Anda di halaman 1dari 28

BAB I

KETERANGAN UMUM PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. A

Tanggal lahir : 06 april 2011

Usia : 2 tahun 6 bulan

Jenis kelamin : perempuan

Alamat : Kp. Batu Loceng RT 01/10 Ds. Suntenjaya Lembang

Anak ke : 2 dari 2 bersaudara

Berat badan ; 10 kg

Tanggal masuk : 07 Oktober 2013

Tanggal Pemeriksaan : 07 Oktober 2013 – 15 Oktober 2013

Ruang Perawatan : Ruang Kutilang (kelas III)

IDENTITAS ORANG TUA

Nama Ayah : Tn. K

Usia : 34 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Kp. Batu Loceng RT 01/10 Ds. Suntenjaya Lembang

Nama Ibu : Ny. Y

Usia : 28 tahun

Pekerjaan : IRT

1
KASUS PASIEN

Heteroanamnesa (anamnesa kepada ibu pasien)

Keluhan utama: Kejang

Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien kejang. Kejang terjadi tiba-tiba

selama kurang dari 10 menit dan terjadi sekitar 10 kali dalam satu hari. Kejang terjadi kapan

saja termasuk saat pasien beraktifitas. Kejang berupa kedua lenan dan tungkai kelojotan

disertai dengan mata yang terbelalak. Pasien tidak sadar saat kejang. Setelah kejang pasien

mengalami muntah dengan volume yang sedikit dan terdiri dari lendir dan menjadi lemas.

Keluhan disertai dengan penurunan kesadaran berupa pasien tidak dapat duduk dan

berbicara, sulit makan dan rewel.

Keluhan disertai dengan demam yang dirasakan sebelum masuk rumah sakit. Demam

terjadi tiba tiba dan hilang timbul. Demam tidak pernah tinggi, demam paling tinggi terjadi

saat pasien datang pertama kali ke IGD RS. Salamun dengan suhu 39º. Demam disertai

dengan mengigil.

Keluhan saat kejang terjadi demam tinggi disangkal orang tua. Tidak ada riwayat

terbentur. Tidak ada riwayat keganasan pada keluarga. Tidak ada riwayat sakit kepala hebat

dan muntah proyektil. Tidak ada riwayat sesak hingga kebiruan.

Pada saat di rumah sakit pasien mengalami keluhan sulit buang air besar selama 5 hari

sejak dirawat namun kembali normal setelah diberikan pengobatan. Pada tanggal 10 oktober

pasien mengalami edema pada bagian mata kanan. Pada tanggal 13 Oktober pasien

mengalami batuk dan pilek.

Riwayat penyakit Sebelumnya

Sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien telah dirawat 4x dengan keluhan

yang sama. Pada saat pertama kali dirawat dirumah sakit pasien mengalami keluhan kejang

2
yang terjadi pada seluruh badan disertai kelumpuhan pada sebelah anggota badan setelah

terjadi kejang, dan mengalami koma selama 2 hari.

3 bulan sebelum dirawat di rumah sakit pasien memiliki riwayat pengobatan TB

selama 7 bulan. Pasien memiliki riwayat hidrocephalus kongenital. Pasien memiliki riwayat

sering sakit dan demam saat bayi. Pasien sering mengalami batuk dan pilek saat di rumah.

Riwayat Keluarga

 Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien saat ini

 Anggota keluarga (bibi pasien) ada yang memiliki riwayat kejang 3 tahun yang lalu

Riwayat Kehamilan

Ibu pasien hamil di usia 24 tahun, mengalami lemah kandungan, sejak usia 5 bulan

diberikan obat penguat kandungan oleh dokter. Tidak ada riwayat sakit pada saat hamil.

Tidak ada riwayat mengkonsumsi obat-obatan, alkohol dan merokok saat hamil.

Riwayat Persalinan

Bayi perempuan lahir tanggal 06 April 2011 dari ibu G2P2A0 dengan usia kehamilan

cukup bulan, lahir di rumah sakit, caesar, langsung menangis. Bayi lahir dengan berat badan

3,2 kg dan panjang badan 48 cm.

Riwayat Asupan makanan

0-6bulan: ASI

6 bulan-1,5 tahun: ASI + makanan tambahan (bubur, nasi lembek)

1,5-2,5 tahun: Susu formula + makanan tambahan (nasi, roti, biskuit)

Riwayat Tumbuh kembang

Dari pemeriksaan Denver terhadap 4 aspek didapatkan keterlambatan pada aspek :

1. personal sosial

2. motorik halus

3. motorik kasar

3
4. bahasa

Riwayat Imunisasi

Pasien sudah mendapatkan imunisasi lengkap sesuai dengan KMS namun mengalami

keterlambatan pada saat imunisasi campak dikarenakan pasien sedang sakit saat akan

melakukan imunisasi.

Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum: somnolen, tampak sakit berat

 Tanda vital:

 TD : tidak dapat dilakukan

 Suhu : 39,1ºC

 Nadi : 102 x/menitm regular, equal, isi cukup

 Pernafasan : 26x/menit, regular, abdominothorakal

 Antropometri

 Berat badan : 10 kg

 Tinggi badan : 83 cm

 Lingkar kepala: 48 cm

LP/U: Z score 0 SD (normal)

BB/TB: Z score -1 SD (normal)

BB/U: Z score -2 SD (normal)

TB/U:

 Kepala

 Simetris

 Ubun-ubun menutup

Mata

4
 Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

 Mata tampak exopthalmos, lateralisasi ke kiri

 Pupil bulat isokor, reflex cahaya +/+

 Air mata (+), kelopak mata cekung (-)

Hidung

 Bentuk normal, deviasi (-)

 Pernafasan cuping hidung (-)

Mulut

 Membran mukosa lembab, kandidiasis oral (+)

 Sianosis perioral (-)

Telinga

 Simetris, sekret -/-

 Mastoid: tanda radang (-)

 Leher

 Pembesaran KGB (-)

 Pembesaran tiroid (-)

 Retraksi suprasternal (-)

 Peningkatan JVP (-)

 Toraks

 Bentuk dan pergerakan dada simetris

 Retraksi intercostal (-)

Jantung

 S1, S2 normal

 Murmur (-), gallop (-)

5
Pulmonal

Kanan Kiri

Depan :

VBS Kanan=kiri Kanan=kiri

Wheezing - -

Stridor - -

Ronchi - -

Belakang:

VBS Kanan=kiri Kanan=kiri

Wheezing - -

Ronchi - -

Stridor - -

 Abdomen

 Inspeksi: bentuk datar, retraksi epigastrium (-)

 Perkusi: timpani

 Auskultasi: bising usus (+)

 Kulit

 Turgor baik

 Ekstremitas

 Atas : simetris, bentuk normal

 Bawah : simetris, bentuk normal

 Akral dingin -/-, CRP<2 detik

6
Pemeriksaan Neurologi

 Saraf kranial

 CN II : pupil bulat isokor, refleks cahaya +/+

 CN III, IV, VI : deviasi mata (-)

 CN VII: pergerakan wajah simetris

 CN IX : refleks menelan (+)

 CN XII: arkus faring simetris

 Refleks fisiologis: tidak dilakukan

 Refleks patologis

 Chaddock sign (+)

 Gordon refleks (-)

 Motorik : tidak dilakukan

 Sensorik: tidak dilakukan

 Rangsang meningeal:

 Kaku kuduk (+)

Resume

Pasien A, perempuan, usia 2,5 tahun status gizi baik. Kejang 2 hari sebelum masuk

rumah sakit. Kejang tipe tonik, bilateral, 10 x sehari, kurang dari 10 menit, tiap kejang tidak

sadar. Keluhan disertai penurunan kesadaran dan demam. Kejang tidak terjadi saat pasien

mengalami demam tinggi. Tidak ada riwayat muntah proyektil.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien somnolen, tampak sakit berat, demam. Mata

tampak exopthalmos, lateralisasi ke kiri. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan kaku

kuduk dan chaddock sign positif.

7
Diagnosis Banding

 Meningitis bakterialis

 Meningitis tuberkulosis

 Meningitis viral

 Ensefalitis

 Tumor otak

Usulan Pemeriksaan

 Darah rutin

 Lumbal pungsi

 Jumlah sel, hitung jenis sel CSF

 Kultur CSF dan tes resistensi CSF

 Pemeriksaan protein dan glukosa CSF

 Pemeriksaan mikrobiologi: pewarnaan gram CSF

Hasil Lab

Tanggal 07 Oktober 2013

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi rutin

Hemoglobin 12.5 11.5 – 15.5

Jumlah Leukosit 11.900 6.000 – 17.500

Hematokrit 36 35-45

Jml. Trombosit 319.000 150.000 – 400.000

8
Hitung Jenis leukosit 80 54 – 62

Segmen 15 25-33

Limfosit 5 3-7

Monosit

Tanggal 09 Oktober 2013

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Protein CSF 64.7 8-32

Glukosa CSF 106 40-70

Jumlah Sel (CSF) 2 0-5

Hitung Jenis Leukosit (CSF)

MN 100

PMN 0

Tanggal 10 Oktober 2013

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Protein total 5,68 6.1 -7.9

Albumin 3,34 3.5 – 5.0

Diagnosis Kerja

Kejang e.c. Meningitis Bakterialis

9
OBSERVASI

Tanggal Tanda Vital Keluhan + Keterangan


N R S Pemeriksaan Fisik
Senin, 102 26 39.1oC Kaku kuduk (+), demam PCT 3x1
07 Oktober (+) Infus RL 8 tetes
2013 DZP 5 mg IV (bila
kejang)
Depaken 2x3 ml
Ampisilin 4x750 mg
IV
Kloramfenikol 4x250
mg IV
Dexametason 4x1,5 g
IV
Cek Darah Rutin
Selasa, 100 26 36 oC Kaku kuduk (+), Ampisilin 4x750 mg
08 Oktober chaddock sign (+) IV
2013 Kloramfenikol 4x250
mg IV
Fenitoin 2 x 20 g PO
Ceftriaxon 1x1 g IV
drip dalam Nacl
0,9% dalam ½ jam
Diazepam 3 mg IV
(bila kejang)
Dexametason 4x1,5 g
IV
Lumbal puncture
Rabu, 110 26 36,5 oC Kaku kuduk (+), tanda Fenitoin 2 x 20 g PO
09 Oktober UMN (+) Ceftriaxon 1x1 g IV
2013 Diazepam 3 mg IV
Kamis, 110 26 36,4 oC Pasien rewel, edema Fenitoin 2 x 20 g P\O
10 Oktober pada palpebra kanan, Ceftriaxon 1x1 g IV
2013 terdapat keputihan pada Diazepam 3 mg IV
mukosa mulut (oral Nyndia 4x/ml
kandidiasis) Cek protein
total/albumin
Jumat 106 25 36,6 oC Mulai bisa duduk dan Fenitoin 2 x 20 g P\O
11 Oktober berbicara, belum BAB Ceftriaxon 1x1 g IV
2013 Nyndia 4x/ml
Microlax supp

