Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah perkembangan genetika sebagai ilmu pengetahuan dimulai menjelang
akhir abad ke 19 ketika seorang biarawan Austria bernama Gregor Johann Mendel
berhasil melakukan analisis yang cermat dengan interpretasi yang tepat atas hasil-
hasil percobaan persilangannya pada tanaman kacang ercis (Pisum
satifum).Sebenarnya, Mendel bukanlah orang pertama yang melakukan percobaan-
percobaan persilangan. Akan tetapi, berbeda dengan para pendahulunya yang
melihat setiap individu dengan keseluruhan sifatnya yang kompleks, Mendel
mengamati pola pewarisan sifat demi sifat sehingga menjadi lebih mudah untuk
diikuti. Deduksinya mengenai pola pewarisan sifat ini kemudian menjadi landasan
utama bagi perkembangan genetika sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan, dan
Mendel pun di akui sebagai Bapak Genetika.
Selanjutnya, pada awal abad ke-20 ketika biokimia mulai berkembang
sebagai cabang ilmu pengetahuan baru, para ahli genetika tertarik
untuk mengetahui lebih dalam tentang hakekat materi genetik, khususnya
mengenai sifat biokimianya. Pada tahun 1920-an, dan kemudian tahun 1940-an,
terungkap bahwa senyawa kimia materi genetika adalah asam dioksiribonekleat
(DNA). Dengan ditemukannya model struktur molekul DNA pada tahun1953 oleh
J. D. Watson dan F. H. C. Crick dimulailah era genetika yang baru, yaitu genetika
molekuler. Serta era baru merupakan era yang memiliki rasa keingin tahuan lebih
besar dibanding era sebelumnya.
Rasa ingin tahu dan keinginan untuk selalu mendapatkan yang terbaik dalam
memecahkan semua masalah dalam kehidupan mengharuskan manusia untuk dapat
mengembangkan imajinasinya serta mewujudkannya. Adanya keinginan untuk
menghasilkan suatu makhluk hidup yang memiliki perpaduan seluruh sifat positif
dari makhluk hidup yang sudah ada menyebabkan manusia terus berusaha
mengembangkan IPTEK. Hal ini dapat diwujudkan setelah ditemukannya ilmu
genetika dan rekayasa genetika.

1
Rekayasa genetika adalah gambaran dari bioteknologi yang di dalamnya
meliputi manipulasi gen, kloning gen, DNA rekombinan, teknologi modifikasi
genetik, dan genetika modern dengan menggunakan prosedur identifikasi, replikasi,
modifikasi dan transfer materi genetik dari sel, jaringan, maupun organ. Sebagian
besar teknik yang dilakukan adalah memanipulasi langsung DNA dengan orientasi
pada ekspresi gen tertentu. Dalam skala yang lebih luas, rekayasa genetika
melibatkan penanda atau marker yang sering disebut sebagai Marker-Assisted
Selection (MAS) yang bertujuan meningkatkan efisiensi suatu organisme
berdasarkan informasi fenotipnya.
Salah satu perkembangan terbaru dari rekayasa genetika di bidang peternakan
Kebutuhan konsumsi daging nasional cenderung meningkat setiap tahunnya. Oleh
karena itu dibutuhkan peningkatan populasi ternak terutama ternak ruminansia
melalui ketercukupan penyediaan bibit baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Bibit yang baik umumnya dapat menghasilkan keturunan dengan produktivitas
yang tinggi.
Pengembangan peternakan di Indonesia khususnya dalam rangka
meningkatkan populasi ternak untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri,
perlu didukung oleh berbagai faktor. Beberapa teknologi reproduksi diaplikasikan
untuk meningkatkan angka kelahiran anak. Teknologi inseminasi buatan (IB) sudah
banyak diaplikasikan oleh peternak di Indonesia. Demikian pula halnya dengan
teknologi transfer embrio (TE) yang sudah mulai diperkenalkan di Indonesia pada
tahun 1987 (Toelihere, 1993). Puslitbang Bioteknologi LIPI (sekarang: Puslit
Bioteknologi LIPI) mulai mengembangkan teknologi ini pada tahun 1991dengan
lahirnya anak-anak sapi Brangus hasil transfer embrio pada tahun 1992 (Tappa et
al., 1992). Selain itu, kelahiran pertama anak sapi perah Hongarian hasil transfer
embrio yang dititipkan pada induk resipien sapi potong Brangus (Tappa et al.,
1994) merupakan langkah awal diaplikasikannya TE di beberapa daerah di
Indonesia melalui kegiatan kerjasama oleh Puslit Bioteknologi LIPI dengan Dinas
Peternakan Daerah.
Teknologi fertilisasi secara in vitro (FIV) pada ternak, khususnya sapi
merupakan salah satu usaha memanfaatkan limbah ovari dari induk sapi betina yang
dipotong di Rumah Potong Hewan. FIV ini diharapkan dapat memproduksi embrio

2
sapi dalam jumlah massal untuk dititipkan pada induk resipien, sehingga dapat
diperoleh ternak dalam jumlah banyak untuk meningkatkan populasi ternak di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan rekayasa genetika?
2. Apa yang dimaksud dengan teknologi sexing spermatozoa?
3. Apa yang dimaksud dengan fertilisasi in vitro?
4. Apa yang dimaksud dengan transfer embrio?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, makalah ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan rekayasa genetika
2. Untuk mengetahuo apa yang dimaksyd dengan teknologi sexing spermatozoa.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan fertilisasi in vitro.
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan transfer embrio.

