i
KATA PENGANTAR
DRN adalah lembaga non struktural yang dibentuk oleh pemerintah untuk
menggali pemikiran dan pandangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Dewan ini bertugas
merumuskan arah dan prioritas utama pembangunan iptek serta memberikan berbagai
pertimbangan bagi penyusunan kebijakan strategis pembangunan nasional iptek.
Pada periode 2009 – 2011, DRN beranggotakan 100 ahli pada berbagai
bidang dan dari berbagai latar belakang / kalangan, yaitu para Akademisi, Pebisnis
dan Pemerintah (Academician, Business and Government / ABG). Dalam
melaksanakan tugas seluruh anggota dibagi ke dalam 8 Komisi Teknis (Komtek), yaitu:
(i) Komtek Ketahanan Pangan, (ii) Komtek Energi, (iii) Komtek Teknologi dan
Manajemen Transportasi, (iv) Komtek Teknologi Informasi dan Komunikasi, (v) Komtek
Teknologi Pertahanan dan Keamanan, (vi) Komtek Teknologi Kesehatan dan Obat,
(vii) Komtek Sains Dasar, dan (viii) Komtek Sosial Kemanusiaan.
DRN 2009-2011 mempunyai Fokus Tugas yang diatur melalui Keputusan
Menteri Riset dan Teknologi Nomor 001/M/Kp/I/2010, dan dalam rangka
mengoptimalisasi peran DRN untuk mendukung Program Kementerian Riset dan
Teknologi dalam penguatan Sistem Inovasi nasional (SINas), maka dikeluarkan
Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 76/M/Kp/II/2011 tentang Fokus Tugas
Dewan Riset Nasional 2009 – 2011. Adapun fokus tugas DRN terdiri dari :
1) Membantu Menteri dalam merumuskan arah dan prioritas utama pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan penyusunan Agenda Riset Nasional; 2) Memberikan
berbagai pertimbangan kepada Menteri dalam penyusunan Kebijakan Strategis
Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek), Sistem Inovasi Nasional
(SINas), dan kebijakan strategis ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya; 3)
Pemantauan umum perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional; 4)
Penegakan norma ilmiah riset nasional; 5) Pengusulan penerima penghargaan riset
kepada Menteri.
Dalam kerangka Fokus Tugas DRN 2009-2011 itulah berbagai kegiatan
dilakukan seperti: a) Penyusunan Agenda Riset Nasional 2010-2014; b) Memberikan
masukan berupa berbagai pertimbangan antara lain: tentang Pendanaan Litbang
Alternatif untuk Penguatan SINas, Dukungan Iptek dalam MP3EI, Upaya tentang
pemenuhan hak Anggota DRN, Materi tentang Revitalisasi DRN, Usulan Keanggotaan
DRN 2012-2014; c) Melaksanakan Pemantauan Umum Perkembangan Iptek berupa
pertimbangan dan rekomendasi dari ke-8 Komisi Teknis, Pengembangan Open Method
of Research Coordination / OMRC, Koordinasi dan kemitraan dengan lembaga-
lembaga nasional termasuk DRD di berbagai daerah maupun dengan lembaga
internasional seperti OECD, World Bank dan Forum Implementasi Hasil Riset untuk
pengentasan kemiskinan di lingkungan ASEAN (iBoP Asia); d) beberapa kegiatan
terkait Penegakan Norma Ilmiah Riset, serta e) beberapa kegiatan terkait Pengusulan
Penerima Penghargaan Riset, dan lain-lain.
Berbagai kegiatan tentunya diharapkan dapat dilanjutkan sehingga
berkesinambungan oleh DRN 2012-2014, sehingga hal-hal yang telah dirintis dapat
diselesaikan lebih tuntas. Beberapa kegiatan lagi membutuhkan pengelolaan terus
ii
menerus seperti perangkat OMRC, kemitraan dengan DRD dan lembaga-lembaga
lainnya. Juga diharapkan dapat dilakukan peningkatan kualitas staf Sekretariat DRN
agar pelaksanaan tugas-tugasnya di masa mendatang dapat berjalan lebih baik lagi.
Akhirnya, tentu dalam melaksanakan berbagai kegiatan tersebut banyak hal-
hal yang kurang berkenan, untuk itu pada kesempatan ini dimohonkan maaf yang
sebesar-besarnya. Tidak lupa pada kesempatan ini dihaturkan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ketua DRN Prof. Dr. Ir. Andrianto
Handojo, Wakil Ketua DRN Ir. Betti Alisjahbana, para Ketua Komisi Teknis DRN,
seluruh pihak atas sumbang fikir kepakaran, juga bagi dedikasi tak kenal lelah para
anggota Tim Asistensi serta untuk Kepala dan staf Sekretariat DRN.
Semoga Laporan Akhir Masa Tugas ini dapat bermanfaat sebagai masukan
bagi pelaksanaan tugas-tugas DRN Periode 2012-2014.
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iv
I PENDAHULUAN 1
1.1 Tugas Dewan Riset Nasional (DRN) 2009-2011 1
1.2 Organisasi Dewan Riset Nasional (DRN) 2009-2011 1
VI KAJIAN DRN 57
6.1 Kemitraan Dalam Sistem Inovasi Nasional 57
6.2 Jejaring Riset Pusat dan Daerah 59
6.3 Transformasi Penelitian ke Dalam Inovasi 60
6.4 Peranan Iptek Menjawab Pemanasan Global 61
6.5 Interaksi Peneliti dan Industri dalam Rangka Implementasi Hasil Riset 62
6.6 Peran DRD dalam Penguatan Sistem Inovasi 63
6.7 Iptek untuk Adaptasi Perubahan Iklim: Kajian Kebutuhan Tema Riset
Prioritas 65
6.8 Pengembangan Pusat Keunggulan Maritim Selat Malaka Menuju
Masyarakat Berbasis Pengetahuan 67
V PENUTUP 69
v
I PENDAHULUAN
1
Energi, [3] Komisi Teknis Teknologi dan Manajemen Transportasi, [4] Komisi Teknis Teknologi
Informasi dan Komunikasi, [5] Komisi Teknis Teknologi Pertahanan dan Keamanan, [6] Komisi
Teknis Teknologi Kesehatan dan Obat, di tambah dengan dua bidang [7] Komisi Teknis Sains
Dasar, dan [8] Komisi Teknis Sosial Kemanusiaan.
Komisi Teknis Sains Dasar dimaksudkan untuk memberikan landasan teoretik bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, inovasi dan budaya ilmiah di sebuah bangsa. Demikian
pula, berbagai kegiatan pemanfaatan teknologi dan inovasi dapat menjadi sumber inspirasi bagi
pengembangan sains dasar itu sendiri, yang pada gilirannya membuka jalan bagi temuan terapan
yang lebih baru. Penguatan dan pengembangan sains dasar, oleh karenanya, berperanan kunci
dalam menjamin keberlanjutan dari upaya pemanfaatan teknologi dan peningkatan daya saing
industri.
Sedangkan Komisi Teknis Sosial Kemanusiaan dimaksudkan untuk memperkaya dan
memperkuat dimensi sosial dan kemanusiaan dalam pemanfaatan hasil riset. Pengembangan ilmu
sosial dan kemanusiaan ini mencakup aspek sosial, budaya, hukum, ekonomi dan keberlanjutan
lingkungan. Penguatan dimensi sosial dan kemanusiaan tersebut diharapkan dapat memberikan
landasan kemasyarakatan dan kemanusiaan bagi pembangunan iptek bangsa secara
berkesinambungan, dan pencapaian peradaban Indonesia yang terkemuka, dengan menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan universal.
Komisi Teknis yang terbentuk segera melakukan rapat untuk memilih Ketua dan Wakil
Ketua Komisi serta menyiapkan rencana kerja Komisi Teknis. Bersama-sama dengan para Ketua
Komisi Teknis, Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris merupakan DRN Badan Pekerja. Adapun para Ketua
Komisi Teknis adalah: [1] Benyamin Lakitan sebagai Ketua Komtek Ketahanan Pangan, [2] Hudi
Hastowo sebagai Ketua Komtek Energi, [3] Indrayati Subagio sebagai Ketua Komtek Teknologi dan
Manajemen Transportasi, [4] Ashwin Sasongko sebagai Komtek Teknologi Informasi dan
Komunikasi, [5] Agus Susarso sebagai Ketua Komtek Teknologi Pertahanan dan Keamanan, [6]
Amin Soebandrio sebagai Ketua Komtek Teknologi Kesehatan dan Obat, [7] Bambang Setiaji
sebagai Ketua Komtek Sains Dasar, dan [8] Roosmalawati Rusman sebagai Komtek Sosial
Kemanusiaan
Komisi Teknis merupakan komisi yang berisikan Anggota DRN dengan kepakaran teknis
tertentu. Penentuan anggota Komisi Teknis DRN dilakukan dari usulan DRN periode 2005-2008 dan
telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Nomor 013/M/kp/I/2009
tentang Anggota Dewan Riset Nasional (DRN) Periode 2009-2011. Setelah keluarnya Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, bidang prioritas pengembangan
iptek yang tadinya enam bidang menjadi tujuh bidang yaitu ditambah dengan Material Maju.
Berdasarkan hasil rapat Badan Pekerja Bidang Prioritas Material Maju disepakati untuk ditangani
oleh Komisi Teknis Sains Dasar.
Selanjutnya, Peraturan Presiden No 16 Tahun 2005 Pasal 14, menyatakan bahwa dalam
melaksanakan tugasnya, Dewan Riset Nasional dibantu oleh Sekretariat. Sekretariat tersebut
dilaksanakan oleh satu unit kerja yang berada di lingkungan kantor dan ditetapkan oleh Menteri
Riset dan Teknologi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
melaksanakan tugasnya, Sekretariat secara fungsional bertanggung jawab kepada Dewan Riset
Nasional.
2
KETUA SESMENRISTEKK
WK. KETUA
KOMISI
KOMISI
KOMISI
KOMISI
KOMISI
KOMISI
KOMISI
KOMISI
KA BAG TU DRN
3
II PELAKSANAAN FOKUS TUGAS BERDASARKAN KEPMEN No.
001/M/Kp/I/2010 (BUTIR 1 DAN 2)
Agenda Riset Nasional disusun dengan memperhatikan landasan ideologi UUD 1945 dan
Pancasila, serta perundang-undangan di bidang pembangunan Iptek dan kebijakan-kebijakan sektor
pembangunan yang berlaku. Secara umum, landasan perundang-undangan yang digunakan adalah
UU 18/2002 tentang Sistem Nasional Iptek dan UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang 2005-2025 serta Instruksi Presiden no:4 Tahun 2003 tentang Perumusan dan
Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Iptek; Peraturan Pemerintah no : 20
Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Penelitian dan Pengembangan oleh
Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan; Peraturan Pemerintah No: 41
Tahun 2006 tentang perizinan melakukankegiatan dan pengembangan bagi kegiatan penelitian dan
pengembangan bagi lembaga asing, Peraturan Pemerintah No:35 Tahun 2007 tentang alokasi
sebagian pendapatan badan usaha untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi dan
difusi teknologi, Peraturan Pemerintah No:48 Tahun 2009 tentang pelaksanaan kegiatan penelitian,
pengembangan dan penerapan Iptek beresiko tinggi dan berbahaya. Di samping itu, juga diacu
dokumen-dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014, Kebijakan Strategis
Nasional Iptek serta Prioritas Presiden, Program Prioritas Pembangunan Kabinet Indonesia
Bersatu II dan Kontrak kinerja Menristek.
4
UUD - 1945
PP No.48/2009
Kontrak RPJMN PP No.20/2005
Kinerja PP No. 41/2006
2010 - 2014 PP No.35/2007
Menristek
Proses penyusunan ARN 2010-2014, diawali dengan mencari butir-butir penting dalam
pengembangan iptek yang disusun oleh DRN periode 2005-2008. Harapan disusunnya butir-butir
penting tersebut adalah untuk menjaga keberlanjutan dengan ARN 2006-2009. Dengan mengacu
butir-butir penting tersebut pada awal tahun 2009 dilakukan kegiatan pengayaan masukan dari
pemangku kepentingan iptek melalui lokakarya berbagai Komisi Teknis DRN. Selanjutnya
dirumuskan rancangan ARN 2010-2014 melalui rapat-rapat Komisi Teknis DRN dengan merujuk
pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang terdapat 6
bidang fokus. Setelah Presiden terpilih dilantik, dan Pemerintahan baru telah terbentuk, maka
rancangan ARN 2010-2014 kemudian diselaraskan dengan dokumen perencanaan yang baru. Oleh
karenanya, Komisi Teknis DRN melakukan rapat untuk melakukan penyelarasan ARN dengan
menggunakan rancangan RPJMN 2010-2014 yang disusun oleh Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Bappenas dan merujuk pada rancangan Kebijakan Strategis Nasional
(Jakstranas) Iptek 2010-2014 yang disusun oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Dengan
mempertimbangkan Kontrak Kinerja Menteri Riset dan Teknologi maka rancangan ARN 2010-2014
disesuaikan lagi.
Selain itu, adanya Pidato Presiden dihadapan Masyarakat Iptek Indonesia di Serpong pada
10 Januari 2010, maka rancangan ARN 2010-2014 yang telah berisikan agenda riset beserta
narasinya disempurnakan lagi dengan memasukkan unsur-unsur harapan pemerintah terhadap
iptek dan arah umum kebijakan iptek sesuai dengan visi misi Presiden. ARN 2010-2014 terdiri dari 7
Bidang Fokus sesuai dengan jumlah bidang Fokus dalam RPJMN 2010-2014, dimana Bidang Fokus
5
Material Maju disiapkan oleh Komisi Teknis Sains Dasar DRN. Sedang Komisi Teknis Sosial
Kemanusiaan DRN mewarnai semangat pembangunan iptek yang tercantum dalam ARN yaitu:
penanggulangan kemiskinan, pengurangan pengangguran dan wawasan lingkungan pada agenda
riset di setiap bidang fokus. .Rancangan inilah setelah disetujui dalam rapat Badan Pekerja DRN
diserahkan pada Menteri Riset dan Teknologi sebagai rekomendasi. Untuk selanjutnya ditetapkan
sebagai Lampiran 2 dari Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor
193/M/Kp/IV/2010 tentang Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi 2010-2014.
Penguatan
Dimensi Sosial dan Kemanusiaan
Sistem inovasi yang kuat dapat berperan dalam berbagai aspek, antara lain: memenuhi
kebutuhan pelayanan; meningkatkan standar hidup; menciptakan dan memperluas kesempatan
kerja, membentuk dan meningkatkan keunggulan daya saing; meningkatkan produktivitas dan
mendukung pertumbuhan ekonomi; menciptakan dan memperluas pasar (daerah, nasional dan
internasional).
Kehadiran ARN diharapkan dapat berfungsi sebagai: (i) media untuk berinteraksi dan
berkoordinasi antara berbagai pelaku iptek dan inovasi, sehingga dapat meningkatkan kinerja
secara kolektif; dan (ii) wahana untuk mengarahkan kegiatan penelitian, pengembangan,
penyebarluasan, dan pemanfaatan iptek menuju pemecahan permasalahan pembangunan bangsa.
Fungsi di atas diharapkan berlaku luas, sehingga ARN dapat menjadi acuan riset secara nasional.
Dalam pelaksanaannya, ARN telah menjadi kriteria utama pada aktivitas Insentif Kementerian Riset
dan Teknologi, sehingga selanjutnya diharapkan lembaga riset dengan menggunakan sumber
pendanaan manapun seharusnya menggunakan ARN sebagai acuan dalam menyusun program
lembaga.
Selain itu, diharapkan ARN menjadi rujukan bagi daerah dalam menyusun Agenda Riset
Daerah, sehingga terjadi sinkronisasi perencanaan riset di tingkat daerah dan nasional. Dalam era
otonomi daerah ini, tentunya daerah dalam menyusun ARD mengacu ARN dengan tetap
memperhatikan potensi daerah masing-masing dan dalam kerangka visi misi kepala daerah yang
terpilih.
7
2.1.2 Sosialisasi Agenda Riset Nasional (ARN) 2010-2014
Agar pemangku kepentingan Iptek di Indonesia mengetahui instrument kebijakan iptek,
terutama ARN 2010-2014, maka dilaksanakan sosialisasi ARN pada berbagai kegiatan termasuk di
daerah. Sosialisasi ARN dengan berbagai stakeholders dilaksanakan baik dalam bentuk tatap muka
(seminar,lokakarya,dll) maupun melalui moda lainnya (media massa, press conference, tulisan di
media cetak, dll) dilakukan sepanjang tahun 2010.
Sosialisasi juga dilakukan melalui pemuatan softcopy ARN 2010-2014 dalam situs
www.drn.go.id maupun www.ristek.go.id , dan buku ARN 2010-2014 yang dicetak dan keping
cakram (compact disc-CD) ARN dikirimkan ke berbagai lembaga /Instansi litbang, pemda, perguruan
tinggi dan badan usaha/industri terkait.
Selanjutnya rancangan ARN 2010-2014 yang sudah disusun pada tahun 2009 menjadi
acuan dalam menyusun Produk Target pada Pedoman Program Insentif Riset pada tahun 2009
yang pelaksanaan risetnya dilakukan pada tahun 2010. Dokumen ARN 2010-2014 digunakan
sebagai acuan dalam menyusun Produk Target pada Pedoman Program Insentif Riset pada tahun
2010 yang pelaksanaan risetnya dilakukan pada tahun 2011.
8
2.2 Pengelolaan Program Insentif Riset Tahun 2009-2010
Pengelolaan substansi Program Insentif Riset dilakukan DRN dimulai pada tahun 2009
seperti tercantum dalam Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi No. 110/M/Kp/X/2009
tentang Penetapan Proposal Program Insentif Kementerian Negara Riset dan Teknologi untuk
Dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010, bahwa proposal
yang dibiayai dalam keputusan tersebut merupakan hasil seleksi dan rekomendasi dari Dewan Riset
Nasional (DRN). Kemudian diterbitkan Keputusan Menteri Riset dan Teknologi No. 001/M/Kp/I/2010
tentang Fokus Kegiatan Dewan Riset Nasional 2009-2011 butir kedua yaitu Pengawalan
Implementasi ARN melalui instrumen: pengelolaan substansi Program Riset Insentif, kerjasama
penelitian, pengembangan dan penerapan iptek diantara ABG (Academician, Business,
Government). DRN mengelola Insentif Riset dari aspek substansi yang dilaksanakan mulai tahun
2009 dan 2010 dengan menyiapkan Pedoman Program Insentif yang risetnya dilaksanakan tahun
2010-dan 2011.
Penyelenggaraan Insentif Riset disamping sebagai instrumen kebijakan yang diluncurkan
untuk menjalankan misi KRT dalam memberikan kesempatan dan memotivasi kegiatan penelitian,
pengembangan, dan penerapan iptek , juga merupakan salah satu upaya untuk implementasi
Agenda Riset Nasional (ARN). Oleh karena itu, penyusunan buku pedoman insentif riset juga
mengacu pada dokumen ARN 2010 – 2014, dimana tercantum tema-tema riset unggulan dan
produk target dari masing-masing bidang fokus. Melalui dokumen tersebut ditekankan agar
implementasi ARN dapat berkontribusi terhadap pengembangan Sistem Inovasi Nasional,
khususnya pemanfaatan hasil riset bagi kepentingan pembangunan nasional. Untuk itulah jaringan
kerjasama atau kolaborasi menjadi kata kunci yaitu : a) kerjasama diantara penghasil riset dan
pengguna hasil riset melalui pola kemitraan yang dimulai sejak penelitian direncanakan ; maupun b)
kerjasama diantara para periset yang saling memperkuat kompetensi sehingga hasil riset yang
diperoleh menjadi lebih baik.
Mekanisme yang dikembangkan untuk memenuhi keinginan tersebut dilakukan dengan
pendekatan baru dikenal dengan pendekatan semi top down, yaitu riset – riset yang diusulkan tidak
lagi berdasarkan keinginan peneliti saja, akan tetapi telah disiapkan berbagai topik unggulan yang
dikenal sebagai Produk Target – berupa barang/ jasa/ sistem/ prosedur - yang dilengkapi dengan
beberapa kegiatan riset yang ditawarkan kepada para peneliti.
Pengumuman Short-List
dan Penyusunan
Proposal
Pemeriksaan
Kelengkapan
Admnistrasi
Proposal
Dibiayai
11
juga sosialisasi di Bappeda/ Balitbang Provinsi yang terpilih, antara lain di Yogyakarta pada 5
Mei 2010 dan di Bandarlampung pada 11 Mei 2010.
Sesuai dengan Pedoman Insentif Riset, maka proses pengajuan proposal berawal dengan
pengumuman undangan proposal kepada para peneliti / masyarakat, dan untuk penyebar-luasan
informasi ini didukung dengan kegiatan sosialisasi yang diikuti dengan tahapan pendaftaran secara
elektronik (on-line). Untuk pendaftaran on-line ini, peneliti harus mengikuti petunjuk dan
melaksanakan isian proposal sesuai dengan petunjuk yang diberikan pada pengumuman. Buku
Pedoman Insentif Riset juga dapat diunduh dari website DRN dan KRT agar menjadi acuan utama
untuk pendaftaran, seleksi, pelaksanaan riset, pemantauan dan evaluasi.
2.2.3 Seleksi
A. Seleksi Administrasi dan kesesuaian dengan Produk Target
Merupakan seleksi awal dengan kriteria admininistrasi yang sudah tercamtum pada Pedoman
Program Insentif Riset, dilaksanakan oleh Sekretariat Program Insentif Riset KRT. Seleksi
administratif diberlakukan untuk seluruh proposal yang masuk melalui pendaftaran elektronik / on-
line yang dalam hal ini berupa proposal short list. Seleksi dilakukan dengan melihat / memeriksa
apakah proposal short list telah lengkap terisi dan terisi dengan benar.. Disamping itu, proposal
diperiksa apakah judul proposal sudah sesuai dengan produk target yang ditawarkan. Proses
seleksi ini dilakukan secara on-line.
B. Seleksi Proposal Online
Tahap seleksi ini melibatkan berbagai pakar yang relevan. Seleksi ini adalah seleksi untuk
proposal yang telah dinyatakan lulus seleksi administratif. Seleksi online merupakan tahapan
pengelolaan substantif yang terdiri dari penentuan kriteria seleksi dan penentuan Tim Penilai.
Kriteria seleksi dirumuskan melalui rapat Badan Pekerja DRN untuk mengerucutkan proposal
yang masuk agar diperoleh proposal yang dapat mewujudkan produk target. Untuk itu, DRN
melalui bantuan Komisi Teknis (Komtek) dari 9 bidang fokus menentukan dan mengundang pakar
yang relevan untuk dapat menyelesaikan tugas seleksi substantif, dimana penilaian difokuskan
pada materi proposal yang terdiri dari Abstrak, Tujuan dan signifikasi, Out-line, Efek dari
diseminasi hasil riset/ kegiatan bagi industri, ekonomi dan masyarakat Indonesia, dan Bentuk
luaran. Proses seleksi dilakukan secara on-line ataupun off-line oleh para pakar yang relevan di
masing-masing bidang fokus.Tim Penilai disusun oleh Komisi Teknsi DRN agar Tim Penilai
12
memiliki kemampuan akademik dan memahami kebijakan Program Insentif Riset dalam
mewujudkan Produk Target dan berorientasi pemanfaatan hasil riset. Setiap proposal dinilai oleh
tiga orang Penilai. Hasil seleksi online merupakan suatu urutan ranking, dan dibahas di Badan
Pekerja untuk dirumuskan proposal yang lolos seleksi (short list) dan selanjutnya diusulkan ke
Kementerian Riset dan Teknologi.
