Anda di halaman 1dari 20

NAMA : KRISTIAN ADE CHANDRA

NPM : 1506800634

LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA
1. Anatomi dan Fisiologi
Kepala manusia dilindungi oleh tulang tengkorak yang terdiri dari 22 macam
tulang (tidak termasuk tulang di telinga tengah) dan terletak di ujung akhir
tulang vertebra. Tulang tengkorak terdiri dari dua kategori yaitu tulang kranial
dan fasial. Tulang kranial yaitu di bagian frontal, parietal, temporal, oksipital,
spenoid, dan tulang ethmoid. Sementara tulang fasial yaitu terdiri dari tulang
nasal, maksila, zigomatikus, mandibula, lakrimal, palatum, nasal konkae, dan
vomer (Tortora & Derrickson, 2017). Secara umum tulang tengkorak
berfungsi untuk melindungi otak. Fungsi lain yaitu menstabilkan posisi otak,
pembuluh darah, limpatik, dan sistem saraf.
Otak dilindungi oleh rangka dibagian luar dan oleh tiga lapisan di bagian
dalam yaitu berupa jaringan ikat yang disebut dengan meninges. Lapisan ini
terdiri dari pia mater (bagian dalam), arakhnoid (tengah), dan duramater (luar).
Di lapisan arakhnoid terdapat ruang yang berisi cairan serebrospinalis
fungsinya yaitu sebagai bantalan untuk jaringan lunak oak dan medulla
spinalis. Duramater merupakan lapisan terlur yang mengelilingi spinal cord
dan terdiri dari lapisan kolagen tebal. Kemudian di lapisan duramater terdapat
ruang subdural yang memisahkan duramate dengan arakhnoid dan ruang
epidural antara periostenal luar dengan lapisan meningeal.

Lapisan meningeal kedua yaitu arakhnoid. Lapisan ini terdiri dari ruang
subaraknoid yang berisi cairan serebrospinalis dan pembuluh darah serta
jaringan penghubung seperti selaput untuk mempertahankan posisi arakhnoid
terhadap pia mater. Lapisan ketiga yaitu pia mater yang merupakan lapisan
terdalam. Lapisan ini halus dan tipis. Lapisan ini mengandung banyak
pembuluh darah untuk mensuplai jaringan saraf .

Otak merupakan bagian dari sistem saraf pusat. Otak atau ensefalon
dilindungi oleh tulang tengkorak (kranium), terdiri dari 4 bagian utama yaitu
serebrum, serebelum, diensefalon, dan batang otak. Serebrum terbagi
menjadi 4 lobus. Lobus frontalis mempunyai fungsi untuk pikiran sadar,
berpikir abstrak, reaksi afektif, memori, dan penilaian permulaan aktivitas
motorik. Lobus parietalis berfungsi untuk proses fungsi sensorik dan asosiasi
persepsi sensorik. Lobus temporalis merupakan tempat pemrosesan informasi
auditorius dan asosiasi auditorius. Lobus oksipitalis seabgai tempat
pemrosesan visual dan asosiasi.

Sumber (Tortora & Derrickson, 2017)


Serebelum terletak dibawah lobus oksipitalis serebrum dan merupakan bagian
terbesar kedua otak manusia. Serebelum terdiri dari lapisan putih pada bagian
dalam dan lapisan luar abu-abu. Serebelum berperan dalam keseimbangan,
postur, gerakan halus, dan koordinasi. Diensefalon merupakan bagian yang
mengelilingi ventrikel ketiga. Diensefalon terdiri dari talamus dan
hipotalamus. Talamus terdiri dari materi abu-abu merupakan struktur
berbentuk dumbell yang menyelebungi ventrikel ketiga pada otak. Talamus
mempunyai peran penting dalam mengedalikan dorongan nari dan emosi
misal rasa lapar, takut, dorongan seksual dan memori jangka pendek (Nair &
Peate, 2014).
Batang otak menghubungkan medula spinalis ke bagian pengingat otak dan
bertanggung jawab pada banyak fungsi penting dari 10 dan 12 saraf kranial
otak. Batang otak terdiri dari midbrain, pons, medula oblongota, dan formasi
retikular.
Midbarin atau mesensefalon befungsi sebagai pengontrol kewaspadaan otak.
Pons memegang peranan penting dalam mengatur kecepatan dan lama
pernapasan. Medula oblongota didalamnya terdapat sejumlah pusat refleks
untuk mengatur diameter pembuluh darah, denyut nadi pernapasan, abtuk,
menelan, muntah dan bersin.
Bagian sistem saraf pusat selanjutnya adalah medula spinalis atau korda
spinalis. Korda spinalis merupakan jalur utama aliran informasi bolak-balik
antara otak dengan kulit, persendian, dan otot pada tubuh. Korda spinalis
mempunyai jejaring neuron yang mengatur pergerakan. Korda spinalis terbagi
menjadi empat regio (servical, torakal, lumbal, dan sakral). Tiap regio spinal
dibagi menjadi segmen-segmen dan dari tiap segmen keluar sepasang saraf
spinal. Kemudian saraf spinal dibagi menjadi dua akar yaitu akar dorsal dan
akar ventral (Silverthorn, 2013).
Kemudian secara keseluruhan batang otak terdiri dari 12 saraf kranial yaitu:
1. I Olfaktorius
2. II Optikus
3. III Okulomotorius
4. IV Troklearis
5. VTrigeminus
6. VI Abdusens
7. VII Fasialis
8. VIII Vestibulokokhlearis
9. IXGlosofaringeus
10. X Vagus
11. XI As esorius
12. XII Hipoglosus
Otak mendapat aliran darah sekitar 15% dari total volume darah yang beredar
ke seluruh tubuh darah disuplai oleh arteria vertebralis dan arteri karotis
interna. Dua arteri ini saling bersambungan pad bagian dasar otak untuk
membentuk sirkulus arteri serebri atau sirkulus willis yang menyediakan
suplai darah tambahan ke otak bila salah satu arteri karotis ternganggu.

2. Definisi dan Etiologi


Cedera kepala merupakan terjadinya cedera yang mengenai kulit kepala,
tulang tengkorak, atau otak (Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher, 2014).
Cedera kepala dapat menimbulkan gegar otak, kontusio, hematom, dan fraktur
tulang tengkorak (Timby & Smith, 2010). Traumatic brain injury (TBI)
merupakan hal yang umumnya terjadi sebagai contoh karena kecelakaan
kendaraan bermotor. Penyebab umum lainnya yaitu kekerasan dan jatuh.
Kelompok beresiko terjadinya TBI yaitu individu rentang usia 15-24 tahun
dan laki-laki, dimana rata-rata kejadian dua kali lebih banyak dari perempuan.
Kemudian usia dibawah lima tahun serta lansia (lebih dari 75 tahun) (Hinkle
& Cheever, 2014).
Menurut Lewis et al., (2014) cedera kepala dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:
- Scalp lacerations atau laserasi kulit kepala.
- Fraktur tulang tengkorak dapat dibagi menajdi linear atau depressed,
simple atau comminuted, dan tertutup atau terbuka.
- Trauma kepala yang dikategorikan menjadi trauma fokal atau general.

Fraktur pada tengkorak dapat terbuka maupun tertutup, tipe dan keparahannya
tergantung dari kecepatan, momentum, arah dan bentuk agen cedera, serta
dampak lokasi cedera kepala. Lokasi fraktur dapat menunjukkan manifestasi
klinis. Tanda tanda klinisnya meliputi:
- Battle sign: adanya tanda ekimosis pada daerah mastoid.
- Perdarah telinga, periorbital ekhimosis ( mata berwarna hitam).
- Renorrhea dan Otorrhea : cairan otak yang mengalir melalui hidung dan
telinga.
- Hemotympanum.
- Periorbital echymosis.
- Brill hematom
Comosio Cerebri (gegar otak) biasa disebut cidera kepala ringan Adalah suatu
kerusakan sementara fungsi neurologi yang disebabkan oleh karena benturan
kepala. Umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang
berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit, getaran otak sedikit saja
hanya akan menimbulkan pusing/berkunang-kunang atau juga dapat kehilangan
kesadaran komplet sewaktu gejala. Biasanya tidak merusak struktur tapi
menyebabkan hilangnya kesadaran setelah cidera. Dapat timbul lesu, nausea dan
muntah. Tetapi biasanya dapat kembali pada fungsi yang normal. Pingsan kurang
dari 10 menit-20 menit.
Contosio Cerebri (memar otak). Benturan dapat menyebabkan kerusakan struktur
dari permukaan otak yang mengakibatkan perdarahan dan kematian jaringan
dengan atau tanpa edema. Contosio dapat berupa coup injuri (massa relatif diam)
dan countercoup injuri (Kepala dalam kondisi bebas bergerak). Merupakan cedera
kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah
hemoragi. Pasien berada pada keadaaan tidak sadarkan diri.
- Gejala muncul lebih khas :
- Pasien terbaring, kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal,
kulit dingin dan pucat, defekasi dan berkemih tidak disadari, tekanan darah
dan suhu tidak normal. Gangguan kesadaran lebih lama. Kelainan neurologik
positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsi. Gejala TIK
meningkat.Amnesia retrograd lebih nyata.
Berdasarkan keparahan atau derajat kesadaran cedera kepala dibagi menjadi 3
yaitu :
a. Cidera kepala ringan.(55%)
- GCS : 13-15
- Kehilangan kesadaran kurang dari atau sama dengan 30 menit atau kurang
dari sama dengan 2 jam.
- Tidak ada fraktur tengkorak, contosio/hematom.
- Pusing  10 menit, tidak ada deficit neurology
- Gambaran scaning otak normal
b. Cidera kepala sedang.(24%)
- GCS : 9-12.
- Kehilangan kesadran/ Pingsan . > 10 menit sampai 30 menit (bahkan bisa
24 jam atau antara 2-6 jam
- Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
- Terdapat deficit neurology
- Gambaran scanning otak abnormal
c. Cidera kepala berat.(21%)
- GCS: 3-8
- Kehilanggan kesadaran Pingsan > 6 jam sampai lebih dari 24 jam
- Contosio cerebri, laserasi/adanya hematom/edema serebral
- Defisit neurology terjadi
- Gambaran scaning otak abnormal

3. Manifestasi Klinis
a. Fraktur tulang tengkorak.
- Frontal.
Expose otak dengan agen yang mengkontaminasi melalui sinis frontal
dapat terlihat CSF rinorrhea (kebocoran CSF dari hidung), pneomo
cranium.
- Orbital: Echimosis peri orbital
- Temporal : Otak temporal menebal karena akstravasai darah, battle
sign.
- Parietal : Tuli, CSF atau otorrhea (kebocoran CSF dari telinga), otak,
membrane timpani bengkok karena darah .
- Posterior : Buta karena memar oksipital, penurunan lapang pandang,
atraksia.
- Basiler : Otorrhea, membrane timpani membengkak, battle sign,
vertigo.
- Komusio : Hilang kesadaran selama 5 menit atau kurang amnesia
retrograde post traumatic, pusing, sakit kepala, mual,dan muntah-
muntah.
b. Kontusio.
- Kontosio cerebral
- Lobus temporal: agitasi, kebingungan tetapi tetap terjaga.
- Lobus frontal: hemi paresis
- Froto temporal: apasia.
c. Kontosio batang otak
- Terjadi gangguan kesadaran selama beberapa jam, hari/minggu
- Respirasi dapat normal, atraksia, periodic atau sangat cepat.
- Pupil biasanya kecil, sama dan reaktif.
- Gangguan gerakan bola mata.
d. Gangguan kesadaran, konfusi, awitan tiba-tiba deficit neurologist,
perubahan tanda-tanda vital, disfungsi sensori, kejang otot, syok mungkin
menunjukkan cedera multi system, suhu tubuh yang sulit dikendalikan,
tekanan darah menurun, bradikardia, papil edema, kesadaran makin
menurun.
4. Patofisiologi
Cedera di otak tidak sama dengan cedera di area lain, hal tersebut berkaitan
dengan tulang tengkorak yang merupakan bagian yang rigid. Ketika terjadi
perdarahan bagian otak tidak dapat ekspansi. Oleh karena itu saat terjadi
perdarahan didalam tengkorak meningkatkan volume dan tekanan intrakranial
(ICP). Hal tersebut menyebabkan penurunan aliran darah ke otak, menurunkan
jumlah oksigen yang di salurkan dan produk sampah. Sel menjadi anoxic dan
tidak dapat melakukan metabolisme dengan baik, kemudian terjadi iskemia,
infark, kerusakan otak irreversibel dan dapat terjadi kematian jaringan otak
(Lewis et al., 2014).
Pada cedera kepala terbuka berpotensial terjadi infeksi karena struktur otak
terpapar dengan lingkungan. Pada fraktur basilar yang terletak di dasar
tengkorak trauma tersebut dapat menyebabkan edema otak dekat foramen
magnumm menganggu sirkulasi cairan serebrospinal, cedera saraf, dapat
terjadi infeksi antara otak dengan telinga tengah, dan dapat terjadi meningitis
(Timby & Smith, 2010).
5. Komplikasi ((Lewis et al., 2014)
- Epidural hematome. Merupakan perdarahan antara lapisan duramater
dengan lapisan dalam otak. Tanda dari perdarahan ini adalah adanya
periode tidak sadar pada saat kejadian, penurunan kesadaran, sakit kepala,
mual dan muntah.
- Subdural hematome terjadi perdarahan antara duramater dengan
arakhnoid. Dapat terjadi penekanan jaringan otak, peningkatan ICP dan
penurunan kesadaran serta nyeri kepala. Dapat terjadi edema serebral yang
disebabkan oleh peningkatan ICP.
- Intraserebral hematome terjadi perdarahan di jaringan otak.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain :

CT scan (tanpa/dengan kontras)


Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menetukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak, adanya nyeri kepala, mual, muntah,
kejang, penurunan kesadaran. Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan
karena pada iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam
pasca trauma.
b. MRI.
Mengidentifikasi patologi otak atau perfusi jaringan otak, misalnya
daerah yang mengalami infark, hemoragik. Digunakan sama seperti CT-
Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Angiografi cerebral.
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran caiaran otak
akibat edema, perdarahan, dan trauma.
d. EEG
Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
e. Sinar X-Ray
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak (fraktur),
pergeseran srtuktur dari garis tengah (kerena perdarahan, edema), adanya
fragmen tulang.
f. BAER (Brain Auditori Evoked Respon)
Menentukan cortek dan batang otak/otak kecil
g. PET (Positron Emission Tomografi)
Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak
h. Pungsi lumbal
Dapat menduga kemungkin adanya perdarahan sub araknoid, dan
menganalisa cairan otak.
i. Gas Darah
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenisasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
j. Kimia/elektrolit darah
Mengetahui ketidakseimbangan cairan/ elektrolit yang berperan dalam
meningkatkan TIK / perubahan mental.
7. Medikasi
1. Jika terdapat luka pada kulit kepala, diusahakan ditutup, dan kontrol
perdarahan yang terjadi.
2. Luka pada kulit kepala yang tidak diatas fraktur, segera dianastesi local,
dibersihkan dan dijahit.
3. Pada depresi tengkorak dilakukan pembedahan untuk menata kembali
fragmen tulang dalan lapisan durameter yang robek.
4. Pembedahan :
- Kraniotomy
Membuka tengkorak untuk mengangkat bekuan darah atau tumor,
menghentikann perdarahan intrakranial, memperbaiki jaringan otak,
atau pembuluh darah yang rusak.
- Kraniaektomy : mengangkat bagian tulang tengkorak.
- Kranioplasty : Memperbaiki tulang tengkorak dengan logam, lempeng
plastik, untuk menutup area yang terbuka dan memperkuat area
kerusakan tulang.
5. Pembedahan. Trepanasi  melakukan evakuasi terhadap perdarahan yang
timbul dan menghentikan perdarahan.
6. Konservatif: Memperbaiki keadaan umum, pemberian vasodilator,
mengurangi edema cerebri.
- Tirah baring total
- Pemberian obat-obatan
- Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

7. Medikasi.
a. Anti Seizure ( serangan tiba-tiba), seperti phenitoin
b. Antagonis, histamine untuk mengurangi resiko stress ulcer.
c. Analgetik : acenaminoven, kodein
d. Diuretik untuk menurunkan TIK
e. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazol
f. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringanya trauma.
8. Pengkajian (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2014)

Aktifitas/Istirahat
Gejala Merasa lemah, Lelah, Kaku, Hilang keseimbangan
Tanda - Perubahan kesadaran
- Letargi
- Hemiparese
- Quadreplegia
- Ataksia cara berjalan tidak tegap
- Masalah dalam keseimbanga
- Cedea (trauma) ortopedi
- Kehilangan tonus otot
- Otot spastik
Sirkulasi
Gejala - Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)
- Perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang
disertai dengan bradikardi, aritmia)
Intregritas Ego
Gejala Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda Cemas, Mudah tersinggung, Delirium, Agitasi, Bingung,
Depresi, Impulsif
Eliminasi
Gejala Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan
fungsi
Makanan/Cairan
Gejala Mual, Muntah, Mengalami perubahan selera
Tanda - Muntah (mungkin proyektil)
- Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia)
Neurosensori
Gejala - Kehilangan kesadaran sementara
- Amnesia seputar kejadian
- Vertigo
- Sinkope
- Tinitus
- Kehilangan pendengaran
- Tingling
- Baal pada ekstremitas
- Perubahan dalam pengelihatan seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapangan pandang, fotofobia
- Gangguan pengecapan dan juga penciuman
Tanda - Perubahan kesadaran bisa sampai koma
- Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah pengaruh emosi/tingkah
laku dan memori)
- Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)
- Deviasi pada mata
- Ketidakmampuan mengikuti
- Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, pengelihatan,
dan penciuman, dan pendengaran
- Wajah tidak simetri
- Genggaman lemah
- Tidak seimbang
- Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah
- Apraksia
- Hemiparese
- Quadriplegia
- Postur (dekortikasi, deserebrasi)
- Kejang
- Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan
- Kehilangan sensasi sebagian tubuh
- Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh

Nyeri/Kenyamanan
Gejala Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama
Tanda - Wajah menyeringai
- Respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat
- Gelisah tidak bisa beristirahat
- Merintih
Pernafasan
Tanda - Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi)
- Nafas berbunyi
- Stridor
- Tersedak
- Ronki
- Mengi positif (kemingkinan aspirasi)

Keamanan
Gejala Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda - Fraktur/dislokasi
- Gangguan penglihatan
- Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna seperti Raccoon
Eye, tanda battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya
trauma). Adanya aliran cairan dari telinga dan hidung
- Gangguan kognitif
- Gangguan rentang gerak
- Tonus otot hilang
- Kekuatan secara umum mengalami paralisis
- Demam
- Gangguan dalam regulasi suhu tubuh

Interaksi Sosial
Tanda - Afasia motorik atau sensoorik
- Bicara tanpa arti
- Bicara berulang-ulang
- Disartria
- Anomia
Penyuluhan/
Pembelajaran
Gejala Pengguna alkohol, Obat-obatan lain
Pertimbangan DRG menunjukkan rerata lama rawat 12 hari
Rencana pulang Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi,
transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan,
pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang
atau penempatan fasilitas lainnya dalam rumah

9. Masalah keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL
(hemoragi, hematom); edema cerebral (respon lokal atau umum pada
cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat/alkohol); penurunan tekanan
darah sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung).
b. tidak efektifnya pola nafas b.d kerusakan nerovaskuler (cidera pada pusat
pernapasan otak), Kerusakan persepai atau kognitif, Obstruksi
trakeobronkial.
c. Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensorik, transmisi
dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
d. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan
kekuatan/tahanan, terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan, misalnya
tirah baring dan imobilisasi.
e. Risiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh, kekurangan nutrisi,
respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas
sistem tertutup (kebocoran CSS).
10. Rencana Asuhan Keperawatan
1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD
sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan:
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi :
1. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma/penurunan perfusi
jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Rasional : Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien
dirawat di perawatan intensif.
2. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan
nilai standar GCS.
Rasional : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK
dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
3. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan,
reaksi terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)
berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/
kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis
dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang
terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
4. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Rasional : Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD
diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran.
Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia
cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi
(terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan
peningkatan TIK.
5. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
Rasional : Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang
terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat
mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan
pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang
akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.
6. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti
lingkungan yang tenang.
Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi
fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan
atau menurunkan TIK.
7. Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah,
mengejan.
Rasional : Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan
intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
8. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat
ditoleransi.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan
mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya peningkatan
TIK.
9. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Rasional : Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema
serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
10. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan
vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
11. Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan,
analgetik, sedatif, antipiretik.
Rasional : Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air
dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan
inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan.
Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas
kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan
untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan
atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh
meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan
terhadap oksigen.

2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan


neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi
atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
 mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
 bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi:
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan
pernapasan. Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan
komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan
otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya
ventilasi mekanis.
2. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan
pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai
indikasi.
Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi
penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan
atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
3. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai
indikasi
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan
napas.
4. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila
pasien sadar.
Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.
5. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15
detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau
dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan
napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus
dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat
menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan
vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada
perfusi jaringan.
6. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya
suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan
oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
7. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam
basa dan kebutuhan akan terapi.
8. Lakukan ronsen thoraks ulang.
Rasional : Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau
bronkopneumoni.
9. Berikan oksigen.
Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu
dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin
diperlukan ventilasi mekanik.
10. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
Rasional : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada
fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan
napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.

3) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi.
Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas
sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi :
1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci
tangan yang baik.
Rasional : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
nosokomial.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang
terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya
inflamasi.
Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk
melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap
komplikasi selanjutnya.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil,
diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang
selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
4. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret
paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
Rasional : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk
menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.
5. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang
mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan
pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
Referensi

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2014). Nursing Care Plans
(9th ed.). Philadelhpia: FA Davis Cpmpany.
Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2014). Brunner & Suddarth’s: Textbook of
medical-surgical nursing (13th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.
Lippincott Williams & Wilkins.
Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, L. (2014). Medical-
surgical nursing: Assessment and management of clinical problems (9th ed.).
Philadelphia: Elsevier Inc.
Nair, M., & Peate, I. (2014). Patofisiologi Terapan. (Y. N. I. Sari & R.
Damayanti, Eds.) (Kedua). jakarta: Bumi Medika.
Silverthorn, D. U. (2013). Human Physiology (6th ed.). New York: Pearson.
Timby, B. K., & Smith, N. E. (2010). Introductory Medical-Surgical Nursing
(10th ed.). Philadelhpia: Lippincott Williams & Wilkins.
Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2017). Principles of Anatomy & Physiologi (15th
ed.). New Jersey: WILEY.

Anda mungkin juga menyukai