3
BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Rekayasa Genetika
1. Pengertian Rekayasa Genetika
Rekayasa genetika (genetic engineering) pencangkokan gen atau rekombinan
DNA. Penelitian tentang rekayasa genetika telah dimulai pada awal 1950-an.
Sebelumnya, rekayasa genetika dianggap sebagai suatu impian saja. akan tetapi,
kini kemampuan untuk mencangkokkan bahan genetik dan membongkar kembali
informasi keturunan memberikan hasil nyata dan telah terbukti manfaat.
Rekayasa genetika dapat diartikan sebagai kegiatan manipulasi gen untuk
mendapatkan produk baru dengan cara membuat DNA rekombinan melalui
penyisipan gen. DNA rekombinan adalah DNA yang urutannya telah
direkombinasikan agar memiliki sifat-sifat atau fungsi yang kita inginkan sehingga
organisme penerimanya mengekspresikan sifat atau melakukan fungsi yang kita
inginkan. Obyek rekayasa genetika mencakup hampir semua golongan organisme,
mulai dari bakteri, fungi, hewan tingkat rendah, hewan tingkat tinggi, hingga
tumbuh-tumbuhan.
Bahan genetik DNA mengandung informasi keturunan yang dimiliki oleh
makhluk hidup. Bahan genetik DNA berupa pita ganda yang berbentuk spiral
(double helix). Jika diumpamakan, salah satu pita ini menyerupai sebuah pita kaset
rekaman. Pita dapat dihapus untuk kemudian di ganti dengan rekaman yang lain
(Karmana, Oman. 2005).
Prosedur-prosedur DNA rekombinan (penjalinan gen, gene splicing) adalah
contoh rekayasa genetika yang paling dikenal. DNA dari organisme asing, biasanya
merupakan spesies yang benar-benar berbeda, diintroduksi dan diintegrasi dengan
genom organisme tertentu. Genom hibrid yang baru pun diperoleh dengan
karakteristik-karakteristik organisme penyumbang DNA diekspresikan pada
organisme penerima (Fried, George H., dkk. 2006).

4
2. Teknologi Rekayasa Genetika
Teknologi Rekayasa Genetika merupakan inti dari bioteknologi didefinisikan
sebagai teknik in vitro asam nukleat, termasuk DNA rekombinan dan injeksi
langsung DNA ke dalam sel atau organel atau fusi sel di luar keluargataksonomi
yang dapat menembus rintangan reproduksi dan rekombinasi alami,dan bukan
teknik yang digunakan dalam pemuliaan dan seleksi tradisional.
Prinsip dasar teknologi rekayasa genetika adalah memanipulasi
ataumelakukan perubahan susunan asam nukleat dari DNA (gen) atau
menyelipkangen baru ke dalam struktur DNA organisme penerima. Gen yang
diselipkan danorganisme penerima dapat berasal dari organisme apa saja. Misalnya,
gen daribakteri bisa diselipkan di kromosom tanaman, sebaliknya gen tanaman
dapatdiselipkan pada kromosom bakteri. Gen serangga dapat diselipkan pada
tanamanatau gen dari babi dapat diselipkan pada bakteri, atau bahkan gen dari
manusiadapat diselipkan pada kromosom bakteri (Rangkuti, Rahmayani. 2011).

3. Teknik yang digunakan dalam Rekayasa Genetika


Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan
melalui teknologi DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu.
Tahapan-tahapan tersebut adalah isolasi DNA genomik/ kromosom yang akan
diklon, pemotongan molekul DNA menjadi sejumlah flagmen dengan berbagai
ukuran, penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor untuk menghasilkan molekul
DNA rekombinan, transformasi sel inang menggunakan molekul DNA
rekombinan, pengklonaan vektor pembawa DNA rekombinan, dan identifikasi klon
sel yang membawa gen yang diinginkan (Almustanir. 2010).
Individu hasil rekayasa genetika disebut transgenik. Rekayasa genetika
memiliki beberapa cara, yaitu sebagai berikut:
a. Fusi Sel
Cara ini bisa diterapkan untuk tumbuhan, hewan, dan manusia. Metode ini
adalah cara menggabungkan dua sel yang berbeda untuk mendapatkan sel baru
seperti yang diinginkan. Cara ini sudah diterapkan untuk menghasilkan antibodi
monoklonal dengan memfusikan sel leukosit (menghasilkan antibodi) manusia

5
dengan sel kanker tikus. Hasil fusi dari kedua sel tersebut dikultur dan
menghasilkan antibodi monoklonal.
b. Transgenik Inti (Somatic Cell Nuclear Transfer)
Metode ini biasa diterapkan pada manusia dan hewan. Metode ini dilakukan
dengan memindahkan inti sel telur dari satu individu dan menggantinya dengan inti
sel somatis dari sel somatis individu lain. Setelah menjadi embrio, dimasukkan
kembali ke dalam rahim yang sudah dipersiapkan. Individu dari hasil metode ini
akan memiliki sifat yang sama persis dengan individu yang menyumbangkan inti
sel somatis
c. Rekombinan DNA
Metode ini bias disebut dengan metode penyipan gen. Caranya adalah
memasukkan potongan DNA ke dalam sel vektor. Vektor ini biasanya adalah
plasmid atau bakteriophage. Gabungan antara vektor dengan potongan DNA ini
disebut Rekombinan DNA. Metode ini biasanya digunakan dalam dunia kedokteran,
contohnya untuk menghasilkan hormon insulin. Caranya untuk menghasilkan
insulin dengan teknik rekombinan DNA adalah sebagai berikut
1) DNA penghasil insulin pada manusia dipotong dengan menggunakan enzim
restriksi
2) Hasil potongan DNA dimasukkan ke dalam bakteri Escherichia coli sebagai
vektor
3) Plasmid tersebut dimasukkan ke dalam bakteri escherichia coli
4) E.coli yang sudah mengandung rekombinan DNA dikultur dalam medium
khusus sehingga bakteri tersebut bisa menghasilkan insulin (Matrix. 2009).

4. Tujuan dan Manfaat Rekayasa Genetika


a. Meningkatnya derajat kesehatan manusia, dengan diproduksinya berbagai
hormone manusia seperti insulin dan hormone pertumbuhan.
b. Tersedianya bahan makanan yang lebih melimpah.
c. Tersedianya sumber energy yang terbaharui.
d. Proses industry yang lebih murah.
e. Berkurangnya polusi (Anonim. 2011).

6
5. Rekayasa Genetika dalam Bidang Peternakan
Organisme dan produksi hasil rekayasa genetika disebut Organisme Hasil
Modifikasi Genetika (OHMG) atau Genetically Modified Organism (GMO).
Organisme hasil modifikasi genetika dalam bidang peternakan meliputi
peningkatan produksi peternakan ditempuh dengan cara penurunan morbiditas
ternak, perbaikan pakan, dan perbaikan bibit. Hampir seluruh faktor produksi
peternakan telah disentuh oleh teknologi rekayasa genetika.
Vaksin yang diproduksi bagi dunia kedokteran hewan sama dengan vaksin
pada manusia, yaitu sebagai berikut :
a. Vaksin penyakit mulut dan kuku (PMK) adalah gen virus antigen PMK
yang dikloning ke E. coli sehingga diperoleh antigen virus PMK dalam
jumlah besar.
b. Vaksin rabies juga diproduksi dengan teknologi rekayasa genetika
c. Vaksin Blue-tongue khusus pada domba
d. Vaksin white diarrhea pada babi
e. Vaksin fish-fibrosis, vaksin yang diproduksi dengan teknologi rekayasa
genetika yang digunakan untuk vaksin ikan atau aquakultur.
Hormon pertumbuhan pada manusia (Human Growth Hormone = HGH) saat
ini sudah dapat diproduksi dengan teknologi rekayasa genetika yang menggunakan
E. coli sebagai vektor plasmidnya. Selain itu, juga dijumpai Bovide Growth
Hormone (BGH), Porcine Growth Hormone (PGH), dan Chicken Growth Hormone
(CGH).
Penyuntikan hormon BGH pada sapi ternyata dapat meningkatkan produksi
susu selain meningkatkan produksi daging (Kadaryanto, dkk. 2006).

6. Dampak - Dampak Rekayasa Genetika


a. Gangguan Dengan adanya rekayasa genetika, perubahan genotipe tidak
dirancang secara alami sesuai dengan kebutuhan dinamika populasi sehingga
akan menimbulkan perubahan drastis yang membahayakan.
b. Penggunaan hormon pertumbuhan sapi (Bovine Growth Hormone = BGH) dapat
meningkatkan produksi susu sapi hingga mencapai 20% yang dapat
mengakibatkan kerugian pada peternak kecil.

7
c. Dampak penggunaan insulin hasil rekayasa genetika yang telah menyebabkan
kematian di Inggris
d. Pemakaian BGH pada sapi mengandung bahan kimia baru yang memiliki
potensi membahayakan kesehatan manusia
e. Kloning untuk kesehatan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara etika karena
pasti terjadi penyimpangan yang tidak mungkin dapat dikontrol sepenuhnya
(Setiowati, Tetty, dkk. 2007).

B. Teknologi Sexing Spermatozoa


Sexing spermatozoa atau pemisahan spermatozoa adalah upaya untuk
mengubah perolehan spermatozoa yang berkromosom jenis X atau Y dengan
metode tertentu, sehingga berubah dari proporsi normal (rasio alamiah), 50% : 50%.
Secara umum, proporsi perbandingan spermatozoa X dan Y dalam satu ejakulat
semen adalah seimbang (50:50) sehingga jenis kelamin keturunannyapun 50:50.
Dengan teknik sexing maka komposisi tersebut dapat di modifikasi. Sexing
spermatozoa X dan Y didasarkan atas perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh
masing-masing jenis spermatozoa antara lain kandungan DNA, ukuran
spermatozoa, motilitas, muatan permukaan serta fluoresensi kromosom.
Spermatozoa X mengandung kromatin lebih banyak daripada sperma Y sehingga
ukuran kepalanya lebih besar daripada spermatozoa Y (Hafez, 2000), selain itu
spermatozoa X mengandung DNA 3,8% lebih banyak daripada Y (Garner dan
Seidel, 2000).
Seperti halnya menurut Saili et al (1998) bahwa perbedaan potensial antara
spermatozoa X dan Y adalah kandungan DNA, sensitivitas pH dan perbedaan
morphologi kepala serta motilitas. Perbedaan yang utama adalah kontribusi dari
kromosom seksnya, yaitu spermatozoa X mengandung kromatin lebih banyak pada
inti spermatozoa yang terdapat dalam kepalanya, sehingga ukuran kepala
spermatozoa X lebih besar. Spermatozoa Y ukuran kepalanya kepalanya lebih kecil,
lebih ringan dan lebih pendek dibandingkan spermatozoa X, sehingga spermatozoa
Y lebih cepat dan lebih banyak bergerak serta kemungkinan mengandung materi
genetik dan DNA lebih sedikit dibandingkan dengan spermatozoa X.

8
Beberapa metode pemisahan spermatozoa dapat dilakukan adalah
menggunakan kolom albumin, kecepatan sedimentasi, sentrifugasi dengan gradient
densitas percoll, motilitas dan pemisahan elektroforesis, isoelectric focusing,
teknik manipulasi hormonal, H-Y antigen, flow sorting, dan metode penyaringan
menggunakan kolom Sephadex. Metode yang dianggap paling valid diantara
beberapa metode tersebut adalah metode kolom albumin dan metode penyaringan
menggunakan kolom Shepadex (Saili et al, 1998). Berikut beberapa teknik sexing
menurut Hafez (2000).
1. Sexing dengan albumin
Metode sexing dengan menggunakan putih telur (albumin) merupakan
metode yang didasarkan atas perbedaan motilitas spermatozoa X dan Y yang
disebabkan oleh perbedaan massa dan ukurannya. Ukuran spermatozoa Y lebih
kecil sehingga bergerak lebih cepat atau mempunyai daya penetrasi yang lebih
tinggi untuk memasuki suatu larutan. Spermatozoa Y akan bergerak ke bawah
sedangkan spermatozoa X tetap berada di lapisan atas (Pratiwi, et al. 2006).
2. Filtrasi dengan Sephadex Column
Pemisahan spermatozoa dengan filtrasi sephadex column dapat menghasilkan
spermatozoa X 70–75% , telah melakukan filtrasi spermatozoa menggunakan
Sephadex G-200 dan sentrifugasi gradien densitas percoll. Metode pemisahan
dengan menggunakan Sephadex G-200 pada lapisan bawah dapat menghasilkan
spermatozoa X sebanyak 86%, sedangkan dengan sentrifugasi gradien densitas
percoll menghasilkan spermatozoa X pada lapisan bawah sebanyak 89%. (Pratiwi
et all, 2006).
3. Teknik Sexing Flowcytometry
Saat ini ada prosedur yang mudah dan cepat untuk memisahkan komposisi
dari kromosom seks dari sperma individu atau rasio jenis kelamin dari sebuah
populasi sperma dari individu. Paling mudah, paling cepat dan paling tepat yang
digunakan sebagai analisa proporsi pemisahan sperma X dan Y adalah
menggunakan metode flow citometry (Johnson and Welch, 1999)
Meskipun secara substansial sperma teridentifikasi memiliki fenotipe yang
identik, ada satu metode pemisahan kromosom sperma yang akurat hingga 90%,
yang dinamakan flow citometry adanya pewarnaan sperma dengan pewarna

9
fluorescence DNA-binding, Hoechst 33342. Teknik ini memanfaatkan perbedaan
isi DNA yang terdiri dari kromosom X dan Y dari sperma, yang berada di urutan 3-
5%, tergantung pada spseisesnya. Ukuran geometris sperma yang simetris membuat
deteksi ini menjadi akurat, meskipun perbedaan yang kecil dan sulit. Sperma tegak
lurus yang terwarnai kurang bisa memancarkan fluorescence ke dimensi yang lebih
tipis dari ketebalan mereka, (Johnson and Welch, 1999) dengan demikian detektor
harus memiliki orientasi yang mirip dengan sperma.
Upaya yang baik untuk mengoptimalkan flow cytometry / pemisahan sel
(Johnson dan Welch, 1999) ditambah mengoptimalkan kondisi inseminasi buatan
(IB) dapat memungkinkan IB pada sapi-sapi dara bisa menghasilkan akurasi sekitar
90% dengan jenis kelamin yang diinginkan, tetapi dalam beberapa kasus justru bisa
mengurangi kesuburan (Seidel dkk., 2000). Prosedur ini telah dikomersialisasikan
untuk ternak di Inggris, dengan penjualan dimulai pada 1 September 2000;
komersialisasi serupa akan segera terlaksana di negara lain. Prosedur ini akan
dikomersialisasikan untuk spesies lain termasuk manusia, awalnya untuk aplikasi
seperti fertilisasi in vitro (IVF) dan pembuatan hewan transgenik yang berharga.

10
last attached drop
Gambar 2. Alat untuk teknik sexing flowcitometry (Garner and Seidel, 2000)

Manfaat/Keunggulan dari teknik flowcytometry:


Penggunaan flowcitometry atau pemisahan kelamin ini pada mamalia bisa
sangat akurat dan hasilnya keturunan akan menjadi normal (Tubman et al., 2003)
Bagaimanapun, meningkat atau menurunnya abnormalitas tidak bisa dihitung atau
diatur tanpa adanya kontrol yang jelas, seperti studi epidemiologi dengan skala
besar. Meskipun proses sexing bisa menghilangkan sperma yang mati dan beberapa
sperma yang aneuploid, ini tidak sepenuhnya bisa mengurangi abnormalitas pada
perkawinan karena kebanyakan abnormalitas terjadi pada sperma yang tidak
mengalami proses sexing dan hasilnya adalah terjadi abortus. Penggunaan sexing
dengan flowcitometry atau pemisahan sel ini memeiliki kelebihan yaitu sperma bisa
dievaluasi secara berkala. Prosedur ini bisa dilakukan cepat atau prosesnya tidak
memakan waktu lama (Seidel, 2003).
Pemisahan kromosom X dan Y menggunakan flowcitometry mampu
menghasilkan 25.000/detik. (Garner and Seidel, 2000), 40.000 X- dan Y-
spermatozoa/detik (Sharpe and Evans, 2009). Tingkat akurasi nya mencapai 90%.
Teknik sexing sperma menggunakan fl ow cytometry dapat diperoleh 85%-95%
kelahiran anak dengan jenis kelamin sesuai. Harga peralatan flow cytometry yang
cukup mahal mendorong pengembangan teknik yang lebih sederhana yaitu dengan
metode kolom albumin dengan menggunakan serum albumin sapi (BSA).

11
Keunggulan dari Teknik Sexing, yaitu:
Pada dasarnya teknik sexing spermatozoa memiliki banyak keuntungan.
Kualitas semen beku hasil sexing ternyata masih sangat bagus, dengan tingkat
motilitas lebih dari 40%.. Dari data yang tercatat dengan baik telah diketahui bahwa
fertilitas semen beku sexing adalah S/C = 1,71 dan CR = 56,45% . Angka-angka
tersebut setara dengan keberhasilan IB dengan semen beku yang tidak di sexing
(Susilawati, 2005).
Pemanfaatan teknologi sexing spermatozoa merupakan salah satu pilihan
yang tepat dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi ternak yang mampu
meningkatkan efisiensi usaha peternakan baik dalam skala peternakan rakyat
maupun dalam skala peternakan komersial. Salah satu sasaran dalam bidang
reproduksi ternak adalah memproduksi anak yang mempunyai jenis kelamin sesuai
dengan keinginan peternak. Sebagai contoh, peternak sapi perah lebih
mengharapkan sapi betina dari suatu kelahiran daripada sapi jantan, sebaliknya
peternak sapi potong lebih mengharapkan kelahiran sapi jantan dari pada sapi
betina. Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk mengontrol jenis kelamin
anak ternak dari suatu kelahiran agar sesuai dengan keinginan peternak. Penelitian
dimulai dengan pengkondisian saluran reproduksi ternak betina agar lingkungan itu
menjadi lebih baik bagi spermatozoa X daripada spermatozoa Y atau sebaliknya.
Selanjutnya pemisahan spermatozoa X dan spermatozoa Y sebelum dilakukan IB
maupun IVF atau In Vitro Fertilization (Saili et al, 1998).

C. Fertilisasi In Vitro
Fertilisasi terdiri dari penyatuan atau fusi dua sel gamet jantan (spermatozoa)
dengan sel gamet betina (ovum) untuk membentuk satu sel atau zygote. Proses ini
terjadi dibawah ampula tuba fallopii (Hafez, 1980)
Fertilisasi In Vitro dirintis oleh P.C Steptoe dan R.G Edwards (1997).
Merupakan suatu upaya peningkatan produksi didalam menyelamatkan bibit
unggul yang tidak dapat dilakukan dengan fertilisasi in vivo yaitu dengan suatu
teknik pembuahan dimana sel ovum dibuahi diluar tubuh.
Teknologi fertilisasi secara in vitro (FIV) pada ternak, khususnya sapi
merupakan salah satu usaha memanfaatkan limbah ovari dari induk sapi betina yang

12
dipotong di Rumah Potong Hewan. FIV ini diharapkan dapat memproduksi embrio
sapi dalam jumlah massal untuk dititipkan pada induk resipien, sehingga dapat
diperoleh ternak dalam jumlah banyak untuk meningkatkan populasi ternak di
Indonesia (Kaiin et al., 2008).
In Vitro Fertilization (IVF) Merupakan metode pengamatan terhadap
terjadinya proses fertilisasi dengan cara membuat percobaan pembuahan di luar
tubuh. Menurut Supri Ondho (1998) secara garis besar percobaan IVF meliputi
serangkaian kegiatan berupa mengumpulkan ovarium, koleksi oosit, kapasitasi
spermatozoa, pembuahan dan perkembangan embrio. Berikut ini adalah tahapan-
tahapan fertilisasi In Vitro:
1. Pengumpulan ovarium dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH),
Pengumpulan ovarium dilaksanakan dengan cara mengambil ovarium dari
ternak yang dipotong. Setelah ovarium didapatkan, kemudian dimasukkan ke
dalam NaCl fisiologis 0,9% dan di bawa ke laboratorium.
2. Koleksi Oosit, proses koleksi oosit ini dapat dilakukan dengan tiga metode
yaitu:
a. Maturasi Oosit, Fertilisasi, Kultur in Vitro
b. Pembekuan Embrio
c. Program Transfer Embrio
3. Maturasi Oosit, Fertilisasi, Kultur In Vitro
Oosit yang terkoleksi dan mempunyai kualitas sangat baik dan baik (A dan
B) kemudian dicuci dalam media maturasi TCM 199 (GIBCOTM) + 10 %fetal
calf Serum (FCS, GIBCOTM) dan ditambahkan hormon E2 (1μg/ ml), hCG
(10μg/ml) dan FSH (10μg/ml). Oosit tersebut dimasukkan ke dalam 50 μl spot
media maturasi yang sebelumnya telah diekuilibrasi di dalam inkubator CO2 5%,
temperatur 38 °C dan dikultur selama 22-24 jam (Margawati et al., 2000).
Sebelum dilakukan fertilisasi, sperma beku X atau Y sapi PO yang telah
dipisahkan dengan menggunakan kolom BSA 5-10% (Kaiin et al., 2003) di-
thawing dan masing-masing diperiksa motilitasnya. Motilitas sperma ≥ 40%
digunakan untuk memfertilisasi oosit secara in vitro. Sperma X atau Y yang telah
di-thawing kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi, ditambah
mediasemen washing solution (SWS) yang terdiri atas media Brackett Oliphant

13
(BO) yang mengandung kafein dan heparin, kemudian sperma disentrifugasi
dengan kecepatan 1800 rpm selama 5 menit pada temperatur 27°C. Supernatan
dibuang, kemudian endapan sperma (0,5 ml) ditambah dengan media semen
dilution solution (SDS, yang terdiri atas media BO dan BSA 20 mg/ ml) sampai
konsentrasi 1 x 106 / ml. Spot berisi 100 μl SDS berisi sperma X atau Y dibuat
didalam cawan petri, kemudian ditutup dengan mineral oil dan diinkubasi untuk
kapasitasi sperma selama 1 jam. Setelah itu dilakukan pencucian oosit yang telah
dimaturasi dengan menggunakan media oocyte washing solution (OWS, yang
terdiri atas media BO dan BSA 10 mg/ml). Oosit yang telah dicuci kemudian
ditempatkan ke dalam spot SDS + sperma (10 oosit/ spot) dan dikultur selama 6-7
jam dalam inkubator CO2 (Kaiin et al., 2004).
Oosit yang difertilisasi kemudian dicuci dengan media kultur CR1aa + 5%
FCS sambil dihilangkan sel-sel kumulusnya dengan menggunakan pipet. Zigot
kemudian dimasukkan ke dalam spot media kultur yang kemudian dimasukkan ke
dalam inkubator CO2 5%, temperature 38°C. Pengamatan perkembangan embrio
dari tahap 2 sel sampai morula/blastosis dilakukan setiap 24 jam selama 6-7 hari
(Margawati et al., 2000; Kaiin et al., 2004
4. Pembekuan Embrio
Embrio yang mencapai tahap morula atau blastosis dalam kultur in vitro
kemudian dicuci dalam media DPBS mengandung 20% FCS, kemudian
dipindahkan berturut-turut ke dalam media yang mengandung gliserol 3,3%; 6,7%
sampai 10% masing-masing selama 10 menit. Embrio dan gliserol dalam volume
sesedikit mungkin kemudian dimasukkan ke dalam straw bersama dengan kolom-
kolom media berisi sukrosa yang berfungsi sebagai media pencuci gliserol pada
saat thawing. Setelah itu, straw yang berisi embrio tersebut dibekukan dengan
menggunakan mesin programmable freezer ET-1 (FHK) dengan penurunan
temperatur secara bertahap 1oC/menit. Selanjutnya pada saat mencapai temperatur
- 30oC, straw dimasukkan dan disimpan dalam tangki nitrogen cair (temperatur -
196oC).

14
Keunggulan Fertilisasi In Vitro
Berikut ini adalah beberapa keunggulan dari fertilisasi in vitro:
1. Mempercepat peningkatan populasi dan produksi ternak serat perbaikan mutu
genetis.
2. Memanfaatkan Ovarium dari RPH
3. Perkembangan zigot dapat diamati
4. Pembuahan dapat dilakukan diluar tubuh ternak

D. Transfer Embrio
Transfer Embrio merupakan suatu teknik yang dikenal juga dengan genetic
manipulation. Keuntungan praktis dari transfer embrio adalah untuk meningkatkan
kapasitas reproduksi ternak yang berharga. Untuk beberapa tahun
peningkatan mutu genetic ternak sapi telah dilakukan dengan metode inseminasi
buatan dengan memanfaatkan sisi pejantan.
Berbeda halnya dengan Transfer embrio dimana dapat mempercepat
percepatan dari sisi betina, namun berjalan sangat lambat karena ternak sapi betina
bersifat monotokus dan mempunyai masa kebuntingan yang cukup panjang.
Transfer embrio adalah suatu teknik dimana embrio (fertilized ova) dikoleksi
dari alat kelamin ternak betina menjelang nidasi dan ditransplantasikan ke dalam
saluran reproduksi betina lain untuk melanjutkan kebuntingan hingga sempurnah,
seperti konsepsi, implantasi/nidasi dan kelahiran.
Produksi embrio dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Dalam teknik in
vivo, hewan betina donor akan menjalani superovulasi, yakni penyuntikan hormone
gonadotropin (FSH, PMSG/CG atau HMG) guna melipat gandakan produksi sel
telur. Sel-sel telur yang diovulasikan tersebut, setelah mengalami pembuahan dan
berkembang menjadi embrio ditampung atau dikoleksi untuk kemudian ditransfer
pada betina resipien.
Disamping ditransfer secara langsung embrio dapat dibekukan atau
dimanipulasi guna menghasilkan kembar identik. Embrio paruh yang dihasilkan
dapat ditransfer atau sebagai bahan untuk menentukan jenis kelamin. Pada teknik
in vitro, sumber sel telur umumnya berasal dari ovarium yang berasal dari hewan
yang telah dipotong. Dibeberapa Negara maju, limbah rumah potong hewan (RPH)

15
tersebut, setelah melalui serangkaian teknik tertentu teryata terbukti telah secara
komersial dapat meyediakan embrio bagi penyediaan ternak potong. Dengan
bantuan ultrasonografi, teknik “ovum pick-up” telah dapat diterapkan guna
menyediakan oosit ternak unggul yang masih produktif tanpa harus menunggu di
potong.
Seleksi induk sapi yang akan digunakan sebagai ternak resipien dilakukan
dengan memeriksa keadaan alat reproduksinya. Sapi dengan kondisi reproduksi
yang memenuhi syarat digunakan sebagai ternak resipien.
Setelah itu sapi diprogram dan disinkronisasi berahinya dengan penyuntikan
PGF2α (Prosolvin, Intervet) dengan dosis 2 ml/ ekor secara intra muskular. Transfer
embrio menggunakan embrio beku hasil FIV dengan sperma hasil pemisahan
dilakukan pada hari ke 6 setelah berahi pada induk resipien sapi Bali di Kabupaten
Konawe, Sulawesi Tenggara dan resipien sapi FH di kandang ternak Puslit
Bioteknologi LIPI di Cibinong. Straw embrio beku di-thawing dalam air hangat 37°
C kemudian langsung ditransfer ke induk resipien dengan menggunakan gun
transfer.

16
BAB III
PEMBAHASAN

A. Materi dan Metode


1. Koleksi Ovarium dan Pengumpulan Oosit
Ovarium sapi BX dikoleksi dari sapi yang dipotong di RPH dan dipisahkan
bagian- bagian lain seperti lemak, oviduk dan jaringan lain. Ovarium dibawa ke
laboratorium menggunakan termos berisi larutan NaCl fisiologis yang ditambah
dengan antibiotik dengan temperatur 25-30°C.
Ovarium kemudian dicuci kembali dengan NaCl fisiologis hangat dan
dikeringkan dengan kertas tisu steril. Media aspirasi yang terdiri atas media

DPBS (GIBCOTM) yang ditambah dengan 3% calf serum (CS, GIBCOTM)


dihangatkan terlebih dahulu di dalam water bath 37°C. Oosit diaspirasi dengan
menggunakan syringe 10 ml dengan jarum ukuran 18 G yang berisi sedikit media
aspirasi. Folikel ovarium yang berukuran 1-5 mm diaspirasi, dan cairan yang
tertampung di dalam syringe dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Pencarian
oosit dilakukan di bawah mikroskop stereo.

2. Maturasi Oosit, Fertilisasi, Kultur in Vitro


Oosit yang terkoleksi dan mempunyai kualitas sangat baik dan baik (A dan
B) kemudian dicuci dalam media maturasi TCM

199 (GIBCO
2
TM) + 10 % fetal calf Serum (FCS, GIBCOTM) dan

ditambahkan hormon E2 (1μg/ ml), hCG (10μg/ml) dan FSH (10μg/ml). Oosit
tersebut dimasukkan ke dalam 50 μl spot media maturasi yang sebelumnya telah
diekuilibrasi di dalam inkubator CO2 5%, temperatur 38 °C dan dikultur selama
22-24 jam (Margawati et al., 2000).
Sebelum dilakukan fertilisasi, sperma beku X atau Y sapi PO yang telah
dipisahkan dengan menggunakan kolom BSA5-10% (Kaiin et al., 2003) di-thawing
dan masing-masing diperiksa motilitasnya. Motilitas sperma ≥ 40% digunakan
untuk memfertilisasi oosit secara in vitro. Sperma X atau Y yang telah di-thawing
kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi, ditambah media semen
washing solution (SWS) yang terdiri atas media Brackett Oliphant (BO) yang

17
mengandung kafein dan heparin, kemudian sperma disentrifugasi dengan
kecepatan 1800 rpm selama 5 menit pada temperatur 27°C. Supernatan dibuang,
kemudian endapan sperma (0,5 ml) ditambah dengan media semen dilution solution
(SDS, yang terdiri atas media BO dan BSA 20 mg. Oosit yang difertilisasi
kemudian dicuci dengan media kultur CR1aa + 5% FCS sambil dihilangkan sel-sel
kumulusnya dengan menggunakan pipet. Zigot kemudian dimasukkan ke dalam
spot media kultur yang kemudian dimasukkan ke dalam inkubator CO2 5%,
temperatur 38°C. Pengamatan perkembangan embrio dari tahap 2 sel sampai
morula/blastosis dilakukan setiap 24 jam selama 6-7 hari (Margawati et al., 2000;
Kaiin et al., 2004).

3. Pembekuan Embrio
Embrio yang mencapai tahap morula atau blastosis dalam kultur in vitro
kemudian dicuci dalam media DPBS mengandung 20% FCS, kemudian
dipindahkan berturut-turut ke dalam media yang mengandung gliserol 3,3%; 6,7%
sampai 10% masing-masing selama 10 menit. Embrio dan gliserol dalam volume
sesedikit mungkin kemudian dimasukkan ke dalam straw bersama dengan kolom-
kolom media berisi sukrosa yang berfungsi sebagai media pencuci gliserol pada
saat thawing. Setelah itu, straw yang berisi embrio tersebut dibekukan dengan
menggunakan mesin programmable freezer ET-1 (FHK) dengan penurunan
temperatur secara bertahap 1o C/menit. Selanjutnya pada saat mencapai temperatur
30oC, straw dimasukkan dan disimpan dalam tangki nitrogen cair (temperatur -196
o
C).

4. Program Transfer Embrio


Seleksi induk sapi yang akan digunakan sebagai ternak resipien dilakukan
dengan memeriksa keadaan alat reproduksinya. Sapi dengan kondisi reproduksi
yang memenuhi syarat digunakan sebagai ternak resipien. Setelah itu sapi
diprogram dan disinkronisasi berahinya dengan penyuntikan PGF2a (Prosolvin,
Intervet) dengan dosis 2 ml/ ekor secara intra muskular. Transfer embrio
menggunakan embrio beku hasil FIV dengan sperma hasil pemisahan dilakukan
pada hari ke 6 setelah berahi pada induk resipien sapi Bali di Kabupaten Konawe,

18
Sulawesi Tenggara dan resipien sapi FH di kandang ternak Puslit Bioteknologi LIPI
di Cibinong. Straw embrio beku di thawing dalam air hangat 37° C kemudian
langsung ditransfer ke induk resipien dengan menggunakan gun transfer.

B. Hasil dan Pembahasan


Sebelum melakukan fertilisasi secara in vitro, dilakukan terlebih dahulu
pengujian kualitas sperma beku hasil pemisahan (sperma X dan Y). Hasil
pengamatan terhadap kualitas sperma beku tersebut terdapat pada Tabel 1:

Motilitas sperma hasil pemisahan beku setelah dicairkan kembali mencapai


motilitas sebesar 45% (sperma X), 45% (sperma Y) dan 50% (sperma yang tidak
dipisahkan). Sperma beku yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi syarat
sesuai standar post thawing motility (PTM) yaitu lebih besar atau sama dengan
40% (Direktorat Pembibitan, 2000). Kemampuan fertilisasi sperma terhadap oosit
diukur berdasarkan motilitas atau daya gerak sperma mencapai oosit yang berada
di dalam saluran reproduksi betina (Salisbury & Van Demark, 1985).
Menurut Toelihere (1993), selama proses pembekuan sebanyak 20%-80%
sperma akan mati. Rendahnya persentase sel hidup akan memperkecil peluang
sperma untuk dapat memfertilisasi oosit. Penurunan motilitas setelah proses
kriopreservasi sperma sebesar
50% merupakan hal yang umum terjadi pada proses pembekuan sperma
mamalia. Motilitas sperma setelah thawing yang digunakan pada penelitian ini
masih dalam kondisi layak IB (motilitas lebih besar atau sama dengan 40%).
Berdasarkan pewarnaan terhadap apusan sel sperma yang telah dipisahkan
menunjukkan bahwa persen sperma X sebesar 71,2% dan sperma Y sebesar
76,6% (Kaiin et al., 2003). Pembuktian dilakukan melalui pengujian, baik secara

19
in vivo maupun in vitro. Uji secara in vivo dengan cara menginseminasikan sperma
terhadap induk resipien IB, dan uji secara in vitro dengan menginseminasikan
sperma tersebut pada proses fertilisasi secara in vitro sehingga terbentuk embrio
yang mencapai tahap morula dan blastosis untuk ditransfer ke induk resipien
dengan cara transfer embrio. Cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan
jenis kelamin embrio adalah metode karyotiping, tetapi karena jumlah embrio
hasil fertilisasi in vitro yang terbatas maka pengamatan jenis kelamin embrio
dengan metode karyotiping tidak dilakukan. Perkembangan embrio hasil fertilisasi
in vitro dengan menggunakan sper- ma X dan Y hasil pemisahan terdapat pada
Tabel 2.

Jumlah oosit yang dapat membelah menjadi embrio tahap 2 sel (Gambar
1a) pada oosit yang difertilisasi dengan sperma X (45,8%) dan sperma Y
(39,6%) cenderung lebih rendah dibandingkan dengan oosit yang difertilisasi
dengan sperma yang tidak dipisahkan (51,5%). Hal ini diduga berkaitan dengan
kualitas sperma X dan Y hasil pemisahan yang mempunyai motilitas dan kualitas
individu sperma yang cenderung lebih rendah, serta kualitas oosit dan media kultur
yang digunakan (Tabel 1).
Penggunaan sperma hasil pemisahan dalam fertilisasi in vitro masih mampu
memfertilisasi oosit dan menghasilkan embrio tahap 2 sel. Perkembangan
embrio taha 2 sel selanjutnya mencapai tahap morula (Gambar 1b) dan blastosis
tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara oosit yang difertilisasi
dengan sperma X (42,9%), sperma Y (40,9%) maupun sperma yang tidak
dipisahkan (52,4%). Proses perkembangan embrio pada tahap 2 sel mencapai tahap
morula dan blastosis lebih banyak dipengaruhi oleh proses kultur embrio. Embrio
tahap morula dan blastosis yang dihasilkan semuanya disimpan dalam keadaan

20
beku. Program transfer embrio dilakukan pada sapi Bali di Kabupaten
Konawe, Sulawesi Tenggara, menggunakan 6 embrio beku yang ditransfer ke 6
ekor resipien milik peternak (masing-masing 1 embrio per resipien), sedangkan
di Cibinong sebanyak 5 embrio ditransfer ke 5 ekor induk sapi FH. Hasil transfer
embrio dengan menggunakan embrio hasil fertilisasi in vitro dengan sperma hasil
pemisahan pada induk resipien terdapat pada Tabel 3.

Berdasarkan data di atas, diperoleh hasil bahwa embrio tahap morula hasil
fertilisasi dengan sperma pembawa kelamin jantan (Y) berhasil terimplantasi
dan berkembang dalam uterus resipien. Satu ekor anak sapi lahir berkelamin
jantan dari dua resipien yang bunting di Konawe. Hal tersebut sesuaidengan jenis
kelamin sperma yang digunakan pada saat fertilisasi in vitro (Gambar 2).

21
Data kelahiran anak satu ekor resipien lainnya tidak terlacak karena dijual oleh
peternak pada umur kebuntingan 7 bulan. Program transfer embrio di Cibinong
hanya menghasilkan 1 ekor induk resipien FH yang bunting, walaupun akhirnya
terjadi abortus pada umur kebuntingan 2,5 bulan dan jenis kelaminnya tidak teramati
karena fetus sudah hancur sewaktu dikeluarkan.
Perkembangan anak hasil TE setelah berumur 11 bulan memiliki bobot
badan lebih besar dari induknya (Gambar 2). Hasil anak sapi jantan yang diperoleh
tersebut membuktikan murni hasil TE karena anak yang dihasilkan sesuai dengan
jenis sperma dan oosit yang digunakan pada saat fertilisasi in vitro yaitu silangan
sapi Peranakan Ongole, PO (sperma) dengan sapi Brahman Cross, BX (oosit) yang
secara genetik jauh berbeda dengan induknya yaitu sapi Bali.
Penelitian yang dilakukan Hoshi (2003) berhasil melakukan transfer embrio
dengan menggunakan embrio hasil produksi in vitro dalam media tanpa serum
dengan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan embrio yang diproduksi dalam
media yang mengandung serum. Keberhasilan kebuntingan pada saat pemeriksaan
kebuntingan adalah sebesar 39,6% pada resipien yang ditransfer dengan embrio
yang diproduksi secara in vitro tanpa serum dan 32,8% pada embrio yang
diproduksi dalam media mengandung serum. Tappa et al. (1994) melaporkan
bahwa keberhasilan kebuntingan pada induk sapi yang ditransfer embrio adalah
sebesar 45,5%. Keberhasilan kebuntingan resipien IB pada sapi perah yang
diinseminasi dengan sperma sexing sapi Hongarian adalah sebesar 81% (17/21)
dengan S/C 1, 37 (Said et al., 20

22
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemisahan kromosom X atau Y dari Spermatozoa atau dikenal sebagai sexing
dapat menggunakan beberapa teknik seperti kolom albumin, kecepatan sedimentasi,
sentrifugasi dengan gradient densitas percoll, motilitas dan pemisahan
elektroforesis, isoelectric focusing, teknik manipulasi hormonal, H-Y antigen, flow
cytometry, dan metode penyaringan menggunakan kolom Sephadex.
Metode yang yang paling efektif adalah metode flow cytometry,tetapi karena
harganya terlalu mahal maka lebih baik memakai metode kolom albumin yang lebih
murah. Metode flowcitometry bisa menghasilkan keakuratan hingga sekitar 90%.
Namun, apapun teknik sexing yang digunakan, pastinya hasil yang diperoleh
bertujuan mendapatkan keturunan dengan jenis kelamin yang diinginkan, sehingga
pola dan arah pengembangan populasi ternak semakin jelas.
Teknologi fertilisasi secara in vitro (FIV) pada ternak, khususnya sapi
merupakan salah satu usaha memanfaatkan limbah ovari dari induk sapi betina yang
dipotong di Rumah Potong Hewan. FIV ini diharapkan dapat memproduksi embrio
sapi dalam jumlah massal untuk dititipkan pada induk resipien, sehingga dapat
diperoleh ternak dalam jumlah banyak untuk meningkatkan populasi ternak di
Indonesia.
Embrio hasil fertilisasi in vitro sel telur dengan sperma hasil pemisahan
mampu tumbuh mencapai tahap blastosis dan morula. Aplikasi teknologi ini masih
menghadapi kendala, khususnya dalam tahap terakhir pada saat pembekuan dan
transfer embrio.

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal
ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca dan dosen pengampu sangat
penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Almustanir. 2010. Rekayasa Genetika dan Sistem Imun.


http://www.slideshare.net/almustanir/makalah-rekayasa-genetika-dan-
sistem-imun (diakses Tanggal 27 Maret 2017)
Anonim. 2011. Rekayasa Genetika.
http://sceonity.blogspot.com/2011/07/rekayasa-genetika.pdf (diakses
Tanggal 27 Maret 2017)
Anonim. 2012. Rekayasa Genetika Pada Hewan.
http://menarailmuku.blogspot.com/2012/12/rekayasa-genetika-pada-
hewan.html(diakses Tanggal 27 Maret 2017)
Fried, George H., dkk. 2006. Biologi Edisi Kedua. Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama
Kadaryanto, dkk. 2006. Biologi Mengungkap Rahasia Alam Kehidupan. Surabaya:
Yudhistira
Karmana , Oman. 2005. Cerdas Belajar Biologi. Jakarta: Grafindo
Matrix. 2009. Panduan Belajar dan Evaluasi Biologi. Jakarta: Grasindo
Rangkuti, Rahmayani. 2011. Rekayasa Genetika.
http://www.scribd.com/doc/66226705/MAKALAH-REKAYASA-
GENETIKA (diakses Tanggal 27 Maret 2017)
Setiowati, Tetty, dkk. 2007. Biologi Interaktif. Jakarta: Azka Press

24
25

Anda mungkin juga menyukai