Anda di halaman 1dari 13

OVERVIEW PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

3.1 Sifat, Karakteristik dan Keunggulan PPN


3.1.1 Multi Stage Tax
Multi stage tax artinya PPN dikenakan pada setiap mata rantai mulai jalur produksi maupun
distribusi hingga ke konsumen akhir. Barang yang beredar di dalam negeri (daerah pabean)
baik yang berasal dari produksi pabrikan dalam negeri maupun impor, akan langsung
dikenakan PPN sejak barang tersebut mulai diproduksi ataupun mulai masuk ke dalam daerah
pabean pada saat importasi hingga jalur distribusi dan berakhir di konsumen akhir.

Produksi oleh Pabrikan:


- Bahan baku
- Upah langsung
- Overhead
Distributor Distributor Retailer
Utama

Importasi oleh Importir


baik berupa barang utuh
maupun bahan baku atau Konsumen
barang setengah jadi Akhir

Diolah lebih lanjut


menjadi barang utuh
yang siap dipasarkan

1. Level Produksi oleh Pabrikan dalam Negeri atau Level Importasi oleh Importir
Dalam Negeri
Pabrikan akan membayar PPN atas perolehan barang kena pajak (BKP) dan jasa kena
pajak (JKP) yang dibutuhkan oleh pabrikan untuk memproduksi produknya. Importir
harus membayar PPN impor atas BKP yang diimpornya sebelum barang tersebut
didistribusikan kepada distributor utama ataupun sebelum barang tersebut diolah lebih
lanjut hingga menjadi barang yang siap dipasarkan.
2. Level Distribusi Sejak dari Distributor Utama Hingga ke Reatiler
Distributor utama akan membayar PPN kepada pabrikan atau importir atas BKP yang
diperolehnya dan kemudian memungut PPN atas penyerahan kepada distributor atau
retailer, demikian seterusnya retailer pun akan dipungut PPN oleh distributor atau
distributor utama dan retailer akan memungut PPN atas penyerahan kepada konsumen
akhir.
3. Level Akhir: Konsumen Akhir
Pada akhirnya PPN akan menjadi beban yang ditanggung oleh konsumen akhir.
3.1.2 Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri

PPN hanya dikenakan di dalam negeri (daerah pabean) dan menjadi tanggungan
konsumen akhir. Walaupun PPN dikenakan di setiap mata rantai mulai jalur produksi
dan distribusi namun PPN akan menjadi tanggungan konsumenn akhir, hal ini
dikarenakan adanya mekanisme pengkreditan atas PPN yang dibayar oleh
pabrikan/distributor/retailer; hanya konsumen akhir yang tidak lagi melakukan
pengkreditan atas PPN yang dibayarnya.

PPN yang telah dibayar importir/pabrikan/distributor utama/distributor/retailer


selanjutnya disebut sebagai pajak masukan dan PPN yang dipungut oleh
importir/pabrikan/distributor utama/distributor/ retailer disebut sebagai pajak keluaran.
Konsumen akhir hanya membayar PPN kepada retailer namun tidak lagi melakukan
pemungutan PPN: sehingga tidak ada lagi mekanisme pengkreditan pajak masukan
terhadap pajak keluaran di level konsumen akhir.

3.1.3 Pajak Tidak Langsung

PPN tidak dipungut langsung oleh negara kepada konsumen akhir, melainkan dipungut
oleh pihak-pihak yang terlibat dalam mata rantai jalur produksi dan distribusi.
Pembayaran PPN kepada para pihak di mata rantai produksi dan distribusi dianggap
sebagai pembayaran langsung ke kas negara.

3.1.4 PPN Merupakan Pajak Objektif


Suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif,
yaitu adanya keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak
yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya
kewajiban untuk membayar PPN ditentukan oleh adanya objek pajak.

Dengan berbagai karakteristik yang telah disebutkan dimuka, PPN memiliki


keunggulan dan kelemahan.

Keunggulan PPN:

1. Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.


2. Netral dalam perdagangan lokal dan internasional.
3. Ditinjau dari besar pendapatan Negara, PPN mendapat predikat sebagai money
maker. Karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh
pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya.

Kelemahan PPN:

1. Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan pajak tidak langsung
lainnya, baik di pihak administrasi pajak maupun di pihak pengusaha kena pajak.
2. Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan
konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul.
3. PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak.
4. PPN menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak
terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya.

3.2 Objek PPN

Secara keseluruhan objek PPN diatur pada Pasal 4, Pasal 16C, dan Pasal 16D Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-undang nomor 42
tahun 2009 (selanjutnya disebut UU PPN). Jumlah objek PPN yang diatur pasal 4 UU PPN ada
8 objek sehingga keseluruhan terdapat 10 objek PPN.

Pasal 4 ayat (I) UU PPN, PPN dikenakan atas:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
2. Impor Barang Kena Pajak;
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 16 C UU PPN

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak
dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan
sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.

