Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak adalah seseorang yang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih di dalam kandungan. Menurut Kementerian Kesehatan,
batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur 12-59
bulan. Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya
pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child
Growth Standart didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur
(PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score)
kurang dari -2 SD.
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi kejadian
stunting di Indonesia sebesar 37,2%, dimana dari jumlah presentase tersebut,
19,2% anak pendek dan 18,0% sangat pendek. Diketahui angka tertinggi ada
pada provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar >50%, dan yang terendah pada
provinsi Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta dan Kalimantan
Timur, yaitu sebesar<30%.
Stunting berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya
kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan mental dan motorik,
sehingga perlu adanya perhatian khusus pada balita dengan stunting. Balita
yang mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan
intelektual, produktivitas, dan penurunan kualitas hidup akibat meningkatnya
risiko infeksi di masa mendatang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
2.1.1. Definisi Stunting

Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan


terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Balita
pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita telah diukur
panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar dan
hasilnya berada di bawah normal. Stunting didasarkan pada indeks
pengukuran panjang badan dibanding umur (PB/U) atau atau tinggi
badan dibanding umur (TB/U) jika berada pada ambang batas (z-
score) kurang dari -2SD atau dibawah persentil 3, dan dikategorikan
sangat pendek (severe stunting) jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD.

2.1.2. Epidemiologi Stunting

Menurut Global Nutrition Report tahun 2016 oleh UNICEF, diketahui


bahwa prevalensi stunting di seluruh dunia pada anak usia dibawah 5 tahun
sebesar 23,8%, yang sebelumnya telah turun dari angka 39,6% pada tahun
1990. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan
bahwa persentase stunting di Indonesia pada tahun 2013 adalah 37,2%,
dimana 19,2% terdiri dari stunting dan 18% lainnya merupakan severe
stunting. Menurut provinsi, prevalensi balita pendek terendah terjadi di
Kepulauan Riau (26,3%), DI Yogyakarta (27,3%), dan DKI Jakarta (27,5%).
Sedangkan provinsi dengan prevalensi balita pendek tertinggi terjadi di Nusa
Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%). Dan Nusa Tenggara
Barat (45,2%). Prevalensi balita pendek di Indonesia juga tertinggi
dibandingkan Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan
Singapura (4%). Global Nutrition Report tahun 2014 menunjukkan Indonesia
termasuk dalam 17 negara di antara 117 negara, yang mempunyai tiga
masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita.
2.1.3. Etiologi Stunting
Stunting dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, namun
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu variasi normal dan patologis. Pada variasi
normal, stunting dikategorikan menjadi:

 Familial short stature (perawakan pendek familial)

Adalah variasi normal dari perawakan pendek yang ditandai


dengan kecepatan tumbuh normal, usia tulang normal, tinggi badan
kedua orangtua pendek, dan tinggi akhir anak dibawah persentil 3 atau
z score dibawah -2 SD.

 Constitutional delay of growth and puberty (CDGP)

Merupakan salah satu kategori dari pubertas terlambat yang paling


sering ditemui dalam praktek sehari-hari, didefinisikan sebagai tidak
timbulnya tanda- tanda seks sekunder pada usia 12 tahun untuk anak
perempuan dan pada usia 14 tahun untuk anak laki-laki. Anak dengan
CDPG memiliki perawakan pendek, pubertas terlambat, usia tulang
terambat, namun tidak terdapat kelianan organik yang mendasarinya. Pada
pasien CDPG ditemukan riwayat keluarga dengan pubertas terlambat dan
hal ini menunjukkan bahwa faktor genetic berperan dalam awitan
pubertas.

