Anda di halaman 1dari 44

CRITICAL BOOK REVIEW

PERPAJAKAN
Dosen Pengampu : ,S.Pd . M.P.d
Disusun Oleh:
Hengki Sihotang
Indah Napitupulu
Tessalonika Dolok Saribu
Citra Manik
Grace Pretty Mayawi Pasaribu

PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN, 2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas karunianya
kami dapat menyelesaikan Critical Book Review dengan baik tepat pada waktunya.Adapun
tujuan penulisan Critical Book Review ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perpajakan.
Dalam menyelesaikan Critical Book Review ini, kami banyak mengalami kesulitan,
membuat bahasa indonesia yang baik agar sipembaca dapat mengerti.
Kami juga sadar, sebagai mahasiswa yang masih dalam proses belajar, pembuatan
Critical Book Review tidak hilang dari banyak kekuranganya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat positif, guna pembuatan Critical Book Review
yang lebih baik lagi.
Harapan kami, semoga Critical Book Review ini dapat membantu, dan bermanfaat
bagi si pembaca mengenai perpajakan

Medan, Maret 2019

Kelompok 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
BAB II RINGKASAN BUKU
2.1 Ringkasan Buku
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Kelebihan dan Kelemahan
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi
pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional, yang berlangsung terus-
menerus dan berkesinambungan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan bersama.
Pajak dipungut dari warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang
dapat dipaksakan penagihnya. Pembangunan Nasional Indonesia pada dasarnya
dilakukan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu peran
masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak.
Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Sebagai salah satu sumber
penerimaan Negara yang sangat potensial, sektor pajak merupakan pilihan yang
sangat tepat, selain karena jumlahnya yang sangat relatif stabil juga merupakan
cerminan partisipasi aktif masyarakat dalam membiayai pembangunan. Jenis
pungutan di Indonesia terdiri dari pajak Negara atau pajak pusat, pajak daerah,
retribusi daerah, bea dan cukai dan penerimaan Negara bukan pajak. Salah satu pos
Penerimaan Asli Daerah (PAD) dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)
adalah pajak daerah.
Perlu diketahui bahwa sistem pemungutan pajak ada 3 (tiga) macam yaitu
Official Assessment System, Self Assessment System, With Holding System. Official
Assessment System adalah system pemungutan pajak yang memberi wewenang
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak.
Peningkatan efektifitas penagihan pajak lebih diperlukan mengingat semakin
besarnya tunggakan pajak kumulatif dewasa ini. Hal ini perlu dilakukan karena
kenyataan yang ada selama ini adalah semakin banyaknya Wajib Pajak yang tidak
beritikad baik untuk melunasi hutang pajaknya padahal yang bersangkutan cukup
mampu secara finansial

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam mengkritik isi pembelajaran perpajakan antara lain, yaitu:
1. Untuk mengetahui tingkat pemahaman dan pengetahuan tentang peraturan
perpajkan terhadap kemauan wajib pajak dalam membayar pajak.
2. Untuk mengetahui pengaruh tingkat sosial perpajakan terhadap kepatuhan
pembayaran pajak bagi wajib pajak orang pribadi maupun perusahaan atau usaha.
3. Untuk mengetahu atau menganalisis pengaruh kualitas pelayanan kepada wajib
pajak terhadap kemauan wajib pajak dalam membayar pajak.
BAB II
RINGKASAN BUKU
Ringkasan Buku
BAB I
PENGETAHUAN DASAR PERPAJAKAN
Pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemito., SH., pajak adalah iuran
kepada negara berdasarkan undang-undang dengan tiada mendapat jasa timbul yang langsung
dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Berdasarkan UU No.
28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1; pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu disebut sebagai pajak
jika memiliki unsur:
a. Pembayaran kepada negara
b. Berdasarkan undang-undang
c. Tidak mendapatkan imbalan secara langsung
d. Digunakan untuk keperluan negara
Manfaat Pajak
Maafkan atau fungsi utama dari pajak adalah sebagai sumber dana bagi negara untuk
membiaya keperluan-keperluan negara, fungsi pajak ini disebut sebagai fungsi Budgetair.
Belanja negara, belanja daerah, belanja kementrian/ lembaga dan lainnya. Sebagai alat untuk
mengatur atau melaksankan kebijakan- kebijakan pemerintah diberbagai aspek atau bidang
kehidupan seperti bidang ekonomi, sosial, budaya dan lainya yang disebut fungsi mengatur
atau Regulerend.
Dasar Teori Pemungutan Pajak
Beberapa teori yang menjadi dasar dalam suatu negara untuk memungut pajak:
1. Teori Asuransi, untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik
keselamatan jiwanya maupun keselamtan harta bendanya.
2. Teori Kepentingan, adanya kepentingan dari masing-masing warga negara,
perlindungan jiwa dan harta.
3. Teori Daya Pikul, beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, pajak dibayar
sesuai daya pikul masing-masing.
4. Teori Bakti, dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat pada
negaranya.
5. Teori Asas Daya Beli, memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga
masyarakat untuk rumah tangga negara.

Syarat Pemungutan Pajak


Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi
persyaratan yaitu:
a) Pemungutan pajak harus adil
b) Pemungutan pajak yang dilakukan berdasarkan UU
c) Pungutan pajak tidak menggangu perekonomian
d) Pemungutan pajak harus efisien
e) Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Stelsel Pajak
Sistem pemungutan pajak ada 3 yaitu:
a. Stelsel Nyata
b. Stelsel Anggapan
c. Stelsel Campuran
Azas Pemungutan Pajak
Adam Smith, pencetus teori the four maxims dalam bukunya wealth of nations
dengan ajaran yang terkenal, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
1. Asas Equality : pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak.
2. Asas Certainty : semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang
melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum
3. Asas Convinience Of Payment : pajak harus dipungut pada saat yang tepat waktu
asas.
4. Asas Efficiency : biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan
sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk
mengenakan pajak adalah:
1. Asas Domisili atau yang disebut juga asas kependudukan
2. Asas sumber
3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan.
Pengelompokan Pajak
Menurut golongannya terdisi atas pajak langsung dan pajak tidak langsung. Menurut
sifatnya yaitu pajak subjektif, dan pajak objektif. Menurut lembaga pemungutannya yaitu
pajak pusat, dan pajak daerah. Menurut kredit yaitu pajak final, dan pajak tidak final.
Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pungutan pajak yang ada adalah sebagai berikut:
a. Official Assesment System, adalah sistem pemungutan yang memberi wewenang
kepada pemerintah atau fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh
WP.
b. Self Assesment System, adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang
kepada WP untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
c. With Holding System, adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh WP.
Tarif Pajak
Adalah tarif proporsional adalah tarif berupa persentase yang tetap terhadap
beberapapun jumlah yang dikenai pajak, sebanding yaitu tarif berupa jumlah yang tetap
terhadap beberapapun jumlah yang dikenakn pajak, sehingga besarnya pajak yang terutang
tetap, progresif adalah tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar, dan degrisif adalah tarif yang digunakan semakin kecil jumlah yang dikenai
pajak yang semakin besar.
Perlawanan Pajak
Perlawanan pajak pasif, masyarakat tidak membayar pajak, yang dapatdisebabkan
antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b. Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat
c. Sistem kontrol dan pengawasan yang tidak ada.
Perlawanan aktif, dapat berupa bentuk:
a. Tax avoidance, usaha menringankan beban pajak dengan tidak melanggar UU.
b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar UU.
BAB II
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Terminologi Perpajakan
Defenisi atau istilah-istilah yang sering digunakan didalam pajak Indonesia dan untuk
lebih memahami berbagai ketentuan mengenai administrasi perpajakan. Istilah yang ada
didalam pajak ada di dalam pasal 1 undang undang KUP.
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang bersifat memaksa.
2. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong
pajak, dan pemungutan, yang mempunyak hak dan kewajiban sesuai UU.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan/ atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseoraan
terbatas, dll.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya yang menghasilkan barang, mengimpor,
mengekspor, dll.
5. Pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang melaukan penyerahan barang kena
pajak dan / atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-
undang pajak pertambahan Nilai 1984 dan perubahan.
6. Nomor pokok wajib pajak adalah nomor yang diberikan kepada WP sebagai sarana
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diai atau
identitas.
7. Masa pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi WP untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatau jangka waktu tertentu
sebagimana ditentukan dalam UU ini.
8. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 tahun kalender kecuali bila wajib WP
menggunkan tahun bukuyang tidak sama dengan tahun buku.
9. Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 tahun pajak.
10. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa
pajak, dalam tahun, atau bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan UU.
11. Surat pemberitahuan adalah surat oleh WP digunakan untuk melaporkan perhitungan
dan / atau pembayaran pajak, objek pajak dan bukan objek pajak atau harta dan
kewajiban sesuai UU perpajakan.
12. Surat pemberitahuan masa adalah surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak.
13. Surat pemberitahuan tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu tahunan pajak
atau bagian pajak.
14. Surat sertoran pajak adalah bukti pembayaran/ penyetoran pajak yang telah dilakukan
dengan formulir/ telah dilakukan dengan cara lain kekkas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh mentri keuangan.
15. Surat ketetapan pajak adalah surat yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar,
surat ketetpan pajak kurang bayar tambahan, pajak nihil atau pajak lebih bayar.
16. Surat ketetpan pajak kurang bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pokok pembayaran
oajak, sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
17. Surat ketetpan pajak kurang bayar tambahan adalah surat ketetpan yang menentukan
tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
18. Surat ketetapan pajak nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak yang tidak terutang
dan tidak ada kredit.
19. Surat ketetapan pajak lebih bayar adalah ketetpan pajak yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak.
20. Surat tagihan pajak adalah surat untuk melakukan tagihan dan sanksi administrasi
berupa bunga dan denda.
21. Surut paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.\
22. Kredit pajak untuk pajak pertambahan nilai adalah pajak masukan yang dapat
dikreditkan setelah setelah dikurangi dengan pengembalian dahulu.
23. Kredit pajak untuk penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh pajak.
24. Pekerjaan bebas adalah pekerja yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai
keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh
suatu hubungan kerja
25. Pemeriksa adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan.
26. Buki permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan bukti berupa keterangan, tulisan, atau
benda yang dapat memberikan petunjuk.
27. Pemberian bukti pemulaan adalah pemeriksaanyang dilakukan untuk mendapatkan
bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindakan pidana di bidang
perpajakan.
28. Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak.
29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
menggumpulkan data dan informasi keuangan.
30. Penelitian adalah serangkaina kegiatan yang dilakukan untuk meneliai kelengkapan
pengisian surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang
kebenaran penulisan dan perhitungannya.
31. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya.
32. Surat keputusan pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan
tulis, hitung atau kekeliruan penerapan ketentuan dalam peratuaran perundang
undangan pajak yang terdapat dalam surat ketetpan pajak.
33. Peyidik adalah pejabat pegai negeri sipil tertuntu di lingkungan Direktorat jenderal
pajak yang diberikan wewenang khusus sebagai peyididk untuk melkukan penyidikan
tindak pidana.
34. Surat keputusan keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat
ketetapana pajak atau terhadap pemotong atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh WP.
35. Putusan bandingadalah putusan peradilan pajak atas banding terhadap surat keputusan
keberatan yang diajukan oleh WP.
36. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradila pajak atas gugatan terhadap hal-hal
yang berdasarkan ketetntuan peraturan perundangan undangan perpajakan dapat
diajukan gugatan.
37. Putusan peninjauan kembali adalah putusan mahkamah agung atas permohonan
peninjauan kembali yang diajukan oleh WP atau oleh direktur jenderal pajak terhadap
putusab banding atau putusan gugatan dari badan peradilan pajak.
38. Surat keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak adalah surat keputusan
yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk WP
tertentu.
39. Surat keputusan pemberian imbalan bunga adalah surat keputusan yang menentukan
jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada WP.
40. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam
hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau
putusan disampaikan secara langsung.
41. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimil, atau dalam
hal diterima secar langsung tanggal pada saat surat, keputusan, putusan diterima
secara langsung.
Nomor Pokok Wajib Pajak.
Definisi NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai saranan
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagi tanda pengenal diri atau identitas
WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Fungsinya yaitu:
a. Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan
b. Sebagai identitas wajib pajak
c. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan
d. Dicantumkan dalam berbagai dokumen / khusus dokumen perpajakan.
Yang Wajib Ber-NPWP
WP yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan, wajib mendaftar diri pada kpp, meliputi:
1. Wajib pajak orang pribadi, termasuk wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah:
a. Hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim
b. Menghindaki secara tertulis berdarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta
c. Memilih melaksankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari
suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian
pemisahan penghasilan dan harta
2. Wajib pajak orang pribadi, termasuk wanita kawni yang dikenaknpajak secara
terpisah karena; sama dengan no 1 bedanya memilih melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan
hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
3. Wjib pajak badan yang memilikikewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak,
termasuk bentuk usaha tetap dan kontraktor dan operator di bidang usaha hulu minyak
dan gas bumi.
4. Wajib pajak badan yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan
pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan,
termasuk bentuk kerja sama operasi
5. Bendahara yang ditunjuk sebagai pemotong dan pemungut pajak sesuai ketentuan
peraturan perundang undangan perpajakan.
Tata cara pendaftaran
Telah diukur kembali melalui peraturan Direktorat jenderal pajak No. PER-
20/PJ/2013 sebagaimana telah diubah dengan peraturan direktorat jenderal pajak No. PER-
38/PJ/2013. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait peraturan tersebut dapat disajikan
sebagai berikut: syarat-syarat dan dokumen yang disyaratkan sebagai kelengkapan
permohonan pendaftaran No pokok wajib pajak atau NPWP.
Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Definisi NPPKP adalah Nomor yang diberikan kepada pengusaha yang memenuhi
syarat sebagai pengusaha kena pajak. Pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang
melakukan penyerangan Barang kena pajak dan penyerahan jasa kena pajak yang dikenai
pajak berdasarkan undang undang PPN.
Fungsi dari NPPKP adalah sebagai berikut:
a. Sebagai identitas pkp yang bersangkutan
b. Melaksanakan hak dan kewajiban dibidang pajak pertambahan nilai dan pajak
penjualan atas barang mewah.
c. Pengawasan administrasi perpajakan
Pencabutan
Pencabutan pengukuhan PKP dilakukan terhadap PKP yang sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang perpajakan dalam hal:
1. PKP dengan status wajib pajak non efektif
2. PKP yang tidak diketahui keberadaan dan kegiatan usahnya
3. PKP menyalahgunakan pengukuhan PKP
4. PKP pindah alamat ke wilayah kerja kantor pelayanan pajak lain
5. PKP yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai PKP
6. PKP telah dipusatkan tempat terutangnya pajak pertambahan nilai di tempat lain.
Sanksi
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP dan
atas perbuatannya tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Surat Pemberitahuan\
SPT adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan
atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan
kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
a. Jenis dan bentuk SPT.
Jenisnya meliputi SPT Tahunan, dan SPT Masa yang terdiri dari SPTMasa PPN dan
SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN. Bentuk SPT meliputi formulir kertas (hardcopy), dan
dokimen elektronik (e-spt).
b. Pengisisan dan penyampaian SPT
- Setiap WP wajib mengisi SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf
latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor.
- WP yang telah mendapat izin Menteri keungan untuk menyelenggarakan pembukuan
dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang rupiah.

c. Fungsi SPT
- Wajib pajak PPh
- Pengusaha Kena Pajak
- Pemotong/ pemungut
d. Tempat pengambilan SPT dan Pengisian SPT
e. Ketentuan tentang Penyampaian SPT
- SPT dapat disampaikan secra langsung atau melalui Pos secara tercatat ke KPP, KP4
atau KP2KP setempat.
- Batas waktu penyampaian, a. Penyampaian SPT Tahunan PPh Badan paling lambat 4
bulan sejak akhir Tahun pajak; b. Wjib pajak dengan kriteria tertentu dapat
melaporkan beberapa masa pajak dalam 1 SPT Masa; c. SPT Masa, paling lambat dua
puluh hari setelah akhir masa pajak; d. SPT Tahunan PPh orang pribadi, paling lambat
tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak.
- SPT yang disampaikan langsung ke KPP/KP4 diberikan bukti penerima.
f. Sanksi tidak atau terlambat menyampaikan SPT
SPT yang tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu yang
ditentukan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda:
1. SPT Tahunan PPh orang pribadi Rp. 100 ribu;
2. SPT Tahunan PPh badan Rp. 1 juta;
3. SPT Masa PPN Rp. 500 ribu;
4. SPT Masa lainnya Rp. 100 ribu.
g. Pembetulan SPT
untuk pembetulan SPT atas kemauan WP sendiri dapat dilakukan sampai dengan
daluwarsa, kecuali untuk SPT rugi atau SPT lebih bayar paling lama 2 tahun sebelum
daluwarsa, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan
Surat Setoran Pajak
SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh menteri keuangan. Fungsi SSP sebagai bukti pembayaran
pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau
apabila telah mendapatkan validasi.
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atas
masa pajak ditetapkan oleh menteri keuangan dengan batas waktu tidak melewati 15 (lima
belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir.
Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan sanksi denda administrasi bunga
2% sebulan dari pajak terutang dihitung dari jatuh tempo pembayaran.
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT tahunan harus dibayar
lunas sebelum SPT pajak penghasilan disampaikan.
e-Biling adalah metode pembayaran pajak secara elektonik menggunakan Kode
Biling.
Surat Ketetapan Pajak
Penerbitan suatu surat ketetapan pajak (SKP) hanya terbatas kepada WP tertentu yang
disebakan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal
yang tidak dilaporkan oleh WP.
a. Fungsi surat ketetapan pajak
1. Sarana untuk melakukan koreksi fiksi terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau
kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
2. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan
3. Saranan administrasi untuk melakukan penagihan pajak
4. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar
5. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang
b. Jenis-jenis ketetapan pajak
1. Surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB)
2. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT)
3. Surat ketetapan pajak lebih bayar (SKPLB)
4. Surat ketetapan pajak nihil (SKPN)
5. Surat tagihan pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau
sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
c. Daluwarsa penetapan pajak dan pembetulan ketetapan pajak
Ditentukan dalam jangka waktu 5 tahun sejak akhir masa pajak atau bagian tahun
pajak.
d. Kesalhan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang dapat dibetulkan .
e. Ketetapan pajak yang dibetulkan
f. Jangka waktu penyelesaian permohonan wajib pajak dan pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi.
g. Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar
h. Permintaan penjelasan/ pemberian keterangan tambahan
i. Pembetulan ketetapan pajak dan kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak
yang dapat dibetulkan
j. Jangka waktu penyelesaian permohonan wajib pajak
k. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
l. Pengurangan atasu pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.
Kewajiban Dan Hak Wajib Pajak
a. Kewajiban wajib pajak adalah:
1. Mendaftar diri untuk NPWP
2. Melaporkan usahanya untuk PKP
3. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar
4. Mengisi SPT dengan benar, dan melaporkannya ke KPP dalam waktuyang
ditentukan.
5. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan
b. Hak-hak wajib pajak adalah:
1. Mengajukan surat keberatan dan banding
2. Menerima tanda bukti pemasukan SPT
3. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukan
4. Mengajukan Permohonan penundaan penyampaian SPT
5. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat
ketetapan
6. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta pembetulan
surat ketetapan pajak yang salah
7. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban perpajaknnya
8. Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak
9. Mengajukan keberatan dan banding.
c. Kewajiban pembukuan dan pencatatan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuanganberupa neraca dan laporan laba rugi untuk
periode tahun tersebut.
d. Syarat- syarat pembukuan dan pencatatan:
1. Diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan
usaha yang sebenarnya.
2. Harus diselenggarakan di indonesia dengan menggunakan huruf latin
3. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat azas catatan mengenai harta
4. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang asing selain rupiah
5. Buku sebagai catatan atau dokumen yang menjadi pembukuan
e. Sanksi tidak melakukan pembukuan dan pencatatan
Tidak mengadakan pembukuan/ pencatatan, pajak yang terutang ditetapkan dengan
SKP ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dan khususuntuk PPh pasal
29 ditambah kenaikan sebesar 50%.

BAB III

SENGKETA DALAM PAJAK

Sanksi Pajak

Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-


undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Sanksi Administrasi
merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang berupa bunga dan
kenaikan. Sanksi Pidana merupakan siksaan atau penderitaan dan merupakan satu alat
terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Menurut
ketentuan dalan undang undang perpajakan ada 3 macam sanksi administrasi, yaitu berupa
denda, bunga, dan kenaikan.
Ketentuan sanksi pidana, menurut ketentuan dalam undang undang perpajakan ada 3
macam sanksi pidana, yaitu : denda pidana. Pidana kurungan, dan pidana penjara.

Keberatan
Dalam kenyataan seringkali terjadi bahwa suatu ketetapan pajak yang telah
diterbitkan oleh DJP ternyata tidak sesuai dengan harapan atau pajak terutang yang
diinginkan versi WP sesuai perhitungannya. Apabila WP berpendapat bahwa jumlah rugi
fiskal, jumlah pajak terutang, dan pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga
ternyata tidak sebagaimana mestinya, atau dapat diartikan WP tidak menyetujui atas
penerbitan suatu surat ketetapan pajak(SKP), maka dalam hal demikian itu WP dapat
mengajukan permohonan keberatan, permohonan keberatan yang diajukan adalah terhadap
materi atau isi dari suatu ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi fiskal, jumlah besarnya pajak,
atau pemotongan atau pemungutan pajak, WP dapat mengajukan permohonan keberatan
kepada direktur jenderal pajak.
Adapun masalah lain yang harus diperhatikan WP dalam mengajukan permohonan
keberatan, sesuai ketentuan pasal 25 ,26 dan 26 A UU KUP 2007 adalah sebagai berikut:
1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, apa jumlah rugi menurut perhitungan WP
dengan disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan.
2. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim SKP atau
sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali apabila WP dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya.
3. Dalam hal WP mengajukan permohonan keberatan atas SKP, WP wajib melunasi
pajak yang harus dibayar paling sedikit jumlah yang telah disetujui dalam
pembahasan akhir pemeriksaan, sebelum Surat keberatan disampaikan.
4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang dimaksud di atas
maka bukan merupakan surat permohonan keberatan sehingga tidak dipertimbangkan
dan oleh karenanya tidak diterbitkan surat keputusan keberatan.
5. Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai DJP ditunjuk untuk
menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat, permohonan keberatan melalui
pos dengan bukti pengiriman surat atau melalui cara lain yang diatur dengan atau
berdasarkan peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda Bukti penerimaan surat
keberatan.
6. Dalam hal WP mengajukan keberatan, maka jangka waktu pelunasan pajak sesuai
dengan ketentuan jumlah temponya, atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan menjadi tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal
penerbitan surat keputusan keberatan.
7. jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan tidak
termasuk sebagai utang pajak yang harus dibayar oleh WP.
8. Direktur jenderal pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat
permohonan keberatan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan
keberatan yang diajukan oleh WP, ketentuan ini berarti terhadap surat keberatan yang
diajukan oleh WP, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan
kepada direktur jenderal pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian
keputusan atas keberatan WP ditetapkan paling lama 12 bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima.
9. Keputusan direktur jenderal pajak atas permohonan keberatan WP dapat berupa
mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah Besarnya jumlah
pajak yang masih harus dibayar.
10. Dalam hal WP mengajukan permohonan keberatan atas SKP, WP yang bersangkutan
harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak terhadap. Ketentuan ini
mengharuskan WP untuk membuktikan ketidakbenaran Ketetapan Pajak dalam hal
WP mengajukan keberatan terhadap pajak Pajak yang ditetapkan secara jabatan, SKP
secara jabatan tersebut diterbitkan karena wifi tidak menyampaikan SPT tahun
meskipun telah ditegur secara tertulis.
11. Apabila jangka waktu 12 bulan telah terlampaui direktur jenderal pajak tidak
memberi suatu keputusan maka keberatan yang diajukan WP dianggap dikabulkan.
12. Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan
peraturan Menteri Keuangan.
13. apabila WP tidak menggunakan hak untuk hadir guna memberikan Keterangan atau
memperoleh penjelasan mengenai keberatannya maka proses keberatannya dapat
diselesaikan.
14. WP yang menggunakan pembukuan, catatan, data, informasi, Apa keterangan lain
dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
Surat keberatan dapat diajukan oleh orang lain, asalkan dilampirkan surat kuasa dari
WP yang bersangkutan.
Banding
Putusan dari badan peradilan pajak ini merupakan keputusan pengadilan khusus di
lingkungan peradilan tata usaha negara ( sesuai ketentuan pasal 27 ayat 2 UU KUP 2007).
Putusan banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap surat keputusan
keberatan yang diajukan oleh wajib pajak. Ada beberapa masalah pokok yang harus
diperhatikan dalam pengajuan permohonan banding oleh WP antara lain:
a) WP dapat mengajukan permohonan banding hanya ditujukan kepada badan peradilan
pajak atas surat keputusan keberatan
b) Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasaIndonesia
c) Mengemukakan alasan-alasan yang jelas
d) Melampirkan salinan surat keputusan keberatan
e) Apabila diminta oleh WP untuk keperluan pengajuan permohonan banding direktur
jenderal pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis tentang hal-hal yang
menjadi dasar surat keputusan keberatan yang diterbitkan
f) Dalam hal WP mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak, atas jumlah pajak
yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan menjadi tertangguh sampai dengan
1 bulan sejak tanggal penerbitan pemutusan banding.
g) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan tidak
termasuk sebagai utang pajak.
h) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum
merupakan pajak yang terutang sampai dengan putusan banding diterbitkan.
i) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagaimana, maka WP
dikenai sanksi administrasi berupa denda 100% dari jumlah pajak berdasarkan
putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.
j) Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan
kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar
sebagaimana dalam SKPKB, SKPKBT, SKPN , dan SKPLB yang telah dibayar
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dimaksud dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 jam.

Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah
data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada
wajib pajak, yang dapat dilakukan dalam hal:
a. Surat pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak.
b. Surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan menunjukkan rugi.
c. Surat pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah
ditetapkan.
d. Surat pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh direktur
jenderal pajak.
e. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada poin c tidak
dipenuhi.
f. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Prosedur pemeriksaan adalah petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan surat
perintah pemeriksaan dan harus memperlihatkan kepada wajib pajak yang diperiksa.
Penyidikan
Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat orang tidak pidana dibidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya. Penyidik dalam tindak pidana perpajakan adalah pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan DCB yang diberikan wewenang khusus sebagai penyidik untuk
melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penagihan Pajak
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa
Sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 19 tahun 2000. Penagih pajak
adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak dengan menegur atau memperingati, melaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, memberitahukan surat paksa, menyusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,
melaksanakan penyanderaan, menjual barang-barang yang telah disita.
Dalam melaksanakan penyitaan, jurusita pajak berwenang memasuki dan memeriksa
semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek Sita
di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau di tempat tinggal penanggung pajak, atau di
tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek Sita.
Surat Perintah penagihan sekerika dan sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan surat
paksa. Surat paksa sekurang-kurangnya meliputi
1. Nama wajib pajak atau nama wajib pajak dan penanggung pajak
2. Dasar penagihan
3. besarnya utang pajak
4. Perintah untuk membayar
Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak,
guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
Setiap melaksanakan penyitaan, jurusita pajak membuat berita acara pelaksanaan Sita yang
ditandatangani oleh jurusita pajak, penanggung pajak, dan saksi-saksi. Barang yang disita
dapat berupa:
1. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening koran,giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada
perusahaan lain.
2. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi tertentu.

Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh pengadilan
negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap barang telah disita tersebut jurusita pajak
menyampaikan surat paksa kepada pengadilan negeri atau instansi lain yang berwenang.
Pencabutan Sita dilaksanakan apabila penanggung pajak telah melunasi biaya penagihan dan
utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan pengadilan pajak atau
ditetapkan lain dengan keputusan Menteri Keuangan atau keputusan kepala daerah.
Penanggung pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap
pelaksanaannya penganderaan hanya kepada pengadilan negeri. Dalam hal gugatan
penanggung pajak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap penanggung pajak dapat memohon rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa
pengendaraan yang telah dijalaninya sebesar Rp100.000 setiap hari.
Permohonan pembetulan atau penggantian penanggung pajak dapat mengajukan
permohonan pembetulan atau penggantian kepada pejabat terhadap surat teguran atau surat
peringatan atau surat lain yang sejenis Surat Perintah penagihan seketika dan sekaligus surat
paksa Surat Perintah melaksanakan penyitaan surat perintah penyanderaan, pengumuman
lelang dan surat penentuan harga limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan dan
kekeliruan
Pengadilan Pajak
Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.

BAB IV

PAJAK PENGHASILAN UMUM

Subjek Pajak

Dalam undang undang No. 36 Tahun 2008 pasal 2, subjek pajak adalah orang dituju
oleh undang undang untuk dikenakan pajak. Nomor PER-43/PJ/2011 Tanggal 28 Desember
2011, yang menjadi Subjek Pajak adalah:

1. Orang pribadi, dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak .
2. Badan, terdiri dari PT. CV, perseroan lainnya, BUMN,BUMD, Persekutuan,
perkumpulan, firma, dan lainnya.
3. Bentuk usaha tetap (BUT)
BUT Adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia.
Berdasarkan lokasi geografis subjek pajak dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
Subjek pajak DN:
a. -Orang pribadi yang bertempat tinggal berada di Indonesia lebih dari 183 hari ( tidak
harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan
- orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
bertempat tinggal di Indonesia
b. subjek pajak badan, badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Subjek pajak warisan, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak.
Objek pajak LN
1. Subjek pada orang pribadi, yaitu: orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia/ berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan
yang:
- Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
- Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
2. Subjek pajak badan, yaitu: badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia yang:
- Menjalankan usaha/ melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
- Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Perbedaan wajib pajak DN dan wajib pajak LN dapat dilihat sebagai berikut:
Wajib pajak DN
- Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh di
Indonesia dan dari luar Indonesia.
- Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto
- Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum ( tarif UU PPh Ps – 17)
- Wajib menyampaikan surat pemberitahuan
Wajib pajak LN
- Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari Sumber
penghasilan di Indonesia
- Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto
- Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan ( tarif UU PPh Ps-26)
- tidak wajib menyampaikan surat pemberitahuan.
Kewajiban pajak subjektif
Dalam undang-undang nomor 36 tahun 2008 pasal 2A, pajak penghasilan merupakan
jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya meletakkan pada subjek pajak bersangkutan,
artinya kewajiban tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya.
Mulai
Subjek Pajak DN OP
1. Saat dilahirkan
2. Saat berada di indonesia / berniat bertempat tinggal di Indonesia.
Subjek pajak DN badan
 Saat berdiri/ bertempat kedudukan di Indonesia
Subjek pajak LN melalui BUT
 saat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di indonesia
Subjek pajak LN tidak melalui BUT
 Saat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
Warisan belum terbagi
 Saat timbulnya warisan yang belum terbagi
Berakhir
Subjek pajak DN OP
 saat meninggal
 Saat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
subjek pajak DN badan
 Saat dibubarkan /tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia
Subjek pajak LN melalui BUT
 Saya tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia
Subjek pajak LN tidak melalui BUT
 Saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
Warisan belum terbagi
 Saat warisan selesai dibagikan

Objek pajak
Menurut undang-undang pajak penghasilan nomor 36 tahun 2008 di dalam pasal 4
ayat 1 sebagai berikut:
a) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yang dimana setiap tambahan
kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat diakui untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk
apapun termasuk a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh, b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan
penghargaan; c. Laba usaha; d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan
harta, dan lain sebagainnya.
Dilihat dari mengalir atau inflowpenghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
I. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerja bebas
II. Penghasilan dari usaha dan kegiatan
III. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta
IV. Penghasilan lain-lain, yaitu:
a. Keuntungan karena pembebasan utang
b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
d. Hadiah undian.
Wajib pajak dn yang menjadi objek pajak adalah penghasilan baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia. Wajib pajak yang menjadi objek pajak adalah hanya
penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.
Tidak termasuk objek pajak
Menurut undang-undang pajak penghasilan Nomor 36 tahun 2008 di dalam pasal 4
ayat 3 sebagai berikut:
a. Bantuan atau sumbangan, dan harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat dan oleh badan keagamaan atau Badan
Pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Men keu.
b. Warisan
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyetoran modal
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan kecelakaan dan lain-lain
f. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai wajib pajak DN.
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh men keu, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang
tertentu
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham persekutuan dan lain-lain
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan Reksadana selama 5 tahun
pertama sejak pendiri perusahaan atau pemberian izin usaha
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan Usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia
l. Beasiswa
m. Bantuan dari lembaga sosial.
Dasar pengenaan pajak
WP DN atau BUT yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena
Pajak. WP LN yang menjadi dasar penghasilan bruto
Ada 2 cara menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak :
1. Penghitungan PPh dengan dasar pembukuan

Peng kena pajak WP badan :


Peng kena pajak=peng bruto – biaya yang diperkenalkan UU PPh

Penghasilan kena pajak WP OP:


Penghasilan kena pajak= (penghasilan bruto- biaya yang diperkenakan UU PPh)- PTKP
2. perhitungan PPH dengan dasar pencatatan
Norma penghasilan ada dua yaitu:
1. Norma perhitungan penghasilan neto
BerdasarkanPER-17/PJ/2015 Tanggal 10 aprol 2015. Wajib pajak op yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun
kurang dari 4 4800000000 rupiah boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
norma perhitungan penghasilan neto dengan cara memberitahukan kepada direktur jenderal
pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Kewajiban WPOP yang menghitung penghasilan neto nya dengan menggunakan norma
penghitung penghasilan neto ini wajib menyelenggarakan pencatatan.
Besarnya norma perhitungan penghasilan neto atas daftar persentase norma penghitungan
penghasilan neto dikelompokkan Menurut wilayah sebagai berikut: a. 10 ibukota provinsi
yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado,
Makassar, dan Pontianak; b. Ibukota provinsi lainnya; c. Daerah lainnya.
Penghitungan penghasilan neto wajib pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau
pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas dengan
memperhatikan pengelompokan wilayah pengenaan norma. Cara menghitung besar
penghasilan neto adalah penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara
mengalikan angka persentase norma penghitungan penghasilan neto dengan peredaran bruto
atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam satu tahun pajak.
2. Norma perhitungan penghasilan bruto
Peredaran atau penerimaan bruto dan atau Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau
diperoleh; penghasilan yang bukan objek pajak atau penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final. Cara pelunasan pajak
1 pelunasan pajak tahun berjalan; dimana pembayaran sendiri oleh WP angsuran bulanan
untuk bulan sebelum batas waktu pembayaran SPT tahunan PPH sebesar jumlah angsuran
pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu, sepanjang tidak kurang dari rata-rata
angsuran bulanan tahun pajak yang lalu dan pembayaran pajak melalui pemotongan atau
pemungutan pihak ketiga berupa kredit pajak yang dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak
terutang selama tahun pajak.
2 pelunasan pajak sesudah akhir tahun, dimana membayar pajak yang kurang disetor yaitu
dengan menghitung PPH terutang dikurangi jumlah kredit pajak. Dan membayar pajak yang
kurang disetor berdasarkan SKP.
Tarif pajak
Berdasarkan undang-undang nomor 36 tahun 2008 pasal 17, tarif pajak penghasilan yang
diterapkan atas penghasilan kena pajak adalah sebagai berikut:
Untuk WP OP DN
Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak
Sampai dengan Rp.50.0000.000,00 5%
Di atas Rp 50.0000.000,00 sampai dengan Rp
15%
250.0000.000,00
Diatas 250.0000.000,00 sampai dengan Rp. 500.0000.000,00 25 %

Diatas Rp. 500.0000.000,00 30%

Untuk WP Badan DN dan BUT


Tahun pajak penghasilan Tarif pajak
Tahun 2009 28%
Tahun 2010 dst... 25%

Pengurangan penghasilan atau biaya


Beban beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi WP DN dan but.
1 beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 tahun merupakan
biaya pada tahun yang bersangkutan
2 Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun pembuatannya
dilakukan melalui penyusutan atau melakukan amortisasi.
Berdasarkan undang-undang penghasilan nomor 36 tahun 2008 pasal 6 dan pasal 9,
pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh WP dapat dibedakan:
1 pengeluaran yang dapat dibedakan sebagai biaya ( deductible expenses)
2 Penyusutan atas pengeluaan untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun
3 Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh men keu
4 Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan menagih dan memelihara
penghasilan.
5 Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya ( non deductible
expenses)
6 Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden, termasuk
deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi
7 Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih
untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha
asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
8 Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura kenikmatan, kecuali penyajian makanan dan minuman bagi
seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan
di daerah tertentu
9 Gaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP/ orang yang
menjadi tanggungannya
10 sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
11 Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang PP hanya
dihitung dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan netto.
Penyusutan dan amortisasi
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta
tersebut melalui penyusutan.

BAB 5
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
1. Definisi Pajak Penghasilan Pasal 21
Ialah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain yang diterima atau diperoleh WP orang prbadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
2. Pemotong PPH Pasal 21
1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan
2. Bendahara pemerintah baik Pusat maupun Daerah
3. Dana pension atau badan lain seperti Jamsostek dan badan-badan lainnya.
4. OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar
honorarium atau pembayaran lain kepada jasa tenaga ahli, prang pribadi dengan status
subjek pajak luar negeri, peserta pendidikan, pelatihan dan magang
5. Penyelenggara kegiatan termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional
dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan.

3. Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPH Pasal 21


1. Pegawai
2. Penerima uang pesangon, pension atau uang manfaat pension, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warasnya
3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan
4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.

4. Penerima Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPH Pasal 21


1. Perjabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat:
a. Bukan WNI
b. Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasil lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik.
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri
keuangan sepanjang bukan WNI dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

5. Penghasilan yang Dipotong PPH Pasal 21


1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pension secara teratur berupa uang
pension atau penghasilan sejenisnya
3. Penghasilan sehubungan dengan PHK dan penghasilan sehubungan dengan pension
yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pension, tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan
5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dalam bentuk apapun, dan
imbalan sejenis dengan nama apapun.

6. Penghasilan yang Tidak Dipotong PPH Pasal 21


1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa
2. Penerima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh WP atau Pemerintah, kecualidiberikan oleh bukan WP, WP yang
dikenakan PPH yang bersifat final dan yang dikenakan PPH berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit)
3. Iuran pension yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh MenKeu dan iuran tunjangan hari tua atau iuaran jaminan hari tua
4. Zakat yang diterima oleh OP yang berhak dari badan zakat yang dibentuk oleh
Pemerintah
5. Beasiswa yang diterima WNI dari WP pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti
pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri.

7. Ketentuan Lain-Lan
1. Pemotong PPH Pasal 21 dan penerima Penghasilan yang dipotong PPH Pasal 21 wajib
mendaftarkan diri ke KPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawi yang menerima penghasilan
dari pemotong PPH Pasal 21 secara berkesinambungan dalam satu tahun kalender.
3. Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, pegawai penerima pensiun secara
berkala dan bukan pegawai yang menerima penghasilan dari pemotomng PPH Pasal 21
secara berkesinambungan dalam1 tahun kalender wajib memberi pernyataan baru dan
menyerahkannya kepada pemotong PPH Pasal 21 paling lambat sebelum mulai tahun
kalender berikutnya.
4. Pemotong PPH Pasal 21 wajib membuat dan memberikan Bukti Pemotongan PPH
pasal 21 kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak.

8. Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun


Biaya jabatan ialah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
besarnya 5% dari penghasilan burto, setinggi-tigginya sebesar Rp 6.000.000 setahun atau RP
500.000 sebulan. Biaya pensiun ialah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memliahara
uang pensiun yang besarnya 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun setinggi-
tingginya sebesar Rp 2.400.000 setahun atau Rp 200.000 sebulan.

9. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


PTKP berdasarkan Peraturan MenKeu RI No 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian
Besarnya PTKP yang ditetapkan pada 27 Juni 2016. Dengan berlakunya peraturan PTKP ini
maka mulai tahun 2016, masyarakat Indonesia yang memiliki penghasilan sampai dengan Rp
54 juta tidak akan dikenakan pajak. PTKP dilihat menurut keadaan WP pada 1 januari untuk
WP Dalam Negeri dan keadaan pada saat datang ke Indonesia untuk WP Luar Negeri.
Berikut ialah jumlah PTKP terbaru:
1. Untuk diri WP orang pribadi = Rp 54. 000.000,-
2. Tambahan untuk wajip pajak kawin = Rp 4. 500.000,-
3. Tambahan untuk penghasilan istri yang digabung
dengan penghasilan suami = Rp 54. 000.000,-
4. Tambahan untuk anggota keluarga (max 3 orang) = Rp 4. 500.000,-
Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
orang untuk setiap keluarga.

10. Tarif PPH Pasal 21


Tariff PPh Pasal 21 ialah menggunakan tariff pasal 17 Undang-undan pajak penghasilan
No. 36 Tahun 2008, sebagai berikut
Lapisan PKP Tarif Pajak
0 – 50.000.000 5%
Diatas 50.000.000 – 250.000.000 15%
Diatas 250.000.000 – 500.000.000 25%
Diatas 500.000.000 30%

Tariff pajak untuk yang tidak ber-NPWP sebesar 20% lebih tinggi dari tariff yang ber-
NPWP di atas.

11. PPH Pasal 21 Final


Tariff PPh pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:
 Sebesar 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00;
 Sebesar 5% atas penghasilan bruto diatas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp
100.000.000,00;
 Sebesar 15% atas penghasilan bruto diatas Rp 100.000.000,00 sampai dengan Rp
500.000.000,00;
 Sebesar 25% atas penghasilan bruto diatas Rp 500.000.000,00.
Tariff sebesar 15% dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto berupa honorarum
yang diterima oleh pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI yang sumbernya berasal dari keuangan
Negara atau keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan kepada PNS golongan II D ke bawah
dan anggota TNI/POLRI berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau Ajun Inspektur
Tingkat Satu ke bawah.

12. Cara Menghitung PPH Pasal 21


PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TETAP DAN
PENERIMA PENSIUN BERKALA

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan
menjadi 2, yaitu:
1. Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk setiap masa pajak, yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21,
selain masa pajak desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja;
2. Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan
pemotongan PPh Pasal 21 tang terutang untuk masa pajak desember atau masa pajak di
mana pegawai tetap berhenti bekerja.
Penghitungan kembali ini dilakukan pada:
a. Bulan dimana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun;
b. Bulan desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun kalender dan bagi
penerima pensiun yang menerima uang pensiun sampai akhir tahun kalender.
I.1. Penghitungan Masa selain Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap
berhenti bekerja:
a. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur
b. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur
I. 1. a. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur
I. 1. a. 1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur bagi pegawai tetap
1. a. Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap, terlebih dahulu
dihitung seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang
meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang
lembur dan pembayaran sejenisnya.
b. Untuk perusahaan yang masuk program BPJS Ketenagakerjaan, premi Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JK), premi Jaminan Hari Tua (JHT) dan
premi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan
penghasilan bagipegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa
yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya.
Dalam menghtung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang
dibyarakan oleh pemberi kerja kepada pegawai.
c. Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangipenghasil bruto sebulan dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun, iuran JHT
yang harus dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada
Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh MenKeu atau kepada BPJS
Ketenagakerjaan.

2. a. Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yitu jumlah penghasilan neto sebulan
dikalikan 12.
b. Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai wajip pajak
dalam negeri sudah ada seja awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari, maka
penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan penghasilan neto sebulan dengan
banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan
Desember.
c. selanjutnya dihitung PKP sebagai dasar penerapan tariff pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh,
yaitu sebesar penghasilan neto setahun pada huruf a atau b di atas dikurangi PTKP.
d. Setelah diperoleh PPh terutang dengan menerapkan tariff pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
terhadap PKP sebagaimana dimaksud pada huruf c, selanjutnya dihitung PPh Pasal 21
sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke kas Negara yaitu sebesar:
1) jumlah PPh pasal 21 setahun atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dibagi
dengan 12 atau;
2) jumlah PPh pasal 21 setahun atas penghasilan sebagaiman yang dimaksud pada huruf b
dibagi banyaknya bulan yang menjadi factor pengali sebagaimana dimaksud pada huruf b.

3.a. Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji sebulan,
maka untuk penghitungan PPh pasal 21, jumlah penghasilan tersebut terlebih dahulu
dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan factor perkalian sebagai berikut:
1) gaji untuk masa semnggu dikalikan dengan 4;
2) gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26
b. Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh pasal 21 sebulan dengan cara seperti
sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam angka 2 di atas.
c. PPh pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh pasal 21 sebulan dalam
huruf b dibagi 4, sedangkan PPhpasal 21 atas penghasilan sehari dihitung berdasarkan PPh
Pasal 21 sebulan dalam huruf b dibagi 26.

4. Jika kepada pegawai di samping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaika gaji yang
berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas rapel
tersebut adalah sebagai berikut:
a. rapel dibagi banyaknya bulan perolehan rapel tersebut (dalam hal ini 5 bulan);
b. hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya
kenaikan gaji, yang sudah dikenakan pemotong PPh pasal 21;
c. PPh pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali atas dasar
gaji baru setelah ada kenaikan;
d. PPh pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud adalah selisih antara
jumlah pajak yang dihitung berdasarkan huruf c dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong
sebagaiman disebut pada huruf b.

5. Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji yang didasarkan masa gaji kurang dari
satu bulan juga dibayar gaji lain mengenai masa yang lebih lama dari satu bulan (rapel)
seperti dalam angka 4, maka cara penghitungan PPh pasal 21-nya adalah sesuai dengan yang
telah ditetapkan dalam angka 4 dengan memperhatikan ketentuan dalam angka 3.

I. 1. a. 2. Penghitungan PPh pasal 21 atas penghasilan teratur bagi penerima pensiun berkala
1. penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang diterima atau diperoleh
penerima pensiun pada tahun pertama pensiun adalah sebagai berikut:
a. terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi
penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan banyaknya bulan sejak
pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan desember;
b. penghasilan neto pensiun sebagaiman tersebut pada huruf a ditambah dengan penghasilan
neto dalam tahun yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi pekerja
sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti
pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
c. untuk menghitung PKP, jumlah penghasilan pada huruf b tersebut dikurangi dengan
PTKP, dan selanjutnya dihitng PPh pasal 21 atas PKP tersebut;
d. PPh pasal 21 atas uang pensiun dala tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara
mengurangi PPh pasal 21 dalam huruf c dengan PPh pasal 21 yang terutang dari pemberi
kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun dengan yang tercantum dalam bukti
pemotongan PPh pasal 21 sebelum pensiun;
e. PPh pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh pasal 21 seperti tersebut
dalam huruf d dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

2. Penghitungan PPh pasal 21 atas uang pensiun bulanan untuk tahun kedua dan selanjutnya
adalah sebagai berikut:
a. Terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun;
b. Selanjutnya PPh pasal 21 dihitung dengan cara penghitungan untuk pegawai tetap pada
butir 1.1.a.1 angka 2 huruf a, c, dan d.
I. 1. b. Penghitungan PPh pasal 21 dihitung atas penghasilan tidak teratur bagi pegawai tetap
1. Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi,
tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya
dibayarkan sekali setahun, maka PPh pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagai
berikut:
a. Dihitung PPh pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan
penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
b. Dihitung PPh pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa
produksi, dan sebagainya.
c. Selisih antara PPh pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan b adalah PPh pasal 21 atas
penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebaginya.

2. dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun,
namun baru mulai bekerja setelah bulan januari, maka PPh pasal 21 atas penghasilan yang
tidak teratur tersebut dihitung dengan cara sebagamana pada butir 1 dengan memperhatikan
ketentuan mengenai penghitungan PPh pasal 21 bulanan atas penghasilan teratur pada butri
I.1.a.1 angka 2 huruf b, c, dan d di atas.

BAB 6
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
1. Pengertian PPH Pasal 22
PPh pasal 22 ialah pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah, instansi atau
lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga tinggi lainnya.

