Anda di halaman 1dari 45

Kelompok 3 dustira

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Atonia Uteri adalah keadaan lemahnya atau gagalnya tonus/ kontraksi otot rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta
setelah bayi dan plasenta lahir (Karkata, 2009).
Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini
terjadi maka darah yang akan keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak
terkendali (APN, 2008).
Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat miometrium
terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat implantasi
plasenta. Atoni uteri terjadi karena miometrium tidak dapat berkontraksi. Atonia uteri merupkan
penyebab tersering penyebab perdarahan postpartum, sekurang-kurangnya 2/3 dari semua
perdarahan postpartum disebabkan oleh atoni uteri (Depkes RI, 2009).
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga
uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi
oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada
atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang
lepas sebagian atau lepas seluruhnya. Atonia uteri menyebabkan terjadinya perdarahan yang cepat
dan parah dan juga shock hypovolemik. Dari semua kasus perdarahan postpartum sebesar 70 %
disebabkan oleh atonia uteri.
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting
dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan postpartum, lapisan tengah miometrium
tersusun sebagai anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing-masing serabut
mempunyai dua buah lengkungan sehingga setiap dua buah serabut kira-kira membentuk angka
delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti diatas, jika otot berkontraksi akan
menjempit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan
menyebabkan terjadinya perdarahan postpartum.
2.2 Faktor-Faktor Predisposisi
1. Uterus yang teregang/distensi berlebihan : Kehamilan kembar, anak sangat besar (BB
>4000 gram) dan polihidramnion
2. Kehamilan lewat waktu
3. Partus lama
4. Grande multipara
5. Penggunaan uterus relaxants (Magnesium sulfat)
6. Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia )
7. Perdarahan antepartum (Plasenta previa atau Solutio plasenta)
8. Riwayat perdarahan postpartum;
9. Obesitas
10. Umur > 35 tahun
11. Tindakan operasi dengan anestesi terlalu dalam.
12. Persalinan cepat (partus presipitatus).
13. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin (augmentasi)
2.3 Etiologi
1. Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan difungsi intrinsic uterus
2. Penatalaksanaan yang salah pada kala III. Mencoba mempercepat kala III dengan
dorongan dan pemijatan uterus sehingga mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan
plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan
perdarahan.
3. Anetesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksas miometrium yang berlebihan,
kegagalan kontraksi dan retraksi menyebabkan atonia uteri dan perdarahan postpartum.
4. Kerja uterus sangat kurang efektif selama kala persalinan yang kemungkinan besar akan
diikuti oleh kontraindikasi serta retraksi miometrium jika dalam kala III.
5. Overdistensi uterus : uterus yang mengalami distensi secara berlebihan akibat keadaan
bayi yang besar, kehamilan kembar, polihidramnion, cenderung mempunyai daya
kontraksi yang jelek.
6. Kelemahan akibat partus lama : bukan hanya rahim yang lemah, cenderung berkontraksi
lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang keletihan kurang bertahan terhadap
kehilangan darah.
7. Grande-multipara : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung bekerja tidak
efisien dalam semua kala persalinan.
8. Mioma iteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu kontraksi dan retraksi
miometrium uteri.
9. Melahirkan dengan tindakan : keadaan ini mencakup prosedur operatif seperti forsep dan
versi ekstraksi.
2.4 Pencegahan
Atonia uteri dapat dicegah dengan Manajemen Aktif Kala III, yaitu:
1. Memberikan obat oksitosin 10 IU segera setelah bahu bayi lahir
2. Melakukan penegangan tali pusat terkendali
3. Masase uterus segera setelah plasenta dilahirkan agar uterus tetap berkontraksi.
2.5 Manajemen Atonia Uteri
 Manajemen Standar
1. Masase Uterus
2. Kompresi Uterus Bimanual
3. Pemberian Uterotonika.
 Manajemen Bedah
1. Tampon Uterus Internal
2. Pelvic Pressure Pack
3. Embolisasi
4. Jahitan Compression
5. Ligasi Arteri Iliaka Interna (Hipogastrika)
6. Histerektomi Peripartum.
a. Masase Uterus
Masase uterus dilakukan dengan membuat gerakan meremas yang lembut
berulang-ulang dengan satu tangan pada perut bagian bawah untuk merangsang uterus
berkontraksi. Hal ini diyakini bahwa gerakan berulang seperti ini akan merangsang
produksi prostaglandin dan menyebabkan kontraksi uterus dan mengurangi kehilangan darah,
meskipun hal ini akan mengakibatkan ketidaknyaman atau bahkan menyakitkan.
b. Kompresi Bimanual
Kompresi bimanual adalah suatu tindakan untuk mengontrol dengan segera homorrage
postpartum. Dinamakan demikian karena secara literatur melibatkan kompresi uterus diantara
dua tangan (Varney, 2009). Menekan rahim diantara kedua tangan dengan maksud
merangsang rahim untuk berkontraksi dan mengurangi perdarahan (DEPKES RI, 2009).
Tindakan darurat yang dilakukan untuk menghentikan perdarahan pasca salin (DEPKES RI,
1997). Kompresi bimanual dibagi dalam dua cara yaitu :
1. Kompresi bimanual interna

1) Pakai sarung tangan DTT atau steril, dengan lembut masukkan secara
obstetric(menyatukan kelima jari) melalui introitus dan ke dalam vagina ibu.
2) Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban/ bekuan darah pada kavum uteri
mungkin hal ini menyebabkan uterus tak dapat berkontraksi secara penuh.
3) Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan dinding anterior
uterus ke arah tangan luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus ke
arah depan sehingga uterus ditekan dari arah depan dan belakang.
4) Tekan kuat uterus di antara kedua tangan. Kompresi uterus ini memberikan tekanan
langsung pada pembuluh darah yang terbuka (bekas implantasi plasenta) di dinding
uterus dan juga merangsang miometrium berkontraksi.
5) Evaluasi keberhasilan :
 Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan KBI selama
2 menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dan pantau ibu secara melekat
selama kala 4.
 Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan masih berlangsung, periksa ulang perineum,
vagina dan serviks apakah terjadi laserasi. Jika demikian, segera lakukan penjahitan
untuk menghentikan perdarahan.
 Jika uterus tiak berkontraksi dalam waktu 5 menit, ajarkan keluiarga untuk
melakukan KBE kemudian lakukan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri
selanjutnya. Minta keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.
6) Berikan 0,2 mg ergometrin IM atau misoprotrol 600-1000 mcg per rectal. Jangan berikan
ergometrin kepada ibu dengan hipertensi karena dapat menaikkan tekanan darah.
7) Gunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infuse dan berikan 500 cc
larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit oksitosin.
8) Pakai sarung tangan steril atau desinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI. Alasan : KBI
dengan ergometrin dan oksitosin akan membantu uterus berkontraksi.
9) Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit.
10) Sambil membawa ibu ke tempat rujukan, teruskan tindakan KBI dan infuse
cairan hingga ditempat rujukan.
 Infus 500 ml pertama dihabiskan dalam waktu 10 menit
 Berikan tambahan 500 ml.jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga jumlah
cairan yang diinfuskan mancapai 1,5 L dan kemudian lanjutkan dalam jumlah 125
cc/jam.
 Jika cairan infuse tidak cukup, infuskan 500 mm (botol kedua) cairan infuse dengan
tetesan sedang dan ditambah dengan pemberian cairan secara oral untuk rehidrasi.
2. Kompresi bimanual eksterna

1) Letakkan satu tangan pada dinding abdomen dan dinding depan korpus uteri dan diatas
simfisis pubis.
2) Letakkan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding belakang korpus uteri, sejajar
dengan dinding depan korpus uteri. Usahakan untuk mencakup/ memegang bagian
belakang uterus seluas mungkin.
3) Lakukan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan tangan depan dan belakang
agar pembuluh darah di dalam anyaman miometrium dapat dijepit secara manual. Cara
ini dapat menjepit pembuluh darah dan membantu uterus untuk berkontraksi.(APN,
2008).
3. Kompresi Aorta Abdominal

Kompresi manual pada aorta harus dilakukan hanya pada kasus hemoragi yang berat, jika
kompresi internal dan eksternal pada uterus tidak efektif. Kompresi aorta dilakukan hanya
pada kondisi kedaruratan saat penyebab perdarahan sedang ditentukan.
1) Baringkan ibu diatas ranjang, penolong menghadap sisi kanan pasien. Atur posisi
penolong sehingga pasien berada pada ketinggian yang sama dengan pinggul
penolong.
2) Tungkai diletakkan pada dasar yang rata (tidak memakai penopang kaki) dengan
sedikit fleksi pada artikulasio koksae.
3) Raba pulsasi arteri femoralis dengan jalan meletakkan ujung jari telunjuk dan tengah
tangan kanan pada lipat paha, yaitu pada perpotongan garis lipat paha dengan garis
horisontal yang melalui titik 1 sentimeter diatas dan sejajar dengan tepi atas simfisis
ossium pubis. Pastikan pulsasi arteri teraba dengan baik.
4) Setelah pulsasi dikenali, jangan pindahkan kedua ujung jari dari titik pulsasi tersebut.
5) Kepalkan tangan kiri dan tekankan bagian punggung jari telunjuk, tengah, manis dan
kelingking pada umbilikus ke arah kolumna vertebralis dengan arah tegak lurus.
6) Dorongan kepalan tangan kanan akan mengenai bagian yang keras di bagian tengah/
sumbu badan ibu dan apabila tekanan kepalan tangan kiri mencapai aorta abdominalis
maka pulsasi arteri femoralis (yang dipantau dengan ujung jari telunjuk dan tengah
tangan kanan) akan berkurang/ terhenti (tergantung dari derajat tekanan pada aorta).
7) Perhatikan perubahan perdarahan pervaginam (kaitkan dengan perubahan pulsasi
arteri femoralis).
Perhatikan:
 Tekanlah aorta abdominalis di atas uterus dengan kuat dan dapat dibantu dengan
tangan kiri, selama 5 sampai 7 menit.
 Lepaskan tekanan sekitar 30 sampai 60 detik, sehingga bagian lainnya tidak terlalu
banyak kekurangan darah.
 Bila perdarahan berhenti sedangkan uterus tidak berkontraksi dengan baik,
usahakan pemberian preparat prostatglandin. Bila bahan tersebut tidak tersedia atau
uterus tetap tidak dapat berkontraksi setelah pemberian prostatglandin, pertahankan
posisi demikian hingga pasien dapat mencapai fasilitas rujukan.
 Bila kontraksi membaik tetapi perdarahan masih berlangsung maka lakukan
kompresi eksternal dan pertahankan posisi demikian hingga pasien mencapai
fasilitas rujukan.
 Bila kompresi sulit untuk dilakukan secara terus menerus maka lakukan
pemasangan tampon padat uterovaginal, pasang gurita ibu dengan kencang dan
lakukan rujukan.
 Kompresi baru dilepaskan bila perdarahan berhenti dan uterus berkontraksi dengan
baik. Teruskan pemberian uterotonika.
8). Bila perdarahan berkurang atau berhenti, pertahankan posisi tersebut dan
lakukan pemijatan uterus (oleh asisten) hingga uterus berkontraksi dengan baik.
c. Pemberian Uteronika

1) Oksitosin
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis.
Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah
oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi
menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara im atau iv, untuk perdarahan aktif
diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan
oksitosin 10 IU intramiometrikal. Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit
ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang
ditemukan.
Dengan menggunakan terapi uterotonika yang sesuai dan tepat waktu, mayoritas
wanita dengan atonia uterus dapat menghindari intervensi bedah. Stimulasi kontraksi uterus
biasanya dicapai dengan pemijatan uterus bimanual dan injeksi oksitosin (baik secara
intramuskuler atau intravena), dengan atau tanpa ergometrine. oksitosin melibatkan
stimulasi dari segmen uterus bagian atas untuk kontraksi secara ritmik. Karena oksitosin
mempunyai half-life dalam plasma pendek (rata-rata 3 menit), infus intravena secara
kontinu diperlukan untuk menjaga uterus berkontraksi . Dosis biasa adalah 20 IU
dalam 500 ml larutan kristaloid, dengan tingkat dosis disesuaikan dengan respon (250 ml /
jam). Ketika diberikan secara intravena, puncak konsentrasi dicapai setelah 30 menit.
Sebaliknya, jika diberikan secara intramuskular mempunyai onset yang lebih lambat (3-7
menit) tetapi efek klinis berlangsung lama (hingga 60 menit).
2). Methyl Ergometrine
Berbeda dengan oksitosin, ergometrine menyebabkan kontraksi tonik yang terus
menerus melalui stimulasi reseptor α-adrenergik miometrium terhadap kedua segmen
bagian atas dan bawah uterus dengan demikian dirangsang untuk berkontraksi secara
tetanik. Suntikan intramuskular dosis standar 0,25 mg dalam permulaan aksi 2-5 menit.
Metabolismenya melalui rute hepar dan half-life nya dalam plasma adalah 30 menit.
Meskipun demikian, dampak klinis dari ergometrine berlangsung selama sekitar 3
jam. Respon oksitosin segera dan ergometrine lebih berkelanjutan.

3). Misoprostol

Misoprostol adalah suatu analog sintetik prostaglandin E1 yang mengikat secara


selektif untuk reseptor prostanoid EP-2/EP-3 miometrium, sehingga meningkatkan
kontraktilitas uterus. Hal ini dimetabolisme melalui jalur hepar. Ini dapat diberikan
secara oral, sublingual, vagina, dubur atau melalui penempatan intrauterin langsung.
pemberian melalui rektal terkait dengan tindakan awal, tingkat puncak yang lebih rendah
dan profil efek samping yang lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan rute oral atau
sublingual. Misoprostol oral sebagai agent profilaksis untuk partus kala III menunjukkan
kurang efektif untuk mencegah perdarahan postpartum dibandingkan pemberian oksitosin
parenteral. Namun, karena kenyataan bahwa interval waktu Misoprostol lebih lama
yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak serum dapat membuatnya menjadi agen
lebih cocok untuk perdarahan uterus yang berkepanjangan, dan dalam perannya sebagai
terapi bukan agen profilaksis.

4). Pemasangan Tampon (Packing) Kassa Uterovaginal

Alternatif dari pemberian tampon selain dengan kassa juga dipakai beberapa cara
yaitu dengan menggunakan : Sengstaken-Blakemore tube, Rusch urologic hydrostatic ballon
chateter (Folley Catheter) atau SOS Bakri tamponade ballon catheter. Pada tahun 2003
Sayeba Akhter, dkk mengajukan alternative baru dengan pemasangan kondon yang
diikatkan pada kateter. Dari penelitiannya disebutkan angka keberhasilannya 100%,
kondom dilepas 24-48 jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Cara
ini kemudian disebut dengan Metode Sayeba. Cara pemasangannya adalah secara
aseptik kondom yang telah diikatkan pada kateter dimasukkan ke dalam kavum uteri.
Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis sebanyak 250-500 cc sesuai kebutuhan.
Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian kondom dihentikan ketika perdarahan sudah
berkurang. Untuk menjaga kondom tetap berada didalam kavum uteri, dipasang kasa
tampon gulung di vagina. Bila perdarahan berlanjut tampon kassa akan basah dan darah
keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip oksitosin
paling tidak sampai dengan 6 jam kemudian. Diberikan antibiotic tripel, Amoksisilin,
Metronidazol, dan Gentamisin. Kondom kateter dilepas 24-48 jam kemudian, pada
kasus dengn perdarahan berat, kondom dapat dipertahankan lebih lama (Danso D and
Reginald PW, 2006).

NO PROSEDUR
1. Informed consent dikerjakan
dengan benar :
o Kondisi ibu diinformasikan
o Prosedur tindakan dijelaskan
o Koordinasi ibu dan keluarga
diminta
2. Persiapan :
o Prinsip sterilisasi (PI)
dilaksanakan (scort & sarung
tagan DTT telah terpasang
dengan benar)
o Persiapan alat-alat :
1) Cairan RL
2) Infus set
3) Kondom
4) Hanskun 1 pasang
5) Folly cateter
6) Spekulum Sim 2
7) Tampon tang 1
8) Ring tang 1
9) Benang
3. Memasang kateter menetap
Memasang kondom pada kateter
kemudian diikat dengan benang
(ujung kateter sedikit dipotong,
beri jarak sekitar 2 cm antar ujung
kondom dan ujung kateter, bisa
gunakan 2 kondom untuk
antisipasi kondom robek)

Memasang spekulum sims dan


jepit bibir servik dengan 2 forcep
(tampon tang/ovarium klem)

Masukkan kondom kateter


kedalam kavum uteri
Memasang tampon (kasa
gulun/jegul) untuk mencegah
kondom turun dari cavum uteri

Sambungkan bagian distal kateter


dengan salin set

Membuka regulator secara penuh


agar salin mengalir deras sampai
kondom didalam cavum uteri
Bila aliran salin berhenti, flabot
saline ditekan. Bila terasa ada
tahanan menunjukkan tamponade
berhasil
11. Melepas set salin yang
menghubungkan kateter, bagian
ujung kateter dilipat dan diikat
kemudian rekatkan kepala
12. Memasang pembalut dengan
kencang
DAFTAR
PUSTAKA

Bobak, 2012. Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.

Cunningham,dkk. 2012. Obstetri Williams Panduan Ringkas.

Jakarta : EGC. Coad, J. 2009. Anatomi & Fisiologi untuk Bidan.

Jakarta : EGC.

Manuaba, 2009. Pengantar Kuliah Obstetri.

Jakarta : EGC. Myles. 2011. Buku Ajar Bidan.

Jakarta : EGC

Waloejo, PB.2013. Penuntun Ketrampilan Obstetri. Pemalang : Mahira-Rahima


BAB II
POSTMATUR
2.1 Pengertian
Kehamilan postmatur atau kehamilan lewat bulan (serotinus) adalah kehamilan
yang berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari pertama
hadi terakhir menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari. (WHO,
1997 FIGO, 1986)
Menurut standar internasional dari American College of Obstetricians and
Gynocologist (1997), kehamilan jangka panjang atau prolonged pregnancy ialah
kehamilan yang terjadi dalam jangka waktu lengkap 42 minggu (294 hari) atau lebih,
yang dihitung dari hari pertama haid terakhir. Yang dimaksud lengkap 42 minggu
ialah 41 minggu 7 hari, jika 41 minggu 6 hari belum bisa dikatakan lengkap 42
minggu. Kehamilan yang terjadi dalam jangka waktu >40 minggu sampai dengan 42
minggu disebut kehamilan lewat tanggal atau postdate pregnancy.
Sedangkan menurut Ida Bagus Gde Manuaba kehamilan lewat waktu adalah
kehamilan yang melebihi waktu 42 minggu belum terjadi persalinan.
2.2 Penyebab
Penyebab pasti kehamilan lewat waktu sampai saat ini belum kita ketahui.
Diduga penyebabnya adalah siklus haid yang tidak diketahui pasti, kelainan pada
janin (anencefal, kelenjar adrenal janin yang fungsinya kurang baik, kelainan
pertumbuhan tulang janin/osteogenesis imperfecta; atau kekurangan enzim sulfatase
plasenta).
Beberapa teori yang diajukan pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya
postmatur sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan. Beberapa teori
diajukan antara lain sebagai berikut.
a. Pengaruh progesteron
Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya merupakan kejadian
perubahan endokrin yang penting dalam memacu proses biomolekular pada
persalinan dan meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin sehingga
beberapa penulis menduga bahwa terajdinya postmatur adalah keadaan karena
masih berlangsungnya pengaruh progesteron.
b. Teori oksitosin
Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada postmatur memberi kesan atau
dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting dalam
menimbulkan persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil
yang pada kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab postmatur.
c. Teori kortisol/ACTH janin
Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai “pemberi tanda” untuk dimulainya
persalinan adalah janin, diduga akibat peningkatan tiba-tiba kadar kortisol plasma
janin. Kortisol janin akan memngaruhi plasenta sehingga produksi progesteron
berkurang dan memperbesar sekresi estrogen, selanjutnya berpengaruh terhadap
meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin seperti
anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar hipofisis pada
janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga
kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.
d. Syaraf uterus
Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan
membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak ada tekanan pada
pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian bawah masih
tinggi, semua hal tersebut diduga sebagai penyebab terjadinya postmatur.
e. Herediter
Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami kehamilan
postmatur, mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada
kehamilan selanjutnya. Mogren (1999) seperti dikutip Cunningham, menyatakan
bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postmatur saat melahirkan
anak perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami
kehamilan postmatur.

C. Tanda Bayi Postmatur


Tanda bayi Postmatur (Manuaba, Ida Bagus Gde, 1998), yaitu :
 Biasanya lebih berat dari bayi matur (> 4000 gram)
 Tulang dan sutura kepala lebih keras dari bayi matur
 Rambut lanugo hilang atau sangat kurang
 Verniks kaseosa di badan kurang
 Kuku-kuku panjang
 Rambut kepala agak tebal
 Kulit agak pucat dengan deskuamasi epitel
2.3 Diagnosis
Tidak jarang seorang dokter mengalami kesulitan dalam menetukan diagnosis
postmatur karena diagnosis ini ditegakkan berdasarkan umur kehamilan bukan
terhadap kondisi dari kehamilan. Beberapa kasus yang dinyatakan sebagai
postpartum merupakan kesalahan dalam menentukan umur kehamilan. Lipshutz
menyatakan bahwa kasus kehamilan postmatur yang tidak dapat ditegakkan secara
pasti sebesar 22%. Dalam menentukan diagnosis postmaturitas di samping dari
riwayat menstruasi, sebaiknya dilihat pula dari hasil pemeriksaan antenatal.
a. Riwayat haid
Diagnosis postmaturitas tidak sulit untuk ditegakkan bila dari hari pertama haid
terakhir (HPHT) diketahui dengan pasti. Untuk riwayat haid yang dapat
dipercaya, diperlukan beberapa kriteria antara lain sebagai berikut.
1. Penderita harus yakin betul dengan HPHTnya.
2. Siklus 28 hari dan teratur.
3. Tidak minum pil antihamil setidaknya 3 bulan terakhir.
Selanjutnya diagnosis ditentukan dengan menghitung menurut rumus
Naegele. Berdasarkan riwayat menstruasi, seorang penderita yang ditetapkan
sebagai KLB kemungkinan adalah sebagai berikut.
1. Terjadi kesalahan dalam menentukan tanggal haid terakhir atau akibat
menstruasi abnormal.
2. Tanggal haid terakhir diketahui jelas namun terjadi kelambatan ovulasi.
3. Tidak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan memang
berlangsung lewat bulan (keadaan ini sekitar 20-30% dari seluruh penderita
yang diduga KLB).
b. Riwayat pemeriksaan antenatal
1. Tes kehamilan: bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologi setelah
terlambat 2 minggu, maka dapat diperkirakan kehamilan memang telah
berlangsung 6 minggu.
2. Gerak janin: gerak janin atau quickening pada umumnya dirasakan ibu pada
umur kehamilan 18-20 minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur
kehamilan 18 minggu, sedangkan multigravida 16 minggu. Petunjuk umum
untuk menentukan persalinan adalah quickening ditambah 22 minggu pada
primigravida atau ditambah 24 minggu pada multiparitas.
3. Denyut jantung janin: dengan stetoskop Laennec, DJJ dapat didengar mulai
umur kehamilan 18-20 minggu, sedangkan dengan Doppler dapat terdengar
pada usia kehamilan 10-12 minggu.
Parnoll menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai KLB bila
terdapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan berikut ini.
1. Telah lewat 36 minggu sejak tes kehamilan positif.
2. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler.
3. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali.
4. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop
Laennec.
c. Tinggi fundus uteri
Dalam trimester I, pemeriksaan tinggi fundus uteri dapat bermanfaat bila
dilakukan pemeriksaan secara berulang tiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi
fundus uteri dapat menentukan umur kehamilan secara kasar.
Selanjutnya umur kehamilan dapat ditentukan secara klasik maupun memakai
rumus McDonald: TFU dalam cm x 8/7 menunjukkan umur kehamilan dalam
minggu.
Pemeriksaan lainnya adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pada trimester I pemeriksaan panjang kepala-tungging (crown-rump length)
memberikan ketepatan sekitar ±4 hari dari taksiran persalinan. Pada umur
kehamilan sekitar 16-26 minggu ukuran diameter biparietal dan panjang femur
memberikan ketepatan ±7 hari dari taksiran persalinan.
Beberapa parameter dalam pemeriksaan USG juga dapat dipakai seperti lingkar
perut, lingkar kepala, dan beberapa rumus yang merupakan perhitungan dari
beberapa hasil pemeriksaan parameter seperti tersebut di atas. Taksiran
perrsalinan tidak dapat ditentukan secara akurat bilamana BPD > 9,5 cm dengan
sekai saja pemeriksaan USG (tunggal).
b. Pemeriksaan Radiologi
Umur kehamilan ditentukan dengan melihat pusat penulangan. Gambaran epifisis
femur bagian distal paling dini dapat dilihat pada kehamilan 32 minggu, epifisis
tibia proksimal terlihat setelah umur kehamilan 36 minggu, dan epifisis kuboid
pada kehamilan 40 minggu. Cara ini sekarang jarang dipakai selain karena dalam
pengenalan pusat penulangan sering kali sulit, juga memberikan pengaruh tidak
baik terhadap janin.
c. Kadar lesitin/spingomielin
Bila kadar lesitin/spingomielin sama, maka umur kehamilan sekitar 22–28
minggu, lesitin 1,2 kali kadar spingomielin: 28–32 minggu. Pada kehamilan genap
bulan ratio menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan
KLB, tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakah janin cukup umur/matang
untuk dilahirkan.
d. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA)
Hastwell berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu
pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya umur
kehamilan. Yaffe menyatakan bahwa pada umur kehamilan 41–42 minggu ACTA
berkisar 45 – 65 detik. Pada umur kehamilan lebih dari 42 minggu didapatkan
ACTA kurang dari 45 detik. Bila didapat ACTA antara 42–46 detik, maka
menunjukkan bahwa kehamilan berlangsung lewat waktu.
e. Sitologi cairan amnion
Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam cairan amnion. Bila
jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan
36 minggu dan apabila 50% atau lebih, maka umur kehamilan 39 minggu atau
lebih.

2.4 Permasalahan Kehamilan Postmatur


a. Perubahan pada plasenta
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada
kehamilan postmatur dan meningkatnya risiko pada janin. Perubahan yang terjadi
pada plasenta adalah sebagai berikut.
1. Penimbunan kalsium: pada kehamilan postmatur terjadi peningkatan
penimbunan kalsium, hal ini dapat menyebabkan gawat janin dan bahkan
kematian janin intrauterin yang dapat meningkat sampai 2–4 kali lipat.
Timbunan kalsium plasenta meningkat sesuai progresivitas degenarasi
plasenta, namun beberapa vili mungkin mengalami degenerasi tanpa
mengalami klasifikasi.
2. Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang,
keadaan ini dapat menurunkan mekanisme transport dari plasenta.
3. Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan
fibrinoid, fibrosis, trombosis intervili, dan infark vili.
4. Perubahan biokimia: adanya insufisiensi plasenta menyebabkan protein
plasenta dan kadar DNA di bawah normal, sedagkan konsentrasi RNA
meningkat. Transport kalsium tak terganggu, aliran natrium, kalium, dan
glukosa menurun. Pengangkutan bahan dengan berat molekul tinggi seperti
asam amino, lemak dan gama globulin biasanya mengalami gangguan
sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intrauterin.
b. Pengaruh pada janin
Pengaruh postmaturitas pada janin sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa
ahli menyatakan bahwa kehamilan postmatur menambah bahaya pada janin,
sedangkan beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa bahaya kehamilan postmatur
terhadap janin terlalu dilebihkan. Beberapa pengaruh kehamilan postmatur
terhadap janin antara lain sebagai berikut.
1. Berat janin: bila terjadi perubahan anatomi yang besar pada plasenta, maka
terjadi penurunan berat janin. Sesudah umur kehamilan 36 minggu, grafik
rata-rata pertumbuhan janin mendatar dan tampak adanya penurunan sesudah
42 minggu. Namun, sering kali pula plasenta masih dapat berfungsi dengan
baik sehingga berat janin bertambah terus sesuai dengan bertambah umur
kehamilan.
2. Sindrom postmaturitas: dapat dikenali pada neonatus melalui beberapa tanda,
seperti gangguan pertumbuhan, dehidrasi, kulit kering, keriput seperti kertas
(hilangnya lemak subkutan), kuku tangan dan kaki panjang, tulang tengkorak
lebih keras, hilangnya verniks kaseosa dan lanugo, maserasi kulit terutama di
daerah lipat paha dan genital luar, warna coklat kehijauan atau kekuningan
pada kulit dan tali pusat, serta muka tampak menderita dan rambut kepala
banyak atau tebal. Tidak seluruh neonatus postmatur menunjukkan tanda
postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12–20%
neonatus dengan tanda postmaturitas pada kehamilan lewat bulan.
Berdasarkan derajat insufisiensi plasenta yang terjadi tanda postmaturitas
dapat dibagi menjadi 3 stadium:
 Stadium I : kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi
berupa kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
 Stadium II : ditambah pewarnaan mekonium (kehijauan) pada kulit.
 Stadium III : disertai pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali
pusat.
3. Gawat janin atau kematian perinatal menunjukkan angka meningkat setelah
kehamilan 42 minggu atau lebih, sebagian besar terjadi intrapartum. Keadaan
ini umumnya disebabkan karena hal-hal berikut:
 Makrosomia yang dapat menyebabkan terjadinya distosia pada persalinan.
 Insufisiensi plasenta dapat berakibat: pertumbuhan janin terhambat,
oligohidramnion (terjadi kompresi tali pusat, keluar mekonium yang
kental), hipoksia janin, aspirasi mekonium oleh janin.
 Cacat bawan: terutama akibat hipoplasia adrenal dan anensefalus.
4. Pengaruh pada ibu
 Morbiditas/mortalitas ibu dapat meningkat sebagai akibat dari makrosomia
janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras sehingga menyebakan
terjadinya distosia persalinan, incoordinate uterine action, partus lama,
meningkatkan tindakan obstetrik, dan perdarahan.
 Aspek emosi. Ibu dan keluarga menjadi cemas bilaman kehamilan terus
berlangsung melewati taksiran persalinan. Komentar tetangga atau teman,
seperti, “belum lahir juga?” akan menambah frustasi ibu.
5. Aspek medikolegal
Dapat terjadi sengketa atau masalah dalam kedudukan sebagai seorang ayah
sehubungan dengan umur kehamilan.
2.5 Pengelolaan Kehamilan Postmatur
Postmatur merupakan masalah yang banyak dijumpai dan sampai saat ini
pengelolaannya masih belum memuaskan dan masih banyak perbedaan pendapat.
Perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa setiap kehamilan postmatur dengan
komplikasi spesifik seperti diabetes melitus, kelainan faktor rhesus atau isoimunisasi,
preeklamsia/eklamsia, hipertensi kronis dan lain sebagainya yang meningkatkan
risiko terhadap janin, kehamilan jangan dibiarkan berlangung lewat bulan. Demikian
pula pada kehamilan dengan faktor risiko lain seperti primitua, infertilitas, dan
riwayat obstetrik yang buruk. Tidak ada ketentuan atau hukum yang pasti dan perlu
dipertimbangkan masing-masing kasus dalam pengelolaan BBLR.
Beberapa masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postmatur
antara lain adalah sebagai berikut.
1. Pada beberapa penderita, umur kehamilan tidak selalu dapat ditentukan dengan
tepat sehingga janin bisa belum matur seperti diperkirakan.
2. Sulit untuk menentukan apakah janin akan mati, berlangsung terus, atau
mengalami morbiditas serius bila tetap dalam rahim.
3. Sebagian besar janin tetap dalam keadaan baik dan tumbuh terus sesuai dengan
tambahnya umur kehamilan dan tumbuh semakin besar.
4. Pada saat kehamilan mencapai 42 minggu, pada beberapa penderita didapatkan
sekitar 70% serviks belum matang/unfavourable/ dengan nilai Bishop rendah
sehingga induksi tidak selalu berhasil.
5. Persalinan yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur.
6. Pada kehamilan postmatur sering terjadi disproporsi kepala panggul dan distosia
bahu (8% pada kehamilan genap bulan, 14% pada kehamilan postmatur).
7. Janin postmatur lebih peka terhadap obat penenang dan narkose. Bedah sesar akan
menimbulkan cacat pada ibu, sekarang maupun untuk kehamilan berikut (risiko
SC 0,7% pada genap bulan dan 1,3% pada kehamilan postmatur).
8. Pemecahan kulit ketuban harus dengan pertimbangan matang. Pada
oligohidramnion pemecahan kulit ketuban akan meningkatkan risiko kompresi tali
pusat, tetapi sebaliknya dengan pemecahan kulit ketuban akan dapat diketahui
adanya mekonium dalam cairan amnion.

2.6 Pengelolaan Selama Persalinan


1. Pemantauan yang baik terhadap ibu (aktivitas uterus) dan kesejahteraan janin.
Pemakaian continuous electronic fetal monitoring sangat bermanfaat.
2. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
3. Awasi jalannya persalinan.
4. Persiapan oksigen dan bedah sesar bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan janin.
5. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah neonatus dan
dilanjutkan resusitasi sesuai dengan prosedur pada janin dengan cairan ketuban
bercampur mekonium.
6. Segera setelah lahir, bayi harus segera diperiksa terhadap kemungkinan
hipoglikemi, hipovolemi, hipotermi, dan polisitemi.
7. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas.
8. Hati-hati kemungkinan terjadi distosia bahu.
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin
postmatur sehingga setiap persalinan kehamilan postmatur harus dilakukan
pengamatan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di rumah sakit dengan pelayanan
operatif dan perawatan neonatal yang memadai.
2.7 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kehamilan yang
teratur, minimal 4 kali selama kehamilan, 1 kali pada trimester pertama (sebelum 12
minggu), 1 kali pada trimester ke dua (antara 13 minggu sampai 28 minggu) dan 2
kali trimester ketiga (di atas 28 minggu). Bila keadaan memungkinkan, pemeriksaan
kehamilan dilakukan 1 bulan sekali sampai usia 7 bulan, 2 minggu sekali pada
kehamilan 7 – 8 bulan dan seminggu sekali pada bulan terakhir. Hal ini akan
menjamin ibu dan dokter mengetahui dengan benar usia kehamilan, dan mencegah
terjadinya kehamilan serotinus yang berbahaya.
Perhitungan dengan satuan minggu seperti yang digunakan para dokter
kandungan merupakan perhitungan yang lebih tepat.. Untuk itu perlu diketahui
dengan tepat tanggal hari pertama haid terakhir seorang (calon) ibu itu.

DAFTAR PUSTAKA

Fadlun. Achmad Feryanto. 2011. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba


Medika.
Saifudin, Abdul Bari, Trijatmo Rachimhadhi, dan Gulardi H. Wiknjosastro.
2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
SYOK OBSTETRIK
2.1 Pengertian
Syok adalah suatu keadaan disebabkan gangguan sirkulasi darah ke dalam
jaringan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan dan
tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme.
Penyebab terjadinya syok dalam kebidanan yang terbanyak adalah
perdarahan, kemudian neurologenik, kardiogenik, endotoksik/septic, anafilaktik, dan
penyebab syok yang lain seperti emboli, komplikasi anastesi, dan kombinasi.
Gejala klinik syok pada umumnya sama yaitu tekanan darah menurun, nadi
cepat dan lemah, pucat, keringat dingin, sianosis jari-jari, sesak nafas, pengelihatan
kabur, gelisah, dan akhirnya oliguria/anuria.
Komplikasi akibat penanganan yang tidak adekuat dapat menyebabkan
asidosis metabolic akibat metabolisme anaerob yang terjadi karena kekurangan
oksigen. Hipoksia/iskemia yang lama pada hipofise dan ginjal dapat menyebabkan
nekrosis hipofise dan gagal ginjal akut. Koangulasi intravaskular yang luas
disebabkan oleh lepasnnya tromboplastin dari jaringan yang rusak. Kegagalan
jantung akibat berkurangnya darah koroner. Dalam fase ini kematian mengancam.
Transfusi darah saja tidak adekuat lagi dan jika penyembuhan fase akut terjadi, sisa-
sisa penyembuhan akibat nekrosis ginjal dan/atau hipofise akan timbul.
Penanganan syok terdiri atas 3 garis utama, yaitu pengembalian fungsi
sirkulasi darah,dan oksigenasi, eradikasi infeksi, serta koreksi cairan dan elektrolit.
Akibat kematian ibu karena perdarahan dalam kebidanan dapat mencapai 13,4% di
USA.
2.2 Jenis dan Etiologi
1. Syok Hemoragik
Adalah suatu syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak. Akibat
perdarahan pada kehamilan muda, misalnya abortus, kehamilan ektopik dan
penyakit trofoblas (mola hidatidosa); perdarahan antepartum seperti plasenta
previa, solusio plasenta, rupture uteri, dan perdarahan pasca persalinan karena
atonia uteri dan laserasi jalan lahir.
2. Syok Neurogenik
Yaitu syok yang akan terjadi karena rasa sakit yang berat disebabkan oleh
kehamilan ektopik yang terganggu, solusio plasenta, persalinan dengan forceps
atau persalinan letak sungsang di mana pembukaan serviks belum lengkap, versi
dalam yang kasar, firasat/tindakan crede, ruptura uteri, inversio uteri yang akut,
pengosongan uterus yang terlalu cepat (pecah ketuban pada polihidramnion), dan
penurunan tekanan tiba-tiba daerah splanknik seperti pengangkatan tiba-tiba
tumor ovarium yang sangat besar.
3. Syok Kardiogenik
Yaitu syok yang terjadi karena kontraksi otot jantungyang tidak efektif yang
disebabkan oleh infark otot jantung dan kegagalan jantung. Sering dijumpai pada
penyakit-penyakit katup jantung.
4. Syok Endotoksik/septic
merupakan suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah disebabkan oleh
lepasnya toksin. Penyebab utama adalah infeksi bakteri gram nagatif. Sering
dijumpai pada abortus septic, korioamnionitis, dan infeksi pascapersalinan.
5. Syok Anafilatik
yaitu syok yang sering terjadi akibat alergi /hipersensitif terhadap obat-obatan.
Penyebab syok yang lain seperti emboli air ketuban, udara atau thrombus,
komplikasi anastesi dan kombinasi seperti pada abortus inkompletus (hemoragik dan
ensotoksin) dan kehamilan ektopik terganggu dan rupture uteri (hemoragik dan
neurogenik).
2.3 Gejala Klinik Syok
Gejala klinik syok pada umumnya sama pada semua jenis syok antara lain
tekanan darah menurun, nadi cepat, dan lemah akibat perdarahan. Jika terjadi
vasokontriksi pembuluh darah kulit menjadi pucat, keringat dingin, sianosis jari-jari
kemudian diikuti sesak nafas, pengelihatan kabur, gelisah dan oligouria/anuria dan
akhirnya dapat menyebabkan kematian ibu.
2.4 Penanganan Syok Dalam Kebidanan
Prinsip pertama dalam penanganan kedaruratan medic dalam kebidanan atau
setiap kedaruratan adalah ABC yang terdiri atas menjaga saluran nafas (airway),
pernafasan (Breathing), dan sirkulasi darah (Circulation). JIka situasi tersebut terjadi
di luar Rumah Sakit, pasien harus dikirim ke rumah sakit dengan segera dan aman.

A. Syok Hemoragik
Syok Hemoragik merupakan syok yang disebabkan oleh perdarahan yang
banyak yang dapat disebabkan oleh perdarahan antepartum seperti plasenta previa,
solusio plasenta, dan rupture uteri, juga disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan
seperti atonia dan laserasi serviks/vagina. gejala klinik syok hemoragik bergantung
pada jumlah perdarahan yang terjadi mulai dari yang ringan sampai berat seperti
terlihat pada tabel berikut.
Klasifikasi Perdarahan

Kelas Jumlah Perdarahan Gejala Klinik


I 15% (Ringan) Tekana darah dan nadi normal
Tes Tilt (+)
II 20-25% (sedang) Takikardi-Takipnea
Tekanan nadi < 30 mmHg
Tekanan darah sistolik rendah
Pengisian darah kapiler lambat
III 30-35% (Berat) Kulit dingin, berkerut, pucat
Tekanan darah sangat rendah
Gelisah
Oliguria (<30 ml/jam)
Asidosis metabolic (pH < 7.5)
IV 40-45% (sangat berat) Hipertensi berat
Hanya nadi karotis yang teraba
Syok ireversibel

Pada syok yang ringan gejala-gejala dan tanda tidak jelas, tetapi adanya syok
yang ringan dapat diketahui dengan “tilt test” yaitu bila pasien didudukan terjadi
hipotensi dan/atau takikardia, sedangkan dalam keadaan berbaring tekanan darah dan
frekuensi nadi masih normal.

Fase Syok
Perempuan hamil normal mempunyai toleransi terhadapa perdarahan 500-
1000 ml pada waktu persalinan tanpa bahaya oleh karena daya adaptasi fisiologik
kardiovaskular dan hematologik selama kehamilan. jika perdarahan terus berlanjut,
akan timbul fase-fase syok sebagai berikut.

a. Fase Kompensasi
 Rangsangan/reflex simpatis: Respon pertama terhadap kehilangan darah
adalah vasokontriksi pembuluh darah perifer untuk mempertahankan pasokan
darah ke organ vital.
 gejala klinik: pucat, takikardia, takipnea.
b. Fase Dekompensasi
 Perdarahan lebih dari 1000 ml pada pasien normal atau kurang karena factor-
faktor yang ada
 Gejala klinik: sesuai gejala klinik syok diatas
 Terapi yang adekuat pada fase ini adalah memperbaiki keadaan dengan cepat
tanpa meninggalkan efek samping
c. Fase Kerusakan Jaringan dan Bahaya Kematian
Penanganan perdarahan yang tidak adekuat menyebabkan hipoksia
jaringan yang lama dan kenatian jaringan dengan akibat berikut:
1. Asidosis metabolik: disebabkan metabolisme anaerob yang terjadi karena
kekurangan oksigen
2. Dilatasi arteriol: akibat penumpukan hasil metabolisme selanjutnya
menyebabkan penumpukan dan stagnasi darah di kapilar dan keluarnya cairan
ke dalam jaringan ekstravaskular
3. Koagulasi intravaskular yang luas disebabkan lepasnya tromboplastin dari
jaringan yang rusak
4. Kegagalan jantung akibat berkurangnya aliran darah koroner
5. Dalam fase ini kematian mengancam. Transfusi darah saja tidak cukup
adekuat lagi dan jika penyembuhan dari fase akut terjadi, sisa-sisa
penyembuhan akibat nekrosis ginjal dan/atau hipofise akan timbul

Penanganan
Jika terjadi syok, tindakan yang harus segera dilakukan antara lain sebagai
berikut:
1. Cari dan hentikan segera penyebab perdarahan
2. Bersihkan saluran napas dan beri oksigen atau pasang selang endotrakheal
3. Naikkan kaki ke atas untuk meningkatkan aliran darah ke sirkulasi sentral
4. Pasang 2 set infuse atau lebih untuk transfuse, cairan infuse dan obat-obat IV
bagi pasien yang syok. Jika sulit mencari vena, lakukan/pasang kanul
intrafemoral.
5. Kembalikan volume darah dengan:
a. Darah segar (whole blood) dengan cross-metched dari grup yang sama, kalau
tidak tersedia berikan darah O sebagai life-saving
b. Larutan kristaloid: seperti ringer laktat, larutan garam fisiologis atau glukosa
5%. Larutan-larutan ini mmempunyai waktu paruh (half life) yang pendek
dan pemberian yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru
c. Larutan koloid: dekstran 40 atau 70, fraksi protein plasma (plasma protein
fraction), atau plasma segar
6. Terapi obat-obatan
a. Analgesik: morfin 10-15 mg IV jika ada rasa sakit, kerusakan jaringan atau
gelisah
b. Kortikosteroid: hidrokortison 1 g atau deksametason 20 mg IV pelan-pelan.
Cara kerjanya masih kontroversial, dapat menurunkan resistensi perifer dan
meningkatkan kerja jantung vdan meningkatkan perfusi jaringan
c. Sodium bikarbonat: 100 mEq IV jika terdapat asidosis
d. Vasopresor: untuk menaikkan tekanan darah dan mempertahankan perfusi
renal.
· Dopamin: 2,5 mg/kg/menit IV sebagai pilihan utama
· Beta-adrenergik stimulant: isoprenalin 1 mg dalam 500 ml glukosa 5%
IV infuse pelan-pelan
7. Monitoring
a. Central venous pressure (CVP): normal 10-12 cm air
b. Nadi
c. Tekanan darah
d. Produksi urin
e. Tekanan kaviler paru: normal 6-18 Torr
f. Perbaikan klinik: pucat, sianosis, sesak, keringat dingin, dan kesadaran

Komplikasi
Syok yang tidak dapat segera diatasi akan merusak jaringan di berbagai
organ, sehingga dapat menjadi komplikasi-komlikasi seperti gagal ginjal akut,
nekrosis hipofise, dan koagulasi intravaskular diseminata (DIC)

Mortalitas
Perdarahan 500 ml pada partus spontan dan 1000 ml pada seksio sesarea pada
umumnya masih dapat ditoleransi. Perdarahan karena trauma dapat menyebabkan
kematian ibu dalam kehamilan sebanyak 6-7% dan solusio plasenta 1-5%. Di USA
perdarahan obstetric menyebabkan angka kematian ibu (AKI) sebanyak 13,4%.

Penanganan Syok Hemoragik Dalam Kebidanan


Bila terjadi syok hemoragik dalam kebidanan, segera lakukan resusitasi,
berikan oksigen, infuse cairan, dan transfuse darah dengan crossmatched.
Diagnosis plasenta previa/solusio plasenta dapat dilakukan dengan bantuan
USG. Selanjutnya atasi koagulopati dan lakukan pengawasan janin dengan
memonitor denyut jantung janin.
Bila terjadi tanda-tanda hipoksia, segera lahirkan anak. Jika terjadi atonia uteri
pasca persalinan segera lakukan masase uterus, berikan suntikan metil ergometrin
(0,2 mg) IV dan oksitosin IV atau per infuse (20-40 U/I), dan bila gagal
menghentikan perdarahan lanjutkan dengan ligasi a hipogastrika atau histerektomi
bila anak sudah cukup. Kalau ada pengalaman dan tersedia peralatan dapat dilakukan
embolisasi a.iliaka interna dengan bantuan transkateter. Semua laserasi yang ada
sebelumnya harus dijahit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA SYOK OBSTETRI

2.1 Definisi
Syok obstetri adalah keadaan syok pada kasus obstetri yang kedalamannya
tidak sesuai dengan perdarahan yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa syok yang
terjadi karena kombinasi:
 akibat perdarahan,
 akibat nyeri.
Syok adalah ketidak seimbangan antara volume darah yang beredar dan
ketersediaan sistem vascular bed sehingga menyebabkan terjadinya:
1. Hipotensi.
2. Penurunan atau pengurangan perfusi jaringan atau organ.
3. Hipoksia sel.
4. Perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob.
Dengan demikian, dapat terjadi kompensasi peningkatan detak jantung akibat
menurunnya tekanan darah menuju jaringan. Jika ketidakseimbangan tersebut terus
berlangsung, akan terjadi:
1. Semakin menurunnya aliran 02 dan nutrisi menuju jaringan.
2. Ketidakmampuan sistem sirkulasi unruk mengangkut CO2 dan hasil maabolisme
lainnya sehingga terjadi timbunan asam laktat dan asam piruvat di jaringan
tubuh dan menyebabkan asidosis metabolik.
3. Rendahnya aliran 02 menuju jaringan akan menimbulkan metabolisme anaerob
yang akan menghasilkan produk samping:
1. Timbunan asam laktat
2. Timbunan asam piruvat
Dampak gagalnya siklus Kreb adalah hipoksia sel yang terlalu lama yang
menyebabkan terjadinya kerusakan pada sistem enzim sel dan metabolisme sel.
2.2 Etiologi
a. Pendarahan
b. Abortus
c. Infeksi berat
d. Solusio Plasenta
e. Luka jalan lahir
f. Emboli air ketuban
g. Inversio uteri
h. Syok postular
i. Kolaps Vasomotor pospartum
j. Fakta predisposisi timbulnya syok

2.3 Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan cara mengaktifkan
4 sistem major fisiologi tubuh: sistem hematologi, sistem kardiovaskular, sistem
renal dan sistem neuroendokrin.system hematologi berespon kepada perdarahan
hebat yag terjadi secara akut dengan mengaktifkan cascade pembekuan darah dan
mengkonstriksikan pembuluh darah (dengan melepaskan thromboxane A2 lokal) dan
membentuk sumbatan immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak
akan mendedahkan lapisan kolagennya, yang secara subsekuen akan menyebabkan
deposisi fibrin dan stabilisasi dari subatan yang dibentuk. Kurang lebih 24 jam
diperlukan untuk pembentukan sumbatan fibrin yang sempurna dan formasi matur.
Sistem kardiovaskular awalnya berespon kepada syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meninggikan kontraktilitas myocard, dan
mengkonstriksikan pembuluh darah jantung. Respon ini timbul akibat peninggian
pelepasan norepinefrin dan penurunan tonus vagus (yang diregulasikan oleh
baroreseptor yang terdapat pada arkus karotid, arkus aorta, atrium kiri dan pembuluh
darah paru. System kardiovaskular juga merespon dengan mendistribusikan darah ke
otak, jantung, dan ginjal dan membawa darah dari kulit, otot, dan GI.
System urogenital (ginjal) merespon dengan stimulasi yang meningkatkan
pelepasan rennin dari apparatus justaglomerular. Dari pelepasan rennin kemudian dip
roses kemudian terjadi pembentukan angiotensi II yang memiliki 2 efek utama yaitu
memvasokontriksikan pembuluh darah dan menstimulasi sekresi aldosterone pada
kortex adrenal. Adrenal bertanggung jawab pada reabsorpsi sodium secra aktif dan
konservasi air.
System neuroendokrin merespon hemoragik syok dengan meningkatkan
sekresi ADH. ADH dilepaskan dari hipothalmus posterior yang merespon pada
penurunan tekanan darah dan penurunan pada konsentrasi sodium. ADH secara
langsung meningkatkan reabsorsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distal. Ductus
colletivus dan the loop of Henle.
Patofisiology dari hipovolemik syok lebih banyak lagi dari pada yang telah
disebutkan . untuk mengexplore lebih dalam mengenai patofisiology, referensi pada
bibliography bias menjadi acuan. Mekanisme yang telah dipaparkan cukup efektif
untuk menjaga perfusi pada organ vital akibat kehilangan darah yang banyak. Tanpa
adanya resusitasi cairan dan darah serta koreksi pada penyebab hemoragik syok,
kardiak perfusi biasanya gagal dan terjadi kegagalan multiple organ.
2.4 Tanda dan Gejala
a. Kesadaran penderita menurun
b. Nadi berdenyut cepat ( Lebih dari 140 */menit ) Kemudian melemah,
c. lambat dan menghilang.
d. Penderita merasa mual ( mau muntah )
e. Kulit penderita dingin, lembab dan pucat.
f. Nafas dangkal dan kadang tak teratur.
g. Mata penderita nampak hampa, tidak bercahaya dan manik matanya/pupil )
melebar.
Adapun dari buku lain tanda – tanda terjadinya syok obstetri yaitu :
a. Nadi cepat dan halus ( > 112 / menit )
b. Menurunnya tekanan darah ( diastotik < 60 )
c. Pernapasan cepat ( Respirasi > 32 / menit )
d. Pucat ( terutama pada konjungtiva palpebra, telapak tangan, bibir )
e. Berkeringat, gelisa, aptis / bingungan / pingsan / tidak sadar.
f. Penanganan awal sangat penting untuk menyelamatkan jiwa pasien.

2.5 Mekanisme terjadinya syok


1. Syok Hipovolemik terjadi karena volume cairan darah intravaskula
berkurang dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang singkat.
Penyebab utama adalah pendarahan akut. 20% volume darah total.
2. Syok septik sering terjadi pada orang dengan gangguan imunitas dan pada usia
tua. Akibat dari reaksi tubuh melawan infeksi, bakteri mati dan mengeluarkan
Endotaksin melalui mekanisme yang belum jelas mempengaruhi metabolisme
sel dan merusak sel jaringan di sekitarnya. Sel yang di rusak ini mengeluarkan
enzim usosom dan Histamin. Enzim usosom masuk peredaran darah sampai ke
jaringan lain dan menyebabkan kerusakan sel lebih banyak lagi serta sebagai
pemicu dikeluarkannya Bradikinin. Bradikinin dan Histamin menyebabkan
vasodilasi pembulu darah tepi secara masif dan meningkatkan permeabilitas
kapler ( fase hangat syok septik ).

2.6 Jenis atau Klasifikasi Syok


a. Syok Hemoragik
Adalah suatu syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak. Akibat
perdarahan pada kehamilan muda, misalnya abortus, kehamilan ektopik dan
penyakit trofoblas (mola hidatidosa); perdarahan antepartum seperti plasenta
previa, solusio plasenta, rupture uteri, dan perdarahan pasca persalinan karena
atonia uteri dan laserasi jalan lahir.
Fase Syok
Perempuan hamil normal mempunyai toleransi terhadap perdarahan 500-1000
ml pada waktu persalinan tanpa bahaya oleh karena daya adaptasi fisiologik
kardiovaskuler dan hematologik selama kehamilan. Jika perdarahan terus
berlanjut, akan timbul fase-fase syok sebagai berikut.
 Fase Kompensasi
Rangsangan/refleks simpatis : Respons pertama terhadap kehilangan darah
adalah vasokontriksi pembuluh darah perifer untuk mempertahankan
pasokan darah ke organ vital.
Gejala klinik : pucat, takikardia, takipnea.
 Fase Dekompensasi
Perdarahan lebih dari 1000 mlpada pasien normal atau kurang karena faktor-
faktor yang ada.
Gejala klinik : sesuai gejala klinik syok diatas.
Terapi yang adekuat pada fase ini adalah memperbaiki keadaan dengan
cepat tanpa meninggalkan efek samping.
 Fase Kerusakan Jaringan dan Bahaya Kematian
Penanganan perdarahan yang tidak adekuat menyebabkan hipoksia jaringan
yang lamadan kematian jaringan dengan akibat berikut ini.
1) Asidosis metabolik : disebabkan metabolisme anaerob yang terjadi
karena kekurangan oksigen.
2) Dilatasi arteriol : akibat penumpukan hasil metabolisme selanjutnya
menyebabkan penumpukan dan stagnasi darah di kapilar dan keluarnya
cairan ke dalam jaringa ekstravaskular.
3) Koagulasi intravaskular yang luar (DIC) disebabkan lepasnya
tromboplastin dari jaringan yang rusak.
4) Kegagalan jantung akibat berkurangnya aliran darah koroner.
5) Dalam fase ini kematian mengancam. Transfusi darah saja tidak
adekuat lagi dan jika penyembuhan (recovery) dari fase akut terjadi,
sisa-sisa penyembuhan akibat nekrosis ginjal dan/atau hipofise akan
timbul.
b. Syok Neurogenik
Yaitu syok yang akan terjadi karena rasa sakit yang berat disebabkan oleh
kehamilan ektopik yang terganggu, solusio plasenta, persalinan dengan forceps
atau persalinan letak sungsang di mana pembukaan serviks belum lengkap, versi
dalam yang kasar, firasat/tindakan crede, ruptura uteri, inversio uteri yang akut,
pengosongan uterus yang terlalu cepat (pecah ketuban pada polihidramnion),
dan penurunan tekanan tiba-tiba daerah splanknik seperti pengangkatan tiba-tiba
tumor ovarium yang sangat besar.
c. Syok Kardiogenik
Yaitu syok yang terjadi karena kontraksi otot jantungyang tidak efektif yang
disebabkan oleh infark otot jantung dan kegagalan jantung. Sering dijumpai pada
penyakit-penyakit katup jantung.
d. Syok Endotoksik/septic
merupakan suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah disebabkan oleh
lepasnya toksin. Penyebab utama adalah infeksi bakteri gram nagatif. Sering
dijumpai pada abortus septic, korioamnionitis, dan infeksi pascapersalinan.
e. Syok Anafilatik
yaitu syok yang sering terjadi akibat alergi /hipersensitif terhadap obat-obatan.
Penyebab syok yang lain seperti emboli air ketuban, udara atau thrombus,
komplikasi anastesi dan kombinasi seperti pada abortus inkompletus (hemoragik dan
ensotoksin) dan kehamilan ektopik terganggu dan rupture uteri (hemoragik dan
neurogenik).

2.7 Faktor Resiko


Evaluasi dari semua pasien yang datang untuk perawatan obstetrik atau operasi
harus termasuk riwayat medis lengkap. Sebuah pribadi atau sejarah keluarga
koagulopati, atau penggunaan pribadi dari antikoagulan, harus didokumentasikan.
Pemeriksaan fisik lengkap dapat mengungkapkan memar yang luas atau petechiae.
Investigasi untuk menilai status koagulasi harus diperoleh dalam situasi ini dan
konsultasi dari disiplin lain dipertimbangkan. Semua prosedur yang diusulkan harus
dikaji dengan pasien. Risiko komplikasi termasuk perdarahan harus diuraikan dan
diskusi didokumentasikan dalam chart. kondisi klinis tertentu dan manajemen bedah
mereka berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan, seperti sebagai
kehamilan ektopik, miomektomi, lepasnya plasenta, plasenta previa, dan disease.
ganas Dalam beberapa situasi, mungkin tepat untuk perempuan nasihat tentang darah
autologus transfusi atau hemodilusi techniques.
2.8 Prognosis
Jika tidak diobati, biasanya berakibat fatal. Jika diobati, hasilnya tergantung
kepada penyebabnya, jarak antara timbulnya syok sampai dilakukannya pengobatan
serta jenis pengobatan yang diberikan. Kemungkinan terjadinya kematian pada syok
karena serangan jantung atau syok septik pada penderita usia lanjut sangat tinggi.

2.9 Penanganan
Prinsip pertama dalam penanganan kedaruratan medik dalam penanganan
kedaruratan medik dalam kebidanan atau setiap kedaruratan adalah ABC yang terdiri
atas menjaga fungsi saluran nafas (Airway). Pernapasan (Breathing) dan sirkulasi
darah (Circulation). Jika situasi tersebut terjadi di luar rumah sakit, pasien harus
dikirim ke rumah sakit dengan segeran dan aman.
Penanganan Syok

Prinip Dasar Penanganan Syok

 Tujuan utama pengobatan syok adalah melaku kan penanganan awal dan
khusus untuk:
 Menstabilkan kondisi pasien
 Memperbaiki volume cairan sirkulasi darah
 Mengefisiensikan system sirkulasi darah
 Setelah pasien stabil tentukkan penyebab syok

Penanganan Awal

1. Mintalah bantuan. Segera mobilisasi seluruh tenaga yang ada dan siapkan
fasilitas tindakan gawat darurat
2. Lakukan pemeriksaan secara cepat keadaan umum ibu dan harus dipastikan
bahwa jalan napas bebas.
3. Pantau tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu tubuh)
4. Baringkan ibu tersebut dalam posisi miring untuk meminimalkan risiko
terjadinya aspirasi jika ia muntah dan untuk memeastikan jalan napasnya
terbuka.
5. Jagalah ibu tersebut tetap hangat tetapi jangan terlalu panas karena hal ini akan
menambah sirkulasi perifernya dan mengurangi aliran darah ke organ vitalnya.
6. Naikan kaki untuk menambah jumlah darah yang kembali ke jantung (jika
memungkinkan tinggikan tempat tidur pada bagian kaki).

Penanganan Khusus

1. Mulailah infus intra vena


2. jika memungkinkan dengan menggunakan kanula atau jarum terbesar (no. 6
ukuran terbesar yang tersedia). Darah diambil sebelum pemberian cairan infus
untuk pemeriksaan golongan darah dan uji kecocockan (cross match),
pemeriksaan hemoglobin, dan hematokrit. Jika memungkinkan pemeriksaan
darah lengkap termasuk trombosit, ureum, kreatinin, pH darah dan elektrolit,
faal hemostasis, dan uji pembekuan.
3. Segera berikan cairan infus (garam fisiologk atau Ringer laktat) awalnya dengan
kecepatan 1 liter dalam 15-20 menit

Catatan: Hindari penggunaan pengganti plasma (seperti dekstran). Belum


terdapat bukti bahwa pengganti plasma lebih baik jika dibandingkan dengan
garam fisiologik pada resusitasi ib yag mengalami syok dan dekstran dalam
jumlah banyak dapat berbahaya.

4. Berikan paling sedikit 2 Liter cairan ini pada 1 jam pertama. Jumlah ini melebihi
cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berjalan
5. Setelah kehilangan cairan dikoreksi, pemberian cairan infuse dipertahankan
dalam kecepatan 1 liter per 6-8 jam

Catatan: Infus dengan kecepatan yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan dalam
penatalaksanaan syok akibat perdarahan. Usahakan untuk mengganti 2-3 kali
lipat jumlah cairan yang diperkirakan hilang.

6. Jika vena perifer tidak dapat dikanulasi, lekukakan venous cut-down


7. Pantau terus tanda-tanda vital (setiap 15 menit) dan darah yang hilang. Apabila
kondisi pasien membaik, hati-hati agar tidak berlebihan memberikan cairan.
Napas pendek dan pipi yang bengkak merupakan kemungkinan tanda kelebihan
pemberian cairan.
8. Lakukan kateterisasi kandung kemih dan pantau cairan yang masuk dan jumlah
urin yang keluar. Produksi urin harus diukur dan dicatat.
9. Berikan oksigen dengan kecepatan 6-8 liter per menit dengan sungkup atau
kanula hidung.

PENENTUAN DAN PENANGANAN PENYEBAB SYOK

Tentukan penyebab syok setelah ibu tersebut stabil keadaannya

 Syok Perdarahan

Jika perdarahan hebat dicurigai sebagai penyebab syok:

1. Ambil langkah-langkah secara berurutan untuk menghentikan perdarahan


(seperti oksitosin, masasse uterus, kompresi bimanual, kompresi aorta,
persiapan untuk tindakan pembedahan).
2. Transfusi sesegera mungkin untuk mengganti kehilangan darah. Pada
kasus syok karena perdarahan, transfusi dubutuhkan jika Hb <8 g%.
Biasanya darah yang diberikan ialah darah segar yang baru diambil dari
donor darah.
3. Tentukan penyebab perdarahan dan tata laksana:
 Jika perdarahan terjadi pada 22 minggu pertama kehamilan, curigai
abortus, kehamilan ektopik atau mola
 Jika perdarahan terjadi setelah 22 minggu atau pada saat persalinan
tetapi sebelum melahirkan, curigai plasenta previa, solusio plasenta
atau robekan dinding uterus (rupture uteri).
 Jika perdarahan terjadi setelah melahirkan, curigai robekan dinding
uterus, atonia uteri, robekan jalan lahir, plasenta tertinggal.
4. Nilai ulang keadaan ibu: dalam waktu 20-30 mnit setelah pemberian
cairan, nilai ulang keadaan ibu tersebut untuk melihat tanda-tanda
perbaikan.
5. Tanda-tanda bahwa kondisi pasien sudah stbil atau ada perbaikan sebagai
berikut:
 Tekanan darah mulai naik, sistolik mencapai 100 mmHg
 denyut jantung stabil
 Kondisi mental pasien membaik, ekspresi ketakutan berkurang
 Produksi urin bertambah. Diharapkan produksi urin paling sedikit 100
ml/4 jam atau 30 ml/jam
B. Syok Septik
1. Jika infeksi dicurigai menjadi penyebab syok:

 Ambil sampel secukupnya darah, urin, pus, untuk kultur mikroba


sebelum memulai terapi antibiotika, jika fasilitas memungkinkan.
 Penyebab utama syok septic (70% kasus) ialah bakteri gram negative
seperti Esckherisia koli, Klebsiella pnemoniae, Serratia, Enterobakter,
dan Psedomonas.
 Antibiotika harus diperhatikan apabila diduga atau terdapat infeksi,
misalnya pada kasusu sepsis, syok septic, cedera intraabdominal, dan
perforasi uterus.
 Catatan: Jangan diberikan antibiotika melalui mulut pada ibu yang
sedang syok.
 Untuk kebanyakan kasus dipilih antibiotika berspektrum luas yang
efektif terhadap kuman gram negative, gram postif, anerobik, dan
klamidia. Antibiotika harus diberikan dalam bentuk kombinasi agar
diperoleh cakupan yang luas.
 Berikan kombinasi antibiotika untuk mengobati infeksi aerob dan
anaerob dan teruskan sampai ibu tersebt bebas demam selama 48 jam.

o Penisillin g 2 juta unit ata ampisilin 2 g I. V setiap 6 jam.

o Ditambah gentamisin 5 mg/kg BB I.V setiap 24 jam.

o Ditambah metronidazol 500 mg I. V. setiap 8 jam.


 Nilai ulang keadaan ibu tersebut untuk menilai adanya tanda-tanda
perbaikan.
1) Jika trauma dicurigai sebagai penyabab syok, lakukan prasiapan
untuk tindakan pembedahan.
2) Perubahan kondisi sepsis sulit diperkirakan, dalam waktu singkat
dapat memburuk
3) Tanda-tanda bahwa kondisi pasin sudah stabil atau ada perbaikan
adalah
 Tekanan darah mulai naik, sistolik mencapai 100 mmhg
 Denyut jantung stabil
 Kondisi maternal membaik, ekspresi ketakutan berkurang
 Produki urin bertambah.Diharapka produksi urin paling sedikit 100
ml/4 jam atau 30 ml/jam.

PENILAIAN ULANG

a. Nilai ulang respon ibu tehadap pemeriksaan varian dalam waktu 30 mneit untuk
menentukkan apakah kondisinya membaik. Tanda-tanda perbaikkan meliputi:
 nadi yang stabil (90 menit atau kurang)
 Peningkatan tekanan darah (sistolik 00 mmHg atau lebih)
 Perbaikan tatus mental (brkurangnya kebingungan dan kegelisahan)
 meningkatnya jumlah urin (30 ml pr jam atau lebih)
b. Jika kondisi ibu tersebut membaik
 Sesuaikan kecepatan infuse menajdai 1 liter dalam 6 jam
 Teruskan penatalaksanaan untuk penyebab syok
c. Jika kondisi ibu tersebut tidak membaik, berarti ia membutuhkan penanganan
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Taufan.2012.Patologi Kebidanan.Yogyakarta;Medical book


Prawirohardjo, Sarwono.2010.Ilmu Kebidanan.Jakarta;PT. Bina Pustaka
Suddart.2002.Keperawatan Medical Bedah.Jakarta.EGC
ASUHAN KEBIDANAN ANTENATAL CARE

PADA NY

Tanggal pengkajian

Jam

Tempat pengkajian

A. Pengkajian data
Data Subjektif
1. Identitas
Nama ibu Nama ibu
Umur Umur
Saku Saku
Agama Agama
Pendidikan Pendidikan
Pekerjaan Pekerjaan
Penghasilan Penghasilan
Alamat rumah Alamat rumah
Alamat kantor Alamat kantor
Telepon Telepon

2. Alasan datang
3. Keluhan utama

4. Riwayat kesehatan
a. Yang lalu

b. Keluarga

c. Keturunan
5. Riwayat perkawinan
Nikah Kali, umur tahun, dengan suami umur tahun, lama pernikahan
tahun.

6. Riwayat obstetri
a. Riwayat menstruasi
Menarche
Siklus
Lama
Banyaknya darah
Bau
Warna
Konsistensi
Keluhan
Flour albous
HPHT
b. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu

c. Riwayat kehamilan
1) GPA
2) HPL
3) Keluhan, Tm I
Tm II
Tm III
4) Imunisasi TT I
TT II
5) Obat yang dikonsumsi
6) Gerakan janin pertama
7) Kebiasaan yang berpengaruh terhadap kehamilan
8) Rencana persalinan
7. Riwayat KB

8. Riwayat laktasi

9. Pola kebutuhan sehari-hari


a. Nutrisi
Makan
Minum
b. Eliminasi
BAB
BAK
c. Istirahat
Siang
Malam
d. Personal hygien
Mandi
Sikat gigi
Keramas
Kebersihan genetalia

Irigasi vagina
e. Pola seksual
10. Riwayat psikososial dan spiritual
a. Tanggapan dan dukungan keluarga terhadap kehamilan
b. Pengambil keputusan
c. Ketaatan beribadah
d. Lingkungan yang berpengaruh
DATA OBJEKTIF

1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. TTV
d. BB kg, TB cm, LILA cm
2. Pemeriksaaan fisik
a. Kepala
b. Muka
c. Mata
d. Hidung
e. Telinga
f. Mulut
g. Leher
h. Dada
i. Abdomen
Leopold I
Leopold II
Leopold III
Leopold IV
TFU
TBJ
DJJ
j. AnoGenetalia
Genetalia
Anus
k. Ekstremitas atas
l. Ekstremitas bawah
3. Pemeriksaan penunjang
B. Interpretasi Data
DX:

Data dasar
DS

DO

Masalah
Kebutuhan
C. Diagnosa Potensial
D. Tindakan Segera
E. Rencana
F. Tindakan
G. Evaluasi

Anda mungkin juga menyukai