Anda di halaman 1dari 21

KERAJAAN KEDIRI

Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini
merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi Sungai Brantas yang
pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.

Berdirinya Kerajaan Kediri

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri
diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa
arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka
karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.

Pada tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian.
Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu
Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan
Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas dikisahkan dalam prasasti
Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Tujuan
pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian.

Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya,
Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama
Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan
masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah
peperangan.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya
bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat
bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji
Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M)
dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.

Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan
selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga.
Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan
tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra. Dan yang banyak
menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut
adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan
tentang kemenangan Kediri/Panjalu atas Jenggala.

Perkembangan Kerajaan Kediri

Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan
Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi
hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau
belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat
jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan
oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.

Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok
kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika
Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268 – 1292), terjadilah pergolakan di dalam
kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati
Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil
mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.

Perkembangan politik kerajaan Kediri

Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M).
Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus
menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas
mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari
Kediri.

Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal
dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak
bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia
digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala.

Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha
memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan,
Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya
, Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga
memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu.
Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.

Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijayayang lahir
dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga
yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu
kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha.
Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri
tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan
dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana
gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar
kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali
dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.

SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN KEDIRI


Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan , adapun raja – raja
yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri adalah:

Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu

Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia
menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.

Kameshwara

Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara
Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal
sebagai kameshwara I (1115 – 1130 ). Lancana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring
disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab samaradana.
Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya
dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari
Janggala.

Jayabaya

Raja kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka
Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasatinya pada tahun 1181. Raja
Kediri paling terkenal adalah Prabu Jayabaya, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan.
Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya.Ramalan–
ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan
material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap
merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.

Prabu Sarwaswera

Sebagai raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi
yang artinya Dikaulah itu, , dikaulah (semua) itu , semua makhluk adalah engkau . Tujuan hidup manusia
menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah mooksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan
paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan , segala sesuatu yang
menghalangi kesatuan adalah tidak benar.

Prabu Kroncharyadipa

Namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada
masyarakatnya. Sebagai plemeluk agama yang taat mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan
prinsip , sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah kroda
(marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu),loba (rakus),mada (mabuk), masarya (iri hati).

Srengga Kertajaya
Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan
tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan
oleh prapanca.

Pemerintahan Kertajaya

Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya
dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.

Kehidupan sosial masyarakat kerajaan Kediri

Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat
hidup tenang, hal ini terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin
yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut.
Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain
kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat
Anda ketahui sampai sekarang.

Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya juga masih
banyak kitab sastra yang lain yaitu seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis Mpu
Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab Lubdaka dan
Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka
karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan pada masa pemerintahan Kameswara.

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri
diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa
arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka
karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.

Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-
Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat
Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat
bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat
memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami
kemajuan yang cukup pesat.

Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam
pemerintahan kerajaan:

1. Golongan masyarakat pusat (kerajaan),

yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok
pelayannya.

2. Golongan masyarakat thani (daerah),


yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani
(daerah).

3. Golongan masyarakat non pemerintah,

yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara
resmi atau masyarakat wiraswasta. Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan
mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas
mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.

Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan
ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas
bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa
kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang
sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan
mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau
dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.

Kondisi Ekonomi pada Jaman Kerajaan Kadiri

Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal
sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan
Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada
para pegawainya dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan
kitab Ling-wai-tai-ta.

Karya Sastra dan Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri

Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya yaitu:

a. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas
Jenggala

b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja
Jayabaya.Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang artinya Kadiri Menang.Prasasti ini di
keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri
selama perang dengan Jenggala.Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabhaya adalah
raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.

Prasasti Jepun 1144 M

Prasasti Talan 1136 M Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kadiri. Pada
tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini
bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai
kiasan,kemenangan.
Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157Kakawin
Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari
Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya
atas Janggala.

Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula
pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin
Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu
Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.

Di samping kitab sastra maupun prasasti tersebut di atas, juga ditemukan berita Cina yang banyak
memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan
dari sumber yang lain. Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang
ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M.
Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun kitab yang ditulis orang-orang Cina tersebut
perkembangan Kediri.

Runtuhnya Kediri

Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan
dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa
meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu
Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam
pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan
Kediri.

Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan
Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke
Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka
Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim
oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan
Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan
Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan
Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.
KERAJAAN KEDIRI

Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini
merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada
masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.

Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja


Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak
selirnya. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian.
Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau limabagian. Tetapi dalam
perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala.
Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama
kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.

Perkembangan Kerajaan Kediri


Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi
besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh
Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang
ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan
Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta.
Keadaan inidimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.

Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok
kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika
Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292), terjadilah pergolakan di dalam
kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati
Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil
mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.

Runtuhnya Kediri
Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di
bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil
meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya
untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara
Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan
ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol
dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang
tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan
Kediri.
Atas: Arca Syiwa ini dibangun pada masa Kerajaan Kediri yang bercorak Hindu sebagai persembahan
kepada Dewa Syiwa.

<< Kiri atas : Kerjasama tentaraMongol dan pasukan Arya Wiraraja dapat mengalahkan pasukan Kediri
di bawah pimpinan Jayakatwang.

<< Tengah : Arca ini menggambarkan seorang laki-laki pada masa Kerajaan Kediri.

TAHUKAH KAMU

Pada masa kejayaannya Kerajaan Kediri berkembang menjadi kerajaan maritim yang menguasai perairan
timur wilayah Nusantara.

<< Kiri bawah : Patung Airlangga dalam perwujudan Dewa Wisnu, salah satu peninggalan Kerajaan
Kediri.

Sumber : Syukur, Abdul, Ensiklopedi Umum untuk Pelajar , Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.
Halaman 115.
Sejarah Awal Berdirinya Kerajaan Kediri

Written By Arudam Alpha on Sunday, October 20, 2013 | 3:54 PM

Sejarah Awal Berdirinya Kerajaan Kediri. Kerajaan Kediri Kerajaan Hindu yang berada di daerah Jawa
Timur, berdiri antara tahun 1042 sampai dengan tahun 1222. Dalam sejarah disebutkan pusat Kerajaan
Kediri berada di Kota Daha, yaitu sebuah kota yang letaknya berada di sekitar Kota Kediri sekarang.

Sejarah Awal Berdirinya Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri adalah penerus dari Kerajaan Kahuripan dan pernah mencapai masa kejayaan di saat
kerajaan dipimpin oleh Airlangga. Oleh karena itu, para penguasa Kerajaan Kediri selanjutnya adalah
penerus dari Dinasti Isyana di Jawa. Pada tahun 1045, Airlangga membagi Kerajaan Kahuripan menjadi
dua. Airlangga membagi wilayah kerajaannya dikarenakan oleh perselisihan kedua putranya, Sri
Samarawijaya dan Mapanji Garasakan, mereka bersaing memperebutkan takhta kerajaan.

Dibagian barat Kerajaan diserahkan kepada Sri Samarawijaya yang mendapat gelar Sri Samarawijaya
Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa. Kerajaannya diberi nama Panjalu, dan pusat kerajaan di
kota baru yang bernama Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan disebelah timur.
Kemudian kerajaannya bernama Janggala dan mempunyai pusat kerajaan di kota lama, yang bernama
Kahuripan. Kemudian, Airlangga mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan memilih hidup sebagai
pertapa. Empat tahun kemudian, Airlangga meninggal.

Peristiwa pembagian kerajaan oleh Airlangga disebutkan dalam Nagarakretagama dan Serat Calon
Arang. Prasasti Turun Hyang II (1044) juga menguatkan informasi tentang pembagian kerajaan tersebut,
dalam sejarah Kerajaan Kediri.

