Anda di halaman 1dari 6

Tugas dan Wewenang

Terkait dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang:

 Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas)


 Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
 Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah)
 Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD
 Menetapkan UU bersama dengan Presiden
 Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang diajukan Presiden)
untuk ditetapkan menjadi UU

Terkait dengan fungsi anggaran, DPR memiliki tugas dan wewenang:

 Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden)


 Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan
dan agama
 Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
disampaikan oleh BPK
 Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara maupun terhadap perjanjian
yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara

Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang:

 Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah


 Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD (terkait
pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama)

Tugas dan wewenang DPR lainnya, antara lain:

 Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat


 Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk: (1) menyatakan perang ataupun membuat
perdamaian dengan Negara lain; (2) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial.
 Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal: (1) pemberian amnesti dan abolisi; (2)
mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar lain
 Memilih Anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD
 Memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung yang akan ditetapkan
menjadi hakim agung oleh Presiden
 Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke Presiden

Peristiwa Rengasdengklok
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jump to navigationJump to search

Kamar peristirahatan Bung Karno di rumah Djiaw Kie Siong.

Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa penculikan yang dilakukan oleh sejumlah pemuda
antara lain Soekarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh dari perkumpulan "Menteng 31"
terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 03.00.
WIB, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar
mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,sampai dengan terjadinya
kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr. Achmad
Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan terutama setelah
Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Pasifik.
Menghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara itu
di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Tetapi
apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua
anggota PETA mendukung rencana tersebut.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung
Hatta pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 di lapangan IKADA(yang sekarang telah menjadi
lapangan Monas) atau di rumah Bung Karno di Jl.Pegangsaan Timur 56. Dipilih rumah Bung
Karno karena di lapangan IKADA sudah tersebar bahwa ada sebuah acara yang akan
diselenggarakan, sehingga tentara-tentara jepang sudah berjaga-jaga, untuk menghindari
kericuhan, antara penonton-penonton saat terjadi pembacaan teks proklamasi, dipilihlah rumah
Soekarno di jalan Pegangsaan Timur No.56. Teks Proklamasi disusun di Rengasdengklok, di
rumah seorang Tionghoa, Djiaw Kie Siong. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang
di Rengasdengklok pada Kamis tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi
kemerdekaan Indonesia.
Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan
pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya
menemui Wikana dan Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke
Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur. Achmad Soebardjo
mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di
Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di
Jakarta.
Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan
dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan
mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya sebetulnya diambil) dari kantor Kepala Perwakilan
Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.[1]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Pada waktu itu Soekarno dan Moh. Hatta, tokoh-tokoh menginginkan agar proklamasi dilakukan
melalui PPKI, sementara golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan
secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang. Selain itu, hal
tersebut dilakukan agar Soekarno dan Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan
pemuda khawatir apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan
bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.
Sebelumnya golongan pemuda telah mengadakan suatu perundingan di salah satu lembaga
bakteriologi di Pegangsaan TimurJakarta, pada tanggal 15 Agustus. Dalam pertemuan ini
diputuskan agar pelaksanaan kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan dengan janji
kemerdekaan dari Jepang. Hasil keputusan disampaikan kepada Ir. Soekarno pada malam
harinya tetapi ditolak oleh Soekarno karena merasa bertanggung jawab sebagai ketua PPKI.

Pranala luar
Sejarah Perang Paderi (Padri 1821-1837)|Perang Paderi atau Padri memiliki penyebab/Latar

belakang terjadinya Perang padri, Perang Padri merupakan perang yang Panjang dari tahun

1821-1837 sekitar 26 tahun lamanya berlangsungnya Perang Padri, Dalam Peperangan tersebut

memiliki berbagai Perjanjian-perjanjian, dan Perang Padri berasal dari Perjuangan rakyat di

daerah Sumatera Barat (Minangkabau), Nama Perang Padri diambil dari Kota yang ada di

Sumatera barat dan berbagai bahasa-bahasa Asing sehingga terbentuk nama Perang Paderi

(Padri), Dalam Peperangan ini memiliki tahap-tahap yang membuat Perang Padri sangat panjang,

Dalam Perang Padri terkenal seorang nama yang sangat terkenal karena keberaniannya

menegakkan kebenaran dan meluruskan ke jalan agama yang merupakan seorang tokoh yang

sangat penting dalam peperangan tersebut. Untuk Mengetahu lebih jelas Sejarah Perang Paderi

(Paderi) dan berbagai macam yang menyangkut Perang Padri , Mari kita lihat pembahasannya

dibawah ini

PERANG PADERI (PADRI) TAHUN 1821 - 1837

Perjuangan rakyat di daerah Sumatera Barat (Minangkabau) melawan pihak Belanda sering

disebut dengan nama Perang Padri yang berlangsung dan tahun 1821 - 1837.

Adapun asal-usul nama Padri terdapat dua pendapat yaitu :

a Pedir atau Pideri yaitu sebuah kota kecil di pantai Barat Sumatera Utara tempat dimana mereka

berangkat dan pulang dan naik haji.

b. Berasal dari bahasa Portugis. Padre atau dalam bahasa Belanda Vader yang berarti “Ayah”

atau “Pendeta”. Jadi dengan demikian kaum Padri adalah kaum pendeta.

Perang Padri ini dapat dibagi atau berlangsung tiga tahap yaitu:

a. Kaum Padrii melawan kaum adat.

b. Kaum Padri melawan kaum adat dan Belanda

c. Kaum Padri dan kaum adat melawan Belanda.

Latar Belakang Terjadinya Perang Padri


Di daerah Minangkabau terdapat beberapa orang Haji yang kembali dari

Mekah dan akan mengadakan pelaksanaan hidup yang sesuai menurut ajaran agama slam secara

murni. Mereka yang baru pulang dari naik haji itu ialah Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji

Piabang, mereka beraliran Wahabi Menurut ajaran agama banyak adat istiadat daerah Sumatera

Barat (Minangkabau) yang harus ditinggalkan seperti: minum-minuman keras,.(minum tuak),

menyambung ayam, berjudi, dan lain -lain.

Advertisement

Maksud kaum Padri untuk mengajarkan agama Islam secara murni dengan menghilangkan

adat-istiadat yang jelek itu telah mendapat tantangan yang sangat hebat dan pemimpin-pemimpin

kaum adat dan juga para bangsawan. Oleh sebab itu terjadinya peperangan antara kaum Padri

dengan kaum adat tidak dapat dielakkan. Di dalam peperangan tersebut kaum Padri mengenakan

pakaian serba putih (disebut kaum putth) dan kaum adat mengenakan pakaian serba

hitam (kaum hitam).

Di dalam peperangan itu pada awalnya kaum Padri mendapat kemenangan dimana-mana,

sehingga kedudukan kau adat terdesak dengan hebat. Karena adat-adat terdesak dengan hebat

maka pimpinan-pimpinan kaum adat yaitu Tuanku Suroso memerintahkan meminta batuan

kepada pihak Belanda di Padang. Permintaan ini sangat menyewakan pihak Belanda, sebab

dengan demikian Belanda dapat meluaskan kekuasaannya ke daerah minangkabau.

Pada tahun 1824, Belanda dan kaum Padri mengadakan perdamaian di masang (perjanjian

masang) yang isinya : .

Isi Perjanjian Masang :

1. Penetapan batas daerah kedua belah pihak.

2. Kaum Padri harus mengadakan perdagangan hanya dengan pihak belanda.


Tetapi ternyata pihak belanda tidak dapat menetapi perjanjiannya yang telah dibuatnya itu,

sehingga peperangan tidak dapat dihindari lagi/berkobar lagi. Masyarakat Minangkabau dengan

sangat giginya melawan serangan Belanda yang menggunakan senjata modern

Akhirnya kaum adat menyadari bahwa pihak Belanda sebenarnya tidak sungguh-

sungguh/berhasrat untuk menolongnya, melainkan hendak menjajah seluruh daerah Minangkabau

(Sumatera Barat). Hal ini dibuktikan dengan tindakan pihak Belanda seperti tersebut di bawah ini:

Tindakan-tindakan Belanda :

a. Rakyat Minangkabau dipaksa bekerja demi kepentingan pihak Belanda tanpa diberi upah.

b. Rakyat Minangkabau diharuskan membayar Cukai Pasar dan cukai mengadu ayam.

Setelah kaum adat menyadari kekeliruannya maka kaum adat kemudian bersekutu/bergabung

dengan pihak kaum padre guna melawan pihak Belanda. Dengan bersatunya kaum adat dan kaum

padri maka peperangan melawan Belanda semakin menjadi hebat dan mencakup seluruh daerah

Minang.Akibatnya pihak Belanda mengalami kerugian yang sangat besar. Kemudian setelah pihak

Belanda berhasil menyelesaikan perang Diponegoro, maka seluruh pasukannya dikirim ke

Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan rakyat Sumatera Barat.

Karena mendapat bantuan dari Pulau Jawa maka pihak Belanda berhasil menduduki daerah

pertahanan rakyat Minangkabau (Sumatera Barat). Bahkan pada tahun 1837 pusat perjuangan

kaum Padri di daerah Bonjol berhasil dikuasai oleh pihak Belanda. Tetapi Tuanku Imam

Bonjol bersama-sama para pengikutnya berhasil meloloskan diri dari penangkapan pihak Belanda

dan melanjutkan perjuangannya.

Tetapi pada tahun itu juga Tuanku Iman Bonjol berhasil ditangkap oleh Belanda dan diasingkan

ke Cianjur, kemudian ke Ambon lalu ke Minahasa dan meninggal pada tahun 1855. Dengan

demikian berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau (Sumatera Barat) jatuh ke tangan

pihak Belanda.

Sekian Artikel Tentang Sejarah Perang Paderi (Padri 1821-1837), Semoga

Bermanfaat. (Sumber : Sejarah Nasional dan Dunia, Hal : 90-92, Penerbit : Armico,

Penulis : Drs. Edi Purwanto N. 1984.)

Anda mungkin juga menyukai