Anda di halaman 1dari 34

YANG BENAR DAN MENANG

Dikalangan TNI-Angkatan Darat, Letnan Jenderal TNI (Hor) Purn. Sintong Panjaitan
merupakan salah seorang perwira yang banyak melaksanakan operasi tempur di Tanah
Air, sejak lulus dari AMN Angkatan 63 sebagai perwira muda. Bahkan, keberhasilannya
dalam memimpin operasi antiteror pembebasan sandera di Bandara Internasional Don
Muang, Bangkok pada tahun 1981 melambungkan namanya. Panglima ABRI ketika itu,
Jenderal TNI Leonardus Benny Moerdani menilai bahwa karir militer Sintong sangat
bagus. Bahkan, jabatan Panglima ABRI sudah tampak dengan jelas akan dicapainya.
Tetapi, ternyata karir militernya tersandung sehubungan Peristiwa Dilli 12 November
1991 yang menelan korban jiwa. Mayjen TNI Sintong Panjaitan dicopot dari
jabatannya selaku Panglima Kodam IX/Udayana dan tidak dibenarkan lagi menduduki
fungsi komando dalam ABRI.

Sintong dilahirkan di Tarutung 4 September 1940 dengan nama lengkap Sintong


Hamonangan Panjaitan. Minat putra Batak ini menjadi tentara sudah muncul ketika
masih berusia tujuh tahun. Saat itu rumah keluarga Sintong di Singongpulon,
Tarutung, hancur terkena bom yang dijatuhkan dari pesawat P51 Mustang AU Kerajaan
Belanda, karena rumah tersebut berdekatan dengan sebuah tangsi tentara RI. Sintong
berminat menjadi penerbang pesawat tempur.

Pengalaman Sintong dalam memanggul senjata terjadi dalam tahun 1958 ketika masih
duduk dibangku SMA Negeri Tarutung. Dalam pemberontakan PRRI di Sumatera, ia
dilatih kemiliteran selama 3 bulan oleh anak buah Kolonel Maludin Simbolon yang
waktu itu menjabat sebagai Panglima TT I/Bukit Barisan. Meskipun demikian, Sintong
tidak pernah turut bertempur di pihak pemberontak. Sebab ketika pasukan
Pemerintah Pusat melancarkan operasi militer di Sumatera bagian timur, ia harus
menunggui ayahnya yang sedang sakit keras, dan kemudian meninggal.

Enam orang teman sekelas Sintong di SMA Negeri Tarutung, termasuk Pintoa Panjaitan
seorang teman karibnya, tewas dalam pertempuran dengan peleton RPKAD pimpinan
Letnan Benny Moerdani. Dalam pertempuran sengit di Permatang Siantar itu, pihak
PRRI pimpinan Kapten Fritz Hutabarat menderita banyak korban jiwa. Dikemudian hari
diketahui bahwa seorang anggota RPKAD yang ikut serta dalam pertempuran tersebut,
menjadi anggota Peleton 1 Kompi Tandjung/Yon 3 RPKAD dibawah pimpinan Letda Inf.
Sintong Panjaitan dalam penumpasan G30S/PKI di tahun 1965. Ketika Sintong duduk di
kelas 2 SMA, dia banyak bergaul dengan anggota Yonif 322 Kodam VI/Siliwangi yang
sedang bertugas di Tarutung. Tidak disangka, 7 tahun kemudian, anggota Yonif 322
yang pindah Yonif 321 Kodam VI/Siliwangi, ada yang menjadi anak buah Sintong dalam
Operasi Kilat di Sulawesi Selatan.
Akhir tahun 1959, Sintong mengikuti tes pendaftaran Akademi Angkatan Udara.
Diantara pelamar dari Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat lulus 4 orang,
Sintong salah satunya. Tes lanjutan pantukhir diadakan di Jakarta. Pada dasarnya,
Sintong dinyatakan lulus, tapi dokter AURI memberi syarat kepadanya agar amandel
yang diderita segera diambil untuk persyaratan kesehatan.

Tahun 1960, AURI akan mengirim calon siswa Taruna Angkatan Cakra-1 untuk
mengikuti pendidikan Penerbang di Cekoslovakia, dalam rangka persiapan Operasi
Trikora. Sintong merasa tidak puas dengan hasil pemeriksaan oleh dokter AURI
tersebut, ia merasa dirinya sangat sehat walafiat dan siap mengikuti pendidikan. Ia
lalu pergi ke Mabes AURI di Tanah Abang untuk menghadap KSAU Suryadharma. Tapi,
dua kali ia datang, dua kali juga kedatangannya ditolak oleh piket penjaga depan.

Pada kedatangannya yang ke tiga kalinya, Sintong mengatakan bahwa dirinya adalah
Calon Kadet Penerbang AURI. Akhirnya Perwira Jaga menghadapkan Sintong kepada
KSAU yang menerimanya dengan simpatik. Di depan Sintong, KSAU memanggil Letkol
Udara dr. Salamun, Kepala Jawatan Kesehatan AURI, untuk memeriksa kondisi
kesehatan Sintong di Jalan Kesehatan, di bilangan Tanah Abang, kemudian
mengantarnya kembali ke Mabes AURI.

Hari itu tanggal 9 Maret 1960 ketika Sintong menghadap KSAU, merupakan hari yang
tidak terlupakan baginya dan bgai seluruh rakyat Indonesia, khususnya warga AURI.
Seusai Sintong menjalani pemeriksaan ulang kesehatan, tiba-tiba terdengar
serentetan tembakan kanon yang sangat bergemuruh dan dahsyat. Sebuah jet Mig-17
AURI menembak Istana Merdeka!

Sintong yang akan masuk menjadi penerbang AURI menjadi terkagum-kagum pada
sang penerbang jet tersebut, walau ia sama sekali tidak tahu duduk persoalan nya.

“Wah..hebat sekali tembakan penerbang itu!” cetusnya dalam hati.

Pada hari itu, tiga orang penerbang AURI, yaitu Letnan Udara I Ibnu Subroto, Letnan
Udara I Sofyan Hamzah, dan Letnan Udara I Daniel Alexander Maukar melakukan
latihan penembakan dari udara dengan kanon .Ketiga pesawat Mig-17 tersebut tidak
membawa bom dan roket. Rasa dendam pribadi terhadap Bung Karno telah menyulut
kenekatan Maukar untuk melancarkan serangan udara ke Istana Merdeka. Maukar
memberondong kediaman Presiden itu dengan rentetan tembakan kanon 2.3mm dari
pesawat Mig-17 / F-1112. Setelah melaksanakan niatnya, Maukar menuju ke utara,
berniat membumihanguskan depo penyimpanan BBM di Tanjung Priok, namun tidak
berhasil karena kehabisan peluru. Kemudiannya, dia melakukan belly landing di
daerah persawahan di Leles, Garut – Jawa Barat. Maukar selamat dan ditangkap. Ia
akhirnya dipenjarakan setelah melalui proses pengadilan yang kontroversial.

Setelah bertemu KSAU Komodor Suryadharma untuk kedua kalinya, Sintong dijanjikan
akan dipanggil, tetapi setelah ia melakukan operasi amandel. Kemudian, Sintong
kembali ke Medan menunggu surat panggilan dari AURI. Ditunggu-tunggu, surat
panggilan yang diharapkan tidak juga kunjung datang. Sebenarnya surat tersebut
sudah datang, tapi disembunyikan oleh ibunya. Sambil menunggu panggilan dari AURI,
Sintong mengikuti tes masuk Taruna Akademi Militer Nasional (AMN).

Sintong beserta lima orang temannya dinyatakan lulus, selanjutnya berangkat ke


Magelang untuk mengikuti pendidikan. Pada waktu itu, jumlah Taruna AMN Angkatan
V berjumlah 117 orang.

Diantara teman seangkatan Sintong ialah Idroes (Mayjen TNI Purn.),, Sinung Karjo. S
(Letjen TNI Purn.), Wismoyo Arismunandar (Jenderal TNI Purn.), Kilian Sidabutar
(Letjen TNI Purn.), Toga Tampubolon (Mayjen TNI Purn.), Sukarno (Mayjen TNI Purn.),
Kuntara (Jenderal TNI Purn.), dan Basofi Sudirman (Letjen TNI Purn.). Seniornya di
AMN Angkatan I diantaranya Eddi Sudradjat (Jenderal TNI Purn.), Hasudungan
Simanjuntak (Mayjen TNI Purn.), dan Sembiring Meilala (Mayjen TNI Purn.) dan
Soekarto (Mayjen TNI Purn.). AMN Angkatan II ZA. Mualani (Letjen TNI Purn.), Faisal
Tandjung (Jenderal TNI Purn.), Soetedjo (Mayjen TNI Purn.), dan Ketot Harsono
(Letjen TNI Purn.). Sedangkang AMN Angkatan III ialah GW. Soedhiksa (Mayjen TNI
Purn.), Surjadi Sudirja (Letjen TNI Purn.), Warsito (Mayjen TNI Purn.), Sarmono
(Mayjen TNI Purn.), Djoko Lelono (Letjen TNI Purn.), dan Manoppo (Mayjen TNI
Purn.).

Dalam melaksanakan tugasnya, para alumni AMN Angkatan Tahun 1960 sampai dengan
Angkatan Tahun 1964, mengalamo Orde Lama,Orde Baru, dan dikenali sebagai para
perwira peralihan. Seiring berjalannya waktu, diantara Alumni AMN, hanya dua orang
saja yang masih aktif berkecimpung dalam bidang pertahanan keamanan pada masa
Reformasi, yaitu Jenderal TNI Purn. Faisal Tandjung sebagai Menko Polkam RI, dan
Letjen TNI (Hor) Purn. Sintong Panjaitan sebagai Penasehat Presiden RI Bidang
Hankam.

Sintong digembleng di Kawah Chandradimuka Akademi Militer di Magelang yang ketika


itu selaku Gubernur AMN dijabat oleh Kolonel Inf. Surono. Di Padepokan Simo Lodro,
di Lembah Tidar ini, ia di didik dengan disiplin yang sangat keras untuk mengubah
dirinya dari seorang sipil menjadi perwira militer. Ketika itu, hanya dikenal tiga
kecabangan dalam AMN, yaitu Tempur, Kavaleri, dan Artileri. Pendidikan kecabangan
Zeni, Perhubungan, dan Peralatan masih dilaksanakan di ATEKAD Bandung. Ketika
AMN dan ATEKAD dilebur menjadi AKABRI pada tahun 1966, maka seluruh kecabangan
itu tadi masuk dalam kurikulum pendidikan AKABRI Darat. Sintong masuk kecabangan
Tempur.

Banyak nama instruktur di AMN yang masih melekat dalam ingatan Sintong. Di
antaranya Mayor Widodo, Mayor Hariyo Mataram, Kapten Soerjo Hardjono, Kapten
Suhirno, dan Kapten Rudini (Jenderal TNI Purn./Mantan Mendagri), seorang diantara
sedikit pemuda Indonesia yang merupakan lulusan KMA Breda, Akademi Militer
Kerajaan Belanda pada tahun 1955.

Selama pengabdiannya dalam ABRI sejak lulus AMN 1963 dengan pangkat Letnan Dua,
hingga pension dengan pangkat Letnan Jenderal, Sintong mencatat sebanyak 20
Perintah Operasi maupun Perintah Penugasan Luar Biasa. Berikut diuraikan secara
singkat Perintah Operasi maupun Perintah Penugasan 1 sampai 17.

Setelah lulus AMN Angkatan V/1963, Letda Sintong Panjaitan mengikuti Sekolah Dasar
Cabang Infanteri di Bandung. Lulus pada tanggal 27 Juni 1964, ia ditempatkan sebagai
perwira pertama di RPKAD di Cijantung menunggu perintah tes Calon Komando
RPKAD.

Perintah Operasi Tempur pertama diawali pada bulan Agustus 1964 sampai bulan
Februari 1965, ketika bertugas dalam Operasi Kilat di Sulawesi Selatan dan Tenggara
untuk menumpas gerombolan DI/TII pimpinan eks Letkol Abdul Kahar Muzakkar.
Waktu itu. Diantara Alumni AMN 63 yang berjumlah 117 perwira remaja, sebanyak 77
orang ditunjuk oleh SUAD masuk Infanteri. Diantara 77 orang itu, hanya 15 orang yang
ditunjuk bertugas melaksanakan Operasi Kilat. Sintong di BP pada Yonif 321/Galuh
Taruna, Brigif-13/Galuh, Kodam VI/Siliwangi yang sedang melaksanakan operasi di
palagan Sulawesi Selatan.

