Anda di halaman 1dari 82

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik
berupa urin atau bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung
kemih bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam
terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan
uretra. Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu : Kandung kemih
secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai
ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks
saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha
mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya
menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks
miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga
dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.
Kandung kemih dipersarafi araf saraf sakral (S-2) dan (S-3). Saraf
sensori dari kandung kemih dikirim ke medula spinalis (S-2) sampai (S-4)
kemudian diteruskan ke pusat miksi pada susunan saraf pusat. Pusat miksi
mengirim signal pada kandung kemih untuk berkontraksi. Pada saat destrusor
berkontraksi spinter interna berelaksasi dan spinter eksternal dibawah kontol
kesadaran akan berperan, apakah mau miksi atau ditahan. Pada saat miksi
abdominal berkontraksi meningkatkan kontraksi otot kandung kemih,
biasanya tidak lebih 10 ml urine tersisa dalam kandung kemih yang diusebut
urine residu. Pada eliminasi urine normal sangat tergantung pada individu,
biasanya miksi setelah bekerja, makan atau bangun tidur., Normal miksi
sehari 5 kali.
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat
bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.
Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik
mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam
rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk
defekasi.
Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk
fungsi tubuh yang normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan
masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus
tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan
masing-masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari
perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit
dapat menghindari mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka
menjadi tidak mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas
toilet yang normal ; lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk
klien dengan perubahan mobilitas, perubahan kebutuhan peralatan kamar
mandi. Untuk menangani masalah eliminasi klien, perawata harus mengerti
proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi

1.2 Tujuan
Tujuan Umum : Mahasiswa mampu memahami konsep gangguan
eliminasi dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan eliminasi
Tujuan Khusus :
1. Mampu memahami tentang konsep gangguan eliminasi urine dan fekal
2. Mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
eliminasi urine
3. Memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan eliminasi
fekal

BAB 2
RESUME KASUS

Identitas
a. Identitas Pasien

2
Nama : Tn. A. D
Umur : 67 Thn
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jojoran 3B/44 RT 13/RW 12, Kel Gubeng Kota Surabaya
Tanggal Masuk : 31 Januari 2019
Tanggal Pengkajian : 11 Februari 2019 Pkl 14.30 WIB
No. Register : 12.70.69.xx
Diagnosa Medis : Ca Rectum 1/3 Distal T4H2M0 Post Milks Proscedure +
Susp BPH
b. Keluhan Utama (Saat MRS dan saat ini)
Saat MRS : BAB sedikit-sedikit dan keras seperti kotoran kambing sejak bulan
Oktober 2018. Terdapat benjolan kecil pada anus.
Saat ini : Nyeri luka operasi di perut, nyeri dirasakan terus menerus seperti
diiris-iris, skala nyeri 5, nyeri bertambah bila berubah posisi. Pusing,
mual, tidak bisa BAK sejak 4 jam lalu pkl 10.30 WIB
Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Pasien mengatasi keluhan dengan mengkonsumsi sayuran dan jus buah dan
akhirnya bisa BAB namun keluhan berulang, kemudian pasien memutuskan
untuk berobat ke Puskesmas dan didiagnosa wasir serta mendapatkan obat yang
dimasukan lewat rectum namun tidak ada perubahan akhirnya pasien di rujuk ke
RSUD Dr. Soetomo.

c. Satus Kesehatan Masa Lalu


Penyakit yang pernah dialami
Pasien dengan riwayat HT dan mendapatkan terapi Amlodipin 5-10 mg
diminum setiap malam.
Pengkajian Fisik
a. Keadaan umum :

3
Tingkat kesadaran : komposmetis
GCS : verbal : 5 Psikomotor : 6 Mata : 4
b. Tanda-tanda Vital : Nadi : 98 x/mnt regular, kuat, Suhu : 36,6 ºC, TD
150/90 mmHg, RR : 20x/mnt regular.
c. Keadaan fisik
1) Kepala dan leher :
Bentuk kepala simetris, tidak ada kaku kuduk dan pembesaran KGB,
ekspresi wajah nampak meringis kesakitan.
2) Dada :
 Paru
Pengembangan dada simetris, fremitus raba normal, perkusi sonor,
auskultasi vesikuler normal, Spo2 98%, tidak ada retraksi dan
penggunaan otot bantu pernapasan.
 Jantung
Mukosa bibir dan konjungtiva merah muda, tidak ada peningkatan
tekanan vena jugolaris, BJ I-II normal, tidak ada bunyi jantung
tambahan.
3) Payudara dan ketiak :
Tidak ada benjolan dan pembesaran KGB
4) Abdomen :
Terdapat luka operasi Laparatomi terbalut kassa nampak bersih, terpasang
drain produksi 200 cc warna kemerahan, terdapat stoma yang tertutup
kantong stoma, produksi feces dengan konsistensi cair warna coklat
kehitaman. Bising usus 10x/mnt, blass teraba penuh. Tampak memegang
daerah operasi dengan tangan terutama saat merubah posisi. Kandung
kemih teraba distensi.
5) Genetalia :
Tidak ada luka ataupun oedema pada daerah genitalia
6) Integumen :
Luka operasi laparatomi dan colostomy
7) Ekstremitas :
 Atas
ROM aktif, kekuatan otot 5
 Bawah
ROM aktif, kekuatan otot 5, tidak ada oedema
8) Neurologis :
 Status mental dan emosi : pasien tenang, dapat menerima kondisinya
serta menjalani perawatan dan pengobatan dengan sabar
 Pengkajian saraf kranial :

4
N1-N12 tidak ada masalah
 Pemeriksaan refleks :
Refleks patela +, Refleks babynski +,
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Data laboratorium yang berhubungan
Tanggal 01 Februari 2019

HBSAG Non Reaktif Natrium 137 mmol/L


GDS 205 mg/dl Clorida 93 mmol/L
SGOT/SGPT 21/26 ul/L PT/APTT 9,9/26,2 detik
BUN 11 mg/dl HB 14,3 g/dl
Kretinin serum 1,72 mg/dl RBC 4,66
Kalium 4,4 mmol/L WBC 8,06

2) Pemeriksaan radiologi
Thorax foto : corpulmonal normal

ANALISA DATA

DATA ETIOLOGI MASALAH


DS : Pasien mengeluh Prosedur operasi Nyeri Akut
nyeri luka operasi, D.0077
nyeri dirasakan terus
menerus seperti
diiris-iris, nyeri
bertambah bila
berubah posisi,
pasien kadang
terbangun dari tidur
karena nyeri.

DO : Ekspresi wajah
nampak meringis
kesakitan, skala nyeri
5, tampak memegang
daerah operasi
dengan tangan
terutama saat
merubah posisi
Nadi 98x/mnt, TD
150/90 mmHg

5
DS : Pasien mengeluh BPH Retensi Urine
tidak bisa BAK sejak D.0050
4 jam lalu pkl 10.30
WIB. rasa penuh
pada kandung kemih

DO : Tampak distensi
kandung kemih
DS : Pasien mengatakan Prosedur pembedahan Resiko Infeksi
habis operasi pagi dan tindakan invasif D.0142
tadi

DO : Tampak luka
operasi laparatomi
dan colostomy,
keadaan luka tertutup
kasa bersih dan
terpasang drain
dengan produksi 200
cc warna kemerahan.
terpasang selang
epidural dan infus

6
DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN /MASALAH KOLABORATIF BERDASARKAN PRIORITAS

TANGGAL /
TANGGAL
NO JAM DIAGNOSA KEPERAWATAN Ttd
TERATASI
DITEMUKAN
1. 11/02/2019 Nyeri Akut b/d prosedur operasi 18/02/2019
(Pasien Pulang)
2. 11/02/2019 Retensi urine b/d BPH 18/02/2019
(Pasien Pulang)
3. 11/02/2019 Resiko Infeksi b/d Prosedur pembedahan 18/02/2019
dan tindakan invasive (Pasien Pulang)

7
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Senin, 1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 Manajemen Nyeri :
11/02/2019 jam diharapkan pasien dapat mengontrol nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
dengan kriteria : frekwensi, kualitas, intensitas dan skala nyeri
 Keluhan nyeri berkurang 2. Identifikasi respon nyeri non verbal
 Dapat beristirahat dengan nyaman tanpa 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan
keluhan nyeri mengurangi nyeri
 Skala nyeri 0-1 4. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Ekspresi wajah nampak rileks 5. Atur posisi pasien yang nyaman dan rileks
 Nadi 60-70 x/mnt 6. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
7. Anjurkan penggunaan teknik non farmakologi
ketika nyeri
8. Lakukan pemberian analgesic sesuai advis
9. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah
pemberian analgesik
10. Pertahankan penggunaan infus analgesik
kontinyu
11/02/2019 2. Setelah dilakukan tindakan kerawatan selama 30Kateterisasi Urine :
menit diharapkan retensio urine pasien teratasi 1. Identifikasi tanda dan gejala retensio urine
dengan kriteria : (keluhan tidak bisa BAK, distensi kandung
 Pasien bisa BAK dengan bantuan kateter kemih)

8
Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
 Tidak ada distensi kandung kemih 2. Identifikasi faktor penyebab retensio urine
3. Berikan rangsangan BAK dengan teknik non
farmakologi (kompres dingin, stimulasi suara air
mengalir)
4. Kolaborasi pemasangan kateter urine
5. Jelaskan tujuan dan procedure pemasangan
kateter urine
6. Monitor eliminasi urine (volume, aroma dan
warna, konsistensi)
7. Monitor tanda dan gejala obstruksi aliran urine
8. Monitor kebocoran kateter, selang dan kantong
urine
9. Pastikan selang kateter dan kantong urine
terbebas dari lipatan
10. Pastikan kantong urine di letakkan dibawah
ketinggian kandung kemih dan tidak di lantai
11. Lakukan perawatan perineal minimal 1x sehari
11/02/2019 3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selamaPencegahan infeksi :
1x24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi 1. Monitor tanda-tanda infeksi lokal (rubor, kalor,
dengan kriteria : dolor, tumor) dan sistemik (Suhu, nausea) serta
 Tidak ada tanda-tanda infeksi pada luka karakteristik luka (drainase, warna, ukuran, bau)
(rubor, kalor, dolor, tumor), tidak demam dan kondisi stoma.
 Suhu tubuh normal 36,5 C-37,5 C
0 0
2. Monitor tanda-tanda vital

9
Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
 Hasil pemeriksaan laboratorium WBC 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
dalam batas normal 3,37 – 10 103/uL pasien dan lingkungan pasien
4. Ajarkan pasien dan keluarga cara mencuci tangan
yang benar
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi dan cairan
6. Lakukan perawatan kulit pada daerah insersi
selang
7. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic
8. Lakukan perawatan stoma secara teratur
9. Lakukan pemberian antibiotik sesuai advis

10
BAB 3
PEMBAHASAN
Tn A.D usia 67 tahun masuk rumah sakit sejak 31 januari 2019
dengan diagnosa medis Ca rectum 1/3 distal T4H2M0 Post Milks
Proscedure + Susp BPH, pasien mempunyai riwayat penyakit
Hipertensi dan mendapat terapi Amlodipin 5-10 mg diminum setiap
malam. pada saat pengkajian 11 februari 2019 pukul 14.30 EIB
pasien mengatakan bahwa masih nyeri luka operasi di perut, nyeri
dirasakan terus menerus seperti diiris-iris, skala nyeri 5, nyeri
bertambah bila berubah posisi. Pusing, mual, tidak bisa BAK sejak 4
jam lalu pkl 10.30 WIB. Tingkat kesadaran komposmentis, GCS 456,
TTV : Nadi : 98 x/mnt regular, kuat, Suhu : 36,6 ºC, TD 150/90
mmHg, RR : 20x/mnt regular. Pada pengkajian abdomen terdapat
luka operasi Laparatomi terbalut kassa nampak bersih, terpasang
drain produksi 200 cc warna kemerahan, terdapat stoma yang tertutup
kantong stoma, produksi feces dengan konsistensi cair warna coklat
kehitaman. Bising usus 10x/mnt, blass teraba penuh. Tampak
memegang daerah operasi dengan tangan terutama saat merubah
posisi. Kandung kemih tampak distensi.
Dari kasus diatas didapatkan bahwa pada pasien dengan CA
rectum akan mengalami gangguan nyeri berkaitan dengan terjadinya
peningkatan ukuran massa dalam lumen yang mengharuskan
seseorang untuk mendapattkan terapi medis berupa kolostomi dimana
akan dilakukan insisi bedah sehingga terputusnya jaringan. Nyeri
akan dirasakan berbeda pada setiap orang. Nyeri dapat atasi dengan
pemberian terapi analgetik ataupun secara nonfarmakologi. Dalam
hal inj nyeri dapat diatasi dengan terapi relaksasi yang diajarkan
untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pada penelitian
didaatkan bahwa pada penderita kanker dapat dilakukan hypnoterapi
untuk menyembuhkan atau mengurangi rasa nyeri pada penderita
kanker tersebut (Rosa, Sakian 2007).
Setelah dilakukan prosedur pembedahan maka terdapat luka
yang sangat mudah terjadi infeksi jika tidak dirawat dengan baik dan

11
jika tidak melakukan tindakan aseptik pada saat melakukan
perawatan. Pada kasus perawat atau tenaga medis lainya melakukan
perawatan luka operasi dan mengganti kantong stoma dengan
menggunakan prinsip steril untuk mengurangi atau menekan angka
kejaian infeksi pada luka tersebut. Pada dasarnya luka tidak
mengalami infeksi hal ini ditandai dengan luka nampak kering, dan
tidak ada tanda infeksi atau pus. Hal ini berarti semakin baik kita
menjaga prinsip steril pada saat melakukan perawtan luka maka kecil
kemungkinan terjadinya angka infeksi. Ketika mengurangi resiko
infeksi maka pasien juga danjurkan untuk mengonsumsi makanan
yang banyak mengandung protein dimana dapat membantu
mempercepat proses penyembuhan luka. Adapun beberapa obat-
obatan yang diberikan untuk membantu proses penyembuhan luka
dan mengurangi angka kejadian infeksi.
Pasien juga mengalami BPH dimana tanda dan gejala BPH
yaitu terjadi retensi urin, hal ini mengakibatkan pasien merasa ingin
mengosongkan kantung kemih atau mengeluarkan urin sehingga
pasien dilakukan pemasangan kateter. Dalam pemasangan kateter hal
yang harus dieprhatikan yaitu monitor kebocoran kateter, urin yang
tertampung pada kantong urin dan juga kebersihan kateter serta
perawatan perineal. Hal ini sejalan dengan teori bahwa pada penderita
BPH akan mengalami retensi urin dan peran perawat yaitu bagaimana
kita mengedukasi kepada pasien atau keluarga tentang bagaimana
cara perawatan kateter sehingga tidak terjadi infeksi.

12
BAB 4
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
ri kasus diatas didapatkan bahwa pada pasien dengan CA rectum akan
mengalami gangguan nyeri berkaitan dengan terjadinya peningkatan
ukuran massa dalam lumen yang mengharuskan seseorang untuk
mendapattkan terapi medis berupa kolostomi dimana akan dilakukan
insisi bedah sehingga terputusnya jaringan. Nyeri akan dirasakan
berbeda pada setiap orang. Setelah dilakukan prosedur pembedahan
maka terdapat luka yang sangat mudah terjadi infeksi jika tidak dirawat
dengan baik dan jika tidak melakukan tindakan aseptik pada saat
melakukan perawatan. Pada kasus perawat atau tenaga medis lainya
melakukan perawatan luka operasi dan mengganti kantong stoma dengan
menggunakan prinsip steril untuk mengurangi atau menekan angka
kejaian infeksi pada luka tersebut. Pada dasarnya luka tidak mengalami
infeksi hal ini ditandai dengan luka nampak kering, dan tidak ada tanda
infeksi atau pus. Hal ini berarti semakin baik kita menjaga prinsip steril
pada saat melakukan perawtan luka maka kecil kemungkinan terjadinya
angka infeksi. Ketika mengurangi resiko infeksi maka pasien juga
danjurkan untuk mengonsumsi makanan yang banyak mengandung
protein dimana dapat membantu mempercepat proses penyembuhan
luka.
4.2 SARAN
-

13
14
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M, & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8.


Singapore: Elsevier
Bulecheckk, G.M., Butcer, H.K. Dochterman, J.McC., Wagner, C.M. (2013).
Nursing Interventions Classification (6th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Penerbit
Kedokteran EGC : Jakarta.
Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott
Willi ams & Wilkins: USA.p 201
Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman
untuk perancanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8.
Jakarta : EGC
De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical surgical nursing:
Critical thinking for collaborative care. (5th Ed). St. Louis: Elseveir
Saunders.
Johnson M., Meridean, M., Moorhead, 2000. NANDA, NIC, NOC.
PENERBIT: MOSBY
Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit
Buku Media Aesculapius. Jakarta.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC): Measurement of health outcomes (5th
Ed.). Missouri: Elsevier Mosby
PPNI, 2017; Standar Diagnostik Keperawatan Indonesia, Edisi 1, Jakarta
PPNI, 2018; Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1, Jakarta
Price & Wilson. (2012). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit
volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC. Schwartz SI, 2005. Schwartz’s
Principles of Surgery 8th Ed. United States of America: The McGraw-
Hill Companies.
Potter & Perry, 2006; Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses
dan Praktik, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta

15
Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of
America: The McGraw-Hill Companies.
Sloane, E. (2004). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC:
Jakarta.
Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner &
Suddarth’s textbook of medical surgical nursing. (12th Ed).
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.

16
LAMPIRAN

LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP KEBUTUHAN DASAR MANUSIA
GANGGUAN ELIMINASI

A. KONSEP KEBUTUHAN DASAR MANUSIA DENGAN


ELIMINASI.
1. Pengertian
a. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya
orang yang mengalami gangguan eliminasi urin akan dilakukan
kateterisasi urine, yaitu tindakan memasukan selang kateter ke dalam
kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.
b. Gangguan Eliminasi Fekal
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu
mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar,
mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk
mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik
huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat
melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.
2. Masalah-masalah pada Gangguan Eliminasi
1). Masalah-masalah dalam eliminasi urin :
a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih
dan ketidak sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri.
b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau
permanen otot sfingter eksterna untuk mengontrol keluarnya urine
dari kandung kemih.
c. Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi pada
malam hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih
dalam semalam.
d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.

17
f. Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal,
seperti 2.500 ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan.
g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine
2). Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu:
a. Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya
frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras,
dan mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum.
Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama,
sehingga banyak air diserap.
b. Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga
tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan.
Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.
c. Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak
berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat.
Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang
menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses
menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan
BAB.
d. Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol
BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak.
Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit
neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal
eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan
kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar
pasien tergantung pada perawat.
e. Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding
usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus).
Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah
pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan,
pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.

18
f. Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum
(bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang
keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun.
Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh
darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien
merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh
pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien
mengalami konstipasi.

3. Etiologi
1). Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan
sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi
meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan,
akibatnya output urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang
baik untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus
otot kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan
kateter untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus
menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak
pernah merenggang dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas
yang lebih berat akan mempengaruhi jumlah urine yang
diproduksi, hal ini disebabkan karena lebih besar metabolisme
tubuh
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur
urethra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,
urethra.
i. Umur

19
j. Penggunaan obat-obatan

2). Gangguan Eliminasi Fekal


a. Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna :
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi
feses. Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk
memperbesar volume feses. Makanantertentu pada beberapa
orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini
berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur
dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi
defekasi. Makan yang tidak teratur dapat
mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan
pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan
waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan
keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.
b. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,
muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di
sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari
normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi
berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan
chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi
cairan dari chyme
c. Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi.
Penyakit-penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus
pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi.
Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah
dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare.
Ditambah lagi orang yagn depresi bisa memperlambat motilitas
intestinal, yang berdampak pada konstipasi

20
d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan
gerak peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses
menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan
feses sehingga feses mengeras
e. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh
terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare;
yang lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan
diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein,
menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung
mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang merangsang
aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini
melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu
seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas
peristaltik dan kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare
f. Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi
juga pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol
eliminasinya sampai sistem neuromuskular berkembang,
biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang dewasajuga mengalami
perubahan pengalaman yang dapat mempengaruhi proses
pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony (berkurangnya
tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat
berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya
(mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut
yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan
lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan
kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak
pada proses defekasi.
g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus,
kecelakaan pada spinal cord dan tumor.
Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat
menurunkan stimulus sensori untuk defekasi. Gangguan

21
mobilitas bisa membatasi kemampuan klien untuk merespon
terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan
toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami
konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami fecal
inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkter
ani

4. Faktor predisposisi/Faktor pencetus


1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon
awal untuk berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan
di kandung kemih. Begitu pula dengan feses menjadi mengeras
karena terlalu lama di rectum dan terjadi reabsorbsi cairan.
2. Gaya hidup.
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal
eliminasi urine dan defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar
mandi dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi dan defekasi. Praktek
eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku.
3. Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya
frekuensi keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif
untuk keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang
diproduksi.
4. Tingkat perkembangan.
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada
wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya
tekanan dari fetus atau adanya lebih sering berkemih. Pada usia tua
terjadi penurunan tonus otot kandung kemih dan penurunan gerakan
peristaltik intestinal.
5. Kondisi Patologis.
Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).
6. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik
dapat terjadi retensi urine.

22
5. Patofisiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah
dijelaskan di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh
etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang
menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam
mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang
belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi
traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan
adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang
belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di
medulla spinallis. Cedera medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu
penyebab gangguan fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih
dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan
sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas
reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam
kondisi ini, otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang
ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan
refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang
merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan ileus
paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan
dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan
Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda
gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian
dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling
berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung
kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh
sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh
sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah

23
dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin
dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil
otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher
kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang
simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi
oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama
yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls
afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal
spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf
dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral
spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan
relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan
sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet
dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi
saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan
bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini
terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat
tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik,
peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi
episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan
kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi
biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih
yang adekuat.

2. Gangguan Eliminasi Fekal


Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini
juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang
sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali
perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan

24
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi
sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks
defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan
dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus
mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden,
kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses
kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal
interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses
keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf
dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4)
dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum.
Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi
instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter
anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh
kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan
feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi
paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi
diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk
defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses
menjadi keras dan terjadi konstipasi.

6. Tanda dan gejala


1. Tanda Gangguan Eliminasi urin
a. Retensi Urin
1). Ketidak nyamanan daerah pubis.
2). Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
3). Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
4). Meningkatnya keinginan berkemih dan resah

25
5). Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urin
1). pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di
WC
2). pasien sering mengompol
2. Tanda Gangguan Eliminasi Fekal
a. Konstipasi
1). Menurunnya frekuensi BAB
2). Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3). Nyeri rektum
b. Impaction
1). Tidak BAB
2). anoreksia
3). Kembung/kram
4). nyeri rektum
c. Diare
1). BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2). Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3). Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang
menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.
4). feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB.
d. Inkontinensia Fekal
1). Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
2). BAB encer dan jumlahnya banyak
3). Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma
spinal cord dan tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
1). Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
2). Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan
kram.
3). Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
f. Hemoroid
1). pembengkakan vena pada dinding rectum
2). perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3). merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4). nyeri
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1). Riwayat keperawatan eliminasi

26
Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat
menentukan pola defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu
gambaran feses normal dan beberapa perubahan yang terjadi dan
mengumpulkan informasi tentang beberapa masalah yang pernah
terjadi berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan faktor-
faktor yang mempengaruhi pola eliminasi.
Pengkajiannya meliputi:
a. Pola eliminasi
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
c. Masalah eliminasi
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat
bantu, diet, cairan, aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.
2). Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi
inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran
intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi
dapat merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi
inspeksi dan palpasi. Inspeksi feses, meliputi observasi feses klien
terhadap warna, konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan
adanya unsur-unsur abdomen. Perhatikan tabel berikut :
KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL
Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan
penyebab
Warna Dewasa : Pekat / putih Adanya pigmen
kecoklatan empedu (obstruksi
Bayi : empedu);
kekuningan pemeriksaan
diagnostik
menggunakan barium
Hitam / spt ter. Obat (spt. Fe); PSPA
(lambung, usus
halus); diet tinggi
buah merah dan sayur
hijau tua (spt. Bayam)
Merah PSPB (spt. Rektum),
beberapa makanan spt
bit.
Pucat Malabsorbsi lemak;
diet tinggi susu dan
produk susu dan

27
rendah daging.
Orange atau Infeksi usus
hijau
Konsistensi Berbentuk, Keras, kering Dehidrasi, penurunan
lunak, agak motilitas usus akibat
cair / lembek, kurangnya serat,
basah. kurang latihan,
gangguan emosi dan
laksantif abuse.
Diare Peningkatan motilitas
usus (mis. akibat
iritasi kolon oleh
bakteri).
Bentuk Silinder (bentukMengecil, Kondisi obstruksi
rektum) dgn Æbentuk pensil rektum
2,5 cm u/ orangatau seperti
dewasa benang
Jumlah Tergantung diet
(100 – 400
gr/hari)
Bau Aromatik :Tajam, pedas Infeksi, perdarahan
dipenga-ruhi
oleh makanan
yang dimakan
dan flora bakteri.
Unsur pokok Sejumlah kecilPus Infeksi bakteri
bagian kasarMukus Konsidi peradangan
makanan yg tdkParasit Perdarahan
dicerna, Darah gastrointestinal
potongan bak-Lemak dalam Malabsorbsi
teri yang mati,jumlah besar Salah makan
sel epitel, lemak,Benda asing
protein, unsur-
unsur kering
cairan
pencernaan
(pigmen empedu
dll)

2. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik
visualisasi langsung / tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium
terhadap unsur-unsur yang tidak normal.

28
3. Diagnosa Keperawatan
1. Retensi urin b.d BPH
2. Konstipasi b.d kelemahan otot abdomen

4. Intervensi Keperawatan
Tujuan dan
No. Diagnosa Intervensi
Kriteria Hasil
1. Retensi urin 1. Identifikasi tanda dan gejala
retensi atau inkontinensia
b.d BPH
urin
2. Identifikasi faktor yang
menyebabkan retensi atau
inkontinensia urin
3. Monitor eliminasi urin
4. Catat waktu dan haluaran
urin
5. Batasi asupan cairan, jika
perlu
6. Ajarkan terapi modalitas
penguatan otot-otot panggul
7. Ajarkan minum yang cukup,
jika tidak ada kontraindikasi
8. Kolaborasi pemberian obat
supositoria uretra, bila perlu.
2. Konstipasi Setelah 1. Periksa tanda dan gejala
b.d melakukan konstipasi
kelemahan tindakan 2. Periksa pergerakan usus,
otot keperawatan karakteristik feses
abdomen diharapkan 3. Identifikasi faktor resiko
pasien dapat konstipasi
BAB dengan 4. Monitor tanda dan gejala
kriteria hasil: ruptur usus dan/ peritonitis
 Pasien BAB 5. Anjurkan diet tinggi serat
1x/hari 6. Ajarkan cara mengatasi
dengan konstipasi/impaksi
kosisitensi 7. Konsultasi dengan tim
padat lembek. medis tentang penurunan/
 Bising usus peningkatan frekuensi suara
normal 5-30 usus
x/menit. 8. Kolaborasi penggunaan obat
pencahar jika perlu.

29
LAPORAN PENDAHULUAN
CA RECTUM
1. Anatomi Fisiologi
a. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau Intestinum mayor panjangnya ± 1,5 m, lebarnya 5-6
cm. Banyak bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri ini juga
penting untuk fungsi normal dari usus. Fungsi usus besar, terdiri dari
:Menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri E.Coli, tempat feses.
Usus besar (kolon), terdiri atas:
b. Sekum
Sekum (bahasa latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah
suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
menanjak dari usus besar. Di bawah sekum terdapat appendiks
vermiformis yang berbentuk seperti cacing sehingga disebut juga umbai
cacing, panjangnya ± 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum mudah

30
bergerak walaupun tidak mempunyai mesentrium dan dapat diraba melalui
dinding abdomen pada orang yang masih hidup.
c. Kolon Asendens
Kolon assendens mempunyai panjang 13 cm, terletak di abdomen
bawah sebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Di
bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica,
dilanjutkan sebagai kolon transversum.
d. Kolon Transversum
Panjangnya ±38 cm membujur dari kolon asendens sampai ke kolon
desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura
hepatica dan sebelah kiri terdapaat fleksura lienalis.
e. Kolon Desendens
Panjangnya ±25 cm terletak di abdomen bawah bagian kiri membujur
dari atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri,
bersambung dengan kolon sigmoid.
f. Kolon Sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak
miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai S, ujung
bawahnya berhubungan dengan rektum
g. Rektum
Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah
sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon
sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja
disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika
kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul
keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum
karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf
yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi
tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di
mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi
untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi
bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam
pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.

31
Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai
garis anorektal dengan panjang sekitar 12-13 cm (Sloane, 2004). Secara
fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan
sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi
oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Sfingter anal
internal otot polos (involunter) dan sfingter anal eksternal otot rangka
(volunter) mengitari anus (Sloane, 2004). Bagian ampula terbentang dari
sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Pada
orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa.
Mukosa saluran anal tersusun dari kolumna rektal (anal), yaitu lipatan-
lipatan vertikal yang masing-masing berisi arteri dan vena (Sloane, 2004).
2. Definisi Ca Colorectal

Ca Kolorectal merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan


rektum yang khusus menyerang bagian rekti yang terjadi akibat
gangguan proliferasi sel epitel yang tidak terkendali (Black & Hawks,
2014). Kanker rekti adalah kanker yang berasal dalam permukaan
rektum/rectal. Umumnya kanker kolorektal berawal dari pertumbuhan sel
yang tidak ganas, terdapat adenoma atau berbentuk polip.
3. Klasifikasi Ca Rekti
Metode penahapan kanker yang digunakan adalah klasifikasi duke
sebagai berikut (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010):
1. Duke
 Stadium 0 (carcinoma in situ)
Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau
rektum.
 Stadium I
Kanker telah menembus membran basal hingga lapisan kedua
atau ketiga (submukosa/ muskularis propria) dari lapisan dinding
kolon/ rektum tetapi belum menyebar keluar dari dinding
kolon/rektum (Duke A).
 Stadium II

32
Kanker telah menembus jaringan serosa dan menyebar keluar dari
dinding usus kolon/rektum dan ke jaringan sekitar tetapi belum
menyebar pada kelenjar getah bening (Duke B).
 Stadium III
Kanker telah menyebar pada kelenjar getah bening terdekat tetapi
belum pada organ tubuh lainnya (Duke C).
 Stadium IV
Kanker telah menyebar pada organ tubuh lainnya (Duke D).

2. Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)


Stadium T N M Duke
0 Tis N0 M0 -
I T1 N0 M0 A
T2 N0 M0
II A T3 N0 M0 B
II B T4 N0 M0
III A T1-T2 N1 M0 C
III B T3-T4 N1 M0
III C Any T N2 M0
IV Any T Any N M1 D
Keterangan
T : Tumor primer.
Tx : Tumor primer tidak dapat di nilai.
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer.
Tis : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi
invasi pada lamina propria.
T1 : Tumor menyebar pada submukosa.
T2 : Tumor menyebar pada muskularis propria.

33
T3 : Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam
subserosa atau ke dalam jaringan sekitar kolon atau rektum
tapi belum mengenai peritoneal.
T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan
perforasi peritoneum viseral.
N : Kelenjar getah bening regional/node.
Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai
N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening
N1 : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening
regional
N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah
bening
M : Metastasis
Mx : Metastasis tidak dapat di nilai
M0 : Tidak terdapat metastasis
M1 : Terdapat metastasis
4. Etiologi dan Patofisiologi Ca Rectal
Beberapa faktor risiko/faktor predisposisi terjadinya kanker rectum
menurut Smeltzer, Burke, Hinkle, dan Cheever (2010) sebagai berikut:
- Diet rendah serat
Kebiasaan diet rendah serat adalah faktor penyebab utama, Bukitt
(1971) dalam Price & Wilson (2012) mengemukakan bahwa diet
rendah serat dan kaya karbohidrat refined mengakibatkan perubahan
pada flora feses dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau
hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini
bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan
pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang
bervolume lebih kecil. Selain itu masa transisi feses meningkat,
akibat kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus
bertambah lama.
- Lemak

34
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah
steroid menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen.
- Polip diusus (colorectal polyps)
Polip adalah pertumbuhan sel pada dinding dalam kolon atau rektum,
dan sering terjadi pada orang berusia 50 tahun ke atas.Sebagian besar
polip bersifat jinak (bukan kanker), tapi beberapa polip (adenoma)
dapat menjadi kanker.
- Inflamatory Bowel Disease
Orang dengan kondisi yang menyebabkan peradangan pada kolon
(misalnya colitis ulcerativa atau penyakit Crohn) selama bertahun-
tahun memiliki risiko yang lebih besar.
- Riwayat kanker pribadi.
Orang yang sudah pernah terkena kanker colorectal dapat terkena
kanker colorectal untuk kedua kalinya. Selain itu, wanita dengan
riwayat kanker di indung telur, uterus (endometrium), atau payudara
mempunyai tingkat risiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker
rectal.
- Riwayat kanker rektal pada keluarga.
Jika mempunyai riwayat kanker rekti pada keluarga, maka
kemungkinan terkena penyakit ini lebih besar, khususnya jika terkena
kanker pada usia muda.
- Faktor gaya hidup
Orang yang merokok, atau menjalani pola makan yang tinggi lemak
dan sedikit buah-buahan dan sayuran memiliki tingkat risiko yang
lebih besar terkena kanker colorectal serta kebiasaan sering menahan
tinja/defekasi yang sering.
- Usia di atas 50
Kanker rekti biasa terjadi pada mereka yang berusia lebih tua. Lebih
dari 90 persen orang yang menderita penyakit ini didiagnosis setelah
usia 50 tahun ke atas.
Karsinogenesis dan onkogenesis merupakan nama lain dari
perkembangan kanker. Proses perubahan sel normal menjadi sel kanker

35
disebut transformasi maligna (Ignatavicius & Workman, 2006). Karsinogen
adalah substansi yang mengakibatkan perubahan pada struktur dan fungsi sel
menjadi sel yang bersifat otonom dan maligna.Trasformasi maligna diduga
mempunyai sedikitnya tiga tahapan proses selular yaitu inisiasi, promosi, dan
progresi (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010), yaitu:
a. Inisiasi (Carcinogen)
Pada tahap ini terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang
memicu sel menjadi ganas. Perubahan ini disebabkan oleh status
karsinogen berupa bahan kimia, virus, radiasi atau sinar matahari yang
berperan sebagai inisiator dan bereaksi dengan DNA yang menyebabkan
DNA pecah dan mengalami hambatan perbaikan DNA. Perubahan ini
mungkin dipulihkan melalui mekanisme perbaikan DNA atau dapat
mengakibatkan mutasi selular permanen. Mutasi ini biasanya tidak
signifikan bagi sel-sel sampai terjadi karsinogenesis tahap kedua.
b. Promosi (Co-carcinogen)
Pemajanan berulang terhadap agen menyebabkan ekspresi informasi
abnormal. Pada tahap ini suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan
berubah menjadi ganas. Tahap promosi merupakan hasil interaksi antara
faktor kedua dengan sel yang terinisiasi pada tahap sebelumnya. Faktor
kedua sebagai agen penyebabnya disebut complete carcinogen karena
melengkapi tahap inisiasi dengan tahap promosi. Agen promosi bekerja
dengan mengubah informasi genetik dalam sel, meningkatkan sintesis
DNA, meningkatkan salinan pasangan gen dan merubah pola komunikasi
antarsel. Pada masa antara inisiasi dan promosi merupakan kunci konsep
dalam pencegahan kanker, karena bila pada tahap ini dilakukan
pencegahan pemaparan karsinogen ulang seperti makanan berlemak,
obesitas, rokok, dan alkohol akan dapat menurunkan risiko terbentuknya
formasi neoplastik.
c. Progresi (Complete Carcinogen )
Pada tahapan ini merupakan tahap akhir dari terbentuknya sel kanker
atau karsinogenesis. Sel-sel yang mengalami perubahan bentuk selama
inisiasi dan promosi kini melakukan perilaku maligna. Sel-sel ini sekarang

36
menampakkan suatu kecenderungan untuk menginvasi jaringan yang
berdekatan (bermetastasis).
Penyebab kanker pada saluran cerna bagian bawah tidak diketahui
secara pasti. Polip dan ulserasi colitis kronis dapat berubah menjadi ganas
tetapi dianggap bukan sebagai penyebab langsung. Hipotesa penyebab
yang lain adalah meningkatnya penggunaan lemak yang bisa
menyebabkan kanker kolorektal. Diet rendah serat dan kaya karbohidrat
refined mengakibatkan perubahan pada flora feses dan perubahan
degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak,
dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat
juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam
feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu masa transisi feses
meningkat, akibat kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan
mukosa usus bertambah lama.
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah
steroid menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen. Bakteri dapat
mengubah asam empedu, yang dikeluarkan oleh tubuh untuk membantu
pencernaan lemak, menjadi suatu senyawa-senyawa yang dapat memicu
kanker. Senyawa-senyawa tersebut disebut sebagai asam empedu
sekunder. Asam empedu secara normal dikeluarkan oleh tubuh untuk
mencerna lemak. Semakin banyak lemak yang dikonsumsi, maka asam
empedu yang dikeluarkan oleh tubuh akan semakin banyak pula. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika beberapa bahan makanan yang
banyak mengandung lemak seperti daging merah, serta daging dan
makanan olahan lain yang berkadar lemak tinggi seperti keju, dapat
meningkatkan risiko kanker usus. Konsumsi alkohol juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker usus seperti halnya makanan yang
kaya akan gula.
Patologi kebanyakan kanker usus besar berawal dari pertumbuhan sel
yang tidak ganas atau disebut adenoma, yang dalam stadium awal
membentuk polip (sel yang tumbuh sangat cepat). Pada stadium awal,
polip dapat diangkat dengan mudah. Tetapi, seringkali pada stadium awal

37
adenoma tidak menampakkan gejala apapun sehingga tidak terdeteksi
dalam waktu yang relatif lama dan pada kondisi tertentu berpotensi
menjadi kanker yang dapat terjadi pada semua bagian dari usus besar.
Polip jinak dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan
normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat
terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain
(paling sering ke hati). Kanker kolorektal dapat menyebar melalui
beberapa cara yaitu secara infiltratif langsung ke struktur yang
berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih; melalui pembuluh limfe ke
kelenjar limfe perikolon dan mesokolon; melalui aliran darah, biasanya ke
hati karena kolon mengalirakan darah ke sistem portal; penyebaran secara
transperitoneal; penyebaran ke luka jahitan, insisi abdomen atau lokasi
drain. Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi
penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus
serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabkan perforasi dan
abses, serta timbulnya metastase pada jaringan lain.

Polip adenoma

Polip maligna

Menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam
struktur sekitarnya

Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke
bagian tubuh yang lain

38
5. WOC CA Rectum

39
6. Manifestasi Klinis
Kebanyakan orang asimtomatis dalam jangka waktu lama dan mencari
bantuan kesehatan hanya bila mereka menemukan perubahan pada
kebiasaan defekasi atau perdarahan rectal Smeltzer, Burke, Hinkle, &
Cheever (2010). Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap
penyakit, dan fungsi segmen usus tempat kanker berlokasi. Gejala yang
paling menonjol adalah (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010):
- Perubahan kebiasaan defekasi
- Pasase darah dalam feses adalah gejala paling umum kedua
- Gejala anemi tanpa diketahui penyebabnya
- Anoreksia
- Penurunan berat badan tanpa alasan
- Keletihan
- Mual dan muntah-muntah
- Usus besar terasa tidak kososng seluruhnya setelah BAB
- Feses menjadi lebih sempit (seperti pita)
- Perut sering terasa kembung atau keram perut
Gejala yang dihubungkan dengan lesi rectal adalah: evakuasi feses yang
tidak lengkap setelah defekasi, konstipasi dan diare bergantian (umumnya
konstipasi), serta feses berdarah.
Pertumbuhan pada sigmoid atau rectum dapat mengenai radiks saraf,
pembuluh limfe, atau vena menimbulkan gejala gejala pada tungkai atau
perineum, hemoroid, nyeri pinggang bagian bawah, keinginan defekasi, atau
sering berkemih dapat timbul sebagai akibat tekanan pada alat-alat tersebut.
Semua karsinoma kolorektal dapat menyebabkan ulserasi, perdarahan,
obstruksi bila membesar atau invasi menembus dinding usus dan kelenjar-
kelenjar regional, terkadang bisa terjadi perforasi dan menimbulkan abses
peritoneum.
Tumor pada rekti dan kolon asendens dapat tumbuh sampai besar
sebelum menimbulkan tanda-tanda obstruksi karena lumennya lebih besar
daripada kolon desendens dan dindingnya lebih mudah melebar. Perdarahan
biasanya sedikit atau tersamar. Bila karsinoma Recti menembus ke daerah

40
ileum akan terjadi obstruksi usus halus dengan pelebaran bagian proksimal
dan timbul nausea atau vomitus. Pertimbangan gerontologi, insiden
karsinoma kolon dan rectum meningkat sesuai usia. Kanker ini biasanya
ganas pada lansia, gejala sering tersembunyi yaitu: keletihan hampir selalu
ada akibat anemia defisiensi besi primer, nyeri abdomen, obstruksi,
tenesmus, dan perdarahan rectal. Atau secara lain manifestasi klinisnya
yaitu :
1. Histologi
Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi,
penanganan dan prognosis dari kanker. Secara mikroskopis kanker
kolorektal mempunyai derajat differensiasi yang berbeda-beda, tidak
hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang lain tetapi juga dari
area ke area pada tumor yang sama, mereka cenderung mempunyai
morfologi yang heterogen. Gambaran histopatologis yang paling
sering dijumpai adalah tipe adenocarcinoma (90-95%),
adenocarcinoma mucinous (17%), signet ring cell carcinoma (2-4%),
dan sarcoma (0,1-3%).
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal
dari tahun 1998-2001 di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630
kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran histopatologis dari
kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma
lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan
0,08% berupa sarcoma. Proporsi dari epidermoid carcinoma,
mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak diketemukan pada
wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara
tipe histopatologis, derajat differensiasi dan stadium dari kanker
kolorektal. Adenocarcinoma sering ditemukan dengan derajat
differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa,
signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat
differensiasi buruk dan telah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa,
lain pula pada carcinoid tumor dan sarcoma yang sering dengan
derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat

41
terdiagnosa, sedangkan small cell carcinoma tidak memiliki derajat
differensiasi dan sering sudah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa.
2. Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara
lain ialah :
 Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses,
baik itu darah segar maupun yang berwarna hitam.
 Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar
benar kosong saat BAB
 Feses yang lebih kecil dari biasanya
 Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus,
kembung, rasa penuh pada perut atau nyeri
 Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
 Mual dan muntah,
 Rasa letih dan lesu
 Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius
dan nyeri pada daerah gluteus.
3. Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus
pada saat direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih
60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru,
diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat
jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava
inferior, maka metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali
di paru-paru. Berbeda dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena
menuju vena porta, maka metastase kanker kolon pertama kali paling
sering di hepar.
7. DIAGNOSIS DAN STAGING
1. Diagnosis
Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi
kanker rektal, diantaranya ialah :

42
1) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma
Embrionik Antigen) dan Uji faecal occult blood test (FOBT)
untuk melihat perdarahan di jaringan
2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai
pemeriksaan skrining awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum
dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal, pemeriksaan digital akan
mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor
akan teraba keras dan menggaung. Ada 2 gambaran khas dari
pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan adanya suatu penonjolan
tepi, dapat berupa :
a. suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti
cakram yaitu suatu plateau kecil dengan permukaan yang
licin dan berbatas tegas.
b. suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih
lunak, tetapi umumnya mempunyai beberapa daerah
indurasi dan ulserasi
c. suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler
yang menonjol dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini
paling sering)
d. suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai
pertumbuhan bentuk cincin
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta
letak bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri,
bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis. Pada
penderita perempuan sebaiknya juga dilakukan palpasi
melalui vagina untuk mengetahui apakah mukosa vagina di
atas tumor tersebut licin dan dapat digerakkan atau apakah
ada perlekatan dan ulserasi, juga untuk menilai batas atas
dari lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak dapat
dilakukan dengan pemeriksaan colok dubur.
b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui
prospek terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya

43
masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum.
Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam
umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi
atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar
prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding
anterior uterus.
c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor
dan karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari
mobilitas atau fiksasi lesi.
3) Dapat pula dengan Barium Enema,. yaitu Cairan yang
mengandung barium dimasukkan melalui rektum kemudian
dilakukan seri foto x-rays pada traktus gastrointestinal bawah.
4) Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian
dalam rektum dan sigmoid apakah terdapat polip kakner atau
kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum
sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil
untuk biopsi.
5) Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam
rektum dan sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan
lainnya. Alat colonoscope dimasukkan melalui rektum sampai
kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk
biopsi.
6) Biopsi. Jika ditemuka tumor dari salah satu pemeriksaan diatas,
biopsi harus dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma
merupakan jenis yang paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95%
dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel
skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan
undifferentiated tumors.
8. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan atau keletihan.
Sirkulasi

44
Gejala : Palpitasi, nyeri dada pada pengerahan kerja.
Tanda : Perubahan pada TD.
Integritas Ego
Gejala : Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa,
tidak mampu, tidak bermakna, rasa bersalah, kehilangan kontrol,
depresi.
Tanda : Menyangkal, menarik diri, marah.
Eliminasi
Gejala : Perubahan pada pola defekasi, darah pada feses, nyeri pada
defekasi. Perubahan eliminasi urinarius, nyeri saat
berkemih, hematuria, sering berkemih.
Tanda : Perubahan pada bising usus, distensi abdomen.
Makanan/Cairan
Gejala : Kebiasaan diet buruk (rendah serat, tinggi lemak). Anoreksia,
mual/muntah. Intoleransi makanan. Perubahan pada berat
badan, berkurangnya massa otot.
Tanda : Perubahan pada kelembaban/turgor kulit, edema.
Neurosensori
Gejala : Pusing.
Pernapasan
Gejala : Merokok (hidup dengan seseorang yang merokok). Pemajanan
abses.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri bervariasi.
Keamanan
Gejala : Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen. Pemajanan matahari
yang lama.
Tanda : Demam, ruam kulit, ulserasi.
Seksualitas
Gejala : Masalah seksual, dampak pada hubungan, perubahan tingkat
kepuasan.
Interaksi Sosial
Gejala : Ketidakadekuatan/kelemahan sistim pendukung.
Riwayat perkawinan, masalah tentang fungsi/tanggung jawab peran.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Riwayat kanker pada keluarga.
Riwayat pengobatan: pengobatan sebelumnya dan pengobatan yang
diberikan.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Fecal -occult blood test, pemeriksaan darah samar feses di bawah
mikroskop

45
2. Colok dubur (rectal toucher) ditemukan darah dan lendir, tonus sfingter
ani keras/lembek, mukosa kasar, kaku biasanya dapat digeser, ampula
rectum kolaps/kembung terisi feses atau tumor yang dapat teraba atau
tidak.
3. Barium enema, pemeriksaan serial sinar x pada saluran cerna bagian
bawah, sebelumnya pasien diberikan cairan barium ke dalam rektum
4. Endoskopi (protoskopi, sigmoidoscopy atau colonoscopy), dengan
menggunakan teropong, melihat gambaran rektum dan sigmoid adanya
polip atau daerah abnormal lainnya dalam layar monitor. Protoskopi
untuk mendeteksi kelainan 8-10 cm dari anus (polip rekti, hemoroid,
karsinoma rektum). Sigmoidoskopi atau kolonoskopi adalah test
diagnostik utama digunakan untuk mendeteksi dan melihat tumor dan
biopsy jaringan. Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi 50 % sampai
65 % (20-25 cm dari anus) dari kanker kolorektal. Pemeriksaan
enndoskopi dari kolonoskopi direkomendasikan untuk mengetahui lokasi
dan biopsy lesi pada klien dengan perdarahan rektum. Bila kolonoskopi
dilakukan dan visualisasi sekum, barium enema mungkin tidak
dibutuhkan. Tumor dapat tampak membesar, merah, ulseratif sentral,
seperti penyakit divertikula, ulseratif kolitis
5. Biopsi, tindakan pengambilan sel atau jaringan abnormal dan dilakukan
pemeriksaan di bawah mikroskop untuk mengidentifikasi matastase dan
menilai reseklabilitas.
6. Jumlah sel-sel darah untuk evaluasi anemia. Anemia mikrositik, ditandai
dengan sel-sel darah merah yang kecil, tanpa terlihat penyebab adalah
indikasi umum untuk test diagnostik selanjutnya untuk menemukan
kepastian kanker kolorektal.
7. Test Guaiac pada feces untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feces,
karena semua kanker kolorektal mengalami perdarahan intermitten.
8. CEA (carcinoembryogenic antigen) adalah ditemukannya glikoprotein di
membran sel pada banyak jaringan, termasuk kanker kolorektal. Antigen
ini dapat dideteksi oleh radioimmunoassay dari serum atau cairan tubuh
lainnya dan sekresi. Test ini tidak spesifik bagi kanker kolorektal dan

46
positif pada lebih dari separuh klien dengan lokalisasi penyakit, ini tidak
termasuk dalam skreening atau test diagnostik dalam pengobatan
penyakit. CEA digunakan sebagai prediktor pada prognsis postoperative
dan untuk deteksi kekambuhan mengikuti pemotongan pembedahan.
9. Digital rectal examination (DRE)
Dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal .Kurang lebih 75%
karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal. Pemeriksaan
digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum,
tumor akan teraba keras dan menggaung.
10. Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat
meninggi, indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya
meliputi serum protein, kalsium, dan kreatinin.
11. Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada
tidaknya dan lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium
dimasukkan kedalam usus bagian bawah, kanker tampak sebagai massa
mengisi lumen usus, konstriksi, atau gangguan pengisian. Dinding usus
terfiksir oleh tumor, dan pola mukosa normal hilang. Meskipun
pemeriksaan ini berguna untuk tumor kolon, sinar-X tidak nyata dalam
mendeteksi rektum
12. X-ray dada untuk deteksi metastase tumor ke paru-paru
13. CT (computed tomography) scan, magnetic resonance imaging (MRI),
atau pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk mengkaji apakah
sudah mengenai organ lain melalui perluasan langsung atau dari
metastase tumor.
14. Whole-body PET Scan Imaging. Sementara ini adalah pemeriksaan
diagnostik yang paling akurat untuk mendeteksi kanker kolorektal
rekuren (yang timbul kembali).
15. Pemeriksaan DNA Tinja.
B. Masalah keperawatan dan diagnosa yang mungkin muncul
1. Nyeri kronis
2. Defisit nutrisi
3. Diare
4. Konstipasi
5. Kerusakan integritas kulit

47
6. Risiko tinggi infeksi
C. Intervesni keperawatan
Intervensi keperawatan menurut SIKI 2018 :
1. Diagnosa Nyeri kronis
Intervensi utama : manajemen nyeri, perawatan kenyamanan, terapi
relaksasi.
Intervensi pendukung : aromaterapi, dukungan hipnotis diri,
dukungan pengungkapan kebutuhan, dukungan koping keluarga,
dukungan meditasi, edukasi aktivitas/istirahat, edukasi kemoterapi,
edukasi kesehatan, edukasi manajemen stres, edukasu manajemen
nyeri, edukasi perawatan stoma, edukasi teknik napas, kompres
dingin, kompres panas, latihan pernapasan, manajemen stres,
pemberian analgesik, teknik imajinasi terbimbing, yoga.
2. Diagnosa defisit nutrisi
Intervensi utama : manajemen nutrisi, promosi berat badan
Intervensi pendukung : dukungan kepatuhan program pengobatan,
edukasi diet, konseling nutrisi, konsultasi, pemantauan cairan,
pemantauan nutrisi.
3. Diagnosa diare
Intervensi utama : manajemen diare, pemantauan cairan
Intervensi pendukung : dukungan perawatan diri BAB/BAK,
dukungan kepatuhan program pengobatan, konsultasi, irigasi
kolostomi, insersi intravena, manajeman cairan, manajemen
elektrolit, manajemen eliminasi fekal, manajemen nutrisi, manajemen
nutrisi parenteral, pemberian obat, pemberian obat intravena,
pengontrolan infeksi, perawatan stoma, reduksi ansietas, terapi
intravena.
D. Treatment/Pengobatan dan terapi/medikasi
1. Pembedahan

48
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama
untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam
stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena
kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak pasien
kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan
kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal
sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektal, neoadjuvant
chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien
lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar
jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih
membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk
membunuh sel kanker yang tertinggal (Anderson, 2006). Tipe
pembedahan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur
pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Smeltzer, Burke, Hinkle, &
Cheever, 2010):
a. Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan
porsi usus pada sisi pertumbuhan pembuluh darah, dan nodus
limfatik)
b. Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen
(pengangkatan tumor dan prosi sigmoid dan semua rectum serta
sfingkter anal)
c. Kolostomi sementara diikuti reanastomosis reseksi segmental dan
anastomisis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi
(memungkinkan dekompresi usus awal dan persiapan usus
sebelum reseksi)
d. Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi
obstruksi yang tidak dapat direseksi). Sebelum pembedahan,
dilakukan radioterapi untuk mencegah sel maligna bermetastasis
dan mengurangi ukuran tumor serta membuatnya lebih mudah
direseksi. Intervensi lokal terhadap tumor setelah pembedahan
adalah implantasi isotop (radium, cesium, dan kobalt) ke dalam
area tumor dan elektrokoagulasi.

49
2. Kemoterapi
Kemoterapi bertujuan untuk menurunkan metastasis dan
mengontrol manifestasi. Adjuvant chemotherapy (menangani pasien
yang tidak terbukti memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi
mengalami kekambuhan), dipertimbangkan pada pasien dengan tumor
yang menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol
(stadium II lanjut dan stadium III).Terapi standarnya ialah dengan
fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka
waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU merupakan anti metabolit
dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya, levamisole untuk
meningkatkan sistem imun dan dapat menjadi substitusi bagi
leucovorin.
- 5 hari Fu (Flouro-Uracil 13,5mg/kg BB/hari)
- 5 Fu dan Ca Folinat
3. Radioterapi
Pada Ca stadium II dan III lanjut, radiasi dapat mengecilkan
ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Radioterapi dapat
menjadi terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal
yang sudah diangkat melaui pembedahan, dan untuk penanganan kasus
metastasis jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi
dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan
menunjukkan telah menurunkan risiko kekambuhan lokal di pelvis
sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan
metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek lokal dari
metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya
digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal
yang unresectable.

50
FORMAT LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
BERDASARKAN FORMAT HENDERSON

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. A. D


DENGAN DIAGNOSA MEDIS CA RECTUM 1/3 DISTAL + Susp BPH
DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN NYERI AKUT, RETENSI
URINE, RESIKO INFEKSI
DI RUANG BEDAH BOUGENVIL
TANGGAL 11 FEBRUARI 2019

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. A. D
Umur : 67 Thn
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kawin
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jojoran 3B/44 RT 13/RW 12, Kel Gubeng Kota Surabaya
Tanggal Masuk : 31 Januari 2019
Tanggal Pengkajian : 11 Februari 2019 Pkl 14.30 WIB
No. Register : 12.70.69.xx
Diagnosa Medis : Ca Rectum 1/3 Distal T4H2M0 Post Milks Proscedure
+ Susp BPH

b. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Ny. B. M
Umur : 65 Thn
Hub. Dengan Pasien : Istri
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jojoran 3B/44 RT 13/RW 12, Kel Gubeng
Kota Surabaya
2. Status Kesehatan

51
a. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan Utama (Saat MRS dan saat ini)
Saat MRS : BAB sedikit-sedikit dan keras seperti kotoran kambing sejak bulan
Oktober 2018. Terdapat benjolan kecil pada anus.
Saat ini : Nyeri luka operasi di perut, nyeri dirasakan terus menerus seperti
diiris-iris, skala nyeri 5, nyeri bertambah bila berubah posisi. Pusing,
mual, tidak bisa BAK sejak 4 jam lalu pkl 10.30 WIB
2) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Pasien mengatasi keluhan dengan mengkonsumsi sayuran dan jus buah dan
akhirnya bisa BAB namun keluhan berulang, kemudian pasien memutuskan
untuk berobat ke Puskesmas dan didiagnosa wasir serta mendapatkan obat yang
dimasukan lewat rectum namun tidak ada perubahan akhirnya pasien di rujuk ke
RSUD Dr. Soetomo.
b. Satus Kesehatan Masa Lalu
1) Penyakit yang pernah dialami
Pasien dengan riwayat HT dan mendapatkan terapi Amlodipin 5-10 mg
diminum setiap malam.
Pernah dirawat : tidak pernah dirawat sebelumnya
Alergi : tidak ada riwayat alergi makanan maupun obat-obatan
2) Kebiasaan (merokok/kopi/alkohol dll)
Saat masih muda pasien suka merokok dan dapat menghabiskan ± 1 bungkus
rokok perhari, minum kopi 2 gelas perhari namun semenjak usia tua pasien
masih sesekali merokok namun dengan frekuensi setelah makan.
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mempunyai saudara dengan riwayat penyakit Stroke.
4) Diagnosa Medis dan therapy
Ca Rectum 1/3 distal T4H2M0 + Retensio Urine Susp BPH
Therapi :
Tanggal Therapy Dosis
11/02/2019  Infus Tutofusin OPS 1500 cc/24 jam
 Noropin per epidural 0,18 mg dengan syringe pump 4
 Levofloxacin Infus
 Metronidazole Infus cc/jam
 Antrain Injeksi 750 mg/24 jam
 Ranitidin Injeksi

52
3x500 mg IV
3x500 mg IV
2x50 mg IV
12/02/2019 Therapy lain lanjut,
tambahan
 Vit K Injeksi 3x10 mg IV
 Kalnex Injeksi 3x500 mg IV
 Diet bubur halus
 Pasang Kateter menetap
13/02/2019 Therapy lain lanjut,
tambahan 3x0,4 mg PO
 Harnal Ocas

15/02/2019 Therapy lain lanjut,


Infus Tutofusin 1000 cc/24 jam
Diet TKTP
Harnal Ocas 1x0,4 mg PO
16/02/2019 Therapy lain lanjut,
Infus Tutofusin 500 cc/24 jam

3. Pola Kebutuhan Dasar ( Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual)


a. Pola Bernapas
 Sebelum sakit
Pasien dapat beraktivitas tanpa ada keluhan batuk ataupun sesak napas.
 Saat sakit
Tidak ada keluhan sesak dan batuk, tidak ada perubahan warna kulit
b. Pola makan-minum
 Sebelum sakit :
Makan 3x sehari, menu makanan nasi, lauk berupa daging, ikan, telur,
tempe, tahu, pasien jarang makan sayur dan buah.

 Saat sakit :
Pasien mengeluh mual, tidak muntah, pasien masih puasa hanya boleh
minum air sedikit-sedikit.
c. Pola Eliminasi
 Sebelum sakit :

53
BAK 3-4 kali sehari warna kuning kecoklatan, tidak ada keluhan BAK
BAB 1-2 kali sehari warna kuning konsistensi lembek. Sejak Oktober
2018 mulai susah BAB dan feces seperti kotoran kambing.
 Saat sakit :
BAK : pasien belum BAK sejak pkl 10.30, distensi kandung kemih,
pasien mengeluh terasa penuh pada kandung kemih
BAB : pasien dengan colostomy, terpasang kantong stoma, produksi feces
+, konsistensi cair, warna coklat kehitaman.
d. Pola aktivitas dan latihan
 Sebelum sakit :
Pasien seorang pensiunan dan menghabiskan waktu dengan mengelola
kantin bersama istrinya.
 Saat sakit :
Akivitas pasien terbatas ditempat tidur saja karena masih merasa sakit
pada daerah operasi, pusing dan terpasang infus, syringe pump via selang
epidural serta terpasang drain.
e. Pola istirahat dan tidur
 Sebelum sakit :
Tidur 6-7 jam sehari, tidak ada gangguan tidur
 Saat sakit :
Pasien dapat beristirahat dan tidur namun kadang terbangun karena nyeri.
Tidur siang 1-2 jam, tidur malam 6-7 jam
f. Pola Berpakaian
 Sebelum sakit :
Pasien dapat berpakaian secara mandiri, sehari 1-2 kali mengganti pakaian
 Saat sakit :
Pasien berpakaian dengan bantuan istri dan perawat
g. Pola rasa nyaman
 Sebelum sakit :
Tidak ada gangguan rasa nyaman
 Saat sakit :
Pasien merasa kurang nyaman karena rasa sakit pada luka operasi dan
terpasang banyak alat yang membatasi aktivitas pasien. Pasien dapat
menerima kondisinya dengan adanya stoma karena pasien sudah

54
mendapatkan informasi dan dukungan dari sesama penderita yang
terpasang stoma.
h. Pola Aman
 Sebelum sakit :
Pasien merasa aman karena berada dilingkungan keluarga dan tetangga
yang hidup rukun
 Saat sakit :
Pasien merasa aman karena mendapatkan dukungan dari keluarga dan
kerabat serta petugas kesehatan
i. Pola Kebersihan Diri
 Sebelum sakit :
Mandi 2x/hari menggunakan sabun dan air bersih, sikat gigi 2x sehari,
keramas 2 hari sekali, kuku selalu pendek.
 Saat sakit :
Pasien hanya di seka 1x sehari di tempat tidur menggunakan sabun dan air,
berkumur dengan listerin 2x sehari.
j. Pola Komunikasi
 Sebelum sakit :
Tidak ada gangguan komunikasi
 Saat sakit :
Pasien dapat berkomunikasi dengan lancar, menggunakan bahasa
Indonesia, orientasi orang dan tempat baik, pasien kooperatif selama
perawatan

k. Pola Beribadah
 Sebelum sakit :
Pasien menjalankan ibadah Sholat 5 waktu dan Sholat Jumat di Mesjid
dekat rumah
 Saat sakit :
Pasien menjalankan Sholat di tempat tidur saja
l. Pola Produktifitas
 Sebelum sakit :
Pasien bekerja dengan berjualan makanan di kantin bersama istrinya

55
 Saat sakit :
Pasien tidak dapat bekerja dan istrinya juga tidak dapat bekerja karena
harus menjaga pasien di RS
m. Pola Rekreasi
 Sebelum sakit :
Pasien menghabiskan waktu libur kerja dengan beristirahat dirumah saja,
jarang ada aktivitas rekreasi bersama keluarga
 Saat sakit :
Pasien bercerita dengan keluarga yang datang menjenguk dan juga
bersama pasien dan keluarga pasien yang lain
n. Pola Kebutuhan Belajar
 Sebelum sakit :
Tidak ada kebutuhan belajar
 Saat sakit :
Pasien mendapatkan informasi dan dukungan dari sesama pasien yang
menderita penyakit yang sama tentang bagaimana hidup dengan stoma
serta menjalani perawatan lanjutan pasca operasi. Pasien membutuhkan
infomasi tentang cara perawatan stoma.

4. Pengkajian Fisik
a. Keadaan umum :
Tingkat kesadaran : komposmetis
GCS : verbal : 5 Psikomotor : 6 Mata : 4
b. Tanda-tanda Vital : Nadi : 98 x/mnt regular, kuat, Suhu : 36,6 ºC, TD
150/90 mmHg, RR : 20x/mnt regular.
c. Keadaan fisik
1) Kepala dan leher :
Bentuk kepala simetris, tidak ada kaku kuduk dan pembesaran KGB,
ekspresi wajah nampak meringis kesakitan.
2) Dada :
 Paru
Pengembangan dada simetris, fremitus raba normal, perkusi sonor,
auskultasi vesikuler normal, Spo2 98%, tidak ada retraksi dan
penggunaan otot bantu pernapasan.

56
 Jantung
Mukosa bibir dan konjungtiva merah muda, tidak ada peningkatan
tekanan vena jugolaris, BJ I-II normal, tidak ada bunyi jantung
tambahan.
3) Payudara dan ketiak :
Tidak ada benjolan dan pembesaran KGB
4) Abdomen :
Terdapat luka operasi Laparatomi terbalut kassa nampak bersih, terpasang
drain produksi 200 cc warna kemerahan, terdapat stoma yang tertutup
kantong stoma, produksi feces dengan konsistensi cair warna coklat
kehitaman. Bising usus 10x/mnt, blass teraba penuh. Tampak memegang
daerah operasi dengan tangan terutama saat merubah posisi
5) Genetalia :
Tidak ada luka ataupun oedema pada daerah genitalia
6) Integumen :
Luka operasi laparatomi dan colostomy
7) Ekstremitas :
 Atas
ROM aktif, kekuatan otot 5
 Bawah
ROM aktif, kekuatan otot 5, tidak ada oedema
8) Neurologis :
 Status mental dan emosi : pasien tenang, dapat menerima kondisinya
serta menjalani perawatan dan pengobatan dengan sabar
 Pengkajian saraf kranial :
N1-N12 tidak ada masalah
 Pemeriksaan refleks :
Refleks patela +, Refleks babynski +,
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Data laboratorium yang berhubungan
Tanggal 01 Februari 2019

HBSAG Non Reaktif Natrium 137 mmol/L


GDS 205 mg/dl Clorida 93 mmol/L
SGOT/SGPT 21/26 ul/L PT/APTT 9,9/26,2 detik
BUN 11 mg/dl HB 14,3 g/dl
Kretinin serum 1,72 mg/dl RBC 4,66
Kalium 4,4 mmol/L WBC 8,06

2) Pemeriksaan radiologi
Thorax foto : corpulmonal normal
3) Hasil konsultasi
SCI kelas 1

57
4) Pemeriksaan penunjang diagnostic lain
............................................................................................................................

58
5. ANALISA DATA

DATA ETIOLOGI MASALAH


DS : Pasien mengeluh Prosedur operasi Nyeri Akut
nyeri luka operasi, D.0077
nyeri dirasakan terus
menerus seperti
diiris-iris, nyeri
bertambah bila
berubah posisi,
pasien kadang
terbangun dari tidur
karena nyeri.

DO : Ekspresi wajah
nampak meringis
kesakitan, skala nyeri
5, tampak memegang
daerah operasi
dengan tangan
terutama saat
merubah posisi
Nadi 98x/mnt, TD
150/90 mmHg

DS : Pasien mengeluh BPH Retensi Urine


tidak bisa BAK sejak D.0050
4 jam lalu pkl 10.30
WIB. rasa penuh
pada kandung kemih

DO : Tampak distensi
kandung kemih
DS : Pasien mengatakan Prosedur pembedahan Resiko Infeksi
habis operasi pagi dan tindakan invasif D.0142
tadi

DO : Tampak luka
operasi laparatomi
dan colostomy,
keadaan luka tertutup
kasa bersih dan
terpasang drain
dengan produksi 200
cc warna kemerahan.
terpasang selang
epidural dan infus

59
DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN /MASALAH KOLABORATIF BERDASARKAN PRIORITAS

TANGGAL /
TANGGAL
NO JAM DIAGNOSA KEPERAWATAN Ttd
TERATASI
DITEMUKAN
1. 11/02/2019 Nyeri Akut b/d prosedur operasi 18/02/2019
(Pasien Pulang)
2. 11/02/2019 Retensi urine b/d BPH 18/02/2019
(Pasien Pulang)
3. 11/02/2019 Resiko Infeksi b/d Prosedur pembedahan 18/02/2019
dan tindakan invasive (Pasien Pulang)

60
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Senin, 1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 Manajemen Nyeri :
11/02/2019 jam diharapkan pasien dapat mengontrol nyeri 11. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
dengan kriteria : frekwensi, kualitas, intensitas dan skala nyeri
 Keluhan nyeri berkurang 12. Identifikasi respon nyeri non verbal
 Dapat beristirahat dengan nyaman tanpa 13. Identifikasi faktor yang memperberat dan
keluhan nyeri mengurangi nyeri
 Skala nyeri 0-1 14. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Ekspresi wajah nampak rileks 15. Atur posisi pasien yang nyaman dan rileks
 Nadi 60-70 x/mnt 16. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
17. Anjurkan penggunaan teknik non farmakologi
ketika nyeri
18. Lakukan pemberian antrain 500 mg/8jam
19. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah
pemberian analgesik
20. Pertahankan penggunaan infus syring pump
noropin 0,18 mg dengan kecepatan 4cc/jam/
epidural
11/02/2019 2. Setelah dilakukan tindakan kerawatan selama 30Kateterisasi Urine :
menit diharapkan retensio urine pasien teratasi 12. Identifikasi tanda dan gejala retensio urine
dengan kriteria : (keluhan tidak bisa BAK, distensi kandung

61
Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
 Pasien bisa BAK dengan bantuan kateter kemih)
 Tidak ada distensi kandung kemih 13. Identifikasi faktor penyebab retensio urine
14. Berikan rangsangan BAK dengan teknik non
farmakologi (kompres dingin, stimulasi suara air
mengalir)
15. Kolaborasi pemasangan kateter urine
16. Jelaskan tujuan dan procedure pemasangan
kateter urine
17. Monitor eliminasi urine (volume, aroma dan
warna, konsistensi)
18. Monitor tanda dan gejala obstruksi aliran urine
19. Monitor kebocoran kateter, selang dan kantong
urine
20. Pastikan selang kateter dan kantong urine
terbebas dari lipatan
21. Pastikan kantong urine di letakkan dibawah
ketinggian kandung kemih dan tidak di lantai
22. Lakukan perawatan perineal minimal 1x sehari
11/02/2019 3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selamaPencegahan infeksi :
1x24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi 10. Monitor tanda-tanda infeksi lokal (rubor, kalor,
dengan kriteria : dolor, tumor) dan sistemik (Suhu, nausea) serta
 Tidak ada tanda-tanda infeksi pada luka karakteristik luka (drainase, warna, ukuran, bau)
(rubor, kalor, dolor, tumor), tidak demam dan kondisi stoma.

62
Rencana Perawatan
Hari/
No Dx Ttd
Tgl Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
 Suhu tubuh normal 36,50C-37,50C 11. Monitor tanda-tanda vital
 Hasil pemeriksaan laboratorium WBC 12. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
dalam batas normal 3,37 – 10 103/uL pasien dan lingkungan pasien
13. Ajarkan pasien dan keluarga cara mencuci tangan
yang benar
14. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi dan cairan
15. Lakukan perawatan kulit pada daerah insersi
selang
16. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic
17. Lakukan perawatan stoma secara teratur
18. Kolaborasi pemberian metronidazole infus 500
mg/8 jam dan levofloxacin infus 750 mg/24 jam

63
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Hari/ Ttd
No Dx Tindakan Keperawatan
Tgl/Jam
11/02/2019 1.
15.00  Mengatur lingkungan yang tenang dan tidak
berisik, mengatur suhu ruangan dengan
menyalakan kipas angin.
15.05  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
15.25  Mengajarkan teknik relaksasi dengan
menarik napas dalam dan teknik distraksi
dengan mengalihkan perhatian pasien dari
nyeri ke aktivitas yang menyenangkan
seperti membaca koran atau mendengarkan
musik
15.30  Menganjurkan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
17.00
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
17.15
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 3, ekspresi
wajah lebih tenang
17.20  Memonitor pemberian analgesik Noropin
0,18 mg menggunakan syringe pump dengan
kecepatan 4 cc/jam via selang epidural
 Mengkaji nyeri : pasien mengatakan nyeri
20.45 sedikit berkurang, namun nyeri bertambah
bila berubah posisi, dan kadang terbangun
karena nyeri, skala nyeri 3, expresi wajah
meringis, nadi 92x/mnt regular, kuat.
11/02/2019 2.
14.45  Melakukan kompres dingin pada daerah
simpisis dengan menggunakan air dingin
dan memberikan rangsangan suara air
mengalir dengan menuangkan air dari botol
minum ke dalam ember namun pasien tetap
tidak bisa BAK
15.10  Melakukan kolaborasi pemasangan kateter
urine : dokter setuju di lakukan pemasangan
kateter urine sementara

64
 Menjelaskan tujuan dan procedure
15.20 pemasangan kateter urine : pasien dan
keluarga setuju
 Pemasangan kateter urine sementara
17.30 dilakukan oleh dokter, produksi urine ±
1500 cc warna kuning kecoklatan, tidak ada
darah, tidak ada distensi kandung kemih
 Mengkaji keadaan pasien : pasien sudah
20.45 tidak terpasang kateter dan BAK keluar
spontan sedikit-sedikit, tidak ada distensi
kandung kemih
11/02/2019 3.
14.25  Mencuci tangan 6 langkah menggunakan
handsrub sesuai 5 moment mencuci tangan
15.55  Mengajarkan pasien dan keluarga cara
mencuci tangan yang benar yaitu dengan 6
langkah cuci tangan menggunakan handsrub
apabila tangan tampak bersih dan
menggunakan handwash apabila tangan
nampak kotor atau sudah terkena cairan
tubuh pasien.
 Mengganti cairan infus Tutofusin OPS 21
16.00
tetes/menit.
 Memonitor Suhu 36,50C, Nadi 92x/mnt
16.20
regular, kuat
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
17.00 tetes/menit.

12/02/2019 1.
08.00  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, nyeri bertambah bila berubah
posisi, pasien kadang terbangun dari tidur
karena nyeri. Skala nyeri 3.
08.05  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak lebih tenang
dan masih memegang daerah perut ketika
merubah posisi
08.07  Mengidentifikasi faktor yang memperberat
nyeri apabila berubah posisi dan nyeri

65
berkurang dengan menekan lembut daerah
perut.
08.30  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
08.35  Menganjurkan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
09.00  Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
09.03 obat.
 Memonitor pemberian analgesik Noropin
0,18 mg menggunakan syringe pump dengan
kecepatan 4 cc/jam via selang epidural
sementara diklem pro pelepasan infus
epidural.
09.15
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
wajah lebih tenang
10.00  Mengatur lingkungan yang tenang dan tidak
berisik, mengatur suhu ruangan dengan
menyalakan kipas angin.
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
17.00 tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
17.15 obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
20.45  Mengkaji nyeri : Pasien mengatakan nyeri
luka operasi berkurang, sudah dapat
beristirahat lebih lama, skala nyeri 2,
ekspresi wajah nampak rileks, Nadi 88x/mnt
12/02/2019 2.
08.05  Mengidentifikasi tanda dan gejala retensio
urine : pasien mengatakan bisa BAK
spontan tapi sedikit – sedikit, tidak nyeri
saat BAK, palpasi tidak ada distensi
kandung kemih
18.00  Keluarga melaporkan pasien tidak bisa BAK
lagi.
18.03  Mengontrol pasien : pasien mengatakan
tidak bisa BAK lagi sejak tadi siang, ada
rasa dorongan untuk BAK tapi urine tidak

66
bisa keluar, kandung kemih teraba penuh,
pasien nampak gelisah.
18.10  Melakukan kolaborasi pemasangan kateter
urine : ACC pasang foley kateter dan
konsul urologi
18.30  Menjelaskan tujuan dan procedure
pemasangan kateter urine : pasien dan
keluarga setuju
18.45  Pemasangan foley kateter (kateter menetap)
dilakukan oleh dokter, produksi urine 1500
cc berwarna kuning mudah tidak ada darah
 Menggantung urine bag di samping tempat
19.00
tidur pasien, posisi selang berada lebih
rendah dari kandung kemih dan posisi
selang tidak terlipat.
 Membuang urine 1500 cc berwarna jernih
19.10
kuning mudah, bau amoniak.
12/02/2019 3.
07.45  Memonitor tanda-tanda infeksi local : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 300
cc warna kemerahan. Infeksi sistemik :
pasien tidak demam, suhu 36 0C. Kondisi
stoma : stoma nampak bagus tidak ada luka
lecet sekitar stoma terpasang kantong stoma
terdapat feses konsistensi encer berwarna
coklat.
08.00  Menggantikan infus tutofusin OPS dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Membuang cairan drain 300 cc berwarna
kemerahan dilakukan oleh dokter.
 Menganjurkan pasien dan keluarga agar
selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien
 Menganjurkan pasien agar mengkonsumsi
makanan TKTP untuk mempercepat proses
penyembuhan luka.
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
09.00 tetes/menit.
 Memasang Levofloxacin infus 750 mg 67
09.30 tetes/menit
 Menggantikan Levofloxacin infus dengan
10.00 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitor EWS 0

67
12.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
16.00 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitr EWS 0
16.10  Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
17.00 tetes/menit.
 Menggantikan Metronidazol infus dengan
17.30 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
13/02/2019 1.
08.00  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, nyeri bertambah bila berubah
posisi, pasien kadang terbangun dari tidur
karena nyeri. Skala nyeri 3.
08.05  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak lebih tenang
dan masih memegang daerah perut ketika
merubah posisi
08.10  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
08.20  Menganjurkan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
09.00  Melayani injeksi Antrain 500 mg iv, tidak
ada reaksi alergi ataupun efek samping obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
09.15
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
wajah lebih tenang
 Mengatur lingkungan yang tenang dan tidak
10.00
berisik, mengatur suhu ruangan dengan
menyalakan kipas angin.
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
17.00 tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
17.15  Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
21.00  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
22.00  Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,

68
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
22.15 obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
13/02/2019 2.
08.05  Mengotrol produksi urine : 800 cc warna
kuning jernih dibuang
08.10  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
08.15  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
08.30  Melakukan perawatan kateter
 Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O
14.00
 Mengotrol produksi urine : 400 cc warna
14.30
kuning jernih dibuang
 Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
14.35 urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
 Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
14.37 merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
 Mengotrol produksi urine : 300 cc warna
kuning jernih dibuang
21.45  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
21.50 tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
 Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang

69
21.52 merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
 Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O

 Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O


22.00
14/02/2019
06.00
13/02/2019 3.
08.10  Memonitor tanda-tanda infeksi lokal : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 50 cc
warna kemerahan. Infeksi sistemik : pasien
tidak demam, suhu 36,60C. Kondisi stoma :
stoma nampak bersih tidak ada luka lecet
sekitar stoma terpasang kantong stoma
produksi feses konsistensi encer berwarna
coklat.
08.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
08.15  Menganjurkan pasien dan keluarga agar
selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien
 Menganjurkan pasien agar mengkonsumsi
08.20
makanan TKTP untuk mempercepat proses
penyembuhan luka : pasien hanya dapat
menghabiskan ½ porsi dari makanan yang
disajikan karena masih merasa mual
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
09.00
tetes/menit.
 Memasang Levofloxacin infus 750 mg 67
09.30 tetes/menit
 Menggantikan Levofloxacin infus dengan
10.00 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitor EWS 0
12.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
16.00 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitor suhu 360C, Nadi 84x/mnt
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
16.10 tetes/menit.
17.00  Menggantikan Metronidazol infus dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
17.30
 Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit

70
14/02/2019  Memonitr EWS 0
00.05

06.00
14/02/2019 1.
08.00  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, namun pasien sudah dapat
beristirahat lebih lama. Skala nyeri 2.
08.05  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak lebih tenang
dan masih memegang daerah perut ketika
merubah posisi
08.10  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
08.20  Menganjurkan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
09.00
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
09.15
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah lebih tenang
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
17.00
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
17.15  Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 2, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
21.00  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi head up 300
22.00  Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
22.15 tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.

71
14/02/2019 2.
08.05  Mengotrol produksi urine : 650 cc warna
kuning jernih dibuang
08.10  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
08.15  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
 Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O
14.00
 Mengotrol produksi urine : 450 cc warna
14.30
kuning jernih dibuang
 Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
14.35
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
 Memonitor kebocoran kateter, selang dan
14.37 kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
 Mengotrol produksi urine : 400 cc warna
kuning jernih dibuang
21.45  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
21.50 tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
 Memonitor kebocoran kateter, selang dan
21.52 kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
 Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O

22.00  Memberikan obat Harnal Ocas 0,4 mg P.O


15/02/2019
06.00

72
14/02/2019 3.
08.10  Memonitor tanda-tanda infeksi lokal : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 100
cc warna kemerahan. Infeksi sistemik :
pasien tidak demam, suhu 36,40C. Kondisi
stoma : stoma nampak bersih tidak ada luka
lecet sekitar stoma terpasang kantong stoma
produksi feses konsistensi encer berwarna
coklat.
08.00  Bersama dokter merawat luka dibersihkan
dengan NaCl 0.9% dan ditutup dengan
sufratule dan kassa steril. Keadaan luka
Nampak kering, tidak ada tanga-tanda
infeksi, tidak ada produksi pus.
08.30  Bersama dokter merawat stoma dan
mengganti kantong stoma, keadaan stoma
bersih, warna merah muda, tidak ada lecet
sekitar stoma. Produksi feces, cair warna
kuning kecoklatan
 Menganjurkan pasien agar mengkonsumsi
09.00
makanan TKTP dalam porsi sedikit tapi
sering dan mengkonsumsi buah-buahan
yang lunak
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
09.30
tetes/menit.
 Memasang Levofloxacin infus 750 mg 67
10.00 tetes/menit
 Menggantikan Levofloxacin infus dengan
12.00 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitor EWS 0
16.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
16.10 infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memonitr EWS 0
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
tetes/menit.
17.00  Menggantikan Metronidazol infus dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
17.30  Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
tetes/menit.
 Menggantikan Metronidazol infus dengan
22.00
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
22.30
 Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan

73
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
15/02/2019  Memonitor EWS 0
00.05

06.00
15/02/2019 1.
14.30  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, namun pasien sudah dapat
beristirahat lebih lama. Skala nyeri 2.
14.35  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak lebih tenang
dan masih memegang daerah perut ketika
merubah posisi
 Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
14.45
rileks dengan posisi head up 300
 Menganjurkan pasien untuk melakukan
14.47
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
17.00 tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
17.15  Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah lebih tenang dan rileks
23.00  Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
23.15 obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.

74
15/02/2019 2.
14.50  Mengotrol produksi urine : 550 cc warna
kuning jernih dibuang
14.55  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
14.57  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
21.45  Mengotrol produksi urine : 400 cc warna
kuning jernih dibuang
 Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
21.50
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
 Memonitor kebocoran kateter, selang dan
21.58
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
15/02/2019 3.
15.10  Memonitor tanda-tanda infeksi lokal : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 150
cc warna kemerahan. Infeksi sistemik :
pasien tidak demam, suhu 36,70C. Kondisi
stoma : stoma nampak bersih tidak ada luka
lecet sekitar stoma terpasang kantong stoma
produksi feses konsistensi encer berwarna
coklat.
16.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
infus Tutofusin OPS 14 tetes/menit
16.10  Memonitor EWS 0
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
17.00
tetes/menit.
 Menggantikan infus Metronidazole dengan
17.30
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
23.00

75
tetes/menit.
23.30  Menggantikan Metronidazol infus dengan
infus Tutofusin OPS 14 tetes/menit
04.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
infus Tutofusin OPS 14 tetes/menit
05.00  Memonitr EWS 0
16/02/2019 1.
08.00  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, namun pasien sudah dapat
beristirahat lebih lama. Skala nyeri 2.
08.05  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak rileks
08.10  Mengatur posisi pasien yang nyaman dan
rileks dengan posisi semi fowler
 Menganjurkan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
 Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
09.00
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
obat.
09.15  Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah rileks
17.00  Memberikan injeksi Antrain 500 mg iv,
tidak ada reaksi alergi ataupun efek samping
17.15 obat.
 Mengobservasi skala nyeri setelah
pemberian analgetik : pasien mengatakan
nyeri berkurang, skala nyeri 1, ekspresi
wajah nampak tenang dan rileks.
16/02/2019 2.
08.05  Mengotrol produksi urine : 550 cc warna
kuning jernih dibuang
08.10  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.

76
08.15  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
14.30  Mengotrol produksi urine : 350 cc warna
kuning jernih dibuang
14.35  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
14.37  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
16/02/2019 3.
08.10  Memonitor tanda-tanda infeksi lokal : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 200
cc warna kemerahan dibuang. Infeksi
sistemik : pasien tidak demam, suhu 36,80C.
Kondisi stoma : stoma nampak bersih tidak
ada luka lecet sekitar stoma terpasang
kantong stoma produksi feses konsistensi
encer berwarna kekuningan.
08.00  Menganjurkan pasien dan keluarga agar
selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien
 Menganjurkan pasien agar mengkonsumsi
08.15
makanan TKTP sedikit tapi sering. Pasien
hanya menghabiskan ¾ dari porsi yang
disiapkan.
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
09.00
tetes/menit.
 Memasang Levofloxacin infus 750 mg 67
09.30 tetes/menit
 Menggantikan Levofloxacin infus dengan
10.00 infus Tutofusin OPS 7 tetes/menit
 Memonitor EWS 0
12.00  Menggantikan infus Tutofusin OPS dengan
16.00 infus Tutofusin OPS 7 tetes/menit
 Memonitr EWS 0

77
 Memasang Metronidazole infus 500 mg 67
16.10 tetes/menit.
17.00  Menggantikan Metronidazol infus dengan
infus Tutofusin OPS 21 tetes/menit
17.30
18/02/2019 1.
08.00  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekwensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Hasil : nyeri dirasakan pada luka operasi di
perut yang dirasakan hilang timbul seperti
diiris-iris, namun pasien sudah dapat
beristirahat lebih lama. Skala nyeri 2.
08.05  Mengidentifikasi respon nyeri non verbal :
ekspresi wajah pasien nampak rileks dan
masih memegang daerah perut ketika
merubah posisi
 Menganjurkan pasien untuk melakukan
08.10
teknik relaksasi atau distraksi ketika nyeri
18/02/2019 2.
08.05  Mengotrol produksi urine : 700 cc warna
kuning jernih dibuang
08.10  Memonitor tanda dan gejala obstruksi aliran
urine : selang kateter dan selang urine bag
tidak terlipat dan aliran urine lancar, posisi
urine bag tergantung disamping tempat tidur
dengan posisi lebih rendah dari kandung
kemih.
08.15  Memonitor kebocoran kateter, selang dan
kantong urine : tidak ada urine yang
merembes melalui kateter ataupun meatus
uretra
 Mengedukasi keluarga cara perawatan
kateter di rumah

78
18/02/2019 3.
08.10  Memonitor tanda-tanda infeksi lokal : luka
operasi di daerah perut terbalut kasa nampak
bersih terpasang drain produksi cairan 200
cc warna kemerahan. Infeksi sistemik :
pasien tidak demam, suhu 36,60C. Kondisi
stoma : stoma nampak bersih tidak ada luka
lecet sekitar stoma terpasang kantong stoma
produksi feses konsistensi encer berwarna
coklat.
08.00  Bersama dokter merawat luka dibersihkan
dengan NaCl 0.9% dan ditutup dengan
sufratule dan kassa steril. Keadaan luka
Nampak kering, tidak ada tanga-tanda
infeksi, tidak ada produksi pus. Drain di aff
dengan produksi 20 cc
08.20  Bersama dokter merawat stoma dan
mengganti kantong stoma, keadaan stoma
bersih, warna merah muda, tidak ada lecet
sekitar stoma. Produksi feces, cair warna
kekuningan
09.00  Melakukan Aff infus

Evaluasi Keperawatan

Hari/Tgl Evaluasi
No Dx TTd
jam
Senin 1. S: Pasien mengatakan nyeri sedikit
11-02-2019 berkurang, namun nyeri bertambah bila
jam 20.45 berubah posisi, dan kadang terbangun
karena nyeri, skala nyeri 3
O: Ku lemah, skala nyeri 3, expresi wajah
meringis, nadi 92 x/menit, regular, kuat.
A: Masalah Nyeri Akut belum teratasi
P: Intervensi no 1,2,3,4,5,7,8,9,10 dilanjutkan
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
spontan tapi sedikit - sedikit
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urine teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,4,5,6,7,8,9,10,11
dilanjutkan
3. S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi di perut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes,

79
suhu 36,5 0C, Nadi 92x/mnt
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
Selasa/12- 1. S: Pasien mengatakan nyeri luka operasi
02-2019 berkurang, sudah dapat beristirahat lebih
Jam 20.45 lama
O: Ku sedang, skala nyeri 2, ekspresi wajah
nampak rileks, Nadi 88 x/ menit
A: Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,4,5,7,8,9 dilanjutkan
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
karena sudah dipasang kateter
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin sebagian besar
teratasi
P: Intervensi no 6,7,8,9,10,11 dilanjutkan.
3 S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes,
suhu 36 0C
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
Rabu, 1. S: Pasien mengatakan nyeri luka operasi
13/02/2019 berkurang, sudah bisa istirahat dengan
Jam 20.45 nyaman
O: Ku sedang, skala nyeri 1, ekspresi wajah
nampak rileks dan tenang, Nadi 84 x/
menit
A: Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,4,5,7,8,9 dilanjutkan
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
karena sudah pasang kateter
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin sebagian teratasi
P: Intervensi no 5,6,7,8,9,10 dilanjutkan
3 S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes, suhu
36 0C, Nadi 84x/mnt regular, kuat
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
Kamis, 1. S: Pasien mengatakan nyeri luka operasi
14/02/2019 berkurang, sudah bisa istirahat lebih lama
Jam 20.45 O: Ku sedang, skala nyeri 2, ekspresi wajah
nampak rileks dan tenang, Nadi 88 x/
menit
A: Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,5,7,8,9 dilanjutkan

80
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
karena sudah pasang kateter
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin sebagian besar
teratasi
P: Intervensi no 6,7,8,9,10 dilanjutkan
3 S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperutampak kering, tidak
ada tanda-tanda infeksi, tidak ada pus,
stoma bersih warna merah muda, tidak
ada lecet sekitar stoma, produksi feces
cair warna kuning kecoklatan, suhu 36 0C
Masalah resiko infeksi tidak terjadi
A: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
P:
Jumat, 1. S: Pasien mengatakan nyeri dirasakan pada
15/02/2019 luka operasi di perut yang dirasakan
Jam 20.45 hilang timbul seperti diiris-iris, namun
pasien sudah dapat beristirahat lebih
lama.
O: Ku sedang, skala nyeri 1, ekspresi wajah
nampak rileks dan tenang, Nadi 88 x/
menit regular kuat
A: Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,5,7,8,9 dilanjutkan
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
karena sudah pasang kateter
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin teratasi sebagian
P: Intervensi no 6,7,8,9,10,11 dilanjutkan.
3 S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes, suhu
36,6 0C
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
Sabtu, 1. S: Pasien mengatakan nyeri luka operasi
16/02/2019 berkurang, sudah bisa istirahat dengan
Jam 20.45 nyaman
O: Ku sedang, skala nyeri 1, ekspresi wajah
nampak rileks dan tenang, Nadi 88 x/
menit
A: Masalah nyeri akut teratasi sebagian
P: Intervensi no 1,2,5,7,8,9 dilanjutkan
2. S: Pasien mengatakan sudah bisa BAK
karena sudah pasang kateter
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin teratasi sebagian

81
P: Intervensi no 6,7,8,9,10 dilanjutkan.
3. S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes, suhu
36,6 0C
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi no 1,2,3,5,6,7,8,9 dilanjutkan
Senin, 1. S: Pasien mengatakan nyeri luka operasi
18/02/2019 berkurang, sudah bisa istirahat dengan
Jam 09.00 nyaman dan pasien sudah dapat
mengontrol nyeri dengan menarik napas
dalam
O: Ku sedang, skala nyeri 1, ekspresi wajah
nampak rileks dan tenang, Nadi 76 x/
menit
A: Masalah nyeri akut teratasi
P: Intervensi dihentikan, pasien pulang
2. S: Pasien mengatakan BAK dengan
menggunakan kateter dan ganti kateter
setiap 2 minggu
O: Tidak ada distensi kandung kemih
A: Masalah retensi urin teratasi sebagian
P: Intervensi dihentikan, pasien pulang
3. S: Pasien mengatakan tidak demam
O: Luka operasi diperut terbalut kasa
nampak bersih kasa tidak merembes, suhu
36,6 0C
A: Masalah resiko infeksi tidak terjadi
P: Intervensi dihentikan, pasien pulang

82

Anda mungkin juga menyukai