Anda di halaman 1dari 5

Legal Reserch Paper

Diskriminasi Hak-hak LGBT di Indonesia

PEMETAAN MOSI

Mosi kita pada hari ini adalah “Diskriminasi Hak-hak LGBT di Indonesia”. Pengertian
diskriminasi menurut Theordorson dan Theodorson adalah perlakukan yang tidak
seimabng terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuau, biasanya berdasarkan
sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,
kesukubangsaaan, agama atau keangggotaan kelas-kelas sosial1.Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), hak atau huk adalah wewenang menurut hukum2. Menurut
American Psychiatric Association (APA) Jika diuraikan menurut hurufnya, pengertian
masing- masing istilah dari LGBT yaitu:

 Lesbian : merupakan gangguan seksual yang menyimpang dimana wanita tertarik pada
wanita lainnya.
 Gay: merupakan perilaku menyimpang seksual dimana laki laki tertarik dengan sesama laki
laki. Gay juga disebut dengan homoseksual.
 Biseksual: merupakan perilaku menyimpang dimana seseorang menyukai dua gender
sekaligus baik wanita maupun pria.
 Transgender: merupakan perubahan alat kelamin dikarenakan seseorang merasa alat
kelaminnya tidak menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya yang merupakan kebalikan
dari apa yang dia miliki. Kondisi ini memicu seorang wanita yang memiliki sifat tomboy
dan merasa seperti laki laki akan merubah jenis kelaminnya menjadi laki laki dan juga
sebaliknya dengan cara operasi kelamin3

1
http://www.spengetahuan.com/2017/07/5-pengertian-diskriminasi-menurut-para-ahli-penyebab-jenis-bentuk-
cara-menghindari-dan-contoh-diskriminasi.html
2
https://fortunation.wordpress.com/2012/03/20/hak-dan-kewajiban/
3
https://dosenpsikologi.com/pengertian-lgbt-menurut-para-ahli
DASAR HUKUM

- Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945


- Pasal 28 I Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
- Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
- Perda Provinsi tentang Pemberantasan Maksiat (No. 13/2002) di Provinsi
Sumatera Selatan. Perda ini menggolongkan perilaku homoseksual dan anal seks
oleh laki-laki (tanpa menyebutkan apakah bersifat penetratif atau menerima)
sebagai perbuatan tidak bermoral, sebagaimana halnya prostitusi, perzinahan,
perjudian dan konsumsi minuman beralkohol.

- Perda Kota tentang Pemberantasan Pelacuran (No. 2/2004) di Palembang, ibukota


Provinsi Sumatera Selatan. Perda ini serupa dengan Perda Provinsi, hanya
menggunakan istilah "pelacuran" dan bukan "maksiat."

- Perda Kabupaten tentang Ketertiban Masyarakat (No. 10/2007) di Banjar, Provinsi


Kalimantan Selatan. Perda ini dalam definisinya tentang "pelacur" menyebutkan
perbuatan homoseksual dan heteroseksual yang "tidak normal" (di samping
perbuatan yang "normal"). Tidak ada penjelasan tentang apa yang merupakan
perbuatan "normal" atau "tidak normal." Perda ini juga melarang pembentukan
organisasi "yang mengarah kepada perbuataan asusila" yang "tidak bisa diterima
oleh budaya masyarakat [setempat]." Hal ini kemudian dijelaskan dengan
menyebutkan contoh organisasi lesbian dan gay "dan sejenisnya."

- Perda Kota tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang


Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat (No.
12/2009), di Tasikmalaya, Jawa Barat Perda ini melarang perzinahan dan
pelacuran, baik heteroseksual maupun homoseksual.

- Perda Kota tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Sosial


(No. 9/2010) di Padang Panjang, Sumatera Barat. Bagian definisi istilah secara
tegas menyebutkan hubungan "homoseksual dan lesbian" dan selanjutnya
melarang
URGENSI

Mosi ini dibuat karena

PENDAHULUAN

Pemerintah dinilai belum memiliki perhatian terkait maraknya peristiwa kekerasan


dan tindakan diskriminatif terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender
(LGBT) di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari semakin meningkatnya kasus kekerasan
terhadap kelompok LGBT yang berhasil dicatat oleh Arus Pelangi, sebuah organisasi
masyarakat sipil yang kerap melakukan advokasi dalam isu-isu LGBT.

Salah seorang pegiat hak asasi manusia (HAM) dari Arus Pelangi, Yulita Rustinawati,
memaparkan bahwa sejak Januari hingga Maret 2016, terdapat 142 kasus penangkapan,
penyerangan, diskriminasi, pengusiran, dan ujaran kebencian yang ditujukan kepada
kelompok LGBT.

Sementara itu, pada tahun 2013 tercatat 89,3 persen dari seluruh jumlah LGBT yang ada di
Indonesia mengalami kekerasan psikis, fisik, dan budaya.

Yuli mengatakan, berdasarkan hasil penelitian Arus Pelangi, diketahui bahwa pelaku ujaran
kebencian mayoritas adalah aparat negara yang kemudian membuat legitimasi kepada
organisasi intoleran melakukan kekerasan kepada kelompok LGBT.

Seiring dengan semakin banyaknya kekerasan tersebut, muncullah gerakan masyarakat


sipil yang memperjuangkan perlindungan HAM kelompok LGBT.
Gerakan masyarakat sipil tersebut bermula dari kesadaram adanya diskriminasi dan
kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT dan kekerasan tersebut masih berlangsung
hingga hari ini.

Yuli menjelaskan, gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan hak kelompok LGBT
sebenarnya sudah muncul sekitar tahun 1980-an di kota-kota besar, khususnya Jakarta.

Saat itu beberapa organisasi yang ada lebih banyak bergerak di lingkup kesehatan dan
HIV/AIDS. Kemudian memasuki tahun 2000-an, muncul organisasi yang bergerak di bidang
advokasi bagi kelompok rentan dan sulit mendapatkan akses keadilan.

Arus Pelangi menjadi salah satu organisasi tersebut. Yuli menuturkan, banyak kasus
kekerasan yang menimpa kelompok LGBT sebagai korbannya. Namun karena keterbatasan
kemampuan, akhirnya mereka tidak memperoleh keadilan yang seharusnya mereka
dapatkan.

DATA EMPIRIK

Gerakan lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) sudah 'menjajah' hampir seluruh
provinsi di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan pada 2012 menunjukkan bahwa
terdapat 1.095.970 Lelaki berhubungan Seks dengan Lelaki (LSL) alias gay yang tersebar di
semua daerah.

Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah LSL terbanyak. Sebanyak 300.198 orang
yang terindikasi merupakan gay. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.895 orang merupakan
penderita HIV/AIDS. Sementara itu, Jawa Tengah memiliki penderita gay dengan jumlah
218.227. Dari jumlah itu, sebanyak 11.951 orang terindikasi merupakan penderita
HIV/AIDS.

Bagaimana dengan DKI Jakarta? Sebanyak 27.706 warga ibu kota merupakan gay. Dari
puluhan ribu gay di ibu kota, sebanyak 5.550 orang diduga menderita HIV/AIDS.
Isu LGBT kini kembali merebak. Adanya lembaga konseling Support Group and Resource
Center on Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia (UI) membuat kalangan itu
kembali eksis di kampus. Aktifnya SGRC pun mengundang pertanyaan mengingat pendiri
SGRC juga berasal dari kalangan LGBT

Anda mungkin juga menyukai