Sintong kemudian menjadi Komandan Peleton 1, Kompi Senapan A/Yonif 321. Diantara
15 perwira remaja yang ditunjuk masuk ke dalam Operasi Kilat, hanya Sintong yang
ditunjuk memimpin operasi tempur pada posisi paling depan dan paling berat dari
Yonif 321. Di batalyon itu, Sintong menunjukkan kemampuannya sebagai seorang
komandan dalam memimpin pertempuran, sehingga 4 bulan kemudian ia mendapat
tugas untuk menjabat sebagai Komandan Peleton 1 Kompi Suryo/Yon 3 RPKAD di
palagan Sulawesi Tenggara. Hanya Letda Sintong dan Letda Abdulrachman – diantara
15 perwira remaja lulusan AMN Angkatan 63 yang sedang menimba pengalaman
tempur dalam Operasi Kilat – ditunjuk dan dipilih memimpin peleton RPKAD. Meski
mereka berdua belum mengikuti pendidikan prajurit komando. Baru pada pertengahan
Februari 1965, sebanyak 15 perwira remaja, termasuk Sintong mengikuti pendidikan
dasar komando di Pusdik RPKAD di Batujajar, Jawa Barat. Pendidikan dasar komando
itu merupakan pendidikan angkatan pertama bagi para alumni AMN. Para seniornya
dari AMN I, II dan III juga mengikuti latihan dasar komando pada angkatan pertama
ini. Sintong dilantik dan dikukuhkan sebagai anggota pasukan komando RPKAD dan
memperoleh atribut Komando dan Baret Merah, di Pantai Permisan pada tanggal 1
Agustus 1965. Setelah selesai dilantik, ia langsung kembali ke Batujajar untuk
mengikuti Pendidikan Dasar Para/Komando. Latihan terjun bebas baru diikutinya dua
tahun kemudian.

Ketika Sintong baru mengalami 3 kali latihan terjun, mendadak ia ditarik kembali ke
Mako RPKAD di Cijantung. Ia mendapat perintah untuk melaksanakan persiapan
penerjunan di Sarawak, dalam Kompi Sukarelawan Pembebasan Kalimantan Utara,
dibawah pimpinan Lettu Faisal Tandjung. Menurut rencana, kompi ini akan
diterjunkan langsung di kota Kuching, Ibu kota Negara bagian Sarawak di Malaysia,
dalam rangka Konfrontasi Ganyang Malaysia. Sintong merupakan satu-satunya perwira
lulusan AMN Angkatan 63 yang mendapat kehormatan dalam operasi Lintas Udara
tersebut.

Namun, sesuatu lebih besar tiba-tiba meletus di Jakarta. Dini hari 1 Oktober 1965
meletuslah pemberontakan G30S/PKI, sehingga segala persiapan penerjunan
dibatalkan. Selanjutnya, Kompi Tandjung dioperasikan dalam penumpasan
pemberontakan. Sore hari, 1 Oktober 1965, Letda Sintong memimpin Peleton 1
merebut gedung RRI Pusat di jalan Merdeka Barat, Jakarta dari tangan pemberontak,
selanjutnya Sintong ikut serta dalam gerakan tempur untuk menguasai Pangkalan
Udara Halim Perdanakusumah. Selain itu, Sintong juga memimpin anak buahnya
melaksanakan pencarian dan menemukan jenazah para perwira tinggi AD yang diculik.

Usai melaksanakan perintah operasi di Jakarta, Sintong ditugaskan pada Operasi


Pemulihan Keamanan dan Ketertiban di daerah Jawa Tengah. Ia memimpin Peleton 1
Kompi Tandjung dalam operasi di Semarang, Demak, Blora, Kudus, Cepu, Salatiga,
Boyolali, Yogyakarta, sampai ke daerah lereng timur Gunung Merapi.

Setelah menerima kenaikan pangkat menjadi Letnan Satu Infanteri, awal Februari
1967 Sintong ditugaskan memimpin Tim Irian Barat RPKAD untuk melancarkan operasi
tempur di Daerah Kepala Burung di Irian Barat. Hal ini merupakan pertama kalinya
seorang lulusan AMN Angkatan 63 memimpin operasi tempur di daerah operasi. Waktu
itu, Mayor Tituler Lodewijk Mandatjan kembali masuk hutan bersama 14.000
pengikiunya dari Suku Arfak dengan membawa sekitar 1.000 pucuk senjata api tua dan
senjata tradisonal. Sintong memimpin Tim Irian Barat RPKAD Operasi Wibawa I dan
banyak terlibat kontak senjata.

Bulan Maret 1968, ia kembali ke basis Yon 3/RPKAD di Ksatrian Slamet Riyadi,
Kandang Menjangan, Kartosuro, dan menjabat sebagai Komandan Kompi. Kemudian,
Sintong dipindahkan ke Grup 2 Parako, Magelang di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Soeweno (pensiun Letjen TNI) sebagai Komandan Batalyon, dan Kapten Lubis (Pensiun
Letkol Inf.) sebagai Komandan Detasemen. Letnan Satu Inf. Sintong Panjaitan
menjabat sebagai Komandan Kompi 251, Letnan Satu Peter Sitompul Inf. sebagai
Komandan Kompi 252, dan Letnan Satu Inf. sebagai Todo Sihombing Komandan Kompi
253.

Tahun 1989 di Irian Barat dilaksanakan Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera). Markas Komando KOPASSANDHA menugaskan pasukan berkekuatan 1
Prayudha ke Irian Barat. Sintong dipanggil oleh Kapten Inf. Faisal Tandjung,
Komandan Karsayudha Wibawa, untuk menjabat sebagai Komandan Prayudha 3 di
Kabupaten Monokwari, daerah Kepala Burung untuk memenangkan Pepera.

( Dalam KOPASSANDHA (kini KOPASUS) Karsayudha dapat disejajarkan dengan The B


Team dalam organisasi US Army’s Special Forces yang berkekuatan 68 orang personil,
terdiri dari 20 orang staf markas, dan empat The A Team masing-masing terdiri dari
12 orang. Karsayudha berkekuatan 72 orang, terdiri dari 20 orang staf markas dan
empat Prayudha yang masing-masing terdiri dari 13 orang. The B Team dipimpin oleh
seorang Mayor, sedangkan Karsayudha dipimpin oleh seorang Kapten. Prayudha dapat
disejajarkan dengan The A Team dalam organisasi US Army’s Special Forces. Susunan
Prayudha terdiri dari seorang Komandan berpangkat Letnan, seorang Wakil
Komandan, seorang Bintara Operasi, dua orang Bintara PHB, dua orang Bintara
Kesehatan, dua orang Bintara Persenjetaan, seorang Bintara Intelijen, seorang
Bintara Teritorial, seorang Bintara Logistik, dan seorang Bintara Zeni Tempur,
terutama untuk tugas-tugas demolisi. Dalam The A Team tidak terdapat seorang
Bintara Teritorial).

Usai tugas memenangkan Pepera, Sintong tidak langsung kembali ke basis. Ia ditunjuk
sebagai Perwira Operasi Tim Ekspedisi Lembah X dibawah pimpinan Kapten Inf. Faisal
Tandjung, yang merupakan ekspedisi gabungan antara Stasiun NBC New York dan
Kodam XVII/Cendrerawasih. Ekspedisi ini bertujuan untuk membuat dokumentasi
antropologi budaya dengan film 16mm berwarna terhadap suku-suku terasing yang
masih hidup bagai di zaman batu.

Bulan Januari 1970, Sintong kembali ke Grup 2/Parako di Magelang. 3 Bulan kemudian
ia naik pangkat menjadi Kapten Infanteri, kemudian pindah ke Grup 4/Sandiyudha
dengan jabatan Kasi 1/Operasi. Selanjutnya Sintong B/P pada Intelstrat (Intelijen
Strategis), karena ia masuk kedalam Tim Kerja Penanggulangan Teror (Gultor).
Kembali dari Intelstrat, Sintong menjabat sebagai Kasi 2/Operasi/Grup 4/Sandiyudha.

Tanggal 14 Agustus, Sintong ditunjuk melaksanakan operasi intelijen B/P Komandan


Pusat Intelijen Strategis (Danpusintelstrat) di Tebet, Jakarta Selatan. Tim Operasi
Khusus ini dipimpin oleh Letkol Inf. Heru Sisnodo (Pensiun Kolonel Inf.), Sintong
sebagai wakil dan membawahi empat perwira pertama yang kesemuanya berpangkat
Letnan Satu. Antaranya ialah Lettu Matseh Pagma (Pensiun Letkol Inf.), dan Lettu
Nursalam (Pensiun Kolonel Inf.). Tim ini terkenal dengan nama “TIM MARCEDES”
karena seluruh perwiranya adalah pemegang anugerah kehormatan Bintang Sakti,
kecuali Sintong. Ia baru memperoleh anugerah kehormatan tersebut 10 tahun
kemudian. Pada waktu itu, nama Sintong sudah diajukan untuk memperoleh Bintang
Dharma.

Akibat padatnya penugasan di berbagai medan operasi, Sintong baru menagkhiri


lajangnya ketika berumur 31 tahun. Banyak diantara teman seangkatannya di AMN
sudah menikah seawal umur 25 atau 26 tahun. Ditengah segala kesibukannya, Sintong
berkenalan Lentina Napitupulu, adik istri Letnan Inf. Sitorus (Pensiun Letkol), lulusan
AMN Angkatan 66. Sintong menikahi Lentina Napitupulu di Jakarta pada tahun 1971.
Adik istri Sintong, Sanmur Napitupulu, menikah dengan Mayor Inf. Pieter Sitompul
(Pensiun Brigjen TNI), AMN Angkatan 64, Komandan Detasemen Grup 2/Parako.
Dengan demikian, mertua Sintong, Lerentius Napitupulu gelar Raja Maligas, memiliki
tiga orang menantu dari Korps Baret Merah yang semuanya perwira lulusan AMN.

Dua tahun kemudian Sintong naik pangkat menjadi Mayor Infanteri dan menjadi
Komandan Karsayudha Grup 4/Sandiyudha. Sejak tanggal 12 September 1972, Sintong
bertugas memimpin Satgas-42 di Kalimantan Barat dalam rangka penumpasan
PGRS/Paraku. Dalam pelaksanaan tugasnya, Sintong menggelar operasi taktik perang
baru yang di bersandi Operasi Garu, yang hamper tidak memungkinkan gerombolan
komunis ditempat itu meloloskan diri.

Setelah setahun bertugas di Kalimantan Barat, Sintong kembali ke Cijantung dan menjabat
sebagai Wakil Komandan Grup 4/Sandiyudha, dibawah pimpinan Kolonel Inf. Eddi Sudradjat
sebagai Komandan Grup. Ia banyak mempelajari konsep anti gerilya, US Army’s Special Forces
pasukan-pasukan khusus di Eropah, maupun Asia. Selain itu, Sintong banyak
meneyelenggarakan latihan anti terror. Pada bulan Juli 1973, Grup 4/Sandiyudha
melaksanakan latihan demonstrasi gerakan satuan Sandiyudha dari taraf infiltrasi sampa ke
konsolidasi di suattu lembah di Mako Kopassandha, di Cijantung, Jakarta Timur. Demonstrasi
gerakan satuan Sandiyudha itu, rencananya akan disaksikan sendiri oleh KASAD Jenderal TNI
Makmun Murod.

Dalam latihan itu, dilakukan tembakan langsung dengan mortir 80mm secara mendatar sejauh
150 meter, mirip tembakan roket. Peluru mortir dimasukkan kedalam laras dengan cara
mendorong dengan bambu. Selama dilakukan latihan beberapa kali, tembakan mortir secara
mendatar itu berjalan baik dan lancar.

Dalam gladi bersih dua hari sebelum kedatangan KASAD, Sintong bertindak seolah-olah
inspektur upacara. Sintong melihat rumput ditanggul jembatan yang tumbuh tetrlalu tinggi.
Sintong kemudian menarik salah seorang perwira naik keatas tanggul untuk menunjukkan
rumput mana yang harus dipangkas. Pada saat itulah peluru mortir 80mm meledak! Ledakan
yang terjadi tidak terlalu jauh dari laras. Rupanya, ini disebabkan oleh tenaga pendorong
tambahan dalam kantong-kantong plastik kecil yang ditempatkan diantara keempat sirip
mortir tidak menyala sempurna. Dalam kecelakaan ini, 11 personil Baret Merah gugur.

Sintong juga menjadi korban. Dia terluka parah, perutnya berdarah-darah, karena sebuah
pecahan mortar menembus kopelrim, terbelah menajdi dua yang dipakainya. Karena kopelrim
yang terbuat dari logam itulah, yang menyelamatkan nyawa Sintong. Sintong tetap berdiri,
tergamam menyaksikan anak buahnya yang gugur didepan matanya. Kolonel Inf. Eddi
Sudradjat yang langsung tiba sejurus setelah kejadian memerintahkan,

“Tong, kamu masuk kedalam ambulans!”

Kejadian itu juga membuat istrinya panik, sebab tersebar kabar di Cijantung bahwa Sintong
turut menjadi korban. Ternyata luka-lukanya tidak terlalu dalam.

Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-35, Sintong mendapat perintah untuk bertugas di
Intelstrat dan tak lama kemudian ia mendapat perintah untuk mengikuti SESKOAD di Bandung.
Bersamaan dengan perintah itu, Komandan Jenderal Kopassandha Mayjen TNI Yogie S. Memed
(pensiun Letjen TNI) memerintahkan Sintong untu mempersiapkan diri sebagai wakil dari
Letkol Inf. Soegito di Grup-1/Parako untuk operasi lintas udara di Dilli.

Sintong melaksanakan persiapan bersama Komandan Detasemen 1 Grup-1/Parako, Mayor Inf.


Atang Sutrisna dan Mayor Inf. Jusman Jastam (pensiun Brigjen TNI), mantan wakil Sintong di
Satgas 42/Kopassandha di Kalimantan Barat. Mayor Jusman Jastam adalah seorang bekas
Tamtama yang kemudian masuk AMN, merupakan perwira andalan dalam melaksanakan
banyak misi. Sintong bersama kedua perwira itu merencanakan operasi lintas udara dan
membuat fotokopi peta Kota Dilli, yang akan dibagikan kepada pasukan yang akan
diterjunkan.

Pada hari H, tanggal 7 Desember 1975, Operasi Lintas Udara terbesar dalam sejarah ABRI
dilakukan oleh Detasemen Tempur-1 yang bertindak selaku ujung tombak Grup-1/Parako.
Sebanyak 270 personil Grup-1/Parako dibawah pimpinan Letkol Inf. Soegito, Komandan Grup
1/Parako dibagi menjadi tiga tim. Urutan tugas tim sebagai berikut :
Tim A
Pimpinan Mayor Inf. Atang Sutrisna (Letkol Anumerta), Komandan Detasemen Tempur-1,
bertugas merebut kantor gubernur sebagai pusat pemerintahan.

Tim B
Pimpinan Lettu Inf. Atang Sendjaya (Kapten Anumerta),, Komandan Kompi B/Denpur-1,
bertugas merebut Pelabuhan Dilli.

Tim C
Pimpinan Lettu Inf. Luhut Binsar Panjaitan (pensiun Jenderal TNI Hor.),, Komandan Kompi
A/Denpur-1, bertugas merebut Lapangan Udara Dilli.

Masing-masing yang berkekuatan 90 orang personil didbagi menjadi empat stick, dipencar
dalam empat Hercules. Demikian juga komandan tim dan wakilnya, tidak berada dalam satu
pesawat. Dengan demikian, seandainya salah pesawat HerculeS tertembak jatuh, setiap tim
masih memiliki tiga stick dan tim masih memiliki komandan atau wakil komandan. Bahkan,
mungkin juga masih memiliki Komandan dan Wadannya.

Setelah Sintong merencanakan operasi lintas udara ke Dilli, ia lalu berangkat ke Bandung
untuk mengikuti penataran dalam rangka SESKOAD. Sintong berangkat ke Bandung pada hari
Sabtu, karena keesokan harinya merupakan hari libur. Sintong tetap berada di Bandung untuk
pendalaman materi penataran. Keesokan harinya, Minggu, Sintong dicari-cari oleh Mako
Kopassandha, sehubungan adanya penugasan ke Timor-Timur. Tapi, tidak diketahui
keberadaan Sintong di Bandung. Karena keputusan harus segera dibuat hari itu juga oleh
kesatuan, maka Sintong digantikan oleh Mayor Inf. Kuntara, teman seangkatannya di AMN.

( Mayor Kuntara – sebagai Wakil Komandan Grup 1/Parako bertugas dalam Operasi
Flamboyan, suatu operasi intelijen tempur pimpinan Kolonel Inf. Dading Kalbuadi yang
bermarkas di Motaiin. Kuntara membawahi Denpur-2/Parako pimpinan Mayor Inf. Muhidin,
yang terdiri dari dua kompi, yaitu Kompi A pimpinan Lettu Inf. Marpaung, dan Kompi B
pimpinan Lettu Inf. Slamet Kirbiantoro )

Sintong lulus ujian seleksi dan masuk SESKOAD tanggal 29 Maret dan lulus pada tanggal 26
Januari 1977. Menurut Mayjen TNI EWP Tambunan, Sintong lulus no.10. Dua bulan kemudian
pangkat Sintong dinaikkan menjadi Letnan Kolonel Infanteri. Ia tetap bertugas di Grup
4/Sandiyudha dengan jabatan Wakil Komandan Grup.

Bulan Mei 1977, Letkol Inf. Sintong Panjaitan menjabat Wakil Sementara Asisten 2/Operasi
Danjen Kopassandha. Sebagai Waasops, Sintong membuat suatu forum diskusi dan komunikasi
untuk para perwira di Mako Kopassandha. Menurut Sintong, di Kopassandha banyak perwira
yang potensial dan brilliant, tetapi mereka tidak dapat mengutarakan gagasan dan idenya,
akibat terbentur oleh masalah hirarki. Dalam forum ini, para perwira dapat menyatakan
pendapatnya, setuju atau tidak setuju terhadap perwira lainnya, meskipun kepangkatannya
lebih tinggi. Tokoh perwira yang dimiliki oleh Sintong antara lain ialah Mayor Inf. AM.
Hendropriyono, Mayor Inf. L.B. Panjaitan, Mayor Inf. Jusman Jastam, Mayor Inf. Tarub, Mayor
Inf. Agum Gumelar, dan Kapten Prabowo Subianto.

Tahun 1980, ketrika Sintong menjabat sebagai Asisten 2/Operasi Danjen Kopassandha, ia
ditugaskan untuk melakukan observasi ke Aceh sehubungan dengan kegiatan Gerakan Aceh
Merdeka. Walaupun Daud Beureueh telah berhasil diringkus oleh Nanggala 16 pimpinan Myaor
Inf. Sofian Effendy pada tahun 1978, Hasan Tiro pucuk pimpinan GAM berhasil menyelamatkan
diri, menyingkir dengan perahu bermotor ke wilayah Malaysia, kemudian bersembunyi di
Swedia. Kegiatan bersenjata GAM kemudiannya dipatahkan oleh Nanggala 21 pimpinan Kapten
Inf. Sutiyoso, tetapi kemudian gerakan itu muncul lagi.

Tahun 1978, Sintong memimpin Tim Pengamanan VIP/VVIP DI Timor Timur, sehubungan
dengan kunjungan Presiden Soeharto untuk pertama kalinya. Dalam operasi pengamanan ini,
Sintong bertugas mempersiapkan pasukan pada depan jalur yang akan dilewati oleh Presiden.

Pada bulan Februari 1980, Sintong mandapat tugas mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan
Gabungan (Seskogasb, kini Sesko TNI) di Bandung. Ia lulus pada bulan Oktober 1980. Awal
tahun 1981, Sintong memperdalam terjun bebas yang diselenggarakan oleh Mobile Training
Team (MTT) dari US Army’s Special Forces di Cijantung. Ia mengalami cedera patah kaki
dalam latihan itu.

Ketika Latihan Gabungan ABRI sedang berjalan di Ambon, Sintong ditelepon oleh Danjen
Kopassandha yang memerintahkan agar Sintong merencanakan dan memimpin operasi anti
terror untuk pembebasan sandera DC-9 Woyla yang dibajak. Sintong langsung mencari tokoh-
tokoh operasi khusus di Kopassandha, yaitu Mayor Inf. AM. Hendropriyono, tetapi ia sedang
mengikuti Latihan Gabungan ABRI di Maluku, sedangkan Mayor Inf. Luhut Panjaitan dan
Kapten Inf. Prabowo Subianto keduanya sedang mengikuti pendidikan di GSG-9, Jerman Barat.
Akhirnya operasi berhasil disukseskan. Sintong beserta seluruh anak buahnya mendapat
anugerah kehormatan Bintang Sakti.

Beberapa waktu setelah melaksanakan operasi pembebasan sandera, Sintong mendapat


kenaikan pangkat luar biasa setingkat menjadi Kolonel Infanteri, ditunjuk menjabat
Komandan Grup 3/Sandiyudha, di Kariango, Makassar. Letkol Inf. Yunus Yosfiah, lulusan AMN
Angkatan 65, menjadi wakilnya.

Sintong meninggalkan Kariango setelah mendapat tugas sebagai Komandan Pusat Sandiyudha
Lintas Udara (Pussandhalinud) di Batujajar. Dengan demikian, Sintong menjadi orang ketiga
dalam jajaran struktur pejabat tertinggi Kopassandha. Ketika itu, Danjen dijabat oleh Brigjen
TNI Wismoyo Arismunandar, dengan Kolonel Inf. Kuntara sebagai Wadanjen. Keduanya
merupakan teman seangkatan Sintong di AMN.

Tahun 1984, Sintong mengikuti kursus Reguler Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)
Angkatan XVII. Untuk pertama kalinya lulusan AMN Angkatan 63 mengikuti kursus Lemhanas
bersama para seniornya dari AMN Angkatan 60, dan Angkatan 61. Sintong menjadi junior.
Setelah lulus, Sintong diangkat menjadi Danjen Kopasus pada 5 Mei 1985. Seklaigus
memperoleh bintang satu dipundaknya. Ia ditugaskan melakukan reorganisasi Kopassandha
menjadi bentuk satuan baru dan bermutu dengan nama Kopasus. Wadanjen
Kopassandha/Kopasus tetap dijabat oleh Kolonel Inf. Kuntara.

Berhasil melakukan reorganisasi di Kopassandha, tanggal 12 Maret 1987 Sintong dipanggil


KASAD Jenderal TNI Eddi Sudradjat agar siap untuk dipindahkan ke Pusat Kesenjataan
Infanteri (Pussenif) untuk juga melakukan reorganisasi. Pengganti Sintong sebagai Danjen
Kopasus adalah wakilnya, Kolonel Kuntara.

Kalau Wismoyo Arismunandar menjadi orang pertama lulusan AMN Angkatan 63 menjadi
perwira tinggi berbintang satu, Sintong dan Wismoyo merupakan orang pertama AMN 63
menjadi perwira tinggi berbintang dua. Mereka mendapatkan kenaikan pangkat menjadi
Mayor Jenderal TNI bersamaan waktunya. Sintong menjadi Mayjen TNI ketika berusia 48
tahun.

16 Juni 1989, Sintong dipanggil lagi oleh KASAD Jenderal TNI Eddi Sudradjat. Kasad menilai
Sintong telah berhasil melakukan reorganisasi Pussenif yang semula berada dibawah Komando
Pengembangan Pendidikan dan Latihan (Kobangdiklat), menjadi bagian Pusat Pendidikan dan
Latihan Angkatan Darat. Lalu KASAD menyatakan,

“Tong, kamu mendapat tugas baru sebagai Pangdam IX/Udddayana. Ini pertama kalinya
Komando Pelaksana Operasi Timtim yang semula dipegang Pnaglima ABRI, akan diserahkan ke
kamu. Mudah-mudahan kelak, Kolakops Timor-Timur dapat dilikuidasi dan diambil alih oleh
Korem 164/Wira Dharma”.

Penugasan itu merupakan Perintah Luar Biasa ke-17 baginya

Tanggal 12 november 1991, terjadi demonstrasi yang kemudian berkembang menjadi


kerusuhan. Ketika itu, Mayjen TNI Sintong Panjaitan sedang menghadiri rapat operasi dan
latihan di AKMIL Magelang. Disana Sintong sudah direncanakan akan dimutasi menjadi Asisten
2/Operasi Panglima ABRI untuk memberikannya pengalaman bertugas di Markas Besar ABRI.
Bentrokan antara demonstran dengan aparat keamanan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa
dipihak demonstran. Sehubungan dengan peristiwa itu, Sintong dicopot dari jabatannya sealku
Pangdam IX/Udayana. Padahal, Sintong tidak melakukan kesalahan prosedur, kesalahan
strategis, maupun kesalahan taktis!

OPERASI KILAT MENGAWALI


PENGALAMAN TEMPUR

Ketika Sintong Panjaitan lulus Akademi Militer (AMN) Angkatan IV 1963 dengan
pangkat Letnan Dua, ia ditempatkan sebagai perwira pertama di Resimen Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD) di Cijantung, Jakarta Timur. Smabil menunggu
kesempatan mengikuti Pendidikan Dasar Para Komando di Batujajar, Bandung, ia
mengikuti Kursus Dasar Kecabangan Infanteri di Pusat Pendidikan Infanteri selama 4
bulan. Pendidikan kecabangan infanteri, kavaleri maupun artileri telah diperoleh di
AMN, tapi pendidikan itu hanya bersifat umum. Kursus kecabangan infanteri yang
ditempuh di Bandung ini, merupakan pendalamannya.

Pertengahan Agustus 1964, 15 oranga perwira remaja abituren AMN Angkatan 63.
ditugaskan di Sulawesi Selatan dan Tenggara untuk memperoleh pengalaman tempur.
Letda Inf. Sintong Panjaitan, Letda Inf. Abdulrachman, dan Letda Inf. Iding Suwardi di
B/P pada Batalyon Infanteri 321/Galuh Taruna Brigade Infanteri 13/Galuh Kodam
VI/Siliwangi yang sedang melaksanakan Operasi Kilat untuik menumpas
pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Dua Batalyon Brigif-13/Galuh
lainnya ialah Yonif 332/Buaya Putih dan Yonif 303/setia Perlaya yang dioperasikan
disisi barat kaki Gunung Latimojong.

Empat kompi dalam Yonif 321 merupakan pasukan infanteri biasa yang tidak memiliki
kulifikasi para. Brigif-13/Galuh merupakan brigade pertama yang dikirim oleh Brigjen
TNI Ibrahim Adjie, Panglima Siliwangi untuk melaksanakan operasi di Sulawesi
Selatan. Dua brigade Siliwangi lainnya, masing-masing Brigif-11 dan Brigif-12,
menyusul kemudian. Pada waktu Sintong ditempatkan di Yonif 321, Brigif-13 telah
beroperasi selama 1 tahun di Palagan Sulawesi Selatan.

Sebagai Komandan Peleton Infanteri


Semula, Sintong mendapat tugas sebagai Pendamping Komandan Peleton 1 yang
dijabat oleh Peltu Djamaluddin Lubis pada Kompi Senapan A pimpinan Lettu Inf.
Hanafie. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Sintong untuk mempelajari seluk beluk
peleton infanteri di daerah operasi yang para anggotanya tidak dapat disamakan
dengan Peleton Taruna pada masa di AMN. Para Tamtama dan Bintara Peleton 1
infanteri ini telah memilik pengalaman dan prestasi dalam berbagai Palagan. Selain
itu, Sintong juga mempelajari sifat-sifat anggota peleton di daerah operasi

Dalam waktu kurang dari 1 bulan Sintong telah diangkat menjadi Komandan Peleton-
1, menggantikan Peltu Lubis. Demikian juga Abdulrachman dan Iding Suwardi, teman
seangkatan di AMN, masing-masing diangkat menjadi Komandan Peleton 2 dan 3 pada
Kompi Senapan A.
Belum Punya Pengalaman Tempur
Letnan Dua Inf. Sintong Panjaitan masih perwira remaja berumur 24 tahun yang belum
memiliki pengalaman tempur, tetapi ia mendapat tugas sebagai Komandan Peleton 1
yang para anggotanya sebagian besar nya telah kenyang makan asam garam
pertempuran. Tiga orang Komandan Regu dibawah pimpinan Sintong, maisng-masing
Sersan Omoh Sersan Suwardi, dan Sersan Rachmad, merupakan Bintara yang sangat
berpengalaman. Mereka berpengalaman dalam penumpasan PRRI di DI/TII di Jawa
Barat, PRRI di Sumatera, dan Trikora di Irian Barat. Bahkan, ada anggota yang berasal
dari Angkatan 45. Walau demikian, Sintong dapat menunjukkan kemampuannya
sebagai seorang komandan dalam memimpin pertempuran di daerah operasi yang
menjadi tanggungjawabnya.

Waktu Sintong ditugaskan di Yonif 321, pemberontak sering menyerang pos-pos


tentara maupun kepolisian serta mengganggu penduduk yang tidak membantu
mereka. Angkutan barang lewat jalan antara Makale – Enrekang, juga tidak lepas dari
gangguan DI/TII. Dukungan logistic bagi pemberontak pimpinan Syamsuddin di daerah
ini, diperoleh dari desa-desa subur di dataran rendah di Selatan, yaitu di daerah
Tanrutedong.

Dalam upaya menutup jalur-jalur logistiK bagi DI/TII di daerah pemukiman penduduk,
Lettu Inf. Hanafie menempatkan tiga peleton kompinya, berderet dari barat ke timur
disebelah kaki Gunung Rantekumbala. Peleton 3 pimpinan Letda Inf. Iding Suwardi
ditempatkan di Bunging, pada ujung barat. Peleton 2 dikomandani Letda Inf.
Abdulrachman di Talangriaja, menempati bagian tengah. Peleton 1 yang dikomandani
Sintong ditempatkan di Talangrilau pada ujung timur. Talangrilau yang berupa medan
pegunungan terletak ditengah-tengah daerah yang dikuasai oleh pemberontak
dibawah pimpinan Syamsuddin, seorang pemberontak kepercayaan Kahar Muzakkar.

Syamsuddin sebagaimana layaknya Kahar, juga adalah mantan pejuang masa Revolusi
fisik di Yogyakarta. Biasanya, pasukan infanteri yang melaksanakan operasi anti
gerilya, memerlukan penduduk setempat untuk mendukung kelancaran operasi.
Namun, daerah Talangrilau yang menjadi daerah operasi Sintong, sama sekali tidak
berpenduduk.
Jarak terdekat antar Peleton 1 dan Peleton 2 sekitar 6 jam berjalan kaki. Peleton 1
merupakan yang paling banyak terlibat kontak senjata karena posisinya yang berada
ditengah-tegah daerah pemberontak.

Memilih tempat untuk mendirikan bivak di Talangrilau tidak mudah, karena


merupakan daerah pegunungan. Klau suatu bivak didirikan di suatu ketinggian,
misalnya disebuah punggung bukit, maka di daerah sekitarnya pasti terdapat pula
daerah yang ideal untuk melakukan pengintaian maupun penyerangan. Pasukan DI/TII
didaerah ini sangat ingin seklai mengusir Peleton 1 dari Talangrilau, karena
keberadaan mereka sangat mengganggu perembesan pemberontak ke daerah
pegunungan dataran rendah yang subur sebagai sumber logistik mereka.

Pada malam pertama setelah Peleton 1 mendirikan bivak di Talangrilau, pemberontak


melancarkan serangan pada pukul 23.00 sehingga pecahlah pertempuran. Seusai
pertempuran, pemberontak melakukan tembakan gangguan berupa tembakan tunggal
dalam interval setiap setengah jam sampai pukul 04.00. Tembakan-tembakan
gangguan seperti itu menyebabkan pasukan Peleton 1 tetap terjaga dan tidak tidur
sama sekali. Pukul 22.00 malam keesokan harinya, sekali lagi pemberontak
melancarkan serangan ke bivak Peleton 1 sehingga terjadi lagi pertempuran sengit
hingga pagi.

Pertempuran Tiga Malam


Selama tiga malam berturut-turut, gerombolan DI/TII menyerang Peleton 1 sehingga
mengakibatkan cadangan peluru menipis. Sintong menghubungi Kmandan Kompi A
agar dikirimi amunisi tambahan. Menurut rencana, pengiriman amunisi akan
menggunakan helikopter. Namun ternyata angkutan itu belum tersedia dan tidak
dapat digunakan. Komandan Batalyon 321 lalu memerintahkan kepada Peleton
2/Kompi A pimpinan Letda Inf. Abdulrachman lewat Komandan Kompi, untuk
mengirmkan amunisi tambahan ke Peleton 1 yang sedang bertempur.

Sementara itu, masuk info A1 bahwa bivak Peleton 2 juga akan diserang, sehingga
seusai mengirimkan amunisi, Peleton 2 cepat-cepat kembali ke posisinya.
Abdulrachman kemudian meminta bantuan Sintong agar sebagaian anak buahnya
memperkuat daerah perbatasan antara posisi peleton yang berdampingan. Walau
anggota Sintong sudah tiga malam tidak tidur, Sintong mengirimkan juga sebagian
kekuatan peletonnya untuk menambah perkuatan.

Hari ke-4, Sintong memerintahkan kepadqa Koptu Jaya agar Mortir 5 dibersihkan,
karena ia pernah melihat senjata lintas lengkung tersebut kurang bersih. Pukul 04.00
pemberontak mulai lagi melancarkan serangan ke bivak Peleton1. Pemberontak DI/TII
menyerang dari ketinggian pada jarak cukup dekat, sehingga kilatan api senjata
otomatis terlihat jelas diatas bukit. Sintong memerintahkan Koptu Jaya untuk
menembakkan Mortir 5, tapi setelah peluru dimasukkan kedalam laras dan picu
ditarik, peluru mortir tetap tidak meluncur. Koptu Jaya mencoba menembakkan
Mortir 5 untuk kedua kalinya, namun tetap saja macet. Ditengah suara riuh rendah
tembakan, Sintong dengan nada marah berteriak kepada Koptu Jaya agar Mortir 5 itu
dibersihkan lagi.
Sintong kemudian mengambil alih sebagai penembak mortir. Namun, setelah peluru
dimasukkan kedalam laras, tetap saja tidak mau meluncur. Peluh memenuhi wajah
Sintong, dia lantas berkata dengan nada marah kepada Koptu Jaya,

“Ini kenapa nda meluncur juga? Belum bersih-bersih ya?!”

“Siap. Letnan belum menarik picunya!”

Meskipun Sintong memang lupa menarik picunya, tapi untuk menjaga kewibawaan ia
menjawab,

“Picu sudah saya tarik, tetap saja macet!”

Rupanya Sintong terkecoh dengan penggunaan Mortir 5 atau Mortir 8 ynag pelurunya
langsung meluncur keluar dari laras, setelah dimasukkan. Namun, tidak demikian
dengan halnya dengan Mortir 5 standar ABRI mapupun Kekidanto, Mortir 5 peninggalan
Bala Tentara Dai Nippon di Indonesia. Setelah peluru dimasukkan kedalam laras, picu
harus ditarik.

Tembakan mortir selanjutnya tidak mengalami masalah. Peluru mortir meluncur


dengan mulus dan tepat mengenai sasaran. Ledakan senjata lintas lengkung itu
membungkam tembakan gencar senjata otomatis gerombolan dari ketinggian.

Saat dilakukan pembersihan keesokan harinya, ditemukan banyak ceceran darah.


Sintong memerintahkan dilakukan pengejaran, meskipun anak buahnya sudah 4 malam
tidak tidur-tidur. Menurut perhitungannya, kondisi fisik pemberontak pasti lebih parah
lagi, karena dalam pengunduran mereka membawa korban. Selain itu, tenaga mereka
telah terkuras datang dan pergi untuk melakukan penyerangan. Komandan Regu 1,
Sersan Omoh memperkirakan bahwa pemberontak sudah mundur turun dari bukit.
Sintong memerintahkan kepada anggota peleton yang sakit agar tinggal di bivak.
Sintong bersama 1 regu pasukannya melakukan pengejaran.

Merebut Pos Musuh


Dalam pengejaran Sintong menemukan pos pemberontak. Pertempuran pun tak terhindarkan,
akhirnya pemberontak melarikan diri. Pos pemberontak yang berhasil direbut dalam keadaan
sangat bagus. Disekelilingnya terdapat kebun, dan banyak terlihat kerbau dan sapi peliharaan.
Sintong segera memerintahkan satu regu untuk menduduki pos tersebut.

Dlaam kontes perang gerilya, kalau pos sudah diduduki oleh musuh, berarti mereka akan
mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan satuan lainnya, mengalami kerugian
perbekalan yang ditinggalkan di dalam pos. Hal ini disebabkan gerilya menggunakan
komunikasi kurir, bukan radio. Selain tiu, pemberontak harus menghubung satuan-satuan
temannya untuk menghindari pos yang telah jatuh tersebut.

Pertempuran pada hari ke-4 itu merupakan pukulan berat bagi DI/TII. Tetapi upaya
pemberontak untuk menghalau kekuatan Peleton 1 dari Talangrilau tidak berhenti sampai
disitu. Serangan pemberontak tetap berlanjut pada hari-hari berikutnya.

Taktik Tempur
Jika bivak Peleton 1 diserang oleh pemberontak, Sintong memerintahkan satu atau dua regu
untuk bertahan. Ia sendiri langsung membawa regu lainnya keluar dari bivak, melakukan
pengejaran dan penutupan terhadap pengunduran pemberontak dangan jalan gerakan
melambung. Dalam satu patroli dimalam hari, Sintong dan anak buahnya kerap kali
mengambil posisi diketinggian yang berbeda-beda. Sehingga ketika pemberontak akan
menyerang bivak, tiba-tiba diluar dugaan mereka diserang dari ketinggian. Sebab itulah
kemudian hari gerombolan pemberontak berpikir dua kali untuk menyerang bivak Peleton 1.

Selain itu, Sintong selalu membawa anggotanya bergerak dengan mobilitas yang tinggi, siang
dan malam tanpa kenal lelah. Usianya yang relatif muda dan dengan fisik yang terlatih,
memungkinkan Sintong melakukan hal tersebut. Sebaliknya, fisik anak buahnya yang rata-rata
berusia 10 tahun lebih tua darinya, harus berlatih menyesuaikan diri dengan geraka Danton
yang dinamis itu.

Bagi pihak gerombolan, patroli Peleton 1 yang selalu bergerak mobile, sangat menyulitkan
untuk menyelenggarakan arus logistik dari kawasan pedesaan ke kantong-kantong
persembunyian mereka. Selain itu, patroli Peleton 1 yang dilakukan terus menerus
mengakibatkan hubungan pemberontak dengan supply logistik mereka dari penduduk menjadi
sulit dan terputus.

Jika pemberontak memperkirakan Peleton 1 sudah kembali ke bivak setelah mengadakan


patroli, ternyata diluar dugaan peleton pimpinan Sintong itu melakukan penghadangan
terhadap mereka yangs edang mengangkut logistik. Jika menjelang sore hari, satu atau dua
regu Peleton 1 terlihat sedang beristirahat disuatu tempat, ternyata ketika gerombolan
menyerang pada malam harinya, mereka menemukan tempat tersebut sudah kosong.

Geraka Peleton 1 yang selalu berada diluar jangkauan pemberontak sangat bernilai strategis.
Nilai strategis yang dicapai oleh tiga peleton senapan Kompi Senapan A pimpinan Lettu
Hanafie adalah berhasil memotong jalur pemasok logistik dari daerah subur dibarat laut kakai
gunung Latimojong. Hal ini merupakan pukulan berat bagi pemberontak pimpinan Kahar
Muzakkar.

Danton Tanpa Baret Merah


Berkat keberhasilannya memimpin peleton pasukan infanteri, 4 bulan kemudian Sintong
ditarik kembali ke Markas Komando RPKAD untuk menjabat sebagai Komandan Peleton
1/Kompi Suryo/Yon 3 RPKAD yang sedang melaksanakan Operasi Kilat di Sulawesi Tenggara.

Kompi Suryo ini mengawali pengejaran terhadap Kahar Muzakkar dengan jalan diterjunkan
melalui udara dari Makassar dengan pesawat C-47 Dakota Skuadron 2/Angkut Ringan AURI di
Lambatu. Lambatu yang menjadi dropping zone, hanya berjarak 2 km dari perbatasan
Sulawesi Selatan dan Tenggara. Kpaten Inf. Suryo mendirikan markas kompi RPKAD di
Lambatu. Ia memimpin operasi pasukan Baret Merah di Sulawesi Tenggara. Diantara 15 orang
perwira remaja lulusan AMN Angkatan 63 yang sedang menimba pengalaman tempur dalam
Operasi Kilat, hanya Sintong yang ditunjuk menjadi Danton RPKAD.

Ketika mulai ditempatkan sebagai perwira pertama di RPKAD, Sintong dipandang sebelah
mata oleh para prajurit Baret Merah yang telah kenyang pengalaman tempur itu. Lagi pula
Sintong menjabat sebagai Danton Baret Merah di daerah operasi, belum memiliki kualifikasi
Para maupun Komando. Biasanya, pendatang baru dilingkungan RPKAD sebagaimana layaknya
pasukan elite, akan diplonco lebih dulu pada waktu mengikuti pendidikan Calon Komando di
Batujajar. Walaupun waktu itu Sintong belum memiliki kualifikasi Komando, sebagai seorang
perwira lulusan AMN, ia datang ke Kompi Suryo dengan penuh percaya diri. Pengalamannya
selama 4 bulan dalam peleton infanteri dapat digunakan sebagai bekal dasar dalam memimpin
Peleton 1 Kompi RPKAD yang para Bintara dan Tamtamanya merupakan orang-orang yang
sangat terlatih.

Sintong cepat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dalam memimpin peleton pasukan
infanteri, beralih ke peleton pasukan para komando. Dilihat dari segi pelaksanaan operasi,
pasukan infanteri bergerak dalam satuan, sedangkan pasukan para komando lebih banyak
menitikberatkan pergerakan dalam bentuk tim-tim kecil. Hal ini menuntut perencanaan yang
cermat dan matang. Mereka bergerak dalam tim keciol berkekuatan 10 sampai 12 orang.
Bahkan kemudian diperkecil lagi menjadi 5 sampai 7 orang, sehingga dalam satu peleton
dapat dibentuk lima sampai enam poros.

Dalam patroli pasukan infanteri dimalam hari, biasanya waktu beristirahat dibagi antara
anggota yang berjaga dan yang tidur. Anggota yang bertugas jaga sering mengeluarkan suara
teriakan-teriakan, sehingga pasukan musuh menyingkir.

Ini berbeda dalam pasukan komando. Tim kecil pasukan komando yang biasanya berkekuatan
5 sampai 7 orang akan membeku disuatu tempat. Jika malam tiba, posisi mereka bergeser
ketempat lain, kemudian membuat bivak perseorangan pada jarak 30 meter antara seorang
anggota dengan anggota lainnya. Tidak ada istilah penjagaan, mereka akan beristirahat
bersama-sama. Untuk pengamanan, mereka memasang rintangan berupa ranting-ranting
kering atau benda-benda lain yang mudah menimbulkan suara, kemudian mereka tidur
bersamaan, tanpa seorang pun bertugas jaga. Tapi, seandainya rintang itu diterjang oleh
musuh atau babi hutan yang lewat, anggota pasukan para komando akan segera terjaga dan
bereaksi.
Standard persenjataan yang dipergunakan antara pauskan infanteri dan pasukan para
komando juga berbeda. Ketika Sintong menjadi Danton peleton infanteri, ia hanya membawa
sepucuk pistol dan para anggotanya menggunakan senjata senapan standard US M1 Garand,
senapan mesin regu berupa Bren kaliber 7.62mm dan diperkuat dengan Mortir 5 tingkat
peleton. Sementara, senjata organik pasukan para komando lebih canggih, karena senjata
standard mereka sudah menggunakan Kalashnikov AK-47, Senapan Mesin regu Degtrayev RPD
atau AKM dengan bi-podskaliber 7.62mm. Selain itu, setiap regu membawa peluncur roket
RPG-2 buatan Yugoslavia sebagai senjata penghancur perkubuan maupun penembus baja,
dengan daya tembus tiga kali lebih besar dibanding proyektil HEAT 57mm recoilless rifle.

Sintong sebagai Danton, tidak hanya bersenjatakan sepucuk pistol, seperti ketika ia menjabat
Danton infanteri. Ia juga membawa senapan serbu AK-47 untuk mempertinggi daya tembak
dan pistol Makarov kaliber 9mm. Untuk komunikasi radio, peleton masih menggunakan AN
GRC-9, sejenis radio yang banyak digunakan dalam PD-II.

Mengejar Kahar Muzakkar


Pada bulan September 1964, Markas Komob Operasi Kilat yang berada di Pare-Pare Sulawesi
Selatan, dipindahkan ke kota Pakue, di Sulawesi Tengah, yang menghadap Teluk Bone. Ini
dilakukan setelah Anda Rawe, salah seorang istri Kahar Muzakkar menyerah. Markas Komando
Yonif 330/Para Kujang I/Kodam VII/Siliwangi yang semual berada di Pare-Pare, juga digeser
ke Pakue.

Skuadron 6/Helikopter AURI yang berpangkalan induk di Pangkalan Angkatan Udara Hussein
Sastranegara, Bandung menempatkan satu flight helikopter di Pakue berkekuatan lima Mil Mi-
4 dengan status B/P pada Komando Regional Udara II/Makassar. Kedatangan lima unit
helikopter tersebut ke Pakue, diangkut dengan kapal ALRI dalam dua gelombang

Dalam mendukung jalannya operasi, Helikopter Mi-4 digunakan untuk melakukanheliborne


assault didaerah sasaran dengan cara landing maupun free jump, melakukan dukungan
logistik, evakuasi air medic, bentuan tembakan tembakan udara terhadap pasukan darat
dengan senapan mesin berat Degtyarev DShK 38 12.7mm, dan sebagai helicopter command
and control post bagi Operasi Kilat. Setiap terdapat informasi yang diyakini sebagai A1 dapat
segera dilancarkan heliborne assault operation dengan menggunakan pasukan RPKAD. Operasi
ini merupaka prakarsa Pangdam XIV/Hasanuddin Brigjen TNI M. Jusuf. Selain itu dengan
adanya penempatan satu flight helikopter di Pakue, Pangdam M. Jusuf dapat lebih sering
melakukan inspeksi lapangan.

Selesai melaksanakan Operasi Kilat, tidak satupun helikopter AURI tersebut yang kembali ke
basisnya di PAU Hussein Sastranegara, Bandung. Sebuah Mi-4 terbakar habis pada
saat refueling di Pakue, sebuah Mi-4 under shoot masuk laut ketika melaksanakan pendaratan
malam di Pakue, dua Mi-4 masing-masing melakukan auto-rotation akibat mesin mati,
sedangkan sebuah Mi-4 lainnya disebabkan kerusakan pada clutch system, dan sebuah Mi-4
habis usia pakai.
Komob Operasi Kilat di Pakue mengendalikan seluruh operasi pasukan di Sulawesi Tenggara
dengan titik terberat di Sektor A pegunungan dan Sektor B dataran rendah dan pantai yang
mencakup daerah yang hampir sama luasnya. Sektor A yang berupa datarn tinggi dan
pegunungan menjadi medan operasi RPKAD yang berkekuatan 1 Kompi Para Komando.
Sedangkan Sektor B yang terdiri dari dataran rendah menjadi daerah operasi Batalyon
Infanteri 330/Para Kujang I. Mayor Inf. Yogie S. Memed mengerahkan 4 Kompi penuh yang
terdiri dari 3 Kompi Senapan dan Kompi D sebagai bantuan. Mereka menyisir daerah Sektor B
menuju Sektor A.

Dalam pengejaran terhadap Kahar Muzakkar, Kapten Inf. Suryo menggerakkan Peleton 1
pimpinan Sintong dan Peleton 2 pimpinan Abdulrachman ke Lawete dan Lawali di Sektor A.
Kedua peleton ini dipacu bergerak terus menerus sebagai imbangan terhadap gerakan pasukan
Kujang I yang berkekuatan 600 orang. Peleton 3 digunakan sebagai cadangan dan tetap
berada di Mako RPKAD di Lambatu Sulawesi Selatan bersama dengan kelompok kompi. Sintong
menggerakkan anggota peletonnya dalam bentuk tim kecil yang terdiri lima sampai tujuh
orang di daerah pegunungan yang diselimuti hutan tebal.

Bivak Kahar Muzakkar


Ketika Peleton 1 berpatroli di hutan, anggotanya menemukan sebuah bivak yang sangat bagus,
ditinggalkan dalam keadaan kosong. Sintong memastikan bahwa bivak ini pernah dipakai oleh
Kahar Muzakkar, karena bivak DI/TII lainnya tidak ada yang sebagus itu. Berdasarkan analisa
lapangan, Sintong dapat memperkirakan arah pelarian Kahar selanjutnya. Dalam melakukan
pengejaran, patroli Peleton 1 bergerak dari Lawate masuk Desa Lawali, kemudian
menyeberangi Sungai Lasolo ke sisi selatan dan masuk Desa Laiyu. Di Desa Laiyu Sintong
membuat pos untuk menjaga barang yang berupa logistik pasukan.

Perkiraan arah pelarian Kahar Muzakkar yang telah dilacak, kemudian dilaporkan kepada
Danki Kapten Suryo menggunakan radio. Radio peleton AN GRC-9 yang menggunakan catu
daya listrik peninggalan tetntara Belanda itu dipasok oleh generator listrik seberat 13kg, yang
oleh anggota PHB dijuluki "Kepala Kambing". Cara menggunakannya sungguh menguras tenaga.
Pemakaiannya dilakukan dengan cara dukayuh seperti mengayu sepeda. Selain itu, masih
diperlukan antena kawat sepanjang 10 meter yang dibentangkan membentuk hurut "T". Meski
cukup merepotkan, radio ini sangat ampuh dilapangan, bahkan sesekali radio tersebut
digunakan untuk mendengar siaran RRI Makassar atau RRI Pusat yang direlay dari Makassar.

Keberadaan Kahar Muzakkar


Bulan Januari 1965, Kadir Junus, seorang naka buah kepercayaan Kahar yang berpangkat
Letnan Kolonel dalam Tentara DI/TII menyerah. Ia pun kemudian membuka tempat
persembunyian Kahar Muzakkar disuatu tempat di pinggir Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara.
Tetapai ia tidak pasti, sama ada Kahar berada di Sektor A atau Sektor B.
Peleton 2 RPKAD pimpinan Letda Inf. Abdulrachman kemudian menyita dokumen berupa
surat-surat dari penduduk. Diantara tumpukan surat itu, terdapat surat yang ditulis oleh
Kahar Muzakkar, ditujukan kepada seseorang bernama Mansyur, dan kepada istrinya yang
ditulis seminggu sebelumnya. Dengan demikian, keberadaan Kahar dapat diketahui dalam
lingkaran jari-jari sejauh jarak berjalan kaki selama tujuh hari, berpusat dimana surat
tersebut dibuat. Analisis intelijen menyatakan, keberadaan Kahar seminggu sebelumnya di
Sungai Lasolo. Tapi laporan Sintong lebih rinci lagi, karena perkiraan keberadaan Kahar
adalah di Desa Liyu yang terletak ditepi Sungai Lasolo, karena Sintong dan anak buahnya telah
membuntuti terus menerus.

Sekarang, pasukan mana yang akan ditunjuk selaku penyergap? Kompi RPKAD dibawah
pimpinan Kapten Suryo yang merupakan pasukan elite pantas ditunjuk sebagai penyergap. Hal
inim mengingat kemampuan tempur dan posisi Peleton 1 pimpinan Sintong telah
meninggalkan Desa Lawali dan masuk Desa Litu yang diperkirakan menjadi tempat
persembunyian Kahar Muzakkar.

Yonif 330/Para Kujang I yang telah bertugas cukup lama di Sulawesi Tenggara, juga
mempunyai peluang menyergap Kahar. Batalyon Para andalan Kodam Siliwangi yang
bermarkas induk di Cicalengka, Bandung itu sangat gigih dalam mengejar Kahar. Mereka
pernah kehilangan 9 anggotanya yang gugur dalam suatu sergapan oleh anak buah Kahar.
Mayor Inf. Yogie S. Memed selaku Danyon 330 bersumpah tidak akan membawa pasukannya
pulang sebelum Kahar Muzakkar di dapatkan, hidup atau mati. Di Palagan Sulawesi Tenggara,
pasukan Kujang I beroperasi di Sektor B, sedangkan markas induk batalyon di Pakue.

Menjadi Pasukan Penutup


Kapten Suryo berharap agar Peleton 1 RPKAD pimpinan Sintong mendapat tugas penyergapan.
Namun, ternyata Peleton 1 hanya diberi tugas untuk menjadi pasukan penutup. Hal ini
terbukti dalam pembicaraan radio antara Brigjen TNI M.Jusuf, Pangdam Hasanuddin yang
merangkap Panglima Operasi Kilat di Pakue dengan Sintong yang sudah memasuki Desa Laiyu.

"Kamu perwira lulusan AMN itu ya?" tanya Panglima Jusuf.

" Siap, Jenderal!" jawab Sintong.

"Kamu..tutup rapat-rapat daerah itu. Kahar jangan sampai lolos!" sambung Panglima Jusuf.

"Kalau Kahar sampai lolos lewat daerahmu, kamu saya gantung!"

" Siap, Jenderal!" jawab Sintong.

Sebagai tindak lanjut, Sintong betul-betul menutup rapat daerahnya. Penjagaan diperketat
dan ditingkatkan. Tiga regu Peleton 1 digilir berpatroli dan berjaga siang dan malam. Sintong
sebagai perwira lulusan AMN yang berdisiplin tinggi, tidak berani melanggar perintah,
meskipun keberadaan Kahar sudah didepan mata. Ia tetap memimpin anggota peletonnya
selaku pasukan penutup.

Kahar Didepan Mata


Perintah operasi penyergapan terhadap Kahar Muzakkar diolah bersama Asisten Operasi dan
Asisten Intelijen dibawah pimpinan Kolonel Inf. Solichien GP selaku Kepala Staf Operasi Kilat.
Dalam rencana operasi yang dibuat oleh ketiga perwira menengah Siliwangi tersebut,
diputuskan untuk menggerakkan pasukan Yonif 330/Para Kujang I pimpinan Mayor Inf. Yogie S.
Memed selaku pasukan elite Kodam Siliwangi menuju sasaran. 4 peleton Kujang I digerakkan
menyisir Sektor B dari selatan dan tenggara menuju Sektor A. Peleton 1 Kompi D dibawah
pimpinan Peltu Umar Sumarsana yang berada di Sektor B, juga diberangkatkan.

Tanggal 2 Februari, peleton Umar memasuki Sektor A, anggotanya melihat bivak-bivak


dipinggir Sungai Lasolo. Tempat itu di duga kuat menjadi persembunyian Kahar Muzakkar.
Sintong mengetahui bahwa peleton Umar sudah memasuki Sektor A, tapi sepanjang
pengetahuannya, tugas Peleton Umar itu juga sebagai pasukan penutup. Sejauh ini, Sintong
belum mengetahui pasukan mana yang akan ditunjuk selaku pasukan penyergap. Pasukan
penyergap akan ditentukan oleh Komob Operasi Kilat di Pakue.

Sintong sangat berharap agar Peleton 1 RPKAD yang semula mendapat perintah menjadi
pasukan penutup diubah menjadi pasukan penyergap, sebab ia telah membuntuti pelarian
Kahar secara terus menerus.

Ternyata, Peltu Umar Sumarsana yang berperawakan tinggi besar dengan janggut kumis tebal
itu, sudah mulai menggerakkan pasukannya. Mungkin karena Umar adalah seorang Pajuang
Angkatan 45, maka ia berani mengembangkan perintah penutupan menjadi pengejaran dan
penyergapan. Langkah ini diambil karena keberadaan Kahar Muzakkar seolah-olah sudah
didepan mata.

Sebelumnya, Brigjen TNI M. Jusuf selaku Panglima Operasi Kilat, menjanjikan bahwa pasukan
yang berhasil meringkus Kahar hidup atau mati, akan diberi hadiah pulang ke basis dengan
angkutan pesawat udara.

Berakhirnya Legenda Kahar Muzakkar


Dalam perkembangan selanjutnya, tanggal 3 Februari 1965 pukul 03.00 dinihari, peleton Umar
Sumarsana berkekuatan 18 orang masuk Sektor A, kemudian menyeberangi Sungai Lasolo yang
sedang bamjir. Pukul 04.00 tepat, Peleton Umar mengepung satu rumah yang diyakin sebagai
tempat persembunyian Kahar Muzakkar. Peltu Umar membagi peletonnya menjadi empat
poros. Satu poros disiagakan diseberang sungai Lasolo untuk menutup pengunduran Kahar.
Satu poros penutup ditempatkan disayap kiri, dan satu poros lainnya disayap kanan,
sedangkan poros tengah bertugas sebagai penyergap.

Menjelang terbitnya matahari terlihat seorang keluar dari rumah yang dikepung, kemudian
orang tersebut berlari kesamping rumah. Ia kaget karena melihat orang asing berada
disekitarnya. Dalam suasana remang-remang pagi, Kopral Satu Ili Sadeli tahu pasti bahwa
orang yang diincarnya itu adalah Kahar Muzakkar, karena sebelumnya seluruh peleton telah
dibekali dengan foto Kahar.

Melihat orang yang dipastikan sebagai Kahar Muzakkar itu menggenggam sebuah granat
tangan, Koptu Ili Sadeli tidak mau ambil resiko. Ia melepaskan rentetan tembakan
menggunakan senapan mesin regu BAR kaliber 7.62mm dan tepat mengenai sasaran. Kahar
Muzakkar tewas seketika, tubuhnya tertelungkup hanya berjarak dua meter dari rumah
tempat persembunyiannya. Ia terkena tembakan empat peluru didada dan sebeuh peluru
menyerempet leher. Kahar tewas dengan hanya mengenakan kaos oblong putih dan celana
hijau tentara.

Dengan tewasnya Kahar Muzakkar, maka berakhirlah operasi pengejaran selama 14 tahun.
Jenazah Kahar Muzakkar dibiarkan tergeletak ditempatnya tewas selama dua malam, untuk
menunggu kedatangan pejabat Operasi Kilat yang akan melakukan inpeksi.

Tewasnya Kahar langsung dilaporkan ke Komob Operasi Kilat di Pakue dan Markas Komando
Komando Antar Daerah Indonesia Timur (Koandait) di Makassar. Sore harinya, Brigjen TNI
M.Rukman, Panglima Koandait merangkap Panglima Operasi Tumpas berangkat menuju Paku
dengan kapal laut. Sementara itu, Brigjen TNI M.Jusuf memerintahkan Kepala Staf Operasi
Kilat, Kolonel Inf. Solichien GP untuk melakukan inpeksi langsung ke lapangan, menerima
laporan langsung dari Peltu Umar Sumarsana di Laiyu, dan membawa jenazah Kahar Muzakkar
ke Makassar dengan helikopter.
Tanggal 5 Februari sekitar pukul 09.00 pagi, Kolonel Inf. Solichien GP didampingi Danyonif
330/Para Kujang I Mayor Inf. Yogie S. Memed dan beberapa perwira, mendarat di Desa Litu
dengan helikopter Mil-4 yang diterbangkan oleh Kapten Udara Sularso, seorang penerbang
lulusan Cakra I/Yugoslavia. Selanjutnya, Kolonel Solichien dan rombongan berjalan kaki
sekitar 10 menit ketempat tertembaknya Kahar Muzakkar.

Didekat jenazah Kahar Muzakkar, Kolonel Solichien menerima laporanl angsung dari Peltu
Umar Sumarsana yang menjelaskan secara terperinci kronologi tertembak matinya
“Presiden/Khalifah Negara Persatuan Islam Indonesia” itu. Hendro Subroto merupakan satu-
satunya wartawan yang melakukan liputan ditempat itu.

Kahar Muzakkar Punya Radio


Keterangan Peltu Umar Sumarsana sejurus setelah kejadian menjelaskan, ia dapt memastikan
bahwa Kahar berada dirumah tersebut, karena sayup-sayup terdengar lagu “Terkenang Masa
Lalu” yang disiarkan oleh Radio Malaysia di Kuala Lumpur. Informasi intelijen mengatakan,
Kahar melarang penduduk di wilayah kekuasaannya untuk memiliki radio. Jadi, hanya Kahar
yang memiliki radio transistor.

Dikemudian hari, Sintong ditegur oleh salah seorang Asisten Brigjen TNI Moeng
Parhadilmoeljo, Komandan RPKAD,
“Wilayah itu kan Sektor A..daerah operasimu, kenapa bukan kamu yang menyergap Kahar?”

“Siap.! Perintah dari Panglima Jusuf saya dan pasukan selaku pasukan penutup. Kami tidak
berani melanggar perintah!”

Perintah Panglima Jususf kepada Sintong sangat jelas, yaitu menutup rapat daerah itu,
mencegah lolosnya Kahar. Ia tidak berani melanggar perintah, meskipun wilayah tersebut
medan operasinya. Seandainya Sintong yang melakukan penyergapan, terdapat dua
kemungkinan. Pertama, Kahar berhasil disergap hidup atau mati. Kedua, Kahar lolos masuk
hutan tebal di Sektor A. Berkat penutupan yang dilkukan oleh Peleton 1 RPKAD, Kahar
Muzakkar tidak berhasil menerobos keluar, sehingga tidak dapat menerobos masuk hutan.

Diterbangkan Dengan Helikopter


Jenazah Kahar Muzakkar diterbangkan menggunakan helikopter Mi-4 dari Desa Laiyu menuju
Makassar dengan persinggahan Pakue, Palopo, dan Pare-Pare untuk mengisi bahan bakar.
Selama dalam penerbangan, jenazah Kahar dibaringkan di lantai helicopter ditutupi ponco.
Darah pada luka-luka di badan jenazah sudah dibersihkan, namun jenazah sudah mulai bau.
Karena itu dalam perjalanan, Kolonel Solichien dan Mayor Yogie S. Memed menjulurkan
kepala keluar selama perjalanan untuk menghirup udara segar.

Dalam penerbangan dari Palopo menuju Pare-Pare, penerbangan melintasi Desa Lanipa,
Kabupaten Luwu, sebelah timur kaki Gunung Latimojong yang menjadi tempat kelahiran
Kahar Muzakkar. Ketika melakukan pengisian bahan bakar di Pare-Pare, masyarakat yang
berbondong-bondong hanya dibenarkan melihat dari jauh saja jenazah. Pengamanan oleh
aparat keamanan ketat sekali.

Menjelang tengah hari, jenazah tiba di Makassar, diangkut dengan ambulan dan dibawa ke
rumah sakit. Warga masyarakat telah banyak yang menunggu kedatangan jenazah. Ekspresi
mereka berbeda-beda, karena di Sulawesi Selatang/Tenggara, sosok Kahar Muzakkar dicintai
sekaligus dibenci. Banyak yang menyambut kabar tewasnya Kahar dengan sukaria, namun
banyak juga yang meneteskan air mata.

Warga yang mengenali sosok Kahar, keluarga dekatnya dibenarkan untuk melihat sendiri
jenazah Kahar di rumah sakit, apakah jenazah tersebut benar-benar Kahar Muzakkar atau
bukan. Ini penting sekali. Sebab, paling sedikit sudah tiga kali Kahar Muzakkar dikabarkan
tewas tertembak, namun ternyata tidak benar. Ketika wartawan menanyakan didmanakah
jenazah tersebut akan dimakamkan, pihak rumah sakit dan Komob Operasi Kilat sama-sama
tidak tahu.

Kontroversi Mengenai Kahar Muzakkar


Sampai sekarang pun, mungkin tidak ada seorang warga masyarakatpun yang mengetahui
dimana jenazah Kahar Muzakkar dimakamkan. Bhakan anggota militerpun, sangat kecil yang
mengetahui kuburannya. Banyak yang mengatakan, bahwa rahasia kuburan Kahar dipegang
dan disimpan oleh Panglima Jusuf. Namun, sampai meninggalnya Pak Jusuf, misteri kuburan
Kahar tetap tersimpan rapat-rapat.

Ketika Negara tercinta sudah memasuki abad millennium, dan pada saat sekarang ini, masih
banyak masyarakat, orang-orang tua yang meyakini bahwa sosok Kahar Muzakkar masih hidup
dan segar bugar, jenazah itu bukan jenazahnya.

TS sempat merangkum beberapa catatan yang mereka-mereka yang meyakini bahwa sosok
legenda masyarakat di Sulawesi Selatan/Tenggara tidak tewas dalam Operasi Kilat. Beberapa
pendapat yang dikemukakan oleh masyarakat ialah :

- Jenazah tersebut bukanlah Kahar Muzakkar. Sosok tersebut adalah duplikat Kahar untuk
mengelabui tentara yang memburunya. Kahar masih segar bugar dan bertapa dalam gua di
hutan lebat sekitar pegunungan Latimojong.

- Tahun 1979, seorang lelaki yang mirip Kahar keluar dari hutan lebat. Dia mengaku sebagai
Kahar Muzakkar, dan menunjukkan beberapa ciri-ciri, tanda lahir ditubuhnya. Namun, 2 bulan
setelah pengakuannya, orang tersebut meninggal dunia.

- Kahar berhasil lolos melalui Teluk Bone. Berlayar menuju Nunukan di Kalimantan Timur,
masuk ke daerah Tawau wilayah Sabah, Malaysia, dan menetap disana. Sampai sekarang,
penduduk Tawau keturunan Bugis/Makassar meyakini bahwa Kahar menetap di Tawau,
mempunyai anak istri serta cucu, dan meninggal disana.

- Kahar Muzakkar diselamatkan dan disembunyikan oleh Panglima Jusuf, untuk membalas
jasa-jasa Kahar. Pak Jusuf pernah menjadi ajudan Kahar Muzakkar di Yogyakarta semasa
revolusi fisik dan sangat berjasa membantu karir Panglima Jusuf dalam TNI.

- Mdm.Corrie, istri Kahar yang keturunan asing meyakini bahwa suaminya tidak tewas. Dia
menyatakan Kahar meningal dunia pada tahun 1999.

Apapun pengakuan dan rumor yang beredar, sejarah sudah tercatat dan diyakini
kebenarannya. Dinas Penerangan TNI dan umumnya prajurit dan masyarakat meyakini, bahwa
sosok yang ditembak oleh Koptu Ili Sadeli, anggota Yonif 330/Para Kujang I adalah benar sosok
Kahar Muzakkar. Cerita yang beredar mengenai masih hidupnya Kahar, hanya sekadar
romantisme kenangan saja. Apapun, masih menjadi misteri dan rahasia yang tersembunyi,
jika benar Kahar Muzakkar sudah meninggal, dimanakah kuburannya? Panglima Jusuf mungkin
satu-satunya orang yang mengetahui. Tidak diketahui apa maksud dan tujuan
menyembunyikan lokasi kuburan dari Kahar Muzakkar

Tanggal 6 Februari malam merupakan malam takbiran karena esoknya umat muslim akan
menyambut Lebaran Idul Fitri 1387 hijriah. Warga kota Makassar merayakan malam takbiran
dengan menyalakan petasan hingga tengah malam. Sementara itu, banyak anggota ABRI yang
menembakkan senjatanya berulang-ulang keudara, riuh rendah sekali suaranya. Tak ubahnya
suara pertempuran. Mereka meluapkan kegembiraan setelah hamper 14 tahun perburuan yang
tidak mengenal lelah. Menanggapi hal tersebut, Kepala Staf Operasi Kilat, Kolonel Inf.
Solichien GP hanya berkomentar,

“Anak-anak sedang trigger happy!”

Ketika malamnya, liputan TVRI menayangkan jenazah Kahar Muzakkar di televisi, Presiden
Soekarno yang sangat mengenal Kahar sejak perjuangan proklamasi 1945 lagi berkomentar,

“Ya, tidak salah lagi. Saya tahu pasti itu Kahar Muzakkar. Saya sudah melihat tayangannya di
televisi.

Pula Bawa Bekal Pengalaman Tempur


Sesuai dengan janji Panglima Operasi Kilat, Brigjen TNI Muhammad Jusuf, bahwa anggota
Yonif 330-Para Kujang I yang berhasil dalam menyergap Kahar Muzakkar, mendapat hadiah
pulang ke basis di Cicalengka Bandung menggunakan pesawat AURI. Karena RPKAD juga
berperan penring dalam penyergapan Kahar, Kompi Suryo juga dipulangkan menggunakan
pesawat AURI.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, AURI menyelenggarakan airlift pasukan dnegan
mengerahkan pesawat Wing Operasional 001 dengan sejumlah besar pesawat. Skuadron
31/Angkut Berat PAU Hlaim Perdanakusumah mengerahkan 6 pesawat C-130B Hercules dari
sepuluh pesawat di skuadronnya. Sedangkan Skuadron 32/Angkut Berat PAU Hussein
Sastranegara mengerahkan 8 dari 12 pesawat Antonov AN-12B yang dimiliki oleh AURI.

Sebanyak 15 orang perwira pertama alumni AMN Angkatan 63 termasuk Abdulrachman, Iding
Suwardi, Wismoyo Arismunandar, pulang ke basis Mako Kopassandha di Cijantung dalam satu
pesawat. Sintong menyusul kemudiannnya. Para perwira remaja yang telah menyelesaikan
tugas menimba pengalaman tempur pertama mereka di Sulawesi Selatan/Tenggara, segera
akan mengikuti pendidikan dasar Calon Komando di Pusat Pendidikan Komando Batujajar,
Jawa Barat.

Dalam memimpin peleton pasukan infanteri maupun peleton RPKAD di Palagan Sulawesi
Selatan dan Tenggara, Sintong tidak kehilangan seorangpun anak buahnya, baik yang gugur
maupun luka-luka. Bagi Sintong, pengalaman tempur pertamanya yang diperoleh dalam
Operasi Kilat itu menjadi bekal karir militernya di masa depan.

TERTEMBAKNYA KAHAR

TEPIAN Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, menjelang dini hari 2 Februari 1965. Dalam
kegelapan, satu regu pasukan dari Batalyon 330 Kujang I, asal Kodam Siliwangi,
tersesat kehilangan arah. Beberapa jam sebelumnya, kompas perlengkapan regu yang
dipimpin Pembantu Letnan Satu Umar Sumarna itu tiba-tiba rusak.
Para prajurit yang semua berasal dari Jawa Barat itu hanya tahu, mereka tengah
berada di ketinggian. Sementara Sungai Lasolo, yang menjadi penanda arah, berada di
lembah di bawah mereka. ''Kami benar-benar nyasar dan harus melakukan upaya
survival,'' kata Ili Sadeli, kini 64 tahun, seorang anggota regu yang tersesat itu, kepada
Sulhan Syafi'i dari Gatra.

Tiga puluh enam tahun telah berlalu. Tapi Sadeli, yang ditemui di rumahnya di Desa
Sukamandi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, masih mengingat jelas
pengalamannya. Menurut Sadeli, ketika terang tanah, tiba-tiba saja pasukannya
melihat di sungai ada beberapa orang tengah mencuci beras. Yang lebih
mengagetkan: muncul pula beberapa pria berpakaian hijau dan memanggul senjata.

Tahulah mereka bahwa tujuan perjalanan jauh mereka --dari Jawa Barat hingga
Makassar-- telah makin dekat. Regu Umar Sumarna adalah bagian dari bantuan
pasukan asal Kodam Siliwangi pada Komandan Operasi Kilat pemberantasan gerakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Panglima Kodam Hasanuddin, Brigadir
Jenderal Andi Muhammad Jusuf.

Karena yakin yang terlihat itu adalah kelompok DI/TII Kahar Muzakkar, Umar
memerintahkan 18 anggota pasukannya untuk menggelar strategi penyerangan ke
perkampungan tempat kediaman kelompok itu. Ili Sadeli, yang ketika itu berpangkat
kopral dua, bersama lima anak buahnya, ditugasi berjaga di sepanjang jalan setapak
menuju sungai.

Rupanya, Umar berjaga-jaga jika ada anggota kelompok Kahar yang melarikan diri ke
arah sungai. Ketika malam tiba, ke-13 prajurit regu Umar Sumarna mulai merangsek
ke perkampungan pasukan DI/TII. Dini hari 3 Februari, terjadilah baku tembak antara
regu Umar dan pasukan DI/TII. Ketika itulah, lima anak buah Ili Sadeli meninggalkan
posnya di jalan setapak, untuk ikut menyerbu.

Panglima Jusuf Menolak Memberitahu


SADELI, yang sendirian dan masih bersembunyi di sebuah pohon besar dihalangi
semak-semak, tiba-tiba mendengar suara tapak kaki yang melintas. Tapi, orang
pertama ini lewat melenggang.

''Saya tegang, senjata pun macet,'' kata Ili Sadeli.

Tak berapa lama, terdengar satu lagi langkah kaki mendekati tempat Ili Sadeli. Kali
ini, muncul sosok bertubuh tegap.
Ketika makin mendekat, terlihat jelas orang itu berkepala sedikit botak,
berkacamata, dan raut mukanya bersih serta rambutnya ikal.

''Wah, wajahnya persis seperti terlihat di foto Kahar Muzakkar,'' bisik Sadeli.

Semula Sadeli mau menyergapnya. Tapi, karena orang itu membawa granat, akhirnya
Sadeli memilih memuntahkan peluru dari jarak dua meter.

Tiga peluru pun terlontar menembus dada. Orang itu langsung tersungkur di depan Ili
Sadeli, tepat pukul 06.05 WIB.

''Kahar geus beunang... hoi, Kahar geus beunang (Kahar sudah tertangkap),''

Sadeli berteriak. Mendengar teriakan Sadeli yang berulang-ulang, regu Umar pun
bergegas memeriksa mayat itu.

Di ransel kecil korban ditemukan beberapa dokumen DI/TII, yang menunjukkan bahwa
jenazah itu adalah Kahar Muzakkar, yang selama ini dicari.
( Diambil dari GATRA )

PENUMPASAN G30S/PKI
DI JAKARTA HINGGA JAWA TENGAH

Ketika pemberontakan G30S/PKI meletus pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari,


Sintong telah siaga di Cijantung, Jakarta, sebagai sukarelawan Dwikora. Ia akan
diterjunkan di Kuching, ibukota Sarawak, Malaysia Timur, dalam rangka Konfrontasi.

Diantara lawan tangguh yang sudah menunggu disana adalah Skuadron A Resimen 22
SAS, dan Guards Independent Parachute Company, suatu kompi yang sebgaian besar
anggotanya berasal dari Brigade 16/Para. Kompi ini melakukan tugas yang sama
dengan tugas SAS (Skuadron A SAS Angkatan Darat Kerajaan Inggris berkekuatan 70
orang personil, mirip dengan B Team dalam US Army’s Special Forces maupun
Karsayudha Kopassandha/Kopasus. Satu skuadron SAS terdiri dari 4 troop, masing-
masing berkekuatan 16 orang personil yang dapat disejajarkan dengan A Team dan
Prayudha. Setiap troop dibagi menjadi 4 tim yang lebih dikenal dengan nama “four
men patrol”. Enam orang lainnya bertugas dalam kelompok komando).

Sebenarnya pada waktu itu Sintong masih menjadi siswa para dasar di Pusdik Komando
Batujajar, dengan pengalaman sebanyak tiga kali terjun. Namun, ia tiba-tiba ditarik
menjadi Sukarelawan Dwikora. Sintong masuk sukarelawan tempur sebagai Komandan
Peleton 1 Kompi Tanjung, Batalyon 3 RPKAD yang bermarkas induk di Ksatrian Slamet
Rijadi, Kandang Menjangan, Kertosuro. Teman-temannya di AMN 63 seperti Wismoyo
Arismunandar, Kuntara, Abdulrachman, Iding Suwardi, dan lain-lain masih menunggu
penempatan di pasukan.

Menurut Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD, masalah infiltrasi ke
Malaysia pernah ditanyakan oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Achmad
Yani yang merangkap Kepala Staf KOTI kepada Bung Karno dalam rapat di istana.
Seandainya Angkatan Darat diterjunkan ke Semenanjung Malaysia, kapan mereka
akanlinked-up dengan pasukan yang melakuka pendaratan secara besar-besaran
seperti dalam skenario Operasi Jayawijaya di Irian Barat? Selama mereka melakukan
perang gerilya di Semenanjung Malaya, apakah mereka mendapat re-supply logistik
udara seperti Operasi Lumbung di Irian Barat?

Bung Karno menjawab mereka tidak akan mendapat linked-up, Karena pendaratan
dan re-supply semacam itu tidak pernah direncanakan. Dengan demikian, Letjen TNI
Achmad Yani menyimpulkan, jika AD diterjunkan di Semenanjung Malaya, berarti
mereka akan dikorbankan. Akhirnya Menteri/Panglima AD itu memutuskan bahwa AD
hanya siap melakukan infiltrasi ke Sarawak. Namun, Menteri/Panglima Angkatan
Udara Laksdya Udara Omar Dhani yang merangkap Panglima Komando Siaga,
menyatakan kesanggupannya untuk menerjunkan PGT ke Semenanjung Malaya.

Ternyata, infiltrasi PGT lewat udara dari tiga pesawat Hercules ke Labis dan Pontian,
di Semenanjung Malaya berakibat fatal. Pada 2 September 1964, pesawat Hercules T-
1307 yang diterbangkan oleh Mayor Udara Djalaluddin Tantu hilang di Selat Malaka
sebelum melakukan penerjunan. Diantara para korban MIA dalam musibah ini adalah
Letkol Psk. Sukani, Komandan Resimen PGT, 55 prajurit PGT, 10 orang sukarelawan
Cina-Melayu, termasuk 5 orang gadis dan seluruh awak pesawat.

( Dalam perjuangan pembebasan Irian Barat pada tanggal 17 Mei 1962 dengan
pesawat C-47 Dakota T-440 Yang diterbangkan oleh Kapten Udara Djalaluddin Tantu
dengan co-pilot Letnan Udara II Sukandar tertembak jatuh oleh pesawat Neptune AU
Belanda setelah melakukan menerjunkan pasukan di Kaimana. Kapten Udara
Djalaluddin Tantu dan awak pesawat T-440 lainnya kemudian ditawan Belanda.
Setelah pengembalian kedaulatan Irian Barat, seluruh awak pesawat T-440 yang
dibebaskan dari tawanan Belanda, mendapat anugerah kehormatan Bintang Sakti dari
Presiden Sukarno )
Pelaksanaan rencana awal penerjunan Kompi Tanjung di Kuching, juga tidak berjalan
mulus. Menurut skenario, menjelang akhir September Kompi K. Harseno, Yon 1 RPKAD
akan diterjunkan disalah satu sasaran di Sarawak untuk mengalihkan perhatian Brigjen
Wakter Walker, Panglima Pasukan Comanwelth di Sarawak, terhadap rencana
penerjunan Kompi Tanjung ke Kuching.

Pesawat Hercules T-1306 yang membawa anggota Kompi K. Harseno terkena friedly
fire Arhanud AD di Long Bawan, Kalimantan Timur. Mesin kanan pesawat terbakar,
kemudian disusul dengan sayap dan tangki bahan bakar kanan meledak. Menjelang
pendaratan darurat, seluruh anggota pasukan Baret Merah terpaksa diterjunkan
dihutan pada ketinggian yang rendah. Tidak ada korban jiwa dalam kasus salah
tembak itu. Hanya beberapa prajurit yang mengalami luka-luka.

Selain itu, Mayor Udara Suhardjo sebagai kapten pesawat juga berhasil melakukan
pendaratan darurat dengan mulus sehingga menyelamatkan 17 awak pesawat dan
penumpang, termasuk 5 jumpmaster RPKAD. Namun, pesawat Hercules T-1306
mengalami total loss. Satu operasi dilancarkan untuk menyelamatkan mesin pesawat,
dan berhasil dilaksanakan walau dengan susah payah.

Batal Jadi Sukwan Dwikora


Tanggal yang pasti tentang Hari H maupun Jam J penerjunan di Kuching belum
dikeluarkan, tapi Sintong memperkirakan pelaksanaanya mungkin tanggal 2 atau 3
Oktober. Sebab, tanggal 1 Oktober, seluruh Kompi Tanjung harus benar-benar combat
ready. Sesuai peintah, tiap-tiap anggota menyiapkan perlengkapan perorangan dalam
ransel, ditambah dengan amunisi garis pertama dan logistik untuk tiga hari.

Oleh karena status Kompi Tanjung sebagai sukarelawan, maka dalam penerjunan di
Kuching nanti seluruh anggota tidak menegnakan pakaian kebanggaan mereka,
pakaian loreng darah mengalir. Pakaian PDL itu ditingalkan dimarkas mereka di
Ksatrian Slamet Rijadi, Kandang Menjangan Kertosuro. Selain itu, seluruh atribut
militer, KTA RPKAD, atau apapun yang dapat menunjukkan identitas mereka sebagai
anggota pasukan regular tidak dibawa. Mareka hanya mengenakan pakaian hijau tanpa
nama di dada kanan dan memakai topi hutan TNKU. Senjata yang disiapkan terdiri
dari senapan serbu Armalite/Colt AR-15 kaliber 5.56mm dan pistol Makarov kaliber
9mm. Senapan serbu AR-15 adalah baru bagi kebanyakan anggota RPKAD karena
senjata standard mereka adalah AK-47.

Terjadinya pemberontakan G30S/PKI abru diketahui oleh Sintong setelah diberitahu


oleh Lettu Inf. Faisal Tanjung. Pagi itu, para komandan kompi RPKAD menerima
briefing dari Komandan RPKAD Kolonel Inf. Sarwo edhie Wibowo tentang hilangnya
beberapa perwira tinggi AD dan langkah-langkah yang akan diambil oleh RPKAD.
Penerjunan ke Kuching dibatalkan. Kompi Tanjung yang semula menjadi kompi
sukarelawan Dwikora, dikembalikan fungsinya menjadi pasukan regular, yaitu Kompi I
(India) Yon 3 RPKAD. Kompi Tanjung akan diperasikan dalam penumpasan
pemberontakan.

Peralihan fungsi dari sukarelawan menjadi regular secara mendadak menimbulkan


masalah sebab seluruh anggota Kompi Tanjung tidak membawa pakaian dinas militer.
Mereka telah meninggalkan semua pakaian dinas lapangan dengan tanda pangkat
maupun segala atribut RPKAD di asrama mereka di Kartosuro. Untuk mengatasi hal ini,
Mako RPKAD membagikan baju loreng corak darah mengalir beserta tanda pangkat dan
kesatuan. Namun, ada kesulitan untuk memperoleh ukuran celana yang cocok bagi
setiap anggotanya. Anggota Kompi Tanjung terpaksa mengenakan seragam lapangan
berupa baju loreng dengan celana hijau berasal dari pakaian lapangan sukarelawan
yang mirip dengan celana PDH. Akhirnya, pada hari itu juga seluruh anggota RPKAD
diperintahkan untuk mengenakan kombinasi seragam lapangan semacam itu.

Kolonel Sarwo memberikan komentarnya,

“Bagus, dengan perpaduan baju loreng dengan celana hijau, mudah untuk
membedakan antara RPKAD dengan kesatuan lain dari jarak jauh”.

Kemudian kombinasi seragam gado-gado RPKAD tersebut terkenal dengan sebutan


“Seragam Penumpasan G30S/PKI”. Ternyata beberapa hari kemudian, perpaduan
antara baju loreng dan celana hijau menjadi mode dalam pakaian seragam militer
waktu itu. Pasukan Kostrad juga mengenakan kombinasi baju loreng Tiger Brigade
dengan celana hijau. Kesatuan-kesatuan lainnya, seperti kavaleri maupun artileri juga
mengikuti jejaknya.

Pukul 11.00 1 Oktober 1965, Komandan RPKAD Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo
menuju Markas Kostrad mengendarai Panser. Setibanya disana, ia langsung
menghadap Mayjen TNI Soeharto selaku pimpinan sementara AD. Mayjen Soeharto
langsung memerintahkan Kolonel Sarwo untuk segera memimpin operasi penumpasan.
Dlaam sejarah Korps Baret Merah, untuk pertama dan terakhir kali, Komandan Korps
Baret Merah yang tidak memiliki wewenang operasional, memimpin langsung operasi.

Menjelang tengah hari, Sintong sebagai Komandan Peleton 1 Kompi Tanjung,


diperintahkan agar membawa pasukannya untuk siaga di Markas Kostrad. Siang hari
itu, hanya Peleton 1 yang diberangkatkan. Peleton 2 dan 3 masing-masing dibawah
pimpinan Peltu Widodo dan Peltu Sumedi baru menyusul pada sore harinya. Sintong
bersama anak buahnya berangkat dari Mako RPKAD di Cijantung dengan menggunakan
truk. Anggota Kompi B (Benhur) pimpinan Kapten Inf. Oerip Soetjipto dan Kompi
Kayat, hanya sebagian yang kebagian angkutan. Untuk mengatasinya, maka sarana
angkutan ditambah dengan menggunakan truk sipil yang kebetulan lewat didepan
Mako RPKAD dari arah Bogor menuju Jakarta.

Memimpin Perebutan RRI Pusat


Lewat pukul 18.00 di Jalan Silang Monas mulai remang-remang dan sunyi. Jam malam sudah
berlaku di Jakarta. Jam malam yang dikeluarkan oleh Kodam V/Jaya selaku Penguasa
Pelaksana Perang Daerah (Pepelrada) berlaku mulai pukul 18.00 - 06.00.

Persiapan untuk merebut Kantor RRI Pusat Jakarta dan Kantor Besar Telekomunikasi sedang
dipersiapkan.

"Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk merebut kedua objek vital itu?" tanya Mayjen
Soeharto.

"Siap Jenderal! 20 menit!" jawab Kolonel Sarwo.

"Kalau begitu kerjakan! Sebisa mungkin hindari pertumpahan darah!"

"Kerjakan..!"

Waktu sesingkat itu adalah waktu yang diperlukan oleh pasukannya bergerak berjalan kaki
dari Markas Kostrad menuju sasaran. Waktu terjadinya pertempuran sama sekali tidak
diperhitungkan, karena Komandan RPKAD sangat yakin dengan kemampuan anak buahnya.

Perintah perebutan RRI Pusat turun secara berjenjang dari Mayjen TNI Soeharto ke Kolonel Inf
Sarwo Edhie Wibowo, Mayor Inf. C.I Santosa, Lettu Inf. Faisal Tanjung, dan akhirnya sampai
ke tangan Sintong. Mengingat bahwa RRI Pusat tidak terjaga lagi oleh pasukan Benteng
Raiders, akhirnya Lettu Tanjung merasa cukup menggerakkan pasukannya berkekuatan 1
Peleton saja. Ia berkata kepada Sintong,

"Tong, kamu rebut itu RRI. Tutup mulut mereka yang berkoar-koar mendukung Dewan
Revolusi, kuasai secepatnya kemudian laporan kepada saya di Makostrad!"

"Siap, kerjakan!"

Pelaksanaan perebutan Kantor Besar Telekomunikasi dilakukan oleh Peleton 1 Kompi Benhur
pimpinan Kapten Inf. Oerip Soetjipto sebagai komandan kompi, sedangkan Kompi Kayat
diperintahkan siaga di Makostrad menunggu perintah selanjutnya.

Sintong memimpin anggota peletonnya bergerak dari Makostrad menuju sasaran dengan
memotong Lapangan Silang Monas berjalan kaki, dibelakangnya menyusul Kompi Benhur.
Selanjutnya, Peleton-1 Kompi Benhur berbelok ke kiri menuju Kantor Besar Telekomunikasi,
sedangkan peleton Sintong bergerak lurus menuju RRI Pusat Jakarta. Ketika Sintong menoleh
ke belakang, ia melihat Kapten Inf. Heru Sisnodo, seorang perwira intelijen RPKAD
mengikutinya dari belakang. Sintong tidak tahu apa tugas Kapten Heru sebenarnya. Selain itu,
Sintong diberitahu agar membawa Brigjen TNI Ibnu Subroto, Kepala Pusat Penerangan
Angkatan Darat.

Setelah Peleton-1 mendekati RRI Pusat, salah seorang anggotanya melepaskan rentetan
tembakan tiga peluru AK-47. Tembakan itu mengakibatkan orang-orang berseragam hijau di
Gedung RRI Pusat lari meninggalkan penjagaan. Dengan demikian, perebutan obyek vital itu
sama sekali tidak mendapat perlawanan. Namun Peleton-1 tetap waspada. Dengan cepat
anggota Sintong bergerak menguasai gedung, kemudian Sintong melaporkan lewat radio
kepada Komandan Kompi Lettu Inf. Faisal Tanjung yang berada di Makostrad bahwa RRI Pusat
telah dikuasai.

Tapi, Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo yang juga berada seruangan dengan Lettu Faisal marah
kepada Sintong.

"Apa? RRI sudah di duduki? Coba kamu periksa semua ruangan dulu. Itu aktivitas mereka masih
di dalam!"

Sintong bingung. Semua ruangan sudah diperiksa dan ternyata tidak ada seorangpun yang
melakukan kegiatan berada dalam gedung. Ketika RRI Pusat dikuasai oleh G30S/PKI, semua
karyawan RRI yang sedang bertugas disekap dalam satu ruangan. Tidak boleh ada yang keluar.

"Laporan! RRI Pusat sudah dikuasai.!" lapor Sintong untuk kedua kalinya.

"Laporanmu itu tidak benar. Kamu bersih-bersih dulu. Jangan buru-buru lapor. Tangkap semua
yang berada di situ!" sergah Kolonel Sarwo tidak terima laporan Sintong.

Tiba-tiba Sintong melihat pita tape recorder besar yang masih berputar.

"Jangan-jangan ini yang jadi sumber masalah...Kalau begitu, Pak Sarwo menyangka masih ada
pemberontak sedang beraktivitas dalam gedung ini. Siaran yang berkumandang mungkin
berasal dari pita rekaman ini" gumam Sintong dalam hati.

Sintong akan merusak tape recorder tersebut dengan popor senapannya, namun salah seorang
petugas RRI mencegahnya. Ia mematikan tape recorder itu secara teknis, dengan cara
menekan tombol switch off.

Kapuspenad Brigjen TNI Ibnu Subroto yang berseragan hijau dengan jaket hijau menutupi
pangkatnya tidak berani masuk kedalam studio. Ia berkata dengan ragu-ragu kepada Sintong,

"Dik..dik...sudah aman? Coba periksa-periksa lagi"


"Aman pak...semua sudah aman" jawab Sintong heran.

Kapten Heru Sisnodo yang berada dibelakangnya menanggapinya dengan sedikit kesal, " Bapak
ini gimana sih?...Semua orang sudah didalam kok tidak berani masuk?"

Akhirnya Sintong mempersilahkan Kepala Puspen AD masuk kedalam studio untuk menyiarkan
pengumuman dari Pangkostrad.

Beberapa saat setelah pidato Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto dibacakan, datanglah
beberapa perwira RPKAD ke RRI Pusat. Salah seorang senior Sintong berkata,

"Ahhh..kampungan juga rupanya kamu ini. Masa tadi kamu tidak kalau siaran pemberontak itu
berasal dari kaset rekaman?"

"Yahhh mau bagaimana? Tapi kan tadi saya dapat perintah untuk cari orangnya" jawab Sintong
secara humor da berhati-hati.

Akhirnya mereka semua tertawa bersama-sama.

Keberhasilan RPKAD menguasai RRI Pusat langsung berdampak luas dan memiliki nilai strategis
yang sangat tinggi, sehingga mengacaukan rencana-rencana pemberontak. Di Jawa Tengah,
G30S/PKI mulai kehilangan kendali. Banyak pasukan-pasukan yang semula diperalat kini mulai
sadar bahwa mereka sudah tertipu. Mereka kemudiannya kembali ke induk pasukan masing-
masing.

Dua Kompi Yonif L dari Solo yang semula ditempatkan di Semarang mengawal Kolonel Inf.
Sahirman, Kolonel Inf. Maryono, Letkol Inf. Usman dan para perwira pendukung G30S/PKI
lainnya, segera ditarik kembali ke basis. Para perwira-perwira Kodam Diponegoro yang semula
ditahan oleh pasukan-pasukan pendukung pemberontak langsung dibebaskan.

Di Solo, Komandan Brigif-6 Kolonel Inf. Ashari yang semula ditangkap oleh Komandan Kompi
Markas Kapten Inf. Mintarsih langsung di bebaskan. Kepala Staf Korem 071/Purwokerto Letkol
Inf. Sumitro yang menahan Komandan Koremnya Kolonel Inf. Tjiptono Saetyabudhi
menyerahkan diri. Sedangkan Kepala Seksi 1 dan 3, masing-masing Mayor Inf. Tristani dan
Mayor Inf. Bernardi ditangkap. Dengan demikian, aktivitas Korem Purwokerto dapat
dipulihkan.

Komandan Korem 073/Salatiga Kolonel Inf. Sukardi yang ditangkap oleh Kepala Stafnya Letkol
Inf. Idris juga dibebaskan. Akhirnya, para perwira Kodam Diponegoro yang berpihak kepada
G30S/PKI, yaitu eks Kolonel Sahirman, eks Kolonel Marjono, eks Letkol Usman, eks Mayor
Karsidi dan lain-lain, melarikan diri ke daerah Merapi Merbabu Complex (MMC), suartu daerah
miskin di lereng gunung yang sejak tahun 1950 diproyeksikan menjadi daerah pengunduran
PKI.

Anda mungkin juga menyukai