i
BAB I
PENDAHULUAN
1
3. Bagaimana epidemiologi gastritis?
4. Bagaimana etiologi gastritis?
5. Bagaimana patofisiologi gastritis?
6. Bagaimana gejala gastritis?
7. Apakah terdapat komplikasi gastritis?
8. Bagaimana terapi farmakologi gastritis?
9. Bagaimana terapi non-farmakologi gastritis?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1.2 Histologi Lambung
Dinding lambung tersusun dari empat lapisan dasar utama, sama halnya
dengan lapisan saluran cerna secara umum dengan modifikasi tertentu yaitu lapisan
mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa (Schmitz & Martin, 2008).
1. Lapisan mukosa terdiri atas epitel permukaan, lamina propia, dan
muskularis mukosa. Epitel permukaan yang berlekuk ke dalam lamina
propia dengan kedalaman yang bervariasi, dan membentuk sumur-sumur
lambung disebut foveola gastrika. Epitel yang menutupi permukaan dan
melapisi lekukan-lekukan tersebut adalah epitel selapis silindris dan semua
selnya menyekresi mukus alkalis. Lamina propia lambung terdiri atas
jaringan ikat longgar yang disusupi sel otot polos dan sel limfoid.
Muskularis mukosa yang memisahkan mukosa dari submukosa dan
mengandung otot polos (Tortora & Derrickson, 2009).
2. Lapisan sub mukosa mengandung jaringan ikat, pembuluh darah, sistem
limfatik, limfosit, dan sel plasma. Sebagai tambahan yaitu terdapat pleksus
submukosa (Meissner) (Schmitz & Martin, 2008).
3. Lapisan muskularis propia terdiri dari tiga lapisan otot, yaitu (1) inner
oblique, (2) middle circular, (3) outer longitudinal. Pada muskularis propia
terdapat pleksus myenterik (auerbach) (Schmitz & Martin, 2008). Lapisan
oblik terbatas pada bagian badan (body) dari lambung (Tortora &
Derrickson, 2009).
4. Lapisan serosa adalah lapisan yang tersusun atas epitel selapis skuamos
(mesotelium) dan jaringan ikat areolar (Tortora & Derrickson, 2009).
Lapisan serosa adalah lapisan paling luar dan merupakan bagian dari viseral
peritoneum (Schmitz & Martin, 2008).
4
Histologi Lambung (Tortora & Derrickson, 2009)
2.1.3 Fisiologi Sekresi Getah Lambung
Setiap hari lambung mengeluarkan sekitar 2 liter getah lambung. Sel-sel
yang bertanggung jawab untuk fungsi sekresi, terletak di lapisan mukosa lambung.
Secara umum, mukosa lambung dapat dibagi menjadi dua bagian terpisah : (1)
mukosa oksintik yaitu yang melapisi fundus dan badan (body), (2) daerah kelenjar
pilorik yang melapisi bagian antrum. Sel-sel kelenjar mukosa terdapat di kantong
lambung (gastric pits), yaitu suatu invaginasi atau kantung pada permukaan luminal
lambung. Variasi sel sekretori yang melapisi invaginasi ini beberapa diantaranya
adalah eksokrin, endokrin, dan parakrin (Sherwood, 2010).
Ada tiga jenis sel tipe eksokrin yang ditemukan di dinding kantung dan
kelenjar oksintik mukosa lambung, yaitu :
1. Sel mukus yang melapisi kantung lambung, yang menyekresikan mukus
yang encer.
2. Bagian yang paling dalam dilapisi oleh sel utama (chief cell) dan sel parietal.
Sel utama menyekresikan prekursor enzim pepsinogen.
3. Sel parietal (oksintik) mengeluarkan HCl dan faktor intrinsik. Oksintik
artinya tajam, yang mengacu kepada kemampuan sel ini untuk
menghasilkan keadaan yang sangat asam.
5
Semua sekresi eksokrin ini dikeluarkan ke lumen lambung dan mereka
berperan dalam membentuk getah lambung (gastric juice ) (Sherwood, 2010).
Sel mukus cepat membelah dan berfungsi sebagai sel induk bagi semua sel
baru di mukosa lambung. Sel-sel anak yang dihasilkan dari pembelahan sel akan
bermigrasi ke luar kantung untuk menjadi sel epitel permukaan atau
berdiferens6iasi ke bawah untuk menjadi sel utama atau sel parietal. Melalui
aktivitas ini, seluruh mukosa lambung diganti setiap tiga hari (Sherwood, 2010).
Kantung-kantung lambung pada daerah kelenjar pilorik terutama
mengeluarkan mukus dan sejumlah kecil pepsinogen, yang berbeda dengan mukosa
oksintik. Sel-sel di daerah kelenjar pilorik ini jenis selnya adalah sel parakrin atau
endokrin. Sel-sel tersebut adalah sel enterokromafin yang menghasilkan histamin,
sel G yang menghasilkan gastrin, sel D menghasilkan somatostatin. Histamin yang
dikeluarkan berperan sebagai stimulus untuk sekresi asetilkolin, dan gastrin. Sel G
yang dihasilkan berperan sebagai stimuli sekresi produk protein, dan sekresi
asetilkolin. Sel D berperan sebagai stimuli asam (Sherwood, 2010).
6
2.2 Pengertian Gastritis
Gastritis atau lebih dikenal sebagai maag berasal dari bahasa yunani yaitu
gastro, yang berarti perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan.
Gastritis bukan merupakan penyakit tunggal, tetapi terbentuk dari beberapa kondisi
yang kesemuanya itu mengakibatkan peradangan pada lambung. Biasanya,
peradangan tersebut merupakan akibat dari infeksi oleh bakteri yang sama dengan
bakteri yang dapat mengakibatkan borok di lambung yaitu Helicobacter pylori.
Tetapi faktor-faktor lain seperti trauma fisik dan pemakaian secara terus menerus
beberapa obat penghilang sakit dapat juga menyebabkan gastritis.
Secara histologis dapat dibuktikan dengan inflamasi sel-sel radang pada
daerah tersebut didasarkan pada manifestasi klinis dapat dibagi menjadi akut dan
kronik (Hirlan, 2001 : 127).
Pada beberapa kasus, gastritis dapat menyebabkan terjadinya borok (ulcer)
dan dapat meningkatkan resiko dari kanker lambung. Akan tetapi bagi banyak
orang, gastritis bukanlah penyakit yang serius dan dapat segera membaik dengan
pengobatan.
Gastritis merupakan gangguan yang sering terjadi dengan karakteristik
adanya anorexia, rasa penuh, dan tidak enak pada epigastrium, nausea, muntah.
Secara umum definisi gastritis ialah inflamasi pada dinding lambung
terutama pada mukosa dan submukosa lambung. Gastritis merupakan gangguan
yang paling sering ditemui diklinik karena diagnosisnya hanya berdasarkan gejala
klinis
Bila mukosa lambung sering kali atau dalam waktu cukup lama bersentuhan
dengan aliran balik getah duodenum yang bersifat alkalis, peradangan sangat
mungkin terjadi dan akhirnya malah berubah menjadi tukak lambung. Hal ini
disebabkan karena mekanisme penutupan pylorus tidak bekerja dengan sempurna,
sehingga terjadi refluks tersebut. Mukosa lambung dikikis oleh garam-garam
empedu dan lysolesitin (dengan kerja detergens). Akibatnya timbul luka-luka
mikro, sehingga getah lambung dapat meresap ke jaringan-jaringan dalam dan
menyebabkan keluhan-keluhan (Obat-obat Penting hlm 262).
Gastritis menurut jenisnya terbagi menjadi 2, yaitu (David Ovedorf 2002) :
7
1. Gastritis akut
Disebabkan oleh mencerna asam atau alkali kuat yang dapat menyebabkan
mukosa menjadi gangren atau perforasi. Gastritis akut dibagi menjadi dua garis
besar yaitu :
Gastritis Eksogen akut ( biasanya disebabkan oleh faktor-faktor dari luar,
seperti bahan kimia misal : lisol, alkohol, merokok, kafein lada, steroid ,
mekanis iritasi bakterial, obat analgetik, anti inflamasi terutama aspirin
(aspirin yang dosis rendah sudah dapat menyebabkan erosi mukosa
lambung) ).
Gastritis Endogen akut (adalah gastritis yang disebabkan oleh kelainan
badan).
2. Gastritis Kronik
Inflamasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus benigna atau
maligna dari lambung, atau oleh bakteri Helicobacter pylory (H. Pylory). Gastritis
kronik dikelompokkan lagi dalam 2 tipe yaitu tipe A dan tipe B. Dikatakan gastritis
kronik tipe A jika mampu menghasilkan imun sendiri. Tipe ini dikaitkan dengan
atropi dari kelenjar lambung dan penurunan mukosa. Penurunan pada sekresi
gastrik mempengaruhi produksi antibodi. Anemia pernisiosa berkembang pada
proses ini. Gastritis kronik tipe B lebih lazim. Tipe ini dikaitkan dengan infeksi
Helicobacter pylori yang menimbulkan ulkus pada dinding lambung.
2.3 Epidemiologi
Badan penelitian kesehatan WHO mengadakan tinjauan terhadap delapan
negara dunia dan mendapatkan beberapa hasil persentase dari angka kejadian
gastritis di dunia, dimulai dari negara yang angka kejadian gastritisnya paling tinggi
yaitu Amerika dengan persentase mencapai 47% kemudian diikuti oleh India
dengan persentase 43%, lalu beberapa negara lainnya seperti Inggris 22%, China
31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%, Perancis 29,5% dan Indonesia 40,8%. Penelitian
dan pengamatan yang dilakukan oleh Depertemen Kesehatan RI angka kejadian
gastritis di beberapa kota di Indonesia yang tertinggi mencapai 91,6% yaitu di kota
Medan, lalu di beberapa kota lainnya seperti Surabaya 31,2%, Denpasar 46%,
8
Jakarta 50%, Bandung 32,5%, Palembang 35,3%, Aceh 31,7% dan Pontianak
31,2%. Hal tersebut disebabkan oleh pola makan yang kurang sehat (Karwati,
2013). Berdasarkan laporan SP2TP tahun 2012 dengan kelengkapan laporan
sebesar 50% atau tujuh kabupaten kota yang melaporkan gastritis berada pada
urutan kedua dengan jumlah kasus 134.989 jiwa (20,92% kasus) (Piero, 2014) .
Lanjut usia meningkatkan resiko gastritis disebabkan karena dinding
mukosa lambung semakin menipis akibat usia tua dan pada usia tua lebih mudah
untuk terinfeksi Helicobacter pylori atau penyakit autoimun daripada usia muda.
Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah
kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri (Jackson, 2006).
Prevalensi gastritis pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria, hal ini
berkaitan dengan tingkat stres. Secara teori psikologis juga disebutkan bahwa
perempuan lebih banyak menggunakan perasaan dan emosi sehingga mudah atau
rentan untuk mengalami stres psikologis (Gupta, 2008).
2.4 Etiologi
Secara garis besar penyebab gastritis dibedakan atas zat internal yaitu
adanya kondisi yang memicu pengeluaran asam lambung yang berlebihan, dan zat
eksternal yang menyebabkan iritasi dan infeksi. Gastritis biasanya terjadi ketika
mekanisme perlindungan dalam lambung mulai berkurang sehingga menimbulkan
peradangan (inflamasi). Kerusakan ini bisa disebabkan oleh gangguan kerja fungsi
lambung, gangguan struktur anatomi yang bisa berupa luka atau tumor, jadwal
makan yang tidak teratur, konsumsi alkohol atau kopi yang berlebih, gangguan
stres, merokok, pemakaian obat penghilang nyeri dalam jangka panjang dan secara
terus menerus, stres fisik, infeksi bakteri Helicobacter pylori (Suryono, 2016).
Ketidakseimbangan antara faktor-faktor agresif (asam dan pepsin) dan
faktor-faktor defensif (resistensi mukosa) pada mukosa lambung dan duodenum
menyebabkan terjadinya gastritis, duodenitis, ulkus lambung dan ulkus duodenum.
Asam lambung yang bersifat korosif dan pepsin yang bersifat proteolitik
merupakan dua faktor terpenting dalam menimbulkan kerusakan mukosa lambung-
duodenum. Faktor-faktor agresif lainnya adalah garam empedu, obat-obat
9
ulserogenik (aspirin dan antiinflamasi nonsteroid lainnya, kortikosteroid dosis
tinggi), merokok, etanol, bakteri, leukotrien B4 dan lain-lain (Katzung, 2004).
Pemakaian obat-obatan tertentu dalam jangka panjang beresiko
mengakibatkan penyakit gastritis karena obat-obat tersebut mengiritasi dinding
lambung dan menyebabkan mukosa pelindung lambung menjadi tipis sehingga
lebih mudah terluka. Selain itu, dapat pula disebabkan faktor sosial, yaitu situasi
yang penuh stres psikologis. Suatu pengamatan terhadap seorang pasien yang
menderita fistula pada lambungnya sehingga perubahan-perubahan pada lambung
dapat diamati, ternyata mengalami peningkatan produksi asam lambung saat
dihadapkan pada situasi yang menegangkan yang menimbulkan perasaan cemas.
Timbulnya penyakit gastritis dan tukak lambung dipicu oleh stres yang
berkepanjangan. Stres yang berkepanjangan ini muncul karena gaya hidup saat ini
yang serba cepat akibat tuntutan hidup dan tuntutan kerja, misalnya mobilitas yang
tinggi maupun beban kerja yang dirasakan berat. Gaya hidup tersebut membuat
individu selalu berada dalam ketegangan sehingga berakibat pada munculnya stres.
Selain itu pola makan yang tidak teratur dan mengkonsumsi makanan instan sebagai
akibat pola hidup serba cepat juga merupakan salah satu pencetus penyakit gastritis
(Subekti, 2011).
Helicobacter pylori merupakan penyebab utama penyakit gastritis. Menurut
penelitian, gastritis yang dipicu bakteri ini bisa menjadi gastritis menahun karena
Helicobacter pylori dapat hidup dalam waktu yang lama dilambung manusia dan
memiliki kemampuan mengubah kondisi lingkungan yang sesuai dengan
lingkungannya sehingga Helicobacter pylori akan mengiritasi mukosa lambung
serta menimbulkan rasa nyeri di sekitar epigastrium. Komplikasi yang dapat timbul
dari gastritis, yaitu gangguan penyerapan vitamin B12, menyebabkan anemia
pernesiosa, penyerapan besi terganggu dan penyempitan daerah antrum pylorus.
Gastritis kronis jika dibiarkan tidak terawat, akan menyebabkan ulkus peptik dan
pendarahan pada lambung. Serta dapat meningkatkan resiko kanker lambung,
terutama jika terjadi penipisan secara terus menerus pada dinding lambung dan
perubahan pada sel-sel di dinding lambung. Adapun kasus dengan penyakit gastritis
merupakan salah satu jenis kasus yang umumnya diderita oleh kalangan masyarakat
10
sehingga harus berupaya untuk mencegah agar tidak terjadi kekambuhan (Suryono,
2016).
2.5 Patofisiologi
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat
jinak dan merupakan respons mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal.
Patofisiologi terjadinya gastritis dan tukak peptik ialah bila terdapat
ketidakseimbangan faktor penyerang (ofensif) dan faktor pertahanan (defensif)
pada mukosa gastroduodenal, yakni peningkatan faktor ofensif dan atau penurunan
kapasitas defensif mukosa. Faktor ofensif tersebut meliputi asam lambung, pepsin,
asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter pylori yang bersifat gram-
negatif, OAINS, alkohol dan radikal bebas. Sedangkan sistem pertahanan atau
faktor defensif mukosa gastroduodenal terdiri dari tiga lapis yakni elemen
preepitelial, epitelial, dan subepitelial (Pangestu, 2003).
Elemen preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama adalah berupa lapisan
mucus bicarbonate yang merupakan penghalang fisikokimiawi terhadap berbagai
bahan kimia termasuk ion hidrogen (Kumar, 2005). Lapis pertahanan kedua adalah
sel epitel itu sendiri. Aktifitas pertahanannya meliputi produksi mukus, bikarbonat,
transportasi ion untuk mempertahankan pH, dan membuat ikatan antar sel (Kumar,
2005).
Lapisan pertahanan ketiga adalah aliran darah dan leukosit. Komponen
terpenting lapis pertahanan ini ialah mikrosirkulasi subepitelial yang adekuat
(Pangestu, 2003).
Endotoksin bakteri setelah menelan makanan terkontaminasi, kafein,
alkohol dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi H. pylori lebih
sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme tersebut melekat pada
epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa pelindung, meninggalkan
daerah epitel yang gundul. Obat lain juga terlibat, misalnya OAINS (indomestasin,
ibuprofen, naproksen), sulfonamid, steroid, dan digitalis. Asam empedu, enzim
pankreas, dan etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung. Apabila
alkohol diminum bersama dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak
11
dibandingkan dengan efek masing-masing agen tersebut bila diminum secara
terpisah (Price dan Wilson, 2005).
2.7 Komplikasi
Komplikasi gastritis dibagi menjadi dua yaitu gastritis akut dan gastritis
kronik. Gastristis akut komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas
berupa hematemesis dan melena. Komplikasi ini dapat berakhir syok hemoragik.
12
Gastritis kronik komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus,
perforasi dan anemia (Mansjoer, 2001).
13
kosong; Puncak kedua bisa terlihat setelah sekitar 3 jam. Makanan menunda laju
dan mungkin sedikit mengurangi tingkat penyerapan, dengan konsentrasi plasma
puncak terjadi setelah sekitar 2 jam. Ketersediaan hayati simetidin setelah dosis oral
adalah sekitar 60 sampai 70%. Simetidine didistribusikan secara luas dan memiliki
volume distribusi sekitar 1 liter/kg dan lemah terikat, sekitar 20%, untuk protein
plasma. Itu Waktu paruh eliminasi dari plasma sekitar 2 jam dan meningkat pada
gangguan ginjal (Martindale ed.36, 2009)
Dosis : Gastritis, 1 dd 800 mg setelah makan malam. Ulkus peptikus 2 dd 400 mg
pada waktu makan atau 1 dd 800 mg selama 4 minggu dan maksimal 8 minggu.
Dosis pemeliharaan guna mencegah kambuh, malam hari 400 mg selama 3-6 bulan.
Intravena 4-6 dd 200 mg (Tjay, 2015)
b. Ranitidin
Daya menghambat senyawa ini lebih kuat dibandingkan dengan simetidin.
Tidak merintangi perombakan oksidatif dari obat-obat lain sehingga tidak
mengakibatkan interaksi yang tidak diinginkan (Tjay, 2015)
Indikasi : pengobatan jangka pendek tukak duodenum aktif, tukak lambung aktif,
mengurangi gejala refluks esofagitis.
Interaksi Obat : ranitidine tampaknya tidak mempengaruhi sitokrom P450 untuk
sebagian besar, dan karena itu dianggap memiliki sedikit efek pada metabolisme
obat lain. Namun, seperti halnya antagonis H2 lainnya, efeknya pada pH lambung
bisa mengubah penyerapan dari beberapa obat lain (Martindale Ed.36, 2009 )
Efek samping : penglihatan kabur; juga dilaporkan pankreatitis, gerakan disengaja
gangguan, nefritis interstisial, alopesia (BNF, ed.68 hlm 53).
Farmakokinetik : Ranitidin mudah diserap dari saluran gastrointestinal dengan
konsentrasi puncak dalam plasma terjadi sekitar 2 sampai 3 jam setelah dosis oral.
Ranitidine melintasi penghalang plasenta dan disebarkan ke ASI (Martindale ed.36,
2009)
Dosis : 1 dd 300 mg sesudah makan malam selama 4-8 minggu, sebagai pencegah
1 dd 150 mg, i.v 50 mg sekali (Tjay, 2015)
c. Famotidin
14
Indikasi : tukak usus 12 jari, hipersekresi patologis seperti sindrom zollinger
Ellison dan edenoma endokrin berganda (ISO Vol.46, 2011-2012).
Efek samping : sembelit; mulut kering, mual, muntah, perut kembung, anoreksia,
kelelahan, sesak, pneumonia interstisial, kejang, parestesia (BNF, ed.68 hlm 53).
Dosis : Ulserasi gaster dan duodenum jinak, pengobatan 40 mg di malam hari
selama 4-8 minggu; pemeliharaan (duodenal ulserasi), 20 mg di malam hari,
Refluks oesofagitis, 20-40 mg dua kali sehari selama 6-12 minggu; pemeliharaan,
20 mg dua kali sehari Antasida (BNF, ed.68 hlm 53)
Farmakokinetik : Famotidine mudah diserap di saluran gastrointestinal namun
tidak sempurna dengan konsentrasi puncak di plasma terjadi 1 sampai 3 jam setelah
dosis oral. Ketersediaan hayati famotidine oral sekitar 40- 45% dan tidak
terpengaruh secara signifikan dengan adanya makanan. Waktu paruh eliminasi dari
plasma dilaporkan terjadi sekitar 3 jam dan berkepanjangan pada gangguan ginjal.
Famotidine lemah terikat, sekitar 15 sampai 20%, ke plasma protein. Sebagian kecil
famotidin adalah dimetabolisme di hati menjadi famotidin S-oksida. Tentang 25
sampai 30% dosis oral, dan 65 sampai 70% dari intravena Dosis, diekskresikan
tidak berubah dalam air kencing dalam 24 jam, terutama dengan sekresi tubular
aktif (Martindale Ed.36, )
d. Nizatidin
Efek samping : sembelit; mulut kering, mual, muntah, perut kembung, anoreksia,
kelelahan, sesak, pneumonia interstisial, kejang, parestesia (BNF, ed.68 hlm 53).
Dosis dan indikasi : Ulserasi gaster, duodenum atau terkait NSAID,
Pengobatannya, 300 mg di malam hari atau 150 mg dua kali sehari selama 4-8
minggu; pemeliharaan, 150mg dimalam hari. Penyakit refluks gastroesofagus, 150-
300 mg dua kali setiap hari sampai 12 minggu
2.8.2 Antasida
Antasida meningkatkan pH lumen lambung. Peningkatan tersebut
meningkatkan kecepatan pengosongan lambung. Sehingga efek antasida menjadi
pendek. Pelepasan gastrin meningkat dan karena hal ini menstimulasi pelepasan
asam, maka antasida dibutuhkan lebih banyak (Neal, 2015).
15
Antasida tidak mengurangi volume HCL yang dikeluarkan lambung tetapi
peningkatkan pH dapat menurunkan aktivitas pepsin. Mula kerja antasida sangat
bergantung pada kelarutan dan kecepatan netralisasi asam, sedangkan kecepatan
pengosongan lambung sangat menentukan masa kerjanya. Antasida digolongkan
menjadi 2 macam yaitu antasida sistemik dan nonsistemik. Antasida sistemik yang
diabsorbsi melalui usus halus sehingga urin akan bersifat alkalis dan menyebabkan
alkalosis metabolik dan antasida nonsistemik yang tidak diabsorbsi melalui usus
halus sehingga tidak akan menyebabkan alkalosis metabolik (Ganiswara, 2015 )
Senyawa antasida :
Natrium bikarbonat merupakan satu-satunya antasida yang larut air dan
sangat berguna. Natrium bikarbonat bekerja cepat tetapi mempunyai efek
sementara dan bikarbonat yang diabsorbsi dalam dosis tinggi dapat
menyebabkan alkalosis sistemik.
Magnesium hidroksida dan magnesium trisilikat tidak larut dalam air dan
bekerja cukup cepat. Magnesium mempunyai efek laksatif dan bisa
menyebabkan diare.
Alumunium hidroksida bekerja relatif lambat. Ion Al3+ membentuk
kompleks dengan obat-obatn tertentu (misalnya tetrasiklin) dan cenderung
menyebabkan konstipasi. Campuran senyawa magnesium dan alumunium
bisa digunakan untuk meminimalkan efek pada motilitas (Tjay, 2015)
Efek samping dari obat antasida bervariasi tergantung zat komposisinya.
Alumunium hidroksida dapat menyebabkan konstipasi, sedangkan magnesium
hidroksida dapat menyebabkan diare. Kombinasi keduanya dapat membantu
menormalkan fungsi usus. Selain menyebabkan alkalosis sistemik, natrium
bikarbonat melepaskan CO2 yang dapat menimbulkan sendawa dan kembung
(Mycek, 2001).
Contoh obat:
Antasida DOEN
Indikasi : mengurangi gejala kelebihan asam lambung, gastritis, tukak lambung,
tukak usus 12 jari
Kontraindikasi : disfungsi ginjal berat
16
Efek samping : sembelit, diare, mal,muntah
Interaksi obat : simetidin dan tetrasiklin mengurangi absorbsi obat
Dosis : dewasa sehari 3-4x 1-2 tab atau 1-2 sdt suspensi. Anak 6-12 tahun sehari 3-
4x ½ - 1 tab atau ½ (ISO Vol.46, 2011-2012).
17
sukralfat mengandung alumunium, penggunaannya pada pasien gagal ginjal harus
hati-hati. Data keamanannya pada wanita hamil belum ada, jadi sebiknya tidak
digunakan (FKUI).
Interaksi : Sukralfat bisa mengganggu penyerapan obat-obatan lain dan sudah
dianjurkan bahwa pemberian selang 2 jam antara sukralfat dan obat non-antasid.
Beberapa obat yang dipengaruhi absorbsinya oleh sukralfat antara lain simetidin,
ranitidin, digoksin, antibakteri fluoroquinolon, ketokonazol, levothyroxine,
phenytoin, tetrasiklin, quinidine, teofilin dan warfarin. Interval pemberian antara
sukralfat dan antasida adalah 30 menit. Selang waktu 1 jam untuk pemberian
sukralfat dan makanan enteral (Martindale 36th ed. Hal 1772).
b. Misoprostol
Suatu analog metilester prostaglandin E1. Obat ini berefek menghambat
sekresi HCl dan bersifat sitoprotektif untuk mencegah tukak saluran cerna yang
diinduksi obat-obat AINS. Misoprostol adalah prostaglandin sintetik pertama yang
efektif secara oral. Obat ini menyembuhkan tukak lambung dan duodenum, efeknya
berbeda bermakna dibanding plasebo dan sebanding dengan simetidin. Misoprostol
menyembuhkan tukak duodenum yang telah refrakter terhadap AH2. Pada
penelitian klinis, misoprostol sama efektif dengan simetidin untuk pengobatan
jangka pendek tukak duodenum dan jelas efektif untuk menyembuhkan tukak
lambung. Tetapi AH2 atau tukak sukralfat lebih sering dipilih untuk pengobatan
tukak bukan karena obat AINS, karena efek sampingnya ringan (FKUI)
Indikasi : Menstimulasi mekanisme perlindungan mukosa lambung dan
menghambat sekresi asam lambung. Berdasarkan ini membantu pengobatan tukak
lambung dan juga ditambahkan dengan NSAIDs (Tjay dan Kirana, 2015).
Farmakokinetik : Misoprostol dilaporkan cepat diserap dan dimetabolisme
menjadi bentuk aktifnya (misoprostol acid; SC-30695) setelah dosis oral;
konsentrasi plasma puncak asam misoprostol terjadi sekitar 15-30 menit. Makanan
mengurangi peningkatan tetapi tidak tingkat penyerapannya. Asam misoprostol
dimetabolisme lebih lanjut dengan oksidasi sejumlah organ tubuh dan
diekskresikan terutama di dalam urine. Waktu paruh eliminasi plasma dilaporkan
18
terjadi antara 20 dan 40 menit. Asam misoprostol terdistribusi ke dalam ASI
(Martindale 36th ed. Hal 1772).
Dosis : Oral, dewasa 200mg 4 kali/ hari atau 400 mg 2 kali/ hari.
obat ini diindikasikan untuk profilaksis tukak lambung pada pasien berisiko tinggi
(usia lanjut dan pasien yang pernah menderita tukak lambung atau perdarahan
saluran cerna yang memerlukan AINS) (FKUI).
Efek Samping : Diare (kadang kala bisa parah dan membutuhkan penarikan,
dikurangi dengan memberi dosis tunggal tidak melebihi 200 mikrogram dan dengan
menghindari antasida yang mengandung magnesium), dan juga sakit perut,
dispepsia, perut kembung, mual dan muntah-muntah, pendarahan vagina abnormal
(termasuk perdarahan intermenstruasi, menorrhagia dan pasca menopause
perdarahan), ruam dan pusing (BNF 68 Hal. 55). Misoprostol sebaiknya tidak
diberikan pada wanita hamil. Dalam suatu penelitian dilaporkan timbulnya
pendarahan 50% wanita hamil trisemester I, dan 7% mengalami keguguran (FKUI).
19
CYP2C19. Namun, tidak ada akumulasi sekali pakai sehari-hari. Penghapusan
plasma waktu paruh sekitar 1,3 jam. Hampir 80% dari Dosis oral dieliminasi
sebagai metabolit dalam urin (Martindale 36th ed. Hal 1729).
Dosis : Dosis oral 20 mg setiap hari, selama 4-8 minggu, digunakan dipengobatan
ulserasi terkait NSAID; dosis 20 mg/ hari juga dapat digunakan untuk profilaksis
pada pasien berisiko lesi semacam itu yang membutuhkan terus pengobatan
NSAID. Untuk pengobatan sindroma Zollinger-Ellison, dianjurkan dosis oral
esomeprazol awal 40 mg/ 2x sehari, yang kemudian disesuaikan sesuai kebutuhan.
Mayoritas pasien dapat dikontrol pada dosis antara 80 dan 160 mg setiap hari, meski
dosis 240 mg telah diberikan. Dosis di atas 80 mg setiap hari seharusnya diberikan
dalam 2 dosis terbagi. Dosis Parenteral, dosis serupa di atas bisa diberikan secara
intravena untuk penyakit refluks gastroesofagus dan NSAID. Esomeprazol
diberikan sebagai garam natrium dengan injeksi intravena lambat setidaknya 3
menit atau infus intravena selama 10 sampai 30 menit. Dosis esomeprazol mungkin
perlu dikurangi pada pasien dengan gangguan hati (Martindale 36th ed. Hal 1729).
Efek Samping : glossitis, pankreatitis, anoreksia, gelisah, tremor, impotensi,
petechiae, dan purpura; Sangat jarang kolitis, diangkat
kolesterol serum atau trigliserida (BNF Ed. 68 hlm. 56).
b. Lansoprazol
Indikasi : Pengobatan jangka pendek tukak usus, tukak lambung dan refluks
esofagus (ISO Vol. 45, 2010-2011).
Farmakokinetik : Lansoprazol cepat diserap setelah dosis oral, dengan konsentrasi
plasma puncak dicapai setelah sekitar 1,5-2 jam. Bioavailabilitas dilaporkan 80%
atau lebih bahkan dengan dosis pertama, meski obatnya harus diberikan dalam
bentuk lapisan enterik karena lansoprazol tidak stabil pada pH asam. Makanan
dapat memperlambat penyerapan lansoprazole dan mengurangi bioavailabilitas
sekitar 50%. Ini banyak dimetabolisme di hati, terutama dengan sitokrom P450
isoenzim CYP2C19 untuk membentuk 5-hydroxyl-lansoprazole dan oleh CYP3A4
untuk membentuk lansoprazole sulfon. Metabolit diekskresikan terutama di kotoran
melalui empedu; hanya sekitar 15 sampai 30% dari dosis diekskresikan dalam urin.
20
Waktu paruh eliminasi plasma adalah sekitar 1-2 jam tapi durasi tindakannya
banyak lebih lama Lansoprazol sekitar 97% terikat pada plasma protein.
Dosis : Ulkus gastrik jinak, 30mg setiap hari di pagi hari selama 8 minggu. Ulkus
duodenum, 30mg setiap hari di pagi hari selama 4 minggu; perawatan 15mg/ hari.
Ulkus duodenum atau gastrik terkait NSAID, 30mg/ hari selama 4 minggu,
dilanjutkan 4 minggu lagi jika tidak sepenuhnya sembuh; profilaksis, 15-30mg/
hari.
Sindrom Zollinger-Ellison (dan hypersecretory lainnya kondisi), awalnya 60mg/;
dosis harian 120 mg atau lebih diberikan dalam dua dosis terbagi. Penyakit refluks
gastroesofagus, 30mg/ hari di pagi selama 4 minggu, lanjutkan untuk 4 minggu lagi
jika tidak sepenuhnya sembuh; pemeliharaan 15-30 mg perhari.
Dispepsia terkait asam, 15-30mg/ hari di pagi hari selama 2-4 minggu (BNF Ed. 68
hlm. 56).
Efek Samping : glossitis, pankreatitis, anoreksia, gelisah, tremor, impotensi,
petechiae, dan purpura; Sangat jarang kolitis, diangkat kolesterol serum atau
trigliserida (BNF Ed. 68 hlm. 56).
c. Omeprazole
Indikasi : Tukak duodenal, tukak gastrik, tukak peptik, refluks esofagitis erosif/
ulseratif, sindrom Zollinger-Ellison (ISO Vol. 45, 2010-2011).
Farmakokinetik : Omeprazol cepat tapi diserap dalam pemberian oral dosis.
Penyerapan tidak dipengaruhi secara signifikan oleh makanan. Omeprazol adalah
asam labil dan farmakokinetik berbagai formulasi dikembangkan untuk
meningkatkan bioavailabilitas oral yang beragam. Penyerapan omeprazol juga
tampaknya bergantung pada dosis; meningkatkan dosis diatas 40mg telah
dilaporkan meningkat. Konsentrasi plasma secara non linier karena metabolisme
hepatik pertama yang jenuh. Sebagai tambahan, ketersediaan hayati lebih tinggi
setelah penggunaan jangka panjang. Ketersediaan hayati omeprazol dapat
meningkat pada pasien lansia Pada penyerapan, omeprazol hampir seluruhnya
dimetabolisme di hati, terutama oleh sitokrom P450 isoenzim CYP2C19
membentuk hidroksi omeprazol, dan sebagian kecil oleh CYP3A4 untuk
21
membentuk omeprazole sulfon. Metabolitnya tidak aktif, dan sebagian besar
diekskresikan dalam urin dan pada tingkat yang lebih rendah di dalam empedu.
Waktu paruh eliminasi dari plasma sekitar 0,5-3 jam (Martindale 36th ed. Hal
1755).
Dosis : Dewasa sehari 1 x 20-40mg. Lama terapi : tukak usus 2-4 minggu. Tukak
lambung dan refluks esofagitis yang erosif 4-8 minggu. Sindrom Zollinger-Ellison:
sehari 1x 60mg. Maksimal 120mg/ hari. Dosis 80mg harus diminum dalam dua
dosis terbagi (ISO Vol. 45, 2010-2011).
Efek Samping : glossitis, pankreatitis, anoreksia, gelisah, tremor, impotensi,
petechiae, dan purpura; Sangat jarang kolitis, diangkat kolesterol serum atau
trigliserida (BNF Ed. 68 hlm. 56)
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara anatomik, lambung memiliki lima bagian utama, yaitu kardiak,
fundus, badan (body), antrum, dan pilori. Gastritis atau Dyspepsia maag adalah
kumpulan gejala yang dirasakan sebagai nyeri ulu hati.
Penyebab gastritis dibedakan atas zat internal yaitu adanya kondisi yang
memicu pengeluaran asam lambung yang berlebihan, dan zat eksternal yang
menyebabkan iritasi dan infeksi. Gejala gastritis diantaranya tidak nyaman sampai
nyeri pada saluran pencernaan terutama bagian atas, mual, muntah, lambung
merasa penuh, kembung, bersendawa, merasa cepat kenyang, perut keroncongan
dan sering kentut serta timbulnya luka pada dinding lambung.
Terapi yang diberikan pada penyakit gastritis berupa terapi farmakologi dan
non-farmakologi. Terapi farmakologi yang biasa digunakan diantarnya :
a. Antagonis reseptor H2 histamin : Simetidin, Ranitidin, Famotidin,
Nizatidin
b. Antasida terdiri dari senyawa Natrium Bikarbonat, Magnesium
Hidroksida dan Alumunium Hidroksida : Antasida DOEN
c. Penguat Mukosa : Sukralfat dan Misoprostol
d. Inhibitor Pompa Proton (PPI) : Esomeprazol, Lansoprazol,
Omeprazol,Tenatoprazole, Pantoprazole dan Rabeprazole
Sedanglan terapi non-farmakologi diantaranya :
a. Atur pola makan
b. Olah raga teratur
c. Hindari makanan berlemak tinggi dan makanan yang menimbulkan gas
di lambung
d. Hindari mengkonsumsi makanan yang terlalu pedas dan minuman
dengan kadar caffein, alkohol, dan kurangi rokok
e. Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung
f. Kelola stres psikologi seefisien mungkin
23
3.2 Saran
1. Salah satu cara yang baik untuk terhindar atau mencegah terjadinya
penyakit gastrtitis baik yang kronis maupun akut yakni dimulai dari cara
hidup sehat dan selalu memperhatikan konsumsi makanan dan minum kita
sehari-hari dan yang tidak kalah pentingnya selalu memperhatikan kondisi
psikologi agar tidak terlalu banyak fikiran (stres).
2. Apabila telah memiliki riwayat penyakit gastritis baik akut maupun kronis
dan telah terbiasa mengonsumsi obat, hendaknya konsumsi obat juga
diperhatikan agar tidak terjadi peningkatan penyakit dan kembali lagi
selalu memperhatikan asupan makan serta minuman sehari-hari.
3. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan
penulisan makalah di kemudian hari.
24
DAFTAR PUSTAKA
Arif et al. 2000. Kapita Selekta Kedoktern Edisi III Jilid 1. Media Aesculapiusn FK
UI, Jakarta.
Crowin EJ, Schmitz G, Hans L. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Fauci AS, Kasper D, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s
Principles of Internal Medicine, USA, Harrison’s Principles of Internal
Medicine, USA, The Mc Graw- Hill Companies Inc. 2008.
Finkel R., Clark M.A., Cubeddu L.X., Harrey R.A., Champe P.C., 2009,
Lippincott’s Illustrated Review Pharmacology 4thEd, Pliladelphia: Williams
& Wilkins (329-335, 502-509).
Ganiswarna G .2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Gupta, MK. 2008. Kiat mengendalikan pikiran dan bebas stres. Jakarta : PT Intisari
Mediatama.
Hirlan. 2009. Gastritis dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:
InternaPublishing.
Jackson, S. 2006. Gastritis. Diambil dari http://www.gicare.com/pated
/ecd9546.htm. Diakses tanggal 23 februari 2018.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter
Pelayanan Primer Edisi 1.
Kumar, V., Cotran, RS., Robbins, SL. 2002. The Oral cavity and the
Gastrointestinal Tract In: Robbins Basic Pathology 7th Ed. Philladephia.
WB Saunders Company. 543–90.
Ikatan Apoteker Indonesia. 2011. ISO: Informasi Spesialite Obat Indonesia
Volume 46. Jakarta : PT ISFI.
Katzung, B,G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik.Edisi 8. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran.
Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Ed. II Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hlm 492.
25
Misnadiarly. 2009. Mengenal Penyakit Organ Cerna: Gastritis (Dyspepsia atau
Maag), Infeksi Mycobacteria pada Ulcer Gastrointestinal. Pustaka Populer
Obor. Jakarta.
Neal, Michael J. 2005. At a Glance Farmakologi Medis Ed.5. Erlangga, Jakarta
Pangestu, A. 2003. Paradigma Baru Pengobatan Gastritis dan Tukak Peptik.
Diambil dari http://www.pgh.or.id//lambung-per.htm Diakses tanggal 23
februarir 2018.
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Vol.2.
Jakarta: EGC.
Sherwood, L. 2010. Human Physiology: From Cells to Systems. 7th Ed. Canada:
Yolanda Cossio.
Schmitz & Martin. 2008.
Subekti, Tri dan Muhana Sofiati Utami. 2011. Metode Relaksasi Untuk
Menurunkan Stres dan Keluhan Tukak Lambung pada Penderita Tukak
Lambung Kronis. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Jurnal Psikologi Volume 38, No. 2, Desember 2011: 147 – 163.
Suryono dan Ratna Dwi Meilani. 2016. Pengetahuan Pasien Dengan Gastritis
Tentang Pencegahan Kekambuhan Gastritis. Kediri: Akademi Keperawatan
Pamenang Pare. Jurnal AKP vol. 7 no. 2.
Tortora GJ, Derrickson B. 2009. Princeples of Anatomy and Physiology. USA :
Jhon Wiley & Sons,Inc.
Tjay, H. T. & Rahardja, K. 2015. Obat-obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan
Efek Sampingnya, Edisi VI, Cetakan Pertama, Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Wardaniati, Isna, dkk. 2016. Gambaran Terapi Kombinasi Ranitidin Dengan
Sukralfat Dan Ranitidin Dengan Antasida Dalam Pengobatan Gastritis
Di Smf Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah (Rsud) Ahmad Mochtar
Bukittinggi. Padang. Jurnal Farmasi Higea, Vol. 8, No. 1.
26