Kelainan patologis pada stunting dapat dibedakan menjadi proporsional


dan tidak proporsional. Stunting dengan tubuh proporsional meliputi malnutrisi,
intrauterine growth retardation (IUGR), psychosocial dwarfism, penyakit kronik,
dan kelainan endokrin, seperti defisiensi hormon pertumbuhan, hipotiroid,
sindrom Cushing, resistensi hormon pertumbuhan/ growth hormone (GH), dan
defisiensi insulin-like growth faktor 1 (IGF-1). Sedangkan stunting dengan badan
tidak proporsional disebabkan oleh kelainan tulang, seperti kondrodistrofi,
displasia tulang, sindrom Kallman, sindrom Marfan, dan sindrom Klinifelter.
2.1.4. Indikator Stunting
Negara-negara berkembang dan salah satunya Indonesia memiliki beberapa
masalah gizi pada balita, di antaranya wasting, anemia, berat badan lahir rendah,
dan stunting. Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan
terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut
WHO Child Growth Standard didasarkan pada indeks panjang badan menurut
umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan batas (z-score) <-2
SD.
Indikator TB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis, artinya
muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan,
perilaku pola asuh yang tidak tepat, seringmenderita penyakit secara berulang
karena higiene dan sanitasi yang kurang baik.

2.1.5. Manifestasi Klinik


Pertumbuhan yang normal menggambarkan kesehatan anak yang baik.
Pertumbuhan tinggi badan merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Stunting
dikategorikan menjadi variasi normal dan patologis. Variasi normal dalam
stunting meliputi 2 berserta masing-masing gejala klinisnya, yaitu:
 Familial short stature (perawakan pendek familial):
a. pertumbuhan yang selalu berada dibawah persentil 3 atau -2
SD
b. kecepaan pertumbuhan normal
c. usia tulang normal
d. tinggi badan kedua atau salah satu orangtua yang pendek
e. tinggi akhir dibawah persentil 3 atau -2 SD
 Constitutional delay of growth and puberty (CDGP):
a. perlambatan pertumbuhan linear pada 3 tahun pertama
kehidupan
b. pertumbuhan linear normal atau hamper normal pada saat pra
pubertas dan selalu berada di bawah persenti 3 atau -2 SD
c. usia tulang terlambat
d. maturase seksual terlambat
e. tinggi akhir biasanya normal
Anak dengan CDGP umumnya terlihat normal dan disebut dengan late
bloomer. Biasanya terdapat riwayat pubertas terlambat dalam keluara, usia tulang
terlambat, akan tetapi masih sesuai dengan usia tinggi. Anak dengan familial short
stature selama periode bayi dan pra pubertas akan mengalami pertumbuhan yang
sama seperti anak dengan CDGP. Anak -anak ini akan tumbuh memotong garis
persentil dalam 2 tahun pertama kehidupan dan mencari potensi genetiknya,
pubertas terjadi normal dengan tinggi akhir berada dibawah persentil 3 atau -2
SD, tetapi masih normal sesuai potensi genetiknya dan paralel dengan tinggi
badan orangtua, dimana tinggi potensi genetik (TPG) seseorang dapat diukur
dengan rumus sebagai berikut:

2.1.6. Faktor Risiko Stunting


Stunting pada balita merupakan konsekuensi dari beberapa faktor yang
sering dikaitkan dengan kemiskinan termasuk gizi, kesehatan, sanitasi dan
lingkungan (Kemenkes RI, 2013). Faktor utama penyebab stunting yaitu:

a. Asupan makanan
Manusia membutuhkan makanan untuk kelangsungan
hidupnya. Makanan merupakan sumber energi untuk menunjang
semua kegiatan atau aktivitas manusia. Seseorang tidak dapat
menghasilkan energi yang melebihi dari apa yang diperoleh dari
makanan kecuali jika meminjam atau menggunakan cadangan energi
dalam tubuh. Namun kebiasaan meminjam ini akan dapat
mengakibatkan keadaan yang gawat, yaitu kekurangan gizi khususnya
energi (Suhardjo, 2003)
b. Penyakit Infeksi
Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan pun memicu
gangguan saluran pencernaan, yang membuat energi untuk
pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi.
Sebuah riset lain menemukan bahwa semakin sering seorang anak
menderita diare, maka semakin besar pula ancaman stunting untuknya.
c. Pelayanan Kesehatan dan Kesehatan Lingkungan
Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan
terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan, dan
infeksi saluran pencernaan. Apabila anak menderita infeksi saluran
pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu yang menyebabkan
terjadinya kekurangan zat gizi. Seseorang yang kekurangan zat gizi
akan mudah terserang penyakit dan mengalami gangguan pertumbuhan.

2.1.7. Dampak Stunting bagi Perkembangan


Penyebab kejadian stunting terjadi pada saat prenatal dan postnatal terutama
pada dua tahun pertama kehidupan. Kerentangan gangguan pertumbuhan linier
post-natal mengalami perubahan menurut usia. Di negara berkembang, periode
terjadi kerentanan gangguan pertumbuhan linier terjadi pada usia 3-6 bulan hingga
usia 24-36 bulan. Stunting mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat
karena berhubungan dengan meningkatnya resiko morbiditas dan mortalitas,
terhambatnya perkembangan fungsi motorik dan mental serta mengurangi
kapasitas fisik.
Stunting adalah masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan
sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Selain itu, stunting dapat berpengaruh pada
anak balita pada jangka panjang yaitu mengganggu kesehatan, pendidikan serta
produktifitasnya di kemudian hari. Anak balita stunting cenderung akan sulit
mencapai potensi pertumbuhan dan perkembangan yang optimal baik secara fisik
maupun psikomotorik.
Gangguan perkembangan adalah kondisi anak tidak mampu mencapai tugas
perkembangan pada waktu diperkirakan. Gangguan dapat terjadi pada banyak area
perkembangan, misalnya pada motorik, bahasa, sosial, atau berpikir. Grantham
Mc Gregor menyimpulkan bahwa perkembangan motorik dan kognitif
berhubungan erat dengan status gizi yang dinilai berdasarkan Tinggi Badan/Umur.
Stunting menyebabkan terhambatnya perkembangan motorik kasar maupun
halus, karena pada anak stunting terjadi keterlambatan kematangan sel-sel saraf
terutama di bagian cerebellum yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik
Stunting yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko meningkatnya
angka kematian, kemampuan kognitif, dan perkembangan motorik yang rendah
serta fungsi-fungsi tubuh yang tidak seimbang.

2.1.8. Diagnosis Stunting


Mereka yang diukur dengan indikator TB/U dapat dinyatakan TB-nya
normal, kurang dan tinggi menurut standar WHO. Bagi yang TB/U kurang
menurut WHO dikategorikan stunted yang diterjemahkan “sebagai pendek tak
sesuai umurnya”. Tingkat keparahannya dapat digolongkan menjadi ringan,
sedang dan berat. Hasil pengukuran menggambarkan status gizi masa lampau.
Seseorang yang tergolong pendek tak sesuai umur kemungkinan keadaan gizi
masa lalu tidak baik. Berbeda dengan berat badan rendah yang diukur dengan
BB/U yang mungkin dapat diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada anak
maupun dewasa. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lampau:
 Kelebihan
- Dapat memeberikan gambaran riwayat gizi masa lampau
- Dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk
 Kelemahan
- Kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan pada kelompok
usia balita
- Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini
- Memerlukan data umur yang akurat yang sering sulit diperoleh di negara-
negara berkembang
- Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama bila
dilakukan oleh petugas non profesional
Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U):

Grafik Z-score TB/U untuk anak laki-laki 0-5 tahun

1) Sangat Pendek : Zscore < -3.0


2) Pendek : Zscore >= -3.0 s/d Zscore <-2.0
3) Normal : Zscore >= -2.0
.
Grafik Z-score TB/U untuk anak perempuan 0-5 tahun.

