Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH BAB III

KOMUNIKASI DAN ETIKA BISNIS


“MEMAHAMI ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL”
Dosen : Deddy Ardiansyah Suis, SE., M.Ak

NAMA KELOMPOK :
USWATUL KHASANAH (1612311008)
AGUSTINA ANGGRAINI (1612311013)
RISKI NUR ADILLA WALUYO (1612311024)
GANET OLGA CAHYANI (1712311082)
ADRYIAN FIRGRIANSYAH (1612311112)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BHAYANGKARA
SURABAYA
2019
I. ETIKA PASAR BEBAS
Pengertian Pasar Bebas
Pasar bebas adalah pasar ideal, di mana adanya perlakuan yang sama dan fair bagi semua pelaku bisnis
dengan aturan yang fair, transparan, konsekuen & objektif, memberi peluang yang optimal bagi
persaingan bebas yang sehat dalam pemerataan ekonomi. Rasanya sia-sia ketika mengharapkan suatu
bisnis yang baik dan etis kalau tidak di tunjang system social politik dan ekonomi yang memungkinkan
untuk itu. Dengan kata lain, betapun etisnya etika pelaku bisnis, jika system ekonomi yang berklaku
sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dianutnya, akan sangat menyulitkan. Betapa etisnya
pelaku ekonomi, kalaupun system yang ada melanggengkan praktek-praktek bisnis yang tidak fair
seperti monopoli, kolusi, manipulasi, dan nepotisme secara transparan dan arogan, akan sulit sekali
mengharapkan iklim bisnis yang baik dan etis. Ini berarti, supaya bisnis dapat dijalankan secara baik
dan etis, dibutuhkan puluh perangkat hukum yang baik dan adil. Harus ada aturan main yang fair, yang
dijiwai oleh etika dan moralitas.
Keunggulan moral pasar bebas
1. Pertama : system ekonomi pasar bebas menjamin keadilan melalui jaminan perlakuan yang
sama dan fair bagi semua pelaku ekonomi.
2. Kedua : ada aturan yang jelas dan fair, dan karena itu etis. Aturan ini diberlakukan juga secara
fair, transparan, konsekuen, dan objektif. Maka, semua pihak secara objektif tunduk dan dapat
merujuknya secara terbuka.
3. Ketiga : pasar memberi peluang yang optimal, kendati belum sempurna, bagi perasingan
bebas yang sehat dan fair
4. Keempat : dari segi pemerataan ekonomi, pada tingkat pertama ekonomi pasar jauh lebih
mampu menjamin pertumbuhan ekonomi.
5. Kelima : pasar juga memberi peluang yang optimal bagi terwujudnya kebebasan manusia.
Faktor-faktor Peran Pemerintah
1. Mengawasi agar akibat ekstern kegiatan ekonomi yang merugikan dapat dihindari.
2. Menyediakan barang public yang cukup hingga masyarakat dapat membelinya dengan mudah
dan murah.
3. Mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan, terutama perusahaan yang besar yang dapat
mempengaruhi pasar.
4. Menjamin agar kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak menimbulkan ketidak setaraan dalam
masyarakat.
5. Memastikan pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan secara efisien.
6. Campur tangan pemerintah dalam ekonomi.
7. Membuat undang-undang. Dalam peraturan Undang-undang diperlukan untuk mempertinggi
efisiensi mekanisme pasar, menciptakan dasaran social ekonomi dan menciptakan
pertandingan bebas sehingga tidak ada kekuatan monopoli.
8. Secara langsung melakukan kegiatan ekonomi (mendirikan perusahaan) dengan produksi
barang public.
II. ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL
Hubungan perdagangan dengan pengertian “asing” rupanya masih membekas dalam Bahasa
Indonesia, karena salah satu arti “dagang” adalah “orang dari negeri asing”. Dengan saran
transportasi dan komunikasi yang kita miliki sekarang, bisnis Internasional bertambah penting lagi.
Berulang kali dapat kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi : Kegiatan
ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam “pasar”
sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomi. Gejala
globalisasi ekonomi ini berakibat positif maupun negatif.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru.
Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-
aspek etis dalam bisnis Internasional. Dalam bab ini kita akanmembahas beberapa masalah moral
yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf Internasional.
Norma-norma moral yang umum pada taraf Internasional.
Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah
relatif tidaknya norma-norma moral. Kami berpendapat bahwa pandangan yang menganggap norma-
norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa norma-
norma moral bersifat absolut atau tidak mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang tidak mudah itu
harus bernuansa. Masalah teoritis yang serba kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis dalam etika
bisnis Internasional. Apa yang harus kita lakukan ? Richard De George membicarakan 3 jawaban atas
pertanyaan tersebut, ada 3 pandangan mengenai pertanyaan diatas sebagai berikut :
a.) Menyesuaikan Diri
Untuk menunjukan sikap yang tampak pada pandangan ini menggunakan peribahasa (Kalau di
Roma, bertindaklah sebagaimana dilakukan orang Roma) Artinya perusahaan harus mengikuti
semua norma dan aturan moral yang berlakudi negara itu, yang sama dengan peribahasa
orang Indonesia (Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung). Norma-norma moral yang
penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non moral untuk perilaku manusia
bisa berbeda di berbagai tempat . Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini.
Misalnya, norma-norma sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua tempat
tidaklah sama. Yang di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di tempat lain
dianggap tidak sopan.

b.) Regorisme Moral


Pandangan kedua memilih arah terbalik atau yang disebut “regorisme moral”, karena mau
mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka
mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh
dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis
yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negeri
mereka sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain. Kebenaran yang dapat di
temukan dalam regorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral
kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin
menjadi baik dan terpuji di tempat lain. Namun para penganut regorisme moral kurang
memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
c.) Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis Internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-
norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh
ketentuan itu ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu kita tidak terikat norma-
norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi
yang merugikan, Karena daya saingnya akan terganggu.

III. PENGAMALAN NORMA-NORMA MORAL & ETIKA DALAM BISNIS GLOBAL

Suatu ciri yang diperkirakan akan merupakan fenomena yang sosoknya akan semakin jelas tampak di
masa yang akan datang. Ciri bisnis yang semakin “mendunia” bukan hanya terlihat pada berbagai istilah
yang semakin banyak digunakan sekarang ini – seperti globalisasi ekonomi, “desa dunia,” dan sejenisnya
– yang menunjukkan dengan jelas timbulnya gejala tersebut, akan tetapi kenyataan konfigurasi bisnis
dewasa in membuktikannya dengan kuat. Lahirnya berbagai pola kerja sama ekonomi, makin santernya
gaung pandangan para negarawan, politisi, para tokoh industri, dan para pakar manajemen bisnis
tentang mekanisme pasar di bidang ekonomi, keberadaan korporasi multinasional, kehadiran
konglomerat dengan berbagai bentuk dan aneka ragam kegiatannya, bukan hanya di negara yang
tergolong sebagai negara industri maju, tetapi juga di negara dunia ketiga, menunjukkan dengan sangat
jelas bahwa kegiatan bisnis dewasa ini memang sudah “mendunia”. Tesis yang ingin diketengahkan
dalam kaitan ini ialah bahwa dengan konfigurasi bisnis seperti itu, mutlak perlu untuk mengenali secara
tepat berbagai implikasi dalam mengelola berbagai bentuk bisnis. Yang menjadi sorotan pembahasan
tulisan ini ialah implikasinya terhadap penerapan norma-norma moral dan etika dalam menjalankan
bisnis, terutama bagi perusahaan yang beroperasi secara internasional. Tiga topik yang dibahas dala
bagian ini ialah:

 Berbagai tantangan bagi dunia bisnis.


 Konfigurasi dunia bisnis yang bersifat global.
 Implikasi globalisasi bisnis terhadap penerapan norma-norma moral dan etika.

BERBAGAI TANTANGAN BAGI DUNIA BISNIS

Jika diterima pendapat bahwa kalangan bisnis bergerak dalam “kampung dunia,” yang karena berbagai
perkembangan tampak semakin kecil, harus diterima pula kenyataan bahwa apa yang terjadi di satu
belahan bumi ini akan dirasakan resonansi dan dampaknya di belahan yang lain, tidak peduli apakah
yang terjadi itu bersifat politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, atau teknologi. Setiap
perkembangan yang terjadi, baik yang mendatangkan berbagai peluang yang perlu dimanfaatkan
maupun tantangan yang harus dihadapi, mempunyai dimensi global. Berarti kalangan bisnis tidak
mungkin lagi mengelak dari keterlibatannya dalam menghadapi tantangan yang timbul. Dengan
demikian peluang dapat dimanfaatkan demi keberhasilan bisnis yang ditekuni dan dikelola. Dari sekian
banyak tantangan yang harus dihadapi dan permasalahan yang harus dipecahkan, yang sangat relevan
dengan kepedulian kalangan bisnis, dan dibahas berikut ini, antara lain ialah:

 Pengangguran
 Tanggung jawab sosial perusahaan
 Peningkatan mutu hidup
 Peningkatan taraf hidup
 Keanekaragaman tenaga kerja
 Konfigurasi demografi
 Pelestarian lingkungan, dan
 Perkembangan teknologi
yang mempunyai implikasi dalam mengamalkan atau menerapkan norma-norma moral dan etika.

IV. Konsep etika bisnis tercermin pada corporate culture (budaya perusahaan).
Menurut Kotler (1997) budaya perusahaan merupakan karakter suatu perusahaan yang
mencakup pengalaman, cerita, kepercayaan dan norma bersama yang dianut oleh jajaran
perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari cara karyawannya berpakaian, berbicara,
melayani tamu dan pengaturan kantor.

Suatu perusahaan akan memiliki hak hidup apabila perusahaan tersebut memiliki pasar, dan
dikelola oleh orang-orang yang ahli dan menyenangi pekerjaannya. Agar perusahaan tersebut
mampu melangsungkan hidupnya, ia dihadapkan pada masalah:

a. intern, misalnya masalah perburuhan


b. Ekstern, misalnya konsumen dan persaingan
c. Lingkungan, misalnya gangguan keamanan
Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Konvensional
Pada umumnya, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari, dan prinsip ini sangat berhubungan erat
terkait dengan sistem nilai-nilai yang dianut di kehidupan masyarakat.
Menurut Sony Keraf (1998) prinsip-prinsip etika bisnis adalah sebagai berikut:[4]
1. Prinsip Otonomiyaitu dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak
berdasrkan kesadarannya tentang tentang apa yang baik baginya untuk dilakukan. Unsur
hakiki dari prinsip otonomi ini adalah kebebasan untuk bertindak secara etis dan bertangung
jawab. Etis adalah tindakan yang bersumber dari kemauan baik serta kesadaran
pribadi. Orang yang otonom adalah orang yang sadar akan kewaibannya dan bebas
mengambi keputusan dan tindakan berdasarkan apa yang dianggap baik, melainkan juga
adalah orang yang bersedia mempertanggung jawabkan keputusannya dan tindakannya
serta mampu bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya serta dampak dari
keputusan keputusan dan tindakannya.
2. Prinsip Kejujuran terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditujukan secara jelas
bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak berdasarkan
kejujuran.Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua,
kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding.
Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. Kejujuran memang
prinsip yang paling penting dalam kegiatan bisnis islami maupun konvensional. Para pelaku
bisnis modern sadar dan mengakui bahwa memang kejujuran dalam berbisnis adalah kunci
keberhasilannya. Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak.
Dalam mengikat perjanjian semua pihak secara Saling percaya, serius serta tulus dan jujur
dalam membuat dan melaksanakannya. Jika ada salah satu pihak yang tidak jujur maka
akan menimbulkan efek multiplier-expansive. Kejujuran juga relevan dalam penawaran
barang dan jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Dengan 1x saja seorang pebisnis
berbohong tentang hal apapun, jangan harap mendapatkan kepercayaan lagi
3. Prinsip Keadilan Menuntut agar orang diberlakukan secara sama sesuai dengan aturan
yang adil dan sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang sesuai, rasional,
objektif serta dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip Keadilan dapat dibagi menjadi tiga
jenis yaitu:
A. Keadilan Distributive Yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit
dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya
terhadap benefit. Benefit terdiri dari
pendapatan,pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri
dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social.
B. Keadilan Retributif Yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan
hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggung jawab atas konsekuensi
negative atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas
paksaan pihak lain.
C. Keadilan Kompensatoris Yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak
yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan
medis, pelayanan dan barang penebus kerugian.
4. Prinsip saling menguntung (mutual benefit principle) menuntut agar bisnis dijalankan
sedemikian rupa, sehingga menguntungkan semua pihak.
5. Prinsip integritas moral Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri
pelaku bisnis atau perusahaan agar tetap menjaga nama baiknya atau nama baik
perusahaan. Tanggung jawab moral juga tertuju kepada semua pihak terkait yang
berkepentingan (skateholders): konsumen penyalur, pemasok, investor, atau kreditor,
karyawan, masyarakat luas, relasi-relasi bisnis, pemerintah dan seterusnya. Artinya segi
kepentingan pihak-pihak terkait dapat dipertanggungjawabkan secara moral.[5]
6. Prinsip Laba tidak mungkin jika bisnis tidak mencari keuntunganngan atau laba, pada
kenyataanya hanya keuntunganlah yang menjadi satu-satunya motivasi atau daya tarik
pelaku bisnis. Mencari keuntungan adalah bukan hal jelek karena semua orang memasuki
bisnis selalu punya motivasi dasar, yaitu mencari keuntungan.[6]
Prinsip-Prinsip Etika Bisnis islam
1. Kesatuan (unity) Kesatuan yang dimaksud terefleksikan pada konsep tauhid yang
memadukan keseluruhan aspek aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi,
politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep
konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam
menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan.
Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun
horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam
(Naqvi, 1993: 50-51).
2. Keseimbangan ( keadilan ) Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam
mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah:8. Keseimbangan atau keadilan
menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan
keseluruhan harmoni pada alam semesta. Hukum dan tatanan yang kita lihat pada
alam semesta mencerminkan keseimbangan yang harmonis. (Beekun, 1997: 23.)
Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemoderatan merupakan prinsip etis
mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis.
3. Kehendakan bebas Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis
islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu
dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia
untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Sampai pada
tingakat tertentu, manusia dianugerahi kehendak bebas untuk memberi arahan dan
membimbing kehidupannya sendiri sebagai khalifah di mukabumi (QS. Al-Baqarah,
2:30). Berdasarkan prinsip kehendak bebas ini, manusia mempunyai kebebasan untuk
membuat suatu perjanjian termasuk menepati janji atau mengingkarinya. Tentu saja
seorang muslim yang percaya kepada kehendak Allah akan memuliakan semua janji
yang dibuatnya. (Beekun,1997: 24).
4. Pertanggung jawaban Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal mustahil, lantaran
tidak menuntut tanggung jawab. Menurut Al-Ghozali, konsep adil meliputi hal bukan
hanya equilibrium tapi juga keadilan dan pemerataan. Untuk memenuhi tuntutan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggung jawabkan tindakannya. Allah
menekankan konsep tanggung jawab moral tindakan manusia, (QS. 4:123-124).)
Menurut Sayyid Qutub prinsip pertanggungjawaban Islam adalah
pertanggungjawaban yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya.
Antara jiwa dan raga, antara person dan keluarga, individu dan sosial antara suatu
masyarakat dengan masyarakat lainnya. (Beekun, 1997: 103)
5. Kebenaran : kebijakan dan kejujuran Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung
makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan
dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan
perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh
komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan
keuntungan. Adapun kebajikan adalah sikap ihsan,yang merupakan tindakan yang
dapat memberi keuntungan terhadap orang lain (Beekun, 1997: 28). Dalam al-Qur’an
prinsip kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran dapat diambil dari
penegasan keharusan menunaikan atau memenuhi perjanjian atau transaksi bisnis.
Termasuk ke dalam kebajikan dalam bisnis adalah sikap kesukarelaandan
keramahtamahan. Kesukarelaan dalam pengertian, sikap suka-rela antara kedua
belah pihak yang melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian bisnis. Hal ini
ditekankan untuk menciptakan dan menjaga keharmonisan hubungan serta cinta
mencintai antar mitra bisnis. Adapun kejujuran adalah sikap jujur dalam semua proses
bisnis yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun. Sikap ini dalam khazanah
Islam dapat dimaknai dengan amanah. Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis
Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian
salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
Dari sikap kebenaran, kebajikan dan kejujuran demikian maka suatu bisnis secara
otomatis akan melahirkan persaudaraan, dan kemitraan yang saling menguntungkan,
tanpa adanya kerugian dan penyesalan.
Penerapan konvensional dan islam Di dalam praktik bisnis tidak ada seorang
pebisnis pun yang ingin menderita rugi, karena laba merupakan basis kelangsungan
hidup perusahaan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Suseno (1994) bahwa
pandangan pelaku bisnis adalah prinsip ekonomi yaitu keinginan untuk memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, yang
mendorong pebisnis melakukan praktik bisnis yang curang. Berbagai cara ditempuh
untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya

V. CONTOH KASUS ETIKA BISNIS INDOMIE DI TAIWAN


Kode Etik Profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok
masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik
yang memiliki sanksi yang agak uk dalam kategori norma hukum yang didasari kesusilaan.

Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan
suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman
berperilaku dan berbudaya. Tujuan kode etik agar profesionalisme memberikan jasa sebaik-baiknya
kepada pemakai jasa atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak
profesional.

LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama
menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada
pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi.
Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar.

Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan
sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi
persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan.
Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.

PERMASALAHAN
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan
pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam
Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut
biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak
Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong,
dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie. Kasus
Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. "Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu,
secepatnya kalau bisa hari Kamis ini," kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR,
Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus
Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat
berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie. A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi
kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate
dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat
membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam
pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.

Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam
kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga
berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam
Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar
nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie
instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan
berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit
kanker. Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision,
produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan
kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang
dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua
negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.

PEMBAHASAN MASALAH

Indofood merupakan salah satu perusahaan global asal indonesia yang produk-produknya banyak di
ekspor ke negara-negara lain. Salah satunya adalah produk mi instan Indomie. Di Taiwan sendiri,
persaingan bisnis mi instant sangatlah ketat, disamping produk-produk mi instant dari negara lain,
produk mi instant asal Taiwan pun banyak membanjiri pasar dalam negeri Taiwan.

Harga yang ditwarkan oleh Indomie sekitar Rp1500, tidak jauh berbeda dari harga indomie di
Indonesia, sedangkan mi instan asal Taiwan dijual dengan harga mencapai Rp 5000 per bungkusnya.
Disamping harga yang murah, indomie juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
produk mi instan asal Taiwan, yaitu memiliki berbagai varian rasa yang ditawarkan kepada
konsumen. Dan juga banyak TKI/W asal Indonesia yang menjadi konsumen favorit dari produk
Indomie selain karena harganya yang murah juga mereka sudah familiar dengan produk Indomie.

Tentu saja hal itu menjadi batu sandungan bagi produk mi instan asal Taiwan, produk mereka
menjadi kurang diminati karena harganya yang mahal. Sehingga disinyalir pihak perindustrian
Taiwan mengklain telah melakukan penelitian terhadap produk Indomie, dan menyatakan bahwa
produk tersebut tidak layak konsumsi karena mengandung beberapa bahan kimia yang dapat
membahayakan bagi kesehatan.

Hal tersebut sontak dibantah oleh pihak PT. Indofood selaku produsen Indomie. Mereka menyatakan
bahwa produk mereka telah lolos uji laboratorium dengan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan
dan menyatakan bahwa produk indomie telah diterima dengan baik oleh konsumen Indonesia
selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Dengan melalui tahap-tahap serangkaian tes baik itu badan
kesehatan nasional maupun internasional yang sudah memiliki standarisasi tersendiri terhadap
penggunaan bahan kimia dalam makanan, indomie dinyatakan lulus uji kelayakan untuk dikonsumsi.

Dari fakta tersebut, disinyalir penarikan produk Indomie dari pasar dalam negeri Taiwan disinyalir
karena persaingan bisnis semata, yang mereka anggap merugikan produsen lokal.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa tidak sedari dulu produk indomie dibahas oleh
pemerintah Taiwan, atau pemerintah melarang produk Indomie masuk pasar Taiwan?. Melainkan
mengklaim produk Indomie berbahaya untuk dikonsumsi pada saat produk tersebut sudah menjadi
produk yang diminati di Taiwan. Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa ada persainag bisnis yang
telah melanggar etika dalam berbisnis.

KESIMPULAN

Dari kasus indomie di Taiwan dapat dilihat sebagai contoh kasus dalam etika bisnis. Dimana terjadi
kasus yang merugikan pihak perindustrian Taiwan yang produknya kalah bersaing dengan produk
dari negara lain, salah satunya adalah Indomie yang berasal dari Indonesia. Taiwan berusaha
menghentikan pergerakan produk Indomie di Taiwan, tetapi dengan cara yang berdampak buruk
bagi perdagangan Global.

SARAN

Saran bagi pihak perindustrian Taiwan agar tidah serta merta menyatakan bahwa produk indomie
berbahaya untuk dikonsumsi, apabila ingin melindungi produsen dalam negeri, pemerintah bisa
membuat perjanjian dan kesepakatan yang lebih ketat sebelum proses ekspor-impor dilakukan.
Karena kasus tersebut berdampak besar bagi produk Indomie yang telah dikenal oleh masyarakat
Indonesia maupun warga negara lain yang negaranya memperdagangkan Indomie asal Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai