Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

TATALAKSANA PEMBERIAN CAIRAN RESUSITASI


PADA PENDERITA KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU PRE OPERATIF

Oleh :
Nanda Rela Qonita 0810710084

Pembimbing :
dr. Karmini Yupono, Sp.An K-AP

LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2013
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari bahasa Yunani,

topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan “berada di luar tempat yang

semestinya”. Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar rongga uterus,

tuba falopii merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi kehamilan ektopik,sebagian besar

kehamilan ektopik berlokasi di tuba, jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis

servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter dan divertikel pada uterus.

Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi

wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik

terganggu merupakan penyebab kematian tertinggi pada kehamilan trimester pertama. Pada KET, hal

yang paling berbahaya adalah terjadinya shock hipovolemik akibat perdarahan yang terjadi dari

pecahnya kehamilan ektopik tersebut. Pada tahun 1970an, 13-17% pasien dengan KET datang ke

pusat kesehatan dengan shock hipovolemik. Pada tahun 1980an, diagnosa awal KET telah

berkembang sehingga hanya 4,4% saja yang mengalami kondisi shock.

Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk

mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang

hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan

keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.

Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi

kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan

demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan

pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.

Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik dan

penyelamatan nyawa pasien termasuk yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu. Untuk itu

kami mengamil tema resusitasi cairan pada kehamilan ektopik terganggu.


1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana tatalaksana pemberian cairan resusitasi pada penderita kehamilan ektopik

terganggu pre operatif?

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui tatalaksana pemberian cairan resusitasi pada penderita kehamilan ektopik

terganggu pre operatif.

1.4 Manfaat Penulisan

Pada penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai tatalaksana pemberian cairan

resusitasi pada penderita kehamilan ektopik terganggu.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KEHAMILAN EKTOPIK

2.1.1 DEFINISI

Kehamilan Ektopik adalah kehamilan dengan hasil konsepsi berimplantasi dan tumbuh di luar

endometrium kavum uteri (DeChenerey, et al., 2006).

2.1.2 KLASIFIKASI

Menurut lokasinya, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu (Gibbs, et

al., 2008);

1. Tuba Fallopii (95%-98% dari seluruh kehamilan ektopik), yaitu pada:

- Pars interstisialis (2%)

- Istmus (25%)

- Ampulla (55%)

- Infundibulum (1%)

- Fimbria (17%)

2. Uterus, yaitu pada :

- Kanalis servikalis (<1%)

- Divertikulum

- Kornu (1-2%)

- Tanduk rudimenter

3. Ovarium (<1%)

4. Intraligamenter (<1%)

5. Abdominal (1-2%)

- Primer

- Sekunder

6. Kehamilan ektopik kombinasi (combined ectopic pregnancy).


2.1.3 PATOFISIOLOGI

Adanya abnormalitas pada morfologi tuba ataupun pada fungsinya dapat menyebabkan adanya

kehamilan ektopik. Pada kehamilan yang normal, ovum dibuahi pada tuba falopii kemudian bergerak

menuju uterus. Sangat diyakini bahwa yang paling berperan menyebabkan kehamilan ektopik adalah

rusaknya mukosa tuba, yang dapat menghalangi jalannya embrio karena adanya jaringan parut.

Kemungkinan yang lain adalah defek kecil pada mukosa menarik embrio untuk berimplantasi

ditempat tersebut. Hal lain yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik adalah disfungsi aktifitas otot

polos tuba (Gibbs, et al., 2008).

Karena tuba kekurangan lapisan submukosa, ovum yang telah dibuahi cenderung tertanam

pada epitelium dan zigot diam pada dinding muskular dari tuba. Pada permukaan zigot terdapat kapsul

trofoblas yang secara cepat berproliferasi yang menginvasi dinding muskular dari tuba. Pada saat

yang sama, pembuluh darah maternal membuka dan darah mengalir pada daerah sekitar trofoblas atau

diantara trofoblas dan jaringan tambahan. Dinding tuba yang berhubungan dengan zigot hanya bisa

memberikan tahanan ringan terhadap invasi trofoblas, yang secepatnya tertanam didalamnya. Embrio

atau fetus pada kehamilan ektopik biasanya tidak ditemukan ataupun terhambat pertumbuhannya

(Gibbs, et al., 2008).

