Penggusuran Paksa PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 5

PENGGUSURAN PAKSA

BERBASIS PEMBANGUNAN
Oleh. Paul SinlaEloE

CATATAN PENGANTAR
Sudah lama rasanya warga Kota Kupang tidak mendengar atau
melihat bangunan rumah di Kota Kupang digusur oleh
pemerintah dengan alasan untuk pembangunan yang
mensejahterakan. Begitu juga dengan pencaplokan tanah
rakyat berdalih pembangunan untuk kepentingan umum.
Namun, beberapa waktu lalu, Walikota Kupang melalui media massa cetak melontarkan
ancaman terselubung kepada warga pemilik lahan di Kolhua yang tidak bersedia lahannya
dibebaskan berkaitan dengan rencana pembangunan bendungan.

Walikota Kupang pada intinya mengatakan bahwa kekukuhan Pemkot Kupang membangun
bendungan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2011, tentang Sungai.
Menurutnya, PP No. 38 Tahun 2011, melarang adanya aktivitas di sepanjang sungai
sehingga bila ia mau tegas menerapkan aturan ini, maka warga Kolhua tidak mendapat
apa-apa. Walikota Kupang juga menegaskan bahwa Pemerintah Pusat akan menarik
kembali dana Rp.485 miliar yang sudah dialokasikan untuk Kota Kupang, jika pembebasan
lahan tidak selesai hingga Juli 2013 (Lihat HU. Victory News, 15/05/2013).

Bertolak dari pernyataan “bersayap” yang dilontarkan oleh Walikota Kupang, maka
pertanyaan kritisnya adalah apakah Pemkot Kupang akan melakukan penggusuran paksa
terhadap warga Kolhua sebelum Juli 2013? Tulisan ini akan melihat persoalan penggusuran
paksa berbasis pembangunan dalam prespektif Hak.

PENGGUSURAN PAKSA ADALAH PROSES PEMISKINAN


Dalam berbagai literatur ilmu sosial, pembangunan atau yang disebut dengan istilah
apapun, semestinya diarahkan pada penciptaan kesejahteraan warganya. Itu berarti,
tujuan utama pembangunan adalah kesejahteraan manusia (Human Welfare).

Pembangunan yang mensejahterakan rakyat akan memperoleh keberhasilan, jika dilakukan


tanpa penggusuran paksa. Fakta membuktikan bahwa penggusuran paksa merupakan
faktor utama penyebab kemiskinan di kota Asia (Lihat: Asian Coalition for Housing Rights,
Newsletter No. 15, Special Issue on Evictions, October 2003).

Pada konteks Kota Kupang, penggusuran paksa juga akan semakin memiskinkan kaum
miskin yang ada di Kolhua karena: Pertama, warga yang nota bene adalah kaum miskin di
“usir” dari pusat kota ke daerah pinggiran yang belum memiliki pelayanan yang baik dan
jauh dari tempat bekerja. Kedua, Penggusuran paksa menambah beban waktu dan biaya
transportasi bagi kaum miskin, sehingga menyulitkan orang tua (terutama ibu) untuk
bekerja di luar rumah ataupun area permukiman. Ketiga, Penggusuran paksa memperkecil
aksesibiltas kaum miskin terhadap pelayanan kesehatan yang layak dan institusi
pendidikan, serta memperbesar jarak antara si miskin dan si kaya di kota. Keempat,
Penggusuran paksa menciptakan alienasi dan konflik, karena pada saat seseorang terus

Page 1 of 5
menerus terperangkap di dalam kemiskinan, maka potensi terjadinya kriminalitas dan
kekerasan juga meningkat. Kelima, Penggusuran paksa menghasilkan kerugian investasi di
bidang perumahan, infrastruktur, usaha kecil menengah serta kepemilikan harta benda
individu dan rumah tinggal dalam jumlah yang sangat besar. Keenam, Penggusuran paksa
mengganggu kegiatan belajar mengajar anak-anak. Ketujuh, Penggusuran paksa merusak
sistem pendukung sosial yang sudah berhasil terbentuk selama bertahun-tahun di
pemukiman lama. Setelah penggusuran, hubungan kekerabatan yang sudah terjalin dengan
rekan ataupun tetangga seringkali hilang. Kedelapan, Penggusuran paksa menciptakan
nuansa kekerasan dan trauma bagi kelompok di masyarakat yang paling rentan. Bagi anak-
anak, penggusuran paksa sangatlah traumatis karena mengganggu stabilitas dan rutinitas
yang diperlukan dalam pengembangan anak dan dapat mengakibatkan penyakit mental
dan pertumbuhan yang serius.

Menurut Jonatan A. Lassa (2013), pembangungan bendungan dan penggusuran paksa


ibarat 2 (dua) sisi mata uang logam yang tidak terpisahkan. Artinya, tidak akan ada
pembangunan bendungan dengan ilusi pemenuhan kebutuhan dari ratusan hingga jutaan
penduduk Kota akan air bersih, tanpa dibarengi dengan penggusuran paksa terhadap
sekelompok kecil warga.

