Anda di halaman 1dari 12

ANGKUTAN MASSAL PERKOTAAN BERBASIS JALAN RAYA (BUS RAPID

TRANSIT), PILIHAN TEPAT UNTUK NEGARA BERKEMBANG

Zainal Abidin
(Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surabaya)

Angkutan umum memiliki peran yang sangat penting bagi penduduk suatu kota untuk
bisa secara efektif memberikan akses bagi barang dan jasa. Penemuan sistem BRT
menjadi salah satu mekanisme yang efektif bagi perbaikan sistem angkutan umum
yang bisa menjangkau keseluruhan jaringan secara cepat dengan kualitas pelayanan
yang tinggi dengan biaya yang relatip murah. BRT merupakan sistem transportasi
berbasis Bis berkualitas tinggi yang bisa bisa melayanai perjalanan di perkotaan secara
cepat, nyaman dan biaya yang sangat efektif melalui infrastruktur jalan yang terpisah,
dengan pengoperasian yang cepat dan terjadual, dan dengan pelayanan yang sangat
bagus. Perbedaan utama antara sistem BRT dengan sistem transportasi perkotaan
berbasis rel adalah bahwa BRT memberikan pelayanan dengan kualitas tinggi pada
harga yang sebagian besar warga kota mampu membayarnya. Oleh karenanya, saat ini
konsep BRT dilihat oleh sebagian besar kota sebagai solusi bagi transportasi dengan
biaya yang paling efektif. Konsep BRT sangat potensial untuk secara besar-besaran
merubah cara transportasi di perkotaan. Sampai saat ini “Full BRT System” telah
diselenggarakan di beberapa Negara berkembang seperti Bogotá (Colombia), Curitiba
(Brazil), Goiânia (Brazil), Jakarta (Indonesia), dan Quito (Ecuador). Di Negara-negara
maju “Full BRT System” diselenggarakan di Brisbane (Australia), Ottawa (Canada),
dan Rouen (France). Secara keseluruhan tidak kurang dari 40 kota di enam benua telah
menyelenggarakan system “BRT”, dan lebih banyak lagi yang sedang direncanakan
maupun dibangun.

Kata Kunci : Angkutan Umum, Bus Rapid Transit, Kualitas Pelayanan

1. Latar Belakang (kondisi angkutan umum eks surabaya dll,


Sebagai konsekuensi logis dari besarnya jumlah penduduk dan tingginya
intensitas kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan adalah berkembangnya permasalahan
transportasi. Permasalahan besar transportasi perkotaan yang dihadapi Kota-kota besar
seperti Jakarta dan Surabaya yang sampai saat ini belum terpecahkan adalah kemacetan
lalu-lintas dan buruknya pelayanan angkutan umum.
Telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah kota baik dalam bentuk
studi-studi, meningkatkan jaringan jalan yang ada, membangun jaringan jalan baru
maupun rekayasa lalu-lintas dan manajemen lalu-lintas. Namun sejauh ini hasilnya
masih jauh dari yang diharapkan, kemacetan lalu-lintas masih terjadi dimana-mana
bahkan cenderung meluas. Demikian juga dengan pelayanan angkutan umum belum
menunjukkan perbaikan tingkat pelayanan yang memadahi.
Belum teratasinya permasalahan lalu-lintas tersebut tentu akan menimbulkan
dampak yang sangat besar terhadap pemakai jalan dalam hal pemborosan bahan bakar,

1
pemborosan waktu dan rendahnya kenyamanan pengguna jalan. Demikian juga dengan
permasalahan buruknya pelayanan angkutan umum yang mengakibatkan sebagian
masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada menggunakan
angkutan umum sehingga beban ruas-ruas jalan menjadi sangat berat. 1 Sedangkan
dampak terhadap masyarakat secara luas adalah menurunnya kualitas lingkungan
perkotaan dan lebih jauh lagi akan menurunkan kualitas hidup masyarakat
Data populasi kenadaran di Surabaya dari tahun 2004 sampai tahun 2007
menurut Dinas Perhubungan Kota Surabaya adalah sebagi berikut,

Sedang
data
panjang
jalan di Kota Surabaya dari tahun 2004 sampai tahun 2007 menurut Dinas Bina Marga
dan Pematusan Kota Surabaya, total panjang jalan di Kota Surabaya adalah 1.364 km,
dari total panjang tersebut yang berada di wilayah Surabaya Timur adalah 518 km,
Surabaya Barat 213 km, Surabaya Utara 153 km, Surabaya Selatan 302 km dan
Surabaya Pusat 178 km. Sedangkan panjang jalan Nasional adalah 80.87 km dan jalan
Propinsi 18.57 km. Sehingga dengan melihat fenomena tersebut diperkirakan pada
tahun 2020 di kota Surabaya akan mengalami kemacetan total, sebagaiman
diperlihatkan pada ilustrsi grafik di bawah ini, yang memperlihatkan pada tahun 2020
jumlah luas ruang jalan akan sama dengan jumlah luas kendaraan yang ada di Kot
Surabaya.

1
Data penghitungan lalu-lintas di ruas-ruas jalan yang masuk dalam proyek Surabaya
Urban Development Programme (SUDP) TA. 1999-2003 menunjukkan bahwa, jumlah
kendaraan pribadi dan sepeda motor rata-rata 80 % dari volume lalu-lintas, data lain
dari BPS Kota Surabaya Tahun 2006 menunjukkan bahwa Sepeda Motor menempati
porsi 75% dari total kepemilikan kendaraan di Surabaya.

2
2. Inefisiensi Penggunaan Ruang Jalan

Selain permasalahan tersebut di atas pada umumnya terdapat permasalahan


mendasar di Indoensia yaitu inefisensi penggunaan ruang jalan. Hal tersebut dapat
dilhat dari data rata-rata jumlah penumpang tiap kendaraan bermotor yang hanya 1,5
penumpang tiap kendaraan. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya kalau di jalan-
jalan penuh dengan kendaraan maka sebenarnya yang banyak menggunakan ruang jalan
adalah kursi kosong. Lebih jelasnya fakta tersebut diperlihatkan pada ilustrasi gambar di
bawah ini yang menunjukkan bahwa penggunaan ruang jalan yang sangat tidak efisien.

3. Angkutan Massal Berbasis Jalan Raya (Bus Rapid Transit/BRT)


Angkutan umum massal memiliki arti yang sangat penting bagi penduduk suatu
kota yang sedang berkembang dengan pesat untuk bisa secara efektif memberikan akses
bagi barang dan jasa.
Sistem angkutan massal yang umum dipergunakan di perkotaan adalah sebagai
berikut :
1. Bus Rapid Transit (BRT) –Teknologi berbasis Bis, pada umumnya beroperasi
pada jalur khusus yang sebidang dengan permukaan jalan yang ada, pada
kondisi tertentu (mis persimpangan atau pusat kota) yang diperlukan pemisahan
elevasi, BRT dilewatkan terowongan atau jembatan khusus.
2. Light Rail Transit (LRT) –Teknologi berbasis Rel-Listrik, pada umumnya
beroperasi menggunakan kendaraan rel tunggal atau kereta listrik pendek di jalur

3
rel khusus sebidang dengan permukaan tanah dengan konektor listrik di atas
kendaraan. Jenis lain dari LRT adalah Tram System, pada umumnya dengan
ukuran kendaraan yang lebih kecil dan beroperasi di jalur jalan raya tanpa
pemisahann dengan lalu-lintas lainnya.
3. Underground Metro –Teknologi berbasis kereta api (heavy rail) beroperasi
pada jalur di bawah permukaan tanah atau terowongan.
4. Elevated rail transit –Teknologi berbasis kereta api (heavy rail) beroperasi
pada jalur di atas permukaan tanah atau jalan layang.
5. Suburban rail –Teknologi berbasis kereta api yang beroperasi pada jalur khusus
di permukaan tanah atau di atas permukaan tanah; pada umumnya melayani
pernumpang dari pinggiran kota ke kota.
6. Personal Rapid Transit (PRT) –Teknologi berbasis rel atau roda, mengangkut
penumpang dengan kendaraan berfasilitas AVG (automatic guided vehicles)
yang beroperasi pada jalur khusus.
Penemuan BRT menjadi salah satu mekanisme yang paling efektif bagi
percepatan sistem angkutan umum yang bisa menjangkau keseluruhan jaringan secara
cepat dengan kualitas pelayanan yang tinggi. Konsep BRT sangat potensial untuk secara
besar-besaran merubah cara transportasi di perkotaan.
BRT merupakan sistem transportasi berbasis Bis berkualitas tinggi beroperasi di
yang bisa bisa melayanai perjalanan di perkotaan secara cepat, nyaman dan biaya yang
sangat efektif dengan melalui infrastruktur jalan yang terpisah, dengan pengoperasian
yang cepat dan terjadual, dan dengan pelayanan yang sangat bagus.
Berbagai nama digunakan dalam penerapan konsep BRT di berbagai negara,
diantaranya :
 High-Capacity Bus Systems,
 High-Quality Bus Systems,
 Metro-Bus,
 Surface Metro,
 Express Bus Systems, dan
 Busway Systems.
Konsep BRT didasarkan pada beberapa hal yaitu infrastruktur berkualitas,
pengoperasian yang efisien, pengelolaan dan kelembagan yang efektif dan transparan,
teknologi canggih dan pemasaran maupun pelayanan sempurna.

4
Dalam hal kinerja dan kenyamanan, BRT sebanding dengan sistem transportasi
modern berbasis Rel, tetapi dengan biaya yang berbeda. Sistem BRT secara umum
memerlukan biaya 4 sampai 20 kali lebih kecil dari pada Light Rail Transit (LRT), 10
sampai 100 kali lebih kecil dari sistem Metro. Perbedaan utama antara BRT dengan
sistem transportasi perkotaan berbasis rel adalah bahwa BRT memberikan pelayanan
dengan kualitas tinggi pada harga yang sebagian besar warga kota mampu
membayarnya. Oleh karenanya, saat ini konsep BRT dilihat oleh sebagian besar kota
sebagai solusi bagi transportasi dengan biaya yang paling efektif.
Pada umumnya sistem BRT terdiri dari beberapa bagian sebagai berikut :
1. Infrastruktur
 Jalur bis yang terpisah pada umumnya terletak di tengah-tengah bagian jalan
(median);
 Terdiri dari jaringan rute atau koridor yang terintegrasi;
 Memiliki tempat pemberhentian yang nyaman, aman dan terlindung dari
gangguan cuaca;
 Tempat pemberhentian memiliki pintu yang sebidang dengan lantai Bis;
 Memiliki tempat pemberhentian yang terintegrasi antara jalur utama, jalur
feeder dan layanan system transportasi lainnya;
 Meningkatkan ruang publik

2. Pengoperasian
 Terjadual dengan pelayanan yang relative cepat antara daerah asal dan tujuan
utama;
 Memiliki kapasitas besar untuk penumpang sepanjang koridor;
 Naik & turun penumpang secara cepat;
 Tarif dilakukan sebelum penumpang naik;
 Sistem tariff terintegrasi unutuk semua rute, koridor dan feeder;
3. Manajemen, Kelembagaan dan Keuangan
 Pembatasan terhadap operator dengan perbaikan struktur administrasi dan
bisnis;
 Seluruh kegiatan penagadaan operator dilakukan melalui proses pelelangan
yang kompetitif dan transparan;

5
 Manajemen yang efisien akan meminimalkan pemberian subsidi bagi sektor
publik;
 Pengoperasian dan pengumpulan tarif dilakukan oleh sistem manajemen yang
terpisah;
 Kontrol kualitas dilakukan oleh lembaga independent
4. Penggunaan Teknologi
 Teknologi kendaraan beremisi rendah;
 Teknologi kendaraan berkebisingan rendah;
 Teknologi kendaraan dengan pengumpul tiket otomatis;
 Sistem manajemen menggunakan pusat pengendali dengan menggunakan
Intelligent Transportation Systems (ITS), misalnya yang mampu mengenali
lokasi kendaraan secara otomatis;
 Menggunakan sistem prioritas pada simpang atau jembatan layang.
5. Pemasaran dan Pelayanan
 Distinctive marketing identity for system
 Memberikan pelayanan yang mampu memuaskan keinginan pengguna;
 Kemudahan akses antara sistem BRT dengan pilihan moda transportasi lain
(misalnya pejalan kaki, sepeda, taxi, angkot, mobil pribadi, dsb)
 Kemudahan akses bagi pengguna dengan keterbatasan fisik sperti penyandang
cacat, anak-anak dan orang tua;
 Tersedia informasi yang jelas di stasion atau kendaraan yang meliputi peta rute,
rambu dan informasi terkini lainnya.
Banyaknya variasi dalam pengoperasian sistem BRT, menjadikan sangat sulit
memberikan satu devinisi mengenai sistem BRT. Oleh karenanya yang paling
memungkinkan adalah memberikan batasan kualitas minimal yang harus dipenuhi.
Bagan di bawah ini memberikan gambaran rangkuman spektrum kualitas
penyelenggaraan sistem BRT :

6
Dari spektrum tersebut terlihat bahwa konsep “Full BRT” merupakan peringkat
tertinggi dalam pengoperasian sistem BRT dengan karakteristik minimal sebagai
berikut :
 Memiliki jalur khusus terpisah di sebagian besar sistem utama;
 Sistem jaringan terintegrasi;
 Memiliki stasiun yang nyaman, aman dan terlindung dari cuaca;
 Lantai stasiun sejajar dengan lantai kendaraan;
 Beberapa stasiun khusus mengintegrasikan jalur utama dengan jalur feeder dan
sistem transportasi yang lain;
 Sistem penarikan dan verifikasi tarif dilakukan sebelum naik kendaraan;
 Sistem tarif terintegrasi untuk seluruh koridor dan sistem feeder;
 Pembatasan terhadap operator dengan perbaikan struktur administrasi dan bisnis;
 Distinctive marketing identity for system
Berdasarkan kriteria di atas, maka sampai dengan tahun 2010 hanya ada dua
kota yaitu Bogota (Columbia) dan Curitiba (Brasil) yang bisa dikategorikan sebagai
“Full BRT system”.
Beberapa faktor lokal akan sangat mempengaruhi pengoperasian BRT. Faktor-
faktor tersebut antara lain : budaya lokal, kepadatan penduduk, distribusi perjalanan,
iklim, geografis, topografis, ketersediaan sumber dana, kapasitas dan pengetahuan
tenaga teknis local, kelembagaan yang ada dan yang paling menentukan adalah
kemauan politik untuk melaksanakan sistem dengan kualitas tinggi (BRT).

7
Meskipun demikian banyak kota yang telah menerapkan sistem BRT yang
mendekati kriteria ideal tersebut di atas. Tujuan minimal yang hendak dicapai adalah
untuk memperbaiki waktu dengan meninggalkan beberapa performa standar BRT.

PROSES PERENCANAAN BRT


Perencanaan BRT sangat tergantung dari kondisi setempat. Pada umumnya
perencanaan tersebut merupakan kombinasi dari pertimbangan-pertimbangan rasional
dan anjuran untuk penyelesaian suatu masalah. Di sisi lain kemauan politik pemerintah
merupakan hal yang paling penting dalam rencana penyelenggaraan BRT.
Seringkali suatu studi kelayakan awal sangat dianjurkan sebagai alat untuk
memberikan gambaran kepada masyarakat dan pihak pengambil kebijakan bagaimana
BRT bisa menjadi pilihan di kota, selanjutnya studi kelayakan diperlukan untuk
melakukan analisa lebih lanjut mengenai kelayakan pilihan terhadap BRT.
Idealnya rencana BRT merupakan hasil dari suatu perencanaan transportasi
makro (masterplan transportasi) yang merupakan bagian integral dari rencana
pembangunan kota. Perencanaan transportasi harus dimulai dengan analisa terhadap
kondisi eksisting dan proyeksi demand di seluruh koridor, dan selanjutnya diberikan
analisa terhadap alternatif untuk melayani perjalanan dengan sebesar-besarnya
keuntungan dan biaya sekecilnya dengan sumber daya yang tersedia. Keseluruhan
proses tersebut harus melibatkan partisipasi seluruh stakeholder. Proses perencanaan
BRT2 pada umumnya bisa diselesaikan dalam waktu 12 sampai 18 bulan. Rangkuman
proses perencanaan BRT secara lengkap disajikan pad diagram di bawah ini.

I. PERSIAPAN PROYEK

1. RENCANA PROYEK 2. PILIHAN TEKNOLOGI 3. PENTAHAPAN


- Ide proy ek - P engenalan berbagai pilihan sarana PROYEK
- Komitmen P olitik - Kriteria pemilihan - Landasan hukum
- P enjabaran V isi - P enentuan keputusan - P eny usunan Tim

4. ANALISA DEMAND 5. SOSIALISASI


- P engumpulan data - A nalisa stakeholder
- Pemilihan sistem - O perator angkutan eksisting
- A nalisa dengan metoda cepat - Lembaga masy arakat
- A nalisa dengan pemodelan - P artisipasi masy arakat

II. PERENCANAAN

6. PEMILIHAN 7. PENGOPERASIAN I 8. PENGOPERASIAN II 9. PELAYANAN


KORIDOR - S istem terbuka atau tertutup - Kapasitas koridor PENUMPANG
- Identifikasi koridor - Pilihan-pilihan pelay anan - Kecepatan rencana - Jumlah jam pengoperasian
- A nalisa koridor - Desain rute - P ersimpangan - P etunjuk rambu dan peta
2 - P emilihan jalur - P rofesionalisme
ITDP BRT Planning Guide
- Membandingkan jaringan - Keselamatan dan keamanan

10. INFRASTRUKTUR 11. PENGINTEGRASIAN 12. TEKNOLOGI


- Jalur Bis, terminal, halte, - P ejalankaki, sepeda, taxi, dll - Teknologi kendaraan
depo dll - P erencanaan tataruang - P engumpulan tarif
- P engintegrasian - ITS 8
- Utilitas, lansekap

III. RENCANA USAHA


III. RENCANA USA HA

13. ST RUK T UR 14. KELEMBAGAAN 15. BIAYA


P ERUSA H A A N - P ilihan pengaturan PENGOPERASIAN
- Transformasi preusahaan y ang - Bentuk kelembagaan - Rincian biay a operasional
ada - Rencana peny usunan - P endistribusian pendapatan
- Hubungan antar stake holder - T arif

16. BIAYA 17. PEMBIAYAAN 18. PEMASARAN


INFRASTRUKTUR - P ilihan pembiay aan - P enamaan sistem
- Rincian biay a infrastruktur - P embiay aan oleh masy arakat - Logo dan slogan
- Biay a pembebasan - P embiay aan oleh sw asta - S trategi kampany e
lahan/bangunan

IV. EVA LUA SI DA MPAK

19. ANALISA DAMPAK


- D ampak lalu-lintas
- Dampak ekonomi, lingkungan,
sosial, perkotaan

V. PELA KSA NAA N

20. RENCANA
PELAKSANAAN
- P ilihan pembiay aan
- P embiay aan oleh masy arakat
- P embiay aan oleh sw asta

Bagaimanapun, proses perencanaan BRT merupakan suatu proses berulang.


Selain dari itu juga ada suatu interaksi diantara tahapan yang berbeda dan beberapa
aktivitas sangat tergantung dari aktivitas lainnya. Sebagai contoh, analisa finansial
harus mengikuti hasil perencanaan infrastruktur dan pemilihan teknologi, dan penentuan
rute membawa dampak pada pemilihan desain jalur Bis.
4. Sistem Pengoperasian BRT
Desain pengoperasian BRT tergantung dari kualitas pelayanan yang hendak
diberikan dan keberlanjutan pembiayaannya. Sebagai pengembangan, untuk suatu
struktur pengembangan usaha pada umumnya mendefinisikan sistem BRT menjadi
Sistem Tertutup (Closed System) dan Sistem Terbuka (Open System).
Di dalam sistem tertutup (closed system), dilakukan pembatasan terhadap jumlah
operator dan jumlah kendaraan yang ada dalam suatu koridor (mis : Bogota, Curitiba
dan Jakarta). Sedangkan pada sistem terbuka, pada umumnya mengijinkan operator
eksisting untuk beroperasi (mis : Kunming dan Taipe). Dari penerapan kedua sistem
tersebut menunjukkan bahwa sistem terbuka menunjukkan kinerja di bawah sistem
tertutup.
Pendefinisian yang lain adalah berdasarkan sistem pengoperaisannya yaitu
“Trunkfeeder system” dan “Direct services system”. Di dalam sistem “trunk-feeder”

9
jenis kendaraan lebih kecil melayani wilayah dengan kepadatan lebih rendah sedangkan
jenis kendaraan lebih besar melayani jalur utama. Sistem ini memerlukan terminal
transfer, walaupun pada kenyataannya sistem ini memiliki tingkat efisiensi yang tinggi.
Di sisi lain, sistem “direct services” pada umumnya menggunakan satu jenis kendaraan
untuk menghubungkan wilayah pemukiman dengan kawasan perdagangan di dalam
kota. Sistem ini mengurangi kebutuhan transfer, akan tetapi berpotensi meningkatkan
biaya operasional. Pada umumnya titik “bottleneck” pada sistem BRT terjadi di tempat
pemberhentian. Suatu mekanisme untuk mengurai kemacetan di tempat pemberhentian
dan mempercepat waktu penumpang naik dan turun akan sangat mempengaruhi
kecepatan dan kapasitas sistem secara keseluruhan.
Diagram di bawah memberikan perbandingan kapasitas puncak sistem BRT
dibandingakna dengan sistem angkutan massal lainnya,

Sumber : ITD BRT Planning Guide


Selain memiliki keunggulan dalam hal efisiensi kapasitas angkut, BRT juga
memiliki keunggulan dalam hal biaya pembangunan dan pengoperasian sistem secara
keseluruhan sebagai mana diperlihatkan pada tabel di bawah.

10
Oleh karenanya sistem BRT menjadi pilihan banyak negara, terutama negara-
negara berkembang yang pada umumnya memiliki keterbatasan dana dalam
menyelenggarakan sistem angkutan massal.
Ukuran sukses penyelenggaraan sistem BRT di beberapa kota tersebut bisa
dilihat dari penyelenggaran sistem angkutan massal perkotaan secara keseluruhan
sebelum dan setelah sistem BRT dipergunakan. Sebelum sistem BRT dipergunakan, di
kota-kota tersebut sistem angkutan umum dikelola dengan sangat tidak efisien,
pelayanan buruk dan secara umum memberikan sumbangsih pada buruknya sistem
perkotaan.
Hal tersebut berubah dengan sangat nyata sejak sistem BRT dipergunakan,
angkutan umum menjadi sangat manusiawi, efisien dan sistem perkotaan secara umum
menjadi sangat tertata.

5. Kesimpulan

Berdasarkan kajian terhadap sistem Angkutan Massal Berbasis Jalan Raya (Bus
Rapid Transit/BRT) di atas dapat disimpulkan bahwa,
1. Penyebab permasalahan lalu-lintas di pekotaan pada umumnya adalah ketidak
efisienan penggunaan ruang jalan.

11
2. Penyelenggaraan angkutan umum massal merupakan salah satu upaya untuk
memperbaiki sistem pergerakan penduduk di perkotaan.
3. Penemuan sistem BRT merupakan awal perubahan besar pada sistem angkutan
umum massal yang selama ini dipergunakan di berbagai negara.
4. Sistem BRT terbukti sangat sesuai diterapkan di negara-negara berkembang yang
pada umumnya mengahadapi keterbatasan dana dalam menyelenggarakan sistem
angkutan umum massal yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
(1) Robertson, Douglas, Hummer, Joseph and Nelson, Donna, (1994), Manual of
Transportation Engineering Studies, Prentice Hall, Inc, New Jersey 07632.
(2) Wright, Lioyd and Hook, Walter, (2006), Bus Rapid Transit Planning Guide, 3rd
edition, The William and Flora Hewlett Foundation Global Environment Facility /
United Nations Environment Programme Deutsche Gesellschaft fur Technische
Zusammenzarbeit (GTZ) GmbH, ITDP, New York.
(3) Herbert S Levinson, New Haven, CT, Samuel Zimerman, Jenifer Clinger,
James Gast, DMJM+HARRIS Fairfax VA, Scott Rutherford, University of
Washington Seattle, WA and Eric Bruhn Transit Resource Center Philadelphia,
(2003), Bus Rapid Transit Implementation Gudelines Transit Cooperation Research
Program, Transportation Reasearch Board, Washington D.C.I
(4) Cheryl Thole, Bus Rapid Transit Stations and Shelters, (2005), Research Associate
American Planning Association Conference – National Bus Rapid Transit Institute
Center for Urban Transportation Research Center, San Francisco, California.

12

Anda mungkin juga menyukai