Dalam perjalanan sejarah Prasasti Turun Hyang II merupakan piagam pengesahan anugerah dari Mapanji
Garasakan kepada penduduk Desa Turun Hyang karena mereka setia membantu Janggala melawan
Panjalu. Oleh karena itu, Desa Turun Hyang ditetapkan sebagai sima swatantra atau perdikan (daerah
yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak).
Kerajaan Panjalu kemudian lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Pada awal beridirinya, nama
Panjalu atau Pangjalu lebih sering digunakan daripada nama Kadiri atau Kediri. Sebutan nama Panjalu
dapat kita dijumpai di prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja Kerajaan Kediri. Dalam
kronik Cina yang berjudul Ling Wai Tai Ta (1178), nama Panjalu bahkan muncul dengan sebutan Pu-chia-
lung.
10 Benda-benda dan Bangunan Peningalan Kerajaan Kediri

Siapa sih yang tidak tahu Kerajaan Kediri?? kerajaan yang sangat tersohor di Jawa Timur ini
merupakan salah satu kerajaan terbesar d Indonesia. Namun, hanya ada sedikit peninggalan mengenai
kerajaan ini, dan inilah beberapa peninggalan Kerajaan Kediri yang berhasil saya temukan dan kutip dari
berbagai website...

1. Candi Penataran

Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah
utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan
candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut
digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.

2. Candi Gurah
http://bumikediri.blogspot.com

Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah
candi yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah namun
karena kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur kembali.

3. Candi Tondowongso
Situs Tondowongso merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan pada awal tahun 2007 di
Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu hektare ini dianggap sebagai
penemuan terbesar untuk periode klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak
penemuan Kompleks Percandian Batujaya), meskipun Prof.Soekmono pernah menemukan satu arca dari
lokasi yang sama pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya sejumlah arca oleh
sejumlah perajin batu bata setempat.

Berdasarkan bentuk dan gaya tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan
masa Kerajaan Kediri awal (abad XI), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa
Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya sastra namun tidak banyak
diketahui peninggalannya dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.

4. Arca Buddha Vajrasattva


Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan Kediri (abad X/XI). Dan sekarang merupakan
Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.

5. Prasasti Kamulan
Prasasti Kamulan ini berada di Desa Kamulan, Trenggalek, Jawa Timur. Prasasti ini dibuat dan
dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, pada tahun 1194 Masehi, atau 1116 Caka. Melalui
prasasti ini disebutkan bahwa hari jadi dari Kabupaten Trenggalek sendiri tepatnya pada hari Rabu
Kliwon, tanggal 31 Agustus 1194.

6. Prasasti Galunggung

Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti ini
terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung banyak terdapat tulisan memakai
huruf Jawa kuno. Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata. Sedangkan di
sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah
lambang berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang dengan
beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi prasasti.

7. Prasasti Jaring

Prasasti Jaring yang bertanggal 19 November 1181. Isinya berupa pengabulan permohonan penduduk
desa Jaring melalui Senapati Sarwajala tentang anugerah raja sebelumnya yang belum terwujud.vDalam
prasasti tersebut diketahui adanya nama-nama hewan untuk pertama kalinya dipakai sebagai nama
depan para pejabat Kadiri, misalnya Menjangan Puguh, Lembu Agra, dan Macan Kuning.

8. Candi Tuban
Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965 melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi
menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap berhala terjadi. Candi Mirigambar
luput dari pengrusakan karena adanya petinggi desa yang melarang merusak candi ini dan kawasan
candi yang dianggap angker.

Massa pun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini terletak di Dukuh Tuban,
Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter dari
Candi Mirigambar. Candi Tuban sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini dipendam
dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan bebek.

Menurut Pak Suyoto, jika warga mau kembali menggalinya, maka kira – kira setengah sampai satu
meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif masih utuh. Pengrusakan atas
Candi Tuban juga didasari legenda bahwa Candi Tuban menggambarkan tokoh laki – laki Aryo Damar,
dalam legenda Angling Dharma dan jika sang laki – laki dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai
kemenangan.

9. Prasasti Panumbangan
Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang
permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas daun lontar ditulis
ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra oleh
raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini
diperkirakan adalah Sri Jayawarsa.

10. Prasasti Talan


Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun 1058
Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti
dalam bentuk badan manusia dengan kepala burung garuda serta bersayap. Isi prasasti ini berkenaan
dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah Panumbangan memperlihatkan prasasti
diatas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada
tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang
bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas
batu dengan cap kerajaan Narasingha.

Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan karena kesetiaan yang amat sangat terhadap
raja dan menambah anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.

Anda mungkin juga menyukai