Isi konsepsi yang berimplantasi melakukan penetrasi terhadap lamina propria dan pars

muskularis dinding tuba. Kerusakan tuba lebih lanjut disebabkan oleh pertumbuhan invasif jaringan

trofoblas. Karena trofoblas menginvasi pembuluh darah dinding tuba, terjadi hubungan sirkulasi yang

memungkinkan jaringan konsepsi bertumbuh. Pada suatu saat, kebutuhan embrio di dalam tuba tidak

dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba itu (Gibbs, et al., 2008).

Ada beberapa kemungkinan akibat hal ini :

1. kemungkinan terbentuknya jaringan mola berisi darah di dalam tuba, karena aliran darah di

sekitar chorion menumpuk, menyebabkan distensi tuba, dan mengakibatkan ruptur

intralumen kantung gestasi di dalam lumen tuba.

2. kemungkinan "tubal abortion", lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke ujung distal

(fimbria) dan ke rongga abdomen.


3. kemungkinan reabsorpsi jaringan konsepsi oleh dinding tuba sebagai akibat pelepasan dari

suplai darah tuba.

4. kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat erosi villi

chorialis atau distensi berlebihan tuba - keadaan ini yang umum disebut kehamilan ektopik

terganggu / kehamilan ektopik dengan ruptur tuba.

Secara umum, estrogen menstimulasi aktifitas mioelektris dari tuba dan progesteron

memiliki efek untuk menghambat. Perubahan rasio estrogen / progesteron mungkin

mempengaruhi motilitas tuba. Tingginya tingkat estrogen mungkin menyebabkan spasme

tuba, yang akan mengahalangi transportasi embrio menuju cavum uteri. Sebaliknya, pada

penggunaan oral kontrasepsi progesteron dapat menyebabkan tuba relaksasi yang

mengakibatkan retensi ovum pada tuba (Gibbs, et al., 2008).

2.1.4 DIAGNOSIS

Pada kehamilan ektopik belum terganggu kadang menimbulkan kesulitan diagnosis karena

biasanya penderita menyampaikan keluhan yang tidak khas. Yang penting dalam pembuatan

diagnosis kehamilan ektopik adalah supaya pada pemeriksaan penderita selalu waspada terhadap

kemungkinan kehamilan ini (DeChenerey, et al., 2006).

Gejala-gejala yang perlu diperhatikan adalah (DeChenerey, et al., 2006):

a. Nyeri perut, merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu Pada kehamilan

ektopik yang terganggu rasa nyeri perut bawah bertambah sering dan keras. Rasa nyeri

mungkin unilateral atau bilateral pada abdomen bagian bawah atau pada seluruh abdomen,

atau malahan di abdomen bagian atas. Dengan adanya hemiperitoneum , rasa nyeri akibat

iritasi diafragma bisa dialami pasien. Diperkirakan bahwa serangan nyeri hebat pada ruptura

kehamilan ektopik, ini disebabkan oleh darah yang mengalir ke kavum peritonium.

b. Perdarahan. Gangguan kehamilan sedikit saja sudah dapat menimbulkan perdarahan yang

berasal dari uterus. Perdarahan dapat berlangsung kontinyu dan biasanya berwarna hitam.

Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak

ditemukan, tetapi bila dukungan endokrin dari endometrium sudah tidak memadai lagi,
mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Perdarahan tersebut biasanya sedikit-sedikit,

berwarna coklat gelap dan dapat terputus-putus atau terus menerus. Meskipun perdarahan

vaginal yang masif lebih menunjukkan kemungkinan abortus inkompletus intrauteri

daripada kehamilan ektopik, tetapi perdarahan semacam ini bisa terjadi pada kehamilan

tuba.

c. Adanya Amenorea, amenorea sering ditemukan walau hanya pendek sebelum diikuti

perdarahan, malah kadang-kadang tidak amenorea. Tidak ada riwayat haid yang terlambat

bukan berarti kemungkinan kehamilan tuba dapat disingkirkan. Salah satu sebabnya adalah

karena pasien menganggap perdarahan pervaginam sebagai periode menstruasi yang normal,

dengan demikian memberikan tanggal haid yang keliru.

d. Keadaan Umum, tergantung dari banyaknya darah yang keluar dari tuba, keadaan umum

ialah kurang lebih normal sampai gawat dengan syok berat dan anemia. Hb dan hematokrit

perlu diperiksa pada dugaan kehamilan ektopik terganggu.

e. Perut, pada abortus tuba terdapat nyeri tekan di perut bagian bawah di sisi uterus.

