Tingkat III-C
Assalamuallaikum wr.wb
1. Dr. Muhammad Sajidin, S. Kep. M.Kes selaku Ketua Stikes Bina Sehat
PPNI Mojokerto.
2. Ana Zakiyah, M.Kep selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan
Stikes Bina Sehat PPNI Mojokerto.
3. Mukhamad Fathoni, S.Kep.,MNS selaku Dosen Mata Kuliah Keperawatan
Bencana.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini
termasuk rekan kelompok 2.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
tindakan- tindakan yang tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan
pada wilayah tersebut.
4
2.3 Jenis-Jenis Banjir
5
Faktor penyebab banjir menurut Yulaelawati (2008, dalam Gultom,
2012), dapat dibedakan menjadi 3 faktor yaitu :
1. Pengaruh aktivitas manusia, seperti :
a. Pemanfaatan daratan banjir yang digunakan untuk pemukiman
dan industry.
b. Penggundulan hutan dan yang kemudian mengurangi resapan
pada tanah dan meningkatkan larian tanah permukaan. Erosi
yang terjadi kemudian bisa menyebabkan sedimentasi di
terusan-terusan sungai yang kemudian mengganggu jalannya
air.
c. Permukiman di daratan banjir dan pembangunan di daerah
daratan banjir dengan mengubah saluran-saluran air yang tidak
direncakan dengan baik. Bahkan tidak jarang alur sungai
diurung untung dijadikan pemukiman. Kondisi demikian
banyak terjadi di perkotaan di Indonesia. Akibatnya adalah
aliran sungai saat musim hujan menjadi tidak lancar dan
menimbulkan banjir.
d. Membuang sampah sembarangan dapat menyumbat saluran-
saluran air, terutama di perumahan-perumahan.
2. Kondisi alam yang bersifat tetap (statis) seperti :
a. Kondisi geografis yang berada pada daerah yang sering terkena
banjir badai atau siklon.
b. Kondisi alur sungai, seperti kemiringan dasar sungai yang
datar, berkelok-kelok, timbulnya sumbatan atau bentuk seperti
botol, dan adanya sedimentasi sungai membentuk sebuah pulau
(ambal sungai).
3. Peristiwa alam yang bersifat dinamis, yaitu :
a. Curah hujan yang tinggi
b. Terjadinya pembendungan atau arus balik yang sering terjadi
di muara sungai atau pertemuan sungai besar.
c. Penurunan muka tanah atau amblesan.
6
2.5 Faktor Yang Mempengaruhi Kerentanan Banjir
1) Aspek lingkungan
a. Intensitas curah hujan, semakin tinggi intensitas hujan maka
semakin rentan terhadap bencana banjir.
b. Ketinggian topografi, semakin rendah ketinggian topografi maka
semakin rentan terhadap bencana banjir
c. Kelerengan, kemiringan tanah suatu wilayah
d. Jarak dari sungai
e. Penggunaan lahan, semakin tinggi tutupan lahannya maka
semakin rentan terhadap bencana banjir
f. Jenis tanah, semakin rendah daya serap tanah maka semakin
rentan terhadap bencana banjir.
2) Aspek fisik
a. Rasio jaringan jalan, semakin rendah ketersediaan jalan dan
burukna kondisi jalan maka akan semakin rentan terhadap
bencana banjir.
b. Tingkat kepadatan bangunan, semakin tinggi tingkat kepadatan
bangunan maka semakin rentan terhadap bencana banjir.
3) Aspek sosial
a. Tingkat kepadatan penduduk, semakin tinggi tingkat kepadatan
penduduk maka semakin rentan terhadap bencana banjir.
b. Tingkat laju pertumbuhan, semakin tinggi tingkat laju
pertumbuhan penduduk maka semakin rentan terhadap bencana
banjir.
c. Presentase jumlah usia tua-balita, semakin banyak jumlah
penduduk usia tua-balita maka semakin rentan terhadap bencana
banjir.
4) Aspek ekonomi
a. Presentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan,
semakin banyak pekerja yang bekerja di sektor pertanian
maka semakin rentan terhadap bencana banjir
7
b. Presentase rumah tangga miskin, semakin banyak rumah
tangga miskin maka semakin rentan terhadap bencana banjir.
1) DBD
2) Leptospirosis
3) Penyakit kulit
4) ISPA
5) Gangguan psikologis pada korban
6) Diare
Ancaman
Kerentanan
Kekuatan Dampak Bencana
8
Menurut paradigma lama, teknik pengurangan banjir yang umum
adalah membuang air hujan secepatnya ke badan air. Teknik ini akan
menurunkan kemungkinan terjadi banjir, tetapi meningkatkan
kemungkinan bencana kekeringan di musim kemarau. Pengurangan
risiko bencana banjir merupakan bagian dari pengelolan sumber daya air
(SDA) yang berbasis wilayah sungai (WS) harus direncanakan dan
dilaksanakan secara terintegrasi di dalam suatu WS. Oleh karena itu,
pengurangan risiko bencana banjir harus menjadi bagian dari pengelolaan
SDA masing-masing WS yang perlu diatur dalam suatu rencana
pengelolaan (Master- plan) suatu WS (Tingsanchali, 2012).
Strategi dan kebijakannya harus sejalan dengan aturan yang ada
pada UU. No. 7, Tahun 2004 berupa pencegahan bencana secara fisik
dan non fisik, penanggulangan bencana, dan pemulihan kondisi setelah
bencana. Berbagai strategi yang berupa upaya fisik dan non-fisik yang
diaplikasikan guna menanggulangi per- masalahan banjir dan kekeringan
yang berupa konservasi lahan, pembangunan tampungan air (waduk dan
embung), rehabilitasi sungai dan pembangunan polder. Pengurangan
risiko bencana banjir tidak hanya dilakukan dengan pembangunan dan
pengaturan bangunan sarana dan prasarana saja. Sesuai dengan UU No.
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berada pada kawasan rawan bencana
memerlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai
upaya meningkatkan kese- lamatan dan kenyamanan kehidupan serta
menjaga kelestarian lingkungan.
Rekapitulasi permasalahan yang dihadapi dalam mengurangi risiko
bencana banjir adalah seperti dibawah ini:
1. Kondisi DAS dalam keadaan kritis akibatnya resapan air hujan
kedalam sistim akuifer semakin berkurang dan erosi lahan semakin
meningkat sehingga sedimentasi di alur dan muara sungai juga
tinggi.
9
2. Kapasitas sistim pengendali banjir yang ada seperti dimensi palung
sungai, tampungan air, sistim drainasi dan lainnya kurang
memadai.
3. Keterbatasan kemampuan maupun jumlah (kualitas maupun
kuantitas) SDM di instasi pemerintah maupun organisasi
masyarakat. Akibatnya kinerja pemerintah, masyarakat dan para
pemangku kepentingan yang terkait dengan pengu- rangan risiko
bencana banjir masih belum optimal, mengaki- batkan masih
tingginya jumlah korban jiwa maupun kerugian material jika terjadi
bencana banjir.
4. Ketersediaan teknologi pengurangan risiko bencana yang mutahir
seperti teknologi informasi, database dan teknologi peringatan dini
di wilayah rawan banjir belum cukup memadai dan peranserta
masyarakat dalam pemberdayaan sisim per- ingatan dini tersebut
belum berkembang dengan baik.
5. Orientasi pengurangan risiko bencana masih lebih terarah pada
penanganan kedaruratan atau kuratif dan belum mengarah pada
aspek pencegahan atau preventif (termasuk mitigasi bencana
banjir). Salah satu indikasi yang dapat dijumpai adalah minimnya
alokasi dana untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) sarana
dan prasarana untuk penanggu- langan banjir.
6. Perijinan, pengawasan, dan penegakan hukum masih bersifat
project oriented sehingga memperparah upaya pengurangan risiko
bencana banjir.
7. Penanganan tanggap darurat bencana masih kurang efisien akibat
instansi dan masyarakat masih belum cukup terlatih siaga bencana.
8. Penyediaan dana untuk melaksanakan program pengurangan risiko
bencana banjir yang sifatnya mitigasi bencana banjir perlu
mendapat perhatian dari pemerintah.
10
2.7.1 Parameter yang secara signifikan berpengaruh pada terjadinya
banjir adalah sebagai berikut:
1) Curah Hujan
Curah hujan merupakan data yang paling fundamental
dalam perhitungan debit banjir rencana (design flood).
Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan
besaran curah hujan dan analisis statistik yang
diperhitungkan dalam perhitungan debit banjir rencana.
Data curah hujan yang dipakai untuk perhitungan debit
banjir adalah hujan yang terjadi pada daerah aliran sungai
pada waktu yang sama. Curah hujan yang diperlukan untuk
penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan
pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh
daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu
titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan area dan
dinyatakan dalam mm (Sosrodarsono, 2003). Data hujan
yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan
yang terjadi hanya pada satu tempat/titik saja (point
rainfall). Mengingat hujan sangat bervariasi terhadap tempat
(space), maka untuk kawasan yang luas, satu alat penakar
hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut.
Dalam hal ini diperlukan hujan area yang diperoleh dari
harga rata-rata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan
yang ada di dalam dan atau di sekitar kawasan tersebut.
Curah hujan area ini harus diperkirakan dari beberapa titik
pengamatan curah hujan. Sedangkan data hujan yang
terpilih setiap tahun merupakan hujan maksimum harian
DAS untuk tahun yang bersangkutan (Suripin, 2004). Maka
dalam menentukan debit banjir rencana (design flood),
diperlukanlah harga suatu intensitas curah hujan. Intensitas
curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada
suatu kurun waktu di mana air tersebut berkonsentrasi.
11
Analisis intensitas curah hujan ini dapat diproses dari data
curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau (Loebis,
1987). Sedangkan untuk menghitung intensitas curah
hujan, dapat digunakan beberapa macam metode, antara lain
metode Dr.Mononobe, metode Talbot dan metode Tadashi
Tanimoto. Metode Dr.Mononobe, digunakan untuk
menghitung intensitas curah hujan apabila yang tersedia
adalah data curah hujan harian. (Loebis, 1987). Sedangkan
metode Talbot, digunakan apabila data curah hujan yang
tersedia adalah data curah hujan jangka pendek. (Loebis,
1987). Kemudian untuk Metode Tadashi Tanimoto,
mengembangkan distribusi hujan jam-jaman yang dapat
digunakan di Pulau Jawa. (Triatmodjo dan Bambang, 2008)
2) Tata Guna Lahan (Platt, 2004)
Tata guna lahan (land use) merupakan suatu upaya dalam
merencanakan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang
meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-
fungsi tertentu, misalnya fungsi pemukiman, perdagangan,
industri, dll. Rencana tata guna lahan merupakan kerangka
kerja yang menetapkan keputusan-keputusan terkait tentang
lokasi, kapasitas dan jadwal pembuatan jalan, saluran air
bersih dan air limbah, gedung sekolah, pusat kesehatan,
taman dan pusat-pusat pelayanan serta fasilitas umum
lainnya. Sehingga dalam hal ini tata guna lahan dapat
didefinisikan sebagai lahan yang dimanfaatkan oleh
manusia. Penggunaan lahan biasanya sebagai taman,
kehutanan, sarana peternakan, dan lahan pertanian (Weng,
2010).
3) Infiltrasi Tanah dan Struktur Tanah
Infiltrasi tanah adalah perjalanan air ke dalam tanah sebagai
akibat gaya kapiler dan grafitasi. Proses terjadinya infiltrasi
melibatkan beberapa proses yang saling berhubungan yaitu
12
proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan
tanah, tertampungnya air hujan tersebut ke dalam tanah dan
proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain yang
dipengaruhi oleh tekstur, struktur, kelembaban, organism,
kedalaman dan vegetasi (Asdak. 2004).
Tekstur tanah turut menentukan tata air dalam tanah berupa
kecepatan infiltrasi, penetrasi dan kemampuan pengikatan
air oleh tanah serta merupakan satu-satunya sifat fisik tanah
yang tetap dan tidak mudah diubah oleh tangan manusia
jika tidak ditambah dari tempat lain. Besarnya laju infiltrasi
tanah pada lahan tak bervegetasi tidak akan pernah melebihi
laju intensitas hujan, sedangkan pada kawasan lahan
bervegetasi, besarnya laju infiltrasi tidak akan pernah
melebihi laju intensitas curah hujan efektif (Asdak, 2004).
4) Kemiringan Lereng
Faktor panjang lereng merupakan perbandingan tanah yang
tererosi pada suatu panjang lereng terhadap tanah tererosi
pada panjang lereng 22,1 m, sedangkan faktor kemiringan
lereng adalah perbandingan tanah yang tererosi pada suatu
kemiringan lahan terhadap tanah yang tererosi pada
kemiringan lahan 9% untuk kondisi permukaan lahan yang
sama (Suripin, 2004).
Kemiringan lereng mempengaruhi jumlah dan kecepatan
limpasan permukaan, drainase permukaan, penggunaan
lahan dan erosi. Diasumsikan semakin landai kemiringan
lerengnya, maka aliran limpasan permukaan akan menjadi
lambat dan kemungkinan terjadinya genangan atau banjir
menjadi besar, sedangkan semakin curam kemiringan lereng
akan menyebabkan aliran limpasan permukaan menjadi
cepat sehingga air hujan yang jatuh akan langsung dialirkan
dan tidak menggenangi daerah tersebut, sehingga resiko
banjir menjadi kecil (Pratomo A.J., 2008).
13
Semakin landai daerah maka tingkat kerawanan banjir
tinggi begitu pula sebaliknya (Adisasmita dan Raharjo,
2008).
14
manusia di tingkat komunitas yang langsung berhadapan
dengan ancaman (bahaya) sehingga kerentanan menjadi faktor
utama dalam suatu tatanan sosial yang memiliki risiko bencana
lebih tinggi apabila tidak di dukung oleh kemampuan
(capacity) seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan,
kemiskinan, kondisi sosial, dan kelompok rentan yang meliputi
lansia, balita, ibu hamil dan cacat fisik atau mental. Kapasitas
(capacity) adalah suatu kombinasi semua kekuatan dan
sumberdaya yang tersedia di dalam sebuah komunitas,
masyarakat atau lembaga yang dapat mengurangi tingkat risiko
atau dampak suatu bencana (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007).
Unit terkecil yang dijadikan satuan penilaian fisik adalah
Kabupaten/Kota seluruh Indonesia, sedangkan untuk penilaian
risiko bencana Provinsi dilakukan dengan penghitungan rata-
rata dari indeks Risiko Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi
tersebut. Untuk Indeks Risiko Bencana Indonesia kali ini
dibatasi pada bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh alam.
Untuk meningkatkan kapasitas yaitu mengadakan simulasi
bencana melibatkan masyarakat, meningkatkan kesiapsiagaan
masyarakat tentang banjir, meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang banjir.
15
2. Evakuasi saat bencana datang
a. Ketika melihat air datang, jauhi secepat mungkin daerah banjir.
Segera selamatkan diri dengan berlari secepat mungkin menuju
tempat yang tinggi
b. Hindari berjalan di dekat saluran air sebab berisiko terseret arus
banjir
c. Perhatikan jalur evakuasi yang tersedia
d. Jika memungkinkan pergilah ke tempat tempat berhimpun sementara
atau menuju ke ke penampungan/pengungsian (shelter) yang tersedia
e. Setelah semua warga berada di tempat berhimpun sementara atau
menuju ke ke penampungan/ pengungsian (shelter) yang tersedia.
3. Evakuasi setelah bencana
a. Berikan bantuan tempat perlindungan darurat kepada mereka yang
membutuhkan.
b. Selamatkan diri sendiri, kemudian selamatkan orang lain sesuai
kapasitas yang dimiliki.
c. Hindari kabel atau instalasi listrik.
d. Hindari pohon, tiang, atau bangunan yang berpotensi roboh.
16
Gambar. A.1 Alur pembentukan sistem peringatan dini
Verifikasi
Analisis Resiko
Pengamatan
Peta Resiko
longsoran
Banjir Bandang
Intensitas curah
Pengamata hujan yang besar
n dan lama
Analisis data
Terdengar suara
gemuruh disusul
Nilai standart dengan adanya getaran
bahaya
17
Gambar A.2 Alur penentuan status peringatan
Pengamatan gejala-
gejala bencana dari
metode konvensional
Perintah EVAKUASI
18
Gambar A.2 Alur pembentukan sistem evakuasi
Pra bencana
Perencanaan evakuasi
Simulasi evakuasi
Saat bencana
Pengarahan masyarakat
menuju tempat evakuasi Pra bencana
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
21