Anda di halaman 1dari 8

IMPLEMENTASI PENGENDALIAN HAYATI

Kebutuhan pangan masyarakat Indonesia semakin hari kian bertambah


seiring terus melajunya pertumbuhan penduduk. Pemenuhan kebutuhan pangan
ini tentu tidak dapat dipenuhi begitu saja tanpa memperhatikan kualitas produk
pangan. Untuk menghasilkan produk pangan yang berkualitas dan aman untuk
dikonsumsi dapat diperoleh dengan menerapkan teknik budidaya tanaman yang
sehat, yaitu dengan mengandalkan musuh alami sebagai sumber pengendalian.
Potensi musuh alami di Indonesia sangat besar. Namun para petani kebanyakan
kurang menyadari hal tersebut, sehingga pemanfaatan dan pengembangannya
masih kurang. Oleh karena itu, perlu adanya wawasan tentang bioekologi musuh
alami tersebut sehingga dapat mendukung teknik budidaya yang diterapkan agar
lebih efektif dan efisien. Pemanfaatan dan pengembangan musuh alami ini disebut
Pengendalian Hayati. Pengendalian hayati merupakan salah satu komponen utama
dalam sistem PHT disamping cara bercocok tanam dan varietas (Eli Korlina,
2011).

Menurut (Rich Hansen, 1996)., Pengendalian hayati atau disebut juga


biokontrol adalah cara mengurangi kelimpahan hama dengan menggunakan
musuh alaminya seperti predator, parasit, dan patogen. Musuh alami ini mampu
berperan untuk menyeimbangkan ekosistem dengan mempertahankan eksistensi
organism lainnya. Namun musuh alami ini akan musnah apabila jumlahnya lebih
sedikit daripada serangga hama.

PENGENDALIAN HAYATI SERANGGA HAMA

Menurut Ely Korlina (2011), agens hayati serangga hama dapat


dikelompokkan menjadi tiga golongan,yaitu predator, parasitoid dan patogen.
1. Predator : Predator adalah organisme yang memangsa organisme lain.
Contoh-contoh predator untuk mengendalikan serangga hama pada
tanaman hortikultura antara lain :
Menochilus sexmaculatus. Kumbang ini umumnya dijumpai di dataran
rendah, badannya berukuran kecil, bulat, warna bervariasi dari merah
sampai kuning, panjang badan 3-3,5 mm. Hidup sebagai pemangsa
berbagai jenis kutu daun. Telurnya berbentuk oval panjang sekitar sekitar
0,3 mm berwarna kuning pucat, dalam 4-5 hari larva menetas berwarna
hitam.
Rhinocoris spp.Ukuran imago 1,1-1,3 cm. Imago betina mampu
menghasilkan telur sebanyak 5-30 butir. Warna telur kecoklatan dan
menempel pada daun atau batang cabai. Lama hidup telur berkisar antara
8-10 hari. Satu ekor predator mampu memangsa 9-10 ekor larva Spodotera
litura. Imago menyerang mangsa dengan cara menjepit bagian tubuh
mangsa dengan tungkai-tungkai depan kemudian menekankan bagian alat
styletnya masuk kedalam tubuh mangsa untuk dihisap, hingga tubuh
mangsa menjadi mengkerut dan mengering.

2. Parasitoid : parasitoid adalah serangga yang memarasit (hidup dan


berkembang dengan menumpang) serangga lain (yang disebut inang).
Parasitoid ada yang berkembang didalam tubuh inang (endoparasit), dan
ada yang berkembang di luar tubuh inang (ektoparasitoid). Inang yang
diparasit dapat berupa telur, larva, nimfa, pupa atau imago serangga hama.
Contoh-contoh parasitoid untuk mengendalikan serangga hama pada
tanaman hortikultura antara lain :
Diadegma semiclausum. Merupakan parasitoid larva yang paling penting
bagi hama Plutella xylostella pada tanaman kubis. Serangga betina
mempunyai organ peletak telur (ovipositor) pada ujung abdomen dan
dapat meletakkan telur pada semua instar larva P. xylostella. Siklus hidup
D. semiclausum dari telur sampai dewasa lamanya 18-20 hari di dataran
tinggi dan 14 hari di dataran rendah. Sedangkan masa telur, larva dan pupa
masing-masing 2 hari, 8 hari dan 8-10 hari.
Trichogrammachilonis. Merupakan parasitoid telur Helicoperva armigera
pada tanaman jagung dan tomat,. Serangga betina dapat berkembang biak
secara partenogenesis. Seekor betina mampu menghasilkan telur sebanyak
20-50 butir. Lamanya daur hidup 10-11 hari. Selain itu jenis
Trichogramma lain merupakan parasitoid telur berbagai jenis serangga
terutama telur Lepidoptera, dapat dikembangbiakan dengan inang
pengganti yaitu Corcyra sp sehingga banyak dikembangkan secara intensif
pemanfaatannya. Imago ukurannya sangat kecil 1 mm atau kurang
sehingga sulit diamati di lapangan
Eriborus argenteopilosus. E. argenteopilosus termasuk kedalam ordo
Hymenoptera. Parasitoid ini mampu memarasit keempat instar larva inang
H. armigera, Croccidolomia binotalis dan Spodoptera litura. Namun instar
muda (1 dan 2) lebih disukai dibandingkan dengan instar tua (3 dan 4).

3. Patogen : patogen adalah organisme mikro yang menginfeksi organism


lain. Agens hayati patogen yang telah diketahui dan dapat dimanfaatkan
untuk mengendalikan serangga antara lain dari kelompok virus, bakteri,
cendawan dan nematoda.
Virus. Virus yang dapat menyerang serangga hama pada tanaman
hortikultura adalah NPV (nuclear polyhedrolis virus) dan GV (Granulosis
virus). Contoh virus entomopatogen yang sudah dimanfaatkan yaitu
SeNPV dan PoGV. Cara kerja NPV dan GV adalah virus (dalam hal ini
polihedra) termakan oleh serangga (misalnya ulat yang memakan daun
terkontaminasi virus). Polihedra yang merupakan protein akan terhidrolisis
oleh enzim dalam saluran makanan. Partikel virus yang ada dalam
polihedra akan terbebaskan, virion ini akan menginfeksi sel-sel saluran
makanan di bagian inti sel dan akan memperbanyak diri (replikasi).
Selanjutnya virus baru akan menyerang sel-sel lain, selama beberapa hari
semua sel tubuh serangga terserang. Oleh karena itu gejala serangga yang
terserang NPV adalah tubuhnya hancur, menghasilkan virus-virus baru
yang akan menjadi sumber penyakit baru bagi serangga hama yang
memakannya.
Bakteri. Bakteri entomopatogen yang sampai sekarang banyak
dimanfaatkan adalah Bacillus thuringiensis. Salah satu keunggulan B.
thuringiensis sebagai agens hayati adalah kemampuan menginfeksi
serangga hama yang spesifik misalnya untuk mengendalikan serangga
hama dari golongan Ordo Lepidoptera, namun diketahui juga mampu
menginfeksi ordo yang lain seperti Ordo Diptera dan Coleoptera. Cara
kerja bakteri B. thuringiensis adalah kristal bakteri yang berupa matriks
protein didalam saluran makanan tengah (mesonteron) tubuh serangga
yang rentan akan mengalami hidrolisis. Hasil hidrolisis ini menghasilkan
fraksi-fraksi yang lebih kecil yang menyebabkan toksik tehadap dinding
saluran makanan. Kerusakan dinding saluran makanan mengakibatkan
serangga sakit yang dapat menyebabkan kematian serangga.
Cendawan. Cendawan entomopatogen yang sudah banyak penggunaannya
adalah Beauveria bassiana. Cendawan ini tergolong dalam klas
Deuteromycetes, ordo Monilialis, famili Moniliaceae. Konidia bersel satu,
berbentuk bulat sampai oval berukuran 2-3 mikron. Hifa B. Bassiana
hialin, dalam koloni berwarna putih seperti kapas. B. bassiana masuk ke
tubuh serangga melalui kulit di antara ruas-ruas tubuh. Penetrasinya
dimulai dengan pertumbuhan spora pada kutikula. Hifa fungi
mengeluarkan enzim kitinase, lipase dan protemase yang mampu
menguraikan komponen penyusun kutikula serangga. Di dalam tubuh
serangga hifa berkembang dan masuk ke dalam pembuluh darah. Selain itu
B. bassiana mengeluarkan toksin seperti beaurerisin, beauverolit,
bassianalit, isorolit dan asam oksalat yang menyebabkan terjadinya
kenaikan pH, penggumpalan dan terhentinya peredaran darah serta
merusak saluran pencernaan, otot, sistem syaraf dan pernafasan yang pada
akhirnya menyebabkan kematian (Cheung dan Grula, 1982). Gejala
serangan pada serangga yang terinfeksi B. bassiana terlihat larva menjadi
kurang aktif kemudian kaku dan diikuti oleh perubahan warna tubuh
karena dinding tubuhnya sudah ditutupi oleh hifa yang berwarna putih
seperti kapas (apabila lingkungan menguntungkan). Aplikasi di lapang
berupa suspensi dari biakan jagung atau media cair dicampur air, langsung
disemprotkan di habitat hama pada pagi hari atau sore hari. Hasil
pengkajian diperoleh bahwa aplikasi B. bassiana bergantian dengan
insektisida seminggu sekali dapat mengurangi populasi kutu daun afid dan
pengorok daun pada tanaman krisan. Sedangkan aplikasi B. bassiana
secara tunggal hanya efektif untuk mengendalikan pengorok daun (Korlina
dkk, 2008 b).
4. Nematoda. Dibandingkan dengan bakteri, cendawan dan virus,
penggunaan nematoda entomopatogen di Indonesia belum populer, masih
dalam skala penelitian. Diharapkan dengan semakin banyaknya penelitian
dan pelatihan, pemanfaatan nematoda ini semakin meningkat. Contoh
nematoda entomopatogen yang sering digunakan adalah Steinernema spp.
Merupakan golongan nematoda dengan siklus hidup sederhana, yaitu telur,
larva (juvenil) dan dewasa. Larva mempunyai 4 stadia yang ditandai
dengan pergantian kulit. Steinernema spp bersimbiosis dengan bakteri
Xenorhabdus spp. Stadia yang infektif adalah juvenil III, masuk kedalam
tubuh serangga melalui integumen, spirakel, anus dan mulut. Setelah
masuk tubuh serangga, Steinernema spp akan melepaskan bakteri
Xenorhabdus spp yang dapat membunuh serangga dengan cepat dan
membuat kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan dan reproduksi
nematoda di dalam tubuh serangga yang mati. Gejala serangan ditandai
dengan warna inang berubah menjadi coklat kekuningan dan tubuhnya
menjadi lembek. Hal ini disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh
bakteri simbion.

PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT TANAMAN

Pengendalian hayati penyakit tanaman adalah suatu cara untuk


mengurangi jumlah inokulum patogen atau menekan aktifitas patogen baik aktif
atau dorman dalam menimbulkan penyakit dengan satu atau beberapa organisme
secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang atau antagonis (Baker dan
Cook 1974; Cook dan Baker 1983). Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan
beberapa cara :
1. Manipulasi lingkungan
Dapat dilakukan dengan menggunakan “patogen-suppresive soils”, rotasi
tanaman, bahan organik dan perlakuan tanah. Perlakuan tersebut dapat
menghambat penyakit karena menstimulasi aktivitas organisme setempat.
2. Tanaman perangkap
Yaitu tanaman yang sangat rentan terhadap serangan patogen, yang
kemudian harus segera dimusnahkan sebelum bereproduksi dan menyebar,
contoh : tanaman Crotalaria untuk menangkap nematoda bintil akar
Rhodopholus similis. Penggunaan tanaman perangkap ini dilakukan
sebelum tanam atau di sekililing areal pertanaman. Setelah nematoda
terperangkap kemudian tanaman perangkap dicabut dan dibakar atau
diekspose ke matahari.

3. Tanaman penghambat
Yaitu tanaman yang akar atau bagian tanaman lain menghasilkan senyawa
yang toksik bagi patogen sehingga patogen tidak dapat bereproduksi,
misalnya Tagetes erecta dan T. patula dapat dipenetrasi oleh nematoda
bintil akar. Nematoda tidak menghasilkan telur atau telur yang dihasilkan
tidak menetas (contoh Pratylenchus spp, Meloidogyne javanica).

4. Organisme antagonis (agens antagonis)


Merupakan organisme (sebagai musuh alami) yang mengganggu aktifitas
penyakit dalam menimbulkan gejala penyakit pada fase patogenesis dan
dalam fase saprogenesis. Hal ini terjadi karena adanya mekanisme
antagonisme yang mungkin terjadi dalam menekan populasi atau aktifitas
patogen yang dapat berupa : (1) persaingan ruang dan hara, (2) antibiosis
dan lisis, (3) toksin atau (4) hiperparasitisme. Beberapa contoh
mikroorganisme yang berfungsi sebagai antagonis bagi patogen yaitu :
• Bacillus subtilis antagonis terhadap Rhizoctonia solani, Phythium sp,
Scleretium rolfsii dan Fusarium. B. subtilis dapat digunakan sebagai
perlakuan benih
• Trichoderma spp dan Gliocladium spp. bersifat antagonis terhadap
Rhizoctonia spp, Sclerotium rolfsii, Pythium, Fusarium, Phytopthora dan
lain-lain. Hasil penelitian Korlina, dkk (2008 a)
bahwa penggunaan Trichoderma pada tanaman bawang merah di
lapangan dapat menekan serangan layu fusarium sampai 79%.
• Paecilomyces lilacinus sp untuk mengendalikan nematoda Pratylenchus
sp. Hasil penelitian pada tanaman kopi menunjukkan bahwa persentase
luas serangan akibat nematodaPratylenchus coffeae , dengan aplikasi
cendawan P. lilacinus dengan cara penyiraman lebih rendah (16%)
dibanding aplikasi dengan cara ditabur (36%), sedangkan yang tidak
diaplikasi (kontrol) mencapai 58% (Korlina dkk, 2009).

TEKNIK PENGENDALIAN HAYATI DALAM SISTEM PHT


Ada tiga unsur pokok yang perlu mendapat perhatian dalam praktek
pengendalian hayati, yaitu introduksi, augmentasi dan konservasi.

1. Introduksi
Introduksi adalah pengimporan satu atau lebih musuh alami dari
tempat asalnya. Yang perlu diperhatikan untuk musuh alami introduksi
adalah mempunyai sifat-sifat :
• secara ekologi kompatibel,
• secara temporal sinkron,
• tanggap terhadap kerapatan populasi inangnya,
• potensi reproduksi cukup tinggi,
• kemampuan mencari baik,
• kemampuan memencar tinggi,
• inang alternatif dan kebiasaan ,
• kemudahannya untuk dibiakkkan.

2. Augmentasi

Kadang-kadang musuh alami aseli atau eksotik yang sudah mapan


populasinya sangat rendah, ketidakhadiran atau terlambat kehadirannya,
sehingga perlu ditambah dengan material yang berasal dari biakan di
laboratorium dengan cara pelepasan sewaktu-waktu atau teratur. Proses
atau metode ini secara umum disebut augmentasi. van Driesche & Bellows
(1996) mengemukakan bahwa ada dua pola augmentasi, yaitu :

 augmentasi inokulatif yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah


kecil dan hanya sebagai inokulan pada pertanaman dan
pengendalian baru terjadi oleh generasi-generasi selanjutnya
 augementasi inundatif yaitu musuh alami yang dilepas relatif besar
jumlahnya dan diharapkan pengendalian terjadi langsung oleh
musuh alami yang dilepas itu.

3. Konservasi
Konservasi adalah suatu upaya untuk mempertahankan dan
melestarikan musuh alami yang sudah ada di suatu tempat atau ekosistem
dan membuatnya lebih efektif dalam fungsinya. Konservasi musuh alami
dapat dicapai, melalui penggunaan pestisida secara bijaksana, sedapat
mungkin dengan pestisida selektif, modifikasi cara bercocok tanam dan
pola tanam untuk meningkatkan daya bertahan musuh alami.

Kebaikan dan kekurangan Pengendalian Hayati :

Kebaikan :

• selektif

• musuh alami sudah tersedia

• musuh alami dapat mencari/menemukan hama

• musuh alami dapat meningkat jumlahnya dan memencar

• hama tidak menjadi resisten

• pengendalian berlangsung kekal

Kekurangan:

• Pengendalian berjalan lambat


• bukan pemusnah
• tidak dapat diramalkan hasilnya
• sulit dan mahal dikembangkan
• memerlukan supervisi oleh pakar

Anda mungkin juga menyukai