Hematokel retrouterina dapat ditemukan. Pada ruptur tuba perut menegang dan nyeri tekan,

dan dapat ditemukan cairan bebas dalam rongga peritoneum. Tanda Cullen dapat terlihat di

sekitar pusat atau linea alba terlihat biru hitam dan lebam.

Pada pemeriksaan dalam didapatkan kavum Douglas menonjol karena darah yang terkumpul

di tempat tersebut. Baik pada abortus tuba maupun pada ruptur bila serviks digerakan akan terasa

nyeri sekali (slinger pain). Douglas crise: nyeri pada penekanan kavum Douglas (DeChenerey, et al.,

2006).

2.1.5 DIAGNOSIS BANDING

Yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding ialah: 1) Infeksi pelvik, 2) Abortus iminens

atau abortus inkompletus, dan 3) Torsi kista ovarium, 4) Appendisitis. Biasanya anamnesis, gambaran

klinik, dan beberapa metode pemeriksaan dapat menegakkan diagnosis kehamilan ektopik. Ruptur

korpus luteum dapat menimbulkan gejala yang menyerupai kehamilan ektopik terganggu. Anamesis

yang cermat mengenai siklus haid penderita dapat menduga ruptur korpus luteum. Jika keadaan
mengizinkan dengan laparoskopi dapat diperoleh kepastian apa yang menyebabkan perdarahan

intraperitoneal (Rustam, 2002).

2.1.6 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan kehamilan ektopik berupa pembedahan atau medikamentosa (Rustam, 2002).

1. Operatif

Penanganan kehamilan ektopik terganggu pada umumnya adalah laparotomi. Namun, harus

diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu :

a. Kondisi Pasien saat itu

b. Kondisi anatomik organ pelvis

c. Keinginan penderita akan organ reproduksinya

d. Lokasi kehamilan ektopik

e. Kemampuan teknik pembedahan mikro operator

f. Kemampuan teknologi fertilisasi in vitro setempat

Hasil pertimbangan tersebut menentukan apakah perlu dilakukan salphingektomi pada

kehamilan tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan

salphingostomi atau reanostomosis tuba. Apabila kondisi pasien buruk, misalnya syok, lebih

baik dilakukan salphingektomi.

Pada kehamilan tuba dilakukan salphingostomi, partial salphingektomi, salphingektomi,

atau salphingo-ooforektomi, dengan mempertimbangkan jumlah anak, umur, lokasi

kehamilan ektopik, umur kehamilan, dan ukuran produk kehamilan.

2. Kemoterapi

Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis yang belum pecah pernah dicoba ditangani

dengan kemoterapi untuk menghindari tindakan pembedahan.

Kriteria kasusnya, yaitu:

a. Kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah

b. Diameter kantung gestasi < 4 cm

c. Perdarahan dalam rongga perut kurang dari 100 ml


d. Tanda vital baik dan stabil.

Obat yang digunakan adalah methotrexate 1 mg/kg IV dan citrovorum faktor 0,1 mg/kg IM

berselang-seling selama 8 hari. Methotrexat merupakan antagonis asam folat (4-amino-10-

methylfolic acid). Methotrexat bekerja mempengaruhi sintesis DNA dan multiplikasi sel

dengan menginhibisi kerja enzim dihydrofolate reduktase, maka selanjutnya akan

menghentikan proliferasi trofoblas.

2.1.7 PROGNOSIS

Prognosis tergantung dari jumlah darah yang keluar, kecepatan menetapkan diagnosis, dan

tindakan yang tepat. Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis

dini dan persediaan darah yang cukup. Prognosis juga tergantung dari cepatnya pertolongan, jika

pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi (Arif, et al., 2001).

A. Manajemen Resusitasi Pasien Perdarahan

Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita perdarahan adalah mengetahui tanda-

tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat mendiagnosis syok. Diagnosis awal

didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul akibat dari perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang

tidak adekuat. Definisi syok sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran darah yang

mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga menjadi perangkat

untuk diagnosis dan terapi (Parks, 2004).