10
Sabtu 100 24 36,8oC Keadaan umum baik Fenitoin 2 x 20 g P\O
12 Oktober Ceftriaxon 1x1 g IV
2013 Nyndia 4x/ml

Minggu 108 24 36,9°C Compos mentis, Batuk, Ceftriaxon 1x1 g IV


13 Oktober pilek Nyndia 4x/ml
2013

Senin 14 Compos mentis, riwayat Ceftriaxon 1x1 g IV


Oktober 2013 kejang 1x Nyndia 4x/ml

Selasa 15 Compos mentis, batuk Ceftriaxon 1x1 g IV


oktober 2013 sekali-sekali Nyndia 4x/ml

Farmakoterapi

 Infus RL 8 tetes/mac

 Depaken 2x3 ml

 Diazepam 5 mg/IV

 Ampisilin 4x750 mg IV

 Kloramfenikol 4x250 g IV

 Dexametason 4x1,5 g IV

 Fenitoin 2x20 g PO

 Ceftriaxon 1x1 g IV drip dalam Nacl 0,9% dalam ½ jam

 Nyndia 4x/ml

 Microlax supp I

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Meningitis Bakterialis

Definisi

Istilah meningitis sinonim dengan leptomeningitis dan menunjukkan infeksi sistem

saraf pusat dengan inflamasi yang melibatkan pia-arakhnoid, rongga subarakhnoid dan dapat

juga melibatkan otak dan medula spinalis.

Meningitis dibagi menjadi meningitis bakterialis akut, meningitis subakut dan kronis

berdasarkan kecepatan proses inflamasi. Perkembangan inflamasi, berhubungan dengan

organisme penyebab yang menginfeksi.

Infeksi pada sistem saraf pusat dapat fokal atau difus. Meningitis dan ensefalitis

adalah contoh infeksi difus. Meningitis terutama melibatkan meninges, sedangkan ensefalitis

terutama melibatkan parenkim otak. Karena batas anatominya sering tidak jelas, banyak

pasien memiliki tanda baik keterlibatan meningeal dan parenkimal, sehingga pasien dianggap

mengalami meningoensefalitis. Diagnosis infeksi SSp difus tergantung dari pemeriksaan CSF

yang dilakukan melalui lumbal puncture

Etiologi

Berbagai organisme akan memproduksi meningitis purulen akut sekali masuk ke

dalam CSF. Pencegahan infeksi bergantung blood-brain dan blood-CSF barrier, tetapi sekali

organisme melewati barrier dan masuk rongga subarakhnoid, organisme akan berkembang

karena CSF merupakan medium kultur yang ideal dikarenakan memiliki sedikit bahkan sama

sekali tidak ada formasi antibodi.

12
Neonatal Bayi Anak Anak lebih tua dan

(0-30 hari) (31-60 hari) (2-4 thun) orang dewasa

 Gram negative  β – hemolytic  Haemophilus  Streptococcus

enterobacilli streptococci influenzae pneumoniae

(E.coli paling  Haemophilus  Neisseria  Neisseria

sering) influenzae meningitidis meningitidis

 β – hemolytic  Neisseria  Streptococcus  Straphylococcus

streptococci meningitidis pneumoniae aureus

 Listeria  Gram negative  Haemophlus

monocytogenes enterobacilli influenzae

 Staphylococcus

aureus

 Streptococcus

pneumoniae

Epidemiologi

Faktor resiko utama meningitis adalah rendahnya imunitas patogen spesifik yang

berhubungan dengan usia muda. Resiko tambahan termasuk kolonisasi bakteri patogen yang

baru terjadi, kontak dekat dengan individu yang memiliki penyakit invasif yang disebabkan

Neisseria meningitidis dan Haemophilus influenzae type b, lingkungan yang padat,

kemiskinan, jenis kelamin pria.

Mode transmisi kemungkinan kontak antara orang dengan orang melalui sekresi

respiratori atau droplet.

13
Disfungsi splenik (sickle cell anemia) atau asplenia (trauma, defek kongenital)

berhubungan dengan peningkatan resiko pneumococca, H. Influenzae type b, meningococcal

sepsis dan meningitis.

Defek sistem komplemen (c5-c8) berhubungan dengan infeksi meningococcal

disease.

Pada pasien ini faktor resiko yang mungkin terjadi adalah rendahnya imunitas yang

berhubungan dengan usia muda dikarenakan pasien baru beruisa 2,5 tahun. Selain itu

didapatkan riwayat pasien sering mengalami sakit baik pada saat bayi maupun saat ini

menunjukkan sistem imun pasien yang rendah.

Patogenesis

Meningitis bakterialis paling sering merupakan hasil penyebaran hematogen

mikroorganisme dari infeksi di tempat yang jauh; bakteremia biasanya mendahului

meningitis atau terjadi bersamaan. Kolonisasi bakteri di nasofaring dengan mikroorganisme

patogen yang potensial biasanya merupakan sumber bakteremia. Dapat terjadi kolonisasi

organisme yang memanjang tanpa terjadi penyakit (carriage) atau dapat juga terjadi invasi

cepat setelah munculnya kolonisasi. Infeksi saluran pernafasan atas oleh virus yang terjadi

sebelumnya atau bersamaan dapat meningkatkan patogenisitas bakteri yang memproduksi

meningitis.

N. meningitidis dan H. Influenza tipe b menempel ke reseptor sel epitel mukosa

melalui pili. Setelah penempelan ke sel epitel, bakteri menembus mukosa dan masuk

sirkulasi. N. Meningitidis mungkin ditransfer melewati permukaan mukosa dalam vakuola

fagositik setelah diingesti oleh sel epitel. Survival bakteri dalam aliran darah dikarenakan

kapsul bakteri besar mengganggu fagositosis dan berhubungan dengan peningkatan virulensi.

Host-related developmental defect in bacterial opsonic phagocyosis also contribute to

14
bacteremia. Pada anak-anak, host nonimun, defek kemungkinan diakibatkan karena belum

adanya IgM atau IgG antikapsular antibodi yang terbentuk sedangkan pada pasien

imunodefisiensi, berbagai defisiensi komplemen dapat mengganggu fagositosis yang efektif.

Disfungsi spleen juga dapat menurunkan fagosistosis oleh sistem retikuloendothelial.

Bakteri dapat banyak masuk ke CSF melalui koroid plexus ventrikel lateral dan

meninges lalu bersirkulasi ke CSF ekstraserebal dan subarachnoid space. Bakteri secara

cepat bermultiplikasi karena konsentrasi komplemen dan antibodi di CSF tidak adekuat untuk

mencegah proliferasi bakteri. Faktor kemotaktik kemudian menimbulkan respon inflamasi

lokal yang dikarakteristikkan dengan infiltrasi sel polimorfonuklear. Dinding sel

lipopolisakarida bakteri (endotoksin) bakteri gram negatif (H. Influenzae type b, N.

Meningitidis) dan komponen dinding sel pneumokokal (asam teikoat, peptidoglikan)

menstimulasi respon inflamasi akan menstimulasi respon inflamasi lebih lanjut, dengan

produksi lokal TF, IL-1, prostaglandin E dan sitokin lainnya.

Reaksi inflamasi berikutnya secara langsung berhubungan dengan munculnya

mediator inflamasi, dikarakteristikkan dengan infiltrasi neutrophil, peningkatan permeabilitas

vaskulr, gangguan BBB dan trombosis vaskular.

Sitokin berlebih yang menginduksi inflamasin akan terus berlanjut setelah CSF steril

dan kemungkinan bertnggung jawab untuk inflamasi kronis dari meningiis piogenik.

Meningitis juga dapat terjadi karena invasi bakteri dari fokus infeksi seperti sinusitis

paranasal, otitis media, mastoiditis, selulitis orbital, osteomyelitis kranial atau vertebral atau

terjadi melalui penetrasi trauma kranial atau meningomyelocele. Meningitis mungkin terjadi

elama endokarditis, pnemonia atau thrombophlebitis.

Pada pasien ini kemungkinan pasien mengalami kolonisasi bakteri di nasofaring yang

menyebar secara hematogen sampai ke meningen. Kolonisasi bakteri ini dapat terjadi salah

satunya karena tejadinya infeksi saluran pernafasan atas oleh virus yang dapat meningkatkan

15
patogenitas bakteri, dimana pasien sebelumnya diketahui sering mengalami infeksi saluran

nafas bagian atas seperti batuk dan pilek.

Manifestasi Klinis Meningitis Bakterialis

Onset meningitis akut memiliki 2 pola dominan, yang lebih dramatis dan jarang

terjadi adalah onset tiba-tiba dengan progresivitas cepat dari shock, purpura, DIC dan

penurunan kesadaran yang menyebabkan kematian dalam 24 jam. Pola yang lebih sering

adalah meningitis yang didahului oleh gejala saluran nafas bagian atas atau gastrointestinal,

diikuti tanda nonspesifik infeksi SSP seperti letargi dan iritabilitas.

Tanda dan gejala meningitis berhubungan dengan temuan nonspesifik yang

berhubungan dengan infeksi sistemik dan manifestasi iritasi meningeal. Temuan nonspesifik

termasuk demam, anoreksia, gejala infeksi saluran nafas atas, myalgia, artrhalgia, takikardi,

hipotensi dan berbagai manifestasi kutaneus seperti peteki purpura atau erythematous

macular rash.

Iritasi meninges dimanifestasikan sebagai kaku kuduk, nyeri punggung, kernig sign

dan brudzinski sign.

Peningkatan ICP ditandai dengan nyeri kepala, muntah, fontanel yang menonjol atau

sutura yang melebar (diastasis), paralisis saraf okulomotor atau abdusen, hipertensi dengan

bradikardi, apnea atau hiperventilasi, postur dekortikasi atau deserebrasi, stupor atau koma.

Tanda neurologis fokal biasanya diakibatkan oleh oklusi vaskular. ± 10-20% anak

dengan meningitis bakterialis memiliki tanda neurologis fokal. Frekuensi meningkat menjadi

30% pada meningitis pneumokokus karena organisme ini menstimulasi respon inflamasi yang

lebih kuat.

Kejang (fokal atau generalisata) terjadi karena cerebritis, infark, atau gangguan

elektrolit yang terjadi pada 20-30% pasien. Kejang yang muncul dalam 4 hari awal tidak

16
memiliki prognosis yang signifikan, jika kejang menetap setelah 4 hari onset penyakit dan

sulit diobati maka prognosis akan buruk.

Perubahan status mental dan penurunan level kesadaran sering terjadi pada pasien

meningitis dan kemungkinan dikarenakan peningkatan ICP, cerebritis atau hipotensi.

Manifestasi termasuk: iritabilitas, letargi, stupor dan koma. pasien dengan koma memiliki

prognosis yang buruk.

Pasien ini mengalami pola meningitis kedua, yaitu meningitis yang didahului oleh

gejala infeksi saluran nafas bagian atas yang diikuti gejala infeksi SSP tidak spesifik berupa

anoreksia, demam, kejang. Diagnosis meningitis ditegakkan dari infeksi SSP lainnya

berdasarkan terdapatnya tanda iritasi meningeal yaitu kaku kuduk. Selain itu didapatkan

perubahan status mental berupa pasien menjadi rewel, kemungkinan diakibatkan peningkatan

ICP yang menyebabkan perubahan status mental.

Manifestasi Klinis Meningitis Tuberkulosis

Pada awalnya terjadi gejala yang tidak spesifik seperti malaise, perubahan

temperamen seperti irritabilitas atau apati, demam derajat rendah, nyeri kepala yang hilang

timbul. Setelah 1-3 minggu, iritasi meningeal berkembang ditandai dengan sakit kepala dan

muntah meningkat, diikuti oleh kaku kuduk dengan tanda Kernig dan Brudzinki positif.

Gejala yang paling menonjol pada anak-anak adalah muntah, sedangkan pada dewasa adalah

nyeri kepala. Saat penyakit semakin progresif, bukti bahwa ada keterlibatan parenkim otak,

seperti kejang, mengantuk dan defisit neurologik fokal menjadi terlihat seperti munculnya

hemiparese dan keterlibatan saraf kranial II, III, IV, V, VI dan VII dan, jarang terjadi,

pergerakan involunter. Dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial, pada dewasa dapat

berkembang papilloedema, pada anak mungkin dapat muncul fontanel yang menonjol atau

lingkar kepala yang membesar. Jika arakhnoiditis berkembang di meninges medulla spinalis

17
dapat terjadi paraparesis. Kejang dapat diakibatkan karena hiponatremia, hidrosefalus, infark

otak atau edema otak.4 Gejala paling akhir dikarakteristikkan dengan koma dengan postur

ekstensor abnormal dan defisit neurologik fokal yang lebih parah seperti hemiplegia atau

paraplegia.

Klasifikasi Medical Research Council (1948) diketahui sangat berguna dalam

menentukan progresi, pasien diklasifikasikan dalam tiga stadium:

Stadium I : Kesadaran penuh dan rasional, gejala tidak spesifik, tanpa ada tanda

neurologis fokal atau tanda hidrosefalus. Biasanya berlangsung selama

1-2 minggu dan dikarakteristikkan dengan gejala tidak spesifik seperti

demam, nyeri kepala, irritabilitas, mengantuk, malaise.

Stadium II : Bingung (confusion) dan/atau dengan tanda neurologis fokal seperti

hemiparese. Dikarakteristikkan dengan gangguan sensori, letargi, kaku

kuduk, kejang, tanda Kernig dan Brudzinski positif, muntah,

kelumpuhan saraf kranial.

Stadium III : Stupor atau koma dan/atau dengan defisit neurologis fokal yang parah

seperti hemiplegia atau paraplegia komplit. Terjadi kemunduran tanda

vital karena berkembangnya hidrosefalus, peningkatan tekanan

intrakranial, vaskulitis, koma, hemiplegia atau paraplegia, postur yang

abnormal, dan akhirnya dapat terjadi kematian

Manifestasi Klinis Ensefalitis Herpes Simplex

Ensefalitis herpes simplex (EHS) merupakan penyebab 10% kasus ensefalitis dan

merupakan penyebab tersering kasus ensefalitis fatal yang muncul secara sporadik dan

diperkirakan mencapai 1 dari 250.000-500.000 penderita pertahun. VHS tipe 1 dapat

menyebabkan ensefalitis pada semua usia, tetapi terbanyak pada penderita berusia >20 tahun.

18
EHS pada neonatus biasanya karena infeksi VHS tipe 2 selama melalui jalan lahir dari ibu

yang menderita herpes genital aktif; biasanya terbanyak meningitis.

Manifestasi klinis tidak spesifik, dapat akut dan subakut. Fase prodormal terjadi

malaise dan demam selama 1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimuai dengan sakit kepala,

muntah, perubahan kepribadian dan gangguan daya ingat kemudian penderita akan terjadi

kejang (fokal/umum) dan kesadaran menurun. Neurologis menunjukkan hemiparesis, afasia,

ataksia, gangguan sistem autonom, paresis saraf kranialis, kaku kuduk dan papiledema.

Kemungkinan EHS bila demam, kejang fokal, dan gejala neurologis fokal. Diagnosis

ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorium, EEG, pencitraan biopsi

otak dan PCR.

Perbedaan Meningitis dan Ensefalitis

Kondisi Tekanan Leukosit Protein Glukosa Catatan


(MM H2O) (MM3) (MG/DL) (MG/DL)
Normal 50-80 <5, ≥75% 20-45 >50 (atau 75%
limfosit serum
glukosa)
Bentuk meningitis
yang sering terjadi
Meningitis Biasanya 100-10.000 Biasanya 100- Menurun, Organisme
Bakterialis Akut meningkat atau lebih, 500 biasanya <40 biasanya
(100-300) biasanya 300- (atau <50% terlihat pada
2000, serum pewarnaan
didominasi glukosa) atau kultur
PMN

Partially treated Normal atau 5-10.000 PMN Biasanya 100- Normal atau Organisme
bacterial meningitis meningkat 500 menurun mungkin
trlihat pd
pewarnaan
gram

Meningitis viral atau Normal atau Jarang >1000. Biasanya 50- Secara umum Enterovirus
meningoensefalitis sedikit Awalnya 200 normal, dideteteksi
meningkat PMN tapi MN mungkin dengan
(80-150) akan menurun <40 PCR. HSV
mendominasi pada bbrp ensefalitis
seiring viral, terutama ditandai
perjalanan campak dengan
kejang fokal

19
atau
penemuan
fokal di CT
scan atau
MRI
Bentuk meningitis
yang jarang terjadi
Meningitis Biasanya 10-500, awal 100-3000 <50 Organisme
Tuberkulosis meningkat PMN, tapi pada tahan asam
limfosit akan kebanyakan hampir tidak
mendominasi kasus terlihat pada
setelahnya pewarnaan

Meningitis fungal Biasanya 5-500, awal 25-500 <50 Budding


meningkat PMN, tapi yeast mugkin
MN akan terlihat.
mendominasi
setelahnya

Sifilis (akut) atau Biasanya 50-500, 50-200 Biasanya Positif


leptospirosis meningkat limfosit normal serologi CSF
mendominasi

Meningoensefalitis Meningkat 1000-10.000 50-500 Normal atau Amoeba


Ameoba (Naegleria) atau lebih, sedikit yang motil
PMN menurun mungkin
mendominasi terlihat pd
pemeriksaan
hanging-drop
CSF
Abses otak dan
parameningeal
Abses otak Biasanya 5-200, 75-500 Normal, Tidak ada
meningkat didominasi sampai abses organisme
(100-300) limfosit, jika ruptur pada kultur
abses ruptur kedalam atau
ke ventrikel ventrikel pewarnaan
PMN akan sampai
mendominai abses ruptur
dan sel ke ventrikel
mencapai
>1000

Subdural empyema Biasanya 100-5000, 100-500 Normal


meningkat didominasi
(100-300) PMN

Cerebral epidural Normal atau 10-500, 50-200 Normal


abscess sedikit didominasi
meningkat limfosit

Spinal epidural Biasanya 10-100, 50-400 Normal


abscess rendah, didominasi
dengan limfosit
spinal block

20
Kimia(obat, Biasanya 100-1000 atau 50-100 Normal atau
myelography dye) meningkat lebih, sedikit
didominasi menurun
PMN

Diagnosis

Diagnosis meningitis piogenik akut dikonfirmasi oleh analisis CSF, biasanya

mikroorganisme ditemukan pada pemeriksaan pewarnaan gram dan kultur, terdapat

pelositosis netrofilik, peningkatan protein dan penurunan konsentrasi glukosa. Lumbal

puncture harus dilakukan jika terdapat suspek meningitis bakterialis.

Kontraindikasi LP adalah 1) tanda peningkatan ICP seperti palsi saraf kranial III atai

VI dengan penurunan level kesadaran atau hipertensi dan bradikardi dengan abnormalitas

respiratori, 2) infeksi kulit tempat LP, 3) pasien yang dalam posisi LP dapat mengganggu

fungi kardiopulmonari.

Sejumlah deteksi antigen bakteri telah berkembang, paling populer dn sering

digunakan adalah latex particle agglutination.

Kultur darah harus dilakukan pada semua pasien dengan suspek meningitis. Kultur

darah dapat menunjukkan bakteri yang bertanggung jawab pada 80-90% kasus.

Pada LP: CSF leukosit pada meningitis bakterialis biasanya meningkat >1000mm3 dan

menunjukkan netrofil mendominasi (75-95 %). CSF keruh terlihat saat leukosit melebihi 200-

400/mm3. Normal leukosit pada neonatus 30 leukosit/mm3 anak yang lebih tua 5

leukosit/mm3.

Klasifikasi kasus menurut WHO:

 Suspected: onset tiba-tiba demam (>38,5°C rektal atau 38.0° aksila) dan salah satu

dari tanda: kaku kuduk, gangguan kesadaran atau tanda meningeal lainnya

21
 Probable: suspected case dengan pemeriksaan CSF menunjukkan setidaknya satu

dari: - Tampilan keruh

- Leukositosis (>100 sel/mm3)

- Leukositosis (10-100 sel/mm3) dan ada peningkatan protein (>100 mg/dL)

atau penurunan glukosa (<40 mg/dl)

 Confirmed: terdapat konfirmasi lab dengan pertumbuhan (kultur) atau identifikasi

(pewarnaan gram atau metode deteksi antigen) bakteri patogen (Hib, pneumococccus,

atau meningococcus) di CSF atau dari darah pada anak dengan sindrom klinis yang

konsisten dengan meningitis bakterialis.

22
Manajemen

Dari alur manajemen Gejala dan tanda


penyakit meningitis bakterialis
meningokokus

Periksa jalan napas,


pernafasn dan sirkulasi

Gejala dan tanda meningitis Gunakan


bakterialis ya manajemen
penyakit
tidak meningokokus
untuk menangani
Lakukan pemeriksaan laboratorium: peningkatan
Darah rutin PCR darah tekanan
CRP gula darah intrakranial dan
Faktor koagulasi analisis gas darah syok
Kultur darah
Koreksi dehidrasi

Kontraindikasi pungsi lumbal?


ya
tidak

Lakukan pungsi lumbal

Pungsi lumbal mengarah meningitis bakterialis?

Pada neonatus ≥20 sel/µL (jika <20 sel/µL pertimbangkan


meningitis bakterialis jika ada tanda dan gejala lainnya)

Pada anak dan remaja, >5 sel/µL atau >1 neutrofil/µL

23
Anak usia <3 bl Anak usia ≥3 bl
kecurigaan penyakit
≤3 bl ≥3 bl
kecurigaan penyakit
Segera berikan Antibiotik empirik
sefotaksim i.v. + Segera berikan terapi
amoksisilin atau seftriakson i.v (jangan
ampisilin diberikan bersamaan
dengan cairan infus
Seftriakson dapat mengandung kalsium
dipakai untuk atau gunakan
menggantikan Penurunan sefotaksim)
sefotaksim, kecuali atau fluktuasi
pada bayi prematur Lakukan tingkat Jika melakukan
atau bayi kuning, pemeriksaan kesadaran atau perjalanan ke luar
hipoalbumin atau CT-scan ditemukan negeri atau mendapat
asidosis, atau ya tanda multipel antibiotik
mendapatkan infus selama 3 bl, berikan
neurologis
mengandung kalsium vankomisin
fokal
Jika melakukan Jika terdapat
perjalanan ke luar peningkatan leukosit
negeri atau mendapat LCS dan risiko
antibiotik jangka meningitis
tidak
panjang tambahkan tuberkulosism evaluasi
vankomisin diagnosis untuk
meningitis tuberkulosis
Jika terdapat
peningkatan leukosit Berian cairan pemeliharaan penuh: Pertimbangkan
LCS dan risiko ensefalitis herpes
gunakan jalur enteral jika ditoeransi, atau
meningitis tuberkulosis, simplex sebagai
evaluasi diagnosis untuk gunakan cairan isotonik jika memerlukan i.v diagnosis alternatif
meningitis tuberkulosis
Jangan batasi asupan caran kecuali Jika meningitis
Pertimbangkan terdapat bukti peningkatan sekresi hormon tuberkulosis adalah
ensefalitis herpes antidiuretik bagian dari diagnosis
simplex sebagai banding, berikan terapi
Lakukan pungsi lumbal
diagnosis alternatif Gunakan protokol lokal/nasional untuk antibioik yang sesuai
penatalaksanaan kejang
Jika meningitis Jika meningoensefalitis
tuberkulosis adalah akibat herpes simplex
bagian dari diagnosis merupakan bagian dari
banding, berikan terapi diagnosis banding,
antibioik yang sesuai
Konfirmasi penyakit? berikan terapi antibiotik
yng sesuai
Jika meningoensefalitis
akibat herpes simplex Steroid
merupakan bagian dari
diagnosis banding, Berikan deksametason
Ya (positif Tidak (negatif (0,15 mg/kgBB sampai
berikan terapi antibiotik
kultur kultur
yng sesuai dosis maks. 10 mg,
darah/LCS dan darah/LCS dan
atau PCR atau PCR
4x/hr selama 4 hr) jika
darah/LCS) darah/LCS) pungsi lumbal
menunjukkan:
 LCS purulen
Antibiotik untuk Antibiotik untuk  hitung leukosit
penyakit yang penyait yang belum CSF>1000 µL
 peningkatan jumlah
sudah dipastikan dipastikan
leukosis LCS >1g/L
 bakteri pada apus
gram

24
Anak usia <3 bl Anak usia ≥ 3 bl Anak usia <3 bl Anak usia ≥ 3 bl
penyakit sudah penyakit sudah penyakit penyakit belum
dipastikan dipastikan belumdipastikan dipastikan

Tterapi meningitis Terapi meningiti H. Terapi dengan Terapi dengan


streptokokus grup B Influenzae tipe b sefotaksim + seftriakson i.v. min
dengan sefotaksim dengan seftriakson 10 hr
i.v. min 14 hr i.v. total selama 10 ampisilin atau
hr amplsisilin min
Terapi meningitis Terapi meningitis s. 14 hr
bakterialis akibat L. pneumoniae
Monocytogeneses dengan setriakson
dengan amoksisilin i.v. total selama 14
i.v. atau ampisilin hr
selama 21 hari +
gentamisin minimal. Terapi meningitis
7 hari pertama meningokokus
dengan seftriakson
Terapi meningitis i.v. selama total 7
bakterialis akibat hari
basil gram negatif
dengan sefotaksim
i.v. min 21 hari

Terapi meningitis
meningokokus dgn
sefotaksim i.v.
selama total 7 hari

25
Terapi awal (empiris) untuk meningitis pada bayi dan anak yang immunokompeten

harus berdasarkan antibiotik yang tepat untuk S. pneumoniae, N. meningitidis, dan H.

Influenzaetipe b. Antibiotik yang dipilih harus mampu mencapai level bakterisidal pada CSF.

Di United states, 25-50% strain S. pneumoniae resisten terhadap penisilin. Resistensi

terhadap cefotaxime dan ceftriaxone juga terjadi pada 5-10% isolat. Peningkatan resistansi S.

pneumoniae terhadap β – lactam menyebabkan perubahan terapi empiris di Unites States.

Penggunaan seflosporin generasi ke 3, cefotaxime (200mg/kg/24 jam, diberikan setiap 6 jam)

atau ceftriaxone (100 mg/kg/24 jam diadministrasikan 1 kali per hari atau 50 mg/kg/dosis

diberikan setiap 12 jam) dikombinasikan dengan vankomisin (60 mg/kg/24 jam, diberikan

setiap 6 jam) cukup direkomendasikan

Terapi untuk meningitis uncomplicated akibat S. pneumoniae sensitif penisilin harus

diberikan secara penuh dalam 10-14 hari dengan sefalosporin generasi ke-3 atau penicillin

intravena (400,000 U/kg/24 jam, diberikan setiap 4-6 jam). Jika resistan terhadap penisilin

dan sefalosporin generasi ke 3, terapi harus diganti dengan vankomisin.

Kebanyakan rantai N. meningitidis sensitif terhadap penisilin dan sefalosporin.

Penisilin intravena (400.000 U/kg/24 jam, diberikan setiap 4-6 jam) untuk 5-7 hari

merupakan pengobatan pilihan untuk untuk meningitis uncomplicated akibat N. meningitidis.

Meningitis uncomplicated H. Influenza tipe b harus diobati selama 7-10 hari.

Efek samping terapi antibiotik untuk meningitis termasuk phlebitis, drug fever, rash,

muntah, kandidiasis oral dan diare.

Kortikosteroid

Mematikan bakteri secara cepat di CSF efektif dalam mensterilkan infeksi meningeal

tapi menyebabkan rilisnya produk toksik sel setelah sel lisis (endotoksin yang dapat

meningkatkan jalur sitokin-mediasi inflamasi. Formasi edema dan infiltrasi netrofil dapat

26
memproduksi injuri neurologik tambahan dengan memburuknya tanda dan gejala SSP.

Sehinnga agen yang membatasi produksi mediator inflamasi sangat berguna untuk pasien

dengan meningitis bakterialis.

Data menunjukkan penggunaan deksametason intravena 0,15 mg/kg/dosis diberikn

setiap 6 jam selama 2 hari pada pengobatan pasien anak >6 minggu dengan meningitis

bakterialis akut yang disebabkan H. Influenza type b. Pasien anak dengan meningitis karena

h. Influenzae type b yang menggunakan kortikosteroid memiliki durasi demam yang lebih

pendek, protein CSF yang rendah dan reduksi kehilangan pendengaran sensorineural.

Prognosis

Prognosis paling buruk terjadi pada bayi <6 bulan dan pasien dengan konsentrasi bakteri

tinggi di CSF. Pasien dengan kejang >4 hari dengan koma atau tanda neurologik fokal

memiliki peningkatan resiko sekuele jangka panjang. Sekuele neurologik paling sering

termasuk kehilangan pendengaran, retardasi mental, kejang berulang, gangguan penglihatan,

masalah perilaku dan terlambat dalam bahasa. Kehilangan pendengaran sensorineural adalah

sekuele paling sering pada meningitis bakterialis dan bisanya muncul dari awal presentasi

penyakit diakibatkan labirinitis setelah infeksi koklear atau dapat juga karena inflamasi pada

saraf auditori.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Richard E. Behrman M, Robert M. Kliegman M, Hal B. jenson M. Nelson

TEXTBOOK of PEDIATRICS. 16 ed. United States: W.B. Saunders Company;

2000.

2. Gilroy J, Meyer JS. Medical Neurology. 3 ed. United States: Macmillan Publishing

Co., INC; 1979.

3. WHO-recommended surveillance standards for surveillance of selected vaccine

preventable disease

4. Bharucha NE, Raven RH. Tuberculosis. In: Shakir RA, Newman PK, Poser CM,

editors. Tropical Neurology. W. B. Saunders Company Ltd; 1996. p. 139-49.

5. Davis LE. Tuberculous Meningitis. In: Davis LE, Kennedy PGE, editors. Infectious

Diseases of the Nervous System. Butterworth-Heinemann; 2000. p. 481-94.

6. Walton J. Disorders of function in the light of anatomy and physiology. Brain's

Disease of the Nervous System. 10 ed. United States: Oxford Medical Publication;

1993.

7. Pedoman Diagnosis dan Terapi. 4 ed. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Padjajaran- RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

28

Anda mungkin juga menyukai