Pasal 16 D UU PPN

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aset yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas
penyerahan aset yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

Objek PPN pada pasal 4 ayat (1) UU PPN secara ringkas dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Penyerahan BKP dan JKP, meliputi:


a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha
b. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
d. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
e. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
2. Perolehan BKP dan JKP, meliputi:
a. Impor Barang Kena Pajak
b. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
c. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

Terkait dengan objek PPN yang diatur Pasal 4 ayat (I), Pasal 16C dan 16D UU PPN dapat
disimpulkan bahwa kewajiban untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) tidak
berlaku untuk semua objek PPN, melainkan hanya objek PPN sebagai berikut:

1. Objek PPN yang termasuk dalam kelompok Penyerahan BKP dan JKP, meliputi:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha
b. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
d. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
e. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
2. Objek PPN Pasal 16 D UU PPN yang menyatakan:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aset yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali
atas penyerahan aset yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengusaha kena pajak adalah pengusaha
yang melakukan kegiatan:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean


2. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
3. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
4. Ekspor Jasa Kena Pajak
5. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean

Berlawanan dengan pengertian pengusaha kena pajak, objek PPN terkait dengan kelompok
Perolehan BKP dan JKP berikut ini dan objek PPN Pasal 16 C UU PPN, tidak mewajibkan
untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meliputi:

1. Impor Barang Kena Pajak;


2. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
3. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
4. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan
tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan.

Artinya siapapun (baik berstatus sebagai PKP maupun bukan PKP) yang melakukan
kegiatan;
1. Impor Barang Kena Pajak
2. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
3. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
4. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak Iain;
Wajib membayar PPN yang terutang atas kegiatan tersebut.

3.3 Pengusaha Kena Pajak

Berdasarkan objek PPN, pengusaha dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Bukan PKP

Pengusaha Pengusaha Kecil


Memilih
PKP dikukuhkan
sebagai PKP
PKP bukan
Pengusaha Kecil
Memilih Tidak
dikukuhkan
sebagai PKP

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pengusaha dapat dibedakan sebagai pengusaha kena
pajak (PKP) dan bukan PKP; sebagaimana dijelaskan di muka PKP adalah pengusaha yang
melakukan penyerahan BKP dan JKP baik di dalam negeri maupun dalam rangka ekspor.
PKP lebih lanjut dikelompokkan atas PKP Pengusaha Kecil dan PKP bukan Pengusaha Kecil.
PKP yang masuk kriteria sebagai pengusaha kecil (berdasarkan PMK 197/PMK.03/2013, yang
berlaku sejak 1 Januari 2014) adalah:
Pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak dalam rangka kegiatan usahanya dengan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah). Pengusaha dengan kriteria sebagai Pengusaha Kecil dapat memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Kewajiban untuk Dikukuhkan Sebagai PKP dan Sanksi Terhadap PKP
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang no. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara
Perpajakan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007
(selanjutnya disebut UU KUP) menyatakan bahwa Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha
dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
Jadi untuk wajib pajak orang pribadi ataupun badan yang baru memulai kegiatan usahanya,
setelah mendaftarkan diri dan mendapatkan NPWP maka jika WP tersebut melakukan
penyerahan BKP dan/atau JKP yang memenuhi persyaratan untuk dikukuhkan sebagai PKP
maka WP tersebut wajib melaporkan untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah
beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Dikarenakan PPN terutang di lokasi terjadinya penyerahan BKP dan/atau JKP, maka tempat
pengukuh PKP wajib dilakukan di Iokasi-lokasi terjadinya penyerahan tersebut.
PKP yang memiliki lebih dari satu tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang dapat memilih 1
(satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang.
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat
Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang, Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat Pajak
Pertambahan Nilai terutang yang akan dipusatkan.
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-19/PJ/2010 tentang Penetapan
Satu Tempat atau Lebih Sebagai Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang, menyatakan
bahwa Dalam hal Pengusaha Kena Pajak memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat
Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang, Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat Pajak
Pertambahan Nilai terutang yang akan dipusatkan.
Walaupun Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-19/PJ/2()10 memakai istilah
pemberitahuan secara tertulis, namun pemberitahuan ini lebih bersifat permohonan yang
memerlukan persetujuan, hal ini diatur pada pasal 4 dan pasal 5 ayat (I) PER- 19/PJ/2010 yang
menyatakan bahwa:
Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) harus memenuhi
persyaratan:
a. Memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipilih
sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang;
b. Memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang akan
dipusatkan;
c. Dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan secara
terpusat pada tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipilih sebagai Tempat
Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) menerbitkan:
a. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat Pajak
Pertambahan Nilai Terutang, dalam hal pemberitahuan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; atau
b. Surat Pemberitahuan Penolakan Pemusatan Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang,
dalam hal pemberitahuan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4.
Pemusatan PKP ini berlaku otomatis tanpa diperlukan permohonan dalam hal wajib pajak
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya dan KPP yang berada di lingkungan Kantor
Wilayah DJP WP Besar, dan Kanwil DJP Jakarta Khusus (Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor: PER - 28/PJ/2012).
Namun demikian khusus untuk pengusaha yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan tidak dapat melakukan pemusatan tempat PPN terutang (Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor: PER-25/PJ/2013).
Sanksi terkait PKP diatur sebagai berikut:
1. Pasal 13 ayat (1) huruf e juncto pasal 13 ayat (2) UU KUP yang menyatakan:
a. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya
Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
e. Apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4a).
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar
2. Pasal 14 ayat (I) huruf d, e, f juncto Pasal 14 ayat (4) UU KUP yang menyatakan:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
i. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
ii. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak pedagang eceran;
f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak;
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang
terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari
Dasar Pengenaan Pajak.
3. Pasal 14 ayat (1) huruf g juncto Pasal 14 ayat (5) UU KUP yang menyatakan:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian
Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari
jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat
Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal
penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
4. Sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 39 ayat (1) huruf a dan b
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar dan paling banyak
4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
5. Sanksi Pidana Pasal 39A
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi
yang sebenarnya; atau
b. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling
banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

3.4 Pengertian Penyerahan dan yang Tidak Termasuk dalam Pengertian


Penyerahan BKP

Memahami pengertian penyerahan adalah salah satu syarat mutlak untuk memahami terutang
atau tidak terutangnya pengalihan BKP; artinya jika ada pengalihan BKP namun pengalihan
tersebut belum termasuk dalam pengertian penyerahan sebagaimana diatur Pasal IA UU PPN
maka pengalihan tersebut tidak/belum terutang PPN.

Pasal 1A ayat (1) UU PPN menyatakan:


Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;


b. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa
guna usaha (leasing);
c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aset yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
Barang Kena Pajak antar cabang;
g. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena
Pajak.

Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian
sewa guna usaha/SGU (leasing).

Yang dimaksud dengan "pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna
usaha (leasing)" adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa
guna usaha (leasing) dengan hak opsi.

Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung
dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang
(lessee). Pengertian penyerahan secara SGU (leasing) hak opsi ini harus dibedakan dengan
pengertian bahwa jasa SGU hak opsi termasuk sebagai jasa keuangan yang tidak termasuk
sebagai jasa kena pajak sebagaimana diatur pasal 4A ayat (3) UU PPN.
Jadi walaupun SGU Hak opsi termasuk dalam kategori penyerahan namun atas jasa SGU Hak
opsi (yang menghasilkan bunga leasing) maka atas jasa SGU hak opsi (bunga leasing) tersebut
tidak dikenakan/tidak dipungut PPN oleh lessor.

Yang dimaksud dengan "pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha
sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.

Yang dimaksud dengan "pemberian cuma-cuma" adalah pemberian yang diberikan tanpa
pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian
contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI (PP) No. 1 Tahun 2012 menyatakan sebagai berikut:

1) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
2) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pemakaian sendiri untuk:
a. tujuan produktif; atau
b. tujuan konsumtif.
3) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif
tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan penyerahan yang:
a. tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
b. mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
4) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak dalam rangka pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan.

Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk
tujuan produktif" adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-
nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi
kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk
tujuan konsumtif" adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak
ada kaitan dengan kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi
kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.

Contoh pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak:

1. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif:
a. Pabrikan minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi
karyawan atau para tamu.
b. Pabrikan sepatu dalam rangka promosi membeli topi dengan logo merek sepatu
pabrik tersebut dan sebagian dibagikan kepada karyawannya.
c. Perusahaan telekomunikasi selular memberikan fasilitas bebas biaya telepon
selular kepada para direksinya.
2. Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang
nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha. Pengusaha yang bersangkutan:
a. Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan
usaha mengangkut suku cadang.
b. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit
sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.
c. Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan
operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.
3. Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang
nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya:
a. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulitdari inti sawit
sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.
b. Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis
(plywood) untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar
tidak rusak.
b. Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk
melakukan penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya.

Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
2. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
3. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
4. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Pasal 1A ayat (2) UU PPN menyatakan:


Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang;
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal
Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
d. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan
dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak
Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (8) hurufb dan huruf c.
Barang Kena Pajak berupa aset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas
perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) hurufb dan/atau
aset berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas
perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
huruf c tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.

Hal ini selaras dengan pengenaan PPN Pasal 16D; dimana untuk penyerahan kendaraan jenis
sedan dan station wagon, dikarenakan berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan c pajak
masukannya tidak dapat dikreditkan, maka penyerahan kembali atas kedua jenis mobil ini,
tidak dikenakan PPN Pasal 16D, (kecuali untuk PKP yang melakukan kegiatan usaha sewa
dan/atau jual beli jenis kendaraan ini).

Anda mungkin juga menyukai