Langkah kedua dalam pengelolaan awal terhadap syok adalah mencari penyebab syok, yang

untuk penderita trauma berhubungan dengan mekanisme cedera. Kebanyakan penderita perdarahan

akan mengalami syok hipovolemik (Parks, 2004).

Estimasi Jumlah Perdarahan

Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan berat badan.

Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa adalah kira-kira 7% dari berat badan. Dengan

demikian laki-laki yang berat 70 kg, mempunyai volume darah yang beredar kira-kira 5 liter. Bila

penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan berdasarkan berat badan idealnya,
karena bila kalkulasi didasarkan berat badan sebenarnya, hasilnya mungkin jauh di atas volume

sebenarnya. Volume darah anak-anak dihitung 8% sampai 9% dari berat badan (80-90 ml/kg) (Parks,

2004).

Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita, 65 – 70 ml/kg berat badan.

Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan

cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang

untuk sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang

dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2 – 4 x volume yang hilang

(Wirjoatmodjo, 2000).

Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria dari American College of

Surgeon. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan Ringer Laktat akan meresap keluar

vaskular menuju interstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan baru antara Volume

Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan Interstitial Fluid (ISF). Ekspansi ISF ini merupakan interstitial

edema yang tidak berbahaya. Bahaya edema paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-

organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis spontan. Jika keadaan

terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan furosemid setelah transfusi diberikan

(Wirjoatmodjo, 2000).

Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan untuk

menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau hanya menaikkan
volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid. Indikasi transfusi darah antara lain

(Latief, et al., 2002):

 Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan paru,

kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.

 Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah

Tabel 1 American College of Surgeons Classification of Acute hemorrhage

1. Perdarahan Kelas I (Kehilangan volume darah sampai 15%)

Gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan

terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari tekanan darah, tekanan nadi, atau

frekuensi pernafasan. Untuk penderita yang dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak

perlu diganti. Pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume darah

dalam 24 jam. Namun, bila ada kehilangan cairan karena sebab lain, kehilangan jumlah darah ini

dapat mengakibatkan gejala-gejala klinis. Penggantian cairan untuk mengganti kehilangan primer,

akan memperbaiki keadaan sirkulasi (Parks, 2004).

2. Perdarahan Kelas II (Kehilangan volume darah 15% - 30%)


Gejala klinis termasuk takikardi, takipnoe, dan penurunan tekanan nadi. Penurunan tekanan

nadi ini terutama berhubungan dengan peningkatan dalam komponen diastolik karena bertambahnya

katekolamin yang beredar. Zat inotropik ini menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh

darah perifer. Tekanan sistolik hanya berubah sedikit pada syok yang dini karena itu penting untuk

lebih mengandalkan evaluasi tekanan nadi daripada tekanan sistolik. Penemuan klinis yang lain yang

akan ditemukan pada tingkat kehilangan darah ini meliputi perubahan sistem syaraf sentral yang tidak

jelas seperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan. Walau kehilangan darah dan perubahan

kardiovaskular besar, namun produksi urin hanya sedikit terpengaruh. Aliran air kencing biasanya 20-

30 ml/jam untuk orang dewasa. Kehilangan cairan tambahan dapat memperberat manifestasi klinis

dari jumlah kehilangan darah ini (Parks, 2004).

3. Perdarahan Kelas III (Kehilangan volume darah 30% - 40%)

Akibat kehilangan darah sebanyak ini dapat sangat parah. Penderita hampir selalu

menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnue yang jelas,

perubahan penting dalam status mental, dan penurunan tekanan darah sistolik. Dalam keadaan yang

tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan

sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir selalu memerlukan tranfusi

darah. Keputusan untuk memberi tranfusi darah didasarkan atas respons penderita terhadap resusitasi

cairan semula dan perfusi dan oksigenisasi organ yang adekuat (Parks, 2004).

4. Perdarahan Kelas IV (Kehilangan volume darah lebih dari 40%)

Dengan kehilangan darah sebanyak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-gejalanya meliputi

takikardi yang jelas, penurunan tekanan darah sistoluk yang cukup besar, dan tekanan nadi yang

sangat sempit. Produksi urin hampir tidak ada, dan kesadaran jelas menurun. Pada kulit terlihat pucat

dan teraba dingin. Penderita ini sering kali memerlukan tranfusi cepat dan intervensi pembedahan

segera. Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita mengakibatkan ketidaksadaran, kehilangan

denyut nadi dan tekanan darah (Parks, 2004).


2.1.8 CAIRAN PENGGANTI DEFISIT PUASA

Pasien pre operatif biasanya akan dipuasakan selama waktu tertentu. Pada pasien dewasa

umumnya puasa dilakukan selama 6-8 jam pre operasi, untuk anak kecil selama 4-6 jam, dan 3-4 jam

pada bayi. Makanan tidak berlemak masih diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi dimulai.

Minuman bening atau teh manis masih diperbolehkan sampai 3 jam sebelum induksi, sedangakan

untuk keperluan minum obat diperbolehkan minum air putih dalam jumlah yang terbatas 1 jam

sebelum induksi dimulai.

Terapi cairan preoperatif juga termasuk penggantian defisit cairan selama puasa tersebut. Hal

ini dikarenkan pada pasien yang puasa atau tidak mendapatkan intake oral, defisit cairan dan elektrolit

bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat, dan

insensible losses yang terus-menerus dari paru dan kulit. Untuk menggantikan defisit cairan selama

puasa tersebut dibutuhkan cairan maintenance yang dapat diperkirakan dari formula Holiday Segar

sebagimana tabel berikut (Morgan, 2006):

Berat Badan Jumlah Cairan (cc/KgBB/Jam)

10 kg pertama 4

10 kg kedua 2

Tiap Kg di atas 20kg 1

2.2 EVALUASI RESUSITASI CAIRAN DAN PERFUSI ORGAN

Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk diagnosis

syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respons penderita. Pulihnya tekanan darah ke normal,

tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan bahwa perfusi sedang

kembali ke normal. Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberikan informasi tentang

perfusi organ. Perbaikan pada status sistem saraf sentral dan peredaran kulit adalah bukti penting

mengenai peningkatan perfusi, tetapi kualitasnya sukar ditentukan (Parks, 2004).

Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi ginjal. Produksi

urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal yang cukup, bila tidak dimodifikasi
oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan salah satu dari pemantauan utama

resusitasi dan respons penderita (Parks, 2004).

Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran darah ginjal.

Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam

pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1

tahun). Bila kurang, atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini

menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya penggantian volume dan

usaha diagnostik (Parks, 2004).


BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Usia : 25 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Permadi, Polehan, Malang

Pekerjaan : Swasta

Status Perkawinan : Sudah kawin

Tinggi badan : 150cm

Berat Badan : 40 kg

Nomer Register : 111233xx

Tanggal MRS : 5 Juli 2013

Lama Anestesi : 22.30 – 00.00 (90 menit)

Diagnosa Pra Bedah : KET

Jenis Pembedahan : Explorasi Laparatomi + Partial Salphyngectomy

Jenis Anestesi : GA - Intubasi

3.2 Persiapan Pre Operasi

3.2.1 Anamnesis (5 Juli 2013)

 A (Alergy)

Tidak terdapat riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan. Tidak ada riwayat asthma, atopi,

maupun riwayat alergi pada keluarga

 M (Medication)

Pasien tidak sedang menjalani pengobatan apapun.


 P (Past Medical History)

Tidak didapatkan riwayat hipertens, dabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada,

maupun keterbatasan aktifitas akiat sesak. Riwayat anestesi sebelumnya belum ada. Pasien tidak

merokok maupun mengonsumsi minuman beralkohol. Keadaan psikis pasien: kesan tenang

 L (Last Meal)

Pasien terakhir makan pukul 07.00 WIB.

 E (Elicit History)

Pasien mengeluhkan nyeri seluruh perut dan keluar flek-flek dari jalan lahir sejak pukul 13.00

namun tetap di rumah. Pukul 18.00, nyeri semakin bertambah dan pasien memeriksaan diri ke dokter

spesialis obstetri dan ginekologi. Selanjutnya dilakukan USG dan didapatkan hasil kehamilan di luar

kandungan. Pasien mengetahui bahwa dirinya hamil sejak telat haid 1 bulan yang lalu (25 Juni 2013)

dengan tes kencing sendiri. Pasien belum mendapat terapi apapun dari dokter SpOG tersebut.

3.2.2 Pemeriksaan Fisik (5 Juli 2013)

 B1 (Breathing)

Airway paten, nafas spontan, RR 26x/menit, Saturasi O2 99% dengan NRBM 10lpm
− − − −
Rhonki − −, Wheezing − −
− − − −

Buka mulut >3 jari, mallampati 1, gigi palsu (-), maloklusi rahang (-)

Leher gemuk (-), gerak leher bebas

 B2 (Blood)

Akral dingin, pucat, dan kering. Nadi 110x/menit, regular, kuat, CRT <2”, TD 100/70

mmHg, S1 S2 tunggal, murrmur (-), gallop (-)

 B3 (Brain)

Compos mentis, GCS 456

 B4 (Bladder)
Produksi urine (+), kateter (+)

produksi urine inisial 100cc, produksi urine selanjutnya 125cc/3,5 jam atau sebanyak

35cc/jam (0,8cc/kgBB/jam). Urine berwarna kuning jernih.

 B5 (Bowel)

Slightly distended, BU (+) Normal, nyeri tekan (+) di seluruh lapangan abdomen

 B6 (Bone)
− − − − + +
Edema − −, sianosis − −, anemis + +

3.3 Pemeriksaan Penunjang Pre-Operatif

3.3.1 USG

Menyokong gambaran KET dengan cairan bebas >1000cc suspek hemoperitonium.

Berdasarkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang, maka pasien ini

dikategorikan dalam ASA 3 dengan KET tanpa hasil laboratorium.

3.4 Assestment and Planning

 Assesment

o Aktual: KET

o Potensial: anemia, syok hipovolemik

 Planning

- Tanggal di lakukan anastesi : 5 Mei 2013

- Jenis anastesi : GA Intubasi

- Jenis pembedahan : explorasi laparotomi + partial salphyngectomy

3.5 Persiapan Preoperatif

- Surat persetujuan operasi dan anastesi

- O2 10 lpm NRBM

- IVFD RL 4000 mL
- Cek DL dan FH

- Pasan kateter urine

- KIE keluarga engenai rencan dan resiko operasi

- Premedikasi :

o Inj. Ranitidin 1 amp

o Inj. Metoclopramide 1 amp


BAB 4

PEMBAHASAN

Penanganan awal terhadap pasien ini adalah melakukan penilaian preoperatif melalui

anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesa terhadap pasien menggunakan metode AMPLE yaitu menanyakan tentang riwayat

alergi, riwayat medikasi, riwayat penyakit sebelumnya (past medical history), riwayat makan terakhir

(last meal), kejadian yang dialami oleh pasien (event). Pada kunjungan preoperatif pada tanggal 5 juli

2013 kepada pasien ini, didapatkan bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan

dan makanan. Pasien tidak memilki riwayat asthma, atopi, maupun riwayat alergi pada keluarga.

Pasien tidak sedang menjalani pengobatan apapun dan tidak memiliki riwayat hipertensi, dabetes

mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, maupun keterbatasan aktifitas akibat sesak. Riwayat

anestesi sebelumnya belum ada. Pasien tidak merokok maupun mengonsumsi minuman beralkohol.

Pasien terakhir makan pukul 07.00 WIB.

Pasien mengeluhkan nyeri seluruh perut dan keluar flek-flek dari jalan lahir sejak pukul 13.00

WIB namun tetap di rumah. Pukul 18.00 WIB, nyeri semakin bertambah dan pasien memeriksaan diri

ke dokter spesialis obstetri dan ginekologi. Selanjutnya dilakukan USG dan didapatkan hasil

kehamilan di luar kandungan. Pasien mengetahui bahwa dirinya hamil sejak telat haid 1 bulan yang

lalu (25 Juni 2013) dengan tes kencing sendiri. Pasien belum mendapat terapi apapun dari dokter

SpOG tersebut. Pasien datang ke UGD RSSA pada pukul 19.00 WIB.

Pemeriksaan fisik dikerjakan dengan melihat komponen B1 sampai B6 sebagai berikut:

 B1 (Breathing)

Airway paten, nafas spontan, RR 26x/menit, Saturasi O2 99% dengan NRBM 10 liter per

menit
− − − −
Rhonki − − , Wheezing − −
− − − −

Buka mulut >3 jari, mallampati 1, gigi palsu (-), maloklusi rahang (-)
Leher gemuk (-), gerak leher bebas

 B2 (Blood)

Akral dingin, pucat, dan kering. Nadi 110x/menit, regular, kuat, CRT <2”, TD 100/70

mmHg, S1 S2 tunggal, murrmur (-), gallop (-)

 B3 (Brain)

Compos mentis, GCS 456

 B4 (Bladder)

Produksi urine (+), kateter (+)

produksi urine inisial 100cc, produksi urine selanjutnya 125cc/3,5 jam atau sebanyak

35cc/jam (0,8cc/kgBB/jam). Urine berwarna kuning jernih.

 B5 (Bowel)

Slightly distended, BU (+) Normal, nyeri tekan (+) di seluruh lapangan abdomen

 B6 (Bone)
− − − − + +
Edema − −, sianosis − −, anemis + +

Pemeriksaan penunjang pada pasien ini dikerjakan untuk memastikan diagnosa pasien.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah USG. Dari hasil USG didapatkan data yang sesuai

dengan gambaran KET dengan adanya cairan bebas sekitar 1000cc suspek hemoperitonium.

Sedangkan pemeriksaan lain seperti pemeriksaan hitung darah lengkap dan faal hemostasis belum

didapatkan hasilnya sampai pasien naik ke kamar operasi.

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tersebut disimpulkan

bahwa pasien diklasifikasikan dengan ASA 3 dengan KET tanpa hasil laboratorium.

Pasien dengan KET pada umumnya mengalami perdarahan yang hebat di intraperitoneumnya.

Perdarahan tidak selalu bisa keluar melalui jalan lahir. Pada pasien ini, perdarahan yang keluar

melalui jalan lahir hanya berupa flek-flek saja, namun kondisi tanda-tanda vital pasien mulai

menunjukkan tanda-tanda shock seperti peningkatan nadi dan laju pernafasan. Dengan demikian, pada

pasien ini dicurigai mengalami perdarahan intraabddomen.


Jumlah perdarahan intraabdomen bisa diperkirakan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik,

maupun pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesa bisa membantu menilai status mental pasien.

Pemeriksaan fisik bisa digunakan untuk menilai denyut nadi, tekanan darah, capilary refill time, laju

pernafasan, keluaran urine dari pasien, serta status mental pasien. Dari anamnesa dan pemeriksaan

fisik tersebut maka kondisi pasien bisa diklasifikasikan dalam perdarahan derajat 1, 2, 3 atau derajat

4. Selanjutnya dari klasifikasi tersebut bisa diperkirakan berapa persen perdarahan pada pasien,

seperti pada tabel berikut:

Pemeriksaan penunjang seperti USG yang dikerjakan pada pasien digunakan untuk

memastikan diagnosis dan memperkirakan secara visual perdarahan yang terjadi pada pasien. Namun

diagnosis atau klasifikasi perdarahan harus dikerjakan sesegera mungkin, dan harus segera dilakukan

penanganan awal, sehingga cukup ditentukan dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik (B1 sampai

B6).

Gejala klinis pada pasien ini antara lain adalah meningkatnya denyut nadi menjadi

110x/menit, peningkatan laju pernafasan menjadi 26x/menit, serta akral pasien yang mulai dingin dan

pucat. Sedangkan tekanan darah, tekanan nadi, status mental, dan produksi urine pasien masih dalam

batas normal. Maka dapat diperkirakan bahwa pasien ini mengalami perdarahan derajat 2 atau sebesar

15-30% dari EBV (Estimated Blood Volume).

Estimated blood volume untuk pasien dewasa adalah 65cc/kgBB. Sehingga pada pasien ini

yang berat badannya sekitar 40kg didapatkan:


EBV = 40x65 = 2600 cc

Perdarahan pada pasien diperkirakan adalah derajat 2 atau 15 – 30% dari EBV. Maka, jumlah

perdarahan pada pasien diperkirakan sebesar:

15% x 2600 = 390 cc

Hingga

30% x 2600 = 780 cc

Untuk mengganti jumlah perdarahan pada perdarahan derajat 1 dan derajat 2 bisa digunakan

cairan kristaloid sebanyak 3-4 kali volume perdarahan. Pada pasien ini diperkirakan perdarahannya

sebesar 390 cc s.d 780 cc tersebut maka perlu digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 1170 cc

s.d 3120 cc.

Selain jumlah perdarahan yang banyak, jam makan dan minum terakhir pasien adalah pukul

07.00 WIB atau telah berpuasa selama 15,5 jam sebelum operasi dimulai pada pukul 22.30. Karena itu

dibutuhkan rehidrasi untuk menggantikan cairan pasien selama berpuasa sebesar cairan maintenance

yang diperlukan. Cairan maintenance bisa dihitung dengan menggunakan rumus Holiday Segar

seperti pada anak-anak sebagaimana tabel berikut:

Berat Badan (kg) mL/kgBB/jam mL/kgBB/hari


1 – 10 4 100
11 – 20 2 50
21 – n 1 20

Dari perhitungan, didapatkan:

10 x 4 = 40 mL

10 x 2 = 20 mL

20 x 1 = 20 mL

Total: 80 mL/jam

Pasien berpuasa selama 15,5 jam sehingga diperlukan 15,5 x 80 cc = 1240 cc cairan.

Dengan demikian, maka total cairan yang dibutuhkan pasien ini selama preoperatif adalah

cairan untuk mengganti perdarahannya (3120 cc) ditambah dengan jumlah kebutuhan maintenance

pasien selama puasa (1240 cc). Jumlah total cairan tersebut adalah sejumlah 4360 cc.
Selama pre operasi, pasien mendapat cairan sebanyak 4000cc kristaloid, Setelah mendapat

cairan tersebut, tanda vital pasien mengalami perbaikan. Laju pernafasan pasien turun dari 26x/menit

menjadi 22x/menit. Tekanan darah pasien meningkat dari 100/70 mmHg menjadi 144/73 mmHg.

Nadi pasien turun dari 110 kali/menit menjadi 90x/menit. Produksi urine, capillary refill time, serta

status mental pasien dalam batas normal. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sirkulasi pasien telah

membaik dan bisa dinaikkan ke meja operasi. Sedangkan sisa cairan maintenance pasien sebanyak

360 cc bisa diberikan selama operasi.


BAB 5

KESIMPULAN

Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi seorang wanita yang dapat

menyebabkan kondisi yang gawat bagi wanita tersebut, salah satunya yaitu perdarahan. Perdarahan

terjadi baik sebelum operasi maupun saat operasi karena penatalaksanaan pada pasien kehamilan

ektopik adalah operasi laparotomi. Oleh karena itu resusitasi pada pasien kehamilan ektopik

terganggu sangat penting. Pemberian cairan resusitasi pada pasien kehamilan ektopik terganggu

diberikan saat di pre-operasi, perioperatif dan postoperatif. Pemberian cairan preoperatif diberikan

berdasarkan klasifikasi perdarahan yang dialami pasien serta perkiraan jumlah perdarahannya

berdasarkan kondisi tanda vital pasien. Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi

(puasa, lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah

sebelum induksi. Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan

dasar pasien. Selanjutnya dilakukan monitoring resusitasi cairan menggunakan produksi urin dari

pasien, sesuai yang telah disebutkan di atas bahwa produksi urin dijaga tetap dengan volume 0.5 - 1

mL/kg/jam.
Bibliography

Arif, M., a, a, a, a, a, et al. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed. Philadelphia: Lippincot
williams and wilkins; 2006: 74-97.

DeChenerey, A., a, a, a, a, a, et al. (2006). Current Diagnosis and Treatment in Obstetrics and
Gynecology. New York: McGraw-Hill's.

Gibbs, R., a, a, a, a, a, et al. (2008). Danforth's Obstetrics and Gynecology. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed. Missouri: Elsevier-mosby;
2005.p3-227

Latief, S., a, a, a, a, a, et al. (2002). Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Parks, S. (2004). Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors. Jakarta: Ikatan Ahli Bedah
Indonesia.

Rustam, M. (2002). Sinopsis Obstetri, Jilid 1. Jakarta: ECG.

Wirjoatmodjo, K. (2000). Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan S1


Kedokteran. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai