BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini Ahmadiyah marak diberitakan di berbagai media. Tuduhan sebagai aliran
sesat datang dari berbagai penjuru. Dengan segala kontroversinya, Ahmadiyah sesungguhnya
telah lama menjadi sorotan dari berbagai organisasi Islam di tanah air. Salah satu hal pokok yang
mengundang protes dimana-mana adalah mengenai status Mirza Gulam Ahmad yang disinyalir
Akhirnya, pada tahun 1980 MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah sesat,
dan ditegaskan lagi pada tahun 2005 bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan
menyesatkan, dan orang Islam yang masuk dalam aliran Ahmadiyah maka tergolong kafir.
Namun, sampai saat ini tidak ada solusi yang tepat dari pemerintah untuk meredakan konflik
antara kalangan yang pro dan kontra Ahmadiyah. Di samping itu, kekerasan dan aksi
penganiayaan terhadap jamaah Ahmadiyah terjadi di mana-mana, sehingga menuai simpati dari
berbagai pihak termasuk beberapa kalangan ulama dan dan cendikiawan Muslim. Oleh karena
itu, pada tahun 2008, pemerintah menerbitkan SKB (surat keputusan bersama) tentang larangan
bagi Ahmadiyah untuk menyebarkan penafsirannya yang bertentangan dengan Islam, namun
lagi-lagi SKB ini tidak memberikan solusi yang nyata bagi persoalan yang ada.[1]
Untuk itu, penulis merasa perlu memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
Ahmadiyah itu sendiri, agar semua pihak, terutama pembaca pada khususnya, dapat memahami
persoalan tersebut secara netral dan tidak memihak, sehingga dapat diperoleh jalan keluar yang
terbaik.
B. Rumusan Masalah
d. Apa sajakah doktrin-doktrin Ahmadiyah yang dipandang sebagai doktrin yang kontroversial?
BAB II
PEMBAHASAN
Ahmadiyah lahir di India pada akhir abad ke-19 di tengah suasana kemunduran umat
Islam India di bidang agama, politik, sosial, ekonomi, dan bidang kehidupan lainnya, yang
merupakan dampak dari kemunduran kerajaan Mughal yang berkuasa di India (1526-1858) pada
akhir abad ke-18. Kemunduran kerajaan ini berawal dari faktor internal berupa tidak adanya
pemimipin yang bisa mempertahankan kemajuan kerajaan Mughal setelah masa pemerintahan
Aurangzeb, yang bergelar Alamghir, karena dekadensi moral dan pola hidup mewah dalam
lingkup kerajan Mughal. Kerajaan muslim ini cukup lama berkuasa di India, namun mayoritas
penduduk India tetap beragama Hindu. Pada masa-masa kemunduran ini, terjadi pula
pemberontakan-pemberontakan dari pihak Hindu dan Sikh yang hendak melepaskan diri dari
kekuasaan Mughal. Dalam beberapa penyerangan yang mereka lakukan, mereka melakukan
Sirhind.[2]
Di sisi lain, intervensi Inggris terutama setelah terjadinya revolusi India dengan
pemberontakan munity pada tahun 1875, juga berhasil memberikan pengaruh yang besar
terhadap India. Serangan-serangan Inggris berakhir dengan kemenangan East India Company,
lalu Inggris menjadikan India sebagai salah satu koloni yang terpenting di Asia. Kondisi ini
seakan memberikan kesempatan emas bagi Inggris untuk menjadikan India sebagai salah satu
daerah kristenisasi, terutama seelah dideklarasikannya misi Kristen setelah terbentuknya British
and Foreign Binle Society yaitu The Great Century of World Evangelization (Abad Agung
Penginjilan Dunia.[3]
menyedihkan. Umat Islam kebanyakan memiliki pemikiran yang statis, dan cenderung kuat
dalam hal fanatisme kelompok, sehingga persaingan dan pertentangan antar aliran, mazhab, dan
golongan Islam yang mereka anut seringkali terjadi. Ditambah lagi sikap mereka yang tidak
kritis dan membiarkan keyakinan mereka bercampur dengan ajaran dan tradisi masyarakat Hindu
aaupun Budha. Kebanyakan dari mereka juga tidak mengindahkan perintah dan larangan yang
telah dietapkan dalam agama. Selain itu, pemikiran serta prilaku mereka amat konservatif,
misalnya mereka menentang penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa bukan Arab, seperti
bahasa Urdu atau bahasa Persia, padahal itu akan mempermudah masyarakat awam untuk
memahami al-Quran.[4]Dan saat Inggris menjajah India, kondisi umat Islam semakin terisolasi.
Pada pertengahan abad ke-18, muncul seorang ulama terkenal, yaiu Syekh Waliyullah,
yang memotori umat Islam untuk menyadari dan mencari solusi keterbelakangannya. [5]
Usaha ini diteruskan oleh pengikutnya, termasuk Syekh Ahmad Khan yang mendirikan
gerakan Aligarh. Ia meminta agar kaum muslimin menempuh jalan damai untuk
mengembangkan ajaran agamanya. Gerakan yang ia bangun, yakni Aligarh semakin besar.
Kesediaannya bekerja sama, membuat Inggris memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi
menghasilkan pujangga-pujangga besar dari India. Menurut Muhammad Iqbal, Syekh Ahmad
Khan adalah orang yang pertama kali merasakan perlunya pembaharuan pemikiran Islam, dan
Dalam waktu yang hampir bersamaan, muncul seorang pembaharu bernama Mirza Gulam
Ahmad, yang dianggap memiliki aliran yang sama dengan Syekh Ahmad Khan, bahkan ada yang
mempersamakannya. Namun, menurut beberapa pengamat, Ahmadiyah lahir sebagai reaksi atas
munculnya gerakan Aligarh. Prof. H. A. R. Gibb bahkan menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah
perpaduan antara beberapa aliran menjadi satu aliran baru dengan tujuan pembaharuan.[7]
Ahmadiyah merupakan gerakan pembaruan yang bersifat liberal dan cinta damai dengan
maksud menarik perhatian orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam
dengan pemahaman yang lama. Mirza Gulam Ahmad sebagai pendirinya menyatakan bahwa
dirinya adalah al-Mahdi bagi umat Islam dan al-Masih bagi umat Kristen, tetapi juga sebagai
avatar (inkarnasi) Krishna. Hal inilah yang memicu terjadinya reaksi yang keras dari umat
Islam.[8]
Mengenai tahun berdirinya Ahmadiyah, terdapata dua versi. Versi pertama adalah tahun
1888, yang diakui oleh Ahmadiyah Lahore, yang didasarkan pada tahun ketika Mirza Gulam
Ahmad menerima ilham untuk menerima baiat dari pengikutnya. Versi yang kedua adalah tahun
1889, yang diakui oleh Ahmadiyah Qadian, yang didasarkan pada tahun pembaiatan itu
terjadi.[9]
Ia merupakan keturunan Haji Barlas, raja kawasan Kesh. Ketika musuh menyerang Kesh,
Haji Barlas melarikan diri bersama keluarganya ke Khurasan dan Samarkand. Pada abad ke-16
salah seorang keturunannya yang bernama Mirza Hadi Baig, pindah ke daerah Hindustan dan
mendirikan sebuah kampung yang bernama Islampur, yang kemudian disebut dengan Qadi atau
Qadian. Karena saat itu ia menjabat sebagai Qadi (hakim atau jaksa) di islampur. Mirza Hadi
Baig ini masih merupakan keturunan dinasti Mughal. Ketika Mughal berkuasa, kehidupan
keluarga ini amat sejahtera. Namun ketika pemerintahan Sikh berkuasa, mereka terusir dari
Qadian dan hidup miskin dan menderita. Dan baru pada tahun 1818, keluarga Gulam Ahmad
kembali ke Qadian.
Mirza Gulam Ahmad lahir pada tanggal 13 Februari 1835 atau !4 Syawwal 1250 di desa
Qadian, kurang lebih 57 kilometer sebelah timur kota Lahore, dan 24 kilometer dari kota
Amritsar di Propinsi Punjab, India. Ayahnya bernama Mirza Gulam Murtaza dan ibunya Ciraagh
Bibi.[10]
Keluarga Mirza Gulam Ahmad ini pernah menjadi pembantu setia pemerintah kolonial
Inggris, terbukti pada tahun 1857 ketika Gulam Murtaza mengirimkan banyak orang termasuk
kakak Gulam Ahmad, yaitu Gulam Qadir untuk untuk ikut dalam tentara Jenderal Nicholson di
Trimughat ketika menghancurkan para pemberontak yang melarikan diri dari Sialkot. Atas
kampungnya sendiri. Ia belajar banyak hal, seperti belajar al-Quran dan beberapa kitab Persi dari
Fazal Ilahi pada tahun 1841. Setelah umur 10 tahun, dia belajar nahwu saraf dari Fazal Ahmad.
Pada umur 17 tahun dia belajar ilmu nahwu dan mantiq dari Gul Ali Shah dari Batala. Dan ia
juga belajar ilmu tabib langsung dari ayahnya yang memang merupakan seorang tabib. Setelah
berumur 29 tahun dia menjadi pegawai pada pemerintah Inggris di kantor Bupati Sialkot dan
hanya bertahan sampai 4 tahun. Lalu pulang ke Qadian. Di sana sebagian besar waktunya
Selama 6 bulan dia bermujahadah atau melakukan perenungan dan shalat tahajjud di
tengah malam untuk mencari jawaban atas problematika umat Islam. selain itu ia hidup amat
sederhana, serta rajin berderma, ia juga sangat rajin berpuasa.
Ia tidak memiliki ketertarikan pada hal-hal duniawi. Dia lebih banyak membaca,
sehingga kemampuannya dalam berdiskusi mampu menarik minat beberapa orang, termasuk
misionaris-misionaris Kristen yang gencar menyebarkan agamanya. Dia banyak belajar tentang
Islam, demikian pula tentang ajaran Hindu dan Kristen, sehingga dia banyak menulis artikel
untuk menentang kepercayaan dan pemimpin Hindu, begitu pula terhadap Kristen. Akhirnya
pada tahun 1880 ia menyusun buku Barahiyn Ahmadiyah yang berisi kebenaran Islam. Bagian
pertama buku ini dicetak pada tahun 1880, bagian kedua pada tahun 1881, bagian ketiga pada
tahun 1882, dan bagian keempat pada tahun 1884. Buku ini mengundang keinginan tokoh-tokoh
agama lain untuk berdialog denga Mirza Gulam Ahmad, dan membuat umat Islam bersuka cita.
Pada saat itu, ia belum mengaku sebagai mujaddid, meskipun banyak orang menyebutnya
mujaddid. Selanjutnya pada tahun 1888, ia mengaku menerima ilham memerintahkannya dua
hal, yaitu hendaknya ia menerima baiat dari pengikutnya, dan membentuk sebuah wadah untuk
menyatukannya serta untuk mendukung penyebaran Islam. Namun hal ini baru dilakukan pada
tahun 1889 di kota Ludhiana, rumah Mia Ahmad Jaan, yang dibaiat sekitar 40 orang. Ada
sepuluh syarat baiat untuk masuk ke dalam jemaah tersebut tanpa satupun syarat yang menyalahi
syariat Islam. Dan pada tahun 1891 ia mengaku mendapat wahyu dan ia mengaku bahwa dirinya
adalah al-Masih yang dijanjikan sekaligus al-Mahdi. Dan akhirnya ia wafat pada tahun 1908,
karena sakit.
Sebelum meninggal, tepatnya pada Desember 1905, Mirza Gulam Ahmad menulis buku
berjudul al-Was}iyyat yang berisi pemberitahuan bahwa dirinya tak lama lagi akan meninggal
dan nasihat agar warga Ahmadiyah tetap tentram dan bersabar hati. Kemudian pada tahun
berikutnya, tepatnya Desember 1906, didirikan sebuah lembaga dengan nam Sadr Anjuman
Ahmadiyah yang berpusat di Qadian, yang bertugas mengurusi sekolah-sekolah, majalah Review
of Religion, Bahesyti Maqbarah atau badan urusan wasiat, dan lain-lainnya.
Saat Mirza Gulam Ahmad masih hidup, umat Ahmadiyah amat bersatu, dan kondisi
tersebut terus terjaga hingga menjelang kematian Khalifah I, yakni Maulwi Nuruddin, yang
merupakan pengganti Mirza Gulam Ahmad. Saat itu Ahmadiyah sudah tersebar luas, namun
bibit perpecahan mulai timbul dalam tubuh Ahmadiyah yang akhirnya menyebabkan Ahmadiyah
terpecah menjadi dua, yaitu Ahmadiyah Qadian yang dipimpin oleh Mirza Basyiruddin Mahmud
Ahmad sebagai khalifah II, dan Ahmadiyah Lahore yang dipimpin oleh Maulana Muhammad
Ali.
Perpecahan yang terjadi di antara mereka dipicu oleh perbedaan pendapat mengenai tiga
hal, yakni masalah khalifah (pengganti pimpinan), iman kepada Mirza Gulam Ahmad, dan
kenabian.
dengan alasan menuruti ajaran Islam dan wasiat Mirza Gulam Ahmad bahwa dalam jama’at
harus ada khalifah yang ditaati oleh jama’at. Selain itu, mereka mengakui dan meyakini bahwa
beriman kepada Mirza Gulam Ahmad adalah suatu kewajiban, maka barangsiapa
mengingkarinya di adalah kafir, Mereka juga meyakini bahwa Mirza Gulam Ahmad itu betul-
betul nabi, dan pintu kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah saw, yang didasarkan pada
perkataan Mirza Gulam Ahmad dalam bukunya Eik Ghalti Ka Izalah, yakni:
“Kapan dan dimanapun aku telah mengingkari panggilan nabi atau rasul maka
maknanya tidak lain hanya bahw aku bukanlah nabi atau rasul yang mustaqil, membawa syariat
baru, dan menjadi nabi yang berdiri sendiri, melainkan aku menerima karunia-karunia dari
keruhanian Rasulullah saw., karena aku menaati beliau serta dianugerahi nama dari Rasulullah
saw. Oleh karena itu, aku menerima ilmu-ilmu gaib dari Allah swt. Dengan demikian, aku
adalah rasul dan nabi, namun tidak membawa syariat baru. Nabi dengan arti semacam ini tidak
pernah aku ingkari. Justru dengan makna inilah Allah selalu memanggilku nabi dan rasul.”[11]
Adapun Ahmadiyah Lahore mengatakan bahwa organisasi khilafat tidak perlu, cukup
dengan anjuman saja. Untuk menghormati wasiat khalifah I, bolehlah ditetapkan sebagai Amir,
namun tidak mutlak ditaati jema’at atau Sadr Anjuman Ahmadiyah, dan memiliki batas waktu
menjabat dan syarat-syarat tertentu. Selain itu, mereka berpendapat bahwa beriman kepada
Mirza Gulam Ahmad merupakan hal yang baik, namun bukan merupakan kewajiban, maka
barangsiapa yang tidak beriman kepadanya maka ia tidak serta merta disebut kafir. Orang baru
bisa dikatakan kafir ketika orang tersebut mengingkari Rasulullah saw. Mereka juga meyakini
bahwa Mirza Gulam Ahmad bukan sebagi nabi, namun hanya sebagai mujaddid, selain juga
sebagai al-Masih dan al-Mahdi, dan yang menjadi dasarnya adalah perkataan Mirza Gulam
Ahmad dalam bukunya yang berjudul Izalah Auham dan Majmu’ah Isytiharat, yaitu:
“Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin bahwa kata-kata semacam itu seringkali
termuat dalam tulisan-tulisan saya, yaitu bahwa muhaddats dalam satu segi berarti nabi.
Maksud kata-kata itu tidak dalam arti yang sebenarnya, melainkan dalam arti yang lebih luas
lagi. Oleh karena itu, saya tidak ragu sedikit pun untuk memberikan makna lain untuk
digunakan perkataan nabi, hendakalah itu diartikan muhaddats dan anggaplah perlataan nabi
Kelompok ini menentang pendapat Ahmadiyah Qadiani yang menganggap Mirza Gulam
Ahmad pernah mengaku sebagai nabi. Menurut mereka, pengakuan Mirza Gulam Ahmad hanya
sebatas seorang muhaddast atau mujaddid dan didasarkan atas perintah Ilahi. Jika ini disebut
kenabian dalam arti kiasan atau disebut nabi juz’i, maka bukan berarti pengakuan sebagai nabi.
Perpecahan ini menunjukkan sebuah titik terang bahwa sebenarnya pengikut Mirzalah
yang amat agresif dalam menyebarkan ajaran Ahmadiyah yang kontroversi dengan ajaran Islam
yang telah diyakini kebenarannya sejak lama. Awalnya Ahmadiyah lahir sebagai sebuah solusi
terhadap problematika umat, namun setelah Mirza Gulam Ahmad dan khalifah I yang
Ahmadiyah itu sendiri. Hal ini menjadi penting untuk kita ketahui bersama, bahwa Ahmadiyah
sulit untuk dicegah untuk beredar, karena sebenarnya masih ada golongan Ahmadiyah yang tetap
memiliki pemahaman seperti yang dimiliki oleh umat Islam. meskipun kebanyakan orang
menyamakan antara Ahmadiyah Qadiani dan Ahmadiyah Lahore yang sebenarnya amat
D. Doktrin-Doktrin Ahmadiyah
Di kalangan Ahmadiyah, ada beberapa doktrin yang perlu dikaji agar tidak menimbulkan
maupun Qadian meyakini bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah al-Mahdi seklaigus al-Masih yang
dijanjikan. Menurut Ahmadiyah, al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dengan al-Masih, karena
keduanya merupakan satu tokoh, satu kepribadian, yang kedatangannya telah dijanjikan Tuhan.
Ia ditugaskan untuk membunuh Dajjal dan mematahkan tiang salib, yakni mematahkan argumen-
argumen agama nasrani dengan dalil-dalil atau bukti-bukti yang meyakinkan serta menunjukkan
kepada para pemeluknya tentang kebenaran Islam, dan menegakkan kembali syariat nabi
Dasar yang mereka gunakan adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:
حدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب قال أخبرني
نافع مولى أبي قتادة األنصاري أن أبا هريرة قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و
[13] كيف أنتم إذا نزل ابن مريم فيكم وإمامكم منكم ؟:سلم
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Bagaimanakah sikap kamu
sekalian apabila Ibnu Maryam datang (bersamamu) sedangkan imammu berasal dari
kalanganmu?
حدثني محمد بن خالد. حدثنا محمد بنن إدريس الشافعي. حدثنا يونس بن عبد األعلى
الجندي عن أبان بن صالح عن الحسن عن أن س بن مالك أن رسول هللا صلى هللا
وال الناس إال شحا. و ال الدنيا إال إدبارا. ( ال يزداد األمر إال شدة: عليه و سلم قال
) وال المهدي إال عيسى بن مريم. وال تقوم الساعة إال على شرار الناس.
Artinya:
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “ Tidaklah urusan bertambah kecuali
kesulitan; dunia tidak bertambah kecuali kemunduran, tidaklah bertambah manusia kecuali
cucuran air mata; tidaklah tiba hari kiamat kecuali atas orang-orang yang jahat; dan tiada
seorangpun sebagai al-Mahdi kecuali Isa bin Maryam.
Berdasarkan hadis yang pertama, seluruh umat Islam meyakini bahwa Isa Ibnu Maryam
akan datang kembali. Akan tetapi, paham mereka berbeda-beda, ada yang memahami secara
harfiah, dan ada pula yang memahaminya secara kiasi. Pada umumnya kaum muslimin
berpendapat bahwa al-Masih yang dijanjikan adalah Isa ibn Maryam yang diutus kepada bani
Israil, dan sekarang ini ia dianggap masih hidup di langit. Dia akan turun ke dunia dibantu oleh
imam Mahdi, keduanya akan berperang melawan orang-orang non-muslim dan tak akan berhenti
sebelum mereka semua memeluk agama Islam. sesudah itu didirikan kerjaan Islam di dunia.
Adapun golongan Ahmadiyah memahaminya secara kiasi, mereka berpendapat bahwa al-Masih
telah wafat secara wajar dalam usia lanjut dan tidak akan bangkit lagi sebelum hari kiamat
datang. Mereka memahami hal tersebut dari QS. al-Ma>'idah/5:117 dan QS. al-Nisa>'/4: 157-
Terjemahan yang tertera di atas adalah terjemahan yang disusun oleh Departemen Agama
RI. Namun, ada perbedaan penafsiran dari golongan Ahmadiyah. Mereka berpendapat bahwa
kata syubbiha lahum tidak bisa diartikan sebagai orang yang diserupakan dengan Nabi Isa as.,
mereka menafsirkannya dengan ditampakkan bagi mereka seperti demikian, yakni seolah-olah
Nabi Isa as. telah meninggal di tiang salib.Padahal sesungguhnya Nabi Isa as. meninggal secara
wajar. Begitu pula dengan katarafa’a pada ayat 158, mereka menafsirkannya
dengan memuliakan derajatnya, bukanmengangkatnya. [16]
Dan mereka memahami kata ima>mukun minkum pada hadis tersebut di atas bahwa al-
Mahdi adalah berasal dari umat Islam itu sendiri, dan dikaitkan dengan hadis kedua yang
menyatakan bahwa al-Mahdi adalah Isa as., maka mereka memahami al-Mahdi dan al-Masih
adalah satu tokoh, yang kemudian dipahami secara kiasan, bahwa al-Masih sekaligus al-Mahdi
yang dijanjikan, bukanlah Nabi Isa yang diutus kepada bani Israil, melainkan salah seorang umat
Muhammad yang mempunyai persamaan dengan Isa al-Masih, dialah Mirza Gulam Ahmad.
Lebih lanjut Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa jika Nabi Isa benar-benar akan datang atau
dibangkitkan kembali, maka itu berarti membongkar segel penutup kenabian, yang bertentangan
Menurut Ibnu Hajar al-As\qalani, bahwa hadis-hadis yang mereka gunakan yang
berbicara tentang al-Mahdi dan al-Masih adalah bertentangan dengan semua hadis shahih yang
berbicara tentang hal tersebut. Dan para ahli fiqhi ,mufassir, serta muhaddis menyatakan bahwa
Isa ibnu Maryam akan datang bukan sebagai nabi, tetapi sebagai umat Muhammad, sehingga
2. Masalah Kenabian
Terkait dengan masalah kenabiaan, dikalangan ahmadiyah terdapat perbedaan pandangan
antara Ahmadiyah Qadian dan Lahore. Begitu pun dengan Ahmadiyah dengan kaum muslim
pada umumnya. Ahmadiyah Qadian memunculkan tiga klasifikasi terkait masalah kenabiaan:
a. Nabi shahib asy-Syariah dan mustaqil. shahib asy-Syariah adalah Nabi pembawa syariat
(hukum-hukum) untuk manusia. sementara Nabi Mustaqil adalah hamba Allah yang menjadi
nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya, seperti Nabi Musa a.s,beliau menjdi nabi bukan
atas dasar menjadi mengikuti nabi atau syariat sebelumnya. Ia langsung menjadi nabi dan
pembawa taurat. Begitu pula NabiMuhammad Saw. nabi semacam ini dapat juga disebut
b. Nabi Mustaqil Ghair at-Tasyri’I yakni hamba tuhan yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti
nabi sebelumnya, hanya saja ia tidak membawa syariat baru. Dalam arti bahwa ia ditugaskan
oleh Allah untuk menjalankan syariat yag dibawah oleh nabi sebelumnya. Pada Nabi yang
tergolong atau masuk kedalam NabiMustaqil Ghair at-Tasyri’I, adalah Nabi Harun, Daud,
Sulaiman, Zakariyah, Yahya, dan Nabi Isa a.s. semuanya menjadi nabi secara langsung
(Mustaqil), tidak karena hasil mengikuti para nabi sebelumnya. Mereka secara langsung diangkat
oleh Allah menjadi Nabi dan ditugaskan menjalankan syariat Nabi Musaa.s. yang ada dalm kitab
taurat.
c. Nabi Zhilli Ghair at-Tasyri’i, yakni hamba tuhan yang mendapatkan anugra dari Allah menjadi
nabi semata-mata karena hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga karena hasil
kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga karena mengikuti syari’atnya. Karena itu, tingkatan
berada dibawah kenabiaan sebelumnya dan ia juga tidak membawa syariat baru. Hamba tuhan
yang masuk kedalam golongan nabi Zhilli Ghair at-Tasyri’i adalah Mirza Ghulam Ahmad yang
namun ia menjadi persamaan cukup besar dengan para Nabi, yakni ia menerima wahyu. Hanya
saja, wahyu yang ia terima tidak bersifat tasyri’i meskipun mengandung pengetahuan dan
Dalam kaitannya dengan nabi lughawi tersebut menurut tokoh Ahmadiyah Qadian
Indonesia, Ahmadiyah Qadian lebih suka menggunakan istilah nabi zilli atau buruzi yang berarti
nabi Bayangan. Nabi ini menjadi bayangan dari nabi sebelumnya karena ia tunduk, mengikuti
dan mencontoh sifat-sifat dan perintah-perintah nabi sebelumnya. Oleh karena begitu taat dan
patuh terhadap nabi haqiqi, maka pada akhirnya ia menjadi bayangan atau cermin dari nabi yang
diikut. Nabi zhilli atau buruzi ini diangkat oleh tuhan. Selain menyabut dengan istiklah nabi
zhilli atau buruzi, mereka meyebutnya dengan nabi ummati, nabi majazi, dan nabi kiasi.[20]
Jadi mengenai status kenabian Mirza ghulam Ahmad dimata pengikutnya terdapat
perbedaan pandangan yang mendasar antara Lahore dan Qadian. Golongan Lahore
sekalipun secara implisit memandangnya sebagai nabi lughawi atau majazi, akan tetapi mereka
menolak paham golongan Qadiani secara tegas. Mereka memandang Mirza gulam Ahmad
bukanlah nabi, melainkan seorang Mujaddid abad ke-14 h. ia mempunyai banyak persamaan
dengan dengan nabi dalam hal ia menerima wahyu atau berita samawi(langit). Selanjutnya ,
mereka juga berpandangan bahwa wahyu yang diterimanya wahyu walauah atau wahyu
kewaliaan. Menurut pandangan Ahmadiyah Lahore, wahyu semacam inilah yang tetap terbuka
agar dengan wahyu tersebut, iman umat manusia tetap hidup dan segar.[21]
Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya.
yang perbedaan yang mendasari antara golongan Lahore dan golongan Qadian. Golongan Lahore
keyakinan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir. Sesudah beliau tidak akan
dating nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Mereka menggunakan dasar
tAqß™§‘«!$# `Å3»s9ur öNä3Ï9%y`Íh‘ `ÏiB 7‰tnr& !$t/r& JptèC tb%x. $¨B
$VJŠÎ=tãÇÍÉÈ >äóÓx« Èe@ä3Î/ ª!$# tb%x.ur 3 z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# zOs?$yzur
“ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara
kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.[22]
Penggunaan istilah nabi lughawi atau majazi sebagaimana yang telah
dikemukakan dalam uraian sebelumnya, apabila dikaitkan dengan Mirza
Ghulam ahmad, golongan Lahore memberikan pengertian bahwa dia bukanlah
seorang nabi, tetapi ia mempunyai persamaan cukup besar dengan nabi karena
menerima wahyu, meskipun wahyu yang diterimanya tidak tasyri’I dan
mengandung pemberitahuan atau pengajaran tenag hal yang ghaib.[23]
Dalam hal ini. Mirza Ghulam Ahmad lebih tepat disebut Muhaddats, yaitu orang yang
banyak menerima firman ilahi. Oleh karena firman Ilahi (wahyu) merupakan sebagian
kenikmatan yang dianugrahkan kepada nabi maka para Muhadats secara majasi atau kiasan
disebut nabi majazi. Mengenai penggunaan istilah Muhaddats, golongan ini mendasarkan pada
perintah Allah Taala….. hal itu dinyatakan suatu kenabiaan majazi atau ditetapkan suatu bagian yang kokoh dari
Atas dasar pengakuan Mirza Ghulam Ahmad tersebut, dapat disimpulkan bahwa ia tidak
pernah mengaku menjadi nabi. Pegakuaannya hanya sebagai muhaddats yang didasarkan atas
perintah tuhan. Pengkuan yang disebut kenabiaan dalam artian kiasan atau disebut nabi majazi
Disamping itu tulisannya yanglain, mirzaghulam Ahmad juga menelaskan sebagai berikut
“ ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin bahwa kata-kata yang semacam itu yang seringkali termuat
dalam tulisan saya, bahwa muhaddats dalam satu segi berarti nabi. Kata-kata ini saya tidak maksudkan dalam arti
yang sebenarnnya, tetapi digunakan dalam arti yang lebih luas. Oleh karena itu, saya tidak ragu sedikitpun untuk
memberkan makna yang lain untuk menentramkan saudaraku umat islam seluruhnya, yakni apabila dalam tulisan –
tulisanku digunakan perkataan nabi, hendaklah itu diartikan sbagai muhaddats dan anggaplah perkataan nabi tidak
ada lagi.[25]
an-nabiyyin. Menurut paham kaun Qadian, berita akan datangnya kembali nabi Isa a.s. sebagai
Semua uraian sebenarnya merupakan penjelasan dari apa yang menjadi keyakinan Mirza
a. Dengan sungguh-sunggu saya percaya bahwa nabi Muhammad saw., adalah khatam al- anbiya.
Seorang yang tidak percaya pada khatam al-anbiya beliau (Rasulullah saw) maka dia adalah
bahwa Nabi Muhammad saw., sebagai manusia pilihan adalah benar-benar khatam an-
nabiyyin. Ini menjadi kesepakatan semua umat islam. Namun mngenai makna dan pengertian
serta penafsiran terhadap kata tersebut, terdapat perbedaan yang mendasar. termasuk ahmadiyah
yang aliran Lahore. Ahmadiyah Qadian memandang rasulullah sebagai khatam an-nabiyyin
Ahmadiyah mulai dikenal sejak tahun 1918 melalui majalah Islamic Review edisi Melayu
yang terbit di Singapura. Akan tetapi Ahmadiyah baru diperkenalkan secara langsung oleh
tokohnya sendiri pada tahun 1920. Tokoh tersebut bernama Prof. Maulana H. Kwadja
Kamaluddin, seorang tokoh Ahmadiyah Lahore sekaligus seorang Ahmadi yang membawa misi
Islam di London dan Eropa, serta redaktur surat kabar Islam Review yang menerbitkan artikel-
artikel tentang agama Islam dan juga merupakan Imam Masjid Woking, Surrey, London . Ia
datang ke Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1920 untuk berobat sekaligus melihat keadaan di
Surabaya.
Pada tahun 1924, Ahmadiyah Lahore mulai dikenal di Yogyakarta, dikarenakan
kedatangan dua orang muballig Ahmadiyah langsung dari Hindustan, yaitu Maulana Ahmad dan
Mirza Wali Ahmad Baig secara tiba-tiba dan tidak jelas siapa yang mengundang keduanya.
Manila, namun karena tidak ada biaya hidup yang cukup, terpaksa ia tinggal di Indonesia.
Namun sumber lain mengungkapkan bahwa keduanya sebenarnya berniat ke Cina dan hanya
singgah di Indonesia. Tetapi setelah mendengar berita mengenai penyiaran agama Kristen di
Jawa yang sangat kuat dan sukses, baik ketika mereka berada di Singapura maupun di Jawa,
mereka membatalkan niatnya untuk ke Cina dan tetap tinggal di Jawa, dan mereka melaporkan
perubahan rencana ini kepada Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore (Shadr Anjuman
Isy’ati Islam) di India, serta meminta agar dikirimkan muballig lain ke Cina.
Kedatangan mereka awalnya disambut baik dan dibantu oleh organisasi Muhammadiyah.
Hal ini terbukti dengan tinggalnya Wali Ahmad Baig di rumah Haji Hilal di Kauman, tempat
kelahiran Muhammadiyah dan pusat aktivitas Islam di Yogyakarta. Selain itu, Pengurus Besar
Muhammadiyah sendiri juga menyambut mereka dalam kongresnya yang diadakan pada tahun
1924. Pada kongres tersebut Maulana Ahmad memperoleh kehormatan memberikan sambutan
dalam bahasa Arab, sementara wali Ahmad Baig memberi sambutan dalam bahasa Inggris,
Materi sambutan yang disampaikan oleh Wali Ahmad baig antara lain, perkenalan dirinya
sebagai utusan Ahmadiyah dari Lahore yang merasa berkewajiban mengenalkan tentang
Ahmadiyah di Lahore dan di dunia. Ada dua tujuan Ahmadiyah yang disampaikannya,
yaitu pertama, mengumpulkan orang-orang Islam di dunia di bawah satu bendera Islam, yaitu
Islam sejati. Kedua, menyiarkan agama Islam sebagai agama yang cocok dengan kejadian
manusia di seluruh dunia, olehnya itu Ahmadiyah melakukantablig di seluruh dunia. Ia juga
berdakwah, dan dalam kurun waktu tujuh tahun, sekitar 2000 orang masuk Islam di Inggris.
Adapun materi yang disampaikan oleh Maulana Ahmad berkisar tentang dogma-dogma Kristen,
khususnya komentar tentang Ketuhanan dan Yesus seorang anak Tuhan. Ia juga menjelaskan
bahwa ada dua prinsip dalam dakwahnya. Pertama, mendorong agama Islam. Kedua, menjauhi
aktivitas politik.[29]
Lalu pada tahun 1925, juga dalam kongres Muhammadiyah, Mirza Wali Ahmad Baig
kemabali diberikan kesempatan memberikan sambutan di antara beberapa sambutan yang ada.
Pada saat itu Maulana Muhammad telah kembali ke India lebih awal karena sakit.
Sosok Wali Ahmad Baig ternyata memiliki daya tarik tersendiri di mata sebagian tokoh
Muhammadiyah, terutama tokoh intelektual muda. Ia dianggap sebagai tokoh yang mampu
dijadikan figur panutan untuk mengadukan berbagai permasalahan atau mendapatkan siraman
ilmu. Salah satu daya tarik terbesar Wali Ahmad Baig adalah kemampuan bahasa Inggris yang
dimilikinya.
Fachruddin, yaitu Bintang Islam, bahkan al-Manak Muhammadiyah tahun 1926 juga berisi
artikel-artikel menarik tentang Ahmadiyah. Lebih lanjut, periode ini Taman Pustaka, terbitan
Pada tanggal 7 Juni 1924, penasihat Urusan Pribumi, R. Kern, melaporkan kepada
gubenur Jenderal Hindia Belanda bahwa ada empat orang pemuda Jawa dari Semarang yang
pergi ke Calcutta menuju Lahore untuk studi di sekolah Ahmadiyah Lahore, di antaranya adalah:
Belanda di Jawa. Pada awalnya mereka mengira bahwa Ahmadiyah hanya akan menambah
jumlah kelompok-kelompok Islam. Namun, akhirnya mereka memberikan sikap mendukung
terhadap Ahmadiyah, karena dinilai sangat liberal dan mampu menyesuaikan diri, demikian yang
Pada tahun 1926, hubungan Ahmadiyah dengan Muhammadiyah mulai renggang, setelah
mereka mengetahui adanya penyimpangan terhadap sunnah, yang terdapat pada doktrin-doktrin
yang dibawa oleh Ahmadiyah Lahore. Sumber lain mengatakan bahwa perubahan sikap tersebut
terjadi ketika pada tahun 1927, seorang ulama dari India yang sebenarnya belum jelas asal-
usulnya maupun karya-karyanya, yaitu Abdul Alim al-Siddiqi, datang untuk bertemu tokoh-
tokoh Islam, dan ketika memberi pengajian umum, ia secara gamblang menjelaskan
Baig untuk membicarakan masalah ini, dan setelah itu Wali Ahmad Baig pindah ke Purwokerto.
Beralih kepada Ahmadiyah Qadian yang masuk ke Indonesia pada tahun 1925, setahun
keberangkatan dua orang pemuda Indonesia ke Hindustan untuk belajar ilmu agama Islam, yaitu
Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin, yang merupakan lulusan dari perguruan Sumatra
Thawalib yang dipimpin oleh Dr. H. Karim Amrullah di Padang Panjang. Pada tahun 1922,
mereka meninggalkan Sumatra melalui Medan ke India denga tujuan daerah Lukcnow untuk
mencari ulama. Namun setelah belajar sekitar dua setengah bulan, mereka meninggalkan kota itu
menuju ke Lahore, dan berkenalan dengan Ahmadiyah. Di sana mereka dididik oleh Maulana
Abdus Sattar, namun tidak memperoleh kepuasan. Pada akhir tahun 1923, setelah enam bulan
menetap di Lahore, mereka menuju Qadian, dan menemui Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad,
putera Mirza Gulam Ahmad yang merupakan khalifah II, untuk belajar agama. Dan mereka
diperbolehkan masuk madrasah Ahamadiyah setelah belajar bahasa Urdu selama enam bulan.
Lalu setelah masuk sekolah, mereka masuk Jami’ah Ahmadiyah, dan akhirnya melakukan baiat
di tangan Khalifah II. Pada tahun 1926, tercatatlah beberapa orang lagi dari beberapa kota di
Sumatera, antara lain Padang, Padang Panjang, Batu Sangkar, dan Tapaktuan, Aceh, yang
berjumlah 19 orang, untuk menghadiri acara jamuan teh bersama para tokoh Jema’at. Dalam
jamuan tersebut para pelajar Indonesia meminta Khalifah II agar dapat berkunjung ke Indonesia.
Dan khalifah pun menunjuk Rahmat Ali yang merupakan guru Ta’limul Islam High School di
Ia meninggalkan Qadian pada bulan Juni 1925 melalui Penang, Medan, dan Sabang-kota
pelabuhan di ujung utara Sumatra yang terletak di Pulau Weh. Akhirnya ia tiba di Kotaraja,
Banda Aceh, setelah di Sabang mendapat kesulitan dari penguasa setempat. Dan pada tanggal 2
Oktober 1925 ia tiba di Tapaktuan dan tinggal di rumah Muhammad Samin yang pernah belajar
di Qadian. Ia mulai melakukan tablig memakai pakaian yang sama seperti kebiasaannya di
Qadian, sehingga menarik perhatian masyarakat. Dalam waktu singkat beberapa orang mengaku
secara terang-terangan mengikuti Ahmadiyah pada akhir bulan Desember 1925. Dengan
Kemudian Rahmat Ali melanjutkan melakukan tablig ke kota Padang dan tinggal di
rumah Daud Bangso Dirajo di Pasarmiskin. Tablig yang ia lakukan membuat resah warga
Padang, bahkan sampai ke daerah-daerah seperti Padang Panjang, dan Bukittinggi. Akhirnya
terbentuk Komite Mencari Hak yang dipimpin oleh Tahar Sutan Tarajo guna memperemukan
ulama Minangkabau dengan mubalig Ahamadiyah, namun hal ini tidak terealisasikan, karena
ulama hanya mengirimkan murid-muridnya untuk datang menemui mubalig Ahmadiyah. Pada
tahun yang sama, ayah Hamka, Dr. H. Abdul Karim Amrullah mengecam keras paham
Ahmadiyah dan menegaskan kekafiran kaum Ahmadiyah yang dituangkan dalam tulisannya
yang berjudul al-Qaul al-S{ah}i>h. Namun hal ini tidak menghambat perkembangan Ahmadiyah
di Padang.
Indonesia yang dalam perkembangannya menjadi sebuah organisasi dengan nama Jema’at
Ahmadiyah Indonesia. Setelah peristiwa berdirinya Ahmadiyah tahun 1929.
Perbedaan antara respon masyarakat pada awal kedatangan Ahmadiyah baik Qadian
tantangan keras karena Ahmadiyah secara terang-terangan menunjukkan ajarannya dan siap
menunjukkan secara jelas identitas yang terkandung dalam ajaran mereka yang bertentangan
dengan ajaran Islam yang telah disepakati, sekalipun ajarannya tidak sekontroversial Ahmadiyah
Qadian. Namun, terlepas dari itu semua, mereka dapat diterima secara baik, terutama oleh kaum
muda karena tawaran kajian Islam yang lebih modern dan liberal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahmadiyah lahir di India pada akhir abad ke-19 di tengah suasana kemunduran umat
Islam India di bidang agama, politik, sosial, ekonomi, dan bidang kehidupan lainnya, yang
merupakan dampak dari kemunduran kerajaan Mughal yang berkuasa di India (1526-1858) pada
Ahmadiyah adalah sebuah gerakan atau wadah yang didirikan oleh Mirza Gulam Ahmad
dengan dasar petunjuk Ilahi yang bertujuan untuk menyebarkan dan menegakkan syariat Islam,
Ahmadiyah terpecah menjadi dua golongan setelah meninggalnya Mirza Gulam Ahmad,
yakni Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian.
Di antara doktrin-doktrin Ahmadiyah yang kontroversial adalah masalah Mirza Gulam
Ahmad diyakini sebagai al-Masih dan al-Mahdi, status kenabian Mirza Gulam Ahmad, dan
B. Saran
• Pemerintah harus mengambil tindakan tegas terhadap persoalan yang menyangkut Ahmadiyah.
• Umat Islam jangan sampai terprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasan dan main hakim
• Wacana yang mengusulkan agar Ahmadiyah membentuk sebuah agama baru yang berdiri