Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAM MEDIKAL BEDAH

PADA PASIEN CEDERA KEPALA RINGAN

RSUD ADYHATMA, MPH SEMARANG

Disusun Oleh :

Oktasari Widiya Ayu Susanti

17.066

AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM IV/ DIPONEGORO

SEMARANG

2019
A. Definisi
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan
otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara
penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan
raya (Smeltzer & Bare 2001).
Resiko utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah kerusakan otak
akibat atau pembekakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan
peningkatan tekanan inbakranial, berdasarkan standar asuhan keperawatan penyakit
bedah ( bidang keperawatan Bp. RSUD Djojonegoro Temanggung, 2005), cidera
kepala sendiri didefinisikan dengan suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai pendarahan interslities dalam rubstansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak, atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi dan Rita juliani, 2001).

B. Etiologi
Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah :
a. Kecelakaan lalu lintas.
b. Terjatuh
c. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.
d. Olah raga
e. Benturan langsung pada kepala.
f. Kecelakaan industri.

C. Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang
dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 %
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit /
100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom
pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi
atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi
. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan
arteriol otak tidak begitu besar.
Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua:
1. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acclerasi-decelerasi otak) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi:
a. Gegar kepala ringan
b. Memar otak
c. Laserasi
2. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti:
a. Hipotensi sistemik
b. Hipoksia
c. Hiperkapnea
d. Udema otak
e. Komplikai pernapasan
f. Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

D. Manifestasi Klinis.
1. Nyeri yang menetap atau setempat.
2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah
terlihatdi bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro
spiral ( caian cerebros piral keluar dari telinga ), minorea serebrospiral (les keluar
dari hidung).
4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5. Penurunan kesadaran.
6. Pusing / berkunang-kunang.
7. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler
8. Peningkatan TIK
9. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas
10. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan

E. Komplikasi
1. Kemunduran kondisi
2. Defisit neurologi
3. Defisit psikologi
F. Pathway

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan diagnostik tengkorak dengan sinar X dapat mengidentifikasi lokasi
fraktur atau hematoma. CT Scan atau MRI dapat dengan cermat menentukan letak
dan luas cedera. (Elizabeth, J. 2001).

H. Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian
1) Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
2) Pemeriksaan fisiK
3) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau
pengaruh PTIK
4) Sistem saraf :
a. Kesadaran GCS.
b. Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
c. Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
5) Sistem pencernaan
a. Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar à tanyakan pola makan?
b. Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan
c. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
d. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik à hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
e. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia
atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.

II. Diagnosa Keperawatan


1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola
nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi
pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral
dan peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan perdarahan, mual
dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau
meningkatnya tekanan intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.

III. Intevensi Keperawatan


1) Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan,
dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak
ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam
batas normal.
Intervensi :
• Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
• Kaji, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada
cedera vertebra.
• Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret
segera lakukan pengisapan lendir.
• Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
• Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan
tinggikan 15 – 30 derajat.
• Pemberian oksigen sesuai program.
2) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada
pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
• Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk
menurunkan tekanan vena jugularis.
• Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava
meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction,
perkusi).
• tekanan pada vena leher.
• pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi
pada vena leher).
• Bila akan memiringkan, harus menghindari adanya tekukan pada anggota
badan, fleksi (harus bersamaan).
• Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
• Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial
sesuai program.
• Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena
dapat meningkatkan edema serebral.
• Monitor intake dan out put.
• Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
• Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan
pemenuhan nutrisi.
3) Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
Tujuan : Kebutuhan sehari-hari terpenuhi yang ditandai dengan berat badan
stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih,
tubuh bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat
dibantu.
Intervensi :
• Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum,
mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan
kebersihan perseorangan.
• Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
• Perawatan kateter bila terpasang.
• Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk
memudahkan BAB.
4) Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan perdarahan, mual dan
muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau
dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik,
dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji intake dan out put.
• Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun
atau mata cekung dan out put urine.
• Berikan cairan intra vena sesuai program.
5) Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
Tujuan : Klien terbebas dari injuri.
Intervensi :
• Kaji status neurologist : perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap
nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun,
dan kejang.
• Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
• Monitor tanda-tanda vital setiap jam atau sesuai dengan protokol.
• Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
• Berikan analgetik sesuai program.
6) Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan.
Tujuan : Klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan tidak mengeluh
nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri,
lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat
dingin.
• Mengatur posisi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri.
• Kurangi rangsangan.
• Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
• Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
• Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.

Daftar Pustaka
Arief Mutaqin .(2008). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan
gangguan sistem persyarafan, jakarta : salemba medika.
Price A, sylvia.(1994). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi 4. Jakarta : EGC.
Mansjoer arif.M.(2000).Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: media
aeusculapius.

Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G.(2000), buku ajar keperawatan


medikal bedah burrner dan suddarth (ed.8,vol.1,2),alih bahasa oleh agung
waluyo....(dkk).EGC.jakarta.

Anda mungkin juga menyukai