Anda di halaman 1dari 28

BAB I

Pendahuluan

Cirrhosis hepatic (sirosis hepatis) didefinisikan sebagai sekelompok


penyakit hati kronis yang ditandai dengan hilangnya arsitektur lobular hepatik
normal dengan fibrosis, dan dengan destruksi sel-sel parenkim beserta
regenerasinya berbentuk nodul-nodul. Penyakit ini mempunyai periode laten yang
panjang, biasanya diikuti dengan pembengkakan dan nyeri abdomen,
hematemesis, edema dependen, atau ikterus secara mendadak. Pada stadium
lanjut, asites, ikterus, hipertensi portal, dan gangguan sistem saraf pusat, yang
dapat berakhir dengan koma hepatik, menjadi menonjol. [1]
Sirosis hepatis secara klinis dibagi menjadi sirosis hepatis kompensata
yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hepatis
dekompensata yang ditandia gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati
kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu
tingkat tidak terlihat perbedaan secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan
melalui pemeriksaan biopsi hati. [2]
Penyakit hati menahun dan sirosis dapat ditimbulkan sekitar 35.000 kematian
pertahun di Amerika Serikat. Sirosi merupakan penyebab kematian utama yang
kesembilan di Amerika dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh kematian di
amerika. Banyak pasien yang meninggal pada dekade keempat atau kelima kehidupan
mereka akibat penyakit ini setiap tahun ada tambahan 2000 kematian yang disebabkan
karena gagal hati fulminan FHF dapat disebabkan hepatitis virus (virus hepatitis A dan
B), obat (asetaminofen), toksin (jamur Amanita phalloides atau jamur yellow death-cap),
hepatitis autoimun, penyakit Wilson, dan berbagai peyakit lain yang jarang ditemukan.
Pasien FHF memiliki angka mortalitas sebesar 50-80%, kecuali ditolong dengan
transplantasi hati.1,2
Angka kejadian sirosis hepatis yang dirawat di bangsal penyakit dalam rumah
sakit umum pemerintah di Indonesia umumnya berkisar antara 3.6-8.4% di Jawa dan
Sumatera, sedang di Sulawesi dan Kalimatan di bawah 1%. Secara keseluruhan rata-rata
prevalensi sirosis adalah 3.5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam,
atau rata-rata 47.4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Perbandingan
pria:wanita rata-rata adalah 2.1:1 dan usia rata-rata 44 tahun, serta kelompok usia
terbanyak adalah 40-50 tahun.1,2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hati


Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, berkontribusi sekitar 2% dari
total berat badan atau sekitar 1,5 kg pada orang dewasa. Hati merupakan organ
plastis lunak dan tercetak oleh struktur disekitarnya. Bagian bawah hati
berbentuk cekung dan merupakan atap ginjal kanan, lambung, pankreas, dan
usus. Hati memiliki dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi
menjadi segmen anterior dan posterior oleh fissura segmentalis yang tidak
terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh
ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme
berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati
diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan
posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang
merupakan lipatan peritoneum membantu menyokong hati. Dibawah
peritoneum terdapat jaringan penyambung padat yang dinamakan kapsula
Glisson, yang meliputi seluruh permukaan organ; kapsula ini melapisi mulai
dari hilus atau porta hepatis di permukaan inferior, melanjutkan diri ke dalam
massa hati, membentuk rangka untuk cabang-cabang vena porta, arteri
hepatika, dan saluran empedu. [3,4]

Gambar 1. Permukaan anterior hati [5]

2
Gambar 2. Permukaan posterior hati [5]

2.2 Histologi Hati


Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang dinamakan lobulus,
yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus
merupakan badan heksagonal dengan diameter antara 0,8 – 2 mm yang terdiri atas
lempeng-lempeng sel hati berbentuk kubus, tersusun radial mengelilingi vena
sentralis. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan
sinusoid, tang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Tidak seperti
kapiler lain, sinosoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. Sel Kupffer
merupakan sistem monosit-makrofag, dan fungsi utamanya adalah menelan
bakteri dan benda asing lain dalam darah. Hanya sumsum tulang yang mempunyai
massa sel monosit-makrofag yang lebih banyak daripada yang terdapat dalam
hati, jadi hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap
invasi bakteri dan organ toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteria
hepatika yang melingkari bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran
empedu. Saluran empedu interlobular membentuk kapiler empedu yang sangat
kecil yang dinamakan kanalikuli, berjalan ditengah-tengah lempengan sel hati.
Empedu yang dibentuk dalam hepatosit diekskresi ke dalam kanalikuli yang
bersatu membentuk saluran empedu yang semakin lama semakin besar (duktus
koledokus). [3,4]

3
Gambar 4. Struktur dasar lobulus hati [4] Gambar 3. Pola lobular hati normal [5]

2.3 Vaskularisasi Hati


Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui
vena porta, dan aorta melalui arteria hepatika. Sekitar sepertiga darah yang masuk
adalah darah arteria dan sekitar dua pertiga adalah darah dari vena porta. Volume
total darah yang melewati hati setiap menit adalah 1.500 ml dan dialirkan melalui
vena hepatika dekstra dan sinistra, yang selanjutnya bermuara pada vena kava
inferior. [3]

Vena porta bersifat unik karena terletak antara dua daerah kapiler, satu
dalam hati dan lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta
bercabang-cabang yang menempel melingkari lobulus hati. Cabang-cabang ini
kemudian mempercabangkan vena interlobularis yang berjalan di antara lobulus-
lobulus. Vena-vena ini selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan diantara
lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari
beberapa lobulus membentuk vena sublobularis yang selanjutnya kembali
menyatu dan membentuk vena hepatika. Cabang-cabang terhalus dari arteria
hepatika juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran
darah arteria dari arteria hepatika dan darah vena dari vena porta. Peningkatan
tekanan dalam sistem ini sering menjadi manifestasi gangguan hati dengan akibat
serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh darimana darah portal berasal.
Beberapa lokasi anastomosis portakaval memiliki arti klinis yang penting. Pada
obstruksi aliran ke hati, darah porta dapat dipirau ke sistem vena sistemik. [3]

4
2.4 Fisiologi Hati
Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperanan pada
hampir setiap fungsi metabolik tubuh, dan khususnya bertanggung jawab atas
lebih dari 500 aktivitas berbeda. Untunglah hati memiliki kapasitas cadangan
yang besar, dan hanya dengan 10-20% jaringan yang berfungsi, hati mampu
mempertahankan kehidupan. Destruksi total atau pembuangan hati mengakibatkan
kematian dalam 10 jam. Hati memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi. Pada
sebagian besar kasus, pengangkatan sebagian hati, baik karena sel sudah mati atau
sakit, akan diganti dengan jaringan hati yang baru. [3]

Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utam ahati; saluran


empedu hanya mengangkut empedu sedangkan kandung empedu menyimpan dan
mengeluarkan empedi ke usus halus sesuai kebutuhan. Hati mensekresi sekitar 1
liter empedu kuning setiap hari. Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit,
garam empedu, fosfolipid (terutama lesitin) kolesterol, dan pigmen empedu
(terutama bilirubin terkonjugasi). Garam empedu penting untuk pencernaan dan
absorbsi lemak dalam usus halus. Setelah diolah oleh bakteri usus halus, maka
sebagian besar garam empedu akan direabsorbsi di ileum, mengalami resirkulasi
ke hati, serta kembali dikonjugasi dan disekresi. Bilirubin (pigmen empedu)
merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak penting, namun
merupakan petunjuk penyakit hati dan saluran empedu yang penting, karena
bilirubin cenderung mewarnai jaringan dan cairan yang berkontak dengannya. [3]

Hati memegang peranan penting pada metabolisme tiga bahan makanan


yang dikirimkan oeh vena porta pasca absorbsi di usus. Bahan makanan tersebut
adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus diubah
menjadi glikogen dan disimpan dalam hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini,
glukosa dilepaskan secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis) untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan
untuk menghasilkan panas dan energi, dan sisanya diubah menjadi glikogen dan
disimpan dalam jaringan subkutan. Hati mampu mensintesis glukosa dari protein
dan lemak (glukoneogenesis). Peranan hati pada metabolisme sangat penting
untuk kelangsungan hidup. Semua protein plasma, kecuali gamma globulin,

5
disintesis oleh hati. Protein ini termasuk albumin yang diperlukan untuk
mempertahankan tekanan osmotik koloid, dan protrombin, fibrinogen, dan faktor-
faktor pembekuan lain. Selain itu, sebagian besar degradasi asam amino dimulai
dalam hati melalui proses deaminasi atau pembuangan gugus amonia (NH3).
Amonia yang dilepaskan kemudian disintesis menjadi urea dan disekresi oleh
ginjal dan usus. Amonia yang terbentuk dalam usus oleh kerja bakteri pada
protein juga diubah menjadi urea dalam hati. Fungsi metabolisme hati yang lain
adalah metabolisme lemak, penyimpanan vitamin, besi, dan tembaga; konjugasi
dan ekskresi steroid adrenal dan gonad, serta detoksifikasi sejumlah besar zat
endogen dan eksogen. Fungsi detoksifikasi sangat penting dan dilakukan oleh
enzim-enzim hati melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau konjugasi zat-zat yang
dapat berbahaya, dan mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif.
Zat-zat seperti indol, skatol, dan fenol yang dihasilkan oleh kerja bakteri pada
asam amino dalam usus besar dan zat-zat eksogen seperti morfin, fenobarbital,
dan obat-obat lain, didetoksifikasi dengan cara demikian. [3]

Akhirnya, fungsi hati adalah sebagai ruang penampung atau saringan


karena letaknya yang strategis antara usus dan sirkulasi umum. Sel kupffer pada
sinusoid menyaring bakteri darah portal dan bahan-bahan yang membahayakan
dengan cara fagositosis. [3]

2.5 Regenerasi Hati


Berbeda dengan organ padat lainnya, hati orang dewasa tetap mempunyai
kemampuan beregenerasi. Ketika kemampuan hepatosit untuk beregenerasi sudah
terbatas, maka sekelompok sel pruripotensial oval yang berasal dari duktulus-
duktulus empedu akan berproliferasi sehingga membentuk kembali hepatosit dan
sel-sel bilier yang tetap memiliki kemampuan beregenerasi. [6,4]

Dari penelitian model binatang ditemukan bahwa hepatosit tunggal dari


tikus dapat mengalami pembelahan hingga ± 34 kali, atau memproduksi jumlah
sel yang mencukupi sel-sel untuk membentuk 50 hati tikus. Dengan demikian
dpaat dikatakan sengatlah memungkinkan untuk melakukan hepatektomi hingga
2/3 dari seluruh hati. [6,4]

6
2.6 Definisi Sirosis Hepatis
Istilah sirosis hepatis diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari
kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna
pada nodul- nodul yang terbentuk. Sirosis hepatis adalah penyakit hepar menahun
difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul.1,2
Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif,
ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus
regeneratif. Sirosis hepatis ditandai oleh proses keradangan difus menahun pada
hati, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan proliferasi jaringan ikat difus
(fibrosis) di mana seluruh kerangka hati menjadi rusak disertai dengan bentukan-
bentukan regenerasi nodul.6,8, Sirosis hepatis pada akhirnya dapat mengganggu
sirkulasi darah intrahepatik dan pada kasus lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi
hati secara bertahap.7

2.7 Etiologi
Secara konvensional, sirosis hepatis dapat diklasifikasikan sebagai
makronodular (besar nodul lebih dari 3 mm), mikronodular (besar nodul kurang
dari 3 mm), atau campuran mikro dan makronodular. Selain itu juga
diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan morfologis. [2]

Sebagian besar jenis sirosis diklasifikasikan secara etiologis dan


morfologis menjadi alkoholik, kriptogenik dan post hepatitis (postnekrotik),
biliaris, kardiak, dan metabolik,keturunan, dan terkait obat

Di negara barat, penyebab sirosis yang utama adalah alkoholik, sedangkan


di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Berdasarkan
hasil penelitian di Indonesia, disebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan
sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20%
penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (non
B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia diduga frekuensinya
sangat kecil walaupun belum terdapat data yang menunjukkan hal tersebut. [2]

7
2.8 Patofisiologi
Gambaran patologi hati biasanya mengerut, berbentuk tidak teratur, dan
terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dna
lebar. Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran
nodulus sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau
parenkim regenerasi yang susunannya tidak teratur. [2]

Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan


adanya peranan sel stelata (stellate cell). Dalam keadaan normal sel stelata
mempunyai peranan dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan
proses degradasi. Pembenrukan fibrosis menunjukkan perubahan proses
keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus
menerus (misal: hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan
menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus menerus maka
fibrosis akan berjalan terus di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal
akan digantikan oleh jaringan ikat. [2]

2.9 Manifestasi Klinis


Stadium awal sirosis sering kali dijumpai tanpa gejala (asimptomatis)
sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan
rtin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi,
testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah
lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi gangguan pembekuan
darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih
seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi
mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma. Mungkin disertai
hilangnya rambut badan, gangguan tidur, demam tidak begitu tinggi [2]

8
Gambar 5. Manifestasi klinis dari sirosis hepatis [1]

Gambar 6. Manifestasi hipertensi portal [7]

9
Gambar 7. Manifestasi kegagalan fungsi hati [7]

2.10 Pemeriksaan Fisik


Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma-spiderangiomata (atau
spider telangiektasis), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena
kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme
terjadinya belum diketahui secara pasti, diduga berkaitan dengan peningkatan
rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan pula pada orang
sehat, walau umumnya ukuran lesi kecil. [2]

Eritema Palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak
tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen.
Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan,
arthritis rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi. [2]

Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan


dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan
akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi
hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik. [2]
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis billier. Osteoarthropati
hipertrofi suatu periostitis proliferative kronik, menimbulkan nyeri. [2]

10
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik
berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga ditemukan pada pasien diabetes mellitus,
distrofi reflex simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol. [2]
Ginekomastia secara histologist berupa proliferasi benigna jaringan
glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion.
Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksilla pada laki-laki,
sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah feminism. Kebalikannya pada
perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga diduga fase menopause. [2]
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertile. Tanda ini
menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. [2]
Hepatomegali, ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau
mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular. [2]
Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi
porta. [2]
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta
dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. [2]
Foetor Hepatikum, Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang
berat.[2]
Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila
konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap,
seperti air teh. [2]
Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa pergerakan mengepak-ngepak
dari tangan, dorsofleksi tangan. [2]
Tanda-tanda lain lain yang menyertai diantaranya: [2]
 Demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar
 Batu pada vesika felea akibat hemolisis
 Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini
akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat
resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas. [2]

11
2.11 Pemeriksaan Penunjang
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada
waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk
evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi amino transferase, alkali
fosfatase, gamma glutamil peptidase, bilirubin, albumin dan waktu protrombin. [2]
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glumatil oksaloasetat
transaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil
piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak terlalu tinggi. AST lebih
meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak
mengeyampingkan adanya sirosis. [2]
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer
dan sirosis billier primer. [2]
Gama-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali
fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkohol
kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatic, juga bisa
menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit. [2]
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi
bisa meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan
hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis. [2]
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi immunoglobulin. [2]
Prothrombin time mencerminkan derajat/ tingkatan disfungsi sintesis hati,
sehingga pada sirosis memanjang. [2]
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan eksresi air bebas. [2]
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam,
anemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.
Anemia dengan trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat
splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi
hipersplenisme. [2]

12
Gambar 8. Algoritma untuk evalusi tes fungsi hati abdominal

Algoritma untuk evaluasi tes fungsi hati abnormal. Pada pasiendengan dugaan penyakit hati,
pendekatan yang tepat untuk evaluasi adalah pemeriksaan awal fungsi hati rutin, seperti bilirubin,
albumin, alanin aminotransferase (ALT), aspartat aminotransferase (AST) dan alakaline
pohospatase (ALP). Hasil ini (kadang disertai dengan pemeriksaan γ-glutamyl transpeptidase ,
GGT) akan menunjukkan apakah pola kelainan yang ada merupakan hepatik, kolestatik, atau
campuran. Sebagai tambahan, durasi dari gejala akan memberikan gambaran apakah penyakit
tersebut akut atau kronik. Jika penyakit tersebut adalah akut dan jika dari adanmnesis,
pemeriksaan laboratorium, dan pencitraan tidak menunjukkan sebuah diagnosis, biopsi hati
merupakan langkah yang tepat untuk menegakkan diagnosis. Kalau penyakit tersebut kronik,
biopsi hati dapat bermanfaat bukan hanya untuk diagnosis, tetapi juga untuk menilai aktivitas dan
staging perjalanan penyakit. Pendekatan ini sebagian besar berlaku pada pasien tanpa penurunan
kekebalan tubuh. Pada pasien dengan infeksi HIV atau setelah transplantasi sumsum tulang atau
transplantasi organ padat, evaluasi diagnostik juga harus mencakup evaluasi infeksi oportunistik
(adenovirus, sitomegalovirus, coccidioidomyocosis, dll) serta pembuluh darah dan kondisi
imunologi (penyakit, venoocclusive graft-vs-host penyakit). HAV, HCV: Hepatitis A atau C virus,
HbsAg, Hepatitis B sulface antigen, anti-HBc, antibodi terhadap hepatitis B inti (antigen); ANA,
antibodi antinuklear, SMA, mulus-otot antibodi, MRI, magnetic resonance imaging, MRCP;
cholangiopancreatography resonansi magnetik; ERCP cholangiopancreatography, endoscopic
retrograde; α1AT, α1 antitrypsin; AMA; antimitochondrial antibodi; P-ANCA, antibodi sitoplasmik
antineutrofil perifer. [8]

13
2.12 Gambaran USG Sirosis hepar dan Patologi Hepar
1. Sirosis hepar
 Permukaan irregular / nodular
 Ehopattern meningkat, heterogen
 Pada awal sirosis hepar membesar
 Pada sirosis berat ukuran hati mengecil.
 Membesarnya lobus quadrates
 Rekanalisasi vena umbilikalis
 Asites
 V.porta berkelok, ukuran membesar
 Splenomegali mendukung sirosis
 Tanda-tanda hipertensi portal misalnya : v. porta melebar, dinding kandung
empedu menebal (edema karena tekanan portal).

Gambar USG – Sirosis Hepar, tampak gambaran Ehopattern meningkat, heterogen.

14
Gambar USG Sirosis hepar - menunjukkan ascites sekitarnya hati dan permukaan hati
nodular.

15
Gambar USG Sirosis hepar - menunjukkan nodularity dari permukaan hati, echotexture
hati kasar dan ascites volume kecil.

Gambar USG Sirosis hepar - Splenomegali karena hipertensi portal dan pembalikan
aliran di vena portal pada doppler.

16
Ganbar USG Sirosis hepar – Tampak permukaan nodular dan nodul hati. Nodularity
permukaan ditampilkan jelas, difasilitasi oleh kehadiran ascites.

Gambar USG Sirosis hepar tahap lanjut, tampak gambaran nodularity (panah) yang
dikelilingi gambaran asites (AS).

17
2. Perlemakan hati (Fatty Liver)
 Permukaan rata
 Tepi tajam atau sedikit tumpul
 Echopattern meningkat, diffuse
 Hepar membesar & berbentuk biconvex
 Liver kidney contrast : positip ( bright liver )
 Dinding pembuluh darah kabur

Gambar USG Perlemakan hati, tampak gambran Liver kidney contrast :


positip ( bright liver )

18
Gambar USG Perlemakan hepar tahap awal – Tampak gambaran echogenic
menyeluruh hepar bertambah, diaphragm (panah hitam) dan potongan
pembuluh intrahepatic (panah putih) terlihat baik.

Gambar USG Perlemakan hepar tahap lanjut – Tampak peningkatan gambaran


echogenic pada segmen anterior (}), dengan gambaran hypoechoic segmen
posterior (]), diaphragm (panah) tidak begitu jelas, serta pembuluh intrahepatic
tidak terlihat.

19
3. Hepatitis
 Hepatitis akut :
 Permukaan rata, tepi tajam
 Hepar membesar
 Echopattern menurun ( dark liver)
 Pembuluh darah terutama vena porta dan cabangnya jelas dan reflektif

Gambar USG Hepatitis akut – Tampak gambaran Dark Liver.

 Hepatitis kronik:
Yang mendukung hepatitis kronik adalah :
 Ukuran hati normal
 Tepi tumpul, Permukaan tidak rata tetapi belum nodular.
 Echopattern meningkatn kasar heterogen
 Hepatitis kronik dengan exacerbasi akut :
 Klinis hepatitis akut
 Seperti gambaran hepatitis kronik tetapi ada gambaran dark liver dan
pembuluh darah dindingnya reflektif

b) Penyakit atau lesi fokal hepar


1. Kista
Terlihat sebagai lesi anekoik, bulat atau oval, dinding tipis dan rata dengan
struktur eko di bawahnya lebih hiperekoik.

20
Gambar USG Kista dan kista multiple – tampak gambaran eko dari kista (C)
dengan gambaran hiperekoik dibawahnya.

2. Hemangioma
Jarang ditemukan. Biasanya subcapsular atau subdiaphragmatic. Bentuk
bulat, tepi tegas tidak licin. Telihat sebagai gambaran eko dengan
sonodensitas rendah. Struktur bawahnya tidak ada peningkatan densitas.

21
Gambar USG Hemangioma – Tampak gambaran massa hiperekoik (panah)

3. Abses
Gambaran eko rendah sampai cairan (anekoik) dengan adanya bercak-bercak
hiperekoik(debris) didalamnya. Batas tegas, irregukar yang makin lama
bertambah tebal.

22
c) Tumor Hepar
1. Hepatoma/karsinoma hepatoseluler
Gambaran hepar membesar, permukaan bergelombang, dan lesi-lesi fokal
intrahepatik dengan struktur eko yang berbeda dari parenkim hepar normal.
Biasanya menunjukan struktur eko yang lebih tinggi disertai dengan nekrosis
sentral berupa gambaran hipoekoik sampai anekoik, tepi irregular.

23
2.13 Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas
hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan
komplikasinya. Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial
spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi
sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul
demam dan nyeri abdomen. [2]

Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa


oligouri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada
penurunan filtrasi glomerulus. [2]

Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. 20 sampai


40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini
dengan berbagai cara. [2]

Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi


hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya
dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom
hepatopulmonal terdapat hydrothorax dan hipertensi portopulmonal. [2]

Tabel 1. Grade ensefalopati hepatik [8]

24
2.14 Penatalaksanaan
Sekali diagnosis Sirosis hati ditegakkan, prosesnya akan berjalan terus
tanpa dapat dibendung. Usaha-usaha yang dapat dilakukan hanya bertujuan untuk
mencegah timbulnya penyulit-penyulit. Membatasi kerja fisik, tidak minum
alcohol, dan menghindari obat-obat dan bahan-bahan hepatotoksik merupakan
suatu keharusan. Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan diet yang
mengandung protein 1g/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari. [2]

a. Penatalaksanaan sirosis kompensata


Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk
mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk
menghilangkan etiologi, diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik
dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen,
kolkisin dan obat herbal bisa menghambat kolagenik. Hepatitis autoimun; bisa
diberikan steroid atau imunosupresif. Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan
berat badan akan mencegah terjadinya sirosis. [2]
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)
merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg
secara oral setiap hari selama satu bulan. Namun pemberian lamivudin setelah 9-
12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon
alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6
bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh. [2]
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan
terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU
tiga kali seminggu dan dikombinasikan ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6
bulan. [2]
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan
merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi sel stelata bisa
merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek
antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti dalam

25
penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga
dicobakan sebagai antifibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam
penlitian. [2]

b. Penatalaksanaan sirosis dekompensata


Asites, Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan
obat-obatan diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-
200 mg sehari.Respon diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan edema kaki. Bilamana
pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan dengan furosemid
dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila
tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila
asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan
pemberian albumin. [2]

Ensefalopati hepatik, Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan


ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama
diberikan yang kaya asam amino rantai cabang. [2]

Varises esophagus, Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan


obat β-blocker. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. [2]

Peritonitis bakterial spontan, diberikan antibiotika seperti sefotaksim


intravena, amoksilin, atau aminoglikosida. [2]

Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sirkulasi darah hati, mengatur


keseimbangan garam dan air. [2]

Transplantasi hati, terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata.


Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi
resipien dahulu. [2]

26
BAB III
KESIMPULAN

Sirosis hepatik adalah penyakit kronis progresif yang dikarakteristikan


oleh penyebaran inflamasi dan fibrosis pada hepar. Jaringan parut menggantikan
sel-sel parenkim hepar normal sebagai upaya hepar untuk meregenerasi sel-sel
nekrotik. Penyakit ini di tandai oleh adanya peradangan difusi dan menahun pada
hati, Diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degerenasi dan regenerasi sel hati
sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati .

Sirosis di tahap awal tidak menimbulkan gejala apapun. Oleh karena itu,
pasien sirosis ringan mungkin menderita untuk waktu yang lama tanpa
menyadari penyakitnya. Dan pada tahap lanjut, terdapat gejala seperti kelelahan,
tubuh terasa lemah, cairan yang bocor dari aliran darah dan menumpuk di kaki
(edema) dan perut (ascites), kehilangan nafsu makan, merasa mual dan ingin
muntah, kecenderungan lebih mudah berdarah dan memar, penyakit kuning
karena penumpukan bilirubin dan lain-lain.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Raymon T. Chung, Daniel K. Podolsky. Cirrhosis and its complication. In: Kasper DL
et.al, eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition. USA : Mc-Graw
Hill; 2005. p. 1858-62

2. Nurdjanah S. Sirosis hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S,


editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 443-6.

3. Wilson LM, Lester LB. Hati, saluran empedu, dan pankreas. In Wijaya C, editor.
Patofisiologi konsep klinis proses proses penyakit. Jakarta: ECG; 1994. p. 426-63.

4. Guyton AC, Hall JE. The liver as an organ. In Textbook of medical physiology. 11th
ed.: Elsevier; 2006. p. 859-64.

5. Netter FH, Machade CAG. Interactive atlas of human anatomy [Electronic Atlas].:
Saunders/Elsevier; 2003.

6. Amiruddin R. Fisiologi dan biokimia hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K.


MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.
415-9.

7. Porth CM. Alterations in hepatobiliary function. In Essentials of pathophysiology:


concepts of altered health states. 2nd ed.: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p.
494-516.

8. Ghany M, Hoofnagle JH. Approach to the patient with liver disease. In Kasper DL,
Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's
principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 1808-13.

28

Anda mungkin juga menyukai