Anda di halaman 1dari 23

TUGAS PENDAHULUAN

BLOK RESPIRATORI

Kelompok 3 (B)

Nurulhuda Mursalim (70600117003)

Najdwah Emilia (70600117018)

Audya Bulkis (70600117033)

Apriani (70600117037)

Mulkiyah Zul Fadilah (70600117038)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2019
DIFTERI

A. Definis
Difteri adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae yang merupakan bakteri gram positif fakultatif anaerob dan dapat
menghasilkan eksotoksin.Corynebacterium ulcerans dan Corynebacterium
pseudotuberculosis juga dapat menghasilkan eksotoksin dan menyebabkan penyakit
yang mirip difteri (diphtheria - like diseases). Gejala klinis difteri meliputi:
peradangan pada tenggorok, demam tinggi, dan pembengkakan leher(khas difteri:
“bull-neck”). Terdapat pembentukan membran (pseudomembrane) keputihan pada
tenggorok atau tonsil yang mudah berdarah bila dilepas. Peradangan dapat
menyebabkan kematian dengan menghambat saluran napas.

B. Epidemiologi
Kelompok risiko tinggi penyakit difteri terutama adalah anak-anak (golongan
umur 1-5 tahun) dan lanjut usia Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri 296 kasus
dengan jumlah kasus meninggal 16 orang dengan CFR difteri 4%. Dari 22 provinsi
yang melaporkan adanya kasus difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa
Timur, yaitu 295 kasus yang berkonstribusi sebesar 74%. Dari total kasus tersebut,
37% tidak mendapakan vaksin campak. Sementara pada tahun 2015 terdapat 252
kasus difteri dengan 5 kasus meninggal sehingga CFR 1,98% dan gambaran menurut
umur terbanyak pada usia 5-9 tahun dan 1-4 tahun. Corynebacterium diphtheriae
sebagai penyebab difteri masih banyak tersebar di seluruh daerah di dunia, prevalensi
yang masih tinggi terdapat pada daerah Asia Selatan (India,Nepal dan Banglades),
Asia Tenggara (Indonesia, Filipina, Vietnam, Laos dan Papua New Guinea), Sub
Sahara Afrika (Nigeria), Amerika Selatan (Brazil), dan Timur Tengah (Iraq dan
Afganistan).

C. Etiologi
Difteri dapat ditularkan secara droplet kepada orang yang melakukan kontak
dengan penderita.
Oleh karena itu dalam pelacakan kasus difteri, kontak erat juga harus
melakukan pemeriksaan laboratorium uji spesimen hidung dan tenggorokan. Kejadian
difteri didasarkan adanya interaksi antara komponen host (pejamu),agent (agen), dan
environment (lingkungan). Berubahnya salah satu komponen mengakibatkan
keseimbangan terganggu.Faktor pejamu meliputi:
1) Umur, umur mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan,besarnya risiko
serta sifat resistensi.
2) Jenis kelamin merupakan salah satu variabel deskriptif yang dapat memberikan
perbedaan angka atau rate kejadian pada laki-laki dan perempuan.
3) Status imunisasi, imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan atau
meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit. Imunisasi
untuk penyakit difteri adalah imunisasi DPT (diberikan pada bayi berumur 2-11 bulan
sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu) dan DT (diberikan pada anak kelas 1 SD).
Agen merupakan penyebab yang esensial yang harus ada apabila muncul
penyakit. Agen yang menyebabkan kejadian difteri adalah bakteri C. diphteriae. Agen
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adanya pathogenitas, infekstifitas,
dan virulensi. Faktor lingkungan meliputi:
1) Jenis lantai, syarat penting yang harus diperhatikan pada lantai adalah tidak
berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada waktu musim hujan.
2) Ventilasi, luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai.
3) Suhu, suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan berkisar antara 18oC- 30oC.
4) Kelembaban, kelembaban udara dalam rumah berkisar antara 40%-70%.
5) Kepadatan hunian rumah, kepadatan hunian rumah yang memenuhi syarat adalah ≥
8 m2/org .

Lingkungan merupakan hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas kehidupan manusia.
Lingkungan baik secara fisik maupun biologis, sangat berperan dalam proses terjadinya
gangguan kesehatan masyarakat, termasuk gangguan kesehatan berupa penyakit difteri pada
anak. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar
terhadap status kesehatan.

D. Patogenesis
Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat berkembang
biak pada mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi eksotoksin yang
disebut diphtheriatoxin (dt). Toksin yang terbentuk tersebut kemudian dapat diserap
oleh membran mukosa dan menimbulkan peradangan dan penghancuran epitel saluran
nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit akan menginfiltasi daerah nekrosis sehingga
banyak ditemukan fibrin yang kemudian akan membentuk patchy exudate, yang
masih dapat dilepaskan. Pada keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang
membentuk pseudomembran (membran palsu) dan semakin sulit untuk dilepas serta
mudah berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk pada area tonsil, faring, laring,
bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat menyebabkan
edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat menyebabkan obstruksi
saluran nafas dan kematian pada penderita difteri pernafasan. Toksin kemudian
memasuki peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada jantung
dan jaringan saraf yang memiliki banyak reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi
dan nekrosis pada jaringan tersebut. Bila mengenai jantung akan mengakibatkan
terjadinya miokarditis dan payah jantung, sedangkan pada jaringan saraf akan
menyebabkan polineuropati. Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan
jantung dan gangguan pernafasan.

E. gejala klinik
- Difteri saluran napas

Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx kemudian hidung
dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi, menyebabkan sekret
serosanguinis, purulen, dan rhinitis erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus dangkal
dari nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan
pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali muncul. Separuh pasien
memiliki gejala demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise atau
sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran tonsilar baik
uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis yang dimediasi
oleh toksin), palatum molle, oropharynx posterior, hypopharynx, atau area glotis.
- Difteri hidung

Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus
dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

- Difteri tonsil dan faring

Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri
menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang mudah perdarah, melekat,
berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum
molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang
luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas
membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum
molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,
kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan
terjadi secara berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus
ringan, membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

- Difteri laring

Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria laring
gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring karena mukosa laring mempunyai daya
serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas
atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan dengan gejala sindrom
croup, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada
obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal, dan supraklavikular.
Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria
laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia.
- Difteri kulit

Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus superfisial,
ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya, sulit dibedakan dengan impetigo
akibat Stapyllococcus/ Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada
banyak kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada dermatosis, laserasi, luka
bakar, tersengat atau impetigo. Ekstremitas lebih sering terkena daripada leher atau kepala.
Infeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus respiratorius dengan komplikasi toksin
terjadi pada sebagian kecil penderita difteria kulit.

- Difteri pada tempat lain

C. diphteriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat lain, seperti di telinga
(otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan traktus genitalis (purulen dan
ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis terdapat ulserasi, pembentukan membran dan
perdarahan submukosa membantu dalam membedakan difteria dari penyebab bakteri lain dan
virus. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret
purulen dan berbau.

F. Diagnosa
Diagnosis difteria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
laboratorium. Ditemukan kuman difteria dengan pewarnaan Gram didapatkan bakteri
gram positif. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara flourescent
antibody technique.Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphteriae dengan pembiakan
pada media Loeffler atau dengan media baru Amies dan Stewart dilanjutkan dengan
tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).

Cara menegakkan diagnosa kasus:

kasus difteri dibagi menjadi 3 yaitu:

1) Kasus Suspek adalah orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis atau tonsilitis ditambah
dengan pseudomembran putih keabuan yang tidak mudah lepas dan mudah berdarah di
faring, laring, dan tonsil. 2) Kasus Probable adalah orang dengan suspek difteri ditambah
salah satu dari: pernah kontak dengan kasus (<2 minggu), ada di daerah endemis difteria,
stridor atau bullneck, pendarahan submucusa pada kulit, gagal jantung toksik atau
akut,myocarditis 1-6 minggu setelah onset, dan mati.

3)Kasus Konfirmasi atau Positif adalah orang kasus probable yang hasil isolasi C. diphteriae-
nya positif dan bersifat toksigenik.

G. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap diisolasi selama
2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Khusus Antitoksin: Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan
segera setelah dibuat diagnosis difteria, dengan pemberian antitoksin pada hari
pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun, dengan penundaan
lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
Pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik sehingga harus disediakan larutan
adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS
dakam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20
menit trejadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.
Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien. Pemberian ADS
intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Antibiotik Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan
produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50
mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari),
Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari, kristal aqueous pensilin G (100.000 –
150.000 U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV atau IM), atau Penisilin prokain
(25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk
14 hari. Beberapa pasien dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari.
Eliminasi bakteri harus dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari
hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam setelah terapi selesai. Terapi
dengan eritromisin diulang apabila hasil kultur didapatkan C. Diphteriae
Bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap.
Pengobatan kontak Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi
sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala
klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan
observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid
difteria.
Pengobatan karier Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/iv atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/ adenoidektomi.

H. Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah seorang anak
menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu
imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan
karier.
I. Komplikasi
Komplikasi tersering adalah sumbatan jalan napas atas sebanyak 44%, diikuti
oleh komplikasi jantung sebanyak 30% yang berhubungan dengan angka kematian
yang tinggi.

J. Prognosis
Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum di imunisasi, masih dijumpai
kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Menurut Krugman, kematian mendadak
pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena (1) obstruksi jalan nafas mendadak
diakibatkan oleh terlepasnya membran difteria, (2) Adanya miokarditis dan gagal
jantung, dan (3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus frenikus. Anak
yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah
dilaporkan kelainan jantung yang menetap.

REFERENSI:

1.Hartoyo E.Difteri Pada Anak.2018;19(5):300-306

2.Hutauruk S.M,Fardizza.F,Aristya.S. Tonsilitis difteri dengan sumbatan jalan napas


atas.2018;48(1):95-101

3.Nisak,C,Ariyanto,Y,Baroya,N. Gambaran Karakteristik Individu dan Lingkungan Fisik


Rumah Penderita Difteri dan Kontak Erat di Kabupaten Jember.2014

4.Novriani,H.F.Penatalaksaan Difteri.2014;64(12):541-545

5. Alfina.R, Isfandiari M.A. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERAN


AKTIF KADER

DALAM PENJARINGAN KASUS PROBABLE DIFTERI. Jurnal Berkala


Epidemiologi.2016;3(3):353–365
TONSILITIS

DEFINISI

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus, bakteri, dan jamur yang
masuk secara aerogen atau foodborn. Berdasarkan waktu berlangsung (lamanya) penyakit,
tonsilitis terbagi menjadi 2, yakni tonsilitis akut jika penyakit (keluhan) berlangsung kurang
dari 3 minggu dan tonsilitis kronis jika inflamasi atau peradangan pada tonsil palatina
berlangsung lebih dari 3 bulan atau menetap. Infeksi terjadi terus- menerus karena kegagalan
atau ketidaksesuaian pemberian antibiotic.

EPIDEMIOLOGI

Tonsilitis merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemukan di masyarakat. Angka
kejadian tertinggi terutama antara anak-anak dalam kelompok usia antara 5 sampai 10 tahun
dan dewasa berumur di atas 45 tahun yang mana radang tersebut merupakan infeksi dari
berbagai jenis bakteri. Dan berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi
(Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis
akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%.

ETIOLOGI

Tonsilitis disebabkan oleh infeksi kuman golongan streptococcus atau virus yang dapat
bersifat akut atau kronis. penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan tonsilitis
akut yaitu bakteri aerob Gram positif (yang paling sering) dan Gram negatif. Tonsilitis dapat
menyebar dari orang ke orang melalui kontak tangan, menghirup udara setelah seseorang
dengan tonsilitis bersin atau berbagi peralatan seperti sikat gigi dari orang yang terinfeksi.

Faktor pencetus yang dapat mengakibatkan anak mengalami tonsillitis harus dihindari. Oleh
karena itu anak-anak dengan riwayat pernah menderita tonsillitis diusahakan untuk
menghindari faktor pencetus dengan cara minum banyak air atau cairan seperti sari buah,
terutama selama demam, menghidari minum minuman dingin, sirup, es krim, gorengan,
makanan awetan yang diasinkan, manisan dan makanan yang pedas.

PATOGENESIS

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang
akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh
detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa dengan submandibula. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
bakteri dan epitel yang terlepas. Akibat dari proses ini akan terjadi pembengkakan atau
pembesaran tonsil ini, nyeri menelan, disfagia. Kadang apabila terjadi pembesaran melebihi
uvula dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Apabila kedua tonsil bertemu pada garis tengah
yang disebut kissing tonsils dapat terjadi penyumbatan pengaliran udara dan makanan.
Komplikasi yang sering terjadi akibat disfagia dan nyeri saat menelan, penderita akan
mengalami malnutrisi yang ditandai dengan gangguan tumbuh kembang, malaise, mudah
mengantuk. Pembesaran adenoid mungkin dapat menghambat ruang samping belakang
hidung yang membuat kerusakan lewat udara dari hidung ke tenggorokan, sehingga akan
bernafas melalui mulut. Bila bernafas terus lewat mulut maka mukosa membrane dari
orofaring menjadi kering dan teriritasi, adenoid yang mendekati tuba eustachus dapat
meyumbat saluran mengakibatkan berkembangnya otitis media.

GEJALA KLINIS

kondisi medis yang ditandai dengan adanya peradangan pada tonsil, yang menyebabkan sakit
tenggorokan, kesulitan menelan, demam, dan untuk kasus tertentu dapat memicu terjadinya
serangan jantung atau pneumonia.

DIAGNOSIS

Diagnosis yang dilakukan oleh dokter saat ini masih dilakukan dengan cara langsung
mengecek pada rongga mulut pasiennya, padahal saat menderita tonsilitis pasien akan merasa
sangat kesakitan apabila diminta untuk membuka rongga mulut, terlebih lagi dengan waktu
yang cukup lama. Proses diagnosis dilakukan secara visual dan hasil yang subjektif
tergantung dari keahlian dokter. Untuk itu diperlukan suatu sistem yang dapat membantu dan
mempermudah dokter dalam mendiagnosis dan menjelaskan pada pasien mengenai penyakit
tonsilitis ini.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan tonsilitis meliputi medikamentosa dan operatif. Terapi medikamentosa yaitu


dengan pemberian antibiotika sesuai kultur ditujukan untuk mengatasi infeksi yang terjadi
baik pada tonsilitis akut, maupun tonsilitis rekuren atau tonsilitis kronis eksaserbasi akut.
Penatalaksanaan operatif dengan tindakan tonsilektomi dilakukan apabila terjadi infeksi
berulang atau kronis, gejala sumbatan tenggorok serta kecurigaan neoplasma.tonsilitis kronis
dengan tindakan operatif harus mempertimbangakan indikasi absolut dan indikasi relatif.
Pada tonsil hipertrofi dapat menyebabkan keadaan emergency berupa obstruksi saluran napas
yang merupakan indikasi absolut untuk tindakan tonsilektomi.

Referensi

1. Triastuti N Juni, Dkk. PENGARUH STATUS GIZI DAN TONSILITIS KRONIK


TERHADAP PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SEKOLAH DASAR. Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Vol 7, No. 1. 2015
2. Prasetya1 Gita Zeny, Dkk. PENGARUH SUPLEMENTASI SENG TERHADAP
KEJADIAN TONSILITIS PADA BALITA. Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro. Journal Of Nutrition College. Vol 7, No 4, 2018, Hal 186-194
3. Tanjung Fariz Fadhly. Indikasi Tonsilektomi Pada Laki‐Laki Usia 19 Tahun Dengan
Tonsilitis Kronis. Fakultas Kedokteran Unversitas Lampung . 2016
4. Sang Made Lanang Prasetya1 .Simulasi Deteksi Tonsilitis Mengunakan Pengolahan Citra
Digital Berdasarkan Warna Dan Luasan Pada Tonsil. JNTETI, Vol. 4, No. 1, Februari
2015
ABSES PERITONSILAR

Definisi

Abses peritonsil adalah salah satu dari abses leher dalam yang paling sering ditemukan.
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai
akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok dan sekitarnya.
Abses peritonsil merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan terkumpulnya pus pada
jaringan ikat longgar antara muskulus konstriktor faring dengan tonsil pada fosa tonsil.

Etiologi

Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses
peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.

Epidemiologi

Abses peritonsil biasanya ditemukan pada orang dewasa dan dewasa muda, sekalipun dapat
terjadi pada anak-anak. Abses peritonsilar pada anak-anak dapat terjadi jika sistem
immunnya menurun, dan infeksi ini bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan
pada anak-anak.

Pada penelitian di seluruh dunia dilaporkan insidens abses peritonsil ditemukan 10-37 per
100.000 orang. Di Amerika dilaporkan 30 kasus per100 orang per tahun, 45.000 kasus baru
per tahun. Biasanya unilateral, bilateral jarang ditemukan. Abses peritonsil dapat terjadi pada
umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun, dan tidak ada
perberdaan antara laki-laki dan perempuan.

Gejala Klinis
Gejala klinis berupa rasa sakit tenggorok yang terus menerus hingga keadaan yang
memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri terlokalisir, demam tinggi
(sampai 40°C), lemah dan mual. Odinofagi dapat merupakan gejala menonjol dan pasien
mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibatnya pasien tidak
dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes
keluar. Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi seperti suara hidung,
membesar seperti mengulum kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita berusaha
mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut. Palatum mole tampak membengkak dan
menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral.
Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan,
dan bawah. Palpasi (jika mungkin) dapat membedakan abses dari selulitis.

Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi), sampai nyeri alih
ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid.

Patomekanisme

Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut, walaupun dapat
terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar
di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah
mengeluarkan cairan ludah kedalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan
sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap didalamnya lalu kemudian dievakuasi dan
dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada kelenjar Weber yang
mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Infeksi memasuki kapsul tonsil sehingga
terjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan nanah. Daerah superior dan lateral
fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang
potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada
stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang
hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil ke
tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus
berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m. pterigoid
interna, sehingga timbul trismus. Kelenjar Weber adalah kelenjar mucus yang terletak di atas
kapsul tonsil, kelenjar ini mengeluarkan air liur ke permukaan kripta tonsil. Kelenjar ini bisa
tertinggal pada saat tonsilektomi, sehingga dapat menjadi sumber infeksi setelah
tonsilektomi. Dilaporkan bahwa penyakit gigi dapat memegang peranan dalam etiologi abses
peritonisl. Fried dan Forest menemukan 27% adanya riwayat infeksi gigi. Abses peritonsil
mengalami peningkatan pada penyakit periodontal dibandingkan tonsilitis rekuren.

Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik.
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Pada anamnesis
didapatkan keluhan berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga keadaan yang
memburuk secara progresif walaupun telah diobati, rasa nyeri yang terlokalisir, demam
tinggi, lemah dan mual. Odinofagi dapat merupakan keluhan yang menonjol dan pasien
mungkin kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Pada pemeriksaan tonsil,
pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila
keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak setelah tonsil yang satunya
membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi
jalan nafas akan lebih berat. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau
punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Yang
merupakan “gold standar” untuk mendiagnosis abses peritonsil adalah dengan
mengumpulkan pus dari abses dengan menggunakan jarum aspirasi. Untuk mengetahui jenis
kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan
penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis, juga untuk perencanaan
penatalaksanaan. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium
seperti darah lengkap, pemeriksaan radiologi polos posisi antero-posterior hanya
menunjukkan “distorsi” dari jaringan tetapi tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi
abses, pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens, yang
menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena, di samping itu juga dapat dilihat
pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana
operasi. Ultrasonografi merupakan teknik yang sederhana dan noninvasif dapat membantu
dalam membedakan antara selulitis dan awal abses.
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat, untuk mencegah obstruksi pernafasan
dan mencegah meluasnya abses ke ruang parapfaring dan mediastinum dan basis kranii.

Setelah dibuat diagnosa abses peritonsil, segera dilakukan aspirasi kemudian insisi abses dan
drainase. Masih ada kontroversi antara insisi drainase dengan aspirasi jarum saja, atau
dilanjutkan dengan insisi dan drainase, Gold standard adalah insisi dan drainase abses. Pus
yang diambil dilakukan pemeriksaan kultur dan resistensi test

Penanganan meliputi, menghilangkan nyeri, dan antibiotik yang efektif mengatasi


Staphylococcus aureus dan bakteri anaerob. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika
golongan penisliin atau klindamisin, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan
cairan hangat. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme
pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan “drug of chioce” pada abses peritonsil dan efektif
pada 98% kasus jika yang dikombinasikan dengan metronidazole. Metronidazole merupakan
antimikroba yang sangat baik untuk infeksi anaerob.

Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak
12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah
abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tindakan tonsilektomi juga dilakukan
pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang
jaringan sekitarnya.

Komplikasi

Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan makanan yang
kurang. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi paru atau pyemia,
penjalaran infeksi abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring, penjalaran ke
daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus kavenosus, meningitis dan abses otak.

Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan menghasilkan gejala sisa neurologis
yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran abses adalah
endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan. Pembengkakan yang timbul di
daerah supraglotis dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan
trakeostomi. Keterlibatan ruang-ruang faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil
mungkin memerlukan drainase dari luar melalui segitiga submandibular.

Prognosis

Pemberian antibiotik yang adekuat dan drainase abses merupakan penanganan yang
kebanyakan hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi penyembuhan. Dalam jumlah kecil,
diperlukan tonsilektomi beberapa lama kemudian. Bila pasien tetap mengeluh sakit tenggorok
setelah insisi abses, maka tonsilektomi menjadi indikasi. Kekambuhan abses peritonsil pada
usia lebih muda dari 30 tahun lebih tinggi terjadi, demikian juga bila sebelumnya menderita
tonsilitas sebelumnya sampai 5 episode

Referensi

1. Marbun E M. Diagnosis, Tata laksana dan Komplikasi Abses Peritonsilar. 2016; 22


(6): 42-47.

2. Palasari A, Hadi P. Tata laksana Ulkus yang Disebabkan oleh Pecahnya Abses
Peritonsilar. 2011; 10 (3): 166-168.

3. Sari N, Putra E, Budayanti N. Karakteristik Penderita Abses Peritonsilar di RSUP


Sanglah Denpasar Periode Tahun 2010-2014. 2018; 49 (2): 161-165

4. Septiani R. Abses Peritonsiler Bilateral Komplikasi dari Tonsilitis Akut. 2015

5. Afdhal M. Abses Leher Dalam. 2015


PSEUDO CROUP ACUTE EPIGLOTITIS

Definisi

Croup ditandai dengan onset tiba-tiba, paling umum pada malam hari, batuk
menggonggong, stridor inspirasi, suara serak, dan gangguan pernapasan karena obstruksi
jalan napas bagian atas. Gejala-gejala kelompok sering didahului oleh gejala-gejala seperti
infeksi saluran pernapasan bagian atas. Diagnosis yang paling penting untuk membedakan
dari kelompok adalah trakeitis bakteri, epiglottitis, dan inhalasi benda asing. Beberapa
peneliti membedakan subtipe croup.

Etiologi

Diantara penyebab croup, yang tersering adalah virus. Diatara virus-viorus tersebut
adalah Human Parainfluenza virus Respiratory Syntitial virus (RSV), metapneumovirus,
virus influenza A dan B, Adenovirus, dan Corona virus. Sekitar 75% disebabkan oleh
parainfluenza virus tipe I. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma pneumonia
pernah juga ditemukan sebagai penyebab croup.

Patofisiologi

Biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri. Infeksi ini akan menyebabkan edema dan
perdangan epiglotis dan jaringan sekitarnya. Jalan napas menjadi tersumbat akibat
pembengkakan epiglotis. Terjadi gangguan dan obstruksi jalan napas. Anak- anak dengan
luka bakar terutama karena akibat air panas juga harus diamati dengan hati- hati.

Dari sumber lain

Dalam perjalanan penyakit croup, infeksi virus dimulai dari nasofaring dan kemudian
menyebar ke epitelium trakhea dan laring. Inflamasi, hiperemis dan edema disebabkan oleh
invasi virus kedalam mukosa laring. Gejala awala yang muncul pada croup biasanyadidahuliu
dengan coryza, demam yang tidak begitu tinggi, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk
ringan dapat disertai malaise.

Manifestasi Klinis
Dalam perjalanan penyakit Croup, infeksi virus dimulai dari nasofaring dan kemudian
menyebar ke epitelium trakhea dan laring. Inflamasi, hiperemis dan edema disebabkan oleh
invasi virus ke dalam mukosa laring. Gejala awal yang muncul pada croup biasanya didahului
dengan coryza, demam yang tidak begitu tinggi selama 12-17 jam, hidung berair, nyeri
menelan, dan batuk ringan dapat disertai malaise. Pada kasus tertentu, demam dapat
mencapai 40o C.

Penderita croup dapat mengalami suara serak (parau). Hal ini diawali dengan
terjadinya peradangan difus, eritema, dan edem pada trakhea. Akibatnya, mobilitas pita suara
terganggu. Disamping itu, area subglotis juga mengalami iritasi.

Penyempitan di daerah area subglotis menyebabkan penyempitan saluran. Inilah yang


menjadi penyebab terjadinya turbulensi aliran yang melewati saluran pernafasan atas.

Akibatnya, timbul stidor. Kesulitan bernafas ini akan dikompensasi oleh anak dengan
bernafas lebih cepat dan dalam. Selama inspirasi, dinding dada dapat mengalami retraksi.
Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan.
Hiposia dan hiperkapnia yang dialami penderita dapat menyebabkan gagal nafas dan bahkan
henti nafas. Keluhan sesak nafas dan retraksi intercostal sebagai petunjuk telah terjadi
keadaan memberat.

Diagnosis

Diagnosis Croup ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan


penunjang. Croup sendiri merupakan sindrom klinis dengan gejala-gejala klasik yg spesifik.
Suara serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, ditemukan pada pemeriksaan fisik.
Kadang-kadang disertai dngan hidung berair, peradangan faring dan frekuensi nafas yang
sedikit meningkat. Gambaran radiologis berupa steeple sign (seperti menara) ditemukan pada
pemeriksaan radiologis leher posisi antero-posterior. Pada croup, struktur epiglotis dan
arieepiglotis akan terlihat normal. Pada dasarnya, gambaran seperti menara rongent leher
terjadi karena penyempitan di saluran nafas di bawah subglotis. Pada pemeriksaan radiologis,
beberapa penyakit memperlihatkan gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran
nafas yang spesifik. Pada trakheitis, misalnya, tampak gambaran membran trakhea yang
compang-campig. Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotis yang menebal. Sebaliknya,
pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang menonjol. Untuk
mengelimir diagnosis banding pada croup, pemeriksaan rongent thorak anteroposterior dan
lateral juga perlu dibuat. Ini dimaksudkan untuk melihat kelainan paru serta kelainan saluran
nafas bawah yang terkadang menyerupai croup

Pemeriksaan Penunjang

Untuk kepentingan diagnosis, beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan, baik


pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan pencitraan. Namun, pemeriksaan tersebut
diperlukan terutama pada kasus berat. Untuk kasus croup secara umum, pemeriksaan
penunjang yang lebih khusus tidak begitu diperlukan karena diagnosis biasanya dapat
ditegakkan hanya dngan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisis.

Terdapat dua pemeriksaan pencitraan yang dilakukan pada kasus croup. Kedua
pemeriksaan penunjang tersebut adalah: Foto rontgen leher dan CT-Scan leher. Pada
pemeriksaan radiologis leher posisi posteroanterior, pada kasus croup, dapat ditemukan
udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan kolumna
subglotis.

Untuk mempertegas diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, maka pada


kasus tertentu diperlukan pemeriksaan CT-Scan leher. Dengan pemeriksasan penunjang ini,
kita dapat lebih jelas mendeteksi penyebab obstruksi pada pasien dengan keadaan klinis yang
lebih berat.

Pemeriksaan penunjang lainnya adalah laringoskop atau bronkhoskopi. Kedua


pemeriksaam ini biasanya tidak diperlukan pada kasus dengan gejala yang khas, atau
diagnosis dapat dibuat dengan mudah. Pemeriksaan laringoskop atau bronkhoskopi dibuat
bila kecurigaan croup mengenai bayi kurang dari 6 bulan.

Klasifikasi

Kondisi pasien croup bervariasi sesuai dengan derajad distres pernafasan yang
diderita. Berdasarkan derajad kegawatan, Croup dibagi menjadi 4 katagori, yaitu: ringan,
sedang, berat dan gagal nafas mengancam. Adapun gambaran klinis dari keempat kondisi
klinis croup tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ringan. Pada croup derajad ringan, hanya ditemukan adanya batuk keras, menggonggong
yang kadang-kadang muncul. Sebaliknya stridor tidak terdengar ketika pasien
beristirahat/tidak beraktivitas, dan retraksi dengan dinding dada.
2. Sedang. Keluhan berupa batuk menggonggong yang sering timbul. Stridor juga mudah
didengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, Sebaliknya, retaksi dinding dada hanya
sedikit terlihat, tetapi tidak ada gawat nafas (respiratory distress).

3. Berat. Pada croup derajad berat ini, batuk menggonggong sering timbul. Ketika pasien
beristirahat, stridor inspirasi terdengar jelas. Kadang-kadang, pada croup derajad berat ini
disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, dan gawat nafas.

4. Gagal Nafas mengancam. Pada derajad ini, batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar.
Namun, stridor kadang-kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat. Disamping itu,
ditemukan gangguan kesadaran, dan letargi.

Berat ringannya croup juga dapat dinilai dengan menggunakan Wesley Score. Dalam
penilaian dengan Wesley Score digunakan beberapa parameter, yaitu: ada tidaknya stridor
inspirasi, ada tidaknya retraksi intercostal, udara masuk, sianosis dan tingkat kesadaran.

Derajad croup dinilai berdasarkan jumlah skor dari penjumlahan parameter skor Wesley.
croup derajad ringan jika julah skor Wesley kurang dari 4. Dikatakan croup derajad sedang
jika Score Wesley antara 4 dan 6. Sebaliknya, dikatakan croup derajad berat jika skor Wesley
lebih dari 6

Tatatalaksana

Prinsip dasar dalam tatalaksana croup adalah mengatasi obsruksi jalan nafas. Dengan
demikian, kebutuhan oksigen tetap terpenuhi. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam
tatalaksana croup ini adalah: pemberian oksigen, epinefrin, kortikosteroid, dan tindakan
intubasi. Tatalaksna lainnya adalah pemberian antipiretik dan antibiotika (jika ada tandatanda
infeksi bakteri).

Dari segi usia, penderita croup yang perlu dirawat di rumah sakit adalah: anak yang
berusia dibawah 6 bulan. Beberapa kondisi klinis yang memerlukan perawatan di rumah sakit
adalah: gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi dan anak tampak toksik. Jika
pada penderita croup terdengar stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirahat,
terdapat gejala gawat nafas, hipoksemia juga membutuhkan perawatan di rumah sakit.

Oksigen dan epinefrin secara nebulisasi diberikan kepada penderta croup sedang dan
berat. Oksigen diberikan pada anak dengan hipoksia (saturasi oksigen pada udara ruangan
<92%) dan distress pernafasan yang signifikan.4,12 Nebulisasi epinefrin seringkali
digunakan untuk meredakan gejala akut sindrom croup. Tetapi hal ini dapat menimbulkan
beberapa efek samping seperti takikardia dan hipertensi. Selain itu, efeknya hanya hanya
sebentar (< 2 jam) dan segera sesudah efek tersebut hilang, maka gejala akan muncul kembali
(rebound phenomenon). Efek dari pemberian nebulisasi epineprin adalah menurunkan
permeabilitas vaskuler epitel bronkhus dan trakhea, memperbaiki edema mukosa laring, dan
meningkatkan laju udara pernafasan. Pada penelitian dengan metode double blind, efek terapi
nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan selama 2 jam.

Epinefrin diberikan dengan dosis 0,05 ml/kgBB dar 2,25% epinefrin resemik
(maksimal. 0,5 mL) dalam 3-5 mL NaCl fisiologis. Epinefrin ini diberikan melalui alat
nebulisasi setiap 2 jam. Efek yang ditimbulkan kurang sama efektifnya dengan nebulisasi 0,5
mL/kgBB epinefrin 1/10.000 tanpa pengenceran dengan NaCl fisiologis (maks 5 mL).

Pada sindrom Croup berat yang tidak responsif terhadap terapi lain, maka Intubasi
endotrakheal merupakan salah satu alternatif. Tatalaksana lainnya berupa trakheostomi. Ini
dimaksudkan untuk mengatsi obstruksi jalan nafas sesegera mungkin dan sekaligus menjamin
suplai oksigen.10,13

Intubasi endotrakheal dilakukan bila terdapat hipercarbia dan ancaman gagal


nafas.4,13 Selain itu, intubasi juga diperlukan bila terdapat peningkatan sridor, peningkatan
frekuensi nafas, peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding dada, sianosis, letargi, atau
penurunan kesadaran. Intubasi endotrakheal yang dilakukan ini hanya bersifat sementara. Jika
edema laring hilang/teratasi maka intubasi dihentikan.

Prognosis

Sebagian besar pasien akan sembuh tanpa gejala jika pengobatan dilakukan secara
dini dilakukan dan pengobatan yang tepat. Kematian bisa terjadi apabila terjadi obstruksi
jalan napas yang tidak ditangani segera. Penanganan yang cepat menghasilkan progniosis
yang baik.

Referensi

1. Bakhtiar. Menifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis dan tatalaksana croup


pada anak. 2016; 3 : 185-190
2. Johnson david. Croup . clinicalEvidence 2013
3. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 2015
4. Clinical Quality & Patient Safety Unit, QAS. Respiratory/ Epiglotitis. 2016
5. Https://Emedicine.Medscape.Com/Article/962972

Anda mungkin juga menyukai