Penggusuran paksa (forced eviction) dalam pengertian yang longgar dapat dipahami
sebagai pemindahan individu, keluarga dan/atau komunitas secara paksa (di luar
kehendak) dari rumah dan/atau tanah yang telah mereka tempati, untuk selamanya atau
sementara, tanpa penyediaan atau akses pada prosedur hukum yang benar maupun
perlindungan yang diperlukan.

Penggusuran paksa yang merupakan proses pemiskinan ini sangat bertentangan dengan
salah satu tujuan Negara Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan UUD
1945, yakni: “…memajukan kesejahteraan umum, … yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Jika terjadi penggusuran paksa terhadap warga Kolhua, maka patut diduga bahwa
perencanaan pembangunan di Kota kupang tidak berprespektif Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal ini sangat ironi karena Pemkot Kupang yang merupakan bagian integral dari
Pemerintah Indonesia, seharusnya tidak menjadikan pembangunan sebagai tujuan dengan
mengorbankan manusia demi pembangunan, melainkan sebagai alat untuk mencapai
tujuan penegakkan hak atas pembangunan sesuai UU No. 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta UU No. 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.

Penggusuran paksa berbasis pembangunan selalu berdampak pada tercabutnya hak dan
lingkungan sosial yang telah terbangun di dalam lingkungan tempat tinggalnya. Padahal
ikatan sosial dan budaya yang terbangun dalam masyarakat merupakan modal dari
pembangunan dalam rangka terpeliharanya persatuan di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hak-hak warga Kolhua yang terusik jika terjadi penggusuran, diantaranya: Hak
Atas Rasa Aman, Hak Atas Perumahan dan Hak Atas Tanah.

Page 2 of 5
HAK RAKYAT YANG DAN AKAN DILANGGAR
DALAM PENGGUSURAN PAKSA
Penggusuran paksa selalu berakibat pada pelanggaran hak rakyat. Hak rakyat yang dan
akan dilanggar dalam penggusuran paksa antara lain: Pertama, Hak Atas Rasa Aman.
Dalam upaya pembangunan bendungan dengan argument untuk kepentingan umum, pihak
pemerintah Kota Kupang selalu mengeluarkan statemen-statement di media massa yang
diduga adalah “ancaman terselubung” dan berdampak pada warga Kolhua merasa tidak
aman. Tindakan pemerintah Kota Kupang ini berindikasi pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia, karena tidak sesuai dengan amanat Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999, tentang Hak
Asasi Manusia, telah mengamanatkan bahwa: “Setiap orang berhak atas rasa aman dan
tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.”

Kedua, Hak Atas Perumahan. Secara konstitusional, penggusuran paksa atas bangunan
rumah milik warga disekitar lokasi proyek, tindakan yang bertentangan dengan amanat
UUD 1945 khususnya Pasal 28H ayat (1), yakni: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999, tentang
Hak Asasi Manusia, juga mengharuskan setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta
berkehidupan yang layak. Artinya, warga yang belum punya tempat tinggal harus
diupayakan oleh negara agar warga dapat bertempat tinggal, oleh karenanya warga yang
telah bertempat tinggal dan mendiami rumahnya tersebut tidak boleh diambil hak-haknya
untuk hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ketiga, Hak Atas Tanah. Pentingnya tanah telah mendapat perhatian dari para Founding
Fathers bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan dengan dicantumkannya Pasal 33 ayat
(3) dari UUD 1945 dengan rumusan sebagai berikut: “Tanah atau bumi, air dan ruang
angkasa dikuasai oleh negera dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat”. Sayangnya, didalam praktek penekanan lebih diberikan pada konsepsi mengenai
penguasaan negara dan tak jarang ungkapan demi kemakmuran rakyat hanya dijadikan
sebagai argumen pembenaran atas penguasaan tersebut. (Tom Therik, 1998).

Dalam hal pengambil kebijakan ingin mempercepat pengadaan lahan sekaligus


mempercepat penggusuran terkait pembangunan untuk kepentingan umum yang salah
satu klasifikasinya adalah untuk waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum,
saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya, UU No. 2 Tahun
2012, tentang Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan, selalu
menjadi pilihan untuk dipergunakan. Lucunya para pengambil kebijakan seringkali
mengabaikan amanat Pasal 9 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012 yang menyebutkan secara
tegas bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan
masyarakat.

Dalam konteks pembebasan lahan untuk pembangunan, Pemerintah, baik pusat maupun
daerah biasanya menyiapkan anggaran untuk biaya ganti rugi rumah atau bangunan
beserta tanah yang terkena rencana pembangunan. Dasar perhitungan nilai ganti ruginya
adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang selalu ketinggalan dengan nilai pasar pada saat

Page 3 of 5
kejadian. Belum lagi kalau ada korupsi atau pungli oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab.

Untuk pembangunan bendungan di Kolhua, Pemerintah telah menyediakan anggaran untuk


pembebasan lahan sebesar Rp.4 milyar sebagai ganti rugi untuk lahan seluas 118 hektar
(green belt). Artinya, harga tanah leluhur masyarakat Helong itu secara ekonomis dihargai
sebesar Rp.3,390 per meter persegi.

Menurut Jonatan A. Lassa (2013), untuk mengetahui nilai keriguan ekonomis yang dialami
oleh para pemilik lahan, bisa dihitung dengan cara mengalikan jumlah hasil pertanian
(jagung dan sawah) per hektar (nilai saat ini setara Rp. 1 Milyar per ha) di kalikan 2-4 ton
di kalikan 100 tahun. Jonatan A. Lassa (2013), juga berpendapat bahwa kalkulasinya juga
bisa diubah dengan menghitung harga rata-rata tanah saat ini di Kolhua, yakni Rp.100,000
di kalikan 1 ha (10,000 M2) dan hasilnya setara Rp.1 Milyard. Dengan hitungan yang
seperti ini, pertanyaannya adalah apakah wajar jika harga tanah di kolhua pada tahun 2013
dihargai dengan nilai Rp.33 juta/ha?

PENGGUSURAN PAKSA
ADALAH PELANGGARAN HAM BERAT?
Penggusuran paksa di Indonesia belumlah dianggap sebagai pelanggaran berat hak asasi
manusia. Hal tersebut dikarenakan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, hanya mengkategorikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Walaupun demikian, sebenarnya komunitas internasional telah lama mengakui bahwa


pengusiran-paksa adalah persoalan yang serius dan dikategorikan sebagai bentuk
pelanggaran HAM berat. Buktinya, pada tahun 1976, Konferensi Pemukiman Manusia PBB
mencatat perlunya perhatian khusus pada “pelaksanaan operasi-operasi pembersihan besar
haruslah saat konservasi dan rehabilitasi tidak memungkinkan dan ukuran-ukuran relokasi
telah ditentukan”.

Fakta lainnya adalah pada tahun 1988, dalam Strategi Global Pemukiman tahun 2000, yang
disahkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 43/181, “kewajiban fundamental (pemerintah)
untuk melindungi dan mengembangkan kawasan pemukiman dan lingkungan sekitarnya,
bukannya merusak atau menghancurkannya” telah diakui. Agenda 21 menyatakan bahwa
“setiap orang harus dilindungi oleh hukum dari pengusiran-paksa dari rumah atau tanah
mereka.” Dalam Agenda Pemukiman, Pemerintah-pemerintah menyatakan-diri “melindungi
semua orang dari, dan memberikan perlindungan dan pemulihan oleh hukum dari
pengusiran-paksa yang bertentangan dengan hukum, menjadikan hak asasi manusia
pertimbangan; (dan) jika pengusiran itu tidak dapat dihindarkan, memastikan dengan
cermat bahwa solusi-solusi alternatif yang sesuai sudah disediakan.”

CATATAN PENUTUP
Selain uraian tentang hak rakyat yang dan akan dilanggar diatas, dalam koridor hukum hak
asasi manusia, Pelanggaran hak asasi manusia oleh negara, baik berupa acts of
commission maupun acts of ommission, dapat dilihat juga dalam hal kegagalannya untuk
memenuhi tiga jenis kewajiban yang berbeda, yaitu: Pertama, Kewajiban untuk
menghormati (respect). Kewajiban ini menuntut negara, dan semua aparaturnya untuk

Page 4 of 5
tidak bertindak apapun yang melanggar integritas individu atau kelompok atau pelanggaran
pada kebebasan mereka;

Kedua, Kewajiban untuk melindungi (protect). Kewajiban untuk melindungi


menuntut negara dan aparaturnya melakukan tindakan yang memadai guna melindungi
warga individu dari pelanggaran hak-hak individu atau kelompok, termasuk pencegahan
atau pelanggaran atas penikmat kebebasan mereka; Ketiga, Kewajiban untuk
memenuhi (fulfill). Kewajiban untuk memenuhi ini menuntut negara melakukan tindakan
yang memadai untuk menjamin setiap orang di dalam peluang yurisdiksinya untuk
memberikan kepuasan kepada mereka yang memerlukan yang telah dikenal di dalam
instrumen hak asasi dan tidak dapat dipenuhi oleh upaya pribadi.

Kota Kupang, 1 Juni 2013

---------------------------------------------------------
Keterangan:
Penulis adalah Aktivis PIAR NTT.
Tulisan ini dipublikasikan dalam https://paulsinlaeloe.blogspot.co.id/2013/06/penggusuran-
paksa.html, pada tanggal 14 Juni 2013.

Page 5 of 5

Anda mungkin juga menyukai