2. Pemungut dan Objek PPH Pasal 22


1. Bank Devisa dan Dirjen Bea Cukai (DJBC), atas impor barang;
2. Dirjen Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah yang melakukan
pembaran, atas pembelian barang;
3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari
APBN dan APBD, kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;
4. BI, Perusahaan Pengelola Aset (PPA), BULOG, PT. Telekomunikasi Indonesia, PT. PLN,
PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN
yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun Non
APBN;
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industry semen, industry rokok, industry kertas,
industry baja dan industry otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala KPP, atas penjualan hasil
produksinya di dalam negeri;
6. Produsen atau importer bbm, gas, dan pelumas atas penjualan bbm, gas, dan pelumas.
7. Industry dan eksportir yang bergerak dalam sector perhutanan, pekebunan, pertanian, dan
perikanan, yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industry atau ekspor mereka darai pedagang pengumpul.
8. WP badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
3. Tarif PPH Pasal 22
Menurut Peratura MenKeu nomor 107/PMK.010/2015 tanggal 8 Juni 2015 Tentang
pemungutan pajak penghasil pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan
barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, diatur sebagai
berikut:
1. Atas impor:
a. Yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% dari nilai impor;
b. Yang tidak menggunakan API 7,5% dari nilai impor;
c. Yang tidak dikuasai, 7,5% dari harga jual lelang;
d. Nilai impor adalah penjumlahan dari nilai Cost, Insurance, Freight, Bea Masuk, dan
Bea Masuk Tambahan.
2. atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPb, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD (lihat pemungut dan objek PPh pasal 22 butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% dari
harga pemeblian tidak termasuk PPN dan tidak final.
3. Atas penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek PPh pasal 22 butir 5)
ditetapkan berdasrkan Keputusan DJP, yaitu:
a. Kertas = 0,1% × DPP PPN (tidak final)
b. Semen = 0,25% × DPP PPN (tidak final)
c. Baja = 0,3% × DPP PPN (tidak final)
d. Otomotif = 0,45% × DPP PPN (tidak final)
e. Obat = 0,3% × DPP PPN (tidak final)
f. Rokok = 0,1% × Harga Bandrol (bersifat final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importer bbm,
gas, dan peluma ialah sebagai berikut:
a. Premium dan solar utk SPBU Swasta = 0,3% dari penjualan.
b. Premium dan solar utk SPBU Pertamina = 0,25% dr penjualan
c. Premix/Super TT utk SPBU Swasta = 0,3% dr penjualan
d. Premix/Super TT utk SPBU Pertamina = 0,25% dr penjualan
e. Minyak tanah, Gas LPG, Pelumas = 0,3% dr penjualan
Catatan: pungutan PPh pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen
bersifat tidak final.
5. perusahaan sector kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, wajib
memungut PPh pasal 22 sebesar 0,25% atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industry
atau ekspor oleh badan usaha industry atau eksportir.
6. badan usaha yang memproduksi emas batangan wajib memungut PPh pasal 22 sebesar
0,45% dari harga jual emas batangan.
7. industry atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, wajib memungut PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari
harga beli dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan.
8. atas penjualan barang mewah sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan
PPnBM.
9. untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 10% lebih tinggi dari tariff PPh pasal22.

4. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22


1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peratura
perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan SKB.
2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau PPN; dilaksanakan oleh
DJBC.
3. Impor sementara jika waktu impornya nyat-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintahatau yang lainnya yang jumlahnya
paling banyak Rp. 2.000.000,- dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos.
6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendanharaan dan
Kas Negara.
8. Impor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang ditentukan
oleh Dirjen BC.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh BULOG.

5. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22


1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk.
2. Atas pembelian barang (lihat pemungut dan objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4)
3. Atas penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek PPh Pasal 22 butir 5)
4. Atas penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek PPh Pasal 22 butir 6) dipungut
pada saat penerbitan Surat Perintah Barang (Delivery Order)
5. Atas pembelian bahan-bahan (lihat pemungut dan objek PPh Pasal 22 butir 7) terutang
dan dipungut pada saat pembelian.

6. Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22


1. PPh pasal 22 atas impor barang (lihat pemungut dan objek PPh Pasal 22 butir 1) disetor
oleh importer dengan menggunakan formulir SSPCP. PPh pasal 22 atas impor barang
yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau
bendagara Dirjen BC, dalam jangka wak 1 hari setelah pemungutan pajak dan
dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 hari setelah batas waktu
penyetoran pajak berakhir.
2. PPh pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saar pembayaran Bea Masuk
dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh pasal 22 atas impor harus
dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP
paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
3. PPh pasal 22 atas pembelian barang (lihat pemungut dan objek PPh Pasal 22 butir 2)
disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke bank persepsi
atau kantor pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan
barang.
4. PPh pasal 22 atas pembelian barang (lihat pemungut dan objek PPh Pasal 22 butir 3)
disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau
kantor pos paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
5. PPh pasal 22 atas pembelian barang (lihat pemungut dan objek PPh Pasal 22 butir 4)
disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau
kantor pos paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya dengan menggunakan
formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 hari setelah masa
pajak berakhir.
6. PPh pasal 22 atas penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek PPh Pasal 22
butir 5 dan 7) dan hasil penjualan barang sangat mewah (lihat pemungut dan objek PPh
Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama wajip pajak ke bank persepsi atau
kantor pos paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya dengan menggunakan
formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT masa ke KPP paling lambat 20 hari
setelah masa pajak berakhir.
7. PPh pasal 22 atas penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek PPh Pasal 22
butir 6) disetor oleh pemungut ke banka persepsi atau kantor pos paling lama tanggal
10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pelaporan dilakukan dengan cara
menyampaikan SPT masa ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah masa pajak
berakhir. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh pasal 22
bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran
atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
BAB 7
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
1. Pengertian PPh Pasal 23
PPh pasal 23 ialah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

2. Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23


1. Pemotong PPh Pasal 23:
a. Badan pemerintah;
b. Subjek pajak badan dalam negeri;
c. Penyelenggaraan kegiatan;
d. BUT;
e. Perwakilan perusahaan luar negerinya;
f. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 23:
a. WP dalam negeri;
b. BUT

3. Tarif dan Objek PPh Pasal 23


1. 15% dari jumlah bruto atas:
a. Dividen kecuali pembagian dividen kepada OP dikenakan final, bunga, dan royalty;
b. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
2. 2% dari jumlah bruto atas swa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan.
4. 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, seperti jasa penilai, jasa aktuaris, jasa
akuntansi, jasa hokum, dan sebagainya.

1) Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 10% lebih tinggi dari tariff PPh pasal 23.
2) Yang dimaksud dengan jumlah bruto ialah seluruh jumlah penghasil yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak dalamnegeri atau bentuk
usaha tetap, tidak termasuk:
a. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan danpembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh WP penyedia tenaga kerja kepada
tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan faktur
pembelian);
c. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagi perantara) untuk selanjutnya dibayarkan
kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan
perjanjian tertulis);
d. Pembayaran penggantian biaya yaitu penggantian pembayaran sejumlah yang nyata-
nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.
Jumlah bruto tersebut tidak berlaku:
e. Atas penghasilan yang dibayarkansehubungan dengan jasa catering;
f. Dalam halpenghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan pajak
yang bersifat final;
3) Perhitungan PPh pasal 23 terutang menggunakan jumlah bruto tidak termasuk PPN.

4. Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23


1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP
dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
b. Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividenpaling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;
c. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
d. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
e. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.

5. Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23


1. PPh pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan untuk
dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.
2. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
3. SPT Masa disampaikan ke KPP setempat, paling lambat 20 hari setelah masa pajak
berakhir.
4. Dalam hal jatuh tempo penyetorn atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23 bertepatan
dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau
pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai