Anda di halaman 1dari 115

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber

daya manusia yang berkualitas yang kemudian menjadi motor penggerak

kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Seiring dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, upaya meningkatkan kualitas

pendidikan menjadi salah satu fokus dalam pembangunan nasional dewasa ini

karena pendidikan merupakan modal utama bagi pembangunan nasional. Hal ini

terlihat dari usaha pemerintah yang telah berupaya melaksanakan berbagai cara

untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya kurikulum yang berubah

secara terus menetus sampai pada Kurikulum 2013. Pada hakikatnya Kurikulum

2013 merupakan paradigma baru dalam pendidikan yang diharapkan akan

membawa perbaikan di dunia pendidikan.

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan

memajukan daya pikir manusia (Lestari, 2015:115). Oleh karena itu dalam

kurikulum pendidikan di Indonesia menempatkan matematika sebagai mata

pelajaran wajib yang diberikan kepada siswa dari SD hingga SLTA dan bahkan

juga di perguruan tinggi dengan proporsi alokasi waktu yang lebih banyak dari

pada bidang studi lainnya. Ada banyak alasan tentang perlunya siswa belajar

matematika. Penyebab utama pentingnya matematika adalah kemampuan siswa

bermatematika merupakan landasan yang menjadi syarat mutlak yang harus

1
2

dikuasai untuk dapat melatih siswa berpikir dengan logis, analisis, sistematis,

kritis dan kreatif, serta memiliki kepribadian dan keterampilan untuk

menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dinyatakan

oleh Rosmaiyadi (Hartati, Hayati & Zanthy, 2019:37) bahwa mata pelajaran

matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar,

untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,

sistematis, kritis, inovatif dan kreatif, serta kemamapuan bekerjasama.

Cockroft (Sirait & Siagian, 2017:37) mengemukakan bahwa matematika

perlu diajarkan kepada siswa karena: (1) selalu digunakan dalam segala segi

kehidupan, (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang

sesuai, (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas, (4) dapat

digunakan untuk menyajikan informasi dan berbagai cara, (5) meningkatkan

kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan, dan

(6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.

Hal yang senada juga diungkapkan Cornellius (Sirait & Siagian, 2017:37)

yang mengemukakan bahwa Lima alasan perlunya belajar matematika karena

matematika merupakan (1) sarana berpikir yang jelas dan logis, (2) sarana untuk

memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal pola-pola

hubungan dan generalisasi pengalaman, (4) sarana untuk mengembangkan

kreativitas, dan (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan

budaya.

Pembelajaran matematika pada kurikulum 2013 memiliki tujuan untuk

mencapai kemampuan berpikir tingkat tinggi atau High Order Thingking Skills
3

(HOTS) sejak dini. Berpikir kritis merupakan salah satu perwujudan dari HOTS.

Keterampilan berpikir kritis matematis sangat penting bagi siswa karena dengan

keterampilan ini siswa mampu bersikap rasional dan memilih alternatif pilihan

yang terbaik bagi dirinya (Jumaisyaroh, Napitupulu & Hasratuddin, 2014: 158).

Tanpa kemampuan berpikir kritis, seseorang tidak bisa menjadi kompetitor bagi

yang lain dan selalu tertinggal. Kemampuan berpikir kritis merupakan komponen

penting yang harus dimiliki siswa terutama dalam proses pembelajaran

matematika. Hal ini dimaksudkan supaya siswa mampu membuat atau

merumuskan, mengidentifikasi, menafsirkan dan merencanakan pemecahan

masalah. Aizikovitsh dan Udi menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan

kemampuan yang penting bagi keberhasilan seseorang dalam dunia modern, di

mana pengambilan keputusan yang rasional semakin menjadi bagian dalam

kehidupan sehari-hari (Sulistyani & Retnawati, 2015:198). Dalam

mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, guru hendaknya memfasilitasi

dan melakukan tindakan yang mendorong siswa merefleksikan kemampuannya.

Berbagai definisi mengenai kemampuan berpikir kritis telah banyak

dicetuskan oleh para ahli. Menurut Ennis (Mahmuzah, 2015: 65) berpikir kritis

merupakan suatu proses penggunaan kemampuan berpikir secara rasional dan

reflektif yang bertujuan untuk mengambil keputusan tentang apa yang diyakini

atau dilakukan. Spliter (Mahmuzah, 2015: 66) menyatakan bahwa siswa yang

berpikir kritis adalah siswa yang mampu mengidentifikasi masalah, mengevaluasi

dan mengkonstruksi argumen serta mampu memecahkan masalah tersebut dengan

tepat. Pendapat yang serupa juga diungkapkan oleh Facione (Mahmuzah, 2015:
4

66) bahwa berpikir kritis yang meliputi kemampuan menganalisis, menarik

kesimpulan, melakukan interpretasi, penjelasan, pengaturan diri, ingin tahu,

sistematis, bijaksana mencari kebenaran, dan percaya diri terhadap proses berpikir

yang dilakukan sangat dibutuhkan seseorang dalam usaha memecahkan masalah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan berpikir kritis

matematis siswa adalah kemampuan siswa memberikan jawaban dengan benar

dengan penjelasan yang tepat dalam mengidentifikasi, menggeneralisasi,

mengklrarifikasi, mensintesis dan terhadap soal atau pernyataan matematika yang

diberikan.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa kemampuan berpikir kritis

matematis sangatlah penting. Namun, berdasarkan pengamatan yang di peroleh

ditempat penelitian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan

berpikir kritis matematis siswa masih rendah . Berdasarkan hasil wawancara

penulis pada salah satu satu guru matematika kelas X di MAN Labuhanbatu

diperoleh keterangan bahwa masalah yang dihadapi guru adalah masih kurangnya

kemampuan siswa dalam memahami soal-soal matematika yang berbentuk

masalah kontekstual dan open-ended serta kesulitan dalam menyelesaikan

permasalahan yang disajikan sesuai dengan konsep yang telah diajarkan,

penyebab hal tersebut adalah dalam belajar matematika peserta didik cendrung

menghafal rumus, meniru contoh soal yang diberikan oleh guru, dan kurangnya

siswa dalam memahami materi sehingga tiap kali diberikan soal matematika yang

berbeda, siswa belum mampu mengerjakan soal tesebut. Kurangnya pemahaman


5

siswa belajar matematika berdampak pada hasil belajar siswa yang diperoleh

kurang memuaskan.

Rendahnya kemampuan berpikir kritis matematis siswa juga terlihat pada

saat peneliti melakukan riset dan observasi awal dikelas X-MIPA 3 MAN

Labuhanbatu yang berjumlah 37 orang siswa dengan memberikan soal yang open-

ended. Hanya 6 orang siswa (16,22%) yang dapat menjawab soal dengan benar,

sedangkan 31 orang siswa (83,78%) lagi masih belum dapat menyelesaikan soal

tersebut dengan benar. Kebanyakan siswa lupa akan konsep dasar materi, hal ini

terlihat ketika diberi soal cerita terkait konten tersebut, siswa tidak mampu

menyelesaikannya, mereka menanyakan pada guru harus memakai rumus yang

mana. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tidak menguasai konsep. Permasalahan

yang disajikan oleh peneliti pada tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa

adalah sebagai berikut:

Pada toko “Aroma” Annisa membeli 2 roti coklat, 3 roti kelapa dan 4 roti

abon ayam dengan harga Rp. 35400. Hafizh membeli membeli 3 roti coklat, 1 roti

kelapa dan 2 roti abon ayam dengan harga Rp. 32.600. Raysa membeli 4 roti

coklat dan 1 roti abon dengan harga Rp. 19.800. Jika Rayhan ingin membeli 5

roti coklat dan 3 roti abon ayam, berapa yang harus dibayar oleh Rayhan. (a)

susunlah informasi yang kamu ketahui dari masalah diatas; (b) Hubungkan

informasi yang kamu ketahui dala menyelesaikan masalah diatas; (c) Tuliskan

solusi dari masalah diatas; (d) berikan penjelasan berupa sebuah kesimpulan atas

solusi masalah diatas.


6

Solusi permasalahan yang dijawab oleh siswa (peneliti hanya memaparkan

hasil seorang siswa sebagai contoh) dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Proses jawaban tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa

Dari jawaban diatas terlihat bahwa siswa dalam mengerjakan soal berpikir

kritis matematis masih mengalami kesulitan terhadap beberapa indikator dalam

menganalisis suatu pertanyaan, jawaban dan argument yang relevan dan

memeriksa kembali suatu pernyataan atau proses yang bisa membuktikan hasil

benar atau salah. Siswa juga mengalami kesulitan dalam mensintesis yaitu

menggabungkan bagian informasi kedalam bentuk atau susunan yang baru


7

sehingga penyelesaian yang dihasilkan tidak benar. Hal ini menunjukkan

kemampuan berpikir kritis matematis masih rendah, dikarenakan siswa selalu

diberi soal rutin dalam pembelajaran di sekolah sehingga kurang merangsang

kemampuan siswa untuk berpikir kritis.

Pembelajaran yang terjadi selama ini kurang melibatkan siswa, hal ini

menyebabkan siswa pasif dalam pembelajaran. Matematika dianggap sebagai

mata pelajaran yang sulit dipahami, sehingga kurang diminati oleh sebagian

siswa. Sulitnya siswa memahami pelajaran matematika karena pembelajaran

matematika yang mereka rasakan kurang bermakna (Istianah, 2013:44).

Ketidaksenangan terhadap matematika ini dapat berpengaruh terhadap aktifitas

belajar siswa dalam proses belajar mengajar serta berpengaruh terhadap hasil

belajar siswa.

Rendahnya kemampuan berpikir kritis matematis siswa ini disebabkan oleh

banyak faktor, salah satu diantaranya adalah dalam pembelajaran matematika

masih banyak guru matematika yang menganut paradigma transfer of knowledge.

Interaksi dalam pembelajaran hanya terjadi satu arah yaitu dari guru sebagai

sumber informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Siswa tidak diberikan

banyak kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar-

mengajar di kelas, dengan kata lain pembelajaran lebih berpusat pada guru, bukan

pada siswa. Pembelajaran matematika yang dilaksanakan ini orientasinya lebih

kepada hasil dan bukan kepada proses. Proses pembelajaran yang terjadi satu arah,

dan membosankan bagi siswa, ini mengakibatkan rendahnya kemampuan berpikir

kritis.
8

Guru sebagai ujung tombak pendidikan di lapangan dituntut mampu

mengembangkan berbagai model pembelajaran berbahan ajar media komputer

sehingga pembelajaran yang dilakukan mampu mengikuti perkembangan zaman

dan menjadikan peserta didik lebih tertarik dalam mempelajari materi yang

disampaikan oleh guru.

Keberhasilan seorang guru dalam pembelajaran sangatlah diharapkan, untuk

memenuhi tujuan tersebut diperlukan suatu persiapan yang matang. Sebelum guru

mengajar, guru diharapkan mempersiapkan bahan yang hendak diajarkan,

mempersiapkan media pembelajaran yang akan digunakan, mempersiapkan

pertanyaan dan arahan untuk memancing siswa aktif belajar, mempelajari keadaan

siswa, mengerti kelemahan dan kelebihan siswa, serta mempelajari pengetahuan

awal siswa, kesemuanya ini akan terurai pelaksanaannya di dalam perangkat

pembelajaran. Oleh sebab itu, perangkat yang digunakan juga menentukan

kualitas pembelajaran (Siagian, Simanjuntak & Samosir, 2016:92). Segala sesuatu

yang dapat memungkinkan guru dan siswa melakukan proses pembelajaran sesuai

kurikulum disebut sebagai perangkat pembelajaran (Syahrir, 2016:437). Perangkat

pembelajaran adalah sekumpulan media atau sarana yang digunakan oleh guru

dan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Perangkat pembelajaran meliputi

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku Guru, Buku Siswa, LAS dan tes

untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

Menurut Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses

Pendidikan Dasar Dan Menengah, bahwa proses pembelajaran pada satuan

pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,


9

menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan

ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan

bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu

setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan

proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan

efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. RPP yang dimaksud

dapat berupa RPP yang dikembangkan oleh guru sendiri. RPP yang disusun oleh

guru sendiri lebih efektif karena disusun berdasar sifat dan karakteristik peserta

didik.

Adapun RPP yang dibuat oleh guru matematika di MAN Labuhanbatu

belum menggunakan model dan media pembelajaran yang berbantuan ICT untuk

mengaktifkan siswa hal ini terlihat guru masih menggunakan media papan tulis

dalam pembelajaran matematika, model pembelajaran yang digunakan juga masih

pada kegiatan rutin untuk semua materi seperti ceramah, tanya jawab, diskusi dan

penugasan. Selain itu proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di dalam

kelas yang cenderung pada pencapaian target materi atau sesuai isi materi buku

yang digunakan sebagai buku wajib dengan berorientasi pada soal-soal rutin, guru

belum merancang LAS sendiri, tes hasil belajar hanya diambil dari buku pegangan

guru, perangkat pembelajaran yang dibuat guru belum dilakukan uji validasi,

keprasktisan dan keefektifannya, serta belum semua guru matematika mempunyai

kemampuan menggunakan media ICT dalam pembelajaran matematika.

Buku siswa dan buku guru adalah buku yang disediakan oleh pemerintah

dalam implementasi kurikulum 2013. Buku-buku tersebut diperuntukkan untuk


10

sekolah-sekolah di berbagai penjuru nasional. Isi dari buku tersebut dibuat secara

umum untuk kondisi siswa di Indonesia, hal ini mengakibatkan isi buku tersebut

belum dapat menjangkau kebutuhan-kebutuhan dan karakteristik khusus pada

sekolah masing-masing.

Hal ini menunjukkan perangkat pembelajaran yang dibuat oleh guru belum

dapat membuat peserta didik mencapai tujuan belajarnya, siswa menjadi pasif

dalam belajarnya, kegiatan pembelajaran seperti ini tidak memberikan

kesempatan yang luas kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir

kritis matematisnya, sehingga hal ini akan mengakibatkan rendahnya kemampuan

berpikir kritis matematis siswa.

Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang

akhirnya mengakibatkan meningkatnya hasil belajar matematika siswa, perlu

dilakukan perbaikan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran yang tepat

merupakan bagian yang penting bagi guru sebelum memberikan pelajaran dikelas

(Sari, Wahyuni & Rosmaiyadi, 2016:21). Dapat ditegaskan bahwa usaha

perbaikan proses pembelajaran melalui upaya pemilihan model pembelajaran

yang tepat dan inovatif dalam pembelajaran matematika di sekolah merupakan

suatu kebutuhan yang sangat penting untuk dilakukan.

Salah satunya yaitu dalam pembuatan perangkat pembelajaran materi yang

disampaikan harus dipadupadankan dengan model pembelajaran yang sesuai

dengan kebutuhan peserta didik agar pembelajaran lebih bermakna (meaningfull).

Marbun, Siagian dan Mansyur (2018: 383) menyatakan bahwa “development of

learning tools must be arranged based on the right learning model as well. The
11

use of learning models that are not in accordance with the development of

students will have an impact on the development stage of student learning”.

Pengembangan perangkat pembelajaran harus berdasarkan model pembelajaran

yang tepat juga. Penggunaan model pembelajaranm yang tidak sesuai dengan

perkembangan siswaakan berdampak pada tahap perkembangan siswa dalam

pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat digunakan untuk

memperbaiki kualitas proses dan hasil belajar adalah model Problem Based

Learning.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013:144) menerangkan bahwa

dalam kurikulum 2013 pembelajaran ditekankan pada dimensi pedagogik modern

yaitu menggunakan scientific approach (pendekatan ilmiah). Pendekatan saintifik

adalah suatu pendekatan yang berpusat pada peserta didik dan melibatkan

keterampilan proses ilmiah dalam mengonstruksi konsep atau prinsip dan dapat

mengembangkan karakteristik peserta didik. Langkah-langkah dalam pendekatan

ini dapat diintegrasikan ke dalam model pembelajaran, salah satunya adalah

model Problem Based Learning. Model Problem Based Learning sesuai dengan

kondisi siswa dengan kehidupan sehari-hari dan Kurikulum 2013 yang sedang

berlaku (Sugiarni, Alghifari & Ifanda. 2018: 95)

Menurut Arends (Lubis, Syahputra & Siagian, 2018:496) “Problem-based

learning is a learning approach where students work on authentic problems with

a view to construct their own knowledge, develop inquiry and higher level

thinking skills, and develop independence and confidence”. Hal yang senada juga

diungkapkan Lestari & Yudhanegara (2017:43) yang menyatakan bahwa Problem


12

Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang menghadapkan

siswa pada suatu masalah sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan

berpikir tingkat tinggi dan keterampilan penyelesaian masalah serta memperoleh

pengetahuan baru terkait dengan permasalahan tesebut. Hal serupa juga

diungkapkan oleh Eggen & Kaucack yang menyatakan bahwa Problem Based

Learning (PBL) adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah

sebagai fokus bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan

keterampilan pemecahan masalah, serta memperoleh pengetahuan dan konsep

esensial dari materi pelajaran (Rahayu, Mardiyana & Saputro, 2015:244).

Menurut Delisle (Happy & Widjajanti, 2014:50) Problem Based Learning

dipilih karena (1) menyediakan masalah yang dekat dengan kehidupan nyata dan

mungkin terjadi dalam kehidupan nyata, (2) mendorong siswa terlibat dalam

kegiatan pembelajaran, (3) mendorong penggunaan berbagai pendekatan, (4)

memberi kesempatan siswa membuat pemilihan bagaimana dan apa yang akan

dipelajarinya, (5) mendorong pembelajaran kolaboratif, dan (6) membantu

mencapai pendidikan yang berkualitas. Selanjutnya, tahapan Problem Based

Learning yang digunakan dalam pembelajaran meliputi beberapa fase

pembelajaran diantaranya: 1) Fase Orientation, yakni mengorientasikan siswa

terhadap masalah dalam dunia nyata; 2) Fase Engangement, yakni siswa terlibat

dalam aktivitas menyelesaikan masalah; 3) Fase Inquiry and Invetigation, yakni

siswa melakukan penyelidikan dan investigasi dalam rangka menyelesaikan

masalah; dan 4) Debriefing, yakni siswa melakukan tanya jawab dan diskusi
13

terkait kegiatan penyelesaian masalah yang dilakukan (Lestari & Yudhanegara,

2017:43).

Menyikapi permasalahan yang timbul dalam pendidikan matemtaika

tersebut selain mengembangkan perangkat pembelajaran dengan model Problem

Based Learning, juga perlu dicari media pembelajaran yang mampu

meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Dari hasil pantauan

peneliti, guru Matematika MAN Labuhanbatu belum menggunakan media

berbasis teknologi komputer dalam proses pembelajaran matematika yang

berbantuan software-software, karena kurangnya pemahaman guru tersebut dalam

menggunakan teknologi tersebut.

Teknologi telah berkembang dengan sangat pesat dan merambah dalam

semua aspek kehidupan manusia, tak terkecuali dalam bidang pendidikan.

Pemanfaatan teknologi dalam pendidikan harus dipandang sebagai salah satu

cara untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan. Begitu pula dalam

pembelajaran matematika. Dalam Principles and Standards for School

Mathematics, NCTM (2000) menyatakan bahwa teknologi mempunyai peran

yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Teknologi informasi

merupakan instrumen yang mengubah paradigma pembelajaran dari teacher-

centered menjadi learner-centered, guru yang mulanya sebagai sumber informasi

dan penyalur pengetahuan berubah menjadi fasilitator dalam pembelajaran, serta

mengubah peranan siswa yang mulanya hanya sebagai penerima informasi serta

pasif menjadi siswa yang aktif terlibat dalam pembelajarannya sendiri (Putri,

2016:26)
14

Guru diharapkan tidak asing dan anti dalam kemajuan teknologi, sehingga

peranan guru sebagai tenaga pendidik, tenaga pengajar mampu mempersiapkan

peserta didik mengerti dan memahami akan kegunaan dan fungsi teknologi dalam

proses pembelajaran. Selain itu, dalam proses pembelajaran yang menggunakan

teknologi diharapkan mampu menjadi lebih menarik dan terjadi interaksi yang

lebih baik (interaksi dua arah antara guru dengan peserta didik), sehingga peserta

didik dapat tumbuh menjadi pribadi yang kritis, aktif dan dinamis melalui proses

pembelajaran tersebut.

Suatu model pembelajaran tentu akan lebih inovatif jika menerapkan media

dalam proses pelaksanaannya (Herawati, 2017:40). Agar siswa lebih tertarik untuk

menyelesaikan permasalahan yang diberikan guru dalam model Problem Based

Learning, maka guru menggunakan media (Khoiri, 2013:116). Seiring dengan

kemajuan teknologi komputer, dapat dirancang suatu pembelajaran berbasis

masalah dengan memanfaatkan komputer sebagai alat bantu dalam pembelajaran

Salah satu software (aplikasi) yang dapat dimanfaatkan sebagai media

pembelajaran matematika adalah Geogebra (Sugiarto, 2017:43).

