Anda di halaman 1dari 19

Referat Bedah Plastik

TETANUS

Disusun oleh:
Muhammad Alip Wildan G99151067
Rosita Alifa Pranabakti G99152090
Matius Dimas Reza D I G99152097

Pembimbing:
Amru Sungkar, dr.,Sp.B,Sp. BP-RE

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskuler akut berupa trismus, kekauan dan kejang otot di sebabkan oleh eksotoksin
spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani. Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh
manusia melalui luka. Semua jenis luka dapat terinfeksi oleh kuman tetanus, seperti luka
laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar, luka gigit oleh manusia atau binatang, luka
suntikan dan sebagainya.
Pada 60% dari pasien tetanus , porte d’entree terdapat di daerah kaki, terutama pada
luka tusuk. Infeksi tetanus juga terjadi melalui uterus sesudah persalinan atau abortus
provaktus. Pada bayi baru lahir, Cl.tetani dapat masuk melalui umbilikus setelah tali pusar
dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. Otitis media atau gigi yang
berlubang dapat di anggap sebagai porte d’entree bila pada pasien tetanus tidak di temukan
luka yang di perkirakan sebagai tempat masuknya kuman.
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus
tetap bersifat endemik pada negara – negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan
kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk
didalamnya 580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara, dan
152.000 di Afrika. Penyakit ini jarang di jumpai di negara – negara maju di Afrika Selatan,
kira – kira 300 kasus pertahun, kira – kira 12 – 15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di
Inggris. Penyakit ini merupakan penyakit yang serius namun dapat dicegah kejadiannya pada
manusia. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang jika tidak segera diobati akan
menyebabkan kematian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanos, yang diambil dari kata teinein
yang berarti teregang. Tetanus dikarakteristikan dengan kekakuan umum dan kejang
kompulsif pada otot-otot rangka. Kekakuan otot biasanya dimulai pada rahang (lockjaw)
dan leher dan kemudian menjadi umum.
Penyakit ini adalah penyakit infeksi dengan gejala spasme otot tonik dan
hiperrefleksia yang menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya
punggung (opistotonus), kejang, dan paralisis pernapasan.
Toksin tetanus, produk dari Clostridium tetani, adalah penyebab gejala tetanus.
Toksin ini banyak ditemukan di tanah. Toksin tersebut menyebabkan kekakuan pada otot
rahang serta otot-otot lain.

Gambar 1. Spasme muskular di pasien yang menderita tetanus. Gambar oleh Sir
Charles Bell, 1809.
B. Mikrobiologi
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus,langsing,berukuran
panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Clostridium tetani termasuk dalam bakteri
gram positif, anaerob obligat, dapat mebentuk spora dan berbentuk seperti drumstik.
Bakteri ini terdapat di tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan
binatang. Clostridium tetani berspora, mengeluarkan eksotoksin. Clostridium tetani
menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospaminlah yang
dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar
toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram
untuk 70 kilogram manusia.
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap
antiseptik. Sporanya juga dapat bertahan meski telah diautoklaf pada suhu 249.8°F
(121°C) selama 10 – 15 menit dan juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang
lainnya.

Gambar 2. Pewarnaan gram Clostridium tetani bersifat positif.


C. Epidemiologi
Terlepas dari yang menjadi fokus organisasi dunia WHO untuk menargetkan
eradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus justru menjadi endemik di negara-negara
berkembang. WHO mengestimasikan kurang lebih 1 juta kematian akibat tetanus di
seluruh dunia pada tahun 1992. Kematian ini mencakup 580.000 tetanus neonatal, dengan
210.000 angka kejadian terjadi di Asia Timur dan 152.000 angka kejadian terjadi di
Afrika. Tetanus jarang didapatkan pada negara berkembang. Di Afrika Selatan, kurang
lebih 300 kasus terjadi setiap tahunnya. Sedangkan 12-15 kasus terjadi di Britania Raya
dan 50-70 kasus terjadi di Amerika Serikat.
Secara internasional pada tahun 1992 terhitung sekitar 578.000 bayi mengalami
kematian karena tetanus neonatorum. Pada tahun 2000, dengan data dari WHO
menghitung insidensi secara global kejadian tetanus di dunia secara kasar berkisar antara
0,5 – 1 juta kasus dan tetanus neonatorum terhitung sekitar 50% dari kematian akibat
tetanus di negara – negara berkembang. Perkiraan insidensi tetanus secara global adalah
18 per 100.000 populasi per tahun. Di negara berkembang, tetanus lebih sering mengenai
laki – laki dibanding perempuan dengan perbandingan 3 : 1 atau 4 :1
Secara epidemiologi, angka kematian tetanus sekitar 45% dan 6 % diketahui
mendapatkan 1 -2 dosis tetanus toksoid, dan 15% pada individu yang tidak divaksin.
Angka kematian tertinggi diketahui pada penderita dengan usia >60 tahun (18%).
D. Patogenesis
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk
vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang
rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk
manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada
sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari
tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglion side
dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum
tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP.
Manifestasi klinis terutamadisebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik
sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga
terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman
atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang
terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut
dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan.
E. Manifestasi Klinis
Waktu antara pertama kali mendapatkan infeksi dan menunjukkan gejala biasanya
antara 3-10 hari, tetapi bisa berlangsung selama tiga minggu. Semakin pendek masa
inkubasi maka risiko kematian lebih tinggi.
Pada anak-anak dan orang dewasa kekakuan otot di rahang adalah gejala pertama
manifestasi klinis dari tetanus . Gejala ini kemudian diikuti oleh kekakuan pada otot perut,
kejang otot, berkeringat dan demam. Bayi yang baru lahir dengan tetanus bisa normal saat
lahir, namun berhenti mengisap antara 3- 28 hari setelah kelahiran.
Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani ke
susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan
penyakit;makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang. Tetanus tak segera
terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah
masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala
awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagidalam tiga tahap, yaitu :
1. Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan
gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa
penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita
selama infeksi tetanus masih berlangsung.
2. Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat
sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali.
Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat
menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut. Selain
itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan
semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang (Ophistotonus).
Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat
dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami
tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang
terkatub, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
3. Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah
kejang refleks. Biasanya hal ini terjadi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot.
Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena
adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan
sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama
akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering. Selain dapat
menyebabkan radang otot jantung (myocarditis), tetanus dapatmenyebabkan sulit
buang air kecil dan sembelit. Perlukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat
terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti karena
kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan
saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai,
dan penderita tidak dapat menelan.
F. Jenis Tetanus
Tetanus dikategorikan ke dalam tetanus umum, tetanus neonatal (yang merupakan
bentuk umum pada anak-anak kurang dari satu bulan), tetanus lokal, dan tetanus cephalic
(tetanus yang terlokalisasi di daerah kepala). Tetanus umum dan tetanus neonatal
mempengaruhi otot-otot seluruh tubuh dan menyebabkan opistotonus (melengkung ke
belakang dari columna karena kekakuan otot-otot ekstensor leher dan tulang belakang)
serta dapat menyebabkan kegagalan pernafasan dan kematian karena kekakuan, kejang
laring dan otot pernapasan.
Baik jenis tetanus lokal / cephalic atau umum / neonatal, biasanya bermanifestasi
sebagai trismus / lockjaw , risus sardonicus, disfagia , leher kaku , kekakuan abdomen,
dan opistotonus. Trismus sering merupakan gejala awal pada tetanus baik lokal / cephalic
dan umum. Selain itu, umumnya gejala sakit otot, flaccid paralysis, dan berbagai gejala
inaktivasi saraf, termasuk diplopia, nystagmus, dan vertigo dapat terjadi.
Secara klinis, tetanus dibedakan atas :
1. Tetanus lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka. Pasien
mengalami kontraksi otot yang persisten pada daerah tersebut (agonis, antagonis, dan
fixator). Gejala ini dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala
sisa. Bentuk ini dapat berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.
2. Tetanus umum
Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai. Penyakit ini biasanya
muncul dalam bentuk descending. Gejala pertama yang muncul adalah trismus dan
lockjaw, kemudian diikuti dengan kekakuan leher, kesulitan menelan, dan rigiditas
abdomen. Gejala lain berupa spasme otot maseter dapat terjadi bersamaan dengan
kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan dan
iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang khas berupa
risus sardonicus. Kontraksi otot yang meluas pada otot-otot perut
menyebabkan perut papan dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan
opistotonus; dapat menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah.
Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh. Gejala lainnya adalah
suhu tubuh yang meningkat 2º-4º C di atas suhu normal, berkeringat, peningkatan
tekanan darah, dan denyut jantung yang cepat secara episodik.
3. Tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka
dikepala, wajah atau otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum.
Tetanustipe ini mempunyai prognosis buruk.
Gambar 3. Gejala khas pada pasien tetanus: opistotonus dan risus sardonikus
G. Perubahan Fisiologis akibat Tetanus
1. Perubahan fisiologi kardiovaskular
Relatif sedikit penelitian yang membahas tentang efek tetanus pada sistem
kardiovaskular. Hal ini disebabkan oleh tertutupnya efek sesungguhnya dari tetanus
oleh efek hemodinamik yang timbul dari komplikasi dan terapi yang diberikan.
Perubahan hemodinamik yang terjadi selama periode kontraksi muskuler
penuh bersifat tidak signifikan akan tetapi memiliki dampak besar pada sistem
kardiovaskuler. Salah satu terapi yang dapat diberikan adalah pemberian cairan
sebanyak 2000 ml yang dapat meningkatkan tekanan pengisian jantung kiri dan
indeks jantung. Akan tetapi pemberian penanganan tersebut hanya bersifat sementara
dan tetap harus mempersiapkan penanganan terhadap efek kardiovaskuler yang dapat
timbul. Selama “badai otonomik”, dapat terjadi gangguan kardiovaskular yang sangat
beragam mulai dari kondisi hiperstimulasi dengan hipertensi (dapat mencapai 220/120
mmHg) dan takikardia (130-190 x/menit) sampai kondisi depresi berat dengan
hipotensi (mencapai 70/30 mmHg), bradikardia (50-90x/menit) dan penurunan
tekanan vena sentralis. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal-hal tersebut adalah
perubahan yang cepat dan nyata dari indek resistensi vaskular sistemik (Systemic
vascular resistance index/SVRI).
Pada kasus-kasus yang tergolong berat, akan sangat sulit untuk memperbaiki
indeks kerja jantung. Upaya pemberian cairan hanya akan sedikit menaikkan indeks
kerja jantung sehingga tergolong sebagai upaya yang tidak signifikan. Hal ini akan
semakin memburuk apabila kemudian pasien masuk kedalam kondisi “badai
otonomik”.
Terjadinya sirkulasi hiperkinetik disebabkan oleh peningkatan aktivitas
simpatetik basal dan peningkatan aktivitas otot serta suhu tubuh. Salah satu upaya
tubuh untuk mengatasi perubahan ini adalah dengan melakukan venodilatasi ektensif
pada otot-otot yang aktif. Upaya ini bertujuan untuk menurunkan SVRI sehingga
dapat mengurangi dampak pada sistem kardiovaskuler lainnya. Pada kejadian tetanus,
tidak terjadi perubahan rasio ekstraksi oksigen, sehingga peningkatan kebutuhan
oksigen seluruh jaringan di kompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan aliran darah.
Pemberian cairan, yang merupakan salah satu upaya pencegahan efek pada
sistem kardiovaskuler, hanya dapat meningkatkan tekanan pengisian jantung dan
indeks kardiak sementara. Hal ini dikarenakan sudah terjadinya venodilatasi yang
meluas pada didtem sirkulasi yang menyebakan peningkatan sistem kapasitansi yang
tinggi jika dibandingkan dengan keadaan normal. Pada pasien-pasien tertentu yang
memiliki tingkat aktifitas fisik rendah, didapatkan kecenderungan kemampuan
toleransi jantung yang rendah pula. Hal ini berdampak besar pada keadaan hipotensi
berat dan syok yang mungkin terjadi selama “badai otonomik” pada kejadian tetanus.
Sampai saat ini mekanisme yang terjadi masih tidak jelas, tapi hal tersebut
mungkin berkaitan dengan berkurangnya stimulasi kaekolamin secara mendadak atau
efek langsung toksin tetanus terhadap miokardium. Salah satu penyebab perubahan
fungsi miokardium kemungkinan adalah peningkatan kadar katekolamin yang
menetap, akan tetapi fungsi yang abnormal bsia saja terjadi bahkan tanpa adanya
kondisi sepsis maupun kadar katekolamin yang tinggi.
2. Perubahan fisiologi respirasi
Rigiditas dan spasme muskuler dari dinding dada, diafragma dan abdomen
menyebabkan adanya defek restriktif. Adanya spasme faringeal dan laryngeal
merupakan pertanda adanya gagal nafas dan obstruksi jalan nafas yang mengancam
jiwa. Ketidakmampuan pasien untuk batuk, akibat rigiditas, spasme dan sedasi
mengakibatkan atelektasis dan resiko tinggi terjadinya pneumonia. Ketidakmampuan
untuk menelan, sekresi bronchial yang masif, spasme faringeal, peningkatan tekanan
intraabdominal dan stasis gaster, semuanya meningkatkan resiko aspiriasi yang dapat
terjadi pada pasien tetanus.
Gangguan ventilasi/perfusi sangat sering terjadi dan dapat mengakibatkan
kondisi hipoksia. Hal ini merupakan keadaan yang umum dijumpai pada tetanus
sedang dan berat bahkan pada keadaan gambaran foto thorax bersih. Pada kejadian
tetanus, penghantaran oksigen dan penggunaannya di jaringan dapat terganggu
bahkan tanpa adanya kelainan paru tambahan.
Perubahan ventilasi ringan dapat disebabkan oleh penyebab yang bervariasi,
hiperventilasi dapat terjadi karena ketakutan, gangguan otonomik, atau perubahan
fungsi batang otak. Hiporkarbia sering terjadi pada tetanus ringan sampai sedang.
Pada tetanus berat, hipoventilasi akibat spasme berkepanjagnan dan apneu sering kali
terjadi. Proses sedasi, kelelahan, dan perubahan fungsi batang otak dapat juga
berakibat pada terjadinya gagal nafas.
3. Perubahan fisiologi ginjal
Pada tetanus ringan biasanya fungsi ginjal tidak terganggu, namun pada
tentaus berat, sering terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan gangguan fungsi
tubulus ginjal. Hal lain yang dapat menjadi penyebab terjadinya gagal ginjal pada
tetanus antara lain dehidrasi, sepsis, rabdomyolisis, dam perubahan yang terjadi pada
aliran darah ke ginjal akibat peningkatan mendadak kadar katekolamin. Gangguan
ginjal yang penting secara klinis berkaitan dengan instabilitas otonomik serta
gambaran histologis yang muncul, yaitu normal atau menunjukkan nekrosis tubuler
akut.
H. Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya ataupun konsekuensi dari
terapinya
Tabel 1. Komplikasi – komplikasi Tetanus
Sistem Komplikasi
Jalan nafas Aspirasi (Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air
didalam rongga mulut karena pasien mengalami disfagia, dan keadaan
ini memungkinkan terjadinya aspirasi serta dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi)
Laringospasme/ obstruksi (karena efek toksin yang menggangu
neuromuskular mengakibatkan spasme otot, spasme dapat terjadi
pada otot laring)
Respirasi Apnea
Hipoksia
Gagal nafas tipe 1 (atelektasis, aspirasi, pneumonia)
Gagal nafas tipe 2 (spasme laringeal, spasme trunkal berkepanjangan,
sedasi berlebihan)
ARDS
Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan seprti pneumonia
Komplikasi trakeostomi seperti stenosis trakea
Kardiovaskuler Takikardia, hipertensi, iskemia
Brakikardia, hipotensi
Takiartitmia, brakiaritmia
Asistol
Gagal jantung
Ginjal Gagal ginjal curah tinggi
Gagal ginjal oligouria
Stasis urin dan infeksi
Gastrointestinal Stasis gastter
Ileus
Diare
Pendarahan
Lain - lain Pernurunan berat badan
Tromboembolus
Sepsis dengan gagal organ multipel
Decubitus
Fraktur vertebra selama spasme (dapat terjadi karena kontraksi otot
yang sangat kuat pada waktu sedang kejang)
Ruptur tendon akibat spasme

I. Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada anamnesis dan gejala klinis. Anamnesis
tentang adanya kelainan yang dapat menjadi tempat masuknya kuman tetanus, adanya
trismus, risus sardokinus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang
tanpa gangguan kesadaran, cukup untuk menegakkan diagnosis tetanus.
Tabel 2. Anamnesis Infeksi Tetanus
Pertanyaan Uraian
Identitas pasien nama lengkap? tempat dan tanggal lahir? jenis kelamin? Umur? suku
agama? alamat lengkap? Pendidikan? pekerjaan dan status perkawinan?
Keluahan Utama Demam, Mulut terasa kaku, Nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan
Riwayat Penyakit panasnya naik turun? atau panasnya tidak pernah turun?
Sekarang berapa lama demam? ada keluhan kejang pada punggung?
kapan kejang terjadi? sudah berapakali mengalami kejang?
menggunakan apa untuk mengatasi kejangnya?
apakah ada obat-obat yang pernah diminum?
apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran?
berapa lama kejang terjadi?
Apakah sebelumnya pasien pernah terluka atau tertusuk?
atau terjatuh dan ada luka ditempat yang kotor?
Keluhan Penyerta kaku pada wajah, leher, perut dan anggota gerak?
bengkak pada daerah yang terluka dan bernanah?
mulut hanya bisa dibuka maksimal 2 jari?
Riwayat Penyakit apakah pernah mengalami demam atau kejang sebelumnya?
Dahulu mengalami kecelakaan dijalan dengan luka yang penuh dengan debu
dan kotoran?
riwayat pemberian ATS (anti tetanus toxoid)?
apakah pernah menderita riwayat penyakit yang lain dan pernahkah
dirawat dirumah sakit?
adakah riwayat alergi? riwayat penyakit jantung? ginjal, hati? DM ?
penyakit infeksi lain?
Riwayat pemberian ulang vaksin DT (dipteri dan tetanus) pada saat
dewasa umur 19 tahun?
Adakah riwayat penyakit keluarga seperti epilepsi, jantung, ginjal,
hepatitis, TBC, alergi?
Apakah penderita pernah mengalami riwayat kejang sebelumnya?
Riwayat Sosial lingkungan tempat tinggal? Hygiene? saat ada luka pasien tidak pernah
merawatnya?
apakah perawatan luka menggunakan bahan yang kurang aseptic?

Pada pemeriksaan fisik pasien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu


tubuh lebih dari normal 38-40oC. keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses
inflamasi dan toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan penurunan perfusi jaringan otak. Apabila
disertai peningkatan frekuensi pernapasan sering berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme umum. Tekanan darah biasanya normal.
Tingkat kesadaran. Kesadaran klien biasanya compos mentis. Pada keadaan lanjut
tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor dan
semikomatosa.
Pemeriksaan saraf kranial. 1) Saraf III, IV, dan VI. Dengan alasan yang tidak
diketahui, klien tetanus mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan
terhadap cahaya. Respon kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya perlu
diperhatikan.11 2) Saraf V. Refleks masseter meningkat. Mulut mencucu seperti mulut
ikan (ini adalah gejala khas dari tetanus). 3) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang
baik, kesukaran membuka mulut (trismus). 4) Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk.
Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak). 5) Sistem motorik. Kekuatan otot
menurun, kontrol keseimbvangan dan koordinasi pada tetanus tahap lanjut mengalami
perubahan.
Gerakan Involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, Tic, dan distonia. Pada
keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan
tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat
area fokal kortikal yang peka.
Kejadian tetanus tidaklah mungkin apabila terdapat riwayat serial vaskinasi yang
telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret
luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Namun demikian, C. tetani
dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan dari luka
pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organisme tersebut
menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.
Pada pemeriksaan laboratorium darah mungkin didapatkan peningkatan jumlah
leukosit. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang normal.
Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau
tidak adayna interval tenang yang secar normal dijumpai setelah potensial aksi.
Perubahan non spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram. Enzim otot mungkin
meningkat. Kadar antitoksi serum ≥ 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini
tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadadar
antitoksin yang protektif.
J. Diagnosis Banding
Diagnosis bandingnya mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabbkan trismus,
miseperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya terhadap
fenotiasin dan metoklorpramid) tetanus hipokalsemik, dan perubahan-perubahan
metabolic dan neurologis pada neonatal. Kondisi-kondisi lain ydikacaukan dengan
tetanus lemiputi meningitis/ensefalitis, rabies dan proses intraabdominal akut (karena
kekakuan abdomen). Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah, leher, dada,
dpunggung, dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan tida
terlibatnya tangna dan kaki secara kuat menyokong diagnosis tetanus.
Beberapa penyakit juga mempunyai gejala yang mirip dengan tetanus. Berikut
beberapa diagnosis banding dari tetanus:
1. Keracunan striknin, Gejalan klinis keracunan striknin akut sangat mirip dengan
tetanus. Striknin adalah suatu inhibitor neurotransmitter. Pada kondisi ini terdapat
kejang pada wajah yang diikuti oleh hiperflexi lengan dan tungkai. Sesaat kemudian
kejang menyebar ke seluruh tubuh disertai rasa nyeri hebat yang distimulasi oleh
sentuhan atau suara yang tiba-tiba. Pasien mungkin ditemukan dalam keadaan sadar.
Kondisi ini dapat berlanjut ke kesulitan bernafas dan koma. Jika pasien tidak dapat
diselamatkan, rigor mortis muncul dengan cepat. Jika pasien bertahan hidup,
pemulihan berlangsung cepat, tidak seperti tetanus yang membutuhkan waktu lama.
Kejang pada keracunan striknin dapat dibedakan dengan tetanus. Pada keracunan
striknin dijumpai relaksasi komplit diantara kejang, sementara tetanus tidak.
2. Meningoencephalitis, pada meningoencephalitis dapat ditemukan dysphagia dan kaku
pada leher. Juga ditemukan demam dan cairan cerebrospinal yang tidak normal,
ditambah dengan tidak adanya trismus merupakan perbedaannya dengan tetanus.
3. Rabies, Pada rabies ditemukan kejang pada oropharing. Khas dari rabies adalah
hidrofobik yang dialami pasien. Pada rabies tidak ditemukan trismus dan terdapat
riwayat gigitan binatang.
4. Epilepsi dapat menyebabkan kejang. Namun tidak ditemukan kekakuan otot di antara
kejang. Bisanya sudah ada riwayat serangan epilepsi sebelumnya.
5. Histeria merupakan masalah psikiatri. Dapat terjadi kejang dan trismus. Namun
trismus inkomplit dan terdapat relaksasi komplit di antara kejang.
K. Terapi
Pasien seharusnya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU supaya dapat
dilakukan observasi kardiopulmoner secara terus-menerus. Perlindungan terhadap jalan
nafas bersifat vital. Luka hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan
dilakukan debridemen secara menyeluruh.
1. Netralisasi dari toksin
Pemberian antitoksin mampu menurunkan mortalitas dengan menetralisasi
toksin yang beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun
toksin yang telah melekat pada jaringan saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin
tetanus manusia (TIG) merupakan pilihan utama dan diberikan segera dengan dosis
3000-6000 unit intramuskular, biasanya dengan dosis terbagi karena volumenya besar.
Paling baik memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka. Dosis tambahan tidak
diperlukan karena waktu paruh antitoksin yang panjang.
Antitoksin tetanus kuda tidak tersedia di Amerika Serikat, tapi masih
dipergunakan di tempat lain. Lebih murah dibanding antitoksin manusia, tapi waktu
paruhnya lebih pendek dan pemberiannya sering menimbulkan hipersensitivitas.
2. Menyingkirkan sumber infeksi
Luka yang tampak jelas seharusnya dilakukan debridemen secara bedah.
Terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-sel yang berpotensi
sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (100.000-200.000 IU/Kg/hari setiap
hari selama 10-14 hari dibagi 4 dosis) telah direkomendasikan oleh WHO dan secara
luas dipergunakan selama bertahun-tahun, tetapi merupakan antagonis GABA dan
berkaitan dengan konvulsi.
Metronidazol merupakan antibiotik pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam
digunakan oleh beberapa ahli berdasarkan aktivitas antimikrobial metronidazol yang
bagus. Pada penelitian yang membandingkan dengan penisilin menunjukkan angka
harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan penisilin karena metronidazol
tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan
oleh penisilin.
Eritromisin, tetrasiklin, kloramfenikol dapat diterima sebagai alternatif,
apabila pasien alergi terhadap penisilin.
3. Pengendalian rigiditas dan spasme
Pengobatan rigiditas yang ideal adalah yang dapat menekan aktivitas
spasmodik tanpa menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Terapi utamanya
adalah dengan menggunakan benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat agonisme
GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABA.
Diazepam 5 mg dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan
dipergunakan secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya sehingga dapat
terakumulasi dan menjadi koma berkepanjangan. Pilihan yang lain adalah lorazepam
2 mg dengan durasi aksi yang lebih lama dan midazolam dengan waktu paruh yang
lebih singkat.
4. Penatalaksanaan respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin
dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau
laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan
kemampuan menelan atau disfagia.
5. Pengendalian disfungsi otonomik
Penggunaan magnesium sulfat juga direkomendasikan oleh WHO. Magnesium
bekerja sebagai antagonis kalsium pada tingkat seluler sehingga mengakibatkan
vasodilatasi, blokade presinaps neuromuskular, dan menghambat pelepasan dari
katekolamin.
Dosis awal pemberian magnesium sulfat yaitu 75-80 mg/Kg dalam 30 menit
pertama dan diberikan dosis maintenance 2 gram/jam untuk pasien dibawah 60 tahun,
dan 1 gram/jam untuk pasien diatas 60 tahun. Untuk menghindari overdosis, harus
dilakukan pengecekan refleks patella. Apabila refleks patella menghilang, maka dosis
harus diturunkan.
Pemberian vitamin C juga terbukti menurunkan mortalitas pasien tetanus.
Penelitian oleh Jahan dkk menunjukkan penurunan mortalitas pasien dewasa dan anak
yang diberikan vitamin C 1 gram intravena per hari.
6. Terapi intensif suportif
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut menjadi
penyebabnya adalah ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju
metabolisme akibat demam dan aktivitas muskular. Oleh karena itu, nutrisi harus
diberikan seadekuat mungkin. Penggunaan dari nasogastrik tube cukup dianjurkan
apabila pasien memiliki kesulitan untuk menelan. Penggunaan dari ventilator juga
berkaitan dengan terjadinya pneumonia sehingga harus terus dipantau kondisi dari
pulmo pasien.
L. Pencegahan
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan tindakan pencegahan yang paling
efektif. Di Amerika Serikat, semua kasus tetanus yang dilaporkan terjadi pada
individu yang tidak diimunisasi.
Titer protektif dari antibodi tetanus adalah 0,01 U/mL. Walaupun demikian
tetanus dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi. Mekanisme terjadinya
kegagalan imunisasi ini masih belum jelas. Semua individu dewasa hendaknya
mendapatkan vaksin tetanus, seperti halnya pasien yang sembuh dari tetanus.
Pemberian vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis: dosis pertama dan kedua
diberikan dengan jarak 4-8 minggu dan dosis ketiga diberikan 6 sampai 12 bulan
setelah dosis pertama. Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada
usia dekade pertengahan seperti 35,45 dan seterusnya.
2. Penatalaksanaan luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan akan perlunya: 1)
Imunisasi pasif dengan TIG dan 2) Imunisasi aktif dengan vaksin, terutama Td untuk
individu usia di atas 7 tahun. Dosis TIG sebagai imunisasi pasif pada individu dengan
luka derajat sedang adalah 250 unit intramuskuler yang menghasilkan kadar antibodi
serum protektif paling sedikit 4 sampai 6 minggu; dosis yang tepat untuk Tetanus
Anti Toxin (TAT), suatu produk yang berasal dari kuda adalah 3000 sampai 6000 unit.
Vaksin dan TAT hendaknya diberikan pada tempat yang terpisah dengan spuit injeksi
yang berbeda.
M. Prognosis
Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah secara nyata
memperbaiki prognosis tetanus. Angka fatalitas kasus dan penyebab kematian
bervariasi tergantung pada fasilitas yang tersedia. Trujillo dkk melaporkan penurunan
mortalitas dari 44% ke 15% setelah adanya penatalaksanaan ICU. Di negara-negara
berkembang, tanpa fasilitas untuk perawatan intensif jangka panjang dan bantuan
ventilasi, kematian akibat tetanus berat mencapai lebih dari 50% dengan obstruksi
jalan napas dan gagal merupakan penyebab utama.
Perawatan intensif modern seharusnya dapat mencegah kematian akibat gagal
nafas akut. Trujillo dkk melaporkan bahwa 40% kematian setelah adanya perawatan
intensif adalah akibat henti jantung mendadak dan 15% akibat komplikasi respirasi.
Sebelum adanya ICU, 80% kematian terjadi akibat gagal napas akut yang terjadi awal.
Kornplikasi penting akibat perawatan di ICU meliputi infeksi nosokomial, terutama
pneumonia berkaitan dengan ventilator, sepsis generalisata, tromboembolisme, dan
perdarahan gastrointestinal.
Mortalitas bervariasi berdasarkan usia pasien. Prognosis buruk pada usia tua
dan pada neonatus. Mortalitas dan prognosis juga tergantung pada status vaksinasi
sebelurnnya. Tetanus yang berat umumnya membutuhkan perawatan ICU sampai 3-5
minggu, pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang. Tonus yang
meningkat dan spasme dapat terjadi sampai berbulan-bulan, namun pemulihan dapat
diharapkan sempurna kembali ke fungsi normalnya.
DAFTAR PUSTAKA

Adams. R.D. 2007. Tetanus: principles of new'ology. New York: McGraw-Hill; p.1205-7.
Ahmadsyah I, Salim A. 1985. Treatment of tetanus: an open study to compare the efficacy of
procaine penicillin and metronidazole. Br Med J (Clin Res Ed); 291:648–650.
Atkinson, William. 2012. Tetanus Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable
Diseases (12 ed.). Public Health Foundation. pp. 291–300. ISBN 9780983263135.
Attygalle D.1996. Magnesium sulphate in the management of severe tetanus averts artificial
ventilation and sedation. Ceylon Med J, 41:120.
Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. 1979. Diphteria–Pertusis–Tetanus Vaccine Teactogenicity
of Cimmercial Products. Pediatricas; 63:256–260.Behrman, Richard E, Kliegman,
Robert M, Jenson Hal. B. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition
W.B. Saunders Company.
Bleck, T.P. 2005. Clostridium tetani (Tetanus). In Principles and Practice of Infectious
Diseases, 6th ed.; Mandell, G.L., Bennett, J.E., Dolin, R., Eds.; Elsevier: Amsterdam,
The Netherlands. pp. 2817–2822. 17. Weng, W.C.; Huang, W.Y.; Peng, T.I.; Chien,
Y.Y.; Chang, K.H.; Ro, L.S.; Lyu, R.K.; Wu, C.L.
Brennen U. 2008. Clostridium tetani. [http://bioweb.uwlax.edu/bio203/s2008/unrein_bre/
Clinical characteristics of adult tetanus in a Taiwan medical center. 2011. J. Formos. Med.
Assoc. 110, 705–710.
Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. 2001. Tetanus: a review of the literature. Br J
Anaesth;87(3):477-87.
Dawn MT, Elisson RT. 2008. Tetanus. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin and Rippe’s
intensive care medicine. 6th ed. Massachusetts: Lippincot Williams & Wilkins.
p.1140-1.
Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al. 2003. Management
and prevention of tetanus. Niger J Paed.13(3):139-54.
Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, Parry CM. 2009. Tetamus. J
Neurol, Neurosurg, and Psychia 69 (3): 292–301
Galazka A, Gasse F. 1995. The present state of tetanus and tetanus vaccination. Curr Topics
Microbilo Immunol. 195: 31-53
Jahan K, Ahmad K, Ali MA. 1984. Effect of ascorbic acid in the treatment of tetanus.
Bangladesh Med Res Counc Bull, 10:24–28.
Lipman J. 2009. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Oh’s Intensive Care Manual. 6th ed.
Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier.p.593-7.
Madigan MT, Martinko JM. 2006. Brock Biology of Microorganisms 11th ed. New Jersey :
Pearson Education.Hal. 233-245
Meienberg, O.; Burgunder, J.M. 1985. Saccadic eye movement disorder in cephalic tetanus.
Eur Neurol. 24, 182–190.
Orwitz, J.I.; Galetta, S.L.; Teener, J.W. 1997. Bilateral trochlear nerve palsy and downbeat
nystagmus in a patient with cephalic tetanus. Neurology 49, 894–895.
Rodrigo C, Fernando D, Rajapakse S. (2014). Pharmacological management of tetanus : an
evidence-based review. Critical Care, 1–10.
Sjamsuhidayat R, De jong W. 2004. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; p. 21-4.
Sun KO, Chan YW, Cheung RT, So PC, Yu YL, Li PC.1994. Management of tetanus: a
review of 18 cases. J R Soc Med, 87:135–137.
Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I. 2013. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat
penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI; p.2911-23.
Suraatmaja, S., and Soetjiningsih. 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Sanglah Fakultas Kedokteran Udayana. Denpasar.
Taylor AM. 2006. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain. Vol. 6 No.
3. [Internet]. http://www.ceaccp.oxfordjournals.org/content/6/4/164.3.full.pdf.
Thwaites CL, Yen LM, Cordon SM, Thwaites GE, Loan HT, Thuy TT, White NJ, Soni N,
Macdonald IA, Farrar JJ. 2008. Effect of magnesium sulphate on urinary
catecholamine excretion in severe tetanus. Anaesthesia, 63:719–725.
Torbey MT, Suarez JI, Geocadin R. 2004. Less common causes of quadriparesis and
respiratory failure. In: Suarez JI, editor. Critical care neurology and neurosurgery. 1st
ed. New Jersey: Humana Press; p.493-5.
Trujillo MH, Castillo A, España J, Manzo A, Zerpa R. 1987. Impact of intensive care
management on the prognosis of tetanus. Analysis of 641 cases. Chest, Jul;92(1):63-5.
Vandaler, J, Birmingham M, Gasse, F, et al, 2003. Tetanus in developing countries: An
update on the Maternal and Neonatal Tetanus Elimination Intiative Vaccine. In:
Vaccine, 21: 3442-3445.
World Health Organization (WHO), 2006. Tetanus Vaccine. In: Weekly Epidemiological
Record, No. 2. Swizerland: WHO, 198-207.
World Health Organization (WHO), 2008. Current recommendations for treatment of tetanus
during humanitarian emergencies. Tersedia di : http://www.who.int/immuni
zation/topics/tetanus/en/index.html. Diakses 25 Juli 2016.

Anda mungkin juga menyukai