Berdasarkan indikator TB/U :


Prevalensi sangat pendek = (∑ Balita sangat pendek / ∑ Balita) x 100%
Prevalensi pendek = (∑ Balita pendek / ∑ Balita) x 100%
Prevalensi normal = (∑ Balita normal / ∑ Balita) x 100%

2.1.9. Pemeriksaan Fisik


Pada kasus stunting, pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan antropometri berat badan, tinggi badan, dan lingkar
kepala
Pengukuran antropometri menggunakan kurva WHO yang
meliputi pengukuran berat badan menurut usia (BB/U), tinggi
badan menurut usia (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB), juga lingkar kepala menurut usia.
b. Disproporsi tubuh
Dihitung dengan mengukur rentang lengan dan rasio
segmen atas berbanding segmen bawah (U/L). Rentang lengan
adalah jarak terjauh dari rentangan kedua tangan, diukur dari ujung
jari tengah kanan ke ujung jari tengah kiri. Rentang lengan ini
sama dengan tinggi badan (TB) pada periode bayi, dan 3-5 cm
lebih panjang dari TB pada anak. Rasio segmen atas dan bawah
diukur dengan menghitung segmen bawah terlebih dahulu, yaitu
dengan cara mengukur panjang simfisis pubis hingga telapak kaki.
Selanjutnya, untuk mendapatkan nilai segmen atas, nilai TB
dikurangi dengan segmen bawah, sehingga didapatkannya rasio
antar keduanya. Nilai standar rasio berubah sesuai dengan
berubahnya usia. Rasio U/L pada bayi baru lahir (BBL) adalah
sebsar 1,7, dan mendekati 1 pada usia 8-10 tahun.

c. Stigmata sindrom, tampilan dismorfik, dan kelainan tulang


Beberapa contoh sindrom dengan cirinya masing-masing, yaitu:

Sindrom

Perempuan dengan webbed neck, Sindrom Turner


cubitus valgus, shield chest

Small triangular facies, Sindrom Russel Silver


hemihypertrophy, clinodactyly

Bird headed dwarfism, mikrosefal, Sindrom Seckel


mikrognatia

Brakisefali, simian crease, Sindrom Down


makroglosia

2.1.10. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan pada anak dengan stunting dengan
indikasi:
 Tinggi badan dibawah persentil 3 atau -2 SD

 Kecepatan tumbuh dibawah persentil 25 atau laju pertumbuhan ≤


4cm/ tahun (pada usia 3-12 tahun)

 Perkiraan tinggi dewasa dibawah mid parental height

Pemeriksaan penunjang yang mungkin dilakukan adalah:

1. Pemeriksaan radiologis (pencitraan)

 Bone age

 CT scan atau MRI

2. Skrining penyakit sistemik

 Darah perifer lengkap, urin rutin, feses rutin

 Laju endap darah (LED)

 Kreatinin, natrium, kalium, analisis gas darah (kadar bikarbonat), kalsium,


fosfat, alkali fosfatase

3. Pemeriksaan lanjutan

 Fungsi tiroid

 Analisis kromoson

 Uji stimulasi/ provokasi untuk hormon pertumbuhan

Pada anak dengan stunting harus dilakukan pemeriksaan secara baik dan
terarah agar tata laksananya optimal. Kriteria awal pemeriksaan anak dengan
stunting adalah:

 TB dibawah persentil 3 atau -2 SD

 Kecepatan tumbuh dibawah persentil 25


 Perkiraan tinggi badan dewasa dibawah midparental height

Berikut merupakan algoritme pendekatan diagnostik anak dengan stunting:

Algoritme diagnosis stunting

2.1.11. Tatalaksana Stunting

Pada varian normal stunting tidak perlu dilakukan terapi hormonal, cukup
observasi saja bahwa diagnosisnya merupakan fisiologis bukan patologis. Akhir-
akhir ini telah ada penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan aromatase
inhibitor sebagai terapi adjuvant atau tunggal pada Familial Short Stature dan
Constitutional Delay of Growth and Puberty melalui mekanisme menghambat
kerja estrogen pada lempeng pertumbuhan. Namun masih perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai hal ini, maka sebaiknya tidak digunakan secara
rutin terlebih dahulu.
Terapi dengan menggunakan hormon pertumbuhan memiliki tujuan
memperbaiki prognosis tinggi badan dewasa. Dari berbagai penelitian terakhir
telah ddapat dilihat bahwa hasil tinggi akhir anak yang mendapat GH jauh lebih
baik daripada prediksi tinggi badan pada awal pengobatan. Pada tahun 1995 FDA
telah menyetujui pemakaian hormon pertumbuhan untuk defisiensi hormon
pertumbuhan, gagal ginjal kronik, sindrom Turner, sindrom Prader Willi, anak
anak IUGR, perawakan pendek idiopatik, orang dewasa dengan defisiensi hormon
pertumbuhan, dan orang dewasa dengan AIDS wasting

2.1.12. Upaya Pencegahan Stunting


Pertama, pemerintah dan masyarakat fokus terhadap penanganan stunting
pada usia dan jenis kelamin anak yang dianggap berisiko tinggi yaitu anak usia >
6 bulan dan berjenis kelamin laki-laki. Untuk usia dan jenis kelamin anak yang
berisiko rendah yaitu anak usia < 6 bulan dan berjenis kelamin perempuan
dilakukan upaya-upaya pencegahan agar terhindar dari stunting.
Kedua, peningkatan pendidikan ibu melalui program pemerintah kejar paket
A agar ibu yang berpendidikan rendah dapat melek huruf sehingga dapat
mengakses informasi mengenai gizi dan kesehatan yang kemudian informasi
tersebut dipraktikan dalam keluarga.
Ketiga, peningkatan sanitasi kebersihan diharapkan dapat mengurangi risiko
penyakit infeksi di wilayah pedesaan dan dibukanya lapangan pekerjaan yang
lebih bervariasi di wilayah pedesaan diharapkan dapat berimbas pada pemenuhan
kebutuhan gizi dan makanan keluarga. Kedua hal ini diharapkan dapat mencegah
terjadinya stunting di pedesaan.
Keempat, memberikan asupan gizi yang baik tidak hanya pada ibu hamil,
tapi juga pada remaja putri, wanita usia subur agar kelak ketika sedang hamil
kebutuhan asupan gizi telah terpenuhi jauh sebelum memiliki janin. Sebab remaja
yang sedang bertumbuh umumnya melahirkan bayi berat lahir rendah karena
adanya persaingan nutrien untuk remaja yang bertumbuh, fetus yang bertumbuh,
dan fungsi placenta yang buruk. Kehamilan pada remaja mempunyai risiko yang
lebih tinggi untuk mortlitas ibu dan bayi serta prematuritas. Perempuan dengan
masa anak-anak mengalami retardasi pertumbuhan juga akan mempunyai ukuran
tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan normal, karenya risiko untuk
terjadinya “obstructed labor” akan lebih tinggi.
2.2 Manajemen Pemberian ASI pada ibu HIV

2.2.1 Manajemen Umum

1. Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka :


a. Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya, dan lakukan
konseling pada keluarga;
b. Rawat bayi seperti bayi yang lain, dan perhatian khususnya
pada pencegahan infeksi;
c. Bayi tetap diberi imunisasi rutin, ada senter yang tidak
langsung memberi BCG;
d. Bila terdapat tanda klinis defisiensi imun yang berat, jangan
diberi vaksin hidup (BCG, OPV, Campak, MMR). Pada waktu
pulang, periksa DL, hitung Lymphosit T, serologi anti HIV, PCR
DNA/RNA HIV.
2. Beri dukungan mental pada orang tuanya
Anjurkan suaminya memakai kondom, untuk pencegahan penularan
infeksi

2.2.2 Manajemen Khusus

Bayi dengan infeksi HIV mempunyai jumlah virus yang tinggi dan
akan menurun seiring dengan meningkatnya imunologinya. Saran dari
beberapa senter di AS, terapi pada satu tahun pertama untuk anak yang
dicurigai HIV, diharapkan tumbuh imunologi secara normal, karena bila
terapi menunggu umur lebih dari satu tahun berdasarkan jumlah CD4+ dan
Load Virus maka hal ini dikatakan kurang spesifik. Pengobatan harus
dimulai pada bayi yang menunjukkan gejala simtomatis atau yang
menunjukkan jumlah sel CD4+ yang rendah, tanpa melihat umur.

2.2.3 Pemberian Minum


Penularan HIV-1 dapat terjadi dari konsumsi susu ASI dari
perempuan yang terinfeksi HIV. Di Amerika Serikat dan Kanada, di
mana formula bayi aman dan tersedia, seorang yang ibu terinfeksi
harus disarankan untuk tidak menyusui bahkan jika dia menerima ART
(terapi anti Retrovirus). Menghindari secara total untuk menyusui (dan
susu sumbangan) oleh perempuan yang terinfeksi HIV tetap menjadi
satu-satunya mekanisme dimana pencegahan penularan HIV melalui
ASI dapat dipastikan.

Salah satu rekomendasi Konsesus Genewa pada Oktober 2006


adalah “Ibu terinfeksi HIV dianjurkan menyusui eksklusif selama 6
bulan kecuali jika pengganti ASI memenuhi AFASS sebelumnya, Bila
pengganti ASI mencapai AFASS, dianjurkan untuk tidak memberikan
ASI” yang mana hal ini menjadi Pedoman Nasional Pencegahan
Penularan HIV dan ibu ke bayi.

AFASS merupakan kepanjangan dari:

A : ACCEPTABLE : mudah diterima

F : FEASIBLE : mudah dilakukan

A : AFFORDABLE : terjangkau

S : SUSTAINABLE : berkelanjutan

S : SAFE : aman penggunaannya

Mudah diterima berarti, tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu
untuk memberikan susu formula pada bayinya. Mudah dilakukan Ibu
dan keluarga, mereka mempunyai cukup waktu, pengetahuan, dan
ketrampilan yang memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu
formula kepada bayi . Harganya terjangkau Ibu dan keluarga sehingga
mereka mampu membeli susu formula. Susu formula harus diberikan
setiap hari dan malam selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk
segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin keberadaannya
artinya keberadaan susu formula tersebut berkelanjutan. Juga tidak
kalah penting Susu formula harus disimpan secara benar, higienis dan
kadar nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan bersih,
serta tidak berdampak peningkatan penggunaan susu formula pada
masyarakat (SPILL OVER) yang berarti Save atau Aman.

Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit,


menyusui dengan belum mengerti tehnik menyusuinya sehingga
ternjadi MTCT (mother-to-child transmission), tidak menyusui dan
tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang gizi, diare, atau
pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat
membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya.

Faktor Risiko Potensial untuk Transmisi HIV-1 melalui ASI

Kategori Faktor risiko


Durasi menyusui Durasi yang lebih lama
Karakteristik Ibu Umur muda
Paritas tinggi
CD4+ yang rendah
Viral load darah perifer yang tinggi
Abnormalitas payudara
(abses payudara, mastitis, nipple lesions)
Karakteristik bayi Candidiasis oral
Karakteristik ASI /human Viral load yang tinggi
milk Konsentrasi substansi antiviral yang rendah
(contoh: lactoferin, lysozyme, SLPI,
epidermal growth factor)
Konsentrasi limfosit T spesifik-virus
sitotoksik
Sekkresi IgA yang rendah
IgM yang rendah
ASI eksklusif Mixed breastfeeding

Dikarenakan penularan HIV-1 melalui proses menyusui selalu


ada terjadi, dan karena menghindari proses menyusui adalah sulit
dilakukan dalam banyak situasi tertentu, maka penting untuk
mengidentifikasi faktor risiko guna merancang rencana intervensi
untuk mencegah transmisi sesuai dengan faktor risiko.

Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum


kepada bayinya.

a. Hargai dan dukunglah apapun pilihan ibu. Ijinkan ibu untuk


membuat pernyataan sendiri tentang pilihan yang terbaik untuk
bayinya.
b. Terangkan kepada ibu bahwa menyusui dapat berisiko menularkan
infeksi HIV. Meskipun demikian, pemberian susu formula dapat
meningkatkan risiko kesakitan dan kematian, khususnya bila
pemberian susu formula tidak diberikan secara aman karena
keterbatasan fasilitas air untuk mempersiapkan atau karena tidak
terjamin ketersediaannya oleh keluarga.
c. Terangkan pada Ibu tentang untung dan rugi pilihan cara
pemberian minum susu formula. Susu dapat diberikan bila mudah
didapat, dapat dijaga kebersihannya dan selalu dapat tersedia.
d. Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah untung dan rugi
pilihan cara pemberian minum ASI :
- Memeras ASI dan menghangatkannya waktu akan diberikan;
- Pemberian ASI oleh ibu susuan (”Wet Nursing”) yang jelas
HIV negatif;
- Memberi ASI peras dari Ibu dengan HIV negatif.
e. Bantu ibu menilai kondisinya dan putuskan mana pilihan yang
terbaik, dan dukunglah pilihannya.
- Bila ibu memilih untuk memberikan susu formula atau
menyusui, berikan petunjuk khusus (lihat bawah). Untuk
Pemberian susu formula :
 Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu
formula dengan menggunakan salah satu alternatif cara
pemberian minum.
 Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kali sehari, dan
beri lagi apabila bayi menginginkan.
 Beri ibu petunjuk secara tertulis cara mempersiapkan susu
formula.
 Jelaskan mengenai risiko memberi susu formula dan cara
menghindarinya.
- ASI Eksklusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah
dapat disediakan. Hentikan ASI pada saat memberikan susu
formula;
- Rekomendasi yang biasa diberikan adalah memberikan ASI
eksklusif selama 6 bulan, kemudian dilanjutkan ASI ditambah
makanan padat setelah umur 6 bulan.
- Bayi akan diare apabila tangan ibu, air atau alat-alat yang
digunakan tidak bersih dan steril, atau bila susu yang
disediakan terlalu lama tidak diminumkan;
- Bayi tidak akan tumbuh baik apabila :
 Jumlah tiap kali minum terlalu sedikit;
 Frekuensi pemberiannya terlalu sedikit;
 Susu formula terlalu encer;
 Bayi mengalami diare.
f. Nasihati ibu untuk mengamati apakah terdapat tanda bahaya pada
bayinya, seperti :
- Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum hanya
sedikit;
- Diare;
- Berat badan sulit naik.
g. Nasihati ibu untuk melakukan kunjungan tindak lanjut :
- Kunjungan rutin untuk memonitor pertumbuhan;
- Memberi dukungan cara-cara menyiapkan formula yang aman;
- Nasihati ibu untuk membawa bayinya bila sewaktu-waktu
ditemukan tanda bahaya
h. Apapun pilihan ibu, berilah petunjuk khusus :
- Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2
tahun ibu harus menyediakannya termasuk makanan
pendamping ASI;
- Bila tidak dapat menyediakan susu formula, sebagai alternatif
diberikan ASI secara eklusif dan segera dihentikan setelah
tersedia susu formula;
- Semua bayi yang mendapatkan susu formula, perlu dilakukan
tindak lanjut dan beri dukungan kepada ibu cara menyediakan
susu formula dengan benar.
- Jangan memberikan minuman kombinasi (misal selang-seling
antara susu hewani, bubur buatan, susu formula, disamping
pemberian ASI), karena risiko terjadinya infeksi lebih tinggi
dari pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.
BAB III
KESIMPULAN
Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya
pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child
Growth Standart didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U)
atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2
SD.
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi kejadian stunting
di Indonesia sebesar 37,2%, dimana dari jumlah presentase tersebut, 19,2% anak
pendek dan 18,0% sangat pendek. Diketahui angka tertinggi ada pada provinsi
Nusa Tenggara Timur sebesar >50%, dan yang terendah pada provinsi Kepulauan
Riau, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta dan Kalimantan Timur, yaitu sebesar
<30%.
Stunting berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan
dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan mental dan motorik, sehingga
perlu adanya perhatian khusus pada balita dengan stunting.N Balita yang
mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual,
produktivitas, dan penurunan kualitas hidup akibat meningkatnya risiko infeksi di
masa mendatang.
Stunting dibagi menjadi 2, yaitu variasi normal dan patologis. Stunting
variasi normal terdiri dari familial short stature (perawakan pendek familial) dan
constitutional delay of growth and puberty (CDGP). Stunting variasi normal tidak
membutuhkan terapi hormon pertumbuhan, namun cukup observasi terhadap
keadaan gizi anak.

Anda mungkin juga menyukai