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis

matematis siswa, agar tujuan ini tercapai maka sangat baik apabila menerapkan

model Problem Based Learning degan menggunakan media atau software, dalam

hal ini software yang digunakan adalah Geogebra. Geogebra dikembangkan oleh

Markus Hohenwater pada tahun 2001. Menurut Hohenwater (2008), geogebra

dalah program komputer (software) untuk membelajarkan matematika khususnya

geometri dan aljabar.


15

Pembelajaran dengan berbantuan Geogebra dapat membantu siswa

menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis matematis dan dapat

mengarah pada penyelesaian masalah-masalah yang tinggi. Selain itu

pembelajaran dengan berbantuan software GeoGebra lebih menempatkan siswa

sebagai subjek belajar, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima materi

pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal tetapi juga mereka berperan untuk

menemukan sendiri inti dari materi pelajaran.

Dengan berbantuan software Geogebra pada model PBL, konsep

matematika yang awalnya kompleks dapat divisualisasikan secara presisi dan

mudah untuk dipahami. Langkah-langkah penerapan model PBL berbantuan

software geogebra adalah sebagai berikut: (1) Orientasi peserta didik kepada

masalah. Guru memberikan masalah yang tertera pada bahan ajar kemudian

peserta didik mengamatinya secara individu maupun kelompok. (2)

Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar. Pada tahap ini peserta didik

berdiskusi tentang masalah yang sedang dihadapi. Peserta didik bersama guru

merancang model matematika yang berhubungan dengan masalah sebagai

alternatif pemecahan masalah yang sedang dihadapi dan membuktikan ketepatan

hasilnya dengan bantuan software geogebra. (3) Membimbing penyelidikan secara

individu maupun kelompok. Setiap kelompok akan mendapatkan Lembar Kerja

Peserta Didik yang berisi masalah untuk dicari solusinya kemudian memeriksa

lagi hasilnya dengan bantuan geogebra. Seandainya peserta didik mengalami

kesulitan, guru memberikan scaffolding sebagai bantuan. (4) Menyajikan hasil

karya nama kelompok ditulis pada secarik kertas kemudian dikocok untuk
16

menentukan perwakilan kelompok mana yang akan melakukan presentasi hasil

diskusinya, sedangkan kelompok yang lainnya memperhatikan dan memberikan

tanggapan. (5) Guru mereview dan mengevaluasi hasil diskusi peserta didik

dengan menentukan pemecahan masalah yang tepat (Priyono & Hermanto,

2015:57).

Untuk menjembatani itu dalam hal ini peneliti mencoba mengembangkan

perangkat pembelajaran model Problem Based Learning dengan berbantuan

media teknologi komputer yaitu software Geogebra, untuk meningkatkan

kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Berdasarkan permasalahan diatas

dirasa perlu adanya upaya “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model

Problem Based Learning dengan Berbantuan Geogebra pada Materi Transformasi

untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir kritis matematis siswa di MAN

Labuhanbatu”.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dapat diidentifikasi masalah-masalah

sebagai berikut:

1. Perangkat Pembelajaran yang digunakan guru dalam pembelajaran belum

dilakukan uji validasi, kepraktisan dan keefektifannya.

2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuat guru belum

menggunakan model dan media berbantuan ICT yang dapat mengaktifkan

siswa.

3. LAS pendukung pembelajaran belum dirancang sendiri oleh guru.


17

4. Siswa kesulitan dalam penyelesaian masalah yang berhubugan dengan

kemampuan berpikir kritis matematis.

5. Rendahnya kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

1.3. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan di

atas maka yang menjadi batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model Problem Based

Learning berbantuan Geogebra berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP), Buku Guru (BG), Buku Siswa (BS), dan Lembar Aktivitas Siswa

(LAS) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa MAN

Labuhanbatu.

2. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa menggunakan perangkat

pembelajaran yang dikembangkan dengan model Problem Based Learning

berbantuan Geogebra.

1.4. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan masalah yang telah

diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kevalidan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan

model Problem Based Learning berbantuan Geogebra dalam meningkatkan

kemampuan bepikir kritis matematis siswa MAN Labuhanbatu?


18

2. Bagaimana kepraktisan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan

model Problem Based Learning berbantuan Geogebra dalam meningkatkan

kemampuan bepikir kritis matematis siswa MAN Labuhanbatu?

3. Bagaimana keefektifan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan

model Problem Based Learning berbantuan Geogebra dalam meningkatkan

kemampuan bepikir kritis matematis siswa MAN Labuhanbatu?

4. Bagaimana peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa MAN

Labuhanbatu dengan menggunakan perangkat pembelajaran model Problem

Based Learning berbantuan Geogebra?

1.5. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan


untuk:
1. Menemukan perangkat pembelajaran matematika yang valid dengan

menggunakan model Problem Based Learning berbantuan Geogebra dalam

meningkatkan kemampuan bepikir kritis matematis siswa MAN Labuhanbatu.

2. Menemukan perangkat pembelajaran matematika yang praktis dengan

menggunakan model Problem Based Learning berbantuan Geogebra dalam

meningkatkan kemampuan bepikir kritis matematis siswa MAN Labuhanbatu.

3. Menemukan perangkat pembelajaran matematika yang efektif dengan

menggunakan model Problem Based Learning berbantuan Geogebra dalam

meningkatkan kemampuan bepikir kritis matematis siswa MAN Labuhanbatu.

4. Mendeskripsikan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa

MAN Labuhanbatu dengan menggunakan perangkat pembelajaran model

Problem Based Learning berbantuan Geogebra.


19

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang berarti bagi

siswa, guru, sekolah dan peneliti. Adapun manfaat penelitian yang diharapkan

adalah sebagai berikut:

1. Bagi siswa, memberi pengalaman baru dan mendorong siswa untuk terlibat

aktif dalam pembelajaran matematika di kelas, sehingga selain dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa, juga membuat

pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan bermanfaat.

2. Untuk guru, sebagai salah satu alternatif perangkat pembelajaran yang dapat

digunakan guru matematika MA kelas XI dalam mengajarkan materi

Trigonometri dengan model Problem Based Learning berbantuan Geogebra

untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

3. Bagi sekolah, sebagai bahan masukan untuk meningkatkan kemampuan

berpikir kritis matematis siswa dalam pembelajaran dan sebagai upaya

meningkatkan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan.

4. Bagi peneliti, sebagai bahan acuan dalam pengembangan perangkat

pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis

matematis siswa melalui model Problem Based Learning dengan berbantuan

Geogebra.
20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Berpikir merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia

terutama saat sedang menghadapi suatu masalah. Johnson (Mahmuzah, 2015: 64)

menyatakan bahwa berpikir merupakan suatu aktivitas mental yang dilakukan

seseorang untuk membantu merumuskan maslah atau memecahkan masalah dan

membuat keputusan yang tepat sesuai dengan yang diinginkannya. Krulik dan

Rudnick (Mahmuzah, 2015: 65) mengklasifikasikan keterampilan berpikir ke

dalam empat tingkat, yaitu: 1) menghafal (recall thinking), 2) dasar (basic

thinking), 3) kritis (critical thinking), 4) kreatif (creative thinking). Selanjutnya,

King (Mahmuzah, 2015: 65) mengelompokkan keempat tingkatan berpikir

tersebut menjadi dua kemampuan berpikir, yaitu kemampuan berpikir dasar dan

kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir dasar hanya terbatas

pada hal-hal rutin dan bersifat mekanis seperti menghafal dan mengulang

informasi yang pernah dipeolehnya, sedangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi

meliputi kemampuan pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis

dan berpikir kreatif.

Kemampuan berpikir kritis setiap individu berbeda antara satu dengan

lainnya sehingga perlu dipupuk sejak dini. Menurut Anderson (dalam Nahdi,

2015:14) bila berpikir kritis dikembangkan, seseorang akan cenderung untuk

mencari kebenaran, berpikir divergen (terbuka dan toleran terhadap ide-ide baru),

dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir secara sistematis, penuh rasa
21

ingin tahu, dewasa dalam berpikir, dan dapat berpikir secara mandiri. Dalam

berpikir kritis juga bertujuan untuk memberi pertimbangan atau keputusan

mengenai sesuatu (Noordyana, 2016: 123). Melalui berpikir kritis manusia dapat

menemukan cara-cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-

masalah yang dihadapi pada kehidupan sehari-hari.

Banyak ahli mendefenisikan berpikir kritis yang berbeda-beda, namun

pada umumnya mempunyai pengertian yang sama sehingga dapat dijadikan

sebagai landasan dalam menghasilkan suatu defenisi operasional.

Scriven & Paul (Karim, 2014: 190) mengungkapkan bahwa berpikir kritis

adalah Proses intelektual yang dengan aktif dan terampil mengkonseptualisasi,

menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi yang

dikumpulkan atau dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran,

atau komunikasi, untuk memandu keyakinan dan tindakan. Pendapat yang

hamper sama juga diungkapkan oleh Baron dan Sternberg (Mahmuzah, Ikhsan &

Yusrizal, 2014: 44) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu pikiran

yang difokuskan untuk memutuskan apa yang diyakini untuk dilakukan. Sejalan

dengan itu, Ennis (Husnidar, Ikhsan & Rizal, 2014: 73) juga mendefenisikan

berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk membuat

keputusan yang rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau

melakukan sesuatu.

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan para ahli di atas, terdapat

satu kesamaan mengenai pengertian berpikir kritis, yaitu aktivitas mental yang

dilakukan menggunakan langkah-langkah dalam metode ilmiah, yaitu: memahami


22

dan merumuskan masalah, mengumpulkan dan menganalisis informasi yang

diperlukan dan dapat dipercaya, merumuskan praduga dan hipotesis, menguji

hipotesis secara logis, mengambil kesimpulan secara hati-hati, melakukan

evaluasi dan memutuskan sesuatu yang akan diyakini atau sesuatu yang akan

dilakukan, serta meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi. Jadi berpikir

kritis adalah proses berpikir yang sistematis yang memungkinkan siswa untuk

merumuskan dan memutuskan keyakinannya sendiri serta mengevaluasi setiap

keputusannya dengan tepat. Seseorang yang berpikir kritis mampu mengambil

keputusan mengenai apa yang akan diyakini dan apa yang akan dilakukan

berdasarkan informasi yang dapat dipercaya dan pemahaman terhadap masalah

yang dihadapi.

Belajar untuk berpikir kritis berarti belajar bagaimana bertanya, kapan

bertanya, apa pertanyaannya, bagaimana nalarnya, kapan menggunakan penalaran,

dan metode penalaran apa yang dipakai. Seorang siswa dapat dikatakan berpikir

kritis bila siswa tersebut mampu menguji pengalamannnya, mengevaluasi

pengetahuan, ide-ide, dan mempertimbangkan argumen sebelum mendapatkan

justifikasi. Agar siswa menjadi pemikir kritis maka harus dikembangkan sikap-

sikap keinginan untuk bernalar, ditantang, dan mencari kebenaran (Noordyana,

2016: 124).

Ennis (Mahmuzah, 2015: 65) juga mengungkapkan bahwa ada enam unsur

dasar berpikir kritis yang harus dikembangkan dalam pembelajaran yaitu; fokus,

alasan, kesimpulan, situasi, kejelasan dan pemeriksaan secara menyeluruh.

Langkah fokus terhadap masalah atau mengidentifikasi masalah dengan baik,


23

mencari tahu apa masalah yang sebenarnya dan bagaimana membuktikannya.

Langkah selanjutnya adalah memformulasi argumen-argumen yang menunjang

kesimpulan, mencari bukti yang menunjang alasan dari suatu kesimpulan

sehingga kesimpulan dapat diterima atau dengan kata lain alasan yang diberikan

harus dan sesuai dengan kesimpulan. Jika alasan yang dikemukakan sudah tepat,

maka harus ditunjukkan seberapa kuatkah alasan itu dapat mendukung kesimpulan

yang dibuat. Situasi juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam

berpikir kritis karena aktifitas berpikir juga dipengaruhi oleh lingkungan atau

situasi yang ada disekitar sehingga kesimpulan juga harus disesuaikan dengan

situasi yang sebenarnya. Selain itu, istilah-istilah yang dipakai dalam suatu

argumen harus jelas sehingga kesimpulan dapat dibuat dengan tepat dan hal

penting terakhir yang harus dilakukan adalah memeriksa secara menyeluruh apa

yang sudah ditemukan, dipelajari dan disimpulkan.

Glazer (Mahmuzah, 2014: 66) menyatakan bahwa berpikir kritis dalam

matematika merupakan kemampuan kognitif dan disposisi untuk menggabungkan

pengetahuan, penalaran, serta strategi kognitif dalam menggeneralisasi,

membuktikan dan mengevaluasi situasi matematik yang tidak dikenali dengan

cara reflektif. Pendapat yang hampir serupa juga diungkapkan Krulik dan Rudnick

(Mahmuzah, 2014: 66), yang menyatakan bahwa yang termasuk berpikir kritis

dalam matematika adalah berpikir yang menguji, mempertanyakan,

menghubungkan, mengevaluasi setiap aspek yang ada dalam suatu masalah

ataupun situasi tertentu. Hal yang sama juga diungkapkan Lestari (2014:40)

menyatakan bahwa berpikir kritis matematis adalah kemampuan berpikir dalam


24

menyelesaikan masalah matematika yang melibatkan pengetahuan matematika,

penalaran matematika dan pembuktian matematika.

Berpikir kritis matematis adalah aktivitas mental dalam bidang matematika

yang dilakukan menggunakan langkah-langkah dalam metode ilmiah, yaitu:

memahami dan merumuskan masalah, mengumpulkan dan menganalisis informasi

yang diperlukan dan dapat dipercaya, merumuskan praduga dan hipotesis,

menguji hipotesis secara logis, mengambil kesimpulan secara hati-hati,

melakukan evaluasi dan memutuskan sesuatu yang akan diyakini atau sesuatu

yang akan dilakukan, serta meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi. Dari

definisi berpikir kritis di atas, maka berpikir kritis matematis adalah aktivitas

mental yang dilakukan menggunakan langkah-langkah (Abdullah, 2013: 73)

sebagai berikut :

1. Memahami dan merumuskan masalah dalam matematika

2. Mengumpulkan informasi yang diperlukan yang dapat dipercaya

3. Menganalisis informasi yang diperlukan dengan mengklarifikasi informasi

yang diperlukan dan yang tidak diperlukan.

4. Merumuskan konjektur (dugaan) atau hipotesis

5. Membuktikan konjektur atau menguji hipotesis dengan kaidah logika

6. Menarik kesimpulan secara hati-hati (reflektif)

7. Melakukan evaluasi

8. Mengambil keputusan

9. Melakukan estimasi dan generalisasi.


25

Seseorang yang berpikir kritis akan selalu peka terhadap informasi atau

situasi yang sedang dihadapinya, dan cenderung bereaksi terhadap situasi atau

informasi tersebut. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran

matematika dapat dikembangkan dengan cara menghadapkan siswa pada masalah

yang kontradiktif dan baru sehingga ia mengkonstruksi pikirannnya sendiri untuk

mencari kebenaran dan alasan yang jelas. Sehingga siswa dalam membuat

keputusan untuk menyelesaikan masalah pada pembelajaran matematika mampu

menghasilkan kesimpulan yang benar (Mahmuzah, 2015: 66).

Ennis (Zubaidah, 2010: 7), mengelompokkan indikator aktivitas berpikir

kritis ke dalam lima besar aktivitas berikut, yang dalam prakteknya dapat bersatu

padu membentuk sebuah kegiatan atau terpisah-pisah hanya beberapa indikator

saja.

a. Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan pertanyaan,

menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang

suatu penjelasan atau pernyataan.

b. Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan

apakah sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta

mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.

c. Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau

mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan

hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan.


26

d. Memberikan penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi istilah-

istilah dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi

asumsi.

e. Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan

berinteraksi dengan orang lain.

Angelo (Zubaidah, 2010: 17) mengidentifikasi lima perilaku yang

sistematis dalam berpikir kritis berikut ini:

a. Keterampilan Menganalisis, merupakan suatu keterampilan menguraikan

sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui

pengorganisasian struktur tersebut. Keterampilan tersebut tujuan pokoknya

adalah memahami sebuah konsep global dengan cara menguraikan atau

merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan

terperinci. Pertanyaan analisis, menghendaki agar pembaca

mengindentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses

berpikir hingga sampai pada sudut kesimpulan. Kata-kata operasional yang

mengindikasikan keterampilan berpikir analitis, diantaranya: menguraikan,

membuat diagram, mengidentifikasi, menggambarkan, menghubungkan,

memerinci, dan lainnya.

b. Keterampilan mensintesis, merupakan keterampilan yang berlawanan

dengan keteramplian menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah

keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan

atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk

menyatupadukan semua informasi yang diperoleh dari materi bacaannya,


27

sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak dinyatakan secara

eksplisit di dalam bacaannya. Pertanyaan sintesis ini memberi kesempatan

untuk berpikir bebas terkontrol.

c. Keterampilan Mengenal dan Memecahkan Masalah, merupakan

keterampilan aplikasi konsep kepada beberapa pengertian baru.

Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan

kritis sehingga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu

menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola

sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini bertujuan agar pembaca mampu

memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan atau

ruang lingkup baru.

d. Keterampilan Menyimpulkan, merupakan kegiatan akal pikiran manusia

berdasarkan pengertian atau pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya,

dapat beranjak mencapai pengertian atau pengetahuan (kebenaran) baru

yang lain. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa

keterampilan ini menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan

memahami berbagai aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu

formula baru yaitu sebuah simpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri,

dapat menempuh dua cara, yaitu: deduksi dan induksi. Jadi, menyusun

kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberda-yakan

pengetahuan sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau

pengetahuan baru.
28

e. Keterampilan mengevaluasi atau menilai, menuntut pemikiran yang

matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada.

Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar memberikan penilaian

tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu. Dalam

taksonomi belajar, menurut Bloom, keterampilan mengevaluasi

merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Pada tahap ini siswa

tuntut agar ia mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya dalam

menilai sebuah fakta atau konsep.

Berdasar pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan

berpikir kritis matematis siswa adalah suatu kecakapan berpikir siswa secara

efektif untuk mengkonseptualisasi, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan

mengevaluasi informasi yang diperoleh dari pengamatan, pengalaman, refleksi,

penalaran, atau komunikasi dengan tujuan mengambil keputusan yang masuk akal

tentang apa yang diyakini terhadap masalah matematis yang diberikan. Dalam

penelitian ini kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dapat diukur melalui

empat tahapan indikator, yaitu : (1) analisis yaitu memisahkan informasi kedalam

bagian-bagian yang lebih kecil dan terperinci, (2) mensintesis yaitu

menggabungkan bagian-bagian informasi kedalam bentuk atau susunan yang baru,

(3) mengenal dan memecahkan masalah meliputi memahami masalah dengan

kritis, mengambil pokok pikiran masalah dan mampu membuat pola dari suatu

konsep, dan (4) menyimpulkan meliputi mampu menguraikan dan memahami

berbagai aspek secara bertahap sampai kepada kesimpulan.

2.2. Perangkat Pembelajaran


29

Menurut Syahrir (2016: 437) Perangkat pembelajaran merupakan segala

sesuatu yang dapat menungkinkan guru dan siswa melakukan proses pembelajaran

sesuai kurikulum. Perangkat pembelajaran adalah segala bentuk bahan yang

digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar

di kelas. Perangkat pembelajaran juga merupakan sekumpulan sumber belajar

yang memungkinkan guru dan siswa melakukan pembelajaran. Pada penelitian ini

perangkat pembelajaran yang dikembangkan yaitu RPP, buku guru, buku siswa,

LAS dan tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan pembelajaran

Problem Based Learning berbantuan Geogebra pada sub pokok bahasan

Traigonometri di kelas X yaitu sebagai berikut:

a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah suatu rencana yang berisi

panduan yang harus dilakukan oleh guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran

yang disusun secara sistematis dalam skenario kegiatan pembelajaran. Menurut

salinan Lampiran Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses

Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikbud, 2016: 6), Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan pembelajaran tatap muka untuk satu

pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan

kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar

(KD). Setiap pendidik pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP

secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif,

inspiratif, menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi peserta didik untuk

berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
30

dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta

psikologis peserta didik. RPP disusun berdasarkan KD atau subtema yang

dilaksanakan kali pertemuan atau lebih. Adapun Komponen RPP (Permendikbud,

2016: 6), terdiri atas:

a. identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan;

b. identitas mata pelajaran atau tema/subtema;

c. kelas/semester;

d. materi pokok;

e. alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD

dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang

tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai;

f. tujuan pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD, dengan

menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang

mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan;

g. kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi;

h. materi pembelajaran, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang

relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan

indikator ketercapaian kompetensi;

i. metode pembelajaran, digunakan oleh pendidik untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai KD

yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan KD yang akan

dicapai;
31

j. media pembelajaran, berupa alat bantu proses pembelajaran untuk

menyampaikan materi pelajaran;

k. sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam

sekitar, atau sumber belajar lain yang relevan;

l. langkah-langkah pembelajaran dilakukan melalui tahapan pendahuluan,

inti, dan penutup; dan

m. penilaian hasil pembelajaran.

Dalam menyusun RPP hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip

(Permendikbud, 2016: 7), sebagai berikut:

a. Perbedaan individual peserta didik antara lain kemampuan awal, tingkat

intelektual, bakat, potensi, minat, motivasi belajar, kemampuan sosial,

emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang

budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.

b. Partisipasi aktif peserta didik.

c. Berpusat pada peserta didik untuk mendorong semangat belajar, motivasi,

minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, inovasi dan kemandirian.

d. Pengembangan budaya membaca dan menulis yang dirancang untuk

mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan

berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.

e. Pemberian umpan balik dan tindak lanjut RPP memuat rancangan program

pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi.


32

f. Penekanan pada keterkaitan dan keterpaduan antara KD, materi

pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indicator pencapaian kompetensi,

penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar.

g. Mengakomodasi pembelajaran tematik-terpadu, keterpaduan lintas mata

pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.

h. Penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi,

sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.

b. Buku Guru

Buku Guru merupakan buku panduan yang dijadikan sebagai pegangan guru

dalam melaksanakan proses pembelajaran. Menurut Novianto & Mustadi (2015:7)

buku guru adalah pedoman penerapan pendekatan pembelajaran, pengintegrasian

materi ajar, teknik penilaian, penggunaan buku siswa, serta panduan dalam

melaksanakan pembelajaran di kelas yang didesain menggunakan pendekatan

ilmiah dan asesmen otentik . Berikut penjelasan tentang fungsi buku guru.

1. Sebagai Petunjuk Penggunaan Buku Siswa

Tenaga pendidik harus mempelajari terlebih dahulu Buku Guru. Tenaga

pendidik harus menemukan informasi sebagai berikut:

a. Urutan acuan materi pelajaran yang dikembangkan dari Standar

Kompetensi Lulusan, Kompetensi Inti, Dan Kompetensi Dasar dari

masing-masing muatan pelajaran, yang kemudian dipadukan dalam

suatu tema tertentu

b. Jaringan tema dari masing-masing tema yang berisi kompetensi dasar

dan indikator dari masing-masing muatan pelajaran yang harus dicapai.


33

c. Pemilahan pembelajaran yang harus dikembangkan dari sub tema

dengan tujuan agar tenaga pendidik secara bertahap dapat

menyelenggarakan proses pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi

dasar yang harus dikuasai peserta didik

2. Sebagai Acuan Kegiatan Pembelajaran di Kelas

Buku tenaga pendidik menyajikah haal-hal sebagai berikut:

a. Menjelaskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai pada setiap pilahan

pembelajaran dari masing-masing subtema.

b. Menjelaskan media pembelajaran yang dapat digunakan dalam

menyelenggarakan proses pembelajaran agar tenaga pendidik sudah

menyiapkan media-media pembelajaran yang diperlukan.

c. Menjelaskan langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan dalam

menyelenggarakan proses pembelajaran agar dapat membantu tenaga

pendidik dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, dengan

sistematis mengikuti langkah-langkah pembelajaran tersebut.

d. Menjelaskan tentang teknik dan instrumen penilaian yang dapat

digunakan dalam setiap pilihan pembelajaran yang mungkin memiliki

karakteristik tertentu.

e. Menjelaskan jenis lembar kerja yang sesuai dengan pilihan

pembelajaran yang ada dalam Buku Guru

Buku guru merupakan suplemen bagi buku siswa. Yang dimaksudkan

dengan buku pegangan guru berisi petunjuk dalam memfasilitasi proses


34

pembelajaran matematika. Buku guru ini dirancang agar mereka dapat

membimbing siswa agar mengalami proses matematisasi.

c. Buku Siswa

Trianto (2013:227) mendefenisikan buku siswa sebagai panduan bagi

siswa dalam kegiatan pembelajaran yang memuat materi pelajaran, kegiatan

penyelidikan berdasarkan konsep, kegiatan sains, informasi dan contoh-contoh

penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Novianto & Mustadi (2015:7)

menambahkan buku siswa berisi kegiatan pembelajaran yang harus dilalui peserta

didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran

Kurikulum 2013. Buku siswa ini dimaksudkan sebagai buku pegangan siswa

yang disusun sebagai salah satu sumber belajar bagi mereka.

Buku siswa menjabarkan usaha minimal yang harus dilakukan peserta

didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan (Muklis & Setyaningsih, 2015:

374). Sebagai suatu sumber belajar, buku siswa dirancang agar mereka dapat

memperoleh bahan dan sekaligus arahan dan motivasi yang membuat mereka

dapat mengalami proses matematisasi secara terbimbing oleh guru. Buku yang

baik harus dirancang sehingga dapat menimbulkan minat pembaca, menjelaskan

tujuan instruksional (pengalaman belajar) sehingga proses belajar yang dihasilkan

merupakan proses yang fleksibel, terstruktur berdasarkan kebutuhan siswa dan

kompetensi akhir yang harus dicapai (tujuan pembelajaran) serta terfokus untuk

memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih melakukan kegiatan ilmiah.

Kegiatan ilmiah yang dimaksud adalah melakukan pengamatan,


35

bertanya,mengeksplorasi, mengasosiasikan dan mengkomunikasikan apa yang

telah diperoleh dan disimpulkan berdasarkan kegiatan yang dilakukannya.

Sesuai dengan kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan scientific

dan penilaian autentik, maka buku siswa pun diharapkan disusun sesuai dengan

pendekatan scientific dan mengandung penilaian autentik (Muklis &Setyaningsih,

2015:374). Buku siswa dapat menjadi sumber belajar yang bermakna bagi siswa,

sehingga pengorganisasian buku siswa memiliki karakteristik nasional yang

membedakannya dengan buku lainnya. Badan Standar Nasional Pendidikan

(BSNP) menjelaskan validitas buku ajar dapat dilihat dari empat dimensi

kelayakan buku yaitu: (1) kelayakan isi; (2) kelayakan penyajian; (3) kelayakan

bahasa dan (4) kelayakan kegrafikan.

Kelayakan isi bermakna bahwa buku siswa yang baik seharusnya berisi

materi yang mendukung tercapainya kompetensi inti dan kompetensi dasar.

Indikator dari kelayakan isi meliputi: (1) keluasan materi; (2) kedalaman materi;

(3) kelengkapan materi; dan (4) keakuratan materi. Kelayakan penyajian

bermakna bahwa penyajian buku dapat dinilai dari beberapa sub komponen atau

indikator seperti teknik penyajian,pendukung penyajian, konsistensi penyajian dan

penyajian bahan pembelajaran. kelayakan bahasa bermakna bahwa buku

siswayang ditulis dengan kaidah dan peristilahan yang benar, jelas dan sesuai

dengan kondisi perkembangan pembacanya, indikatornya adalah: (1) penggunaan

kaidah bahasa indonesia yang baik dan benar; (2) mengikuti aturan yang

disempurnakan; (3) peristilahan sesuai dengan konsep yang menjadi pokok

bahasan; (4) adanya penjelasan untuk peristilahan yang sulit atau tidak umum; (5)
36

bahasa yang digunakan sederhana, lugas, dan mudah dipahami siswa; dan (6)

bahasa disesuaikan dengan tahap perkembangan siswa dan komunikatif dan

mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Kelayakan kegrafikan bermakna

bahwa buku siswa dapat dilihat dari aspek ukuran buku, desain kulit buku dan

desain isi buku.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buku siswa

merupakan panduan siswa dalam kegiatan pembelajaran yang memuat materi

pelajaran, kegiatan penyelidikan berdasarkan konsep, kegiatan sains, informasi,

serta berisi masalah-masalah yang sesuai kontekstual dan diakhiri soal-soal

sebagai latihan mandiri.

d. Lembar Aktivitas Siswa (LAS)

Dalam pembelajaran matematika, kegiatan eksplorasi dapat dilakukan

dengan bantuan bahan ajar cetak, yaitu lembar aktivitas siswa (LAS). Lembar

aktivitas siswa (LAS) adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan

kegiatan penyelidikan atau pemecahan masalah. Salah satu cara implementasi di

kelas adalah dengan cara mengemas materi pelajaran dalam bentuk Lembar

Aktivitas Siswa (LAS) yang memiliki ciri mengetengahkan terlebih dahulu suatu

fenomena yang bersifat konkret, sederhana, dan berkaitan dengan konsep yang

akan dipelajari. Trianto (2013:222) mengatakan bahwa Lembar aktivitas siswa

(LAS) dapat berupa panduan untuk latihan pengembangan aspek kognitif maupun

panduan untuk pengembangan semua aspek pembelajaran dalam bentuk-bentuk

panduan eksperimen atau demonstrasi. Lembar Aktivitas Siswa (LAS berisi

aktivitas berpikir siswa untuk menemukan konsep dan menghubungkan konsep


37

yang telah ada untuk menyelesaikan suatu masalah. Dengan kata lain, Lembar

Aktivitas Siswa (LAS) memuat sekumpulan kegiatan mendasar yang harus

dilakukan oleh siswa untuk memaksimalkan pemahaman dalam upaya

pembentukan kemampuan dasar sesuai dengan indikator pencapaian hasil belajar

yang harus ditempuh.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa Lembar Aktivitas Siswa

(LAS) yang akan akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah LAS yang

berstruktur sesuai dengan prinsip model problem based learning berbantuan

geogebra dimana siswa dibimbing dengan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat

dalam LAS sehingga pada akhirnya diharapkan siswa dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kritis matematisnya

e. Tes Kemampuan Belajar

Perangkat pembelajaran juga dilengkapi dengan alat evaluasi berupa tes

kemampuan berpikir kritis matematis yang dapat digunakan untuk mengukur

kemampuan siswa dalam memahami konsep pada materi Trigonometri setelah

mengikuti kegiatan belajar mengajar. Tes Kemampuan belajar adalah butir tes

yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah mengikuti kegiatan

belajar mengajar (Trianto, 2011:235). Adapun dasar-dasar penyusunan tes

kemampuan belajar adalah sebagai berikut: (1) TKB harus dapat mengukur apa

yang dipelajari dalam proses pembelajaran sesuai dengan tujuan intruksional yang

tercantum dalam kurikulum yang berlaku; (2) TKB disusun sehingga benar-benar

mewakili bahan yang telah dipelajari; (3) Pertanyaan TKB hendaknya disesuaikan

dengan aspek-aspek tingkat belajar yang diharapkan; (4) TKB hendaknya disusun
38

dengan tujuan penggunaan tes itu sendiri, karena dapat disusun untuk berbagai

kebutuhan; (5) TKB disesuaikan dengan pendekatan pengukuran yang dianut

apakah mengacu pada kelompok (norm reference, standard relative) atau mengacu

petikan tertentu (criterion refrence, standard mutlak)

Tes kemampuan belajar (TKB) dalam penelitan ini adalah sejumlah

pertanyaan atau tugas yang diberikan pada siswa untuk memperoleh jawaban yang

menentukan keberhasilan proses pembelajaran mengenai kemampuan berpikir

kritis matematis siswa.

2.3. Kualitas Perangkat Pembelajaran

Sebuah produk pembelajaran dalam hal ini perangkat pembelajaran yang

digunakan nantinya oleh siswa harus berkualitas dan memenuhi kriteria-kriteria

tertentu. Nieveen (2007:94) menyatakan: “First of all, it is necessary to make

clear the type of value judgment that the evaluation needs to result in. In this

respect, we distinguish four quality criteria that are applicable to a wide array of

educational interventions. And the end of a design reseach project, the

intervention should suffice of all these criteria”. Pendapat di atas memiliki arti

bahwa perlu penilaian sebuah intervensi yang jelas berdasarkan empat kriteria

untuk kualitas intervensi yang seharusnya dipenuhi. Dalam hal ini, kita

membedakan empat kriteria kualitas yang berlaku untuk beragam intervensi

pendidikan. Keempat kriteria tersebut antara lain; (1) Relevance (content validity),

(2) Consistency (construct validity), (3) kepraktisan (practicality), (4) keefektifan

(effectiveness). Keempat kriteria tersebut ditulis dalam tabel berikut ini:


39

Tabel 2.1. Criteria for high quality interventions

Criterion
Relevance (also referred to There is a need for the intervention and its design
as content validity) is based on state-of the-art (scientific) knowledge.

Consistency (also referred to The intervention is ‘logically’ designed.


as construct validity)
Practicality Expected
The intervention is expected be usable in the
settings for wich it has been design and depeloved
Actual
The intervention is usable in the setting fo which
it has been designed and depeloved.
Effectiveness Expected
Using the intervention is expected to result in
desired outcomes.
Actual
Using the intervention result in desire outcomes.
(Sumber : Nieveen, 2013:29)

Lebih jauh Nieveen menyatakan bahwa aspek validitas dikaitkan dengan

dua hal, yaitu: (1) apakah material yang dikembangkan didasarkan pada rasional

teoritik yang kuat, (2) apakah didapat konsistensi secara internal di antara

komponen-komponen material. Untuk aspek kepraktisan dikaitkan dengan dua

hal, yaitu: (1) apakah para ahli dan praktisi menyatakan material yang

dikembangkan dapat diterapkan, dan (2) secara nyata di lapangan, material yang

dikembangkan dapat diterapkan. Sementara ukuran menyatakan bahwa material

yang dikembangkan efektif dikaitkan dengan dua hal, yaitu: (1) ahli dan praktisi

berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa material tersebut efektif, (2)

secara operasional di lapangan material tersebut memberikan hasil sesuai dengan

yang diharapkan.
40

Berdasarkan pendapat di atas, maka pada penelitian ini kualitas suatu

perangkat pembelajaran ditentukan oleh kriteria valid, praktis dan efektif. Ketiga

kriteria tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Validitas

Untuk mencapai validitas perangkat pembelajaran perlu dilakukan

validasi. Kevalidan perangkat pembelajaran ditinjau dari dua indikator, yaitu

kevalidan isi (content validity) dan kevalidan konstruks (construct validity)

perangkat tersebut. Akker (1999: 10) menyatakan “Validity refers to the extent

that the design of the intervention is based on state-of-the-art knowledge ('content

validity') and that the various components of the intervention are consistently

linked to each other ('construct validity')”. Pertnyataan tersebut menyatakan

bahwa validitas mengacu pada sejauh mana desain dari perangkat didasarkan pada

keadaan terbaru dari teknologi, seni dan ilmu (‘validasi isi’) dan berbagai variasi

komponen dari perangkat secara konsisten berkaitan satu sama lain (‘validitas

konstruk’).

Berdasarkan uraian diatas, indikator yang digunakan untuk menyatakan

kevalidan perangkat pembelajaran yang dikembangkan pada penelitian ini adalah:

a. Validitas Isi (Content Validity)

Suatu perangkat pembelajaran dikatakan memiliki validitas isi yang baik,

apabila komponen-komponen isi perangkat pembelajaran yang dikembangkan

didasarkan pada kurikulum dan didukung oleh teori-teori yang cukup luas dan

antar teori yang digunakan saling mendukung menjadi satu kesatuan mencapai
41

satu tujuan yaitu pemecahan masalah pembelajaran matematika yang tengah

berjalan.

b. Validitas Konstruk (construct validity)

Suatu materi pembelajaran dikatakan memiliki validitas konstruk yang

baik, apabila terdapat kondisi keterikatan setiap komponen material yang disusun.

Untuk dapat mencapai validitas perangkat pembelajaran tersebut perlu melalui

proses validasi. Berikut ini adalah komponen-komponen indikator dari aspek

validasi yang dikemukakan oleh Oemara (Akker, 1999: 10) kriteria validasi

secara umum yaitu:

1) Format

Format meliputi: (1) seluruh bagian dapat didefinisikan dengan jelas; (2)

halaman dan latihan diberi nomor; (3) ada kesinambungan antara teks dan

ilustrasi; (4) menggunakan huruf dan ukuran huruf yang tepat; (5) memiliki tata

letak yang baik; dan (6) memiliki ukuran yang tepat untuk ukuran fisik siswa.

2) Bahasa

Bahasa meliputi: (1) menggunakan model penulisan yang tepat; (2) tepat

untuk tahap perkembangan siswa; (3) menarik untuk dibaca; (4) teknik

pendefinisian jelas; (5) menggunakan struktur kosa kata yang sederhana dan jelas;

(6) memiliki tata letak yang baik; (7) memberikan penjelasan secara langsung; (8)

menarik minat untuk berkreasi.

3) Ilustrasi

Ilustrasi meliputi: (1) dapat mendukung pemahaman konsep; (2)

berhubungan langsung dengan konsep yang dipikirkan; (3) dapat memberi


42

ransangan secara visual; (4) memiliki arti yang sangat jelas; (5) mudah dipahami;

(6) dapat difotocopy; (7) cocok untuk konteks lokal; dan (8) ada keseimbangan

untuk anak laki-laki dan perempuan.

4) Konsep (isi)

Konsep (isi) meliputi: (1) akurat (benar); (2) dikelompokkan menurut

bagian-bagian yang logis; (3) topik-topik sesuai Kurikulum 2013; (4) mencakup

semua informasi yang diperlukan; (5) dikaitkan dengan materi/konsep sebelum

dan dalam satu rangkaian; (6) menggunakan sumber-sumber yang tersedia dan

sudah diperoleh siswa; (7) memotivasi siswa untuk belajar; (8) menumbuhkan

berpikir sistematik pada siswa; (9) menggunakan contoh-contoh yang sesuai

dengan keadaan setempat; dan (10) menghindari streo tipre (gender, etnik, religi

dan kelas sosial).

5) Tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran meliputi: (1) sesuai dengan KI/KD; (2) sesuai

dengan tingkat perkembangan siswa; (3) dapat dicapai (dilaksanakan) siswa; (4)

dikaitkan dengan tujuan pembelajaran pada topic sebelumnya; dan (5) seimbang

antara keterampilan dan pengetahuan.

2. Kepraktisan

Praktis dalam arti bahasa bermakna mudah digunakan dalam praktik.

Defenisi praktis Menurut Nieveen (2013:160) “Expected: The intervention is

expected to be usable in the setting for which it has been designed. Actual: The

intervention is usable in the setting for which it has been designed”. Pernyataan

tersebut menjelaskan bawa aspek kepraktisan dipenuhi jika: (1) ahli dan praktisi
43

menyatakan bahwa perangkat yang dikembangkan dapat diterapkan; dan (2)

kenyataan menunjukkan bahwa apa uang dikembangkan tersebut dapat

diterapkan.

Selanjutnya Akker (2013: 66) menyatakan bahwa “Practicality refers to

the extent that users (and other experts) consider the intervention as clear, usable

and costeffective in ‘normal’ conditions”. Kriteria kepraktisan menurut Akker

haus memenuhi batasan-batasan berikut: (1) ahli praktisi menilai bahwa apa yang

dikembangkan dapat diterapkan; dan (2) pengguna produk merasa mudah dalam

menggunakan produk yang dikembangkan.

Dalam penelitian ini, perangkat pembelajaran yang dikembangkan

dikatakan praktis jika memenuhi kriteria : (1) penilaian ahli dan praktisi bahwa

perangkat tersebut dapat digunakan dengan sedikit revisi atau tanpa revisi; (2)

guru dan siswa menyatakan bahwa perangkat yang dikembangkan mudah

digunakan; dan (3) hasil pengamatan keterlaksanaan perangkat pembelajaran di

kelas termasuk dalam kategori baik atau sangat baik.

3. Keefektifan

Efektifitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauhmana

seseorang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan (Hastratuddi,

2018:237). Menurut Akker (2013:60) “Effectiveness refers to the extent that the

experiences and outcomes with the intervention are congruent with the intended

aims”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa suatu perangkat pembelajaran

dikatakan efektif jika perangkat pembelajaran tersebut telah mencapai sasaran

yang diharapkan.
44

Menurut Hasratuddin (2018: 242) indikator keefektifan pembelajaran

dapat didasarkan pada pencapaian ketuntasan belajar (apabila memiliki daya serap

minimal 65%, sedangkan ketuntasan klasikal tercapai apabila 85% siswa telah

tuntas), pencapaian ketuntasan tujuan pembelajaran (minimal 75% tujuan

pembelajaran yang dirumuskan dapat dicapai oleh minimal 65% siswa), waktu

yang digunakan dalam pembelajaran efisien atau tidak melebihi pembelajaran

biasa, serta respon siswa terhadap pembelajaran positif.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Keefektifan

pembelajaran didefenisikan sebagai hasil guna yang diperoleh setelah pelaksanaan

proses pembelajaran. Dalam penelitian ini, perangkat pembelajaran dikatakan

efektif jika memenuhi indikator: (1) pencapaian ketuntasan belajar siswa secara

klasikal apabila 85% siswa yang mengikuti tes kemampuan berpikir kritis

matematis telah memperoleh nilai ≥ 75; (2) pencapaian ketuntasan tujuan

pembelajaran (minimal 75% tujuan pembelajaran yang dirumuskan dapat dicapai

oleh minimal 65% siswa); (3) waktu yang digunakan dalam pembelajaran efisien

atau tidak melebihi pembelajaran biasa; (4) respon siswa terhadap pembelajaran

adalah positif.

