian
terapi rHuEPO menunjukkan adanya keaddan functional iron deficiency dan hal
ini mebutuhkan terapi intensif dengan tambahan suplemen besi (Sanders, 1994).

Universitas Sumatera Utara


Deteksi awal iron-restricted erythropoiesis dapat dilakukan dengan
menggunakan evaluasi reticulocyte Hb content (CHr).Pada penderita yang
memenuhisalah satu dari kriteria di atas (saturasi transferrin < 20%, ferritin serum
<100 mikrogram / liter, > 10% eritrosit hipokromik, atau retikulosit dengan CHr
rendah), perlu dipertimbangkan untuk memberikan terapi tambahan suplementasi
besi yang lebih agresif.
2.3.6 Efek Samping Terapi EPO
Tetapi sebagai terapi recombinant human erythropoietin memiliki efek
samping yaitu meningkatkan Ht. antibody yang melawan materi rekombinan dan
menghambat terhadap penggunaan eriproetin tidak terjadi.Efek samping utamnya
adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi
untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis.Pada
beberapa pasien, thrombosis pada pembuluh darah dapat terlihat.
Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas
darah tetapi juga penigkatan tonus vaskuler perifer.Komplikasi thrombosis juga
berkaitan dengan tingginya viskositas darah bagaimana pun sedikitnya satu
kelompok investigator terlihat peningkatan trombosit.

2.4 Jenis Terapi Epo


2.4.1 Epoetin alpfa.
Bentuk biosintesis dari erythropoietin hormone glikoprotein.Urutan asam
amino dan logika sifat bio dari epoetin alfa yang identic dengan en- erythropoietin
manusia dogenous diekstrak dari urine pasien dengan anemia aplastik. Obat ini
dibuat dari genetika rekayasa mamalia yang menggunakan teknologi DNA
rekombinan (Davis, 1997).
Cara kerja dari eritropoetin alfa adalah dengan menginduksi produksi
eritrosit eritrosit terutama drngan meangsang terjadi ploriferasi dan diferensiasi
dengan bekerja sama dengan BFU-E , CHU-E, CFU-MK, CFU-GM) (Lodish,
1995).
Farmakokinetik dari epoetin alfa. Epoetin alfa tidak dapat diberikan secara
oral karena akan hancur saat sampai di saluran gastrointestinal, dikarenakan oleh

Universitas Sumatera Utara


sifat protein yang dimiliki oleh obat. Sehingga harus diberikan melalui parental
(IV, injeksi subkutan, injeksi intraperitoneal). Penyerapan obat akan lebih lambat
apabila melalui sub kutan atau intarperitoneal. Namun konsentrasi serum lebih
meningkat apabila pemberian melalui intravena.Epoetin alfa dipecah menjadi
kompertemen tunggal dengan volume distribusi yang mendekati volume plasma
(sekitar 4-5% dari berat badan) (Faulds, 1989).

2.4.2 Epoetin Beta


Epoetin beta adalah glikoprotein yang merangsang proliferasi dan
diferensiasi proses kompartemen sel erythroid induk dan juga memiliki efek
stimulsi pada proliferasi dan pematangan kompartemen erythron terebut. Oleh
karena itu epoetin beta menyebabkan peningkatan pembentukan hemoglobin dan
percepatan terkait pemasangan sel dan pengurangan waktu siklus sel. Efek lebih
lanjut dari epoetin beta adalah percepatan pematangan retikulosit dan penignkatan
pelepasan retikulosit.
Proses penyerapan epoetin beta. Pemberian obat melalui sub kutan
memberikan waktu paruh selama 12 -28 jam setelah pemberian. Waktu paruh dari
epoetin beta secara intravena antara 4-12 jam.
Volume distribusi epoetin beta intravena sesuai dengan 1-2 kalli volume
plasma.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai