Anda di halaman 1dari 4

Kalau sugar daddy Sandiaga Uno punya OK OCE sebagai solusi untuk semua

permasalahan, maka orang Indonesia pada umumnya akan menyebut


“pendidikan” sebagai jawaban bagi setiap masalah, dari mulai terorisme,
intoleransi, korupsi, ketahanan pangan, ketimpangan ekonomi, perdagangan
manusia, sampai penebangan pohon ilegal dan peredaran narkoba.

“Ini sudah jelas masalah pendidikan!” begitu ujarnya.

Masalahnya, sedikit dari mereka mau melihat lebih jauh untuk memahami apa itu
pendidikan?

Buat saya, sebagian dari masalah tadi memang bertumpu pada pendidikan.
Tapi, ketika masyarakat percaya cita-cita dari pendidikan adalah GELAR,
maka ini adalah masalah kurangnya pendidikan tentang pendidikan itu
sendiri.

Dalam pandangan saya, cita-cita dari pendidikan adalah literasi. Literasi


adalah keadaan mengetahui dan memahami (to have knowledge and
competence) akan sesuatu hal. Jadi, PENDIDIKAN YANG SALAH adalah
pendidikan yang tidak menambahkan pengetahuan (knowledge) dan
pemahaman (lebih jauh lagi keahlian dan kompetensi) akan suatu hal bahkan
ketika ia menambahkan gelar sekalipun.

Jadi, kalau kamu naruh gelar S.Kom, M.Si, M.IP, Ph.D di belakang
namamu dalam undangan pernikahanmu, itu sama sekali tidak
menunjukkan pendidikanmu sudah benar. Itu hanya dapat menunjukkan at
least berapa waktu, uang, dan energi yang kamu habiskan untuk sekolah.

Pengetahuan dan pemahaman yang pantas disebut literasi adalah


yang mengandung kemampuan untuk membangun reasoning atasnya, bukan
hanya menerima doktrin benar/salah akan suatu hal tanpa memahami dasarnya
“kenapa hal ini benar?” atau “kenapa hal itu salah?“.

Keluarga, sekolah, pendidikan informal, institusi pemerintah, lembaga swasta,


NGO, aktivis pendidikan, atau siapapun pihak yang terlibat dalam sebuah
sistem pendidikan hidup bagi masyarakat harus memahami ini.

Sasaran empuk sesat pendidikan adalah anak-anak. Mereka lemah, lugu, dan
rapuh karena usia baik fisik maupun mental yang belum matang untuk
membentengi dirinya dari upaya pembodohan oleh orang dewasa.

Kamu pasti sudah kenyang dengan contoh-contoh seputar pendidikan menghafal


yang Indonesia abissss… “Pan-ca-si-la. Satu, blahblahblah. Dua, blahblahblah.
dst”. Anak berusia 8 tahun yang bahkan mungkin tidak paham maksud dari kata
“esa” atau “beradab” apalagi “permusyawaratan rakyat” dipaksa
mengucapkannya, berulang-ulang setiap Senin. Sungguh hal ini adalah
kebodohan hakiki yang lestari dan dilestarikan.

Tapi, saya akan mengangkat contoh lain, yakni mekanisme sanksi sosial alias
hukum barbar ala orang Indonesia yang buta pendidikan.

Pada suatu siang yang terik di Surabaya, dua orang sejoli yang masih berusia
anak (15 tahun) sedang dimabuk asmara… Lalu, kelepasan melakukan
hubungan intim di fitting room. Dengan bangganya, pihak sekuriti menarik
mereka keluar dengan TELANJANG. Mereka diminta tidak mengenakan
pakaiannya.

Ya, anak-anak itu DIARAK TELANJANG di mall karena melakukan sesuatu yang
mungkin mereka belum pahami. Orang dewasa
seharusnya memberikan pendidikan, bukan malah membodohi mereka
dengan hukum barbar itu. Tapi, apa yang dapat kita harapkan dari orang dewasa
yang buta pendidikan?

Tidak ada dialog. Tidak ada pendidikan. Tidak ada literasi. Hanya ada
kebodohan dan keterbelakangan peradaban yang lestari.

Old man says, “We learn from our mistakes” kecuali di Indonesia. Kalau kamu di
posisi pasangan anak tersebut, apa pelajaran yang bisa kamu ambil?

“Oh, saya gak boleh begini di situ kalau gak mau diarak telanjang sama sekuriti
mall”.

Di mana penjelasan bahwa apa yang mereka lakukan punya konsekuensi lain?

Kehamilan dini, penyakit menular seksual, dan lain-lain… Tapi juga jangan
mengada-adakan konsekuensi yang tidak (atau belum tentu) ada!

Kamu akan katakan bahwa itu bukan tanggung jawab sekuriti untuk menjelaskan.
Oke… tapi haruskah ditukar dengan diarak telanjang?

Lebih jauh lagi, adakah pihak lain yang mengambil peran ini?

Di manapun, yang mereka temukan hanya “jangan mesum!” titik. Tidak ada
penjelasan selain penjelasan dogmatis, “…itu dosa”. Ya Allah Tuhan YME,
sedemikian terang kebutaan masyarakat kita pada pendidikan.
“Jangan makan sambil berdiri. Pamali.” ada larangan, ada perintah, tapi tidak
ada pendidikan.

“Kalau ada adegan mesum, tutup mata ya, Dek. Gak boleh lihat, belum cukup
umur.” ada larangan, ada perintah, tapi tidak ada pendidikan.

“Jangan pulang malam, gak baik.” ada larangan, ada perintah, tapi tidak ada
pendidikan.

Kebutaan pendidikan menjangkiti semua bidang. Masyarakat terbiasa dengan


perintah dan larangan, bukan pendidikan.

“Jangan tiru Awkarin ya!” hehehe soalnya dia perempuan tapi terlalu powerful,
lewat posting Instagram aja duitnya puluhan juta per minggu! JANGAN

DITIRU

Negara juga berdiri pada kebutaan ini. Lihat saja masalah censorship.

Paha disensor, dada disensor, orang renang jadi cuman keliatan baju ngambang
di air, rokok disensor, tupai berbikini disensor, pentil sapi disensor, pantat
kambing disensor, penis kuda disensor.

“Mom, is it wrong for horses to have penis? Is it wrong for women to have
breasts?”

“No, darling. It is not. But we live in a wrong society with wrong adults, wrong
governance, and absolutely wrong system“.

Saya akan katakan itu kalau di posisi ibu yang ditanya demikian oleh anaknya.

Ada ungkapan terkenal dari penyair Jerman, “buta terburuk adalah buta politik“.
Saya gak setuju.

Buta politik disebabkan oleh apa? Buruknya pendidikan politik. Nah, ketika
pendidikan politik dibangun oleh orang-orang yang buta pendidikan, apa
yang dapat kita harapkan?

Si buta menuntun si buta yang lain dari satu kebutaan menuju kebutaan lainnya.

Masyarakat perlu belajar untuk memprioritaskan fungsi pendidikan


dalam treatment atas tindakan atau perilaku individu lebih dari urusan hukuman
(punishment) atau hadiah (reward)/penghargaan (award).
Semoga lebih banyak orang yang melek pendidikan!

Oh ya, saya senang sekali pihak pengelola siap menjatuhkan sanksi pemecatan
kepada sekuriti yang menerapkan hukum barbar tadi. Sebagian masyarakat juga
sudah cukup cerdas untuk mengecam perilaku tidak mendidik itu.

Anda mungkin juga menyukai