2.4. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Pengembangan perangkat pembelajaran yang akan dilakukan dalam

penelitian ini adalah mengacu kepada model pengembangan Thiagarajan yang

juga dikenal dengan “Four-D Model”atau model 4-D. Model pengembangan 4-D

ini terdiri atas empat tahap pengembangan, yaitu: Define (pendefinisian), Design

(perancangan), Develop (pengembangan), dan Desseminate (penyebaran)


45

(Thiagarajan, Semmel and Semmel, 1974:5) . Adapun alasan penulis memilih

model pengembangan Thiagarajan untuk dipakai dalam penelitian ini karena

model pengembangan itu terperinci dan lebih sistematis sehingga memudahkan

dalam melakukan proses pengembangan perangkat pembelajaran dan

instrumennya. Secara skematis keempat tahap tersebut disajikan dalam gambar

berikut.

Tahap I: Define Tahap II: Design

Tahap III: Develop Tahap IV: Disseminate


(Sumber: Thiagarajan, Semmel and Semmel, 1974:5-9)

Gambar 2.1: Tahap Pengembangan Perangkat pembelajaran Model 4-D


46

Berdasarkan gambar 2.1 di atas tahap pengembangan materi pembelajaran

model 4-D secara singkat dijelaskan sebagai berikut:

1. Tahap Pendefinisian (Define)

Tahap ini bertujuan untuk menentukan dan mendefinisikan kebutuhan

pelajaran yang dilakukan dengan menganalisis tujuan dan batasan meteri yang

akan dikembangkan perangkat pembelajaran. Adapun kegiatan-kegiatan yang

dilakukan dalam tahap pendefinisian adalah analisis awal-akhir, analisis siswa,

analisis konsep, analisis tugas, dan spesifikasi tujuan pembelajaran.

a. Analisis Awal-akhir (Front-end analysis)

Analisis awal-akhir bertujuan untuk menetapkan masalah dasar yang

dihadapi dalam pembelajaran matematika sehingga dibutuhkan pengembangan

perangkat pembelajaran. Berdasarkan masalah ini disusunlah alternatif sebuah

pengembangan perangkat pembelajaran dengan model Problem Based Leaning

berbantuan Geogebra. Dalam melakukan analisis awal-akhir perlu

dipertimbangkan beberapa hal sebagai alternatif pengembangan perangkat

pembelajaran, yaitu teori belajar, tantangan dan tuntutan masa depan (Trianto,

2010: 191)

Analisis awal-akhir diawali dari pengetahuan , keterampilan dan sikap awal

yang dimiliki siswa untuk mencapai tujuan akhir yaitu tujuan yang tercantum

dalam kurikulum. Kesenjangan antara hal-hal yang sudah diketahui siswa dengan

apa yang seharusnya dicapai siswa memerlukan telaah kebutuhan (needs) akan

perangkat pembelajaran tersebut.


47

b. Analisis Siswa (Learner analysis)

Kegiatan ini dilakukan untuk menelaah karakteristik siswa sesuai dengan

rancangan dan pengembangan perangkat pembelajaran yang telah ditetapkan pada

analisis awal-akhir. Karakteristik ini meliputi latar belakang kemampuan berpikir

kritis matematis siswa dan pengalaman belajar siswa baik secara kelompok

maupun individu.

c. Analisis Konsep (Concepts analysis)

Analisis konsep bertujuan untuk mengidentifikasi, memilih dan menyusun

secara sistematis konsep-konsep yang relevan yang akan diajarkan berdasarkan

analisis awal-akhir.

d. Analisis Tugas (Task analysis)

Analisis tugas merupakan pengidentifikasian keterampilan/tugas utama

yang diperlukan dalam pembelajaran sesuai kurikulum.

e. Spesifikasi Tujuan Pembelajaran ( Specifying instructional objectives)

Spesifikasi Tujuan Pembelajaran bertujuan untuk merumuskan tujuan

pembelajaran khusus berdasarkan hasil analisis tugas dan analisis konsep yang

menjadi Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK). Perincian tujuan pembelajaran

khusus tersebut merupakan acuan dalam merancang perangkat pembelajaran, dan

instrumen pembelajarannya.

2. Tahap Perancangan (Design)

Tahap ini bertujuan untuk merancang perangkat pembelajaran dan

instrumen, sehingga diperoleh prototype. Tahap ini dimulai setelah ditetapkan

tujuan pembelajaran khusus. Kegiatan pada tahap ini adalah merancang solusi dari
48

masalah yang telah didefinikan dalam analisis awal-akhir. Hasil dari perancangan

adalah dokumen desain. Rancangan ini juga diikuti dengan kegiatan penyusunan

tes, pemilihan media, pemilihan format, dan perancangan awal.

a. Penyusunan Tes Beracuan Patokan (Constructing criterion-referenced test)

Penyusunan tes beracuan patokan merupakan langkah awal yang

menghubungkan tahap define dan tahap design. Tes disusun berdasarkan hasil

perumusan tujuan pembelajaran khusus. Tes ini merupakan suatu alat mengukur

terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa setelah kegiatan belajar

mengajar.

Dalam merancang tes hasil belajar siswa dibuat pedoman dan acuan

penskoran, Penskoran yang akan digunakan pada penyusunan tes adalah Penilaian

Acuan Patokan (PAP) karena PAP berorientasi pada tingkat kemampuan siswa

pada materi yang akan diteskan sehingga skor yang diperoleh mencerminkan

presentasi kemampuan.

b. Pemilihan Media (Media selection)

Kegiatan ini dilakukan untuk menentukan media yang tepat dalam

menyajikan materi pelajaran. Pemilihan media disesuaikan dengan hasil analisis

konsep dan analisis tugas serta karakteristik siswa. Pemanfaatan media harus

dapat menunjang aktivitas pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk mencapai

tujuan pembelajaran sesuai dengan kurikulum.

c. Pemilihan Format (Format selection)

Pemilihan format perangkat pembelajaran dimaksudkan untuk mendesain

isi, strategi dan sumber pembelajaran.


49

d. Perancangan Awal (Initial Design)

Kegiatan utama dalam tahap akhir kegiatan perancangan adalah merancang

perangkat pembelajaran yang terdiri dari RPP, buku guru, buku siswa, LAS, dan

tes kemampuan berpikir kritis matematis.

3. Tahap Pengembangan (Develop)

Tujuan tahap pengembangan adalah untuk menghasilkan draf perangkat

pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan masukan para ahli dan data yang

diperoleh dari uji coba lapangan. Kegiatan pada tahap ini adalah penilaian para

ahli dan uji coba lapangan, yaitu sebagai berikut:

a. Penilaian para ahli (Expert appraisal)

Penilaian para ahli meliputi validitas isi (content validity) yang meliputi

semua perangkat pembelajaran yang akan dikembangkan pada tahap perencanaan.

Hasil validasi para ahli digunakan sebagai dasar melakukan revisi perangkat

pembelajaran. Adapun validasi mencakup:

1) Isi perangkat pembelajaran

Apakah isi perangkat pembelajaran sesuai dengan materi pembelajaran

dan tujuan yang akan diukur.

2) Bahasa

Apakah kalimat pada perangkat pembelajaran menggunakan bahasa

Indonesia yang baik dan benar serta tidak menimbulkan penafsiran ganda.

b. Ujicoba Lapangan (Developmental testing)

Uji coba lapangan dilakukan untuk memperoleh masukan langsung dari

lapangan terhadap perangkat pembelajaran yang akan disusun. Perangkat


50

pembelajaran diujicobakan kepada siswa dalam pembelajaran dan akan dilihat

respon siswa terhadap pembelajaran.

4. Tahap Penyebaran (Disseminate)

Pada tahap ini terdapat tiga langkah, yaitu:

a. Uji validasi (Validating testing)

Pada tahap uji validasi perangkat digunakan pada kondisi replikbel. Pada

tahap ini materi digunakan pada kondisi tiruan, untuk mendemonstrasikan: siapa

yang belajar, apa yang diperalajari, pada kondisi yang bagaimana dan berapa

banyak waktu yang digunakan. Pada langkah ini materi juga dibawakan pada

pemeriksaan professional untuk pendapat yang lebih objektif mengenai

kecukupan relevansinya.

b. Pengemasan (Packaging)

Pada tahap ini dipilih prosedur dan distributor yang akan mengemas

perangkat pembelajaran dalam bentuk yang dapat diterima oleh pengguna.

c. Perangkat pembelajaran disebarkan dan diadopsi oleh pengguna (Diffution

and adopting)

Tahapan ini merupakan tahap penggunaan perangkat pembelajaran yang

telah dikembangkan menjadi skala yang lebih luas, misalnya: dikelas lain, sekolah

lain, guru lain pada forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran. Tujuan dari tahap

ini adalah untuk menguji efektivitas penggunaan perangkat pembelajaran dalam

kegiatan belajar mengajar.


51

Model pengembangan Thiagarajan dalam pengembangan perangkat

pembelajaran pada tahap penyebaran ini dilakukan secara terbatas karena

keterbatasan peneliti.

2.5. Penerapan Model Problem Based Learning

Proses pembelajaran pada kurikulum 2013 untuk semua jenjang

dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan saintifik yaitu pendekatan

pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Penerapan pendekatan saintifik

(ilmiah) dalam pembelajaran di sekolah bertujuan untuk membiasakan peserta

didik berfikir, bersikap, serta berkarya dengan menggunakan kaidah dan langkah

ilmiah (Musfiqon dan Nurdyansyah, 2015:57). Proses pembelajaran kurikulum

2013 dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach)

yang meliputi mengamati (observing), menanya(questioning), menalar

(associating), mencoba (experimenting) dan membentuk jejaring (networking).

Untuk memperkuat pendekatan ilmiah, sangat disarankan untuk menerapkan

pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning),

pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan untuk mendorong

peserta didik menghasilkan karya kreatif dan kontekstual, baik individual maupun

kelompok, disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang

menghasilkan karya (project based learning) yang berbasis pemecahan masalah

(Permendikbud No.65 tahun 2013).

Selanjutnya Musfiqon dan Nurdyansyah (2015: 58) menyebutkan bahwa

sebuah proses pembelajaran yang digenjot oleh seorang tenaga pendidik di

kelasnya akan dapat disebut ilmiah bila proses pembelajaran tersebut memenuhi
52

kriteria-kriteria berikut ini: (a) Substansi atau materi pembelajaran benar-benar

berdasarkan fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau

penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng

semata; (b) Penjelasan tenaga pendidik, respon peserta didik, dan interaksi

edukatif tenaga pendidik-peserta didik harus terbebas dari prasangka yang serta-

merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir

logis; (c) Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis,

analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan

mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran; (d) Mendorong dan

menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik (membuat dugaan) dalam

melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau

materi pembelajaran; (e) Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu

memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan

objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran; (f) Berbasis pada

konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan; (g) Tujuan

pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem

penyajiannya.

Lestari dan Yudhanegara (2017:43) menyatakan bahwa Problem Based

Learning merupakan model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu

masalah sehingga siswa data mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi

dan keterampilan penyelesaian masalah serta memperoleh pengetahuan baru

terkait dengan permasalahan tersebut. Model pembelajaran Problem Based

Learning didesain dalam bentuk pembelajaran yang diawali dengan struktur


53

masalah real yang berkaitan dengan konsep-konsep matematika yang akan

diajarkan, siswa tidak hanya sekedar menerima informasi dari guru saja tetapi

guru harus memotivasi dan mengarahkan siswa agar aktif dalam seluruh

pembelajaran (Yusri, 2017:53).

Selanjutnya Lestari dan Yudhanegara (2017:43) menyebutkan bahwa

pembelajaran dengan model Problem Based Leaning dilandasi oleh teori belajar

kognitif yang melibatkan lima aspek dalam pembelajaran, yaitu:

Tabel. 2.2 Tahapan Problem Based Learning

Fase Deskripsi
Orientation Orientasi siswa terhadap masalah. Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
perangkat yang dibutuhkan, memotivasi siswa, dan
memajukan masalah sebagai langkah awal
pembelajaran. Masalah awal yang diajukan
biasanya masalah dalam dunia nyata.
Engagement Siswa terlibat dalam aktivitas penyelesaian masalah
Inquiry and Investigation Siswa melakukan penyelidikan dan investigasi
dalam rangka menyelesaikan masalah
Debriefing Siswa melakukan Tanya jawab dan diskusi terkait
kegiatan penyelesaian masalah yang telah dilakukan

Menurut Arends (2008:42), model Problem Based Learning memiliki

karakteristik sebagai berikut :

a. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah

mengorganisasikan pengajaran di sekitar masalah sosial yang penting bagi

peserta didik. Peserta didik dihadapkan pada situasi kehidupan nyata,

mencoba membuat pertanyaan terkait masalah dan memungkinkan

munculnya berbagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan.

b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun pembelajaran berdasarkan

masalah berpusat pada pelajaran tertentu (IPA, matematika, sejarah), namun


54

permasalahan yang diteliti benar-benar nyata untuk dipecahkan. Peserta didik

meninjau permasalahan itu dari berbagai mata pelajaran.

c. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan

peserta didik untuk melakukan penyelidikan autentik untuk menemukan

solusi nyata untuk masalah nyata. Peserta didik harus menganalisis dan

menetapkan masalah, kemudian mengembangkan hipotesis dan membuat

prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan

percobaan (bila diperlukan), dan menarik kesimpulan.

d. Menghasilkan produk dan mempublikasikan. Pembelajaran berdasarkan

masalah menuntut peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam

bentuk karya nyata atau peragaan yang dapat mewakili penyelesaian masalah

yang mereka temukan.

e. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah ditandai oleh peserta didik

yang saling bekerja sama, paling sering membentuk pasangan dalam

kelompok-kelompok kecil. Bekerja sama memberi motivasi untuk secara

berkelanjutan dalam penugasan yang lebih kompleks dan meningkatkan

pengembangan keterampilan sosial.

Dari pendapat Arends di atas dapat disimpulkan bahwa proses

pembelajaran diawali dengan permasalahan yang berhubungan dengan dunia

nyata, kemudian proses tersebut dijalakan secara mandiri oleh siswa dengan

menggunakan kelompok kecil dan pada akhirnya mempresentasikan hasil

diskusinya. Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru

memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada peserta didik melainkan


55

untuk membantu para peserta didik mengembangkan kemampuan intelektualnya,

kemampuan berpikir, dan pemecahan masalah yang peserta didik temui dalam

kehidupan sehari-hari. Sebagaimana menurut Albanese & Mitcell; Dolmans &

Schmidt (dalam Khoiri, Rohmat dan Cahyono, 2013:116) yang mengungkapkan

bahwa PBL selain melengkapi siswa dengan pengetahuan, PBL juga bisa

digunakan untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, kemampuat

berpikir kritis dan kreatif, belajar sepanjang hayat, keterampilan komunikasi,

kerjasama kelompok, adaptasi terhadap perubahan dan kemampuan evaluasi diri.,

Sumarmo (dalam Surya, E., Syahputra, E., dan Juniati, N., 2018: 25)

menyatakan bahwa: “The problem-based learning as a learning approach that

begins with the presentation of the problem which is designed in a context

relevant to the material to be learned to push students: gain knowledge and

understanding of concepts, critical thinking, having reached independence of

learning, participate in group work skills, and problem solving ability”. Hal

serupa juga diungkapkan oleh Ibrahim (Sariningsih dan Purwasih, 2017:169)

pembelajaran berdasarkan masalah tidak dirancang untuk membantu guru

memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi

pembelajaran berbasis masalah dikembangkan untuk membantu siswa

mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan ketrampilan

intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam

pengalaman nyata. Musfiqon dan Nurdyansyah (2015: 142) juga menambahkan

bahwa dalam model Problem Based Learning peran tenaga pendidik dan peserta

didik dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:


56

Tabel 2.4. Peran Tenaga Pendidik dan Peserta Didik dalam


Model Problem Based Learning

Peserta Didik Masalah Sebagai


Tenaga Pendidik Sebagai Pelatih Sebagai Problem Awal Tantangan
Solver dan Motivasi
o Asking about thinking o Peserta yang o Menarik untuk
(bertanya tentang pemikiran) aktif dipecahkan
o Memonitor pembelajaran o Terlibat o Menyediakan
o Probbing (menantang peserta langsung dalam kebutuhan yang
didik untuk berfikir) pembelajaran ada
o Menjaga agar peserta didik o Membangun hubungannya
terlibat pembelajaran dengan
o Mengatur dinamika kelompok pelajaran yang
o Menjaga berlangsungnya dipelajari.
proses

Sintaks Pembelajaran Model Problem Based Learning berisi lima langkah

utama yang dimulai guru dengan memperkenalkan siswa terhadap masalah yang

diakhiri dengan tahap penyajian dan analisis kerja siswa. Kelima tahapan tersebut

disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.3. Sintaks Pembelajaran Problem Based Learning

Tahap Tingkah Laku Guru


Tahap-1 Menjelaskan tujuan pembelajaran
Orientasi siswa pada masalah menjelaskan logistik yang diperlukan,
memotivasi peserta didik untuk terlibat
dalam aktivitas pemecahan masalah, dan
mengajukan masalah.
Tahap-2 Membagi peserta didik ke dalam kelompok,
Mengorganisasi siswa untuk membantu peserta didik mendefinisikan dan
belajar mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah.
Tahap-3 Mendorong peserta didik untuk
Membimbing pengalaman mengumpulkan informasi eksperimen dan
individual/kelompok penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan
dan pemecahan masalah.
Tahap-4 Membantu peserta didik dalam
Mengembangkan dan merencanakan dan menyiapkan laporan,
menyajikan hasil karya dokumen atau model dan membantu mereka
berbagi tugas dengan sesame temannya.
57

Tahap-5 Membantu siswa untuk melakukan refleksi


Menganalisis dan atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka
mengevaluasi proses dan proses yang mereka gunakan.
pemecahan masalah

(Syahrir dan Susilawati, 2015:165)

Model Problem Based Learning dinilai memiliki berbagai kelebihan dan

kekurangan dalam proses pembelajaran. Trianto (dalam Astriani, Surya, E., dan

Syahputra, E., 2017: 3442) menyatakan bahwa: Problem Based Learning

memiliki kelebihan dan kekurangan dalam proses pembelajaran. Adapun

kelebihan model Problem Based Learning adalah sebagai berikut: (1) Realistis

dengan kehidupan siswa; (2) konsep sesuai dengan kebutuhan siswa; (3)

Memupuk sifat inquiri siswa; (4) Retensi konsep menjadi kuat; dan (5)

Menmupuk kemampuan problem solving. Selain kelebihan ada juga

kekurangannya, antara lain: (1) Persiapan pembelajaran (alat, masalah, konsep)

yang kompleks; (2) Sulitnya mencari problem yang relevan; (3) Sering terjadi

miss-konsepsi dan (4) Membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Berdasarkan pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa Problem

Based Learning adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah

nyata sebagai fokus bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan

keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan

konsep yang esensial dari materi pelajaran.

2.6. Software Geogebra Dalam Pembelajaran Matematika

Salah satu media pembelajaran yang memanfaatkan teknologi adalah

media berbasis komputer. Teknologi, khususnya komputer menjadi media untuk


58

menghubungkan antara ide matematika yang abstrak dengan ide matematika yang

kongkit (Nopiyani, Turmudi & Prabawanto, 2016: 47). Hal yang sama juga

diungkapkan oleh Nur’aini, Harahap, Badruzzaman dan Darmawan (2017: 2)

bahwa komputer dapat berfungsi sebagai media pembelajaran yang dapat

memberikan pengalaman visual kepada para siswa dalam berinteraksi dengan

objek-objek matematika. memiliki benyak software yang dapat dijadikan sebagai

salah satu alternatif yang digunakan untuk membantu proses pembelajaran

matematika. Komputer

Salah satu program komputer (software) yang dapat dimanfaatkan dalam

pembelajaran matematika khususnya geometri adalah Geogebra. Hal ini diperkuat

oleh Sugiarto (2017: 43) yang menyatakan bahwa software yang dimanis ini dapat

digunakan sebagai alat bantu pembelajaran matematika mencakup materi

matematika seperti aritmatika, geometri, aljabar dan kalkulus. Senada dengan hal

itu Hohenwater, Markus dan Judith H. (Herawati, 2017: 41) juga mengungkapkan

bahwa Geogebra adalah software dinamis yang menggabungkan geometri, aljabar

dan kalkulus.

Nama GeoGebra merupakan kependekan dari geometry (geometri) dan

algebra (aljabar). Geogebra dikembangkan oleh Markus Hohenwater pada tahun

2001, gagasan tentang pengembangan pemprograman perangkat lunak dilakukan

dengan menggabungkan geometri dan aljabar (Fatimah, Amam dan Effendi, 2017:

180). Software ini dikembangkan untuk proses belajar mengajar matematika di

sekolah oleh Markus Hohenwater di Universitas Florida Atlantic (Putro, 2016:50).


59

Menurut Ekawati (2016:149) Geogebra diciptakan untuk membantu siswa

memperoleh pemahaman yang lebih baik dalam matematika.

Hohenwarter dan Preiner (Hohenwarter, Kreis & Lavicza, 2008:1)

menyatakan bahwa: “The multi-platform, open-source dynamic mathematics

software GeoGebra tries to combine the ease-of-use of dynamic geometry

software with the versatilepossibilities of computer algebra systems”. Berdasarkan

pendapat Hohenwater dan Preiner diperoleh bahwa Geogebra merupakan

perangkat yang dinamis, bebas, dan multi-platform yang menggabungkan

geometri, aljabar, tabel, grafik, statistik dan kalkulus dalam satu paket yang

mudah dan bisa digunakan untuk semua jenjang pendidikan. Dinamis berarti

pengguna dapat menghasilkan aplikasi matematika yang interaktif. Bebas berarti

dapat digunakan dan digandakan dengan cuma-cuma serta termasuk perangkat

lunak open-source sehingga setiap orang dapat mengubah atau memperbaiki

programnya. Multi-platform berarti komputer jenis apa saja dapat menjalankan

GeoGebra.

Tampilan layar Software Geogebra cukup sederhana, seperti tampak pada

gambar di bawah ini:


Baris Toolbar
60

Jendela Aljabar
Jendela Geometri/
Papan Gabar
Undo/Red
o

Baris Input
Data

Gambar 2.2. Tampilan Software GeoGebra

Sari, Farida dan Syazali (2016: 136) menyatakan bahwa GeoGebra

merupakan sebuah software sistem geometri dinamis sehingga dapat

mengkontruksikan titik, vektor, ruas garis, garis, irisan kerucut, bahkan fungsi dan

mengubahnya secara dinamis. Software GeoGebra menyajikan masalah-masalah

dan siswa merespon dengan cara melakukan praktek. GeoGebra dapat membantu

siswa untuk mengembangkan proses eksperimen, berorientasi pada masalah, dan

pembelajaran penemuan pada konsep-konsep matematika (Saputro, Prayito dan

Nursyahidah, 2015:33). Salah satu konsep matematika yang dapat dikonstruksi

dengan bantuan GeoGebra adalah trigonometri. Konsep ini dianggap rumit oleh

peserta didik. Padahal, konsep tersebut mendasari berbagai konsep matematika

yang lainnya dan banyak dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab

itu, pengetahuan trigonometri di kelas X memiliki peran sentral dalam

mengonstruksi pengetahuan trigonometri pada jenjang kelas berikutnya (Fatimah,

Amam, dan Effendi, 2017:181)


61

Menurut Mahmudi (dalam Waluyo, 2016:91) kelebihan program Geogebra

dalam pembelajaran matematika antara lain sebagai berikut: (1) Dapat

menghasilkan lukisanlukisan geometri dengan cepat dan teliti dibandingkan

dengan menggunakan pensil, penggaris, atau jangka. (2) Adanya fasilitas animasi

dan gerakan-gerakan manipulasi (dragging) pada program Geogebra dapat

memberikan pengalaman visual yang lebih jelas kepada siswa dalam memahami

konsep geometri. (3) Dapat dimanfaatkan sebagai balikan/evaluasi untuk

memastikan bahwa lukisan yang telah dibuat benar. (4) Mempermudah guru/siswa

untuk menyelidiki atau menunjukkan sifat-sifat yang berlaku pada suatu objek

geometri.

Menurut Hohenwarter dan Fuchs (Nur, 2016: 13), GeoGebra adalah

software serbaguna untuk pembelajaran matematika di sekolah dan perguruan

tinggi. Dalam pembelajaran matematika GeoGebra dapat dimanfaatkan sebagai

berikut; (1) GeoGebra untuk media demontrasi dan visualisasi. (2) GeoGebra

sebagai alat bantu kontruksi. (3) GeoGebra sebagai alat bantu penemuan konsep

matematika. (4) GeoGebra untuk menyiapkan bahan-bahan pengajaran.

Tabel 2.5. Daftar Icon pada GeoGebra beserta Fungsinya (Markus

Hohenwarter & Judith, 2009)

Nama Icon Fungsi Icon Nama Icon Fungsi Icon

Menggeser Objek Mencerminkan


objek ke titik
Move Mirror object at
point
Geseran memutar Merotasikan objek
mengelilingi titik mengelilingi titik
Rotate dengan sudut
62

Around Point Retate object tertentu


around point by
angle
Membuat titik Menggeser objek
dengan vektor yang
New Point Diketahui
Translate object
by vector
Menentukan Titik Mengecek data dan
Tengah Slider label
Midpoint or
center
Membuat garis Melakukan perintah
yang melalui dua ditampilkan atau
Line through buah titik Check box to show tidak
two points and hide object
Membuat ruas garis Menulis teks di
antara dua titik layar
Segment Insert text
between two
points
Memenbuat ruas Mengeksport
garis dengan gambar
Segment with panjang tertentu Insert image
given lenght dari titik tertentu
from point
Membuat sinar Menentukan
garis yang melalui hubungan antara dua
Ray through dua titik Relation between objek
two points two object
Membuat vektor Menggerakkan layar
antara dua titik gambar
Vector Move Drawing pad
between two
points
Membuat vektor Perbesar tampilan
dari sebuah titik objek
Vector from Zoom in
point
Menggambar garis Perkecil tampilan
tegak lurus objek
Perpendicular Zoom out
line
Menggambar garis Tampilkan atau
sejajar tidak objekl yang
63

Parallel line Show/ hide object ditentukan


Membuat garis Tampilkan atau
bagi tidak label yang
Line bisector Show/ hide label ditentukan

Dalam prakteknya, GeoGebra dapat digunakan secara mandiri (artinya

tanpa aplikasi lain) atau dapat juga dikombinasikan dengan aplikasi yang lain.

Dengan berdasar pendekatan saintifik, seperti yang ditekankan pada Kurikulum

2013, maka proses pembelajaran disajikan dalam beberapa langkah diantaranya:

(1) mengamati (2) menanya (3) mengumpulkan informasi/ eksperimen (4)

mengasosiasikan/ mengolah informasi (5) mengkomunikasikan. Penggunaan

GeoGebra dapat dimanfaatkan untuk mendukung proses-proses tersebut karena

fitur yang disediakan oleh GeoGebra sudah lengkap tinggal bagaimana guru dapat

membuat media serta meramunya dalam proses pembelajaran.

2.7. Teori Belajar Pendukung Model Problem Based Learning

Teori belajar dapat membantu guru untuk memahami bagaimana peserta

didik belajar. Berdasarkan teori belajar, guru dapat merancang dan merencanakan

proses pembelajarannya. Teori belajar juga dapat menjadi panduan guru untuk

mengelola kelas, membantu guru untuk mengevaluasi proses, perilaku guru

sendiri serta hasil belajar siswa yang telah dicapai. Teori belajar yang mendasari

Model Problem Based Learning dengan karakteristiknya diantaranya teori belajar

Jhon Dewey tentang pentingnya orientasi masalah, teori belajar Jean Piaget dan

pandangan konstruktivismenya, teori belajar David Ausubel, teori belajar Jhon

Dewey, teori belajar Vygotsky dan teori belajar dari Jerome Bruner dengan

pembelajaran penemuan. Beberapa teori belajar ini akan mendampingi


64

karakteristik pembelajaran model Problem Based Learning yang akan diterapkan

dalam penelitian ini.

Karakteristik pertama dari model Problem Based Learning yaitu Pengajuan

pertanyaan atau masalah, dimana guru memunculkan pertanyaan yang nyata di

lingkungan siswa serta dapat diselidiki oleh siswa pada masalah yang autentik.

Vygotsky (Nu’man, 2015: 353) percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi

pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang, dan

ketika mereka berusaha memecahkan masalah yang dimunculkan oleh

pengalaman tersebut. Dalam upaya mendapatkan pemahaman,

individu berusaha mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang

telah dimilikinya kemudian kemudian membangun pengertian baru. Vygotsky

(Tyas, 2017: 45) bahwa pengetahuan akan dibangun melalui pengalaman dan

lingkungan sekitar siswa. Dalam pengalaman ini, individu menghubungkan

pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya dan mengkonstruksikan

makna baru. Kenyakinan Vygotsky berbeda dengan keyakinan Piaget dalam

beberapa hal penting. Bila Piaget memfokuskan pada tahap-tahap perkembangan

intelektual yang dilalui anak terlepas dari konteks sosial atau kulturalnya.

Vygotsky menekankan aspek sosial belajar. Vygotsky (Yuwono & Syaifuddin,

2017:190) yang menyatakan bahwa perlu adanya interaksi sosial dalam proses

membangun pengetahuan yang memainkan peran sentral dalam membuat makna

dalam belajar. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain

memacu pengkonstruksian ide-ide dan meningkatkan perkembangan intelektual

anak. Menurut Vygotsky, pelajar memiliki dua tingkat perkembangan yang


65

berbeda, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial.

Tingkat perkembangan aktual menentukan fungsi intelektual individu saat ini dan

kemampuannya untuk mempelajari sendiri hal-hal tertentu. Individu juga

memiliki tingkat perkembangan potensial, yang oleh Vygotsky didefinisikan

sebagai tingkat yang dapat difungsikan atau dicapai individu dengan bantuan

orang lain, misalnya guru, orangtua, atau teman sebayanya yang lebih maju. Zona

yang terletak di antara tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan

potensial pelajar disebut sebagai zone of proximal development.

Karakteristik yang kedua dari model Problem Based Learning yaitu

Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Hal ini sejalan dengan teori belajar

Bruner yang terkenal dengan dengan pembelajaran penemuan (discovery

learning). Sebuah model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu

siswa memahami struktur atau ide-ide pokok disiplin ilmu, kebutuhan untuk

keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran dan keyakinan bahwa

pembelajaran sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi. Metode penemuan

merupakan metode dimana siswa menemukan

kembali, bukan menemukan yang sama sekali benar benar baru. Bruner

memandang bahwa belajar penemuan sesuaidengan pencarian pengetahuan secara

aktif oleh manusia, dengan sendirinyamemberikan hasil yang lebih baik, berusaha

sendiri mencari pemecahan masalahserta didukung oleh pengetahuan yang

menyertainya, serta menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna

(Dahar dalam Rusman, 2010). konsep lain yang dicetuskan oleh Bruner terkait

dengan model Problem Based Learning yaitu ide scaffolding. Bruner


66

mendeskripsikan scaffolding sebagai proses pada saat siswa dibantu menuntaskan

suatu masalah tertentu melampaui kemampuan perkembangan siswa itu melalui

bantuan (scaffolding) guru, teman atau orang yang lebih menguasai itu.

Karakteristik yang ketiga dari model Problem Based Learning yaitu

Penyelidikan autentik, yaitu pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan

peserta didik untuk melakukan penyelidikan autentik untuk menemukan solusi

nyata untuk masalah nyata. Hal ini sejalan dengan teori belajar Bruner. Suparno

(Rusman, 2010) mengatakan bahwa Ausubel membedakan antara belajar

bermakna (meaningfull learning) dengan belajar menghafal (rotelearning).

Belajar bermakna merupakan proses belajar dimana informasi baru dihubungkan

dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang belajar.

Belajar menghafal, diperlukan bila seseorang memperoleh informasi baru dalam

pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan denganyang telah diketahuinya.

Kaitannya dengan model Problem Based Learning yaitu bagaimana siswa

mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh

siswa.

Karakteristik yang keempat dari model Problem Based Learning yaitu

Menghasilkan produk dan mempublikasikan. Pembelajaran berdasarkan masalah

menuntut peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya

nyata atau peragaan yang dapat mewakili penyelesaian masalah yang mereka

temukan. Menurut Dewey (Arends, 2008:46) mendeskripsikan pandangan tentang

pendidikan dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas

akan menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan pengatasan masalah kehidupan


67

nyata. Pedagogik Dewey mendorong guru melibatkan siswa di berbagai proyek

berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki berbagai masalah sosial

dan intelektual penting. Dewey dan siswa-siswanya mengatakan bahwa

pembelajaran di sekolah seharusnya purposeful (memiliki maksud yang jelas) dan

tidak abstrak dapat diselesaikan dengan memerintah anak-anak dalam kelompok-

kelompok kecil. Siswa melaksanakan proyek secara berkelompok dan melakukan

penyelidikan untuk menghasilkan produk atau karya.

Karakteristik yang kelima dari model Problem Based Learning yaitu

kolaborasi, peserta didik yang saling bekerja sama, paling sering membentuk

pasangan dalam kelompok-kelompok kecil. Bekerja sama memberi motivasi

untuk secara berkelanjutan dalam penugasan yang lebih kompleks dan

meningkatkan pengembangan keterampilan sosial. Menurut Piaget (Sari, johar &

hajidin, 2016: 42) matematika tidak diterima secara pasif, matematika dibentuk

dan ditemukan oleh siswa secara aktif. Teori Piaget juga beranggapan bahwa

proses pembelajaran adalah proses aktif karena pengetahuan terbentuk dari dalam

subjek belajar sehingga perlu diciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya

interaksi di antara subjek belajar (Sumarli, Nugroho & Yulianti, 2018: 68).

Makna yang luas dari ungkapan itu mencoba segala sesuatu untuk mencari tahu

apa yang terjadi memanipulasi benda-benda, memanipulasi simbol-simbol,

mengajukan pertanyaan dan berupaya menemukan sendiri jawabannya,

mencocokkan apa yang ia temukan di waktu yang lain, dan membandingkan

temuannya dengan temuan siswa lain.


68

Teori Piaget memandang pengetahuan yang dibangun dalam pikiran anak

akibat dari interaksi secara aktif dengan lingkungannya melalui proses assimilasi

(penyerapan setiap informasi baru ke dalam pikirannya) dan proses akomodasi

(kemampuan menyusun kembali struktur pikirannya karena ada informasi yang

baru diterimanya). Dengan demikian, teori Piaget erat kaitannya dengan model

Problem Based Learning. Jika dilihat dari hubungan antara proses assimilasi

dengan model ini, siswa pertama-tama dihadapkan kepada suatu masalah yang

merupakan informasi baru yang masuk dalam pikirannya. Selanjutnya siswa

melakukan proses akomodasi yaitu anak dituntut untuk dapat menyusun informasi

baru/ masalah yang diajukan tersebut ke dalam pikirannya.

2.8. Penelitian yang Relevan

Penelitian dengan pembelajaran model Problem Based Learning telah

banyak dilakukan. Dari penelitian sebelumnya, tentunya bias diambil gambaran

tentang penggunaan Problem Based Learning berbantuan Geogebra dalam

pembelajaran matematika. Berikut disajikan beberapa hasil penelitian yang

relevan dengan penelitian ini.

1. Berdasarkan hasil penelitian Dahlia (2016) tentang Pengembangan Perangkat

Pembelajaran Model PBL berbantuan Geogebra untuk Meningkatkan

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa

SMA Negeri 3 Langsa. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa: (1) Perangkat

pembelajaran yang dikembangkan efektif, dilihat dari ketercapaian ketuntasan

siswa, ketuntasan tujuan pembelajaran, waktu yang digunakan dalam

pembelajaran efisien dan respon siswa terhadap pembelajaran dalam kategori


69

baik; (2) adanya peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa pada uji

coba I sebesar 75,18 meningkat menjadi 80,66 pada uji coba II; dan (3) adanya

peningkatan kemandirian belajar siswa dari uji coba I ke uji coba II.

2. Berdasarkan penelitian Pratama, Siagian dan Khairani (2018) “Development of

Mathematics Learning Devices Through Problem Based Learning Models to

Improve Problem Solving Mathematics Ability Students SMP Swasta Salsa”

diperoleh bahwa pengembangan perangkat pembelajaran matematika melalui

model Problem Based Learning dinyatakan valid, praktis dan efektif untuk

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa smp swasta salsa berada

pada kategori baik.

3. Berdasarkan hasil penelitian Tanjung dan Nababan (2018) tentang

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berorientasi Model

Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) untuk Meningkatkan Kemampuan

Berpikir Kritis Siswa SMA Se-Kuala Nagan Aceh. Dari hasil penelitian

diperoleh bahwa: (1) berdasarkan pengembangan perangkat pembelajaran

dengan menggunakan model 4- D yang telah dimodifikasi, dihasilkan

perangkat pembelajaran berorientasi model PBM yang valid. Perangkat

pembelajaran tersebut terdiri dari: Rencana Perangkat Pembelajaran (RPP),

Lembar Aktivitas Siswa (LKS), dan Tes Kemampuan Berpikir Kritis (TKBK);

(2) Perangkat Pembelajaran yang dikembangkan berorientasi model PBM

memenuhi kriteria efektif. Hal ini ditunjukkan oleh: ketuntasan belajar

individu dan klasikal siswa terpenuhi, respon siswa terhadap pembelajaran

dalam kategori baik; (3) rata-rata peningkatan kemampuan berpikir kritis


70

siswa dari uji coba I ke uji coba II adalah 0,32 poin dengan peningkatan

ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 21,4 %.

4. Berdasarkan hasil penelitian Siagian, Simanjuntak, dan Samosir (2017)

“Prototype Teaching Mathematics in Improving Critical Thinking Ability of

Senior High School Students” diperoleh bahwa perangkat pembelajaran

matematika yang dikembangkan dalam meningkatkan kritis kemampuan

berpikir menggunakan PBL untuk siswa sekolah menengah atas dihasilkan

perangkat yang valid dan praktis serta pembelajaran matematika

menggunakan model Problem Based Learning efektif.

5. Berdasarkan hasil penelitian Hasibuan (2016) tentang Perbedaan Kemampuan

Berpikir Kritis Matematis Dan Self Efficacy Siswa Antara Pembelajaran

Berbasis Masalah Berbantuan Geogebra dengan Pembelajaran Berbasis

Masalah Berbantuan Autograph di MAN 1 Medan. Hasil dari penelitian

tersebut menunjukkan bahwa: (1) Terdapat perbedaaan signifikan terhadap

kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa yang diajarkan dengan

pembelajaran berbasis masalah dengan geogebra dan autograph (signifikan

0.000); (2) tidak terdapat interaksi signifikan antara model pembelajaran dan

gender terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa (signifikan

0.313); (3) Terdapat perbedaan signifikan terhadap self efficacy antara siswa

yang diajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah berbantuan geogebra

dengan autograph (signifikan 0.007); (4) tidak terdapat interaksi signifikan

antara model pembelajaran dan gender terhadap self efficacy siswa (signifikan
71

0.831); (5) proses peyelesaian jawaban siswa dengan pembelajaran berbasis

masalah berbantuan geogebra lebih baik dibandingkan autograph.

6. Berdasarkan hasil penelitian Hasibuan (2017) tentang Pengaruh Model

Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan

Representasi Matematis Siswa Kelas X Rekayasa Perangkat Lunak SMKN

Binaan Provinsi Sumatera Utara T.A 2016/2017. Hasil dari penelitian tersebut

menunjukkan bahwa: (1) terdapat pengaruh yang signifikan terhadap

kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan dengan

pembelajaran berbasis masalah; (2) terdapat pengaruh yang signifikan

terhadap kemampuan representasi dapat pengaruh yang signifikan terhadap

kemampuan representasi matematis siswa yang diajarkan dengan

pembelajaran berbasis masalah; (3) tidak terdapat interaksi yang signifikan

antara model pembelajaran dan KAM terhadap kemampuan berpikir kritis

matematis; (4) tidak terdapat interaksi yang signifikan antara model

pembelajaran dan KAM terhadap kemampuan representasi matematis siswa.

7. Happy dan Widjayanti (2014) tentang keefektifan PBL Ditinjau dari

Kemampuan Bepikir Kritis dan Kreatif Matematis, serta Self-Esteem Siswa

SMP. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa (1) problem based

learning efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis, tetapi tidak

efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis dan self esteem; (2)

problem based learning lebih efektif dibandingkan pembelajaran konvensional

ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis, kemampuan berpikir kritis

matematis dan self-esteem.


