Anda di halaman 1dari 68

Skenario A Blok 10 Tahun 2013

Tn. Hasan, 35 tahun, tiga minggu yang lalu berwisata ke Kepulauan Bangka Belitung sela
ma tiga hari. Satu mminggu yang lalu Tn. Hasan mengeluh demam yang diikuti dengan perasaan
menggigil dan berkeringat. Pasien juga mengeluh lesu, nyeri kepala, nyeri pada tulang dan sendi
, rasa tidak nyaman pada perut serta diare ringan.
Tn. Hasan dibawa ke IGD Rumah Sakit karena mengalami kejang sekitar 10 menit dan di
ikuti dengan penurunan kesadaran sejak empat jam yang lalu. BAK berwarna seperti kopi. Bicar
a tidak pelo dan tidak ada anggota gerak lemah seisi.
Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran GCS 9, pupil isokor RC (+/+) N, konjuctiva palpebra anemis, sclera ikterik, ka
ku kuduk (-), Thorax dalam batas normal, Abdomen: hepar tidak teraba, lien Schuffner 1.
Pemeriksaan Laboratorium
Hb 4,6 mg/dl, GDS 145 mg%, preparat darah tebal didapatkan delicate ring dan gametosi
t berbentuk pisang, kepadatan parasit 13.800/uL dan preparat darah tipis didapatkan hasil P. Falc
iparum (+). Pemeriksaan penunjang yang lain belum dikerjakan karena tidak ada fasilitas.

A. Klarifikasi Istilah
1. Demam = peningkatan temperature tubuh di atas normal (> 37oC)
2. Menggigil = gemetar karena kedinginan, demam, ketakutan (tentang sikap tubuh atau
suara)
3. Lesu = berasa lemah dan lelah
4. Nyeri = rasa tidak nyaman atau menderita yang disebabkan oleh rangsangan pada ujung-
ujung saraf tertentu
5. Diare = pengeluaran tinja berair berkali-kali yang tidak normal.
6. Kejang = kaku dan menegang
7. BAK seperti kopi = Buang Air Kecil berwarna kopi yang menunjukkan adanya
hemoglobin pada urin/hemoglobunuria biasa pada pemecahan sel darah merah yang
berlebih
8. Pelo = cadel; lidah tidak mampu mengucapkan huruf tertentu
9. Lemah sesisi = atau hemiparesis = paralisis ringan atau gangguan fungsi motorik dan
sensorik pada bagian tubuh akibat lesi pada mekanisme saraf atau otot

1
10. Kesadaran GCS = Glassgow coma scale, skala yang digunakan untuk menentukan derajat
kesadaran seseorang, < 9 = parah ; 9-12 = sedang ; 13-14 = tidak ada gangguan yang
berarti ; 15 = normal (skor tertinggi)
11. Pupil isokor RC = keadaan dimana ukuran pupil kanan dan kiri sama; reflek cahaya
normal
12. Konjuctiva palpebra anemis = keadaan pucat pada konjuctiva dan palpebra ketika
dilakukan inspeksi mata
13. Sklera ikterik = keadaan yang menguning pada lapisan luar bola mata yang diakibatakan
oleh meningkatnya kadar bilirubin indirek dalam darah
14. Kaku kuduk = kaku pada bagian belakang leher
15. Lien Schuffner 1 = keadaan dimana lien dapat dipalpasi pada area Schuffner 1; Schuffner
adalah garis hayal dari arcus costae kiri yang melewati umbilicus sampai SIAS kanan.
16. Hb = pigmen pembawa oksigen pada eritrosit, dibentuk oleh eritrosi yang sedang
berkembang di dalam sumsum tulang
17. GDS = Gula Darah Sewaktu; pengukuran yang dilakukan seketika tanpa ada puasa
18. Delicate ring = bentuk stadium tropozoit, menempel pada tepi eritrosit
19. Preparat darah tebal = untuk menemukan parasit malaria, karena tetesan darahnya lebih
banyak (ada atau tidak dan bentuk secara umum)
20. Gametosit berbentuk pisang = merupakan bentuk dari stadium makrogametosit pada P.
falciparum
21. Kepadatan parasit = atau hitung parasit adalah jumlah eritrosit yang mengandung parasit
per 1000 sel darah merah, jika jumlah parasit lebih besar dari 100.000/mikroliter darah
maka menandakan infeksi
22. Preparat darah tipis = untuk menentukan spesies plasmodium secara spesifik
23. P. falciparum = genus sporozoa yang bersifat parasit pada sel darah merah hewan dan
manusia yang menyebabkan malaria subtertiana atau tropica maligna

B. Identifikasi Masalah

2
No. Fakta E-O Concern

1. Tn. Hasan mengalami kejang sekitar 10 menit dan diikuti dengan


+ vvv
penurunan kesadaran sejak empat jam yang lalu.
2. Satu minggu yang lalu, Tn. Hasan mengeluh demam yang dii + vv
kuti dengan perasaan menggigil dan berkeringat.
3. Tn. Hasan mengeluh lesu, nyeri kepala, nyeri pada tulang da + vv
n sendi, rasa tidak nyaman pada perut serta diare ringan.

4. BAK Tn. Hasan berwarna seperti kopi + vv

5. Tn. Hasan, 35 tahun, berwisata tiga minggu yang lalu ke Kep + v


ulauan Bangka Belitung
6. Pemeriksaan fisik = Kesadaran GCS 9, konjunctiva palpebra + v
anemis, sclera ikterik, lien schuffner 1.
7. Pemeriksaan laboratorium = Hb 4,6 mg/dl, GDS 145 mg%, p + v
reparat darah tebal didapatkan delicate ring dan gametosit be
rbentuk pisang, kepadatan parasit 13.800/uL dan preparat dar
ah tipis didapatkan hasil P. falciparum (+).

C. Analisis Masalah
1. Tn. Hasan mengalami kejang sekitar 10 menit dan diikuti dengan penurunan kesadaran
sejak empat jam yang lalu
1. Bagaimana tingkat keparahan kejang berdasarkan durasinya?
Awal (< 15 menit) Lanjut (15-30 menit) Berkepanjangan (>1 jam)
Meningkatnya kecepatan Menurunnya tekanan dar Hipotensi disertai berkura
jantung,tekanan darah,ka ah ngnya aliran darah serebr
dar glukosa,suhu pusat tu disritmia um sehingga terjadi hipot
buh ensi serebrum
Gangguan sawar otak yan
g menyebabkan edema se
rebrum

3
2. Mengapa bisa terjadi penurunan kesadaran? Bagaimana hubungannya dengan
kejang?
Parasit yang sedang tumbuh mengonsumsi dan menghancurkan protein sel dengan
hebatnya terutama hemoglobin yang menyebabkan terbentuknya pigmen malaria
dan hemolisis dari sel darah merah yang terinfeksi. Ruptur dari sel ini akan menge
luarkan factor-faktor penting dan toksin seperti glikosifosfotidilnositol dari protei
n membran parasit, fosfoliopprotein, produk membran sel darah merah, dan toksin
malaria . Toksin yang keluar ini akan menginduksi terlepasnya sitokin seperti TN
F dan IL 1 dari makrofag sehingga terjadi demam. Selain itu sitokin pro inflamasi
juga keluar seperti TNF alpha dan Interferon alpha. Dilain pihak sitokin mempuny
ai efek patologis apabila berada dalam kadar yang berlebihan. Penelitian Dobbie d
kk menunjukkan bahwa rangsangan sitokin bisa menghasilkan peningkatan kadar
asam quinolinik yang merupakan eksitotoksin endogen (toksik yang bersifat eksita
si/merangsang) yang dihasilkan oleh microglia. Toksin ini merupakan agonis rese
ptor glutamat NMDA, perangsangan reseptor berlebihan dapat menyebabkan keja
ng. Selain itu, sitokin juga dapat menginduksi penambahan dan produksi yang tida
k terkontrol dari nitrit oksida. Nitrit Oksida dapat berdifusi kedalam sawar darah o
tak dan mengganggu fungsi sinaps yang mirip anastesi umum dan konsentrasi etan
ol yang tinggi yang menurunkan kesadaran.

2. Satu minggu yang lalu, Tn. Hasan mengeluh demam yang diikuti dengan perasaan
menggigil dan berkeringat
3. Mengapa keluhan baru timbul dua minggu setelah Tn. Hasan berwisata ke
Kepulauan Bangka Belitung?
Plasmodium penyebab malaria memiliki masa inkubasi. Masa inkubasi adalah ren
tang waktu sejak sporozoit masuk sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai de
ngan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies Plasmodium.
P. Falciparum : 9 – 14 (12) hari
P. Vivax : 12 - 17 (15) hari
P. Ovale : 16 - 18 (17) hari

4
P. Malariae : 18 - 40 (28) hari

4. Bagaimana mekanisme demam yang diikut menggigil dan berkeringat?

i. Menggigil
Plasmodium melepaskan belasan merozoit kedalam sirkulasi darah. Merozoit ya
ng dilepaskan akan masuk ke dalam sel res di limpa, lalu akan mengalami fagosi
tosis dan filtrasi. Merozoit yang lolos akan menginvasi eritrosit yang selanjutnya
parasit akan berkembang biak secara seksual didalam eritrosit. Parasit didalam s
el darah merah akan mengalami stadium matur. Eritrosit parasit stadium matur a
kan mengalami penonjolan membentuk knob dengan hrp1, sebagai komponen ut
ama bila eritrosit parasit mengalami merogoni akan merangsang TNF alfa dan IL
1. Akan terbawa aliran darah sampai ke endotel hypothalamus. Sehingga keluara
lah prostaglandin yang akan memicu aktivasi siklik AMP hipotalamus yang men
yebabkan peningkatan set point hipotalamus sehingga menghasilkan demam atau
panas. Perbedaan suhu luar dengan dalam tubuh menyebabkan tubuh beradaptas
i dengan cara menggerakkan otot tubuh dan terjadilah menggigil.
ii. Berkeringat

Ketika faktor-faktor yang menyebabkan suhu tubuh meninggi (demam) yang dia

5
kibatkan infeksi eritrosit oleh plasmodium berhasil dihilangkan, set point hipotal
amus akan langsung menurunkan levelnya sehingga suhu di hipotalamus lebih re
ndah dari suhu tubuh. Saat itu terjadi, tubuh akan terasa panas, sehingga bagian h
ipotalamus yang aktif pada suhu panas yaitu hipotalamus anterior akan mengura
ngi produksi panas dengan menurunkan aktivitas otot rangka dan mendorong pe
ngeluaran panas dengan menumbulkan vasodilatasi kulit. Vasodilatasi terjadi me
mbuat tubuh akan memerah, sehingga fase ini disebut fase “merah merona”. Apa
bila vasodilatasi kulit sudah maksimum tetapi gagal untuk mengurangi kelebihan
panas tubuh, maka kelenjar keringat akan aktif sehingga mekanisme berkeringat
terjadi. Hal ini membuat panas tubuh keluar dengan cara evaporasi.
iii. Demam
Demam terjadi karena penglepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumny
a telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme
atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infe
ksi. Dewasa ini, diduga bahwa pirogen adalah suatu protein yang identik dengan
interleukin-1. Di dalam hipotalamus, zat ini merangsang penglepasan asam araki
donat serta mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin E2, atau zat yang
mirip, untuk membangkitkan reaksi demam.

3. Tn. Hasan mengeluh lesu, nyeri kepala, nyeri pada tulang dan sendi, rasa tidak nyaman
pada perut serta diare ringan
5. Bagaimana mekanisme terjadi lesu, nyeri kepala, nyeri pada tulang dan sendi,
rasa tidak nyaman perut serta diare ringan?
Dolor atau nyeri, pada suatu reaksi peradangan tampaknya ditimbulkan dal
am berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu tert
entu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pelepasan zat-zat kimi
a tertentu seperti histamin atau zat-zat kimia bioaktif lain dapat merangsang sara
f. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang menyebabkan peningkatan
tekanan lokal yang tidak diragukan lagi dapat menimbulkan nyeri (pada kasus in
i karena pembengkakan lien)

a. Nyeri kepala (intrakranial)

6
1. Nyeri kepala pada meningitis

Menyebabkan peradangan pada semua selaput otak, termasuk daerah dura dan
daerah sensitif di sekeliling sinus venosus. Kerusakan yang parah akan meni
mbulkan nyeri kepala yang hebat
2. Nyeri kepala akibat rendahnya tekanan intrakranial serebrospinal

Pembuangan cairan kanalis spinal sebanyak 20 ml, khususnya bila pasien teta
p dalam posisi berdiri, seringkali akan menyebabkan nyeri. Pembuangan caira
n serebrospinal ini akan menghilangkan sebagian kemampuan mengambang o
tak yang dalam keadaan normal dapat dilaksanakan oleh adanya cairan serebr
ospinal. Otak yang berat ini akan meregangkan bermacam-macam permukaan
duramater sehingga timbul nyeri kepala
3. Nyeri kepala migren

Nyeri kepala yang diduga akibat fenomena vaskular yang abnormal, walaupu
n mekanisme yang belum diketahui. Salah satu teori penyebab nyeri kepala m
igren ini adalah emosi atau ketegangan yang berlangsung lama akan menimbu
lkan refleks vasospasme beberapa arteri kepala
4. Nyeri kepala alkoholik

Nyeri kepala akan timbul setelah minum alkohol berlebihan, karena alkohol t
oksik terhadap jaringan, langsung merangsang selaput otak dan menyebabkan
nyeri
5. Nyeri kepala akibat konstipasi

Dapat terjadi karena terabsorbsinya bahan toksik yang dihasilkan atau berasal
dari perubahan yang timbul pada sistem sirkulasi akibat hilangnya cairan yan
g masuk ke dalam usus
ekstrakranial
1. Nyeri kepala akibat spasme otot

Ketegangan emosi sering kali dapat menyebabkan spasme otot, khususnya otot-o
tot yang melekat pada kulit kepala dan otot-otot leher yang melekat pada oksiput

7
.
2. Nyeri kepala akibat iritasi hidung dan struktur sekitar hidung

3. Nyeri kepala akibat kelainan mata

Kesulitan seseorang untuk memfokuskan mata agar timbul penglihatan yang jela
s akan menimbulkan kontraksi yang berlebihan pada otot siliaris. Dan dapat men
yebabkan nyeri kepala di daerah retro-orbital
b. Nyeri tulang dan sendi

Nyeri pada tulang dan sendi merupakan salah satu gejala klinis dari infeksi malar
ia falsiparum. Infeksi ini menyebabkan inflamasi yang dapat menyebabkan nyeri
c. Rasa tidak nyaman pada perut

Rasa tidak nyaman pada perut atau nyeri pada perut dapat disebabkan karena pe
mbesaran limpa (splenomegali). Limpa merupakan organ retikulosit, dimana par
asit malaria dieliminasi oleh sistem kekebalan tubuh hospes. Pada keadaan akut l
impa membesar dan tegang, penderita merasa nyeri di perut kwadran kiri atas. P
ada perabaan konsistensinya lunak.
d. Diare ringan

Diare terjadi akibat pergerakan cepat dari materi tinja sepanjang usus besar. Pen
yebab :
1. Enteritis

Enteritis berarti peradangan yang biasanya disebabkan baik oleh virus maupun b
akteri pada traktus intestiinalis
2. Diare psikogenik

Diare ini menyertai ketegangan syaraf, disebabkan oleh oleh stimulasi berlebiha
n dari sistem saraf parasimpatis yang mencetuskan motilitas maupun sekresi mu
kus berlebihan pada kolon distal
3. Kolitis ulserativa

Merupakan penyakit peradangan dan ulserasi daerah yang luas dari usus besar.

8
6. Bagaimana hubungan keluhan yang dialami Tn. Hasan dengan malaria?
a. Lesu:
Badan terasa lesu karena kekurangan darah (anemia) dan berkeringat, serta bisa j
uga karena diare. Penyebab utama anemia adalah adanya hemolysis dari erytrocy
t yang mengandung parasit dan yang tidak, sedangkan tubuh tidak mampu untuk
merecycle ikatan Fe dalam hemozoin yang tidak larut dalam perusakan retyculoc
yt oleh parasit. Terjadinya hemolysis erytrocyt menyebabkan peningkatan biliru
bin dalam darah, dimana bilirubin adalah produk dari haemoglobin yang pecah.
Hemozoin terbawa oleh sirkulasi leucocyt dan terdeposit dalam sistem reticuloen
dothelial.
Selain itu, mekanisme terjadinya lesu yang lain yaitu adanya gangguan yang dise
babkan pembentukan rosette, gumpalan, dan adhesi endotel terhadap eritrosit ya
ng terinfeksi parasit, pelepasan sitokin local dan respons imun semuanya berpera
n dalam menyebabkan peripheral pooling dan hambatan oksigenasi jaringan. Ak
ibatnya terjadi peningkatan asam laktat yang diikuti peningkatan rasio laktat/ pir
uvat, depresi respirasi mitokondria dan peningkatan molekul oksigen yang bersif
at reaktif. Selain itu eritrosit yang mengalami lisis akibat adanya parasit Plasmod
ium falciparum mengakibatkan penurunan Hb yang mengangkut O2, sehingga, j
aringan mengalami hipoksia ini juga berperan dalam menghasilkan asam laktat d
an penurunan fungsional sel. Menumpuknya asam laktat ini menyebabkan terjadi
nya lesu baik akibat hambatan maupun ganggunan eritrosit itu sendiri.
b. Nyeri kepala:
Nyeri kepala pada penderita malaria biasanya akut dan disertai dengan na
usea dan muntah. Nyeri kepala biasanya akan berlangsung selama sakit. Cytokin
e dipercaya sebagai faktor penting yang dapat menyebabkan nyeri kepala pada p
enderita malaria. Patogenesis malaria dikaitkan dengan produksi berlebih dari pr
o-inflammatory cytokines, seperti TNF (Tumor Necrosis Factor) atau Interleukin
-1, yang dapat menimbulkan sakit kepala.
Beberapa mekanisme terjadinya nyeri kepala pada penderita mala
ria :

9
 Invasi parasit à vasodilatasi pembuluh otak à pasokan darah ke otak berkurang à
kompensasi à vasokonstriksi agar pasokan darah tercukupi à parasit masih ada à
vasodilatasi dan vasikonstriksi terjadi berulang-ulang à sakit kepala
 Infeksi plasmodium à melepaskan toksin malaria GPI à mengaktivasi makrofag à
mensekresikan IL 1&2 à mengaktivasi sel Th à mengsekresikan IL 3 à
mengaktivasi sel mast à mensekresikan PAF à mengaktivasi faktor Hagemann à
sintesis bradikinin à merangsang serabut saraf (di otak) à nyeri à sakit kepala
 Infeksi plasmodium à melepaskan toksin malaria (GPI) à mengaktivasi makrofag
à TNF a >> à stimulasi sel-sel otak à mensintesis NO (Nitrit Oksida) à sakit
kepala
c. Nyeri pada tulang dan sendi:
Sintesis dan pelepasan pirogen endogen (sitokin) terinduksi dari pirogen eksoge
n yang telah mengenali bakteri maupun jamur yang masuk ke dalam tubuh. Viru
s pun dapat menginduksi pirogen endogen melalui sel yang terinfeksi. Tidak han
ya mikroorganisme; inflamasi, trauma, nekrosis jaringan, dan kompleks antigen-
antibodi pun mampu menginduksi pirogen endogen.
Pirogen eksogen dan endongen akan berinteraksi dengan endotel dari kapiler-ka
piler di circumventricular vascular organ sehingga meembuat konsentrasi prosta
glandin-E2 (PGE2) meningkat. PGE2 yang terstimulus tidak hanya yang di pusat,
tetapi juga PGE2 di perifer. Stimulus PGE2 di pusat akan memicu hipotalamus un
tuk meningkatkan set point-nya dan PGE2 di perifer mampu menimbulkan rasa n
yeri di tubuh (Kasper, 2005).
Arthralgia/nyeri sendi dapat terjadi akibat invasi parasit ke dalam joint space ya
ng mengakibatkan inflamasi cairan sinovial.

4. BAK Tn. Hasan berwarna seperti kopi


7. Apa saja sistem organ yang terlibat dalam kasus ini?
Sistem urinarius, sistem sirklasi darah

8. Bagaimana anatomi sistem organ yang terlibat dalam kasus ini?

10
Dalam kasus ini, organ yang terlibat adalah organ-organ yang termasuk dalam tra
ktus urinarius. Traktus urinarius atau yang sering disebut dengan saluran kemih te
rdiri dari dua buah ginjal, dua buah ureter, satu buah kandung kemih ( ves
ika urinaria )
dan satu buah uretra.
1. Ginjal
Ginjal manusia berjumlah 2 buah, terletak dipinggang, sedikit dibawah tulang rus
uk bagian belakang. ( Daniel S, Wibowo, 2005 ). Ginjal kanan sedikit lebih ren
dah dibanding ginjal kiri. Mempunyai ukuran panjang 7 cm dan tebal 3 cm.
Terbungkus dalam kapsul yang terbuka kebawah. Diantara ginjal dan kapsu
l terdapat jaringan lemak yang membantu melindungi ginjal terhadap goncan
gan. (Daniel S Wibowo, 2005).
Ginjal mempunyai nefron yang tiap – tiap tubulus dan glomerulusnya adalah
satu unit. Ukuran ginjal ditentukan oleh sejumlah nefron yang dimilikinya.
Kira – kira terdapat 1,3 juta nefron dalam tiap – tiap ginjal manusia. (Gano
ng, 2001 )
Fungsi Ginjal :
a. Menyaring dan membersihkan darah dari zat-zat sisa metabolisme tubuh.
b. Mengeksresikan zat yang jumlahnya berlebihan
c. Reabsorbsi (penyerapan kembali) elektrolit tertentu yang dilakukan oleh bagian
tubulus ginjal
d. Menjaga keseimbanganan asam basa dalam tubuh
e. Menghasilkan zat hormon yang berperan membentuk dan mematangkan sel-sel
darah merah (SDM) di sumsum tulang
f. Hemostasis Ginjal, mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan komposisi air
dalam darah. (Guyton, 1996 ).

2. Ureter
Ureter merupakan dua saluran dengan panjang sekitar 25 sampai 30 cm, ter
bentang dari ginjal sampai vesika urinaria. Fungsi satu – satunya adalah men
yalurkan urin ke vesika urinaria. ( Roger Watson, 2002 )

11
3. Vesika Urinaria
Vesika urinaria adalah kantong berotot yang dapat mengempis, terletak 3 sampai
4 cm dibelakang simpisis pubis (tulang kemaluan). Vesika urinaria mempuny
ai dua fungsi yaitu:
a. Sebagai tempat penyimpanan urin sebelum meninggalkan tubuh.
b. Dibantu uretra vesika urinaria berfungsi mendorong urin keluar tubuh.
(RogerWatson, 2002 ).
Didalam vesika urinaria mampu menampung urin antara 170 - 230 ml. (Evelyn, 2
002 )

4. Uretra
Uretra adalah saluran kecil dan dapat mengembang, berjalan dari kandung k
emih sampai keluar tubuh. Pada wanita uretra pendek dan terletak didekat va
gina. Pada uretra laki – laki mempunyai panjang 15 – 20 cm. ( Daniel S, Wibowo,
2005 )

Pembentukan Urin
Urin merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian besar air ( 96%)
air dan sebagian kecil zat terlarut ( 4%) yang dihasilkan oleh ginjal, disimp
an sementara dalam kandung kemih dan dibuang melalui proses mikturisi. (Evely
n C. Pearce, 2002).
Proses pembentukan urin, yaitu :
a. Filtrasi (penyaringan) : capsula bowman dari badan malpighi menyaring da
rah dalam glomerulus yang mengandung air, garam, gula, urea dan zat berm
olekul besar (protein dan sel darah) sehingga dihasilkan filtrat glomerulus (u
rin primer). Di dalam filtrat ini terlarut zat seperti glukosa, asam amino dan
garam-garam.
b. Reabsorbsi (penyerapan kembali) : dalam tubulus kontortus proksimal zat
dalam urin primer yang masih berguna akan direabsorbsi yang dihasilkan filt
rat tubulus (urin sekunder) dengan kadar urea yang tinggi.

12
c. Sekresi (pengeluaran) : dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah me
nambahkan zat lain yang tidak digunakan dan terjadi reabsorbsi aktif ion Na+ dan
Cl- dan sekresi H+ dan K+. Selanjutnya akan disalurkan ke tubulus kolektifus ke
pelvis renalis. ( Roger Watson, 2002 )

9. Mengapa BAK berwarna seperti kopi pada pasien malaria?


Komplikasi malaria di mana sel-sel darah merah pecah dalam aliran darah (hemoli
sis), melepaskan hemoglobin secara langsung ke dalam pembuluh dan ke dalam ur
in. Penyebabnya ada kerusakan yang cepat dan besar pada sel darah merah dengan
produksi hemoglobinemia (hemoglobin dalam darah, tetapi di luar sel-sel darah
merah), hemoglobinuria (hemoglobin di dalam urin), ikterus intens, anuria (melew
ati kurang dari 50 mililiter urin per hari).
BAK berwarna kopi menunjukkan bahwa terjadi hemoglobinuria. Hemoglobinuri
a terjadi ketika membran eritrosit pecah. Membran eritrosit ini akan melepaskan h
emoglobin ke dalam plasma. Hemoglobin (tetramer) terurai menjadi hemoglobin
dimer di dalam plasma. Jika hemolisis intravaskular berlanjut, jumlah hemoglobin
dimer akan berlebih di dalam plasma dan masuk ke glomerulus ginjal dan melew
ati system urogenital. Hal ini akan menyebabkan hemoglobinuria.

Terdapat parasit dalam RBC


Rangsang imun tubuh
Rusak RBC yang mengandung
parasit atau bukan
Hb pecah RBC lisis intravaskul
er
Masuk ke sirkulasi sistemik
Masuk ke ginjal
Black water fever
5. Tn. Hasan, 35 tahun, berwisata tiga minggu yang lalu ke Kepulauan Bangka Belitung
10. Dimana saja wilayah yang termasuk endemis terhadap malaria di Indonesia?
Di Indonesia parasit Plasmodium falciparum tersebar hampir di seluruh kepulauan

13
. Di Indonesia kawasan Timur mulai dari Kalimantan,Sulawesi Tengah sampai ke
Utara, Maluku,Irian Jaya dan dari Lombok sampai Nusa Tenggara Timur serta Ti
mor Timur merupakan daerah yang endemis malaria Plasmodium falciparum. Beb
erapa daerah di Sumatera mulai dari Lampung, Riau, Jambi dan Batam cenderung
meningkat.

6. Pemeriksaan fisik = Kesadaran GCS 9, konjunctiva palpebra anemis, sclera ikterik, lien
schuffner 1
11. Bagaimana anatomi, histologi dan fisiologi lien?
Anatomi

14
Lien berwarna kemerahan dan merupakan sebuah massa limfoid terbesar di dalam tub
uh. Lien berbentuk lonjong dan mempunyai incisura di extremitas anteriornya, terletak
tepat di bawah pertengahan kiri diaphragma, dekat dengan costae IX, X, dan XI. Sum
bu panjangnya terletak sepanjang corpus costalis X. Kutub bawahnya membentang ke
depan hanya sampai linea axillaris media, dan tidak dapat diraba pada keadaan normal.
Lien diselubungi oleh peritoneum, yang berjalan dari hilum lienale sebagai ligamentu
m gastrolienale ke curvatura gastrica major (membawa arteria dan vena gastrica brevis
serta arteria dan vena gastroepiploica sinistra). Peritoneum juga berjalan menuju ren si
nistra sebagai ligamentum leinorenale (membawa arteria, vena lienalis dan cauda panc
reatis).
Arteria lienalis adalah arteria yang besar dan merupakan cabang terbesar truncus coeli
acus. Jalan arteria splenica berkelok-kelok di sepanjang margo superior pancreas. Arte
ria lienalis kemudian bercabang menjadi enam pembuluh arteria yang masuk ke lien m
elalui hilum lienale.
Vena lienalis keluar dari hilum lienale dan berjalan di belakang cauda dan corpus panc
reatis. Di belakang collum pancreatis, vena lienalis bergabung dengan vena mesenteric
a superior membentuk vena portae hepatis.

Histologi Lien

I. Gambaran Histologis
Lien dibungkus oleh jaringan padat sebagai capsula yang melanjutkan diri sebagai trab

15
ecula. Capsula akan menebal di daerah hilus yang berhubungan dengan peritoneum. D
ari capsula melanjutkan serabut retikuler halus ke tengah organ yang akan membentuk
anyaman. Pada sediaan terlihat adanya daerah bulat keabu-abuan sebesar 0,2-0,7 mm,
daerah tersebut dinamakan pulpa alba yang tersebar pada daerah yang berwarna merah
tua yang dinamakan pulpa ruba.

Silver-stained photomicrograph of the reticular fiber architecture of the spleen (×132). Note t
he capsule (Ca) and lymphoid nodule (Ln).

16
The spleen is supplied by the splenic artery and is drained by the splenic vein; both vessels ent
er and leave the spleen at the hilum.

a) Pulpa alba
Pulpa alba sering disebut pula sebagai corpusculum malphigi terdiri atas jaringan limf
oid difus dan noduler.Pulpa alba membentuk selubung limfoid periarterial (periarterial
limfoid sheats/PALS) di sekitar arteri yang baru meninggalkan trabecula, selubung ters
ebut mengikuti arteri sampai bercabang-cabang menjadi kapiler. Sepanjang perjalanan
nya pada beberapa tempat selubung tersebut mengandung germinal center. PALS dan
germinal center merupakan jaringan limfoid, tetapi PALS sebagian besar mengandung
limfosit dan germinal center mengandung limfosit B. Struktur PALS terdiri dari anya
man longgar serabut retkuler dan sel retikuler. Di tengah pulpa alba terdapat arteri sent
ralis . dalam celah-celah anyaman terdapat limfosit kecil dan sedang, kadang ditemuka
n plasmasit. Pada waktu adanya rangsangan antigen di daerah PALS banyak terdapat li
mfosit besar, limfoblas dan plasmasit muda banyak sekali.

17
b) Pulpa rubra
Pulpa rubra terdiri atas pembuluh-pembuluh darah besar yang tidak teratur sebagai sin
us renosus dan jaringan yang mengisi diantaranya sebagai splendic cords of Billroth.
Warna merah pulpa rubra disebabkan karena eritrosit yang mengisi sinus venosus dan
jaringan diantaranya.Di dalam celah pulpa terdapat sel-sel bebas seperti makrfag, sem
ua jenis sel dalam darah dengan beberapa plasmasit. Dengan M.E. makrofag dapat den
gan mudah ditemukan sebagai sel besar dengan sitoplasma yag kadang-kadang menga
ndung eritrosit, netrofil dan trombosit atau pigmen. Bagian tepi pulpa alba terdapat dae
rah peralihan dengan pulpa rubra sebesar 80-100 mikron, daerah ini dinamakan zona
marginalis yang mengandung sinus venosus kecil. Zona marginais merupakan pulpa ru
bra yang menerima darah arterial sehingga merupakan tempat hubungan pertama antar
a sel-sel darah dan partikel dengan parenkim lien.

18
Note the periarterial flat reticular cells (arrows). A, central artery; BC, marginal zone bridging channel; MZ, margin
al zone; PA, penicillar artery; RP, red pulp; S, venous sinus

Capsula dan Trabecula


Capsula dan trabecula terdiri atas jaringan pengikat padat dengan sel otot polos dan an
yaman serabut elastis. Permukaan luar terdiri dari sel mesotil sebagai bagian peritoneu
m. Trabecula merupakan lanjutan kapsula yang membawa arteri, vena dan pembuluh li
mfe. Trabecua mengandung lebih banyak serabut elastis dan beberapa serabut sel otot
polos.

Fisiologi Lien

Lien merupakan organ penyaring yang kompleks yaitu dengan membersihkan darah te
rhadap bahan-bahan asing dan sel-sel mati disamping sebagai pertahanan imunologis t
erhadap antigen. Lien berfungsi pula untuk degradasi hemoglobin, metabolisme Fe, te
mpat persediaan trombosit, dan tempat limfosit T dan B. Pada beberapa binatang, lien
berfungsi pula untuk pembentukan eritrosit, granulosit dan trombosit.

19
12. Bagaimana anatomi, histologi dan fisiologi mata?
Anatomi Mata

Mata suatu organ fotosensitif yang berfungsi untuk menimbulkan sensai pe


nglihatan dari bentuk, intensitas, cahaya, dan warna yang dipantulkan lewat cahay
a. Mata terletak di orbita cavity, yang mengandung bantalan jaringan adipose. Seti
ap bola mata teriri atas sebuah bola mata fibrosa yang kuat untuk mempertahanka
n bentuknya, sistem jaringan transparan untuk membiasakan cahaya untuk memof
kuskan cahaya, dan satu sistem neuron yang mengumpulkan, memproses dan men
eruskan informasi visual ke otak.
Tiga lapisan utama pada mata adalah tunica fibrosa, yang kuat, yang teriri
atas skelera dan kornea, sebuah lapisan tunica vascular yang terdiri atas koroid, ba
dan siliar, dan iris, dan sebuah tunica nervosa yang terdiri atas retina.
Sklera adalah lapisan fibrosa luar bola mata yang melindungi struktur internal dan
untuk tempat insersi otot. Lapisan luar berwarna opak di lima perenema lapisan p
osterior bola mata adalah sclera, berdiameter 22mm. Sklera memiliki ketebalan 0,
5 mm, avaskular, dan terdiri atas berkas kolagen tipe I pipih yang bersealgn seling
dalam berbagai arah tetapi tetap sejajar dengan permukaan organ.
Kornea, seperenam bagian anterior mata, tiak berwarna dan transparan, da
n sepenuhnya avaskular. Terdiri atas epitel skuamosa berlapis, sejumlah besar ga

20
mbaran mitosis terdapat di lapisan basal, terutama dekat tepi kornea.
Choroid lapisan yang sangat vascular padad dua pertiga posterior mata den
gan jaringan ikat longgar bervaskular yang menganeung serat kolagen, dan elastin
, fibroblast, melanosit, makrofag, limfosit, sel mast, sel plasma.
Badan siliar suatu pelebaran anterior choroid di tingkat lensa merupakan s
uatu cincin tebal jaringan yang terdapat tepat di bagian anterior sclera. Banyak dik
elilingi otot polos, berperan dalam respon akomodasi lensa.
Iris adalah perluasan uvea yang menyisakan lubang bundar di pusat yang d
isebut pupil. Tidak dilapisi epitel, tetapi teriri dari lapisan discontinue fibroblast d
an melanosit yang irregular. Banyak sel mioepitel yang membentuk m dilator papi
llae dan m. sphincter papillae. Banyak melanosit paa lapisan vakskular mata menj
aga berkas cahaya agar tidak mengganggu pembentukan bayangan.
Lensa merupakan struktur bikonkaf yang transparan yang tertletak I bawah
iris, yang digunakan untuk memfokuskan cahaya pada retina, bersifat elastic, ava
skular, epitel kuboid.
Retina terdiri atas lapisan pigmen dan lapisan neural, berasal dari mangkuk optic e
mbrionik. Banyak sel-sel fotoreseptor yang berfungsi sebagai menghantarkan imp
uls.
Konjungtiva adalah membrane mukoa tipis an transparan yang menutupi b
agian anterior sclera dan berlanjut sebagai lapisan permukaan dalam kelopak mata
, konjungtiva terdiri ddari epitel berlapis kolumnar ddengan banyak sel kecil yang
menyerupai sel goblet, yang ditunjang lapisan lamina propria dengan ikat longgar.
Sekresi mucus dari epitel konjungtiva ditambahkan ke lapisan air mata yang mela
pisi epitel ini dan kornea.

Fisiologi Mata

Mata adalah organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit, yang m
emungkinkan analisis cermat dari bentuk, intensitas cahaya, dan warna yang dipan
tulkan objek. Mata terletak dalam struktur bertulang yang protektif di tengkorak, y
aitu rongga orbita. Setiap mata terdiri atas sebuah bola mata fibrosa yang kuat unt

21
uk mempertahankan bentuknya, suatu sistem lensa untuk
memfokuskan bayangan, selapis sel fotosensitif, dan suatu sistem sel dan saraf ya
ng berfungsi mengumpulkan, memproses, dan meneruskan informasi visual ke ota
k (Junqueira, 2007).
Tidak semua cahaya yang melewati kornea mencapai fotoreseptor peka ca
haya karena adanya iris, suatu otot polos tipis berpigmen yang membentuk struktu
r seperti cincin di dalam aqueous humour. Lubang bundar di bagian tengah iris te
mpat masuknya cahaya ke bagian dalam mata adalah pupil. Iris mengandung dua
kelompok jaringan otot polos, satu sirkuler dan yang lain radial. Karena serat-serat
otot memendek jika berkontraksi, pupil mengecil apabila otot sirkuler berkontrak
si yang terjadi pada cahaya terang untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk k
e mata. Apabila otot radialis memendek, ukuran pupil meningkat yang terjadi pad
a cahaya temaram untuk meningkatkan jumlah cahaya yang masuk (Sherwood, 20
01).
Untuk membawa sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina, harus di
pergunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber dekat. Kemampuan menyesuaika
n kekuatan lensa sehingga baik sumber cahaya dekat maupun jauh dapat difokusk
an di retina dikenal sebagai akomodasi. Kekuatan lensa bergantung pada bentukny
a, yang diatur oleh otot siliaris. Otot siliaris adalah bagian dari korpus siliaris, suat
u spesialisasi lapisan koroid di sebelah anterior. Pada mata normal, otot siliaris me
lemas dan lensa mendatar untuk penglihatan jauh, tetapi otot tersebut berkontraksi
untuk memungkinkan lensa menjadi lebih cembung dan lebih kuat untuk pengliha
tan dekat. Serat-serat saraf simpatis menginduksi relaksasi otot siliaris untuk pengl
ihatan jauh, sementara sistem saraf parasimpatis menyebabkan kontraksi otot untu
k penglihatan dekat (Sherwood, 2001).

13. Bagaimana interpretasi dan mekanisme hasil pemeriksaan fisik:

22
1. Kesadaran GCS 9

Glasgow Coma Scale terdiri dari nilai dengan kisaran 3-15, yang merupakan tingk
at ketidaksadaran pasien trauma atau kritis. Skala dihitung dengan cara penjumlah
an semua nilai respon.
E + M + V = 3 sampai 15
Penjumlahan nilai respons meruapakan asesmen tingkat kategori ketidaksadaran p
asien, yang terbagi menjadi:
 Ringan: 13-15 poin
 Moderat: 9-12 poin
 Berat: 3-8 poin
 Koma: <8 poin

23
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kes
adaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai res
pon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi memb
uka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score
) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya. Berdasarkan kasus, dapat disi
mpulkan bahwa tingkat kesadaran Tn. Hasan cukup rendah.
1. Kompos mentis. Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun lingkungannya.
Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik. GCS = 15
2. Apatis. Pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya. GCS =
14
3. Delirium. Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur-
bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi, dan
meronta-ronta. GCS = 13
4. Somnolen (letargie). Keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang,

24
tapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali. GCS = 11
5. Sopor (Stupor). Keadaan mengantuk yang dalam. Bisa dibangunkan dengan
rangsang kuat (rangsang nyeri), tapi pasien tidak bangun sempurna dan tidak
dapat memberikan jawabab verbal dengan baik. GCS = 9
6. Semi Koma. Penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon terhadap
rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tapi reflex (kornea,
pupil) masih baik. Respon nyeri tidak adekuat. GCS = 6
7. Koma. Penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan
tidak daa respon terhadap rangsang nyeri. GCS = 3
Mekanisme penurunan tingkat kesadaran pada Tn. Hasan terjadi karena eri
trosit yang terinfeksi parasit membentuk knop sehingga menyebabkan terjadinya s
ekuestrasi. Sekuestrasi paling sering terjadi di otak sehingga menyebabkan kesada
ran menurun.

2. Konjunctiva palpebra anemis


Konjungtiva palpebra yang pucat menunjukkan gejala anemia pada penderita mala
ria. Anemia dapat disebabkan oleh dekstruksi masif eritrosit yang terinfeksi, penur
unan produksi eritrosit oleh sumsum tulang (diseritropoesis dimana terjadi depresi
eritropoesis dalam sumsung tulang dan retikulosit tidak dilepaskan dalam peredar
ah perifer). Selain itu, umur eritrosit yang tidak terinfeksipun memendek karena p
ada permukaan eritrosit ini dapat ditemukan immunoglobulin dan/atau kompleme
n.

3. Sclera ikterik
Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan
menjadi kuning dan disebut sebagai ikterus. Ikterus biasanya dapat dideteksi pada s
klera, kulit, atau urine yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2-3 mg/dl.
Bilirubin serum normal adalah 0,3 sampai 1,0 mg/dl. Jaringan permukaan yang kay
a elastin, seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya menjadi kuning.
Normalnya,sekitar 80%-85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam
sistem monosit-makrofag. Setiap hari dihancurkan 50ml darah dan menghasilkan 2

25
50-350 mg bilirubin. Kini diketahui 15-20% pigmen empedu total berasal dari destr
uksi sel eritrosit matur dalam sumsum tulang dan hemoprotein lain, terutama dari h
ati.
Empat mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus:
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati
3. Gangguan konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor
intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh
obstruksi mekanis.

4. Lien schuffner 1
Pada keadaan normal limpa tidak teraba. Limpa membesar mulai dari bawah lengku
ng iga kiri, melewati umbilicus sampari region illiaca kanan. Agar mempermudah p
erabaan diperlukan:
a. Dinding usus yang lemas dengan cara kaki ditekuk sehingga membentuk sudut 450-
650.
b. Pasien diminta untuk menarik napas panjang.
Palpasi dimulai pada saat ekspirasi maksimal, dimulai dari region iliaka kanan, mel
ewati umbilicus di garis tengah abdomen, menuju ke lengkung iga kiri. Pembesaran
limpa diukur dengan menggunakan garis Schuffner, yaitu garis yang dimulai dari ti
tik di lengkung iga kiri menuju ke umbilicus dan diteruskan sampai di spina iliaka a
nterior superior (SIAS) kanan. Garis tersebut dibagi menjadi 8 bagian yang sama. P
alapasi limpa juga dapat dipermudah dengan memiringkan pasien 45 derajat kea rah
kanan ( kearah pemeriksa).
Setelah tepi bawah limpa teraba, maka dilakukan deskripsi sebagai berikut:
a. Berapa jauh dari lengkung iga kiri pada garis Schuffner (S-I sampai dengan S-VIII)?
b. Bagaimana konsistensinya? Apakah kenyal (splenomegali karena hipertensi portal)?
Atau keras seperti pada malaria?
Untuk meyakinkan bahwa yang teraba itu adalah limpa, diusahakan meraba insisura
nya

26
7. Pemeriksaan laboratorium = Hb 4,6 mg/dl, GDS 145 mg%, preparat darah tebal
didapatkan delicate ring dan gametosit berbentuk pisang, kepadatan parasit 13.800/uL
dan preparat darah tipis didapatkan hasil P. falciparum (+)
1. Bagaimana siklus pembentukkan dan perombakkan eritrosit secara normal?
Proses pembentukan eritrosit dimulai dari sel induk p
luripoten. Sel induk pluripoten ini berdiferensiasi jadi
proeritroblas. Proeritroblas memiliki kromatin yang ja
rang, satu atau dua nucleolus dan sitoplasma basofilik.
Lalu proeritroblas akan membelah menjadi sel yang le
bih kecil lagi yaitu eritroblas basofilik dengan cincin si
toplasma basofilik dan inti yang lebih padat tanpa nucl
eolus yang jelas. Pada tahap selanjutnya, sel yang lebih
kecil disebut eritroblas polikromatofilik terbentuk. Sel
ini memperlihatkan berkurangnya ribosom basofilik d
an peningkatan kadar hemoglobin asidofilik di sitoplas
manya. Seiring dengan berlanjutnya diferensiasi, ukura
n sel semakin mengecil, terjadi pemadatan material inti
, dan sitoplasma eusinofilik yang lebih seragam. Pada t
ahap ini, sel disebut eritroblas ortokromatofilik (norm
oblas). Setelah mengeluarkan intinya, normofilik beru
bah menjadi retikulosit. Selanjutnya, setelah kehilanga
n ribosom, retikulosit berubah menjadi eritrosit matang.
Rentang usia eritrosit mencapai 120 hari, sehingga sel yang sudah tua akan dising
kirkan oleh hati. Sel-sel hati yang bertugas merombak eritrosit disebut sel histiosit.
Penghancuran sel darah merah dilakukan dengan jalan hemolisa dan fragmentasi. M
elalui sel histiosit, hemoglobin akan diuraikan menjadi senyawa hemin, zat besi (Fe
), dan globin. Dalam hati, senyawa hemin diubah menjadi zat warna (bilirubin dan
biliverdin) lalu dikirim ke usus dan setelah melalui proses tertentu dibuang ke luar t
ubuh bersama feses. Dalam usus, zat warna empedu(berwarna hijau biru) dioksidasi
menjadi urobilin (berwarna kuning coklat) yang berfungsi memberi warna pada fes

27
es dan urine. Sementara itu, zat besi tertahan dan disimpan dalam hati atau dikemba
likan ke sumsum tulang sedangkan globin digunakan lagi untuk pembentukan eritro
sit baru dan metabolisme protein.

14. Bagaimana siklus hidup P. falciparum?

Saat nyamuk anopheles betina menghisap darah manusia, nyamuk akan melepaskan
sporozoit ke dalam pembuluh darah yang dalam 45 menit akan menuju ke hati dan
sebagian kecil sisanya akan mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah perk
embangan aseksual (intrahepatic schizogony atau pre-erythrocytes schizogony). Per
kembangan ini membutuhkan waktu 5,5 hari untuk P. falciparum. Setelah sel paren
kim hati terinfeksi, terbentuk skizon hati yang apabila pecah akan mengeluarkan 18
-24 merozoit ke sirkulasi darah.
Setelah berada dalam sirkulasi darah, merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk
melalui reseptor permukaan eritrosit. Reseptor untuk P. falciparum diduga suatu gl

28
ycophorins. Dalam waktu 12 jam parasite berubah bentuk menjadi bentuk ring, yan
g pada P. falciparum menjadi bentuk stereo – headphones yang mengandung krom
atin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh setelah memakan hemoglo
bin dan dalam metabolismenya membentuk pigmen yang disebut hemozoin yang da
pat dilihat seacara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit ini menjadi lebih elastic d
an dinding berubah lonjong, pada P. falciparum dinding eritrosit membentuk knob
yang natinya penting dalam proses cytoadherence dan resetting. Setelah 36 jam inv
asi ke dalam eritrosit, parasite berubah menjadi skizon, dan bila pecah akan mengel
uarkan 6-36 merozoit dan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini b
erlangsung selama 48 jam pada P. falciparum.
Di dalam darah sebagian parasite akan membentuk gametosit. Gametosit muda me
mpunyai bentuk agak lonjong, kemudian menjadi lebih panjang atau berbentuk elip
s, akhirnya mencapai bentuk khas seperti sabit atau pisang sebagai gametosit matan
g. Gametosit betina/makrogametosit biasanya lebih langsing dan lebih panjang den
gan sitoplasma berwarna biru dengan pulasan Romanowsky/Giemsa. Mikrogametos
it berbentuk lebih lebar seperti sosis. Sitoplasmanya biru pucat atau agak kemerah-
merahan. Bila nyamuk menghisap darfah manusia yang sakit, akan terjadi siklus se
ksual dalam tubuh nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zigot dan me
njadi lebih bergerak menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan ak
hirnya menjadi bentuk oocyst yang akan menjadi matang dan mengeluarkan sporoz
oit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap menginfeksi manusia.
15. Bagaimana interpretasi dan mekanisme dari hasil pemeriksaan laboratorium:
1. Hb 4,6 mg/dl
Normalnya 14-18 gr/dl. Hal ini dikarenakan, pada kasus malaria falciparu
m terdapat hemolisis eritrosit secara berlebihan akibat adanya parasit P. F
alciparum.

5. GDS 145 mg%


Kadar darah sewaktu (kadar gula darah sewaktu) adalah hasil pengukuran
yang dilakukan seketika waktu itu, tanpa ada puasa. Jadi biasanya kadar gu
la akan lebih tinggi. Normalnya, kadar gula sewaktu adalah 140 mg/dl Na

29
mun, pada penderita DM, kadar gula darah sewaktu lebih dari 200 mg/dl.

6. Preparat darah tebal didapatkan delicate ring dan gametosit berbentuk


pisang, kepadatan parasit 13.800/uL
Sediaan darah dengan pulasan Giemsa merupakan dasar untuk pemeriksaa
n dengan mikroskop dan sampai sekarang masih digunakan sebagai baku e
mas untuk diagnosis rutin.
Pemeriksaaan sediaan darah tebal di lakukan dengan memeriksa 100 lapan
gan pandang mikroskop dengan pembesaran 500-600/1000 yang setara den
gan 0,20 μl darah. Jumlah parasit dapat dihitung per lapang pandang mikro
skop.

+ = 1-10 parasit perlapangan pandang


++ = 1-100 parasit per 100 lapanan pandang
+++ = 1-10 parasit per 1 lapangan panjang
++++ = >10 per satu lapangan pandang
Dalam darah bentuk cincin stadium trofozoit muda P.falciparum sangat ke
cil dan halus dengan ukuran seperenam eritrosit. Pada bentuk cincin dapat
dilihat dua butir kromatin; bentuk pinggir (marginal) dan bentuk accole ser
ing ditemukan. Walaupun bentuk marginal, accola, cincin dengan kromatin
ganda dan infeksi multiple dapat juga ditemukan dalam eritrosit yang terin
feksi Plasmodium lain tetapi sifat ini sering ditemukan pada P.falciparum.

Gametosit muda mempunyai bentuk lonjong, kemudian menjadi lebih panj


ang dan elips dan akhirnya mencapai bentuk khas seperti sabit atau pisang
sebagai gametosit matang.

Pada kasus, kepadatan parasit 13.800/uL menunjukkan jumlah gametosit p


ada infeksi P. Falciparum

30
Ring shaped

Gametocytes (banana shaped)

7. preparat darah tipis didapatkan hasil P. falciparum (+)


Pemeriksaan tetesan darah tipis digunakan untuk identifikasi jenis plasmod
ium, bila dengan preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit di
nyatakan sebagai hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar
jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila j
umlah parasit >100.000/µL darah menandakan infeksi yang berat. Pada sk
enario ini, kepadatan parasit yang ditemukandalam pemeriksaan preparat d
arah tipis adalah 13.800/ Hitung parasit penting untuk menentukan progno

31
sa penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan jumla
h parasit yang minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Lei
shman’s, atau Field’s dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang um
um dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang
mudah dengan hasil yang cukup baik.

16. Apa saja diagnosis banding?


Manifestasi klinis malaria sangat bervariasi dari gejala yang ringan sampai berat, t
erutama dengan penyakit-penyakit di bawah ini :
Malaria tanpa komplikasi harus dapat dibedakan dengan penyakit infeksi lain seba
gai berikut:
Demam tifoid : Demam lebih dari 7 hari ditambah keluhan sakit kepala, sakit peru
t (diare, obstipasi), lidah kotor, bradikardi relatif, roseola, leukopenia, limfositosis
relatif, aneosinofilia, uji Widal positif bermakna, biakan empedu positif.
Demam dengue : Demam tinggi terus menerus selama 2 – 7 hari, disertai keluhan
sakit kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati, sering muntah, uji torniquet positif, penur
unan jumlah trombosit dan peninggian hemoglobin dan hematokrit pada demam b
erdarah dengue, tes serologi inhibisi hemaglutinasi, IgM atau IgG anti dengue posi
tif.
Leptospirosis ringan : Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, mu
ntah, conjunctival injection (kemerahan pada konjungtiva bola mata), dan nyeri be
tis yang menyolok. Pemeriksaan serologi Microscopic Agglutination Test (MAT)
atau tes Leptodipstik positif.
Malaria berat dibedakan dengan penyakit infeksi lain sebagai berikut :
Radang otak (meningitis/ensefalitis): Penderita panas dengan riwayat nyeri kepala
yang progresif, hilangnya kesadaran, kaku kuduk, kejang dan gejala neurologis la
innya.
Stroke (gangguan serebrovaskuler): Hilangnya atau terjadi gangguan kesadaran, g
ejala neurologik lateralisasi (hemiparese atau hemiplegia), tanpa panas dan ada pe
nyakit yang mendasari (hipertensi, diabetes mellitus dan lain-lain).
Tifoid ensefalopati: Gejala demam tifoid ditandai dengan penurunan kesadaran da

32
n tanda-tanda demam tifoid lainnya (khas adalah adanya gejala abdominal seperti
nyeri perut,diare).
Hepatitis: Prodromal hepatitis (demam, mual, nyeri pada hepar, muntah, tidak bisa
makan diikuti dengan timbulnya ikterus tanpa panas), mata atau kulit kuning, urin
seperti air teh. Kadar SGOT dan SGPT meningkat > 2 x.
Leptospirosis berat: Demam dengan ikterus, nyeri pada betis, nyeri tulang, riwayat
pekerjaan yang menunjang adanya transmisi leptospirosis (pembersih got, sampa
h dan lain lain), leukositosis, gagal ginjal dan sembuh dengan pemberian antibioti
ka (penisilin).
Glomerulonefritis akut atau kronik: Gagal ginjal akut akibat malaria umumnya me
mberikan respon terhadap pengobatan malaria secara dini dan adekuat.
Sepsis: Demam dengan fokal infeksi yang jelas, penurunan kesadaran, gangguan s
irkulasi, leukositosis dengan granula-toksik yang didukung hasil biakan mikrobiol
ogi.
Demam berdarah dengue atau Dengue shock syndrome: Demam tinggi terus men
erus selama 2 – 7 hari, disertai syok atau tanpa syok dengan keluhan sakit kepala,
nyeri tulang, nyeri ulu hati, manifestasi perdarahan (epistaksis, gusi, petekie, purp
ura, hematom, hemetemesis dan melena), sering muntah, uji torniquet positif, pen
urunan jumlah trombosit dan peninggian hemoglobin dan hematokrit, tes serologi
inhibisi hemaglutinasi, IgM atau IgG anti dengue positif.

17. Bagaimana cara menegakkan diagnosis?


Diagnosis pasti dari penyakit malaria adalah dengan menemukan parasit dalam da
rah yang diperiksa menggunakan mikroskop. Diagnosis labolatorium dilakukan de
ngan cara:
1. Diagnosis menggunakan mikroskop cahaya, sediaan darah diwarnai dengan
giemsa. Bila pemeriksaan pertama negatip,diperiksa ulang setiap 6 jam
selama 3 hr berturut-turut. bial dalam 3hari didapat hasil yang teteap negatif
maka akan dapat menyingkirkan diagnosis malaria. Jumlah parasit dalam
pemeriksaan dapat dihitung perlapangan pandang.
+ = 1-10 parasit perlapangan pandang

33
++ = 1-100 parasit per 100 lapangna pandang
+++ = 1-10 parasit per 1 lapangan panjang
++++ = >10 per satu lapangan pandang

Teknik mikroskopis yang lain adalah. Teknik ini contohnya adalah teknik quantiti
ve buffy coat (QBC) berdasarkan kemampuan akridin (acridine orange) memulas
asam nukleat yang berada dalam sel. Darah dari unjung penderita dikumpulakan d
alam tabung mikrohematokrit yang berisi zat warna jingga akridin dan anti koagul
an. Kemudian tabung tersebut disentrifugasi pada 12.000 x g selama 5 menit. Para
sit yang berfluoresensi dengan pemeriksaan mikroskop fluoresen merupakan hasil
dari salah satu usaha ini, tetapi cara ini tak dapat digunakan secara luas seperti sed
iaan darah tebal dan sediaan darah tipis. Selain iti terdapat juga teknik Kwatomo y
ang merupakan modifikasi dari teknik QBC

2. Metode Tanpa Menggunakan mikroskop


1. rapid antigen detection test (RDT), dasarnya adalah
immunochomatography pada kertas nitro cellulose. Dengan cara ini
berbagai protein parasit yang spesifik dapat dideteksi dalam darah dari
ujung jari penderita.
2. Metode yang mengguakan deteksi berdasarkan asam nukleat dapat dibag
ke dalam dua golongan, ysitu hibridasi DNA atau RNA berlabel yang
sensitivitasnya dapat ditingkatkan menggunakan PCR.
3. Tes serologi
Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap mala
ria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang ber
manfaat sebagai alat diagnostic sebab antibodi baru terbentuk setelah beb
erapa hari parasitemia. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru, dan te
s >1:20 dinyatakan positif.

18. Apa diagnosis kerja?


Diagnosis kerja merupakan diagnosis sementara yang ditentukan seorang dokter d

34
imana diagnosis diambil hanya berdasarkan gejala dan belum ada bukti pasti. Kar
ena belum ada bukti, diagnosis masih bisa salah, yang artinya masih ada kemungk
inan penyakit lain seperti: deman tifoid, infeksi bakteri biasa atau sepsis.

19. Apa saja anamnesis dan pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan?
Pada anamnesis dapat ditanyakan :

1. Bagaimana frekuensi demam yang dialami?

2. Apakah masih ada keluhan yang dirasakan selain yang telah disebutkan?

Pemeriksaan tambahan :

 Teknik mikroskopis yang lain adalah. Teknik ini contohnya adalah teknik quantitive
buffy coat (QBC) berdasarkan kemampuan akridin (acridine orange) memulas asam
nukleat yang berada dalam sel. Darah dari unjung penderita dikumpulakan dalam
tabung mikrohematokrit yang berisi zat warna jingga akridin dan anti koagulan.
Kemudian tabung tersebut disentrifugasi pada 12.000 x g selama 5 menit. Parasit
yang berfluoresensi dengan pemeriksaan mikroskop fluoresen merupakan hasil dari
salah satu usaha ini, tetapi cara ini tak dapat digunakan secara luas seperti sediaan
darah tebal dan sediaan darah tipis. Selain iti terdapat juga teknik Kwatomo yang
merupakan modifikasi dari teknik QBC

 Metode Tanpa Menggunakan mikroskop

rapid antigen detection test (RDT), dasarnya adalah immunochomatography pada


kertas nitro cellulose. Dengan cara ini berbagai protein parasit yang spesifik dapat di
deteksi dalam darah dari ujung jari penderita.

Metode yang mengguakan deteksi berdasarkan asam nukleat dapat dibagi ke dala
m dua golongan, yaitu hibridasi DNA atau RNA berlabel yang sensitivitasnya dapat
ditingkatkan menggunakan PCR.

Tes serologi
Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pad

35
a keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat dia
gnostic sebab antibodi baru terbentuk setelah beberapa hari parasitemia. Titer >1:200
dianggap sebagai infeksi baru, dan tes >1:20 dinyatakan positif.

20. Apa diagnosis pasti dari kasus ini?


Malaria tropika atau tersiana malignant. Hal ini didasari dengan ditemukannya Pla
smodium falciparum pada sediaan preparat darah tipis.

21. Bagaimana tatalaksana preventif, promotif, kuratif [non bedah (farmakologi dan
non farmakologi) dan bedah], rehabilitatif?
preventif
1. Pemberian obat kausal profilaksis/supresif
Obat ini diberikan dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi atau timbulnya geja
la. Obat profilaksis tidak membunuh stadium sporozoit yang masuk melalui gigita
n nyamuk melainkan membunuh parasit stadium dini dalam hati,sebelum merozoi
t dilepaskan ke dalam peredaran darah perifer.
Obat ini harus diminum dengan dosis adekuat sehingga jumlah parasit malaria dal
am darah berkurang hingga tidak menimbulkan gejala klinis
Bila obat ini berhenti diminum maka parasit dalam darah berkembang biak lagi.
Contoh : Primakuin (masih dalam penelitian)
2. Penggunaan repellent sebagai anti gigitan nyamuk
3. Pemasangan kawat kasa pada rumah
4. Pemakaian kelambu saat tidur untuk menghindari kemungkinan gigitan
nyamuk
5. Penggunaan bahan kimia (insektisida) untuk membunuh nyamuk
6. Pemberantasan vektor malaria yakni secara kimiawi maupun biologic

a. Secara Kimiawi.
Pemberantasan nyamuk anopheles secara kimiawi dapat dilakukan dengan me
nggunakan larvasida yaitu zat kimia yang dapat membunuh larva nyamuk, yang te
rmasuk dalam kelompok ini adalah solar/minyak tanah, parisgreen, temephos, fent

36
ion, altosid dll. Selain zat-zat kimia yang disebutkan di atas dapat juga digunakan
herbisida yaitu zat kimia yang mematikan tumbuh–tumbuhan air yang digunakan
sebagai tempat berlindung larva nyamuk.

b. Secara Hayati.
Pemberantasan larva nyamuk anopheles secara hayati dilakukan dengan meng
unakan beberapa agent biologis seperti predator misalnya pemakan jentik (clarviy
orous fish) seperti gambusia, guppy dan panchax (ikan kepala timah).
Berikut ini langka-langkah pencegahan menurut Depkes

1. PENCEGAHAN DARI GIGITAN NYAMUK DENGAN LONG LASTING


INSECTICIDE TREATED NET (LLITN) ATAU INSECTICIDE
TREATED NET (ITN).
2. PENCEGAHAN DENGAN MEMBUNUH JENTIK DISARANG
SARANG NYAMUK DENGAN LARVASIDA : BTI , ALTOSID DLL.
3. PENCEGAHAN DENGAN PENYEMPROTAN DINDING RUMAH
ATAU TENDA DENGAN INSEKTISIDA ETOFENPROX , LAMDA-
SIHALOTRINE, BENDIOCARB, DLL
4. PENCEGAHAN DENGAN MINUM OBAT PROFILAKSIS YAITU
DOXYCICLINE UNTUK PENDATANG BERUSIA > 8 TAHUN (1
TABLET 100 MG) UNTUK PENDATANG DEWASA TIAP HARI 1
TABLET SEJAK 1 MINGGU SEBELUM MASUK SAMPAI 1 BULAN
SETELAH KEMBALI.
5. PEMETAAN GENANGAN AIR DENGAN JARAK SAMPAI 2 KM
DEKAT PEMUKIMAN PENDUDUK/PENGUNGSI.

2. Promotif
Mengajak masyarakat banyak mengenali gejala malaria sejak dini.
Memberikan pengetahuan bagi masyarakat cara memberantas lingkungan anophel
es yakni dengan mengubah lingkungan
lingkungan hidup (environmental modification) sehingga larva nyamuk anophele

37
s tidak mungkin hidup. Kegiatan ini antara lain dapat berupa penimbunan tempat
perindukan nyamuk, pengeringan dan pembuatan dam, selain itu kegiatan lain me
ncakup pengubahan kadar garam, pembersihan tanaman air atau lumut dan lain-la
in.
3. Kuratif
1.farmakologi
Obat digunakan untuk penyembuhan infeksi,penanggulan serangan akut
antara lain :
Golongan 4-aminokuinolin
Klorokuin
Mempunyai aktivitas terhadap skizontosida. Penggunaan klorokuin saat ini di
kombinasi dengan sulfadoksin-pirimetamin(SP) karena adanya efek antipiretik
dan antiinflamasi. Penggunaan kombinasi obat ini sebagai pilihan utama terha
dap Plasmodium falciparum di Timor Timur
Obat ini cukup aman untuk ibu hamil karena tidak mempunyai efek teratogeni
k dan tidak menyebabkan abortus. Klorokuin tidak berbahaya bila sesuai deng
an dosis yang dianjurkan yakni 25 mg/kg berat badan diberikan dalam 3 hari
Amodiakuin
Merupakan obat yang mempunyai struktur dan aktivitas yang menyerupai klor
okuin,termasuk efek antipiretik dan antiinflamasi
Dosis amodiakuin basa adalah 10 mg/kgBB selama 3 hari
Golongan obat Antifolat

Sulfadoksin-pirimetamin merupakan obat yang memiliki aktivitas


skizontosida darah hanya terhadap P.falciparum tetapi tidak memiliki efek
gametosida
Golongan 4 quinoline-methanol
Kina

Merupakan obat malaria yang efektif terhadap P.falciparum yang resisten terh
adap klorokuin dan sulfodoksin-pirimetamin. Pada penderita malaria falsiparu
m tanpa komplikasi,biasanya kina diberikan dalam kombinasi tetrasiklin dan k

38
lindamisin

Artemisinin dan derivatnya

Merupakan obat yang diisolasi dari tumbuhan Artemisia annua. Obat ini mem
punyai efek skizontisida darah yang paling cepat dibandingkan obat malaria la
innya. Obat ini dapat dipakai pada malaria tanpa komplikasi maupun malaria
berat.

Primakuin

Merupakan obat yang memiliki aktivitas gametositosida dan merupakan satu-s


atunya obat yang digunakan untuk mencegah relaps

4. Rehabilitatif

22. Bagaimana prognosisnya (vitam dan functionam)?


Penderita malaria falciparum berat prognosisnya buruk,sedangkan penderita malar
ia falciparum tanpa komplikasi prognosis cukup baik bila dilakukan pengobatan d
engan segera dan dilakukan observasi hasil pengobatan

23. Bagaimana kompetensi dokter umum? Jelaskan!


Menurut SKDI tahun 2011, halaman 70, malaria merupakan penyakit dalam syste
m hematologi dan imunologi, dengan standar kompetensi (tingkat kemampuan) do
kter umum yaitu 4A, yang artinya lulusan dokter umum harus mampu membuat di
agnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri d
an tuntas.
Adapun tingkatan kemampuan yang harus dicapai lulusan dokter umum pada pen
yakit tertentu antara lain :
1. Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, da
n mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut me
ngenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi

39
pasien. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan
.
2. Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulus
an dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
3. Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal,
dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahu
luan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter ju
ga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahu
luan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah kep
arahan dan/atau kecacatan pada pasien.
Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pa
sien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali da
ri rujukan.
4. Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atau Pendid
ikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)

24. Bagaimana etika dokter-pasien?


Hubungan dokter pasien merupakan azas yang melandari semua aspek prakterk ke
dokteran untuk menetapkan diagnosis dan pengelolaan pasien. Hubungan dokter p

40
asien pada dasarnya merupakan hubungan professional (dokter) dengan klien (pasi
en). Bila pasien telah menetapkan untuk memilih seorang dokter guna menangani
masalah kesehatan dirinya, maka ia menyerahkan sepenuhnya pengelolaan penyak
itnya dan memiliki keyakinan pada dokter tersebut. Keyakinan dan kepercayaan s
eorang pasien merupakan amanah yang harus dipikul dan dilaksanakan dokter ses
uai dengan moral dan etika yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugas, seorang dokter harus berlandaskan sepuluh asas etis y
ang melandasi HDP seperti diusulkan oleh Kimball.
1. Dokter sadar akan motivasi, kebiasaan, dan kemampuannya.
2. Kebiasaan dokter mengetahui sebanyak-banyaknya tentang keluhan maupun
kepribadian pasien.
3. Adanya kemampuan empati untuk memperlancar butir 2 di atas.
4. Kebiasaan menjamin kerahasiaan hubungan dokter pasien.
5. Kewajiban berlaku sebagai guru pasien.
6. Kewajiban memberitahu kepada pasien segala tindakan dan rencananya.
7. Kewajiban memberikan pelayanan yang berkesinambungan.
8. Kewajiban menggunakan cara pendekatan ilmiah (atau medis) dalam pemecahan
masalah pasien.
9. Kemampuan menolong pasien untuk mengambil keputusan yang terbaik untuk
keadaannya atau keselamatannya.
10. Dokter sadar akan sifatnya sebagai manusia dan keterbatasannya.

D. Keterkaitan Antar Masalah

Berwisata tiga minggu yang lalu ke Kepulauan Bangka Belitung

Dua minggu kemudian, demam yang diikuti dengan perasaan menggigil dan berkeringat, lesu, ny
eri kepala, nyeri pada tulang dan sendi, rasa tidak nyaman pada perut serta diare ringan, BAK ber
warna kopi

41
Terinfeksi P. falciparum

E. Hipotesis
Tn. Hasan kejang akibat terinfeksi P. falciparum sehingga terjadi penurunan kesadaran, lesu, nye
ri, demam, BAK berwarna kopi.

F. Sintesis
a. Malaria

a. Definisi dan etiologi

Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyera
ng eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi m
alaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan splenomegaly. Dapat b
erlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi atau
pun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.
Etiologi
Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang terdiri dari 4 spesies, yaitu Plasmodiu
m vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Malaria
juga melibatkan hospes perantara, yaitu manusia maupun vertebra lainnya, dan hospes de
finitive, yaitu nyamuk Anopheles.

b. Patogenesis

Mengenai patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pe


mbuluh darah daripada koagulasi intravaskular. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusak
an eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan parasite
mia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit, pada percobaan
binatang dibuktikan adanya gangguan transportasi natrium sehingga keluar dari eritrosit yang
mengandung parasit dan tanpa parasit malaria. Diduga terdapat toksin malaria yang menyeb

42
abkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan keluarlah
parasit. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya anti
bodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black wat
er fever, yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, ditandai o
leh hemolosis intravaskular berat, hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubu
lus, disertai angka kematian yang tinggi. Telah lama dicurigai bahwa kini dapat memprovoka
si terjadinya black water fever. Sebagai tambahan, kasus meninggal yang disebabkan malaria
selalu menunjukkan adanya perubahan yang menonjol dari sistem retikuloendotelial dan mu
ngkin juga melibatkan berbagai sistem organ.

Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehin
gga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi f
agisitosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terj
adi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa
di daerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bers
ama dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi terhadap malaria ini mungkin men
imbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis.

Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kupffer – seperti sel dalam sistem retikuloen
dotelial – terlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati menjadi berwarna kecokla
tan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi infiltrasi difus oleh sel mononukl
eus pada periportal yang meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria. Hepatome
gali dengan infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari sindrom pembesaran hati di da
erah tropis. Nekrosis sentrilobulus terjadi pada syok.
Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada malaria serebral, ot
ak berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering disertai edema dan hiperemis. Perdarahan
berbentuk petekie tersebar pada substansi putih otak dan dapat menyebar sampai ke sumsum
tulang belakang. Pada pemeriksaan mikroskopik, sebagian besar dari pembuluh darah kecil d
an menengah dapat terisi eritrosit yang telah mengandung parasit dan dapat dijumpai bekuan
fibrin, dan terdapat reaksi selular pada ruang perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh
darah oleh malaria tidak saja terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada jantung atau

43
saluran cerna atau di tempat lain dari tubuh, yang berakibat pada berbagai manifestasi klinik.
Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah satu atau dua p
roses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan atau membranoproliverative glomerulonephri
tis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis masif dan hemoglobinuria
pada black water fever tetapi dapat juga tanpa hemolisis, akibat berkurangnya aliran darah ka
rena hipovolemia dan hiperviskositas darah Plasmodium falciparum menyebabkan nefritis se
dangkan Plasmodium malariae menyebabkan glomerulonefritis kronik dan sindrom nefrotik.

a. Patogenesis, patologi dan temuan klinis

Plasmodium vivax
Masa tunas intrinsic biasanya berlangsung 12-17 hari, tetapi pada beberapa strain
P.vivax dapat sampai 6-9 bulan atau mungkin lebih lama. Serangan pertama dimul
ai dengan sindroma podromal: sakit kepala, nyeri punggung, mual dan malaise um
um. Pada relaps sindrom podromal ringan atau tidak ada. Demam tidak teratur pad
a 2-4 hari pertama, kemudian menjadi intermitten dengan perbedaan yang nyata p
ada pagi dan sore hari, suhu meninggi kemudian turun menjadi normal. Kurva de
mam pada permulaa penyakit tidak teratur, disebabkan beberapa kelompok parasit
yang masing-masing mempunyai saat sporulasi sendiri, sehingga demam tidak ter
atur. Kemudian kurva demam menjadi teratur, yaitu periodisitas 48 jam. Serangan
demam terjadi pada siang atau sore hari dan mulai jelas dengan stadium menggigi
l, panas, berkeringat yang klasik. Suhu badan dapat mencapai 40,60C atau lebih.
Mual dan muntah, pusing, mengantuk atau gejala lain akibat iritasi serebral dapat t
erjadi tetapi hanya berlangsung sementara. Anemia pada serangan pertama biasan
ya belum jelas atau tidak berat, tetapi pada malaria menahun menjadi lebih jelas.
Trombositopenia sering ditemukan dan jumlah trombosit meningkat setelah pemb
erian obat antimalaria.
Limpa pada serangan pertama mulai membesar, dengan konsistensi lembek dan m
ulai teraba pada minggu kedua.pada malaria menahunlimpa menjadi sangat besar,
keras dan kenyal. Trauma kecil dapat menyebabkan rupture limpa, tetapi hal ini ja
rang terjadi.
Pada permulaan serangan pertama, jumlah parasit P.vivax sedikit dalam peredaran

44
darah tepi, tetapi bila demam tersian telah berlangsung, jumlahnya bertambah ban
yak. Suatu serangan tunggal yang tidak diberi pengobatan, dapat berlangsung beb
erapa minggu dengan serangan demam berulang. Demam lama kelamaan berkura
ng dan dapat menghilang sendiri tanpa pengobatan karena system imun penderita.

Selanjutnya, setelah periode tertentu, dapat terjadi relaps yang disebabkan oleh hi
pnozoit yang aktif kembali. Berdasarkan periode terjadinya relaps, P. vivax dibagi
atas tropical strain dan temperate strain. Plasmodium vivax tropical strain akan re
laps dalam jangka waktu yang pendek dan frekuensi terjadinya relaps lebih sering
dibandingkan temperate strain. Sebaliknya, pada temperate strain, relaps terjadi 6-
10 bulan setelah permulaan infeksi.
Plasmodium malariae
Masa inkubasi pada infeksi P.malariae berlangsung 18 hari dan kadang-kadang sa
mpai 30-40 hari. Gambaran klinis pada sserangan pertama mirip dengan P.vivax.
serangan demam lebih teratur dan terjadi pada sore hari. Parasit P.malariae cender
ung menghinggapi eritrosit yang lebih tua yang jumlahnya hanya 1% dari total eri
trosit.
Akibatnya, anemia kurang jelas dibandingkan malaria vivax dan penyulit lain aga
k jarang. Splenomegali dapat mencapai ukuran besar. Parasitemia asimtomatik tid
ak jarang dan menjadi masalah pada donor darah untuk transfuse.
P.malariae merupakan salah satu Plasmodium yang dapat menyebabkan kelainan
ginjal, selain P.falciparum. kelainan ginjal yang disebabkan oleh P.malariae biasa
nya hany abersifat menahun dan progresif dengan gejala lebih berat dan prognosis
buruk. Nefrosis pada malaria kuartana sering terdapat pada anak di afrika dan san
gat jarang terjadi pada orang non-imun yang terinfeksi P.malariae. gejala klinis be
rsifat non spesifik, biasanya ditemukan pada anak berumur ± 5 tahun. Proteinuria
dapat ditemukan pada 46% penderita. Semua stadium parasit aseksual terdapat dal
am peredaran darah tepi pada waktu yang bersamaan, tetapi parasitemia tidak ting
gi, kira-kira 1% sel darah merah yang diinfeksi. Mekanisme rekurens pada malari
ae disebabkan oleh parasit dari daur eritrosit yang menjadi banyak; stadium aseks
ual daur eritrosit dapat bertahan didalam badan. Parasit ini dilindungi oleh system
pertahanan kekebalan seluler dan humoral manusia. Factor evasi yaitu parasit dap

45
at menghindarkan diri dari pengaruh zat anti dan fagositosis, disamping itu bertah
anyya parasit ini tergantung pada variasi antigen yang terus menerus berubah dan
menyebabkan rekurens.
Plasmodium ovale
Gejala klinis malariae ovale mirip dengan malariae vivax. Serangannya sama heba
t tetapi penyembuhan sering secara spontan dan relapsnya lebih jarang. Parasit ser
ing tetap berada dalam darah (periode latent) dan mudah ditekan oleh spesies lain
yang lebih virulen. P.ovale baru tampak lagi setelah spesies yang lain lenyap. Infe
ksi campur P.ovale sering terdapat pada orang yang tinggal di daerah tropic afrika
endemic malaria.
Plasmodium falciparum
Masa tunas intrinsic malaria falsiparum berlangsung 9-14 hari. Penyakitnya mulai
dengan nyeri kepala, punggung dan ekstrimitas, perasaan dingin , mual, muntah at
au diare ringan. Demam mungkin tidak ada atau ringan dan penderita tidak tampa
k sakit. Diagnosis pada stadium ini tergantung dari anamnesis riwayat bepergian k
e daerah endemic malaria.

Penyakit berlangsung terus, nyeri kepala, punggung dan ekstremitas lebih hebat d
an keadaan umum memburuk. Pada stadium ini penderita tampak gelisah, pikau m
ental (mental confusion). Demam tidak teratur dan tidak menunjukkan periodisita
s yang jelas. Keringat keluar banyak walaupun demamnya tidak tinggi. Nadi dan
nafas menjadi cepat. Mual, muntah dan diare menjadi lebih hebat, kadang-kadang
batuk oleh karena kelainan paru. Limpa membesar dan lembek pada perabaan. Ha
ti membesar dan tampak ikterus ringan. Kadang-kadang urin ditemukan albumin d
an thorak hialin atau thorak granular. Ada anemia ringan dan leucopenia dengan
monositosis serta trombositopenia. Bila pada stadium dini penyakit dapat didiagn
osis dan diobati dengan baik, maka infeksi dapat segera diatasi. Sebaliknya bila ti
dak segera ditangani, penderita dapat jatuh ke malaria berat.
Perbedaan yang penting antara P. falciparum dan lainnya adalah bahwa P.falcipar
um dapat memodifikasi permukaan eritrosit yang terinfeksi sehingga stadium asek
sual dan gametosit dapat melekat ke endotel kapiler dalam alat dalam dan plasenta
. Akibatnya hanya bentuk cincin P.falcifarum yang dapat ditemukan dalam sirkula

46
si darah tepi. Permukaan eritrosit yang terinfeksi trofozoit dan skizon P.falcifarum
akan diliputi dengan tonjolan yang merupakan tempat parasit melekat dengan sel
hospes. Bila parasit melekat pada sel endotel, maka parasit tersebut tidak akan dib
awa aliran darah ke limpa yang merupakan tempat eliminasi parasit. Reseptor end
otel pada hospes sangat bervariasi dan parasit yang berbeda dapat melekat pada be
rbagai kombinasi reseptor tersebut. Suatu protein yang dikenal sebagai P.falcifaru
m erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP-1) diekspresikan pada permukaan erit
rosit yang terinfeksi dikode oleh family gen var yang cukup besar dan sangat berv
ariasi. Gen ini dikatakan memegang peranan penting dalam pathogenesis P.falcifa
rum.

Pada sebagian besar kasus malaria falsifarum, ikatan antara knob dengan endotel
hospes tidak selalu menyebabkan malaria berat. Penyebab infeksi P.falcifarum tan
pa komplikasi menjadi malaria berat seperti malaria otak, sampai saat ini belum di
ketahui secara pasti. Kemungkinan adalah ekspresi reseptor endotel hospes yang b
erbeda pada sekuestrasi akan mempengaruhi terjadinya pathogenesis tertentu. Mis
alnya sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi dalam kapiler plasenta (reseptor CSA= c
hondroitin sulphate) dapat menyebabkan kelahiran premature, bayi berat badan la
hir rendah, bayi lahir mati dan anemia pada ibu hamil. Dalam kapiler otak mungki
n yang berperan adalah reseptor ICAM-1 (intercelluller adhesion molecule-1). Ap
a dan bagaimana perlekatan antara antigen parasit dan reseptor endotel hospes me
nyebabkan kelainan sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa meka
nisme yang diduga berperan adalah obstruksi aliran darah. Produksi sitokin baik si
stemik maupun local. Salah satu antigen malaria yang berasal dari stadium meroz
oit (MSP-1 dan MSP-2) yaitu GPI (glycosilphosphatidyl inositol) diduga dapat m
enginduksi sitokin TNF-alfa yang dihasilkan makrofag. Selanjutnya TNF-alfa aka
n meningkatkan ekspresi ICAM-1 pada endotel kapiler otak dan diduga peningkat
an produksi nitrit oksida secara local dapat menyebabkan malaria otak.
Secara garis besar eritrosit yang terinfeksi dapat menimbulkan 3 jenis gangguan y
aitu hemodinamik, imunologik, dan metabolic. Gejala klinis malaria yang komple
ks merupakan keseluruhan interaksi ketiga gangguan tersebut.

47
1. perubahan hemodinamik
Eritrosit yang terinfeksi parasit akan bersifat mudah melekat. Eritrosit cenderung
melekat pada eritrosit di sekitarnya yang tidak terinfeksi, sel trombosit dan endote
l kapiler. Hal tersebut akan menyebabkan pembentukan roset dan gumpalan dalam
pembuluh darah yang dapat memperlambat mikrosirkulasi. Akibatnya secara klin
is dapat terjadi gangguan fungsi ginjal, otak dan syok. Tempat melekat pada perm
ukaan eritrosit yang terinfeksi dikenal sebagai knob yang terdiri atas protein yang
dikode oleh genom parasit. Protein ini disebut PfEMP yang sangat bervariasi. Res
eptor pada trombosit dan endotel adalah CR1 dan glikosaminoglikan, CD36, PEC
AM-1/CD31, E-selectin, P-selectin, ICAM-1 dan VCAM-1. Akibatnya pada pend
erita dapat juga terjadi disseminated intravascular koagulation dan trombositopeni
a
2. perubahan imunologik

Antigen parasit lain yaitu ring infected erythrocyte surface antigen (RESA), protei
n heat shock dan lainnya akan mengaktifkan sel mononukleus dalam darah yang
dapat menimbulkan berbagai respons imun yang berbeda. Misalnya rangkaian gly
cosylphosphatidylinositol yang bersifat seperti endotoksin akan meningkatkan akt
ivitas respon Th1 yang berhubungan dengan gagal ginjal akut. Sebaliknya antigen
pf332 yang berinteraksi dengan reseptor lain dari monosit akan meningkatkan res
pons th2 yang berperan dalam pembentukan imunitas terhadap reinfeksi. Hal yang
paling penting dari aktivasi monosit adalah pelepasan tumor necrosis factor-alfa (
TNF-alfa) yang mempunyai peran dalam pathogenesis malaria akut. Aktivitas Th1
juga akan meningkatkan proliferasi sel B limfosit yang mensintesis IgG2. Hal ini
akan mengakibatkan pembentukan autoantibody seperti anticardiolipin, antiphosp
olipid dan antisitoplasma neutropjil yang berperan dalam komplikasi mikrovaskul
er. Pada aktivasi Th2 terjadi pengeluaran IL-4 yang akan menginduksi proliferasi
sel limfosit B untuk menghasilkan IgE dan IgG4. Hal ini terutama bermanifestasi
pada malaria selebral dimana terjadi peningkatan IgE. P.falcifarum dapat juga me
ngaktifkan factor C3 secara langsung melalui jalur alternative pathway yang berpe
ran dalam pathogenesis komplikasi yang berhubungan dengan thrombosis.
3. perubahan metabolic

48
Kelainan metabolic yang berhubungan dengan infeksi plasmodium merupakan ko
nsekuensi dari
gangguan pada membrane eritrosit

kebutuhan nutrisi parasit

peningkatan gangguan hemodinamik dan imunologik

efek pengobatan

c. Manifestasi klinik

Perjalanan penyakit malaria terdiri atas serangan demam yang disertai oleh gejala lain da
n diselingi oleh periode bebas penyakit. Ciri khas demam malaria adalah periodisitasnya.

PERIODISITAS KETERANGAN

MASA TUNAS EKSTRINSIK Parasit malaria yang ditularkan melalui n


yamuk kepada manusia adalah 12 hari un
tuk plasmodium falciparum, 13-17 hari u
ntuk plasmodium ovale dan vivax, dan 2
8-30 hari untuk plasmodium malariae (m
alaria kuartana).

PLASMODIUM MANIFESTASI KLINIS

Plasmoduim Malariae Berlangsung ringan, anemia jarang terjadi, splenomegali ringa


n. Serangan paroksismal terjadi tiap 3-4 hari, biasanya pada so
(Malaria Kwartana)
re hari dan parasitemia sangat rendah <1%.

49
Plasmodium Ovale Gejala klinis hampir sama dengan Malaria Vivax, lebih ringan,
puncak panas, lebih rendah, dan perlangsungan lebih pendek,
(Malaria Ovale)
dan dapat sembuh spontan. Serangan menggigil jarang terjadi
dan splenomegali jarang sampai dapat teraba.

Plasmodium Vivax o Pada hari pertama panas ireguler, kadang-kadang remitten

(Malaria Tertiana) atau intermitten, pada saat tersebut perasaan dingin atau m
enggigil jarang terjadi.

o Pada akhir minggu tipe panas menjadi intermitten da perio


dik setiap 48 jam dengan gejala klasik trias malaria.

o Serangan paroksismal biasanya terjadi waktu sore hari.

d. Diagnosis

Diagnosis pasti dari penyakit malaria adalah dengan menemukan parasit dalam darah y
ang diperiksa menggunakan mikroskop. Diagnosis labolatorium dilakukan dengan cara
:

 Diagnosis menggunakan mikroskop cahaya, sediaan darah diwarnai dengan


giemsa. Bila pemeriksaan pertama negatip,diperiksa ulang setiap 6 jam selama
3 hr berturut-turut. bila dalam 3hari didapat hasil yang teteap negatif maka
akan dapat menyingkirkan diagnosis malaria. Jumlah parasit dalam
pemeriksaan dapat dihitung perlapangan pandang.
+ = 1-10 parasit perlapangan pandang
++ = 1-100 parasit per 100 lapangna pandang
+++ = 1-10 parasit per 1 lapangan panjang
++++ = >10 per satu lapangan pandang
 Teknik mikroskopis yang lain adalah. Teknik ini contohnya adalah teknik
quantitive buffy coat (QBC) berdasarkan kemampuan akridin (acridine
orange) memulas asam nukleat yang berada dalam sel. Darah dari unjung
penderita dikumpulakan dalam tabung mikrohematokrit yang berisi zat

50
warna jingga akridin dan anti koagulan. Kemudian tabung tersebut
disentrifugasi pada 12.000 x g selama 5 menit. Parasit yang berfluoresensi
dengan pemeriksaan mikroskop fluoresen merupakan hasil dari salah satu
usaha ini, tetapi cara ini tak dapat digunakan secara luas seperti sediaan
darah tebal dan sediaan darah tipis. Selain iti terdapat juga teknik
Kwatomo yang merupakan modifikasi dari teknik QBC

 Metode Tanpa Menggunakan mikroskop

4. rapid antigen detection test (RDT), dasarnya adalah


immunochomatography pada kertas nitro cellulose. Dengan cara ini
berbagai protein parasit yang spesifik dapat dideteksi dalam darah
dari ujung jari penderita.

5. Metode yang mengguakan deteksi berdasarkan asam nukleat dapat


dibag ke dalam dua golongan, ysitu hibridasi DNA atau RNA
berlabel yang sensitivitasnya dapat ditingkatkan menggunakan
PCR.

6. Tes serologi
Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhada
p malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini
kurang bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibodi baru terb
entuk setelah beberapa hari parasitemia. Titer >1:200 dianggap seb
agai infeksi baru, dan tes >1:20 dinyatakan positif.

e. Tata Laksana

1. Preventif
Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting pada penderita non-imun, khususnya
pada turis nasional maupun internasional. Tindakan pencegahan untuk menghindarkan di

51
ri dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara:
1. Tidur dengan kelambu, sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup pestisida)
2. Menggunakan obat pembunuh nyamuk
3. Mencegah berada dialam bebas dimana nyamuk dapat menggigit atau harus memakai
infeksi. Nyamuk akan menggigit diantara jam 18.00-06.00. Nyamuk jarang pada
ketinggian 2.000m
4. Memproteksi tempat tinggal atau kamar tidur dari nyamuk dengan kawat anti-nyamuk.
2. Promotif
Memalui penyuluhan kepada masyarakat.
3. Kuratif
Adalah suatu kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengura
ngan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan ag
ar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
 Farmakologi
WHO melalui RBM (Roll Back Malaria) telah mecanangkan perubahan pemakaian o
bat baru yaitu kombinasi artemisinin (ACT) untuk mengatasi masalah resistensi peng
obatan dan menurunkan morbiditas dan mortalitas.
1. Golongan 4-aminokuinolin
1.1. Klorokuin
1.2. Amodiakuin
2. Golongan obat Antifolat
3. Golongan 4 quinoline-methanol
1.3. Kina
4. Artemisin dan Derivatnya
5. Primakuin
6. Antibiotik
1.4. Doksisiklin
1.5. Tetrasiklin
1.6. Klindamisin
7. Atovakuon-proguanil
 Non-farmakologi

52
f. Resistensi

Resistensi adalah kemampuan strain parasite untuk tetap hidup dan/atau berkemba
ngbiak walaupun pemberian dan absorpsi obat sesuai dosis standar atau lebih tinggi dari
dosis yang direkomendasikan tetapi masih bias ditoleransi hospes.
Proses evolusi P. falciparum menjadi resisten terhadap obat belum dimengerti sel
uruhnya. Perkembangan P. falciparum yang resisten terhadap kloroquin mungkin memer
lukan mutasi beberapa gen secara berurutan dan hal ini berlangsung lamban. Ada indikasi
bahwa pada P. falciparum terjadi mutasi pada gen transporter-like pada permukaan vak
uol makanan P. falciparum dan melibatkan gen Plasmodium falciparum chroquine resist
ence transporter (Pfcrt), selain gen Plasmodium falciparum multidrug resistence (Pfmdr)
. Dasar molecular resistensi P. falciparum terhadap obat golongan antifolat sudah diketah
ui yaitu melibatkan beberapa mutasi titik pada enzim dhfr (dihydrofolate reductase) dan d
hps (dihydropteroate synthase) yang berperan dalam pembentukan asam folat plasmodiu
m. Di Indonesia mutasi gen P. falciparum baik Pfcrt maupun dhfr dan dhps sudah dilapor
kan dari berbagai daerah endemis malaria.
Berbagai factor yaitu obat, parasite, dan manusia sebagai hospes saling berinterak
si yang menyebabkan perkembangan dan penyebaran resistensi plasmodium terhadap oba
t. Mekanisme molekuler cara kerja obat merupakan factor yang penting dalam menentuka
n cepatnya suatu obat menjadi resisten. Sebagai contoh, obat dengan waktu paruh termina
l yang panjang akan mempercepat terjadinya resistensi. Peningkatan penggunaan obat ju
ga akan memepercepat resistensi. Semakin sering obat digunakan, semakin tinggi kemung
kinan parasite akan terpapar kadar obat yang tidak adekuat, selanjutnya parasite akan ters
eleksi untuk bermutasi. Faktor parasite yang berhubungan dengan resistensi adalah spesie
s Plasmodium dan intensitas transmisi. Faktor hospes termasuk pemakaian obat besar-bes
aran dan/atau penggunaan obat yang tidak rasional.
Resistensi P. falciparum di Indonesia ditemukan pertama kali di Kalimantan Tim
ur (1974), kemudian di Irian Jaya (1976), Sumatra Selatan (1978), Timor Timur (1981), J
awa Tengah (Jepara, 1981) dan Jawa Barat (1981). Pada tahun 1991 seluruh propinsi di I
nsonesia sudah melaporkan P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Amodiakuin

53
seara umum lebih efektif dibandingkan klorokuin dalam hal mengeliminasi strain P. falci
parum yang resisten klorokuin. Golongan obat artemisin yang sekarang sudah banyak dip
akai sebagai pilihan utama, secara in vitro mulai terlihat penurunan efektivitasnya. Walau
pun demikian, secara in vivo sampai saat ini hal itu belum dilaporkan.
Dalam Harisson's Priciples of Internal Medicine dinyatakan bahwa resistensi terha
dap malaria terjadi pada penderita penyakit sickle cell, ovalocytosis, thallasemia, dan defi
siensi glucosa-6-phosphate dehydrogenase (G6PD). Penyakit-penyakit ini melindungi pe
nderitanya dari kematian karena malaria falciparum. Sebagai contoh, HbA/S heterozigot (
sifat sickle cell) memiliki penurunan resiko kematian sebesar 6 kali lipat akibat malaria fa
lciparum berat. Penurunan resiko ini kemungkinan memiliki hubungan dengan pertumbu
han parasit yang tidak baik akibat rendahnya tekanan oksigen. Pembelahan parasit pada
HbA/E heterozigot berkurang pada kepadatan parasit yang tinggi. Di melanesia, anak-ana
k dengan thalasseia alfa tampaknya lebih sering mengalami malaria (baik vivax maupun f
alciparum) pada awal kehidupan, dan pola infeksi ini sepertinya melindungi penderita dar
i penyakit yang berat. Di ovalocytosis melanesian, eritrosit yang kaku menghambat invasi
merozoit, dan menciptakan lingkungan intraeritrositik yang buruk.
Mekanisme pertahanan tubuh non-spesifik menghentikan perkembangan infeksi d
an respons imun spesifik yang mengikutinya mengendalikan infeksi. Lama-kelamaan, pe
maparan terhadap jenis parasit dalam jumlah yang cukup, mengatur perlindungan terhada
p parasitemia tingkat tinggi dan penyakit tetapi tidak terhadap infeksi. Sebgai hasilnya, te
rjadi infeksi tanpa penyakit (premunition), asimtomatik parasitemia umum terjadi pada or
ang dewasa maupun anak-anak yang tinggal di wilayah dengan transmisi yang sering dan
stabil. Individu yang telah kebal terhadap malaria mengalami peningkatan polyclonal di l
evel serum IgM, IgG, dan IgA. Pertahan tubuh seperti ini akan menurun ketika orang ters
ebut keluar dari daerah endemik selama beberapa bulan atau lebih lama .

54
g. Komplikasi

Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena P.falciparum dan sering disebut pernici
ous manifestasions. Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala sebeumnya, dan sering terjadi p
ada penderita yang tidak imun seperti pada orang pendatang dan kehamilan. Komplikasi terjadi 5
-10 % pada seluruh penderita yang dirawat di RS dan 20 % diantaranya merupakan kasus yang fa
tal.
Penderita malaria dengan kompikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang
menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P.falciparum dengan satu atau lebih komplikasi seb
agai berikut :
1. Malaria serebral (coma) yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari 30 menit
setelah serangan kejang ; derajat penurunan kesadaran harus dilakukan penilaian berdasar
GCS (Glasgow Coma Scale) ialah dibawah 7 atau equal dengan keadaan klinis soporous.
2. Acidemia/acidosis ; PH darah <>respiratory distress.
3. Anemia berat (Hb <> 10.000/ul; bila anemianya hipokromik atau miktositik harus
dikesampingkan adanya anemia defisiensi besi, talasemia/hemoglobinopati lainnya.
4. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau 12 ml/kg BB
pada anak-anak) setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin > 3 mg/dl.
5. Edema paru non-kardiogenik/ARDS (adult respiratory distress syndrome).
6. Hipoglikemi : gula darah < 40 mg/dl.
7. Gagal sirkulasi atau syok : tekanan sistolik <70 mmHg, disertai keringat dingin atau
perbedaan temperatur kulit-mukosa >10oC.
8. Perdarahan spontan dari hidung atau gusi, saluran cerna, dan disertai kelainan laboratorik
adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
9. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam.
10. Makroskopik hemoglobinuria oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti
malaria/kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD).
11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler
pada jaringan otak

55
h. Prognosis

Penderita malaria falciparum berat prognosisnya buruk, sedangkan penderita malaria falci
parum tanpa komplikasi prognosisnya cukup baik bila dilakukan pengobatan dengan segera dan
dilakukan observasi hasil pengobatan.

Prognosa penderita malaria berat tergantung pada:

1. Prognosis malaria berat tergangtung kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan
2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan pada anak-
anak 15%, dewasa 20%, dan pada kehamilan meningkat samai 50%
3. Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada
kegagalan 2 fungsi organ.
a. Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ, adalah >50%
b. Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ, adalah >75%
c. Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:
Kepadatan parasit <100.000/µL, maka mortalitas <1%
Kepadatan parasit >100.000/µL, maka mortalitas >1%
Kepadatan parasit >500.000/µL, maka mortalitas >50%
Malaria Vivaks
Prognosis malaria vivaks biasanya baik, tidak menyebabkan kematian. Bila tidak diberi pen
gobatan, serangan pertama dapat berlangsung 2 bulan atau lebih. Rata-rata infeksi malaria vivaks
tanpa pengobatan berlangsung 3 tahun, tetapi pada beberapa kasus dapat berlangsung lebih lama
, terutama karena relapsnya.
Malaria Malariae
Tanpa pengobatan, malaria malariae dapat berlangsung sangat lama dan rekurens pernah ter
catat 30-50 tahun sesudah infeksi.
Malaria ovale
Malaria ovale penyakitnya ringan dan dapat sembuh sendriri tanpa pengobatan.
Malaria falsiparum
Penderita malaria falsiparum berat prognosisnya buruk, sedangkan penderita malaria falsiparum t
anpa komplikasinprognosisnya cukup baik bila dilakukan pengobatan dengan segera dan dilakuk

56
an observasi hasil pengobatan.

b. Plasmodium

i. Sejarah dan hospes

Sejarah
Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Gejala klinis penyakit mala
ria khas dan mudah dikenal, karena demam yang naik turun dan teratur disertai menggigil
. Pada waktu itu sudah dikenal febris tersiana dan febris kuartana. Selain itu ditemukan ke
lainan limpa, yaitu splenomegali: limpa membesar dan menjadi keras, sehingga dahulu pe
nyakit malaria disebut juga sebagai demam kura.

Malaria diduga disebabkan oleh hukuman dewa, karena pada waktu itu ada wabah
di sekitar kota Roma. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah rawa yang mengeluarkan
bau busuk ke sekitarnya, sehingga disebut “malaria” (mal area= udara buruk = bad air).
P. falciparum pertama kali dilihat oleh Alfonse Laveran yang memeriksa mayat-
mayat mereka yang meninggal akibat malaria ganas di Afrika Utara pada akhir 1800-an.
Dengan mempelajari sampel darah segar dari seorang tentara dengan malaria kronis, Lav
eran menemukan stadium gametosit berbentuk pisang dalam darah seorang penderita mal
aria. Saat ini, Plasmodium falciparum termasuk kingdom Protista, phylum Apicomplexa,
class Sporozoea, subclass Coccidia, order Ercoccidiida, suborder Haemosporina, genus Pl
asmodium, genus Plasmodium and species falciparum (Karapelou, 1987). Sementara itu,
Ross (1897) menemukan bahwa malaria ditularkan oleh nyamuk yang banyak terdapat di
sekitar rawa.

Hospes
Parasit malaria termasuk genus Plasmodium dan pada manusia ditemukan 4 spesies: Plas
modium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale.
Pada kera ditemukan spesies parasit malaria yang menyerupai Plasmodium manusia, anta
ra lain: Plasmodium cynomologi menyerupai Plasmodium vivax, Plasmodium knowlesi m
enyerupai Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae, Plasmodium rodhaini pada

57
simpanse di Afrika dan Plasmodium brasilianum pada kera di Amerika Selatan yang me
nyerupai Plasmodium malariae.
Salah satu Plasmodium primata, yaitu P.knowlesi dilaporkan pertama kali di Malaysia (1
965) dapat menginfeksi manusia dan menyebabkan gejala klinis, kemudian ditemukan di
Muangthai. Walaupunbelum dilaporkan, hal ini kemungkinan dapat ditemukan di Indone
sia mengingat geografinya yang serupa dengan negara tersebut.

j. Morfologi dan identifikasi

A. PLASMODIUM
2. Morfologi dan Identifikasi

58
Morfologi Plasmodium berbeda-beda tiap spesies. Sitoplasmanya mempunyai bentuk
yang tak teratur pada berbagai stadium pertumbuhan dan mengandung kromatin, pigmen
serta granula. Pigmen malaria terdiri dari protein yang telah didenaturasi, yaitu hemozoin
atau hematin yang merupakan hasil metabolisme antara parasit dengan bahan-bahan dari
eritrosit.
1. Plasmodium vivax

59
- Eritrosit yang terinfeksi oleh parasit ini mengalami pembesaran dan pucat karena kek
urangan hemoglobin.
- Terdapat bintik-bintik merah yang disebut titik Schuffner pada eritrosit yang terinfek
si parasit ini.
- Tropozoit muda tampak sebagai cincin dengan inti pada satu sisi.
- Tropozoit tua tampak sebagai cincin ameboid akibat penebalan sitoplasma yang tidak
merata.
- Dalam waktu 36 jam parasit akan mengisi lebih dari setengah sel eritrosit yang mem
besar.
- Proses selanjutnya inti sel parasit akan mengalami pembelahan dan menjadi bentuk s
chizont yang berisi merozoit berjumlah antara 12 sampai 24 buah.
- Gametosit mengisi hampir seluruh eritrosit. Mikrogametosit berinti besar dalam pew
arnaan Giemsa akan berwarna merah muda sedangkan sitoplasma berwarna biru. Makrog
ametosit berinti padat berwarna merah letaknya biasanya di pinggir.

2. Plasmodium falciparum

60
- Eritrosit yang terinfeksi tidak mengalami pembesaran.
- bentuk acolle (inti menempel dinding eritrosit) dan spliting (inti parasit terpecah dua)
.
- Bisa terjadi multiple infeksi dalam eritrosit (ada lebih dari satu parasit dalam eritrosit
)
- Schizont berisi merozoit berjumlah 8-24 buah.
- pigmen berwarna hitam
- Makrogametosit berbentuk pisang dengan plasma yang biru, inti padat dan kecil, sert
a pigmen di sekitar inti.
- Mikrogametosit berbentuk sosis dengan plasma berwarna merah muda, inti tidak pad
at dan pigmen tersebar.

61
3. Plasmodium ovale

Morfologinya sama seperti Plasmodium vivax namun pada stadium tropozoid, bentuknya
oval, ujungnya bergerigi dan ditemukan titik James.

62
Morfologi Plasmodium malariae, pada eritrosit yang diinfeksinya tidak mengalami pemb
esaran dan ditemukan titik Ziemann. Pada stadium tropozoidnya terdapat pigmen berwarna kunin
g tengguli tua dan kasar. Sedangkan pada stadium skizon nya memiliki inti 8 sampai 12 buah ber
bentuk seperti bunga serunai dan pigmen berkumpul di tengah.

k. Diagnosis

1. Thick film (DDR)


Diwarnai dengan meggunakan pewarnaan Giemsa atau Field’stain. Preparat ini digun
akan untuk melihat ada/ tidaknya gametosit,mengidentifikasi ada tidaknya parasit seperti
malaria, tripanosoma, microfilaria, dan lain-lain. Ciri-ciri sediaan apus darah tebal yaitu l
ebih banyak membutuhkan darah untuk pemeriksaan dibandingkan dengan sediaan apus
darah tipis, jumlah selnya lebih banyak dalam satu lapang pandang, dan bentuknya tidak
sama seperti dalam sediaan apus darah tipis. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 men
it (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan ne
gative bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan perbesaran kuat 700-1000 kali
tidak ditemukan parasit.

2. Thin film

63
Diwarnai dengan menggunaka pewarnaan Wright atau Giemsa. Preparat ini digunaka
n untuk melihat perubahan bentuk eritrosit dan identifikasi spesies plasmodium. Ciri-ciri
sediaan apus darah tipis yaitu lebih sedikit membutuhkan darah untuk pemeriksaan diban
dingkan dengan sediaan apus darah tebal, morfologinya akan terlihat lebih jelas dan peru
bahan pada eritrosit juga dapat terlihat lebih jelas.

3. Q.B.C. (Quantitative Buffy Coat)


Darah diambil ke dalam tabung kapiler QBC yang dilapisi dengan acridine orange (pewar
na fluorescent) dan disentrifugasi, parasit fluorescent kemudian dapat diamati di bawah si
nar ultraviolet

4. I.R.M.A. (Immunoradiometric assay)


5. Elisa for Ag p. falcliparum

6. PCR
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu dipakai
cukupcepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun ju
mlah parasitsangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai sa
rana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin

7. Rapid Manuel test (P.falciparum)


Tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria secara imunokromatografi dalam bent
uk dipstik. Tes ini bermanfaat pada unit gawat darurat dan di daerah terpencil yang tidak t
ersedia fasilitas serta untuk keperluan survei.
Tes yang tersedia di pasaran pada saat ini mengandung :
1. HRP-2 (histidine rich protein -2) yang diproduksi tropozoit, skizon dan
gametosit muda P. falciparum.
1. Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) dan aldolase yang diproduksi
oleh parasit dalam bentuk aseksual atau seksual P. falciparum, P. vivax, P.
ovale dan P. malariae.
Kemampuan tes rapid pada umumnya ada 2 jenis yakni :

64
1. Single yang mampu mendiagnosis hanya P. falciparum.
2. Combo yang mampu mendiagnosis infeksi baik P. falciparum maupun non- P.
falciparum.
G. Kerangka Konsep

Tn. Hasan (35 tahun) berwisata ke Bangka


Belitung (daerah rentan malaria)

Infeksi P. falciparum

Eritrosit
Glukosa dia Parasitemia d Sindroma nef Hb bany
lisis Sitokin meni
mbil oleh p i daerah gastr rotik dan hem ak pecah Sekuestrasi d
arasit ointestinal olisis intravas ngkat an sitoadhere
kuler ns

Anemia
berat Inflamasi
Penumpukan Penekanan e Hepar tida Mikrosirku
laktat pigastrium da Hemoglobinu k mampu lasi pada p
n kolon ria dan lien te mengelola embuluh da
Nyeri kepala, bilirubin in rah otak
raba schuffne
sendi, dan tu direk
Lesu r1
lang
Dyspepsia da
n diare ringa Anoksia
BAK seperti k jaringan
n opi (warna hita Jaringan elas
m) tin mengikat
bilirubin
Kejang

Sklera ikt
erik

Preparat darah tebal Malaria Serebral


(++++) (Malaria Berat)

65
H. Kesimpulan
Tn. Hassan (35 tahun) terinfeksi P. falciparum sehingga menderita malaria cerebral. Pena
talaksanaan yang bisa diterapkan ialah dengan transfusi darah serta pemberian ACT. Pem
eriksaan lanjut yang dilakukan ialah pemeriksaan urea dan kreatinin serum, foto thorax, j
umlah urin, pemeriksaan plasma bikarbonat serta menganjurkan keluarga untuk melakuka
n pemeriksaan malaria. Kompetensi dokter umum menurut SKDI 2011, untuk kasus ini a
dalah 3B dimana dokter harus bisa mendiagnosis, memberikan penatalaksanaan gawat da
rurat, merujuk dan menindaklanjuti setelah rujukan.

66
Daftar Pustaka
Anonym. 2013. Dengue and Severe Dengue. Jenewa :WHO

Balai Penerbit FKUI. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Ed.4. Jakarta : Penerbitan Departemen
Parasitologi FKUI. 2008 : 189-220

Burnside-McGlynn. Diagnosis Fisik Adams. Ed.17. Jakarta: EGC. 1995: 11-30

Laihad, Ferdinand. Penanggulangan/Penanganan Malaria di Daerah Bencana. Kepala Subdirek


torat P2Malaria, Ditjen P2M – PL, Depkes R.I.

H.M. S Markum. 2011. Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis. Jakarta: Interna Publishing

Harijanto, P.N. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed.4. Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Depart
emen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006 : 1732-41

Mansjoer, Arief, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 1. Jakarta: Media Aes
culapius.

Markum, H.M.S. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: InternaPublishing

Martyarini, Shazita Adiba. 2012. “Malaria”. http://id.scribd.com/doc/152182468/Malaria. Diakse


s 17 September 2013, pukul 21.12 WIB

McGlynn-Burnside. Diagnosis Fisik Adams. Jakarta: EGC

PB PAPDI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2009: 2
818-2835

Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi 5, Jilid I. Jakarta: Internal Publish
ing.

Sudoyo,Aru.2006.Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III.Jakarta: FKUI

Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi 5, Jilid III. Jakarta: Internal Publis

67
hing.

Sutanto, Inge. 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi Ke Empat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran

Edisi Keempat. Jakarta: FK UI

Stefan Silbernagl & Florian Lang (Color Atlas of Pathophysiology) text book

Swartz, Mark H. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC

http://bertousman.blogspot.com/2009/02/malaria.html

http://www.who.int/topics/malaria/en/

https://ahdc.vet.cornell.edu/clinpath/modules/chem/intravasc%20hem.html

digilib.unimus.ac.id/download.php?id=5790

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27832/4/Chapter%20II.pdf

68

Anda mungkin juga menyukai