BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Atonia Uteri adalah keadaan lemahnya atau gagalnya tonus/ kontraksi otot rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta
setelah bayi dan plasenta lahir (Karkata, 2009).
Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini
terjadi maka darah yang akan keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak
terkendali (APN, 2008).
Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat miometrium
terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat implantasi
plasenta. Atoni uteri terjadi karena miometrium tidak dapat berkontraksi. Atonia uteri merupkan
penyebab tersering penyebab perdarahan postpartum, sekurang-kurangnya 2/3 dari semua
perdarahan postpartum disebabkan oleh atoni uteri (Depkes RI, 2009).
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga
uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi
oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada
atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang
lepas sebagian atau lepas seluruhnya. Atonia uteri menyebabkan terjadinya perdarahan yang cepat
dan parah dan juga shock hypovolemik. Dari semua kasus perdarahan postpartum sebesar 70 %
disebabkan oleh atonia uteri.
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting
dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan postpartum, lapisan tengah miometrium
tersusun sebagai anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing-masing serabut
mempunyai dua buah lengkungan sehingga setiap dua buah serabut kira-kira membentuk angka
delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti diatas, jika otot berkontraksi akan
menjempit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan
menyebabkan terjadinya perdarahan postpartum.
2.2 Faktor-Faktor Predisposisi
1. Uterus yang teregang/distensi berlebihan : Kehamilan kembar, anak sangat besar (BB
>4000 gram) dan polihidramnion
2. Kehamilan lewat waktu
3. Partus lama
4. Grande multipara
5. Penggunaan uterus relaxants (Magnesium sulfat)
6. Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia )
7. Perdarahan antepartum (Plasenta previa atau Solutio plasenta)
8. Riwayat perdarahan postpartum;
9. Obesitas
10. Umur > 35 tahun
11. Tindakan operasi dengan anestesi terlalu dalam.
12. Persalinan cepat (partus presipitatus).
13. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin (augmentasi)
2.3 Etiologi
1. Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan difungsi intrinsic uterus
2. Penatalaksanaan yang salah pada kala III. Mencoba mempercepat kala III dengan
dorongan dan pemijatan uterus sehingga mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan
plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan
perdarahan.
3. Anetesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksas miometrium yang berlebihan,
kegagalan kontraksi dan retraksi menyebabkan atonia uteri dan perdarahan postpartum.
4. Kerja uterus sangat kurang efektif selama kala persalinan yang kemungkinan besar akan
diikuti oleh kontraindikasi serta retraksi miometrium jika dalam kala III.
5. Overdistensi uterus : uterus yang mengalami distensi secara berlebihan akibat keadaan
bayi yang besar, kehamilan kembar, polihidramnion, cenderung mempunyai daya
kontraksi yang jelek.
6. Kelemahan akibat partus lama : bukan hanya rahim yang lemah, cenderung berkontraksi
lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang keletihan kurang bertahan terhadap
kehilangan darah.
7. Grande-multipara : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung bekerja tidak
efisien dalam semua kala persalinan.
8. Mioma iteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu kontraksi dan retraksi
miometrium uteri.
9. Melahirkan dengan tindakan : keadaan ini mencakup prosedur operatif seperti forsep dan
versi ekstraksi.
2.4 Pencegahan
Atonia uteri dapat dicegah dengan Manajemen Aktif Kala III, yaitu:
1. Memberikan obat oksitosin 10 IU segera setelah bahu bayi lahir
2. Melakukan penegangan tali pusat terkendali
3. Masase uterus segera setelah plasenta dilahirkan agar uterus tetap berkontraksi.
2.5 Manajemen Atonia Uteri
Manajemen Standar
1. Masase Uterus
2. Kompresi Uterus Bimanual
3. Pemberian Uterotonika.
Manajemen Bedah
1. Tampon Uterus Internal
2. Pelvic Pressure Pack
3. Embolisasi
4. Jahitan Compression
5. Ligasi Arteri Iliaka Interna (Hipogastrika)
6. Histerektomi Peripartum.
a. Masase Uterus
Masase uterus dilakukan dengan membuat gerakan meremas yang lembut
berulang-ulang dengan satu tangan pada perut bagian bawah untuk merangsang uterus
berkontraksi. Hal ini diyakini bahwa gerakan berulang seperti ini akan merangsang
produksi prostaglandin dan menyebabkan kontraksi uterus dan mengurangi kehilangan darah,
meskipun hal ini akan mengakibatkan ketidaknyaman atau bahkan menyakitkan.
b. Kompresi Bimanual
Kompresi bimanual adalah suatu tindakan untuk mengontrol dengan segera homorrage
postpartum. Dinamakan demikian karena secara literatur melibatkan kompresi uterus diantara
dua tangan (Varney, 2009). Menekan rahim diantara kedua tangan dengan maksud
merangsang rahim untuk berkontraksi dan mengurangi perdarahan (DEPKES RI, 2009).
Tindakan darurat yang dilakukan untuk menghentikan perdarahan pasca salin (DEPKES RI,
1997). Kompresi bimanual dibagi dalam dua cara yaitu :
1. Kompresi bimanual interna
1) Pakai sarung tangan DTT atau steril, dengan lembut masukkan secara
obstetric(menyatukan kelima jari) melalui introitus dan ke dalam vagina ibu.
2) Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban/ bekuan darah pada kavum uteri
mungkin hal ini menyebabkan uterus tak dapat berkontraksi secara penuh.
3) Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan dinding anterior
uterus ke arah tangan luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus ke
arah depan sehingga uterus ditekan dari arah depan dan belakang.
4) Tekan kuat uterus di antara kedua tangan. Kompresi uterus ini memberikan tekanan
langsung pada pembuluh darah yang terbuka (bekas implantasi plasenta) di dinding
uterus dan juga merangsang miometrium berkontraksi.
5) Evaluasi keberhasilan :
Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan KBI selama
2 menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dan pantau ibu secara melekat
selama kala 4.
Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan masih berlangsung, periksa ulang perineum,
vagina dan serviks apakah terjadi laserasi. Jika demikian, segera lakukan penjahitan
untuk menghentikan perdarahan.
Jika uterus tiak berkontraksi dalam waktu 5 menit, ajarkan keluiarga untuk
melakukan KBE kemudian lakukan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri
selanjutnya. Minta keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.
6) Berikan 0,2 mg ergometrin IM atau misoprotrol 600-1000 mcg per rectal. Jangan berikan
ergometrin kepada ibu dengan hipertensi karena dapat menaikkan tekanan darah.
7) Gunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infuse dan berikan 500 cc
larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit oksitosin.
8) Pakai sarung tangan steril atau desinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI. Alasan : KBI
dengan ergometrin dan oksitosin akan membantu uterus berkontraksi.
9) Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit.
10) Sambil membawa ibu ke tempat rujukan, teruskan tindakan KBI dan infuse
cairan hingga ditempat rujukan.
Infus 500 ml pertama dihabiskan dalam waktu 10 menit
Berikan tambahan 500 ml.jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga jumlah
cairan yang diinfuskan mancapai 1,5 L dan kemudian lanjutkan dalam jumlah 125
cc/jam.
Jika cairan infuse tidak cukup, infuskan 500 mm (botol kedua) cairan infuse dengan
tetesan sedang dan ditambah dengan pemberian cairan secara oral untuk rehidrasi.
2. Kompresi bimanual eksterna
1) Letakkan satu tangan pada dinding abdomen dan dinding depan korpus uteri dan diatas
simfisis pubis.
2) Letakkan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding belakang korpus uteri, sejajar
dengan dinding depan korpus uteri. Usahakan untuk mencakup/ memegang bagian
belakang uterus seluas mungkin.
3) Lakukan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan tangan depan dan belakang
agar pembuluh darah di dalam anyaman miometrium dapat dijepit secara manual. Cara
ini dapat menjepit pembuluh darah dan membantu uterus untuk berkontraksi.(APN,
2008).
3. Kompresi Aorta Abdominal
Kompresi manual pada aorta harus dilakukan hanya pada kasus hemoragi yang berat, jika
kompresi internal dan eksternal pada uterus tidak efektif. Kompresi aorta dilakukan hanya
pada kondisi kedaruratan saat penyebab perdarahan sedang ditentukan.
1) Baringkan ibu diatas ranjang, penolong menghadap sisi kanan pasien. Atur posisi
penolong sehingga pasien berada pada ketinggian yang sama dengan pinggul
penolong.
2) Tungkai diletakkan pada dasar yang rata (tidak memakai penopang kaki) dengan
sedikit fleksi pada artikulasio koksae.
3) Raba pulsasi arteri femoralis dengan jalan meletakkan ujung jari telunjuk dan tengah
tangan kanan pada lipat paha, yaitu pada perpotongan garis lipat paha dengan garis
horisontal yang melalui titik 1 sentimeter diatas dan sejajar dengan tepi atas simfisis
ossium pubis. Pastikan pulsasi arteri teraba dengan baik.
4) Setelah pulsasi dikenali, jangan pindahkan kedua ujung jari dari titik pulsasi tersebut.
5) Kepalkan tangan kiri dan tekankan bagian punggung jari telunjuk, tengah, manis dan
kelingking pada umbilikus ke arah kolumna vertebralis dengan arah tegak lurus.
6) Dorongan kepalan tangan kanan akan mengenai bagian yang keras di bagian tengah/
sumbu badan ibu dan apabila tekanan kepalan tangan kiri mencapai aorta abdominalis
maka pulsasi arteri femoralis (yang dipantau dengan ujung jari telunjuk dan tengah
tangan kanan) akan berkurang/ terhenti (tergantung dari derajat tekanan pada aorta).
7) Perhatikan perubahan perdarahan pervaginam (kaitkan dengan perubahan pulsasi
arteri femoralis).
Perhatikan:
Tekanlah aorta abdominalis di atas uterus dengan kuat dan dapat dibantu dengan
tangan kiri, selama 5 sampai 7 menit.
Lepaskan tekanan sekitar 30 sampai 60 detik, sehingga bagian lainnya tidak terlalu
banyak kekurangan darah.
Bila perdarahan berhenti sedangkan uterus tidak berkontraksi dengan baik,
usahakan pemberian preparat prostatglandin. Bila bahan tersebut tidak tersedia atau
uterus tetap tidak dapat berkontraksi setelah pemberian prostatglandin, pertahankan
posisi demikian hingga pasien dapat mencapai fasilitas rujukan.
Bila kontraksi membaik tetapi perdarahan masih berlangsung maka lakukan
kompresi eksternal dan pertahankan posisi demikian hingga pasien mencapai
fasilitas rujukan.
Bila kompresi sulit untuk dilakukan secara terus menerus maka lakukan
pemasangan tampon padat uterovaginal, pasang gurita ibu dengan kencang dan
lakukan rujukan.
Kompresi baru dilepaskan bila perdarahan berhenti dan uterus berkontraksi dengan
baik. Teruskan pemberian uterotonika.
8). Bila perdarahan berkurang atau berhenti, pertahankan posisi tersebut dan
lakukan pemijatan uterus (oleh asisten) hingga uterus berkontraksi dengan baik.
c. Pemberian Uteronika
1) Oksitosin
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis.
Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah
oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi
menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara im atau iv, untuk perdarahan aktif
diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan
oksitosin 10 IU intramiometrikal. Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit
ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang
ditemukan.
Dengan menggunakan terapi uterotonika yang sesuai dan tepat waktu, mayoritas
wanita dengan atonia uterus dapat menghindari intervensi bedah. Stimulasi kontraksi uterus
biasanya dicapai dengan pemijatan uterus bimanual dan injeksi oksitosin (baik secara
intramuskuler atau intravena), dengan atau tanpa ergometrine. oksitosin melibatkan
stimulasi dari segmen uterus bagian atas untuk kontraksi secara ritmik. Karena oksitosin
mempunyai half-life dalam plasma pendek (rata-rata 3 menit), infus intravena secara
kontinu diperlukan untuk menjaga uterus berkontraksi . Dosis biasa adalah 20 IU
dalam 500 ml larutan kristaloid, dengan tingkat dosis disesuaikan dengan respon (250 ml /
jam). Ketika diberikan secara intravena, puncak konsentrasi dicapai setelah 30 menit.
Sebaliknya, jika diberikan secara intramuskular mempunyai onset yang lebih lambat (3-7
menit) tetapi efek klinis berlangsung lama (hingga 60 menit).
2). Methyl Ergometrine
Berbeda dengan oksitosin, ergometrine menyebabkan kontraksi tonik yang terus
menerus melalui stimulasi reseptor α-adrenergik miometrium terhadap kedua segmen
bagian atas dan bawah uterus dengan demikian dirangsang untuk berkontraksi secara
tetanik. Suntikan intramuskular dosis standar 0,25 mg dalam permulaan aksi 2-5 menit.
Metabolismenya melalui rute hepar dan half-life nya dalam plasma adalah 30 menit.
Meskipun demikian, dampak klinis dari ergometrine berlangsung selama sekitar 3
jam. Respon oksitosin segera dan ergometrine lebih berkelanjutan.
3). Misoprostol
Alternatif dari pemberian tampon selain dengan kassa juga dipakai beberapa cara
yaitu dengan menggunakan : Sengstaken-Blakemore tube, Rusch urologic hydrostatic ballon
chateter (Folley Catheter) atau SOS Bakri tamponade ballon catheter. Pada tahun 2003
Sayeba Akhter, dkk mengajukan alternative baru dengan pemasangan kondon yang
diikatkan pada kateter. Dari penelitiannya disebutkan angka keberhasilannya 100%,
kondom dilepas 24-48 jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Cara
ini kemudian disebut dengan Metode Sayeba. Cara pemasangannya adalah secara
aseptik kondom yang telah diikatkan pada kateter dimasukkan ke dalam kavum uteri.
Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis sebanyak 250-500 cc sesuai kebutuhan.
Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian kondom dihentikan ketika perdarahan sudah
berkurang. Untuk menjaga kondom tetap berada didalam kavum uteri, dipasang kasa
tampon gulung di vagina. Bila perdarahan berlanjut tampon kassa akan basah dan darah
keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip oksitosin
paling tidak sampai dengan 6 jam kemudian. Diberikan antibiotic tripel, Amoksisilin,
Metronidazol, dan Gentamisin. Kondom kateter dilepas 24-48 jam kemudian, pada
kasus dengn perdarahan berat, kondom dapat dipertahankan lebih lama (Danso D and
Reginald PW, 2006).
NO PROSEDUR
1. Informed consent dikerjakan
dengan benar :
o Kondisi ibu diinformasikan
o Prosedur tindakan dijelaskan
o Koordinasi ibu dan keluarga
diminta
2. Persiapan :
o Prinsip sterilisasi (PI)
dilaksanakan (scort & sarung
tagan DTT telah terpasang
dengan benar)
o Persiapan alat-alat :
1) Cairan RL
2) Infus set
3) Kondom
4) Hanskun 1 pasang
5) Folly cateter
6) Spekulum Sim 2
7) Tampon tang 1
8) Ring tang 1
9) Benang
3. Memasang kateter menetap
Memasang kondom pada kateter
kemudian diikat dengan benang
(ujung kateter sedikit dipotong,
beri jarak sekitar 2 cm antar ujung
kondom dan ujung kateter, bisa
gunakan 2 kondom untuk
antisipasi kondom robek)
Jakarta : EGC.
Jakarta : EGC
DAFTAR PUSTAKA
A. Syok Hemoragik
Syok Hemoragik merupakan syok yang disebabkan oleh perdarahan yang
banyak yang dapat disebabkan oleh perdarahan antepartum seperti plasenta previa,
solusio plasenta, dan rupture uteri, juga disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan
seperti atonia dan laserasi serviks/vagina. gejala klinik syok hemoragik bergantung
pada jumlah perdarahan yang terjadi mulai dari yang ringan sampai berat seperti
terlihat pada tabel berikut.
Klasifikasi Perdarahan
Pada syok yang ringan gejala-gejala dan tanda tidak jelas, tetapi adanya syok
yang ringan dapat diketahui dengan “tilt test” yaitu bila pasien didudukan terjadi
hipotensi dan/atau takikardia, sedangkan dalam keadaan berbaring tekanan darah dan
frekuensi nadi masih normal.
Fase Syok
Perempuan hamil normal mempunyai toleransi terhadapa perdarahan 500-
1000 ml pada waktu persalinan tanpa bahaya oleh karena daya adaptasi fisiologik
kardiovaskular dan hematologik selama kehamilan. jika perdarahan terus berlanjut,
akan timbul fase-fase syok sebagai berikut.
a. Fase Kompensasi
Rangsangan/reflex simpatis: Respon pertama terhadap kehilangan darah
adalah vasokontriksi pembuluh darah perifer untuk mempertahankan pasokan
darah ke organ vital.
gejala klinik: pucat, takikardia, takipnea.
b. Fase Dekompensasi
Perdarahan lebih dari 1000 ml pada pasien normal atau kurang karena factor-
faktor yang ada
Gejala klinik: sesuai gejala klinik syok diatas
Terapi yang adekuat pada fase ini adalah memperbaiki keadaan dengan cepat
tanpa meninggalkan efek samping
c. Fase Kerusakan Jaringan dan Bahaya Kematian
Penanganan perdarahan yang tidak adekuat menyebabkan hipoksia
jaringan yang lama dan kenatian jaringan dengan akibat berikut:
1. Asidosis metabolik: disebabkan metabolisme anaerob yang terjadi karena
kekurangan oksigen
2. Dilatasi arteriol: akibat penumpukan hasil metabolisme selanjutnya
menyebabkan penumpukan dan stagnasi darah di kapilar dan keluarnya cairan
ke dalam jaringan ekstravaskular
3. Koagulasi intravaskular yang luas disebabkan lepasnya tromboplastin dari
jaringan yang rusak
4. Kegagalan jantung akibat berkurangnya aliran darah koroner
5. Dalam fase ini kematian mengancam. Transfusi darah saja tidak cukup
adekuat lagi dan jika penyembuhan dari fase akut terjadi, sisa-sisa
penyembuhan akibat nekrosis ginjal dan/atau hipofise akan timbul
Penanganan
Jika terjadi syok, tindakan yang harus segera dilakukan antara lain sebagai
berikut:
1. Cari dan hentikan segera penyebab perdarahan
2. Bersihkan saluran napas dan beri oksigen atau pasang selang endotrakheal
3. Naikkan kaki ke atas untuk meningkatkan aliran darah ke sirkulasi sentral
4. Pasang 2 set infuse atau lebih untuk transfuse, cairan infuse dan obat-obat IV
bagi pasien yang syok. Jika sulit mencari vena, lakukan/pasang kanul
intrafemoral.
5. Kembalikan volume darah dengan:
a. Darah segar (whole blood) dengan cross-metched dari grup yang sama, kalau
tidak tersedia berikan darah O sebagai life-saving
b. Larutan kristaloid: seperti ringer laktat, larutan garam fisiologis atau glukosa
5%. Larutan-larutan ini mmempunyai waktu paruh (half life) yang pendek
dan pemberian yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru
c. Larutan koloid: dekstran 40 atau 70, fraksi protein plasma (plasma protein
fraction), atau plasma segar
6. Terapi obat-obatan
a. Analgesik: morfin 10-15 mg IV jika ada rasa sakit, kerusakan jaringan atau
gelisah
b. Kortikosteroid: hidrokortison 1 g atau deksametason 20 mg IV pelan-pelan.
Cara kerjanya masih kontroversial, dapat menurunkan resistensi perifer dan
meningkatkan kerja jantung vdan meningkatkan perfusi jaringan
c. Sodium bikarbonat: 100 mEq IV jika terdapat asidosis
d. Vasopresor: untuk menaikkan tekanan darah dan mempertahankan perfusi
renal.
· Dopamin: 2,5 mg/kg/menit IV sebagai pilihan utama
· Beta-adrenergik stimulant: isoprenalin 1 mg dalam 500 ml glukosa 5%
IV infuse pelan-pelan
7. Monitoring
a. Central venous pressure (CVP): normal 10-12 cm air
b. Nadi
c. Tekanan darah
d. Produksi urin
e. Tekanan kaviler paru: normal 6-18 Torr
f. Perbaikan klinik: pucat, sianosis, sesak, keringat dingin, dan kesadaran
Komplikasi
Syok yang tidak dapat segera diatasi akan merusak jaringan di berbagai
organ, sehingga dapat menjadi komplikasi-komlikasi seperti gagal ginjal akut,
nekrosis hipofise, dan koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
Mortalitas
Perdarahan 500 ml pada partus spontan dan 1000 ml pada seksio sesarea pada
umumnya masih dapat ditoleransi. Perdarahan karena trauma dapat menyebabkan
kematian ibu dalam kehamilan sebanyak 6-7% dan solusio plasenta 1-5%. Di USA
perdarahan obstetric menyebabkan angka kematian ibu (AKI) sebanyak 13,4%.
2.1 Definisi
Syok obstetri adalah keadaan syok pada kasus obstetri yang kedalamannya
tidak sesuai dengan perdarahan yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa syok yang
terjadi karena kombinasi:
akibat perdarahan,
akibat nyeri.
Syok adalah ketidak seimbangan antara volume darah yang beredar dan
ketersediaan sistem vascular bed sehingga menyebabkan terjadinya:
1. Hipotensi.
2. Penurunan atau pengurangan perfusi jaringan atau organ.
3. Hipoksia sel.
4. Perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob.
Dengan demikian, dapat terjadi kompensasi peningkatan detak jantung akibat
menurunnya tekanan darah menuju jaringan. Jika ketidakseimbangan tersebut terus
berlangsung, akan terjadi:
1. Semakin menurunnya aliran 02 dan nutrisi menuju jaringan.
2. Ketidakmampuan sistem sirkulasi unruk mengangkut CO2 dan hasil maabolisme
lainnya sehingga terjadi timbunan asam laktat dan asam piruvat di jaringan
tubuh dan menyebabkan asidosis metabolik.
3. Rendahnya aliran 02 menuju jaringan akan menimbulkan metabolisme anaerob
yang akan menghasilkan produk samping:
1. Timbunan asam laktat
2. Timbunan asam piruvat
Dampak gagalnya siklus Kreb adalah hipoksia sel yang terlalu lama yang
menyebabkan terjadinya kerusakan pada sistem enzim sel dan metabolisme sel.
2.2 Etiologi
a. Pendarahan
b. Abortus
c. Infeksi berat
d. Solusio Plasenta
e. Luka jalan lahir
f. Emboli air ketuban
g. Inversio uteri
h. Syok postular
i. Kolaps Vasomotor pospartum
j. Fakta predisposisi timbulnya syok
2.3 Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan cara mengaktifkan
4 sistem major fisiologi tubuh: sistem hematologi, sistem kardiovaskular, sistem
renal dan sistem neuroendokrin.system hematologi berespon kepada perdarahan
hebat yag terjadi secara akut dengan mengaktifkan cascade pembekuan darah dan
mengkonstriksikan pembuluh darah (dengan melepaskan thromboxane A2 lokal) dan
membentuk sumbatan immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak
akan mendedahkan lapisan kolagennya, yang secara subsekuen akan menyebabkan
deposisi fibrin dan stabilisasi dari subatan yang dibentuk. Kurang lebih 24 jam
diperlukan untuk pembentukan sumbatan fibrin yang sempurna dan formasi matur.
Sistem kardiovaskular awalnya berespon kepada syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meninggikan kontraktilitas myocard, dan
mengkonstriksikan pembuluh darah jantung. Respon ini timbul akibat peninggian
pelepasan norepinefrin dan penurunan tonus vagus (yang diregulasikan oleh
baroreseptor yang terdapat pada arkus karotid, arkus aorta, atrium kiri dan pembuluh
darah paru. System kardiovaskular juga merespon dengan mendistribusikan darah ke
otak, jantung, dan ginjal dan membawa darah dari kulit, otot, dan GI.
System urogenital (ginjal) merespon dengan stimulasi yang meningkatkan
pelepasan rennin dari apparatus justaglomerular. Dari pelepasan rennin kemudian dip
roses kemudian terjadi pembentukan angiotensi II yang memiliki 2 efek utama yaitu
memvasokontriksikan pembuluh darah dan menstimulasi sekresi aldosterone pada
kortex adrenal. Adrenal bertanggung jawab pada reabsorpsi sodium secra aktif dan
konservasi air.
System neuroendokrin merespon hemoragik syok dengan meningkatkan
sekresi ADH. ADH dilepaskan dari hipothalmus posterior yang merespon pada
penurunan tekanan darah dan penurunan pada konsentrasi sodium. ADH secara
langsung meningkatkan reabsorsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distal. Ductus
colletivus dan the loop of Henle.
Patofisiology dari hipovolemik syok lebih banyak lagi dari pada yang telah
disebutkan . untuk mengexplore lebih dalam mengenai patofisiology, referensi pada
bibliography bias menjadi acuan. Mekanisme yang telah dipaparkan cukup efektif
untuk menjaga perfusi pada organ vital akibat kehilangan darah yang banyak. Tanpa
adanya resusitasi cairan dan darah serta koreksi pada penyebab hemoragik syok,
kardiak perfusi biasanya gagal dan terjadi kegagalan multiple organ.
2.4 Tanda dan Gejala
a. Kesadaran penderita menurun
b. Nadi berdenyut cepat ( Lebih dari 140 */menit ) Kemudian melemah,
c. lambat dan menghilang.
d. Penderita merasa mual ( mau muntah )
e. Kulit penderita dingin, lembab dan pucat.
f. Nafas dangkal dan kadang tak teratur.
g. Mata penderita nampak hampa, tidak bercahaya dan manik matanya/pupil )
melebar.
Adapun dari buku lain tanda – tanda terjadinya syok obstetri yaitu :
a. Nadi cepat dan halus ( > 112 / menit )
b. Menurunnya tekanan darah ( diastotik < 60 )
c. Pernapasan cepat ( Respirasi > 32 / menit )
d. Pucat ( terutama pada konjungtiva palpebra, telapak tangan, bibir )
e. Berkeringat, gelisa, aptis / bingungan / pingsan / tidak sadar.
f. Penanganan awal sangat penting untuk menyelamatkan jiwa pasien.
2.9 Penanganan
Prinsip pertama dalam penanganan kedaruratan medik dalam penanganan
kedaruratan medik dalam kebidanan atau setiap kedaruratan adalah ABC yang terdiri
atas menjaga fungsi saluran nafas (Airway). Pernapasan (Breathing) dan sirkulasi
darah (Circulation). Jika situasi tersebut terjadi di luar rumah sakit, pasien harus
dikirim ke rumah sakit dengan segeran dan aman.
Penanganan Syok
Tujuan utama pengobatan syok adalah melaku kan penanganan awal dan
khusus untuk:
Menstabilkan kondisi pasien
Memperbaiki volume cairan sirkulasi darah
Mengefisiensikan system sirkulasi darah
Setelah pasien stabil tentukkan penyebab syok
Penanganan Awal
1. Mintalah bantuan. Segera mobilisasi seluruh tenaga yang ada dan siapkan
fasilitas tindakan gawat darurat
2. Lakukan pemeriksaan secara cepat keadaan umum ibu dan harus dipastikan
bahwa jalan napas bebas.
3. Pantau tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu tubuh)
4. Baringkan ibu tersebut dalam posisi miring untuk meminimalkan risiko
terjadinya aspirasi jika ia muntah dan untuk memeastikan jalan napasnya
terbuka.
5. Jagalah ibu tersebut tetap hangat tetapi jangan terlalu panas karena hal ini akan
menambah sirkulasi perifernya dan mengurangi aliran darah ke organ vitalnya.
6. Naikan kaki untuk menambah jumlah darah yang kembali ke jantung (jika
memungkinkan tinggikan tempat tidur pada bagian kaki).
Penanganan Khusus
4. Berikan paling sedikit 2 Liter cairan ini pada 1 jam pertama. Jumlah ini melebihi
cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berjalan
5. Setelah kehilangan cairan dikoreksi, pemberian cairan infuse dipertahankan
dalam kecepatan 1 liter per 6-8 jam
Catatan: Infus dengan kecepatan yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan dalam
penatalaksanaan syok akibat perdarahan. Usahakan untuk mengganti 2-3 kali
lipat jumlah cairan yang diperkirakan hilang.
Syok Perdarahan
PENILAIAN ULANG
a. Nilai ulang respon ibu tehadap pemeriksaan varian dalam waktu 30 mneit untuk
menentukkan apakah kondisinya membaik. Tanda-tanda perbaikkan meliputi:
nadi yang stabil (90 menit atau kurang)
Peningkatan tekanan darah (sistolik 00 mmHg atau lebih)
Perbaikan tatus mental (brkurangnya kebingungan dan kegelisahan)
meningkatnya jumlah urin (30 ml pr jam atau lebih)
b. Jika kondisi ibu tersebut membaik
Sesuaikan kecepatan infuse menajdai 1 liter dalam 6 jam
Teruskan penatalaksanaan untuk penyebab syok
c. Jika kondisi ibu tersebut tidak membaik, berarti ia membutuhkan penanganan
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
PADA NY
Tanggal pengkajian
Jam
Tempat pengkajian
A. Pengkajian data
Data Subjektif
1. Identitas
Nama ibu Nama ibu
Umur Umur
Saku Saku
Agama Agama
Pendidikan Pendidikan
Pekerjaan Pekerjaan
Penghasilan Penghasilan
Alamat rumah Alamat rumah
Alamat kantor Alamat kantor
Telepon Telepon
2. Alasan datang
3. Keluhan utama
4. Riwayat kesehatan
a. Yang lalu
b. Keluarga
c. Keturunan
5. Riwayat perkawinan
Nikah Kali, umur tahun, dengan suami umur tahun, lama pernikahan
tahun.
6. Riwayat obstetri
a. Riwayat menstruasi
Menarche
Siklus
Lama
Banyaknya darah
Bau
Warna
Konsistensi
Keluhan
Flour albous
HPHT
b. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
c. Riwayat kehamilan
1) GPA
2) HPL
3) Keluhan, Tm I
Tm II
Tm III
4) Imunisasi TT I
TT II
5) Obat yang dikonsumsi
6) Gerakan janin pertama
7) Kebiasaan yang berpengaruh terhadap kehamilan
8) Rencana persalinan
7. Riwayat KB
8. Riwayat laktasi
Irigasi vagina
e. Pola seksual
10. Riwayat psikososial dan spiritual
a. Tanggapan dan dukungan keluarga terhadap kehamilan
b. Pengambil keputusan
c. Ketaatan beribadah
d. Lingkungan yang berpengaruh
DATA OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. TTV
d. BB kg, TB cm, LILA cm
2. Pemeriksaaan fisik
a. Kepala
b. Muka
c. Mata
d. Hidung
e. Telinga
f. Mulut
g. Leher
h. Dada
i. Abdomen
Leopold I
Leopold II
Leopold III
Leopold IV
TFU
TBJ
DJJ
j. AnoGenetalia
Genetalia
Anus
k. Ekstremitas atas
l. Ekstremitas bawah
3. Pemeriksaan penunjang
B. Interpretasi Data
DX:
Data dasar
DS
DO
Masalah
Kebutuhan
C. Diagnosa Potensial
D. Tindakan Segera
E. Rencana
F. Tindakan
G. Evaluasi