72

Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa

penggunaan pembelajaran model Problem Based Learning berbantuan Geogebra

mampu membantu siswa dalam proses belajar sehingga diperoleh hasil yang

sangat baik dan lebih efektif. Disamping itu pengembangan perangkat

pembelajaran dengan menggunakan Model 4-D juga dapat menghasilkan

perangkat pembelajaran yang praktis dan efektif. Oleh sebab itu, memungkinkan

untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan

mengembangkan perangkat pembelajaran model Problem Based Learning

berbantuan Geogebra pada siswa MAN Labuhanbatu.

2.9. Kerangka Konseptual

Perangkat pembelajaran adalah perangkat yang digunakan dalam proses

pembelajaran. Sesuai dengan Kurikulum 2013 maka akan dikembangkan

perangkat pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning

berbantuan Geogebra antara lain RPP, Buku Guru, Buku Siswa, LAS, dan TKBK.

Perangkat ini sebagai sarana untuk memudahkan guru dalam melakukan tugas

mengajarnya, membantu dalam proses belajar mengajar, sehingga tujuan

pembelajaran dapat tercapai. Sebelum digunakan dalam kegiatan pembelajaran

hendaknya perangkat pembelajaran yang dikembangkan tersebut telah memenuhi

kriteria dan hasil pengembangan yang berkualitas dengan diperlukannya berupa

penilaian. Untuk menemtukan kualitas hasil pengembangan perangkat

pembelajaran dengan model Problem Based Learning berbantuan Geogebra

diperlukan beberapa kriteria diantaranya: kevalidan, kepraktisan dan keefektifan.


73

Kerangka konseptual dalam penelitian ini didasarkan pada latar belakang

masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan kajian teoritis. Berikut akan diuraikan kerangka konseptual dalam

penelitian ini.

2.9.1. Kevalidan Perangkat Pembelajaran yang Dikembangkan dengan


Model Problem Based Learning Berbantuan Geogebra Dalam
Meningkatkan Kemampuan berpikir kritis matematis Siswa

Perangkat pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam

kesuksesan proses belajar mengajar. Namun, sebelum perangkat pembelajaran

digunakan, hendaknya perangkat pembelajaran tersebut telah memenuhi kriteria

valid. Suatu produk valid apabila merefleksikan jiwa pengetahuan (state-of-the-

art-knowledge), ini yang disebut validitas isi, sementara itu komponen-komponen

produk tersebut harus konsisten satu sama lain (validitas konstruk). Untuk

mencapai kevalidan perangkat pembelajaran tersebut perlu melalui proses validasi

oleh validator/ahli. Perangkat pembelajaran dikatakan valid jika perangkat

pembelajaran dengan model problem based learning berbantuan Geogebra

minimal berada pada kategori penilaian (4≤ Va ≤5).

2.9.2. Kepraktisan Perangkat Pembelajaran yang Dikembangkan dengan


Model Problem Based Learning Berbantuan Geogebra Dalam
Meningkatkan Kemampuan berpikir kritis matematis Siswa

Kepraktisan suatu perangkat pembelajaran juga merupakan hal yang harus

diperhatikan dalam mengembangkan perangkat pembelajan. Suatu produk

dikatakan praktis apabila produk tersebut mudah digunakan.Perangkat

pembelajaran dengan model problem based learning berbantuan Geogebra dalam

penelitian ini diharapkan mampu dijadikan sebagai perangkat yang mudah

digunakan dalam praktek di lapangan. Kriteria kepraktisan diperoleh melalui


74

penilaian ahli/ praktisi perangkat pembelajaran yang dikembangkan tersebut

dinyatakan dapat digunakan dengan sedikit revisi atau tanpa revisi; (2) hasil dari

wawancara siswa/pengguna perangkat pembelajaran model Problem Based

Learning berbantuan geogebra untuk mendapatkan informasi apakah pengguna

perangkat pembelajaran merasa mudah dalam menggunakan perangkat

pembelajaran yang dikembangkan; (3) Keterlaksanaan perangkat pembelajaran

model problem based learning berbantuan geogebra yang dikembangkan minimal

berada pada kategori baik.

2.9.3. Efektivitas Perangkat Pembelajaran yang Dikembangkan dengan


Model Problem Based Learning Berbantuan Geogebra Dalam
Meningkatkan Kemampuan berpikir kritis matematis Siswa

Keefektifan perangkat pembelajaran merupakan aspek yang perlu

diperhatikan oleh guru. Suatu produk dikatakan efektif apabila produktivitas

memberikan hasil sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh pengembang.

Indikator keefektifan pembelajaran didasarkan pada 4 indikator, yaitu (1)

pencapaian ketuntasan belajar apabila 85% siswa yang mengikuti tes kemampuan

berpikir kritis matematis telah memperoleh nilai minimal 75; (2) pencapaian

ketuntasan tujuan pembelajaran (minimal 75% tujuan pembelajaran yang

dirumuskan dapat dicapai oleh minimal 65% siswa); (3) waktu yang digunakan

dalam pembelajaran efisien atau tidak melebihi pembelajaran biasa; (4) respon

siswa terhadap pembelajaran adalah positif.

Dengan pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik

peserta didik, maka peserta didik diharapkan dan dituntut untuk aktif dalam proses

pembelajaran baik secara fisik maupun mentalnya sendiri. Keefektifan proses

pembelajaran tergantung pada seberapa efektif penggunaan perangkat


75

pembelajaran yang disusun dengan berorientasi pada model pembelajaran yang

diinginkan, serta dampak yang ditimbulkan setelah proses pelaksanaan

pembelajaran dilaksanakan, yakni tes kemampuan matematika peserta didik.

Maka dari itu pada penelitian ini peneliti ingin melihat efektivitas penggunaan

perangkat pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

2.9.4. Peningkatan Kemampuan berpikir kritis matematis Siswa dengan


Menggunakan Perangkat Pembelajaran Model Problem Based
Learning Berbantuan Geogebra

Untuk melatih dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis

siswa, salah satunya adalah dengan menerapkan sebuah model pembelajaran yang

mengedepankan memecahkan masalah yang berpusat pada siswa dan guru sebagai

fasilitator. Pengetahuan dan pemahaman guru mengenai model pembelajaran dan

media teknologi dalam hal ini adalah Geogebra sangat penting sebagai salah satu

cara pemberian pengalaman belajar siswa dalam pencapaian tujuan belajar yang

optimal. Model Problem Based Learning adalah model pembelajaran yang

mengkombinasikan siswa dengan permasalahan dari latihan-latihan sehingga

memunculkan motivasi untuk belajar. Permasalahan dan latihan-latihan dapat

berasal dari guru atau siswa.

Konsep dasar pembelajaran Problem Based Learning adalah pemberian

permasalahan dan aplikasinya untuk mengenalkan sebuah konsep baru dalam

matematika. Permasalahan dan aplikasi tersebut membantu siswa dalam

menyusun kerangka berpikirnya. Memahami konsep dan memberikan fasilitas

dalam prosedur berpikir serta mengulang kembali konsep-konsep yang telah


76

dipelajari, dalam rangka memberikan penguatan dalam pemahaman konsep baru

tesebut. Proses belajar tersebut mengharuskan siswa menganalisis situasi

berdasarkan pengetahuannya, membangun sebuah teknik matematika, dan

akhirnya memanfaatkan teknik tersebut untuk menyelesaikan masalahnya.

Problem Based Learning merupakan suatu metode pembelajaran yang menantang

peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok

untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini

digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada pembelajaran

yang dimaksud.

Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan berpikir

tingkat tinggi yang perlu dikembangkan. Berpikir kritis adalah suatu proses

mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi dengan pertimbangan

aktif, terus menerus dan teliti terhadap sebuah pengetahuan yang diterima

berdasar alas an yang mendukungnya. Kemampuan ini dapat ditingkatkan dengan

menggunakan model Problem Based Learning berbantuan Geogebra pada proses

pembelajaran matematika di kelas.

Alasan peneliti mengapa memilih pembelajaran model Problem Based

Learning berbantuan Geogebra untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis

matematis adalah model Problem Based Laearning dilakukan dengan adanya

pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang kemudian dilakukan

pemecahan masalah dengan berpikir kritis matematis oleh peserta didik yang

diharapkan dapat menambah keterampilan peserta didik dalam pencapaian materi

pembelajaran, sehingga jelas bahwa dituntut keaktifan siswa untuk menyelesaikan


77

masalah tersebut. Siswa dituntut untuk terampil bertanya dan mengemukakan

pendapat, menemukan informasiyang relevan dari sumber yang tersembunyi,

mencari berbagai cara alternatif untuk mendapatkan solusi, dan menentukan cara

yang paling efektif dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian diharapkan

siswa dapat memiliki kemampuan berpikir kritis matematis dalam menyelesaikan

masalah matematis.

2.10. Pertanyaan Penelitian

Pada penelitian ini akan dikaji secara deskriptif pertanyaan penelitian.

Menurut Creswell (2014:151) “Research questions and hypotheses narrow the

purpose statement and become major signposts for readers of research”,

pernyataan tersebut mengandung makna “pertanyaan penelitian dan hipotesis

membatasi tujuan penelitian dan menjadi acuan utama dalam membaca suatu

penelitian”. Pertanyaan penelitian biasanya digunakan pada penelitian kualitatif

sedangkan hipotesis digunakan pada penelitian kuantitatif. Penelitian ini

merupakan penelitian pengembangan, penelitian pengembangan termasuk dalam

jenis penelitian kualitatif. Pernyataan tersebut, sejalan dengan yang dikemukakan

oleh Setyosari (2010:22) bahwa penelitian kualitatif dan sejenisnya tidak

memerlukan hipotesis karena penelitian ini tidak menguji atau membuktikan

hipotesis melainkan memaparkan keadaan, objek, orang, kejadian, atau peristiwa

tertentu. Selanjutnya Creswell (2014:143) menyatakan bahwa “hypothesis are

used often in experiments” yang maknanya adalah “hipotesis biasanya digunakan

pada penelitian eksperimen”. Dengan demikian, berdasarkan deskripsi teoritis,


78

kerangka berpikir dan kajian penelitian yang relevan, maka perlu dikaji

pertanyaan penelitian, yaitu:

5. Bagaimana kevalidan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan

model Problem Based Learning berbantuan Geogebra dalam meningkatkan

kemampuan bepikir kritis matematis siswa MAN Labuhanbatu?

6. Bagaimana kepraktisan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan

model Problem Based Learning berbantuan Geogebra dalam meningkatkan

kemampuan bepikir kritis matematis siswa MAN Labuhanbatu?

7. Bagaimana keefektifan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan

model Problem Based Learning berbantuan Geogebra dalam meningkatkan

kemampuan bepikir kritis matematis siswa MAN Labuhanbatu?

8. Bagaimana peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa MAN

Labuhanbatu dengan menggunakan perangkat pembelajaran model Problem

Based Learning berbantuan Geogebra?


79

BAB III

METODE PENELITIAN

2.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Pengembangan (Reseach and

Development), dengan menggunakan model pengembangan Thiagarajan, Semmel

dan Semmel, yaitu model 4-D (define, design, develop, dan disseminate).

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan Model Problem Based

Learning berbantuan Geogebra pada penelitian ini meliputi Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP), Buku Guru (BG), Buku Siswa (BS), Lembar Aktivitas Siswa

(LAS) dan instrument penelitian yang terdiri dari tes kemampuan berpikir kritis

matematis siswa.

2.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di MAN Labuhanbatu pada semester genap

Tahun Ajaran 2018/2019 pada materi Trigonometri.

2.3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa MAN Labuhanbatu kelas X

MIPA-3 dengan jumlah siswa sebanyak 37 orang dan X MIPA-4 dengan jumlah

siswa sebanyak 36 orang, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah perangkat

pembelajaran dengan model Problem Based Learning berbantuan Geogebra

berupa RPP, Buku Guru, Buku Siswa, LAS, dan tes kemampuan berpikir kritis

matematis siswa.
80

2.4. Defenisi Operasional

Untuk memperjelas variabel-variabel, agar tidak menimbulkan perbedaan

penafsiran terhadap rumusan masalah, berikut diberikan defenisi operasional:

1. Pengembangan adalah suatu pengkajian sistematis terhadap pendesainan,

pengembangan, dan evaluasi terhadap program yang telah ditentukan.

Sedangkan proses dan produk pembelajaran yang dikembangkan harus

memenuhi kriteria valid, praktis dan efektif.

2. Perangkat pembelajaran merupakan sejumlah bahan, alat, media, petunjuk

dan pedoman yang akan digunakan guru dan siswa dalam proses

pembelajaran. Adapun perangkat pembelajaran yang akan dikembangkan

pada penelitian ini adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku

Guru, Buku Siswa, LAS dan tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

3. Model Problem Based Learning

Model Poblem Based Learning adalah model pembelajaran yang memberikan

tantangan kepada siswa untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata

secara individu maupun berkelompok. Sintaks dari model Problem Based

Learning adalah (1) orientasi pada masalah, (2) mengorganisasi siswa untuk

belajar, (3) membimbing pengalaman individual maupun berkelompok, (4)

mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5) menganalisis dan

mengevaluasi proses pemecahan masalah.

4. Software Geogebra.

Software Geogebra adalah software yang digunakan untuk pembelajaran

matematika khususnya geometri dan aljabar.


81

5. Kemampuan berpikir kritis matematis

Kemampuan berpikir kritis matematis siswa adalah kemampuan siswa

memberikan jawaban dengan benar dengan memberikan jawaban yang benar

dengan penjelasan yang tepat dalam mengidentifikasi, menggeneralisasi,

mengklrarifikasi, mensintesis dan terhadap soal atau pernyataan matematika

yang diberikan.

2.5. Prosedur Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Penelitian ini dibagi dalam dua tahap, tahap pertama adalah

pengembangan perangkat pembelajaran yang meliputi (i) validitas Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); (ii) validitas Buku Guru (BG); (iii) validitas

Buku Siswa (BS); (iv) validitas Lembar Aktivitas Siswa (LAS) dan (v) validitas

instrumen tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Tahap kedua adalah

mengujicobakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model

Problem Based Learning berbantuan Geogebra dikelas X MIPA-3 dan X MIPA-4

MAN Labunanbatu.

Pengembangan perangkat pembelajaran yang akan dilakukan dalam

penelitian ini adalah mengacu kepada model pengembangan Thiagarajan

(Thiagarajan, Semmel, 1974: 3-6) yang juga dikenal dengan “Four-D Model”atau

model 4-D. Model pengembangan 4-D ini terdiri atas empat tahap pengembangan,

yaitu: Define (pendefinisian), Design (perancangan), Develop (pengembangan),

dan Desseminate (penyebaran). Model pengembangan pada penelitian ini secara

skematis digambarkan pada gambar 3.1:


82

ANALISIS AWAL AKHIR

ANALISIS SISWA

Define
ANALISIS TUGAS ANALISIS KONSEP

PERUMUSAN TUJUAN PEMBELAJARAN

PENYUSUNAN PERANGKAT PEMBELAJARAN

PENYUSUNAN TES PENYUSUNAN MEDIA PEMILIHAN FORMAT


Design
Draft I RANCANGAN AWAL

VALIDASI OLEH AHLI/PAKAR

Draft II REVISI I

UJI COBA I

ANALISIS
Develop

Draft III REVISI II

UJI COBA II

ANALISIS DATA

PERANGKAT FINAL

FORUM MGMP
SEKOLAH UJI COBA LAPANGAN
Diseminate

DRAF FINAL

Gambar 3.1 : Bagan Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model 4-D


(dimodifikasi dari Trianto, 2013:94)
83

Keterangan:

: Proses Kegiatan : Hasil Kegiatan

: Alur Utama : Kegiatan Akhir

: Terjadi siklus jika diperlukan

Tahap-tahap pengembangan perangkat pembelajaran tersebut dirincikan

sebagai berikut:

Tahap I : Tahap Pendefinisian (define)

Tahap pendefenisian ini bertujuan untuk menetapkan dan mendefinisikan

syarat-syarat pembelajaran. Dalam menentukan dan menetapkan syarat-syarat

pembelajaran di awali dengan analisis tujuan dari batasan materi yang

dikembangkan perangkat pembelajarannya. Tahap ini meliputi 5 (lima) langkah

pokok, yaitu: analisis awal akhir, analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas

dan perumusan tujuan pembelajaran.

a. Analisis Awal Akhir

Kegiatan analisis awal akhir bertujuan untuk memunculkan dan

menetapkan masalah dasar yang dihadapi dalam pembelajaran matematika MAN

Labuhanbatu kelas X sehingga dibutuhkan pengembangan perangkat

pembelajaran. Berdasarkan masalah ini disusunlah alternatif perangkat yang

relevan. Pada tahap ini dilakukan telaah terhadap kurikulum matematika yang

digunakan dan teori-teori pembelajaran yang relevan sehingga diperoleh deskripsi

pola pembelajaran yang dianggap ideal.

b. Analisis siswa
84

Pada tahap ini ditelaah karakteristik siswa sesuai dengan rancangan dan

pengembangan perangkat pembelajaran. Karakteristik siswa yang ditelaah

meliputi perkembangan kognitif dan kemampuan akademik siswa.

c. Analisis Konsep

Pada tahap ini mengidentifikasi, merinci dan menyusun secara sistematis

konsep-konsep yang relevan berdasarkan analisis awal-akhir. Analisis konsep

berkaitan dengan analisis materi siswa. Analisis konsep dilaksanakan agar materi

yang disajikan dalam penelitian tidak ada yang terlewatkan dan terlihat sistematis.

Hasil analisis ini membentuk peta konsep Trigonometri yang mengacu pada

kurikulum 2013. Dengan adanya peta konsep dapat memudahkan siswa

memahami materi pelajaran Trigonometri.

d. Analisis tugas

Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi keterampilan-keterampilan

utama yang akan dikaji oleh peneliti dan menganalisanya kedalam himpunan

keterampilan tambahan yang mungkin diperlukan. Analisis ini memastikan ulasan

yang menyeluruh tentang tugas dalam materi pembelajaran. Rincian analisis yang

diidentifikasi untuk siswa kelas X MAN Labuhanbatu yang disesuaikan dengan

kurikulum 2013. Dalam Kurikulum 2013 yang dianalisis berupa Kompetensi Inti

(KI) dan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dikuasai siswa untuk materi

Trigonometri.

e. Perumusan Tujuan Pembelajaran

Tahap ini bertujuan untuk merangkum hasil dari analisis konsep dan

analisis tugas untuk menentukan perilaku objek penelitian. Kumpulan objek


85

tersebut menjadi dasar untuk menyusun tes dan merancang perangkat

pembelajaran yang kemudian diintegrasikan kedalam materi perangkat

pembelajaran yang akan digunakan oleh peneliti. Indikator/tujuan pembelajaran

disesuaikan dengan kompetensi dasar yang sesuai dengan kurikulum.

Tahap II: Tahap Perancangan (design)

Tahap ini bertujuan untuk merancang perangkat pembelajaran yang

berorientasi pada model Problem Based Learning berbantuan Geogebra sehingga

diperoleh prototipe (contoh perangkat pembelajaran) pada materi Trigonometri.

Hasil pada tahap perancangan (design) ini disebut Draf I. Perangkat pembelajaran

yang akan dihasilkan adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku

Guru, Buku Siswa, Lembar Aktivitas Siswa (LAS) dan tes kemampuan berpikir

kritis matematis. Kegiatan pada tahap ini meliputi penyusunan tes, pemilihan

media, pemilihan format dan rancangan awal.

a. Penyusunan Tes

Dasar dari penyusunan tes adalah analisis tugas dan konsep yang

dijabarkan dalam spesifikasi tujuan pembelajaran. Tes ini merupakan suatu alat

yang digunakan untuk mengukur terjadinya perubahan tingkah laku pada diri

siswa setelah melakukan pembelajaran. Tes yang dimaksud adalah kemampuan

berpikir kritis matematis siswa pada materi Trigonometri. Untuk merancang tes

kemampuan berpikir kritis matematis siswa dibuat kisi-kisi soal berdasarkan

kemampuan berpikir kritis matematis siswa dan acuan penskorannya.


86

b. Pemilihan Media

Pemilihan media disesuaikan dengan hasil analisis tugas, analisis konsep

serta karakteristik siswa MAN Labuhanbatu, karena media berguna untuk

membantu siswa dalam pencapaian Kompetensi Dasar (KD). Media yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Geogebra. Lavicza (Hohenwater, 2008)

sejumlah penelitian menunjukkan bahwa Geogebra dapat mendorong proses

penemuan dan eksperimentasi siswa dikelas. Fitur-fitur visualisasinya dapat

secara efektif membantu siswa dalam mengajukan berbagai konjektur matematis.

c. Pemilihan Format

Pemilihan format dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini

ditujukan untuk mendesain perangkat pembelajaran, pemilihan strategi,

pendekatan, metode pembelajaran, dan sumber belajar yang akan dikembangkan.

Format yang dipilih adalah format memenuhi kriteria menarik, memudahkan

dan membantu dalam pembelajaran Trigonometri. Pemilihan format atau bentuk

penyajian pembelajaran disesuaikan dengan media pembelajaran yang akan

diterapkan.

d. Rancangan Awal

Rancangan awal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah rancangan yang

dilakukan selama uji coba dilaksanakan yaitu berupa rancangan awal perangkat

pembelajaran yang meliputi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku

Guru (BG), Buku Siswa (BS), Lembar Aktivitas Siswa (LAS) dan tes kemampuan

berpikir kritis matematis siswa. Rancangan awal ini disebut Draf I. Draf I yang

telah ada pada tahap design akan divalidasi kepada ahli dan diuji coba kelapangan.
87

Tahap III: Tahap Pengembangan (Develop)

Tujuan tahap pengembangan adalah untuk menghasilkan perangkat final

yang baik. Pada draft I perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian

divalidasi kepada para ahli, selanjutnya instrument tes kemampuan berpikir kritis

matematis siswa diujicobakan pada kelas diluar sampel. Kemudian dilakukan uji

coba lapangan yang bertujuan untuk memperoleh masukan langsung terhadap

perangkat pembelajaran yang telah disusun sehingga menghasilkan perangkat

final. Berikut ini dirincikan langkah-langkah yang dilakukan pada tahap

pengembangan, yaitu:

a. Validasi ahli

Pada langkah ini, perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian

divalidasi oleh ahli dalam bidangnya yang disebut dengan draft I. Ahli yang

dimaksud dalam hal ini adalah para validator yang berkompeten yang meliputi

dosen pendidikan matematika UNIMED dan guru matematika. Berdasarkan hasil

validasi ahli, dilakukan revisi terhadap perangkat dan instrumen penelitian.

Perangkat pembelajaran yang dimaksud adalah semua perangkat yang telah

dikembangkan pada tahap perancangan (Draft I). Secara umum validasi

mencakup:

1. Format perangkat pembelajaran: apakah format dari perangkat pembelajaran

Model Problem Based Learning berbantuan Geogebra jelas, menarik dan

cocok untuk pemakainya.

2. Ilustrasi perangkat pembelajaran: apakah ilustrasi jelas, mudah dipahami dan

memperjelas konsep.
88

3. Bahasa: apakah kalimat pada perangkat pembelajaran menggunakan bahasa

yang sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia dan apakah kalimat pada

perangkat pembelajaran tidak menimbulkan penafsiran ganda.

4. Isi dari perangkat pembelajaran: apakah isi dari perangkat pembelajaran cocok

dengan materi serta tujuan yang akan diukur.

Pada tiap-tiap lembar validasi, validator menuliskan penilaiannya.

Penilaian terdiri dari 5 kategori, yaitu: tidak valid (nilai 1), kurang valid (nilai 2),

cukup valid (nilai 3), valid (nilai 4), dan sangat valid (nilai 5). Selain itu validator

juga menuliskan saran dan komentarnya. Dari hasil penilaian para ahli untuk

masing-masing perangkat dianalisis dengan mempertimbangkan saran dan

komentar validator. Selanjutnya hasil telaah direvisi sesuai dengan masukan-

masukan yang diberikan validator yang kemudian menghasilkan Draft II.

b. Uji Coba Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes

kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Sebelum digunakan, instrumen

penelitian terlebih dahulu diujicobakan pada kelas di luar sampel. Selanjutnya uji

validasi dan reliabilitas. Tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan instrumen

penelitian yang baik, dalam arti sahih dan layak guna.

c. Uji Coba lapangan

Uji coba lapangan dilakukan untuk memperoleh masukan langsung

terhadap perangkat pembelajaran yang telah disusun sehingga menghasilkan

perangkat final. Perangkat pembelajaran tersebut diujicobakan di MAN

Labuhanbatu untuk melihat efektifitas perangkat pembelajaran yang telah


89

dirancang, peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dan respon

siswa terhadap komponen-komponen perangkat pembelajaran model Problem

Based Learning berbantuan Geogebra.

Adapun rancangan uji coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah the

one-shot case study design (Lestari dan Yudhanegara, 2017:121). Rancangan

penelitian the one-shot case study design ini dipresentasikan sebagai berikut:

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian the one-shot case stud design

Perlakuan Tes
X O
Keterangan:

X : Perlakuan/treatment yang diberikan dengan perangkat pembelajaran

menggunakan model Problem Based Learning berbantuan Geogebra yang

telah dikembangkan

O : Posttest kemampuan berpikir kritis matematis siswa

Selanjutnya data hasil uji coba lapangan ini dianalisis dan kemudian

direvisi untuk mendapat perangkat final.

Tahap IV: Tahap Penyebaran (Disseminate)

Tahap penyebaran diperoleh perangkat final yang telah memenuhi kriteria

valid, praktis dan efektif. Pada penelitian ini tahap penyebaran dilakukan secara

terbatas. Hal ini karena keterbatasan waktu, dana dan juga tenaga peneliti

sehingga tahap keempat ini tidak dijelaskan secara mendalam. Setelah diperoleh

perangkat final, maka perangkat final tersebut disebarkan secara terbatas.

Penyebaran dilakukan pada forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)

MAN Labuhanbatu, hasil dari tahapan ini adalah merekomendasikan kepada guru
90

matematika untuk menggunakan perangkat ini sebagai salah satu alternatif

pembelajaran pada pokok bahasan Trigonometri siswa MA kelas X. Untuk

penyebaran secara luas diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan.

Prosedur penelitian pengembangan perangkat model Problem Based

Leaning berbantuan Geogebra yang akan dilakukan secara skematis digambarkan

pada gambar 3.2.


91

Observasi Masalah di Lapangan

Analisis Karakteristik Siswa MAN Labuhanbatu

DEFINE
Analisis materi pokok yang akan dikembangkan Analisis tugas

Spesifikasi Indikator
dan Tujuan Pembelajaran yang akan diukur dan dicapai

Menyusun TKBKMS Memilih Media Pembelajaran (Geogebra)

DESIGN
Memilih Format Perangkat Pembelajaran yang sesuai

Draft Awal (Draft-I) yakni RPP, BG, BS, LAS, TKBKMS

Validasi oleh validator (RPP, BG, BS, LAS, TKBKMS)

Uji coba TKBKMS di luar kelas sampel


Revisi

Analisis Hasil Validasi dan Uji Coba


Tidak Valid Valid
Evaluasi dan Revisi (Draft II)

DEVELOP
Efektif dan Praktis

TKBKMS, Keterlaksanaan Perangkat


Pembelajaran dan angket Respon Siswa
Uji Coba I Siswa Kelas X MIPA 3
MAN Labuhanbatu
Uji Coba II Siswa Kelas X MIPA 4 MAN Labuhanbatu
TKBKMS, dengan Perangkat Pembelajaran yang telah direvisi
Efektif Keterlaksanaan (Draft III)
dan Perangkat Pembelajaran
Praktis dan angket Respon Siswa
Evaluasi dan Revisi
Tidak Efektif, Tidak Praktis

PERANGKAT FINAL
E
DISSEMINATE

FORUM MGMP
SEKOLAH UJI COBA LAPANGAN

DRAF FINAL

Gambar 3.2. Prosedur Penelitian Pengembangan Perangkat


Pembelajaran Model Problem Based Learning Berbantuan Geogebra
92

2.6. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini berupa:

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku Guru (BG), Buku Siswa (BS),

Lembar Aktivitas Siswa (LAS) dan tes kemampuan berpikir kritis matematis

siswa. Pengukuran kualitas perangkat pembelajaran ini mengacu pada kiteria

Nieveen. Nieveen (2013:160) menyatakan:”Educational design research strives

to design a high-quality solution for a complex problem in educational practice.

When it comes to the concept of quality, we distinguish four quality criteria that

are applicable to a wide array of educational interventions: relevancy,

consistency, practicality, and effectiveness“. Pernyataan di atas memiliki arti

bahwa penelitian desain pendidikan berusaha untuk merancang solusi berkualitas

tinggi untuk masalah yang kompleks pada praktek pendidikan di lapangan. Kami

membedakan empat kriteria kualitas yang berlaku untuk beragam intervensi

pendidikan: relevansi, konsistensi, kepraktisan, dan efektivitas.

Untuk mengukur kevalidan, kepraktisan dan keefektifan perangkat

pembelajaran yang dikembangkan, maka disusun dan dikembangkan instrumen

penelitian. Instrumen yang dikembangkan dalam uji coba diuraikan sebagai

berikut:

2.6.1. Lembar Validasi Perangkat Pembelajaran

Lembar validasi perangkat pembelajaran digunakan untuk memperoleh

data tentang kualitas perangkat pembelajaran berdasarkan penilaian para ahli.

Beberapa lembar validasi yang digunakan antara lain: lembar validasi untuk

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), lembar validasi Buku Guru (BG),


93

lembar validasi Buku Siswa (BS), lembar validasi Lembar Aktivitas Siswa (LAS).

Lembar validasi ini berisikan komponen-komponen yang dinilai mencakup:

format, ilustrasi, bahasa, dan isi. Indikator dari masing-masing komponen

diuraikan sebagai berikut:

1) Format Perangkat Pembelajaran

Indikator format perangkat pembelajaran mencakup: (1) kejelasan

pembagian materi; (2) penomoran; (3) daya tarik; (4) kesesuaian antara teks dan

ilustrasi; (5) jenis dan ukuran huruf; (6) pengaturan ruang; (7) kesesuaian ukuran

fisik dengan siswa.

2) Ilustrasi Perangkat Pembelajaran

Indikator kualitas ilustrasi mencakup: (1) dukungan ilustrasi dengan

memperjelas konsep; (2) keterkaitan secara langsung dengan konsep yang

dibahas; (3) kejelasan; (4) kemudahan untuk dipahami.

3) Bahasa

Indikator bahasa mencakup: (1) kebenaran tata bahasa; (2) kesesuaian

kalimat dengan tingkat perkembangan siswa; (3) mendorong minat untuk bekerja;

(4) kalimat tidak mengandung makna ganda; (5) kesederhanaan struktur kalimat;

(6) kejelasan petunjuk dan arahan; (7) sifat komunikatif bahasa.

4) Isi dari Perangkat Pembelajaran

Indikator kualitas isi mencakup: (1) kebenaran materi/isi; (2) bagian-

bagiannya tersususun secara logis; (3) kesesuain dengan KI dan KD Kurikulum

2013; (4) merupakan materi yang esensial; (5) pemilihan pendekatan, model,

metode dan sarana pembelajaan yang tepat; (6) keoperasionalan kegiatan guru dan
94

siswa; (7) kesesuaian pembelajaran dengan model Problem Based Learning

berbantuan Geogeba; (8) kesesuaian urutan materi; (9) kesesuaian alokasi waktu;

(10) peranmya mondorong untuk menemukan konsep.

Proses validasi dimulai dengan meminta validator untuk memberikan skor

yang sesuai dengan memberi tanda ceklist (√) pada baris dan kolom yang sesuai.

Validator juga diminta memberikan kesimpulan secara umum tentang RPP, BG,

BS dan LAS dengan kategori tidak baik, kurang baik, cukup baik, baik, dan

sangat baik. Selanjutnya data tentang penilaian para ahli tersebut dianalisis dan

hasil analisisnya dijadikan dasar untuk perbaikan masing-masing perangkat

pembelajaran. Komponen, fungsi dan kegunaan tiap lembar validasi akan

diuraikan sebagai berikut:

a. Lembar Validasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi yang bertujuan untuk

melihat apakah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dirancang sudah

memenuhi standar terkait dengan format, isi dan bahasa yang digunakan. Lembar

ini juga bertujuan untuk melihat apakah komponen RPP sudah mengikuti langkah-

langkah model Problem Based Learning berbantuan Geogebra. Lembar ini terdiri

dari lima skala penilaian yaitu 1 berarti tidak baik, 2 berarti kurang baik, 3 berarti

cukup baik, 4 berarti baik dan 5 berarti sangat baik.

Berdasarkan hasil validasi yang ditetapkan lima orang ahli/pakar dibidang

pendidikan matematika selanjutnya digunakan untuk memutuskan apakah RPP

yang dikembangkan perlu direvisi atau tidak. Jika RPP sudah dinyatakan valid

maka selanjutnya dapat digunakan pada tahap ujicoba untuk melihat apakah RPP
95

yang dikembangkan dengan model Problem Based Learning berbantuan

Geogebra efektif dilaksanakan.

b. Lembar Validasi Buku Guru

Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi yang bertujuan untuk

melihat apakah buku guru yang dirancang sudah memenuhi standar terkait dengan

format, isi dan bahasa yang digunakan. Lembar ini juga bertujuan untuk melihat

apakah komponen buku guru sudah mengikuti prinsip dan langkah-langkah model

Problem Based Learning berbantuan Geogebra. Lembar ini terdiri dari lima skala

penilaian yaitu 1 berarti tidak baik, 2 berarti kurang baik, 3 berarti cukup baik, 4

berarti baik dan 5 berarti sangat baik.

Berdasarkan hasil validasi yang ditetapkan lima orang ahli/pakar dibidang

pendidikan matematika selanjutnya digunakan untuk memutuskan apakah buku

guru yang dikembangkan perlu direvisi atau tidak. Jika sudah dinyatakan valid

maka selanjutnya dapat digunakan pada tahap ujicoba untuk melihat respon guru

terhadap buku guru dan untuk melihat apakah buku yang dikembangkan dengan

model Problem Based Learning berbantuan Geogebra telah efektif.

c. Lembar Validasi Buku Siswa

Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi yang bertujuan untuk

melihat apakah buku guru yang dirancang sudah memenuhi standar terkait dengan

format, isi dan bahasa yang digunakan. Lembar ini juga bertujuan untuk melihat

apakah komponen RPP sudah mengikuti prinsip dan langkah-langkah model

Problem Based Learning berbantuan Geogebra. Lembar ini terdiri dari lima skala
96

penilaian yaitu 1 berarti tidak baik, 2 berarti kurang baik, 3 berarti cukup baik, 4

berarti baik dan 5 berarti sangat baik.

Berdasarkan hasil validasi yang ditetapkan lima orang ahli/pakar dibidang

pendidikan matematika selanjutnya digunakan untuk memutuskan apakah buku

siswa yang dikembangkan perlu direvisi atau tidak. Jika sudah dinyatakan valid

maka selanjutnya dapat digunakan pada tahap ujicoba untuk melihat respon siswa

terhadap buku siswa dan untuk melihat apakah buku yang dikembangkan dengan

model Problem Based Learning berbantuan Geogebra telah efektif.

d. Lembar Validasi Kegiatan Aktivitas Siswa (LAS)

Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi yang bertujuan untuk

melihat apakah Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang dirancang sudah memenuhi

standar terkait dengan format, isi dan bahasa yang digunakan. Lembar ini juga

bertujuan untuk melihat apakah komponen LAS sudah mengikuti prinsip dan

langkah-langkah model Problem Based Learning berbantuan Geogebra. Lembar

ini terdiri dari lima skala penilaian yaitu 1 berarti tidak baik, 2 berarti kurang baik,

3 berarti cukup baik, 4 berarti baik dan 5 berarti sangat baik.

Berdasarkan hasil validasi yang ditetapkan lima orang ahli/pakar dibidang

pendidikan matematika selanjutnya digunakan untuk memutuskan apakah LAS

yang dikembangkan perlu direvisi atau tidak. Jika sudah dinyatakan valid maka

selanjutnya dapat digunakan pada tahap ujicoba untuk melihat apakah LAS yang

dikembangkan dengan model Problem Based Learning berbantuan Geogebra

telah efektif.
97

2.6.2. Lembar Validasi Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa

Data yang dikumpulkan dengan lembar validasi ini adalah tentang

kevalidan tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Lembar validasi tes

kemampuan berpikir kritis matematis siswa terdiri dari tiga komponen, yakni

petunjuk, aspek-aspek yang dinilai, dan hasil penilaian. Penilaian kevalidan tes

kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang dilakasanakan ditinjau dari 3

aspek, yaitu isi, konstruksi dan penggunaan bahasa. Hasil penilaian terhadap tes

kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang dikembangkan adalah sangat

valid, valid, cukup valid, kurang valid dan tidak valid.

2.6.3. Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa

Tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa digunakan untuk

mengukur kemampuan berpikir kritis matematis siswa setelah diberi perlakuan.

Dalam taksonomi Blom berpikir kritis berada pada jenjang kognitif C6. Dalam

penelitian ini akan diberikan tes berbentuk uraian kepada siswa yang berjumlah 5

soal untuk melihat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa setelah

menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model

Problem Based Learning berbantuan Geogebra. Kisi-kisi tes berdasarkan variabel

dan indikator yang telah ditentukan. Adapun kisi-kisi tes kemampuan berpikir

kritis matematis siswa dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa

Aspek Berpikir Indikator yang Diukur


Kritis
 Analisis Memisahkan informasi kedalam bagian-bagian yang
lebih kecil dan terperinci
Sintesis a. Menggabungkan bagian-bagian informasi menjadi
bentuk atau susunan yang baru
98

 Mengenal dan Memahami bacaan dengan kritis, mengambil pokok


memecahkan pikiran dan mampu membuat pola dari konsep yang ada
masalah
 Menyimpulkan Menguraikan dan menahami berbagai aspek secara
bertahap sampai kepada kesimpulan

Tabel.3.3. Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa


Skor Keterangan
Skor 4  Jawaban lengkap dan benar
 Ilustrasi dan indikator yang diukur sempurna
 Pekerjaannya ditunjukkan dan/ atau dijelaskan
Skor 3  Jawaban benar tapi belum sempurna
 Ilustrasi dan indikator yang diukur baik
 Pekerjaannya ditunjukkan dan/ atau dijelaskan
 Membuat beberapa kesalahan
Skor 2  Jawaban belum lengkap
 Ilustrasi dan indikator yang diukur cukup
 Penyimpulan belum akurat
 Muncul beberapa keterbatasan dalam pemahaman
konsep matematika
 Membuat agak banyak kesalahan
Skor 1  Memunculkan masalah dalam ide matematika tetapi
tidak dapat dikembangkan
 Ilustrasi dan indikator yang diukur kurang
 Banyak kesalahan operasi yang muncul
 Terdapat sedikit pemahaman matematika yang
diilustrasikan
 Membuat banyak kesalahan
Skor 0  Keseluruhan jawaban tidak nampak

Sebelum instrumen ini digunakan, harus divalidasi oleh para ahli/pakar

untuk mengoreksi bahasa, angka yang digunakan, dan kesesuaian dengan apa

yang akan diukur. Kemudian akan diuji coba ke lapangan untuk melihat validitas

dan reliabilitas sehingga dapat diketahui bahwa instrumen tersebut tepat dan layak

digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

2.6.4. Angket Respon Siswa

Angket respon siswa adalah persentase tanggapan siswa terhadap komponen

dan perangkat pembelajaran matematika yang dikembangkan. Respon siswa ini


99

dijaring dengan lembar angket respon siswa dengan cara memberikan tanda

ceklist (√) pada kolom yang tersedia untuk setiap pertanyaan yang diajukan.

Angket ini digunakan untuk memperoleh data tentang tingkat keterbacaan buku

siswa, Lembar Aktivitas Siswa (LAS) serta respon siswa. Adapun respon siswa

yang ingin diketahui adalah sebagai berikut:

a. Perasaan siswa terhadap komponen materi pelajaran, buku siswa, Lembar

Aktivitas Siswa (LAS), suasana belajar di kelas, cara mengajar guru (senang

atau tidak senang).

b. Pendapat siswa terhadap komponen materi pelajaran, buku siswa, Lembar

Aktivitas Siswa (LAS), suasana belajar di kelas, cara mengajar guru (baru atau

tidak).

c. Minat siswa terhadap kegiatan belajar selanjutnya, jika pembelajaran

dilaksanakan seperti yang telah diikuti sekarang.

d. Pendapat siswa tentang bahasa yang digunakan dalam buku siswa dan Lembar

Aktivitas Siswa (dapat dipahami atau tidak).

e. Pendapat siswa tentang penampilan (tulisan, ilustrasi, gambar dan tata letak

gambar) yang terdapat pada buku siswa dan Lembar Aktivitas Siswa (menarik

atau tidak menarik).

2.7. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif. Data yang diperoleh dianalisis dan diarahkan untuk menjawab

pertanyaan apakah perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model

problem based learning berbantuan geogebra memenuhi kriteria kevalidan, dan


100

keefektifan atau tidak. Data yang diperoleh dari ahli/ validator dianalisis dan

diarahkan untuk menjawab apakah perangkat yang dikembangkan sudah

memenuhi kriteria kevalidan. Sedangkan data uji coba dilapangan digunakan

untuk menjawab apakah perangkat pembelajaran yang dikembangkan sudah

memenuhi kriteria keefektifan atau belum.

2.7.1. Analisis Data Untuk Menghitung Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Sebelum digunakan untuk menilai kualitas proses dan kualitas kemampuan

belajar siswa pada pembelajaran, instrument pengamatan dan instrument tes

kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang akan dipakai, terlebih dahulu

dianalisis reliabilitas dan validitas tes.

1. Analisis Kevalidan Perangkat Pembelajaran

Untuk melihat kevalidan perangkat pembelajaran digunakan analisis

statistik deskriptif berdasarkan rata-rata skor dari masing perangkat pembelajaran

yang telah divalidasi oleh 5 (lima) orang validator/ahli dalam bidang pendidikan

matematika dan direvisi berdasarkan koreksi serta saran para validator/ahli.

Kegiatan penentuan nilai rata-rata total aspek penilaian kevalidan perangkat

pembelajaran model Problem Based Learning berbantuan Geogebra mengikuti

langkah-langkah berikut:

a) Melakukan rekapitulasi data penilaian kevalidan perangkat pembelajaran ke

dalam tabel yang meliputi: aspek (Ai), indikator (Ii), dan nilai Vji untuk tiap-

tiap ahli.
101

b) Menentukan rata-rata nilai dari ahli untuk setiap indikator dengan rumus

V
j 1
ji

Ii  (Tanjung dan Nababan, 2018: 64)


n

Keterangan:

Vji = data nilai dari penilai ke-j terhadap indikator ke-i,

n = banyaknya penilai (ahli dan praktisi)

c) Menentukan rerata nilai untuk setiap aspek dengan rumus:

I
j 1
ij

Ai  (Tanjung dan Nababan, 2018: 64)


m

keterangan:

Ai = rerata nilai untuk aspek ke-i,

Iij = rerata untuk aspek ke-i indikator ke-j,

m = banyaknya indikator dalam aspek ke-i

d) Menentukan nilai Va atau nilai rerata total dari rerata nilai untuk semua aspek

dengan rumus
n

A i
Va  i 1
(Tanjung dan Nababan, 2018: 64)
n

keterangan :

Va = nilai rerata total untuk semua aspek

Ai = rerata nilai untuk aspek ke-i,


102

n = banyaknya aspek

Selanjutnya nilai Va atau nilai rerata total ini dirujuk pada interval

penentuan tingkat kevalidan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan

model Problem Based Learning berbantuan Geogebra (Tanjung dan Nababan,

2018: 64), seperti pada tabel berikut:

Tabel 3.5 Kriteria Tingkat Kevalidan

No Va atau Nilai Rerata Total Kriteria Kevalidan

1 1 ≤ Va < 2 Tidak valid


2 2 ≤ Va < 3 Kurang valid
3 3 ≤ Va < 4 Cukup valid
4 4 ≤ Va < 5 Valid
5 Va = 5 Sangat valid

Keterangan:

Va = nilai penentuan tingkat kevalidan perangkat pembelajaran yang

dikembangkan dengan model Problem Based Learning berbantuan

Geogebra

Kriteria menyatakan perangkat pembelajaran pembelajaran yang

dikembangkan dengan model Problem Based Learning Berbantuan Geogebra

memiliki derajat validitas yang baik, jika minimal tingkat validitas yang dicapai

adalah tingkat valid. Jika tingkat pencapaian validitas di bawah valid, maka perlu

dilakukan revisi berdasarkan masukan (koreksi) para ahli. Selanjutnya dilakukan

kembali kegiatan validasi. Demikian seterusnya hingga diperoleh perangkat

pembelajaran yang ideal dari ukuran validitas isi dan konstruksinya.


103

2. Analisis Butir Soal

Sebelum tes kemampuan berpikir kritis matematis dipergunakan, perlu

dilakukan validasi oleh ahli. Kemudian tes kemampuan berpikir kritis matematis

diujicobakan untuk mengetagui validitas dan reliabilitasnya.

a. Analisis Validitas Tes

Validitas berkenaan dengan ketepatan alat penilaian terhadap konsep yang

dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai. Jadi validitas

butir soal dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki oleh sebutir

soal, dalam mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir soal tersebut.

Untuk menentukan perhitungan validitas butir soal digunakan rumus korelasi

produk moment (Arikunto, 2009: 71), yaitu :

N  XY    X   Y 
rxy 
N  X 2
  X 
2
 N  Y 2
  Y 
2

Keterangan :

rxy = Koefisien korelasi variabel X dan Y

X = Skor butir soal

Y = Skor Total

N = Banyak responden yang mengikuti tes

Koefisien korelasi hasil perhitungan, kemudian diinterpretasikan dengan

klasifikasi sebagai berikut:

0,80 < rxy  1,00 validitas sangat tinggi

0,60 < rxy  0,80 validitas tinggi

0,40 < rxy  0,60 validitas sedang


104

0,20 < rxy  0,40 validitas rendah

0,00 < rxy  0,20 validitas sangat rendah

Kemudian untuk mengetahui signifikasi korelasi yang didapat, diuji dengan uji t:

𝑁−2
𝑡 = 𝑟𝑥𝑦 √1− 𝑟 2
(Sudjana, 2002: 377)
𝑥𝑦

Keterangan:

t = daya beda uji t

N = jumlah subjek

rxy = koefisien korelasi

Untuk menentukan valid atau tidaknya suatu butir tes maka thitung perlu

dibandingkan dengan ttabel . Sedangkan untuk menentukan ttabel dipergunakan tabel

korelasi product moment dengan melihat df= N-2 dan taraf signifikan 5% atau

0,05 dengan interpretasi thitung ≥ ttabel maka korelasi signifikan.

b. Analisis Reliabilitas Instrumen Tes

Suatu alat ukur memiliki reliabilitas yang baik apabila alat ukur itu

memiliki konsistensi yang handal walaupun dikerjakan siapapun (dalam

level yang sama). Untuk menghitung reliabilitas soal uraian digunakan

rumus Alpha (Arikunto, 2009 : 109)

k  h 
2

r11  1  
k  1   t2 

Keterangan:

r11 = Koefisien reliabilitas tes

k = Jumlah buti soal


105

 2
h
= Jumlah varians skor setiap soal

 t2 = Varians total

Sedangkan untuk menghitung varians tiap-tiap item digunakan rumus:

( X ) 2
X 2

n
2 
n (Arikunto, 2009:180)

Keterangan:

 2 = varians tiap item

X = nilai tiap butir soal

n = banyaknya siswa peserta tes

Interpretasi koefisien reliabilitas menurut Arikunto (2009:75)

diklasifikasikan seperti berikut:

Tabel 3.7 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas


Besarnya r11 Interpretasi
0,00  r11  0,20 Sangat Rendah
0,20  r11  0,40 Rendah
0,40  r11  0,60 Sedang
0,60  r11  0,80 Tinggi
0,80  r11  1, 00 Sangat tinggi

2.7.2. Analisis Kepraktisan Perangkat Pembelajaran

Cara menganalisis kepraktisan perangkat pembelajaran yaitu dengan

memberikan perangkat pembelajaran kepada validator untuk divalidasi. Perangkat

pembelajaran dikatakan praktis jika validator menyatakan bahwa perangkat

pembelajaran yang dikembangkan dapat diterapkan dan digunakan di lapangan

dengan sedikit revisi atau tanpa revisi. Serta jika hasil dari penelitian
106

menunjukkan bahwa para siswa sebagai pengguna perangkat pembelajaran

menganggap bahwa perangkat perangkat pembelajaran tersebut memenuhi

batasan-batasan berikut ini (Rochmad, 2012: 70):

1. Ahli perangkat pembelajaran model Problem Based Learning berbantuan

geogebra menilai bahwa perangkat pembelajaran model Problem Based

Learning berbantuan Geogebra yang dibuat dapat digunakan dengan sedikit

atau tanpa revisi.

2. Hasil dari wawancara siswa/pengguna perangkat pembelajaran model Problem

Based Learning berbantuan Geogebra untuk mendapatkan informasi apakah

pengguna perangkat pembelajaran merasa mudah dalam menggunakan

perangkat pembelajaran yang dikembangkan.

Untuk perangkat pembelajaran model Problem Based Learning berbantuan

Geogebra dikatakan praktis atau mudah diterapkan maka perlu adanya analisis

keterlaksanaan perangkat pembelajaran tersebut dan hasil penilaian ahli dan

praktisi/ guru matematika MA yang menyatakan perangkat pembelajaran dapat

digunakan (valid) tanpa revisi atau dengan sedikit revisi. Analisis keterlaksanaan

perangkat tersebut sebagai berikut:

a. Penilaian Ahli Dan Praktisi

Kriteria kepraktisan perangkat pembelajaran diukur dari hasil penilaian

para ahli dan praktisi/guru matematika MA berdasarkan kemampuan dan

pengalaman yang dimilikinya untuk melihat dapat atau tidaknya perangkat

dilaksanakan dilapangan. Hasil penelitian para ahli dan praktisi itu dapat dilihat

dari tingkat validitas perangkat tersebut apakah sudah memadai digunakan oleh
107

siswa/ pengguna dengan sedikit revisi atau tanpa revisi. Untuk penilaian ini

dianalisis dengan intereter yang telah dilakukan pada penentuan validitas

perangkat sebelumnya.

b. Analisis Data Hasil Wawancara Guru

Data diperoleh dari lembar kepraktisan perangkat pembelajaran model

problem based learning berbantuan geogebra dengan melakukan wawancara

kepada guru guna mendapatkan informasi apakah perangkat pembelajaran mudah

digunakan atau tidak.

c. Analisis Data Hasil Wawancara Siswa

Data diperoleh dari lembar kepraktisan perangkat pembelajaran model

problem based learning berbantuan geogebra dengan melakukan wawancara

langsung kepada siswa. Wawancara dilakukan terhadap beberapa siswa yang

dianggap mampu mewakili seluruh siswa. Selanjutnya dilakukan perangkuman

terhadap hasil wawancara tersebut.

d. Analisis Data Keterlaksanaan Perangkat Pembelajaran

Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data keterlaksanaan

perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Keterlaksanaan perangkat

pembelajaran diamati oleh dua orang pengamat yang sudah dilatih sehingga dapat

mengopersaikan lembar pengamatan keterlaksanaan perangkat pembelajaran

secara benar. Keterlaksanaan dirancang dalam bentuk 2 (dua) pilihan yaitu ya atau

tidak. Jika memilih ya maka ada 5 (lima) pilihan yaitu: 1 artinya tidak baik, 2

artinya kurang baik, 3 artinya cukup baik, 4 artinya baik dan 5 artinya sangat baik.

Jika pilihannya tidak, maka nilainya 0 (nol). Selanjutnya skor yang diperoleh
108

dikategorikan kedalam bentuk presentase keterlaksanaan secara keseluruhan

dengan rumus sebagai berikut:

X
k  100%
Xm

Keterangan:

k = persentase keterlaksanaan pembelajaran

X = rata-rata skor diperoleh

Xm = rata-rata skor maksimum

Selanjutnya nilai keterlaksanaan pembelajaran ini dirujuk pada interval

penentuan tingkat keterlaksanaan perangkat model problem based learning

berbantuan geogebra seperti pada tabel berikut:

Tabel 3.8 Persentase Kualifikasi Keterlaksanaan Pembelajaran

Persentase Keterlaksanaan Kategori

k  90 Sangat baik
80  k  90 Baik
70  k  80 Cukup
60  k  70 Kurang
k  60 Sangat Kurang
(Sudjana, 2005: 118)

Keterangan:

k = keterlaksanaan perangkat pembelajaran

Perangkat pembelajaran model problem based learning berbantuan

geogebra dikatakan praktis atau mudah diterapkan jika keterlaksanaan perangkat

pembelajaran yang dikembangkan tersebut minimal berada pada kategori baik.

Jika keterlaksanaannya dalam kategori cukup, maka dapat dikatakan bahwa

perangkat pembelajaran model problem based learning berbantuan geogebra


109

tersebut kurang praktis, dan jika keterlaksanaannya berada pada kategori kurang

atau sangat kurang, maka dikatakan perangkat pembelajaran model problem based

learning berbantuan geogebra tersebut tidak praktis.

2.7.3. Analisis Data Keefektifan Perangkat Pembelajaran

Kriteria penentuan pencapaian keefektifan perangkat pembelajaran model

Problem Based Learning berbantuan Geogebra berdasarkan pada empat indikator

keefektifan pembelajaran berupa: (1) pencapaian ketuntasan belajar secara

klasikal apabila 85% siswa yang mengikuti tes kemampuan berpikir kritis

matematis telah memperoleh nilai minimal 75; (2) pencapaian ketuntasan tujuan

pembelajaran (minimal 75% tujuan pembelajaran yang dirumuskan dapat dicapai

oleh minimal 65% siswa); (3) waktu yang digunakan dalam pembelajaran efisien

atau tidak melebihi pembelajaran biasa; (4) respon siswa terhadap pembelajaran

adalah positif.

1. Analisis Pencapaian Ketuntasan Belajar Siswa Secara Klasikal

Keefektifan perangkat pembelajaran terkait dengan kemampuan berpikir

kritis ditentukan berdasarkan pencapaian ketuntasan belajar siswa secara klasikal.

Ketuntasan belajar siswa secara individu dilakukan dengan menghitung skor

setiap siswa. Berdasarkan Kurikulum 2013 seorang siswa dikatakan tuntas jika

memperoleh nilai ≥ 71 dengan predikat B. Berdasarkan permendikbud No. 53

Tahun 2015, nilai ketuntasan kompetensi pengetahuan dam keterampilan

dituangkan dalam bentuk angka dan huruf yakni 1-100 untuk angka yang
110

ekuivalensi dengan huruf A sampai dengan D sebagaimana tertera pada tabel

berikut:

Tabel 3.6. Nilai Ketuntasan Kompetensi Pengetahuan dan Keterampilan

Nilai Ketuntasan Pengetahuan dan Keterampilan


Rentang Angka Rentang Huruf
86-100 A
71-85 B
56-70 C
≤55 D

Untuk menentukan ketuntasan belajar siswa secara individu dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut:

s
KB = ×100
S

Keterangan :

KB = Ketuntasan belajar individu

s = Jumlah skor yang diperoleh siswa

S = jumlah skor total

Sedangkan ketuntasan belajar per kelas atau Persentase Ketuntasan

Klasikal (PKK) diperoleh dengan menghitung persentase jumlah siswa yang

tuntas secara individu. Suatu kelas dikatakan tuntas belajarnya jika PKK

≥85% (Trianto, 2011:241). PKK dapat dihitung dengan rumus:

n
PKK= ×100%
N

Keterangan :

PKK = Persentase Ketuntasan Belajar


111

n = Jumlah siswa yang telah tuntas belajar

N = jumlah seluruh siswa

Kriteria yang menyatakan siswa telah memiliki kemampuan berpikir

kritis matematis apabila lebih atau sama dengan 85% siswa yang mengikuti

tes telah mencapai skor ≥ 71 atau berada pada kategori B. Apabila kriteria

di atas belum terpenuhi maka perlu diadakan peninjauan ulang proses dan

hasil pembelajaran yang telah dilakukan dan dilakukan uji coba ulang

dengan tujuan untuk mendapatkan perangkat pembelajaran yang efektif

ditinjau dari kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

2. Analisis Pencapaian Tujuan Pembelajaran

Untuk melihat pencapaian tujuan pembelajaran setiap butir soal tes

kemampuan berpikir kritis matematis siswa digunakan rumus :

T
X  100%
X m

Keterangan:

T = pencapaian tujuan pembelajaran

X = jumlah skor siswa untuk butir ke-i

X m
= jumlah skor maksimum untuk butir ke-i

Kriterianya adalah:

0%≤T<75% : tujuan pembelajaran belum tercapai

75%≤T≤100% : tujuan pembelajaran tercapai

3. Analisis Data Pencapaian Waktu


112

Data ini diperoleh dengan melihat pencapaian waktu yang digunakan

dalam proses pembelajaran. Jika pencapaian waktu yang digunakan selama proses

pembelajaran efisien atau tidak melebihi pembelajaran biasa, maka pencapaian

waktu dikatakan baik.

4. Analisis Data Respon Siswa

Data hasil angket respon siswa dianalisis dengan deskriptif kuantitatif

dengan mempresentasekan respon positif dan negatif siswa dalam mengisi lembar

angket respon siswa yang dihitung dengan rumus:

A
PRS = ×100% , (Trianto, 2011:243)
B

Dimana:

PRS = Persentase banyak siswa yang memberikan respon positif terhadap setiap

kategori yang ditanyakan.

A = proporsi siswa yang memilih

B = jumlah siswa (responden)

Berdasarkan uji coba respon siswa terhadap perangkat pembelajaran dapat

dikatakan bahwa respon positif siswa terhadap perangkat pembelajaran terlihat

dari tinggi persentase siswa. Adapun kriteria respon siswa selengkapnya dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.9. Interpretasi Respon Siswa

Respon Siswa Kriteria Respon


80%< PRS > 100% Sangat Positif
60%< PRS > 80% Positif
40%< PRS > 60% Cukup
20%< PRS > 40% Kurang
113

0%< PRS > 20% Rendah

Respon siswa dikatakan positif jika persentase respon siswa dalam

menjawab ya untuk setiap aspek lebih besar dari 70%. Jika salah satu aspek yang

dijawab ya kurang dari 70% maka respon siswa dikatakan negatif.

5. Analisis Peningkatan Tes Kemampuan Berpikir Kritis Siswa


Data yang diperoleh dari hasil posttest kemampuan berpikir kritis
matematis pada uji coba I dan II dianalisis untuk mengetahui peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa. Skor yang diperoleh dari hasil tes siswa setelah
diberi perlakuan dengan pembelajaran model Problem Based Learning berbantuan
Geogeba dengan membandingkan rata-rata skor yang diperoleh siswa dari hasil
posttest uji coba I dan II.
Tabel 3.10 Kriteria Indikator Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis
Indikator
Kategori
Berpikir Kritis Indikator Penilaian Interval Nilai
Penilaian
Matematis
Analisis  Langkah penyelesaian lengkap 4 Baik
dan jawaban benar
 Langkah penyelesaian tidak 2 x3 Cukup
lengkap dan jawaban benar
 Langkah penyelesaian tidak 0  x 1 Kurang Baik
lengkap dan jawaban tidak
benar
Mensintesis  Langkah penyelesaian lengkap 4 Baik
dan jawaban benar
 Langkah penyelesaian tidak 2 x3 Cukup
lengkap dan jawaban benar
 Langkah penyelesaian tidak 0  x 1 Kurang Baik
lengkap dan jawaban tidak
benar
Mengenal dan  Langkah penyelesaian lengkap 4 Baik
memecahkan dan jawaban benar
masalah  Langkah penyelesaian tidak 2 x3 Cukup
lengkap dan jawaban benar
 Langkah penyelesaian tidak 0  x 1 Kurang Baik
lengkap dan jawaban tidak
benar
Menyimpulkan  Langkah penyelesaian lengkap 4 Baik
114

dan jawaban benar


 Langkah penyelesaian tidak 2 x3 Cukup
lengkap dan jawaban benar
 Langkah penyelesaian tidak 0  x 1 Kurang Baik
lengkap dan jawaban tidak
benar

6. Indikator Keberhasilan Perangkat Pembelajaran dengan Model Problem


Based Learning berbantuan Geogebra

Pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini dikatakan

berhasil jika perangkat pembelajaran yang dikembangkan memenuhi

kriteria valid, praktis dan efektif. Kriteria valid, praktis dan efektif terpenuhi

jika :

1. Validitas perangkat pembelajaran yang dikembangkan berada dalam

kategori valid (4  Va  5) atau sangat valid (Va  5) .

2. Kepraktisan perangkat pembelajaran dengan model problem based learning

berbantuan Geogebra yang dikembangkan memenuhi:

a. Validator menyatakan bahwa perangkat pembelajaran yang

dikembangkan baik dan dapat digunakan dengan sedikit revisi atau

tanpa revisi.

b. Guru mengatakan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan

mudah digunakan.

c. Siswa mengatakan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan

mudah digunakan.

d. Keterlaksanaan perangkat pembelajaran model problem based learning

berbantuan geogebra yang dikembangkan minimal berada pada kategori

baik.
115

3. Keefektian perangkat pembelajaran dengan model problem based learning

berbantuan Geogebra terpenuhi jika:

a. pencapaian ketuntasan belajar siswa secara klasikal apabila 85% siswa

yang mengikuti tes kemampuan berpikir kritis matematis telah

memperoleh nilai ≥ 75;

b. pencapaian ketuntasan tujuan pembelajaran (minimal 75% tujuan

pembelajaran yang dirumuskan dapat dicapai oleh minimal 65% siswa)

c. waktu yang digunakan dalam pembelajaran efisien atau tidak melebihi

pembelajaran biasa;

d. respon siswa terhadap pembelajaran adalah positif.

Anda mungkin juga menyukai