C. Desk Evaluation
Desk evaluation merupakan seleksi terhadap proposal lengkap yang diperuntukkan pada
proposal yang lolos seleksi online. Seleksi ini dilaksanakan untuk mengetahui lebih komprehensif
terhadap proposal yang disusun dengan melakukan presentasi dihadapan Tim Penilai. Seperti
pada seleksi online, maka kriteria desk evaluation dirumuskan oleh Badan Pekerja DRN dan Tim
Penilai disusun oleh Komisi Teknis DRN. Hasil seleksi merupakan ranking dan melalui
pembahasan di Badan Pekerja DRN untuk kemudian diusulkan kepada Kementerian Riset dan
Teknologi. Hasil desk evaluation merupakan usulan untuk proposal yang mendapat pembiayaan,
dan setelah melalui proses penyesuaian anggaran dan rapat Pimpinan pada KRT dikeluarkan
Keputusan Menristek tentang proposal yang dibiayai
Tabel 1 Jumlah proposal registrasi dan dibiayai insentif riset tahun 2010
Tabel 2 Jumlah proposal registrasi dan dibiayai insentif riset tahun 2011
13
2.2.4 Pemantauan
Pemantauan terhadap kegiatan riset yang mendapat dana insentif riset KRT dilaksanakan
pada program yang sedang berjalan. Pemantauan dilaksanakan untuk mengetahui perkembangan
pekerjaan agar dapat mewujudkan produk target meliputi: a) kesesuaian antara perencanaan dan
kegiatan riset yang dilaksanakan, b) kemajuan substansi dan administrasi, c) untuk mengetahui
permasalahan yang terjadi baik substansi maupun administrasi. Pemantauan dilakukan minimal
sekali dalam satu tahun, sekitar bulan ke enam atau ke tujuh dari tahun berjalan. Aktivitas
pemantauan dilakukan secara internal oleh Lembaga Penerima Insentif Riset (biasanya Lembaga
Penelitian Perguruan Tinggi) dengan memeriksa dan menilai laporan kemajuan kegiatan, atau
secara in-situ, ataupun melalui presentasi untuk selanjutnya pada beberapa kota dan lembaga
terpilih dilakukan juga pemantauan oleh Tim Pemantau terdiri dari KRT dan DRN yang datang ke
berbagai lembaga di berbagai kota.
Lem baga Pener im a Insent if Riset waj ib memperhatikan urutan pelaksanaan aktivitas
riset tersebut. Panduan atau catatan pemantauan disiapkan oleh Badan Pekerja DRN, Tim
Pemantau dari Pusat diusulkan oleh Komisi Teknis, agar dapat memberikan arahan terhadap
kegiatan riset agar hasil riset sesuai dengan proposal yang diajukan; dalam rangka mewujudkan
produk target. Bahan untuk pemantauan adalah laporan tengah tahun dari Lembaga Penerima dan
Tim Pemantau datang dan mendengarkan presentasi di Perguruan Tinggi dan LPNK yang relatif
besar jumlahnya. Tim Pemantau dari DRN dan KRT didukung Tim Pelaksana / Pendamping akan
mengadakan komunikasi, analisa, dan verifikasi tentang hasil pemantauan internal bersama dengan
lembaga penerima insentif riset. Berdasarkan hasil pemantauan tersebut Tim Pemantau membuat
catatan dan rekomendasi atas hasil pemantauan internal. Rekomendasi ini penting, khususnya
untuk riset yang sifatnya lanjutan.
14
Gam bar 11 Laporan Pem antauan Insentif Gambar 12 Laporan Evaluasi Insentif
Riset Riset
2.2.5 Evaluasi
Aktivitas ini ditujukan untuk mengevaluasi hasil dan capaian aktivitas riset pada
akhir tahun berjalan. Seperti halnya pemantauan, evaluasi dilakukan tahap pertama secara
internal oleh Lembaga Penerima Insentif Riset dengan memeriksa dan menilai laporan kemajuan,
atau secara in-situ, ataupun mendengarkan presentasi oleh periset.
Seperti pada pemantauan, panduan atau catatan evaluasi disiapkan oleh Badan Pekerja
DRN, Tim Evaluasi dari DRN dan KRT diusulkan oleh Komisi Teknis dan bersama dengan Tim
Pamantauan, didukung Tim Pelaksana / Tim Pendamping akan mengadakan komunikasi, verifikasi
dan evaluasi tentang hasil evaluasi internal bersama dengan lembaga penerima insentif.
Berdasarkan hasil pemantauan tersebut Tim Evaluasi membuat catatan dan rekomendasi atas hasil
pemantauan internal. Rekomendasi ini penting, khususnya untuk riset yang sifatnya lanjutan.
15
III PELAKSANAAN FOKUS TUGAS BERDASARKAN KEPMEN No. 76/M/Kp/II/2011 (BUTIR 2)
DRN sebagai lembaga non-struktural yang diharapkan menjadi ‘think tank’ dalam rangka
meningkatkan kinerja pembangunan iptek nasional telah mengalami dinamika pasang-surut yang
menarik untuk dijadikan pelajaran . Pada periode awal 80-an, DRN dibentuk dalam rangka
membantu dan bertanggung jawab kepada Menristek, tetapi anggotanya diangkat oleh Presiden
atas usulan Menristek selaku Ketua DRN. Walaupun tugasnya membantu Menristek, namun DRN
sendiri diketuai oleh Menristek (Keppres 1/1984). Sedangkan pada periode 1999-2004 DRN
langsung bertanggungjawab kepada Presiden.
Dengan diberlakukannya Perpres 16/2005, Posisi DRN kembali mengalami perubahan.
Anggota DRN pada periode 2005-2008 di tetapkan oleh Menristek, sedangkan ketua, wakil ketua,
dan sekretaris dipilih langsung dari anggota DRN dan ditetapkan melalui Sidang Pleno DRN.
Namun untuk periode selanjutnya (2009-2001), keanggotaan DRN diusulkan oleh DRN untuk
ditetapkan oleh Menristek. Tugas DRN antara lain mendukung Menristek dalam merumuskan arah,
prioritas, dan kebijakan strategis pembangunan iptek nasional.
DRN pada posisi saat ini dirasakan belum mempunyai peran dan kontribusi yang signifikan
terhadap pembangunan iptek. Hal ini tidak berarti bahwa kinerja DRN periode 2009-2011 belum
optimal, tetapi lebih disebabkan karena DRN saat ini masih miskin fungsi, keterbatasan
kewenangan, dan kurang optimalnya sumberdaya yang dikelola.
DRN sebagai lembaga non-struktural yang bertugas membantu dan bertanggung jawab
kepada Menristek membuka fleksibilitas untuk dilakukan restrukturisasi organisasinya agar lebih
efektif dan produktif dalam mengemban tugas yang diamanahkan.
Untuk itu berdasarkan kesepakatan rapat Badan Pekerja DRN dibentuk Tim Adhoc yang
terdiri atas Benyamin Lakitan/ Ketua Komisi Teknis Ketahanan Pangan (sebagai Ketua Tim); Ashwin
Sasongko/ Ketua Komisi Teknis Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Betti Alisjahbana/ Wakil
Ketua DRN yang menghasilkan Laporan Revitalisasi DRN.
Pemahaman kontekstual Pasal 2 ayat (2) Perpres 16/2005 tentang DRN sebagai lembaga
independen harus didudukkan secara proporsional. Penetapan pemerintah untuk DRN membantu
Menristek dan pembiayaan operasional DRN bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) mengisyaratkan bahwa DRN merupakan lembaga non-struktural yang jelas
berafiliasi pada pemerintah. Namun demikian, secara substansial DRN harus secara independen
memberikan masukan bagi Menristek dalam merumuskan arah, prioritas utama, dan kebijakan
strategis pembangunan iptek. Independensi DRN bermakna bahwa DRN harus bebas dari
kepentingan pribadi atau golongan tertentu, sebaliknya harus sepenuhnya mengusung kepentingan
bangsa dan negara.
Sebagai hasil dari rapat Badan Pekerja DRN yang membicarakan masukan Laporan Tim
Adhoc tentang Revitalisasi DRN diusulkan agar: [1] DRN menempati posisi yang memungkinkan
untuk menjalin koordinasi dengan badan litbang pada berbagai kementerian dan lembaga lainnya;
[2] DRN dapat menjalankan fungsi promotor, komunikator, dan intermediator di bidang riset bersama
(berpadanan) dengan KRT; dan [3] perlu dipertimbangkan penataan kembali kelembagaan dan
manajemen riset yang dibiayai APBN oleh KRT (misalnya melalui ‘Kebijakan Satu Pintu’).
Gagasan DRN ini tentu masih perlu diuji viabilitasnya. Namun demikian, gagasan ini telah
membuka cakrawala pemikiran baru sebagai alternatif dalam upaya bersama untuk merevitalisasi
16
peran dan fungsi DRN agar dapat secara positif dan nyata berkontribusi dalam pembangunan iptek
nasional. Paling tidak ada 2 konsideran yang patut dipertimbangkan, yakni: [1] dinamika politik di
era demokratisasi saat ini sangat berbeda dengan kondisi pada era Orde Baru dimana ‘Kebijakan
Satu Pintu’ pernah diterapkan; dan [2] DRN bukan tumpuan satu-satunya dalam pembangunan
iptek, sehingga perlu dicermati terlebih dahulu peran dan fungsi kelembagaan iptek lainnya yang
saat ini masih diakui eksistensinya.
Keberhasilan upaya revitalisasi DRN akan memerlukan paling tidak dua prasyarat utama,
yakni: [1] kewenangan yang didukung regulasi yang tegas dan [2] sumberdaya yang dikelola
sebanding dengan tugas dan tanggung jawab yang diberikan.
Berdasarkan telaah yang dilakukan oleh Tim Adhoc DRN , maka beberapa butir rekomendasi
utama dapat disampaikan sebagai berikut:
[1] DRN saat ini tergolong miskin fungsi dengan kewenangan yang sangat terbatas dan dukungan
sumberdaya yang kurang optimal, sehingga peran dan kontribusi DRN secara nyata dalam
pembangunan iptek masih sangat terbatas. Untuk meningkatkan peran DRN tersebut, maka
perlu dilakukan revitalisasi lembaga DRN.
[2] Upaya revitalisasi DRN tersebut dapat mencakup restrukturisasi agar lebih kompatibel dengan
kebijakan nasional iptek untuk melakukan perkuatan SINas, penataan kembali komposisi
keanggotaannya agar lebih seimbang keterwakilan antara pengembang dan pengguna
teknologi, dan penyesuaian kembali produk-produk regulasi agar ekosistem yang kondisif bisa
terbangun.
[3] Revitalisasi perlu dilakukan dalam dua fase, dimana fase pertama dilakukan segera selama
periode 2009-2011 untuk diimplementasikan pada periode tugas selanjutnya (2011-2014);
sedangkan fase kedua diawali dengan penyesuaian produk regulasi untuk landasan bagi
pembentukan DRN dengan fungsi yang lebih ideal (revitalized DRN).
[4] Revitalisasi fase pertama dilakukan berbasis pada peraturan perundang-undangan yang saat ini
berlaku dengan tanpa keharusan melakukan revisi produk legislasi yang ada, dan difokuskan
pada upaya restrukturisasi dan penyesuaian komposisi keanggotaan; sedangkan revitalisasi
fase kedua difokuskan pada upaya membentuk DRN dengan peran yang lebih signifikan dan
proyeksi kontribusi yang lebih nyata terhadap pembangunan iptek, yang (mungkin) memerlukan
revisi peraturan perundang-undangan.
[5] Tugas pokok DRN di masa yang akan datang direkomendasikan mencakup: [1] membangun
basis data iptek yang akurat, komprehensif, dan mutakhir; [2] memberikan informasi tentang
perkembangan dan ketersediaan teknologi nasional; [3] mengidentifikasi kebutuhan dan
persoalan teknologi di dalam negeri; [4] membantu menetapkan prioritas riset sesuai dengan
kebutuhan (demand-driven), dan berbasis potensi sumberdaya nasional; dan [5] membantu
mengawal investasi pemerintah untuk pembangunan iptek, agar secara konsisten fokus pada
prioritas yang telah ditetapkan.
3.2 Masukan tentang Pendanaan Litbang Alternatif dalam Rangka Penguatan Sistem Inovasi
Nasional (SINas)
17
kemajuannya masih belum seperti yang diharapkan. Pada tataran konseptual, Sistem Inovasi
Nasional (SINas) dinilai sudah cukup baik, namun pada tataran implementasi masih menghadapi
permasalahan. Kelemahan pada tahap implementasi SINas terutama disebabkan kurangnya
keberpihakan penentu kebijakan yang diindikasikan dengan masih rendahnya alokasi anggaran
R&D, yaitu hanya 0,8 % dari APBN atau sekitar 0.16% dari PDB (data tahun 2011).
Untuk memberi masukan kepada Pemerintah c.q. Menristek, DRN mengadakan
lokakakarya dengan topik “Pendanaan Litbang Alternatif Dalam Rangka Penguatan SINas” pada 25
Oktober 2011 dengan pembicara dari Komisi VII DPR RI, Deputi Sumber Daya Iptek KRT, dan
Deputi Pengkajian Kebijakan Teknologi BPPT; dengan mengundang peserta dari berbagai lembaga
terkait antara lain: Kemenko Perekonomian, Kemenkeu, Bappenas, BUMN, Kemendikbu, KRT, KIN,
Bank Indonesia, BPPT, LIPI, PT. Bahana Pembiayaan Usaha Indonesia, PT Permodalan Nasional
Madani, KADIN, BIC.
Upaya yang perlu dilakukan untuk memperbesar peluang peningkatan ketersediaan
anggaran R&D baik yang berasal dari APBN maupun non APBN antara lain adalah dengan
meningkatkan komunikasi yang lebih efektif yang bersifat ‘win-win’ berdasarkan tugas pokok dan
fungsi masing-masing antara KRT, LPNK, dan Perguruan Tinggi (sebagai pengguna anggaran
R&D), dengan DPR; salah satu contoh misalnya program – program yang dapat meningkatkan
elektabilitas anggota Dewan di daerah pemilihannya.
Rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam dalam lokakarya tersebut terkait dengan
pendanaan litbang dalam penguatan sistem inovasi nasional adalah:
1. Untuk menghindarkan terjadinya hambatan operasional dalam kegiatan R&D akibat sistem
penganggaran yang dianggap kurang fleksibel dengan kegiatan R&D, diperlukan penataan
sistem anggaran yang didasarkan pada pengertian bahwa R&D adalah investasi, bukan
expenditure. Untuk itu perlu komunikasi yang efektif dengan lembaga yang berperan dalam
sistem audit keuangan nasional seperti BPK untuk mendapat masukan agar secara
komprehensif berbagai aspek terkait dapat diakomodasikan dalam Sistem Perencanaan
Anggaran Nasional.
2. Penguatan Sistem Inovasi Nasional selayaknya tidak mengandalkan sepenuhnya pada
anggaran pemerintah (APBN dan APBD). Kontribusi pendanaan dari dunia usaha terutama
sektor industri yang menjadi prioritas/ andalan sebagai pengguna inovasi adalah sangat penting.
Untuk itu diperlukan mekanisme yang jelas tentang alokasi peran, hak dan kewajiban, reward
dan kompensasi dan sebagainya, sehingga menjadi aturan yang dapat dipraktekkan
(practicable).
3. Untuk memperlancar proses difusi inovasi yang melibatkan lembaga R&D sebagai penghasil dan
industri sebagai pengguna, serta lembaga intermediasi sebagai penghubung, perlu penyamaan
persepsi di antara para pihak, bahwa inovasi adalah kegiatan kolaborasi bukan transaksi,
sehingga dalam skema pendanaan menjadi jelas mana yang bersifat komersial dan yang non
komersial.
4. Skema pembiayaan seperti Corporate Social Responsibility (CSR), Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PKBL) dan aneka skema pembiayaan lainnya, dapat menjadi sumber pembiayaan
alternatif bagi lembaga R&D. Untuk dapat memanfaatkan dana tersebut, maka peneliti/
perekayasa dan institusi masing-masing harus cukup ulet, inovatif, dan mampu meyakinkan
penyandang dana tentang portofolio bisnis yang dikerjasamakan.
5. Program insentif untuk peningkatan kegiatan R&D perlu terus dilaksanakan dengan
memanfaatkan pengalaman yang pernah dilakukan oleh Kementerian Riset dan Teknologi
18
seperti Program Start Up Capital , Inkubator Bisnis, Asuransi Teknologi bagi Perusahaan Pemula
Berbasis Teknologi (PPBT), maupun Program Kemitraan / Bina Lingkungan (PKBL) yang
dicanangkan Kementerian BUMN kepada BUMN yang memperoleh laba.
6. Perlu payung bersama dalam bentuk program nasional yang menjadi “flagship” untuk
mengembangkan technopreneurship dan dilaksanakan bersama secara sinergis antara
Kementerian Ristek sebagai pengendali program dan LPNK sebagai pelaksana di lapangan
serta dunia usaha dari BUMN dan swasta nasional sebagai pengguna. Pelaksanaan program
tersebut harus dikelola secara baik dan dapat diandalkan dalam kerangka penerapan Sistem
Inovasi Nasional untuk mendukung keberhasilan Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
3.3 Masukan Tentang Dukungan Iptek Dalam Masterplan Perluasan Dan Percepatan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
Visi MP3EI adalah “Mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan
12 besar dunia di tahun 2025 dan 8 besar dunia pada tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi
tinggi yang inklusif dan berkelanjutan”. Untuk itu MP3EI diarahkan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan PDB yang ditahun 2010 adalah US$700 milyar
menjadi lebih dari US$4 triliun ditahun 2025. Dalam rangka pencapaian VISI dan peningkatan PDB
tersebut telah dicanangkan penguatan SDM dan Iptek sebagai pilar ketiga dari kerangka desain
MP3EI, sehingga peran Iptek menjadi sangat penting untuk menuju ekonomi berbasis inovasi.
Sesuai dengan peningkatan PDB tersebut direncanakan peningkatan anggaran untuk penelitian dan
pengembangan (R&D). Dalam inisiatif inovasi dicanangkan konsep 1:747, yaitu [a] anggran R&D
menjadi 1% di tahun 2014 atau 2015, [b] dapat mendukung 7 langkah ekosistem inovasi, [c] melalui
4 wahana percepatan pertumbuhan ekonomi, dan [d] menuju 7 visi inovasi 2025. Pertumbuhan
R&D menjadi 1% dari GDP diharapkan akan dapat menjadikan pemicu efisiensi ekonomi di tahun
2015, berikutnya akan menjadi 2% ditahun 2020 sehingga sudah mampu menjadi pemicu inovasi.
Untuk selanjutnya diarahkan menjadi 3% dari GDP sebagai keberlanjutan pengembangan.
Arti dari peningkatan anggaran tersebut memberikan lahan pada bidang iptek untuk
membuat langkah-langkah kongkrit dalam menuju perekonomian bangsa berbasis inovasi. Sesuai
dengan koridor ekonomi utama yang ada dalam MP3EI, iptek yang dibutuhkan adalah sesuai
dengan prioritas dan keunggulan di masing-masing koridor. Untuk itu diperlukan Pusat Unggulan
(center of excellent) untuk setiap koridor sesuai dengan kegiatan utamanya.
Dalam pembentukan Pusat Unggulan bukan hanya melakukan kegiatan riset saja, tetapi
sudah harus melangkah kepada tindak lanjut kegiatan riset untuk masuk ke industri, untuk itu
penting adanya inkubator didalam pusat unggulan yang sudah melibatkan pihak industri. Dalam hal
ini peran semua yang terkait sangat penting, karena dukungan ( BUMN, Swasta atau FDI) baik dari
segi teknis (spesifikasi) maupun anggaran akan sangat menentukan keberhasilan hasil riset menjadi
produk yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Juga peran pemerintah untuk memberikan regulasi
yang kondusif bagi hasil-hasil riset menuju pengguna akan sangat menentukan.
Untuk memberikan masukan pada Pemerintah c.q. Menristek, DRN mengadakan lokakarya
dengan topik ”Penguatan Pilar SDM dan Iptek dalam Mendukung MP3EI” pada tanggal 1 Desember
2011 dengan Pembicara dari KP3EI/ Kadiv Komunikasi Publik dan Promosi, Ditjen Pendidikan
Tinggi-Kemendikbud, Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek KRT, dan DRN. Adapun peserta
yang diundang berasal dari berbagai lembaga terkait seperti KRT, KADIN, KIN, Bappenas, Ketua-
Ketua DRD, LPNK, LPK, dan DRN.
Rekomendasi yang dihasilkan disampaikan adalah :
19
1. Kedudukan penguatan SDM dan Iptek menjadi pilar ke -3 dalam kerangka desain MP3EI,
merupakan kesempatan untuk pengembangan Iptek dalam negeri, untuk itu Lembaga litbang dan
perguruan tinggi perlu proaktif dengan membuat program yang lebih konkrit dalam mendukung
MP3EI.
2. Proyek dan anggaran untuk daftar investasi infrastruktur sudah ditetapkan, untuk itu komunitas
Iptek perlu berusaha untuk dapat berperan serta dalam pelaksanaan pembangunan tersebut.
3. Pembentukan Pusat Unggulan (Center of Excellent) di setiap koridor sesuai dengan keunggulan
di masing-masing koridor. Pembentukan tersebut dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan
prioritas dan anggaran yang tersedia. Untuk itu perlu segera dibentuk road-map pembentukan
Center of Excellent.
4. Pentingnya lembaga inkubator berada dalam Center of Excellent yang dapat menjembatani hasil
kegiatan riset menjadi produk yang dapat diterima oleh pengguna.
5. Untuk suksesnya Sistem Inovasi Nasional 1:747, anggaran untuk Iptek direncanakan 1% dari
PDB di tahun 2015 dan akan menjadi 3% ditahun 2025. Untuk itu diperlukan rencana kerja yang
lebih rinci (blue print) dalam setiap tahunnya agar sejalan dengan kenaikan anggaran dapat
ditunjukkan pula peningkatan hasil karya yang bermanfaat bagi perkembangan ekonomi sehingga
mulai menuju pada ekonomi berbasis inovasi.
6. Bidang Kesehatan dan Obat hendaknya dapat dimasukkan dalam kegiatan ekonomi utama
7. Kegiatan riset yang mendukung MP3EI hendaknya mendapatkan insentif pajak dan kemudahan-
kemudahan lainnya sehingga menarik minat pemangku kepentingan terkait.
20
Dalam perjalanan upaya tersebut, rancangan besaran hak anggota DRN setelah diusulkan
Menteri Negara Riset dan Teknologi ke Menteri Keuangan, untuk dikeluarkan izin prinsip berkenaan
hak anggota DRN. Walaupun demikian, dari usulan hak anggota DRN sebesar Rp 3 500 000 per
bulan, telah dikeluarkan izin prinsip dari Menteri Keuangan sebesar Rp 750 000. Dan akhir tahun
2011, disusun rancangan Perpres berkenaan dengan hak anggota DRN, dan sedang dalam proses
paraf oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Keuangan dan Menteri PAN dan RB.
21
Disepakati pula untuk setiap Komisi Teknis 1-7 akan dipilih 5 orang; sedangkan khusus
untuk Komisi Sains Dasar dan Sosial Kemanusiaan dari nama-nama yang diajukan akan dipilih
masing-masing 1 orang untuk masuk dalam Komisi 1-7. Dengan demikian nantinya anggota DRN
akan berjumlah 49 orang, ditambah 1 orang yang dicadangkan menjadi ketua sehingga seluruhnya
berjumlah 50 anggota (sebagai perbandingan, DRN periode 2009-2011 beranggotakan 100 orang).
Sebagai hasil rapat Badan Pekerja tersebut, saat ini telah diusulkan 15 nama dari setiap
Komisi Teknis kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi untuk dipilih menjadi 7 nama dan
selanjutnya akan ditetapkan sebagai Anggota DRN Periode 2012-2014.
22
IV PELAKSANAAN FOKUS TUGAS BERDASARKAN KEPMEN No. 76/M/Kp/II/2011 (BUTIR 3)
4.1 Pemantauan Perkembangan Iptek : Hasil Kegiatan Komisi-Komisi Teknis DRN 2009-2011
24
4.1. 2 Energi
Ada beberapa isu terkait dengan bidang energi, yaitu ketahanan energi dan energi
keberlanjutan untuk penyediaan energi, serta konservasi energi untuk pemanfaatan/penggunaan
energi. Ketahanan energi sangat penting bagi pembangunan saat ini karena merupakan pilar utama
bagi ketahanan ekonomi, ketahanan budaya, dan kemandirian industri. Sementara energi
berkelanjutan, selain untuk menjamin ketersediaan energi (internal), juga untuk merespon dinamika
perubahan energi global (eksternal). Hal ini bisa terkait dengan isu lingkungan, seperti pemanasan
global, perubahan iklim, dan pencemaran udara. Jadi pengembangan energi berkelanjutan memiliki
tiga dimensi yang saling terkait, yakni ketahanan energi domestik, pertumbuhan ekonomi, dan aspek
lingkungan hidup.
Di sisi penggunaan energi, Indonesia merupakan negara yang sangat boros dalam hal
pemakaian energi. Pemakaian energi yang boros ini di indikasikan dengan intensitas pemakaian
energi yang tinggi. Di bidang industri, intensitas pemakaian energi yang tinggi akan mengurangi
daya saing produksi. Untuk itu, program konservasi dan efisiensi energi memegang peranan penting
untuk mengatasi masalah pemakaian energi yang boros tersebut. Program ini, selain dapat
meningkatkan daya saing produksi juga merupakan pilar energi berkelanjutan. Peningkatan efisiensi
pengunaan energi dan pengembangan energi yang berkelanjutan memungkinkan Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan energi nasional yang semakin meningkat tanpa harus mengorbankan masa
depan generasi penerus.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam memiliki potensi yang sangat
besar untuk perkembangan berbagai energi baru dan terbarukan. Berbagai jenis sumber energi baru
dan terbarukan yang dimiliki Indonesia antara lain: (a) energi panas bumi; (b) energi angin; (c) energi
surya (matahari); (d) tenaga air termasuk mikro, mini dan piko hidro; (e) energi laut, termasuk
gelombang dan arus laut (f) biofuels, termasuk biodiesel dan bioethanol; (g) biomasa dan biogas; (h)
nuklir; (i) hidrogen dan fuel-cell; (j) coal bed methane; dan (k) batubara peringkat rendah (untuk
bahan bakar cair dan gas). Namun, meski memilki potensi yang berlimpah, pemanfaatan sumber-
sumber energi baru dan terbarukan secara umum masihlah sangat rendah (sekitar 4%). Pada hal,
dalam Kebijakan Energi Nasional, dengan mengacu pada Perpres No. 5 tahun 2006; perencanaan
energi Indonesia menargetkan penggunaan energi baru dan terbarukan pada tahun 2025 harus
mencapai 17 persen.
Guna mengoptimalkan pemanfataan energi baru dan terbarukan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan, antara lain:
a. Selain aspek teknis, perlu memperhatikan aspek sosial. Karena banyak teknologi yang secara
teknis telah siap namun sulit diimplementasikan karena faktor sosial. Misalnya, salah satu pilihan
sebagai penyediaan tenaga listrik guna memenuhi permintaan yang terus meningkat dengan
pesat di Indonesia adalah melalui Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Berdasarkan pengalaman
dari negara-negara maju, teknologi PLTN dalam keadaan operasi normal mempunyai keunggulan
(relatif aman, ekonomis, dan bersih/ramah lingkungan). Namun di Indonesia masih sulit
direalisasikan karena persepsi yang diterima masyarakat masih negatif. Jadi, tidak kalah penting
adalah sosialisasi pada masyarakat, sehingga PLTN bisa diterima dengan baik.
b. Memperhatikan keekonomian teknologi yang dikembangkan. Secara umum, banyak energi baru
dan terbarukan masih kurang kompetitif. Sehingga perlu insentif atau dipilih teknologi dan
tempat/cara pengembangan yang tepat. Misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi Skala
Kecil dan Pembangkit Listrik dari Biomassa, secara umum kurang ekonomis kalau dikembangkan
25
di daerah-daerah yang mempunyai sumber energi murah seperti batubara dan gas. Namun cukup
jika digunakan untuk mensubstitusi Pembangkit Listrik Tenaga Disel didaerah terpencil yang
mempunyai sumber panasbumi atau banyak potensi biomassa.
c. Dukungan regulasi dan kebijakan yang implementatif. Secara tertulis telah banyak regulasi yang
bagus. Namun sulit diimplementasikan, karena tidak dibarengi dengan kebijakan yang tepat.
Misalnya, pemerintah telah menyediakan insentif untuk Bahan Bakar Nabati, tetapi disisi lain
subsidi terhadap BBM masih tinggi. Sehingga, BBN tetap kurang bersaing. Bahan baku Bahan
Bakar Nabati ada jutaan kiloliter tapi dipakai Pertamina hanya sedikit karena ternyata alat
pencampurnya kurang (kurangnya kebijakan yang bisa mendorong hal tersebut).
d. Selain penggunaan sumber energi terbarukan, pemerintah Indonesia juga dapat memberikan
berbagai insentif untuk penghematan energi atau penggunaan peralatan yang hemat energi.
Secara umum, untuk memperoleh penghematan yang signifikan perlu investasi yang cukup
besar. Meskipun secara keekonomian jangka panjang cukup menarik, namun karena perlu
investasi besar di awal kurang menarik bagi pengembang/industri yang mempunyai dana
terbatas.
e. Memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi di
daerah penghasil sumber energi.
Agar riset dapat membantu percepatan terimplementasinya Energi Baru dan Terbarukan
serta efisiensi energi sesuai dengan target, maka DRN (Komtek Energi) perlu meningkatkan peran
dalam hal: [1] Mendorong adanya roadmap di setiap klaster energi dan peta potensi EBT yang rinci
dan akurat di setiap lokasi; [2] Mendorong riset yang berorientasi pada produk target dan site
spesific yang dapat dikembangkan untuk memberikan nilai tambah; [3] Memperkuat riset non teknis
yang mampu mendorong terimplementasinya riset - riset atau teknologi – teknologi yang telah
berhasil secara teknis; [4] Mendorong sinkronisasi di Kelitbangan Energi Baru dan Terbarukan,
Kemenristek memberi rekomendasi teknologi dari hasil riset mulai riset dasar sampai dengan tingkat
difusi. Kemenperin berperan di area pabrikasi alat Energi Baru dan Terbarukan, sementara
Kementerian ESDM berperan di area pengembangan. Seharusnya Kementerian ESDM mampu
menjembatani antara Kemenristek dan Kemenperin
Sejalan dengan Sistem Inovasi Nasional dan Daerah, bahwa inovasi nasional maupun
daerah tersebut perlu dipantau agar dapat berjalan secara efektif dan efisien, maka anggota DRN
yang akan datang perlu mempertimbangkan untuk: [1] menunjuk pusat-pusat unggulan kegiatan
utama litbang mengacu pada ARN (yang telah disesuaikan dengan MP3EI) sebagai simpul
pelaksanaan sistem inovasi, baik di pusat maupun daerah, [2] menugaskan kelompok-kelompok
teknis DRN memantau kesesuaian pelaksanaan kegiatan pada pusat-pusat unggulan tsb terhadap
target yang tertera pada ARN, [3] memberikan supervisi pada pusat-pusat unggulan, [4] senantiasa
mempertimbangkan perkembangan iptek global terhadap kemampuan iptek nasional sehingga tetap
mampu untuk menumbuh-kembangkan sistem inovasi nasional dan daerah, [5] melakukan kajian
terhadap perkembangan kebutuhan pasar untuk pengembangan sistem inovasi, [6] mengefektifkan
keanggotaan DRN yang berasal dari berbagai entitas sehingga benar-benar dapat mewujudkan
sistem inovasi nasional dan daerah sehingga benar-benar dapat mendukung realisasi kegiatan yang
pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment.
26
Gambar 14 Suasana Rapat Komtek Energi
4.1.3 Transportasi
Dewasa ini persoalan transportasi dalam bentuk kemacetan lalu lintas sudah menjadi
persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh setiap orang. Kalau masih disebut kemacetan lalu lintas
artinya lalu lintas masih berjalan walaupun tersendat, tetapi kalau sudah disebut sebagai
kemandekan lalu lintas maka itu berarti lalu lintas sudah berhenti, tidak bergerak, alias macet total.
Hal ini bukan tidak mungkin terjadi, dengan peningkatan populasi kendaraan bermotor yang berkisar
10% per tahun (di DKI Jakarta) dibandingkan dengan luas/panjang jalan yang hampir tidak pernah
bertambah setiap tahunnya, maka diperkirakan dalam waktu 2-3 tahun lagi Jakarta sudah akan
macet total.
Jumlah kerugian yang ditimbulkan antara lain [1] pemborosan BBM Rp. 14,7 trilyun/tahun
(Bappenas, 2009), [2] pemborosan biaya operasi kendaraan 17,2 trilyun/tahun (Dishub, 2010), [3]
kerugian waktu produktif warga negara sekitar Rp 9.7 trilyun/th, [4] kerugian di sektor kesehatan
antara lain karena stres atau faktor polutan asap yang keluar saat kemacetan dan terhirup oleh
warga sebanyak Rp 5,8 trilyun/th, [5] kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta hanya bisa mencapai
8,3 kilometer per jam.
Sebenarnya sejak 2 dekade yang lalu telah banyak dilakukan berbagai studi tentang
transportasi seperti ITSI (1990), Jakarta Mass Transit Study (1992), Transport Network Planning and
Regulation (1993), Consolidated Network Planning (1993), JUTSI (1996), Study on Integration
Transportation Master Plan for Jabodetabek I dan II (2001 dan 2004), serta berbagai workhop dan
seminar dengan rekomendasi yang sangat baik. Rekomendasi dari hasil studi, workshop, seminar
juga sudah diakomodasikan dalam sebuah rencana induk (master plan). Tetapi kenyataannya
kemacetan lalu lintas masih belum ada tanda-tanda teratasi, tetapi justru lebih mengarah ke kondisi
yang sebaliknya. Oleh karena itu patut ditengarai bahwa rekomendasi hasil studi tidak
terimplementasi dengan baik, sehingga tidak menjadi solusi bagi pemecahan persoalan di lapangan.
Dari fenomena di atas dapat diambil kesimpulan bahwa persoalannya bukan terletak pada
kurangnya jumlah kajian transportasi, tetapi lebih pada implementasi hasil studi (master plan).
Contoh kebijakan transportasi yang sudah lama diusulkan namun belum terimplementasi dengan
baik adalah pembangunan MRT dan pembangunan jalan tol di samping beberapa kebijakan
transportasi yang lain baik yang bersifat fisik maupun non-fisik seperti penerapan traffic restraint
berupa road pricing. Banyak hal yang menjadi penyebab dari kesulitan implementasi ini yang dapat
ditinjau dari berbagai aspek yaitu aspek legal, pendanaan, kelembagaan, SDM, sosial, ekonomi,
politis, dll, atau bisa juga kombinasi dari beberapa aspek tersebut. Untuk mengukur keberhasilan
sebuah implementasi kebijakan banyak tolok ukur yang bisa dipakai, tetapi satu hal yang paling
27
penting adalah meningkatnya mobilitas masyarakat yang merupakan indikator dari tingginya
intensitas kegiatan ekonomi di wilayah yang bersangkutan. Pemerintah juga telah mencanangkan 17
langkah strategis mengatasi kemacetan di Jakarta yang melibatkan beberapa stakeholder untuk
mengantisipasi kemandegan transportasi tahun 2014.
Rekomendasi yang diberikan Komtek Teknologi dan Manajemen Transportasi adalah sebagai
berikut:
1. Menjadikan Angkutan Umum Massal sebagai backbone sistem transportasi perkotaan (terutama
Kereta Api untuk kota raya) dengan memperhatikan: a) Sustainability; b) Priority; c) Unique; d)
Dedicated; e) Integrated; f) Technology. Adapun hal-hal yang harus diperlukan adalah: a) Strong
Political Support; b) Financing; c) Public Private Partnership; d) Legal and Institutional.
2. Diperlukan kelembagaan/institusi yang bertanggung jawab terhadap sinkronisasi kluster
(koridor), juga terkait dengan beban pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, mengurus
aset yang ada serta yang akan dibangun. Basic infrastructure masih harus menjadi beban dan
tanggung jawab Pemerintah sehingga perlu dilakukan : [1] Revisi regulasi terkait; [2] Ukuran
kapasitas/daya dukung wilayah maksimum dalam perencanaan wilayah/transportasi; [3] Tinjauan
aturan-aturan yang mendukung, bukan yang kontradiktif/menghambat dengan alasan PAD; [4]
Infrastruktur dipadukan dengan kegiatan ekonomi
3. Diperlukan keterpaduan antara sistem transportasi dengan sistem logistik, dalam rangka
mendukung [1] ketahanan pangan, [2] energi, [3] pelestarian lingkungan, [4] pemilihan moda,
pengendalian dan penggunaan kendaraan, [5] peningkatan mobilitas masyarakat.
4. Untuk Anggota DRN periode 2012 – 2014 diharapkan mampu untuk mengupas lebih rinci
tentang [1] pohon masalah dalam rangka identifikasi akar permasalahan pada bidang teknologi
28
dan manajemen transportasi, [2] technology foresight, [3] peningkatan peran iptek yang
diperlukan untuk mengatasi permasalahan, khususnya yang terkait dengan MP3EI dalam
melakukan revisi terhadap Agenda Riset Nasional (ARN) 2010 - 2014.
30
Kedua contoh isu penting berskala nasional di atas menunjukkan pentingnya merumuskan
arah dan prioritas utama pembangunan Iptek yang diwujudkan dalam ARN.
Pada ARN 2010-2014, Tema Riset Unggulan untuk bidang fokus TIK adalah Teknologi
Digital untuk Industri Kreatif. Indonesia mempunyai SDM yang mampu untuk mengembangkan
perangkat lunak maupun produk kerajinan, seni dan budaya yang dikembangkan berbantuan TIK
dan menjadi produk dalam media digital. Dengan dicanangkannya Ekonomi Kreatif sebagai salah
satu tumpuan pembangunan perekonomian Indonesia, pemberdayaan Industri Kreatif menjadi
penting untuk terwujud.
Salah satu contoh implementasi tema riset unggulan dalam ARN 2010-2014 ini adalah
pendirian Pusat Komunitas Kreatif di Kabupaten Lombok Utara (NTB) yang merupakan kerjasama
Kementerian Kominfo dengan Pemprov NTB dan diresmikan pada tanggal 17 Desember 2010 yang
lalu. Pusat Komunitas Kreatif ini menyediakan sarana dan prasarana TIK sebagai alat bantu akses
terhadap pengembangan talenta dan potensi kreativitas masyarakat. Selain itu juga bertujuan untuk
memberikan pendampingan teknis pada kegiatan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat
khususnya masyarakat UKM dalam rangka memperoleh dan meningkatkan ilmu pengetahuan bisnis
secara elektronik.
Selain melaksanakan tugas merumuskan ARN bidang fokus TIK, Komtek TIK juga
melakukan upaya-upaya untuk mendekatkan hasil-hasil penelitian dengan dunia industri. Dalam
kerangka tersebut, telah dilakukan beberapa kegiatan seperti lokakarya dengan tujuan agar
outcomes setelah proyek penelitian berakhir dapat didata menjadi informasi yang siap
disebarluaskan sehingga berguna untuk membuka peluang pemanfaatan hasil penelitian yang lebih
memasyarakat dan lebih banyak dengan terbangunnya kerjasama dengan industri.
Sampai saat ini, komunikasi antara pemberi dana dengan para penerima dana program
penelitian belum dilakukan dengan intensif setelah pembiayaan penelitian berakhir sehingga
pemanfaatan hasil penelitian tersebut belum optimal dan belum dapat ditunjukkan ke masyarakat.
Informasi mengenai potensi pemanfaatan hasil-hasil penelitian sangat berguna untuk
disebarluaskan ke masyarakat sebab : a) Merupakan pertanggungjawaban bahwa pembiayaan yang
sudah dilakukan tidak terbuang sia-sia; b) Membuka peluang industrialisasi dan pemanfaatan lain
yang lebih luas; c) Membuka peluang untuk penelitian lanjutan yang baru tanpa harus mulai dari nol
(« reinventing the wheel »).
Dalam upaya membangun kerjasama dengan industri, Komtek TIK juga telah merintis
komunikasi dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia. Untuk itu telah dilakukan
pertemuan antara Komtek TIK dengan Komite Tetap Riset dan Teknologi TIK (Komtap TIK – KADIN)
dalam rangka merintis komersialisasi hasil-hasil riset. Sebagai tindaklanjut pertemuan tersebut, dari
DRN sudah disampaikan daftar hasil riset bidang fokus TIK untuk kemudian oleh Komtap TIK –
KADIN akan disampaikan kepada industri pada saat pertemuan rutin dengan asosiasi-asosiasi yang
ada di Indonesia. Diharapkan nantinya bisa ditemukan mitra industri yang membutuhkan hasil riset
terkait. Kerjasama yang sudah dirintis ini dirasa perlu untuk dilanjutkan dan ditingkatkan lagi di masa
mendatang.
Dari hasil diskusi yang dilakukan, juga tidak tertutup kemungkinan sudah adanya kerjasama
secara langsung antara lembaga litbang dengan industri tanpa melalui DRN maupun KADIN. Dalam
hal ini sebaiknya DRN secara proaktif melakukan pendataan dan pemantauan kerjasama yang
sudah terjadi. Hal ini juga bisa dijadikan bahan evaluasi dalam rangka menyusun strategi untuk
meningkatkan kerjasama antara lembaga litbang dan industri.
31
Mengingat teknologi informasi dan komunikasi terus berkembang dengan sangat pesat,
sehingga topik kegiatan yang ada perlu terus diperbaharui agar bisa mengakomodir perkembangan
teknologi tersebut. Beberapa perkembangan mutakhir di dalam negeri dan di dunia perlu mendapat
perhatian agar bisa diantisipasi dengan baik.
Diantara yang perlu mendapat perhatian serius adalah terkait dengan cyber security.
Perkembangan TIK yang sangat pesat selain berdampak positif juga menimbulkan kekhawatiran
akan dampak negatif yang bisa ditimbulkan diantaranya berupa cybercrime. Secara lebih luas
dikenal istilah cyber security yang menyangkut keamanan di dunia maya. Saat ini cyber security
menjadi perhatian yang serius bagi perusahaan-perusahaan besar di dunia dan terlihat dari
besarnya anggaran untuk cyber security yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang
jumlahnya sangat signifikan dibandingkan dengan belanja IT perusahaan.
Pada skala negara, Amerika telah meminta agar dunia mengadopsi Budapest Convention
on Cybercrime yang dikeluarkan oleh Council of Europe. Ini menjadi bagian dari kebijakan Amerika
dalam mengatur cyber space. Pada bulan Juli 2011, Departemen Pertahanan Amerika
mengumumkan bahwa cyber space setara dengan land, sea and outer space artinya setiap
penyerangan pada cyber space dapat diretaliasi pada space yang lain berupa serangan
konvensional. Di sisi lain, Rusia dan China telah mengirim surat kepada Sidang Umum PBB pada
bulan September 2011 yang lalu meminta supaya setiap negara mengelola cyber space masing-
masing dengan membuat international code of conduct untuk internet.
Penelitian dan pengembangan mengenai cyber security saat ini belum masuk dalam ARN,
tetapi perlu mendapat perhatian yang serius untuk mengantisipasi perkembangannya yang sangat
cepat.
Perkembangan lain di dunia maya adalah munculnya kebutuhan akan digital preservation
seperti bagaimana membereskan arsip-arsip digital dari orang yang sudah mati. Hal ini untuk
mengantisipasi jumlah arsip digital di dunia maya yang sangat besar seperti bisa dilihat dari sangat
besarnya jumlah video yang diupload ke youtube.
Penelitian dan pengembangan mengenai digital preservation perlu mendapat perhatian
dalam penyusunan ARN kedepan.
Dalam topik kegiatan TIK dalam ARN 2010-2014 untuk mendukung MP3EI sudah dilakukan
analisis dimana seluruh topik kegiatan dapat mendukung program utama dan kegiatan ekonomi
utama MP3EI. Dari analisis tersebut terlihat bahwa apa yang direncanakan sebagai topik kegiatan
dalam ARN sudah mengarah untuk perkembangan teknologi dan perkembangan perekonomian
bangsa.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan terkait perkembangan di dalam negeri adalah sebagai
berikut : 1) Perlu diantisipasi dampak dari implementasi e-KTP di Indonesia. Penelitian dan
pengembangan yang terkait perlu digalakkan agar e-KTP bisa dimanfaatkan secara optimal; 2) Perlu
disusun strategi untuk meningkatkan jumlah SDM di bidang TIK yang bersertifikat; 3) DRN bisa
berkontribusi mengarahkan riset-riset kedepan untuk menunjang MP3EI. Dengan demikian
diharapkan bisa meningkatkan TKDN pada proyek-proyek terkait MP3EI.
32
Gambar 16 Suasana Diskusi Komtek Teknologi Informasi dan Komunikasi
33
Dimasa depan perlu mengantisipasi pemanfaatan teknologi nir awak dan teknologi robotik
untuk mendukung kebutuhan operasi TNI di wilayah perbatasan dan daerah rawan konflik dengan
biaya yang murah.
34
(5) Program Riset Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Pengendalian Penyakit &
Penyehatan Lingkungan) melalui deteksi dini, peningkatan dan pemeliharaan kesehatan,
pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta pemulihan kesehatan.
(6) Program Riset Penguasaan Teknologi Alat Kesehatan dan Instrumen Kedokteran (Alat
Kesehatan/Kedokteran) yaitu teknologi produksi dan perawatan alat kesehatan/kedokteran
untuk mengurangi ketergantungan impor serta kemandirian operasional dan perawatannya.
Dalam rangka mendukung Sistem Inovasi Nasional (SIN), pelaksanaan program prioritas
iptek kesehatan dan obat memperhatikan pula aspek penguatan kelembagaan iptek dengan
melibatkan semua unsur kelembagaan iptek (perguruan tinggi, lembaga litbang dan badan usaha),
serta mendorong penguatan sumberdaya dan jaringan iptek.
Beberapa catatan dan masukan Komtek Kesehatan dan Obat terkait dengan revitalisasi
DRN sebagai berikut : [1] Masih terdapat ketidaksamaan persepsi terhadap posisi, peran, tugas dan
fungsi DRN, baik dikalangan masyarakat luas maupun diantara anggota DRN sendiri; [2] DRN
dinegara lain sangat kuat, sedangkan DRN Indonesia dibawah Menristek dan berdasarkan Perpres
16/2005 DRN tidak memiliki kewenangan yang kuat, hanya sebatas advisor Menristek; [3] Harapan
masyarakat dan anggota DRN bahwa lembaga ini memiliki kewenangan yang kuat, seperti AIPI
(pembentukannya berdasarkan UU). DRN seharusnya memiliki peran promotor, komunikator dan
intermediator dibidang riset dan bertanggung jawab langsung terhadap Presiden; [4] Seharusnya
kedudukan DRN berdasarkan Keppres dan langsung bertanggungjawab kepada Presiden; [5] Perlu
diperjelas pembagian tugas dan fungsi DRN dan AIPI; [6] Masukan DRN selama ini kurang atau
bahkan tidak didengar; [7] Seberapa jauh ARN dijadikan acuan oleh lembaga lain, sehingga jika
diperlukan melakukan reposisi organisasi dan evaluasi keanggotaan DRN; [8] Posisi DRN mungkin
bertambah kuat jika memiliki fungsi financing untuk kegiatan riset nasional; [9] DRN terlalu
didominasi oleh pemerintah, perlu penambahan komponen Business agar agenda riset dapat
memberikan kontribusi; [10] Ketua Komtek sebaiknya adalah Kabalitbang Kementrian terkait; [11]
Saat ini sedang disusun Sistem Riset Kesehatan Nasional, DRN mungkin perlu juga membahas
masalah ini; [12], sebelum revitalisasi DRN dijalankan perlu dibuat naskah akademis terlebih dahulu
Perkembangan ilmu psikoneuroimunologi mendekonstruksi pemahaman ini, dengan
mengatakan bahwa terdapat interrelasi antara fikiran dan kesehatan tubuh/kemampuan tubuh
menyembuhkan penyakit (mind-body medicine).
Istilah psikoneuroimunologi sendiri telah diperkenalkan sejak lama oleh Dr. Robert Ader, pada tahun
1975, yang bekerja pada divisi kedokteran prilaku dan psikososial, Universitas New York –
Rochester. Saat ini ilmu psikoneuroimunologi merupakan bidang ilmu yang mempelajari hubungan
komunikasi multi-arah diantara sistem syaraf, sistem endokrin dan sistem imun, serta implikasinya
terhadap kesehatan tubuh. Disisi lain, agama sendiri telah banyak menyinggung kondisi fikiran dan
psikis manusia yang dapat memberikan dampak yang merugikan bagi manusia, seperti sifat iri,
dengki, amarah, dan kurang bersyukur, yang perlu dihindari dengan mengembangkan perilaku
positif dan transenden. Kekayaan kearifan agama yang dapat menjadi bahan kajian bagi ilmu
psikoneuroimunologi. Perkembangan ilmu ini tentu akan memberikan sumbangan berharga bagi
ilmu kedokteran konvensional serta kurikulum pendidikannya.
Penyelarasan ARN 2010-2014 dengan MP3EI, Komtek Kesehatan dan Obat
menyelenggarakan Diksusi Terbatas dengan mengundang perwakilan dari Balitbangkes, Kemenkes,
Industri Alat Kesehatan, Industri Farmasi dan Industri Jamu. Beberapa kesimpulan yang dapat
dirumuskan antara lain :
35
1. Bidang Kesehatan tidak disebutkan dalam 8 program utama dan 22 kegiatan ekonomi (jenis
industri) utama. Dapat dikatakan Industri Kesehatan tidak tercantum dalam MP3EI: [a] Hanya ada
satu kaitan antara Industri Kesehatan dan MP3EI adalah terkait dengan Inovasi, yang dirumuskan
sebagai Inisiatif Inovasi 1-747; [b] Perlu dukungan komunitas Iptek dalam mengelaborasi lebih
jauh pilar ketiga MP3EI; [c] Bidang Kesehatan tidak terakomodir dalam MP3EI; [d] Dalam MP3EI
pembangunan dilihat sebagai output/produk, tanpa mempertimbangkan proses dan terlalu
didasarkan pada resource based policy, dan kurang pada knowledge based policy; [e] Hanya
mengadalkan dana APBN untuk pembangunan industri kesehatan berbasis inovasi pasti tidak
cukup; [f] ARN Kesehatan dan Obat 2010-2014 dan MP3EI tidak ada keterkaitan. Meskipun ada
beberapa topik riset dalam ARN yang mendukung pengembangan industri kesehatan; [g] DRN
mengusulkan ke Menko Perekonomian tentang pembangunan industri kesehatan dalam MP3EI
yang selain beroreintasi resource based economy (industri jamu), juga berorientasi knowledge
based economy (industri obat, vaksin dan instrumen kedokteran). Karena MP3EI sudah di
sahkan, maka diusulkan dalam bentuk Adendum dari dokumen MP3EI.
2. Penguatan Pilar Ketiga MP3EI Bidang Kesehatan: [a] Dana Riset perlu diupayakan mencapai 1%
GDP; [b] Jumlah S2 dan S3 dengan kompetensi yang dibutuhkan harus ditingkatkan dengan
perencanaan yang matang; [c] Program pendirian Science Park untuk bidang kesehatan dan obat
dapat mengambil pola Contract Reseach Laboratory, agar mampu berdiri sendiri dan
mengundang minat swasta untuk investasi; [d] Pemberian Double Tax (Incentive) bagi industri
yang melakukan R&D; [e] Konsistensi dalam kebijakan S&T; [f] Dalam Inisiatif 1-747 kesehatan
masuk dalam industri kebutuhan dasar. Perlu dijabarkan lebih lanjut hingga ke rencana aksi; [g]
Perlu dilakukan elaborasi strategi penguatan inovasi : inisiatif 1-747; [h]QW KIN : Vaksin (anti
diare, polio, H5N1, DPT, hepatitis), Biofarmasetik h-EPO, Farmasetik (spt, amoksisilin,
antimalaria, derivat kurkumin, akstrak flavonoid, anti osteoporosis); [i] BBO harus berbasis
biodiversity dan cultural diversity.
3. MP3EI dan SINas Bidang Kesehatan: [1] ARN 2010 – 2014 : sudah cukup mengatisipasi
kebutuhan dan perkembangan iptek kesehatan; [2] Dalam MP3EI selain kluster ekonomi
diperlukan, National Inovation System, Global Inovasion network, dan Regional Inovation
Network; [3] Ekosistem Inovasi Indonesia masih lemah, khususnya dalam pembiayaan,
kepemimpinan dan kebijakan. Hal ini tidak sejalan dengan perkembangan kultural dan
pendidikan yang mendukung perkembangan S&T; [4] President directive Y = f(C,L,T), bahwa
keberhasilan pembangunan selain ditentukan oleh cost dan labor, juga oleh penguasaan
technology; [5]Visi Presiden 2025 : swasembada pangan, obat, air bersih dan energi.
4. Hal-hal yang Perlu Dipertimbangkan: [1] World Competitiveness = [ C(asset) x C(process) ]
Internasionalisasi
; [2] New emerging markets : Asia and Latin Amerika; [3] Perlu memperhatikan evolusi
Industri farmasi nasional; [4] Regional and national healthcare cost akan terus meningkat; [5]
Health industry will plays important rolle in economy; [6] Trend : Individualized therapy (protein
based drug/proteomic/genomic): a) Prospect : Convent. Medicine, Herbal Medicine, Biotech
Product/Biologics; b) Dont reinvent the wheel : kolaborasi/aliansi dengan Cina & India, khususnya
untuk small mollecule drug; c)Fokus utama pada pada natural medicine, Biopharmaceutical,
Stem Cell, Telemedicine, Mobile and Home Health Monitoring, Nano devices.
36
5. Usulan Kegiatan Ekonomi Utama Bidang Kesehatan
No Kelompok Produk Produk Koridor Kaitan dengan SD Wilayah
1. Bahan Baku Obat
Konvensional Amoksisilin Jawa Industri Farmasi, Pusat
Artemisinin Unggulan dan SDM
Herbal Bahan baku Jawa, Sumatra, Industri dan Tanaman Obat,
simplisia dan Kalimanta, Pusat Unggulan dan SDM
ekstrak Sulawesi.
OHT dan
Fitofarmaka
Biofarmasi Vaksin Jawa Industri Biofarma
Eksipien Turunan pati Sumatra, Jawa Industri Pati, Pusat Unggulan
dan SDM
2. Kosmetika Vit dan minyak Sumatera Sawit
lemak
Poliskarida Bali dan Maluku Rumput Laut
3. Alat Kesehatan USG Jawa Industri elektronika,
Telemedisin Jawa informatika dan kesehatan
Biosensor Jawa
40
4.1.8 Sosial Kemanusiaan
Berbagai kegiatan Komisi Teknis Sosial Kemanusiaan sesuai Fokus Tugas DRN
berdasarkan Kepmen Ristek No.001/M/Kp/I/2010 yang diperbaharui oleh Kepmen Ristek No.
76/M/Kp/II/2011 telah dilakukan sejak penyusunan Agenda Riset Nasional 2010-2014, Rapat-Rapat
Komisi Teknis yang mendiskusikan berbagai topik terkait pengembangan iptek khususnya
Penguatan Sistem Inovasi Nasional, menyelenggarakan Lokakarya yang juga mengundang pakar
luar negeri seperti Prof. dr.Tony Saich dari Harvard University dan banyak hal-hal lainnya lagi.
Dalam lokakrya yang bertajuk “ Meningkatkan Daya Saing Bangsa Indonesia melalui
Transformasi Kelembagaan” beberapa butir-butir penting diskusi dapat disampaikan sebagai berikut:
• Argumen bahwa kekuatan pasar tidak akan menghasilkan hasil yang optimal dan intervensi
negara diperlukan untuk mempromosikan industrialisasi. Dengan melemahnya fondasi teoritis
dan empiris untuk solusi yang berbasis pasar, pendapat bahwa kegagalan negara selalu lebih
jelek daripada kegagalan pasar, perlu dipertimbangkan kembali oleh negara yang akan dan
sedang melakukan industrialisasi. Institusi-institusi publik yang berhubungan dengan
industrialisasi yang diprakarsai oleh negara diusulkan untuk difungsikan kembali. Pemikiran ini,
tidak sejalan dengan aliran neoklasik yang berasumsi bahwa pasar berfungsi dan mensyaratkan
peran minimal pemerintah.
• Dengan memperhatikan tingkat pembangunan yang telah dicapai dan kecenderungan yang
terjadi di tataran teori yang mendasari kebijakan industri seperti yang telah diuraikan di atas,
pilihan yang rasional dalam situasi ini adalah re-industrialisasi yang diarahkan dan
dikordinasikan oleh negara. Jika industrialisasi merupakan penyebab pertumbuhan – seperti
yang diimplikasikan oleh teori pertumbuhan – maka deindustrialisasi dapat menuju ke penurunan
pertumbuhan (‘growth slowdown’) dan keseimbangan pada tingkat pendapatan yang rendah.
Pilihan untuk melakukan industrialisasi yang dikordinasi negara, tentu saja mempunyai
konsekwensi tertentu terhadap kebijakan yang ada. Namun Indonesia harus mengupayakan
pembangunan ekonomi yang cukup untuk dapat menghasilkan kesempatan kerja dan
mengurangi kemiskinan. Untuk ini, kemajuan lebih lanjut dalam industrialisasi adalah perlu.
Berbagai tantangan mungkin akan dihadapi saat mempromosikan kembali industrialisasi sebagai
kekuatan penggerak pertumbuhan ekonomi, akan tetapi ini harus dihadapi. Jika tidak, maka tidak
ada lompatan untuk keluar dari perangkap “negara berkembang”. Dengan re-industrialisasi
berarti kita kembali menempatkan pembangunan industri sebagai cara penting dalam
memecahkan masalah ekonomi dan sosial. Artinya, memposisikan sektor ini sebagai agen
pembangunan.
• Aspek-aspek industrialisasi tidak boleh dianggap sebagai langkah-langkah yang bersifat tersendiri
(‘discrete steps’). Pabrik-pabrik dan sektor-sektor yang dibangun harus saling memperkuat.
Tahapan pembangunannya jelas dan terukur dan ada kebijakan yang konsisten di setiap
tahapannya. Ini adalah kerangka pembangunan industri yang dapat mendukung pencapaian
tujuan pembangunan ekonomi secara bekelanjutan. Jika berjalan mulus, hasilnya adalah basis
kemandirian ekonomi yang mendasar yang pada gilirannya nanti akan memperkuat ketahanan
bangsa yang kokoh dan berkelanjutan. Untuk keluar dari perangkap negara sedang berkembang
dan menjadi kuat dalam berkompetisi, konsensus yang diperlukan adalah membentuk sektor
industri Indonesia menjadi mesin pertumbuhan yang mampu mendorong pembangunan yang
berkelanjutan, melalui re-industrialisasi. Kita perlu kembali ke proses dimana ada peran
pemerintah dalam mengkoordinasi proses industrialisasi. Dengan re-industrialisasi berarti kita
kembali menempatkan pembangunan industri sebagai cara penting dalam memecahkan
41
masalah ekonomi dan sosial. Artinya, memposisikan sektor ini sebagai agen pembangunan.
Proses industrialisasi yang dikoordinasi negara memerlukan adanya kendali dari pemerintah
pusat.
• Sebuah program industrialisasi tidak hanya harus mendapatkan komitmen dari pemimpin negara
tapi juga mensyaratkan adanya keterlibatan masyarakat luas. Pemerintah lokal harus terlibat
disini. Langkah penting harus ditujukan kepada usaha untuk mendapatkan dukungan luas dari
masyarakat dan ini hanya akan diperoleh jika program jangka panjang seperti industrialisasi
memiliki legitimasi di tingkat politik yang paling tinggi, artinya ada konsensus disini.
• Undang-undang RI Nomor 17 tahun 2007 tentang RPJP (Pasal 6 ayat 1), menegaskan bahwa
RPJP Nasional adalah acuan dalam penyusunan RPJP Daerah, namun ketentuan pada ayat 2
pasal ini, memberi dasar yang kuat bagi Kepala Daerah untuk membuat RPJP Daerah sesuai
dengan visi Kepala Daerahnya masing-masing, dan RPJP Nasional cukup diperhatikan saja
(ayat 3, Pasal 6). UU ini tidak mengatur secara tegas bagaimana menyatukan visi, misi, arah,
dan tujuan RPJP Nasional dan Daerah. RPJP 2005-2025 yang ditetapkan menjadi acuan dalam
pembangunan di semua tingkatan pemerintahan, di semua sektor ini, berpotensi hanya menjadi
sebuah “ketetapan” tanpa ada wujud nyatanya di tingkat praktis.
• Keinginan untuk menyelenggarakan pembangunan nasional secara menyeluruh, bertahap, dan
berkelanjutan melalui RPJP ini akan sulit untuk diwujudkan. Sistem yang terbentuk di era
desentralisasi tidak mendukung filosofi yang menjadi dasar pengembangan rencana
pembangunan jangka panjang tersebut. Undang-undang tentang RPJP ini juga memberi ruang
untuk terjadinya “inkonsistensi” karena tidak ada saluran politik bagi RPJM Nasional yang
memuat Visi, Misi dan Program Presiden untuk mendapatkan “konsensus nasional” sebagai
Garis Besar Haluan Negara, yang dapat menjadi acuan bagi siapapun yang menjadi Presiden
RepubIik Indonesia.
Adopsi kebijakan industri sebagai strategi pembangunan harus dihubungkan dengan keputusan
politik. Strategi tersebut harus dipimpin oleh otoritas politik yang mempunyai kekuasaan penuh
sehingga mampu menempatkan kebijakan industri pada puncak kebijakan ekonomi.
4.2 Pengawalan Implementasi ARN Melalui Open Method Of Research Coordination (OMRC)
42
implementasi Agenda Riset Nasional (ARN) 2006-2009, yang mana teridentifikasi adanya gambaran
kegiatan riset yang memiliki potensi kolaborasi.
Gambar 21 Ilustrasi Potensi Kolaborasi untuk Riset dengan Topik Bio-fuel dari Kelapa Sawit
Dari Gambar di atas terlihat bahwa pada tahun 2007, ada sebelas (11) judul riset yang
terkait topik Biofuel dengan total biaya Rp. 15,2 M yang dilakukan oleh sembilan (9) lembaga yaitu;
1) Balai Penelitan Biotek LRPI, 2) Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 3) ITB, 4) LIPI, 5) BPPT, 6) PT.
Buatan Guna Indonesia, 7) Balai Besar Logam dan Mesin, 8) Balitbangda Sumatera Selatan, dan 9)
Bappeda Kalimantan Barat. Dari data yang terkumpul terlihat adanya potensi kolaborasi riset
sedangkan lembaga-lembaga tersebut melakukan penelitiannya masing-masing dan tidak
terkoordinasi. Padahal jika diperhatikan dari setiap judul penelitian, masing-masing lembaga telah
melakukan riset yang ternyata dapat memenuhi spektrum riset hulu-hilir yaitu sejak riset dengan
topik kloning gen (riset dasar) sampai dengan riset untuk perancangan pabrik biodiesel (riset hilir),
yang jika dikoordinasikan tentu dapat menghasilkan luaran yang lebih signifikan.
Mulailah terpikir untuk mencari cara agar koordinasi riset dapat terwujud agar hasil-hasil
riset dapat dituntaskan sampai tahapan konkrit dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan. Dari
literatur yang ada ternyata untuk mencapai tahap koordinasi dibutuhkan beberapa tahapan yaitu: a)
connected, saling mengetahui; b) communicated, saling berinteraksi; c) collaborated, setelah saling
kenal setuju untuk bekerjasama; dan d) coordinated, yaitu sampai tahap membuat SoP untuk
pelaksanaan kerjasama tersebut.
43
Tahapan Awal Berproses Advanced
Mengetahui Berkenalan Bertukar alamat
Connected
kontak
Berbagi Diskusi interaktif Muncul ‘trust’
Communicated
informasi
Bertukar ide/ Setuju bekerjasama Kegiatan bersama
Collaborated
alat (MoU)
Coordinated Sepakat dg SoP Evaluasi bersama Bersinergi
Gambar 22 Proses terbentuknya proses kerjasama alamiah
Tahap selanjutnya, dikembangkan rencana pembuatan database berbagai hasil riset dalam
rangka para periset saling mengetahui dan mengenal, mengacu pada OMC-Open Method of
Coordination, metode yang diadopsi dari Uni Eropa. OMC (metode koordinasi yang melibatkan
berbagai negara anggota Uni Eropa untuk suatu tujuan yang disepakati bersama), diadopsi menjadi
Open Method of Research Coordination (OMRC). OMRC merupakan upaya pelaksanaan koordinasi
yang bersifat terbuka, dimana setiap pihak yang terlibat tetap berpegang pada tugas pokok, fungsi
dan wewenang masing-masing, bersifat sukarela (voluntary) dan bertumpu pada pertukaran
(sharing) data, informasi dan pengetahuan (knowledge). OMRC dilengkapi dengan fungsi social
network dalam rangka memenuhi empat tahapan berkoordinasi seperti disebutkan di atas.
Dikembangkan software berbasis website / portal sebagai tool untuk melakukan koordinasi
dalam penyelenggaraan kegiatan penelitian dan pengembangan dengan metode OMRC. Media ini
berperan: [a] Sebagai wahana pertukaran data dan informasi antar berbagai pelaku Iptek; [b]
Sebagai arena pemantauan kegiatan-kegiatan riset yang tersebar; [c] Sebagai wahana bertemunya
pihak penghasil dan pengguna hasil riset; [d] Sebagai wahana bagi periset untuk menawarkan
teknologi yang telah dihasilkan; [e] Wahana bagi pengguna yang membutuhkan informasi
pengembangan suatu teknologi; [f] Untuk mencari dengan menindaklanjuti menjadi suatu yang
konkrit berbagai potensi kolaborasi.
Data dan informasi yang tercantum dapat menjadi acuan para pelaku Iptek untuk
mengetahui: [1] apa yang sedang dilakukan, pernah dijalankan dan bagaimana hasilnya, [2] siapa
dan dimana riset dilakukan, serta; [3] kebutuhan masyarakat /dunia usaha yang dapat dicarikan
solusinya melalui program-program riset.
Untuk memutakhirkan data (up dating data) kegiatan riset yang diperoleh pada kegiatan
pemetaan tahun 2006-2009, pada tahun 2010 dilakukan pengumpulan data dari LPK, LPNK dan
beberapa daerah terpilih antara lain Sumatera Selatan dan NTB. Data yang dikumpulkan dengan
format data sistem OMRC meliputi: lembaga, satker (satuan kerja), Kota, Propinsi, No. Telepon,
Email, Bidang Prioritas, Bidang Cross Cutting, Program, Peneliti Utama, Kegiatan ARN, Kode ARN,
Judul Riset, Abstrak, Keyword, Tujuan, Lokasi Riset, Potensi Kolaborasi, Kendala Riset, Anggaran
Riset, Sumber Dana, Sumber Daya Manusia (SDM), Infrastruktur, Mitra, Output, Outcome. Kuantitas
dan kualitas data yang terkumpul bervarisi, tetapi masih banyak data tidak lengkap atau kualitas
44
data rendah. Ketidakseragaman data yang terkumpul memperlihatkan bahwa: [1] data kegiatan riset
belum mendapat perhatian dari lembaga litbang, [2] belum adanya keseragaman data riset dari
lembaga litbang.
• Pengisian data kegiatan riset: anggota periset melakukan login pada halaman website OMRC –
DRN, dan mengisi data kegiatan riset.
• Permintaan teknologi oleh pengguna: Member (calon pengguna teknologi) mengisi data
permintaan teknologi (technology request)
• Pencarian Data Penelitian atau Permintaan Teknologi: User (seluruh jenis keanggotaan)
memasukkan kata kunci (keyword), judul, memilih kategori kelompok atau sub kelompok
teknologi, ataupun berdasarkan kriteria lainnya. Sistem akan mencari dan menampilkan link
halaman data sesuai dengan kriteria yang telah diisi atau dipilih oleh user
45
Gambar 18 Alur pengisian data kegiatan riset Gambar 19 Pengisian data permintaan teknologi
oleh anggota Periset oleh anggota Pengguna Hasil Riset
• Keunggulan OMRC
Manfaat yang diperoleh adalah: [a] untuk mencapai tujuan bersama baik untuk
menindaklanjuti suatu potensi kolaborasi antar para periset maupun antara periset dengan
pengguna, [b] pada area kebijakan yang masih memerlukan konsensus bersama, [c] dalam rangka
pembelajaran dan adopsi praktik terbaik.
OMRC juga dapat menjadi sarana pembelajaran kolektif (collective learning) sehingga riset yang
dilakukan secara terkoordinasi/ kolaborasi riset dapat menghasilkan berbagai produk inovasi
teknologi dan kompetensi yang mampu berkontribusi pada kegiatan perekonomian nasional dan
kesejahteraan masyarakat.
46
Karena karakter OMRC yang bersifat sukarela, baik dalam keanggotaan, kuantitas dan
kualitas data riset, pelaksanaan diskusi online, maupun pemanfaatan OMRC sendiri; maka
diperlukan penyebarluasan dan sosialiasi OMRC ke para pemangku kepentingan iptek nasional.
Untuk itu, dalam setiap forum atau pertemuan DRN dengan para pemangku kepentingan iptek selalu
disosialisasikan sistem informasi OMRC.
Hal-hal yang harus diperhatikan demi keberhasilan OMRC:
1. Partisipasi stakeholders; sangat penting dalam pembaruan data dan keberlanjutan sistem,
identifikasi/pendataan instrumen kebijakan iptek, adopsi praktik terbaik, pemanfaatan wahana
komunikasi terbuka.
2. Internet portal merupakan salah satu sarana koordinasi, walaupun demikian tetap diperlukan
koordinasi konvensional lainnya misalnya diskusi (komunikasi offline), workshop, dan lain-lain.
• Sosialisasi OMRC
Dalam rangka menyosialisasikan gagasan pengembangan OMRC dan upaya menarik
minat periset dan pemangku kepentingan iptek lainnya di daerah dilakukan beberapa kunjungan ke
daerah, antara lain:
1. Palembang, 31 Mei 2011, Sosialisasi OMRC di Sumatera Selatan.
2. Surabaya, 6 Juni 2011, Pengembangan Instrumen Koordinasi Riset
3. Semarang, 10 Juni 2011, Sosialisasi OMRC di Balitbang Prov Jawa Tengan
4. Palangkaraya, 22 Juni 2011, Pengembangan Instrumen Koordinasi Riset
5. Makassar, 27 Juni 2011, Pengembangan Instrumen Koordinasi Riset sebagai upaya
Pengembangan Iptek
6. Kupang, 22 Juli 2011, Pengembangan Instrumen Koordinasi Riset sebagai Bagian Upaya
Pengembangan Iptek
47
3. Permasalahan besar yang dihadapi para periset untuk mendapatkan produk obat antikanker
dalam bentuk fitofarmaka (obat yang telah terbukti secara preklinis dan klinis), adalah: (i)
lamanya waktu yang dibutuhkan (lebih dari 30 tahun), (ii) resiko gagal yang cukup tinggi, dan (iii)
biaya yang besar. Permasalahan lain yang ada selama ini adalah masih belum membudayanya
peneliti melindungi hasil risetnya (mematenkan), dan bahkan banyak hasil riset luar negeri yang
telah mematenkan produk-produk asal Indonesia dan bahkan telah memasarkannya (contoh
curcumin / kunyit untuk obat peningkatan daya ingat).
4. Disarankan, riset obat herbal antikanker lebih difokuskan untuk pengobatan paliatif (perawatan
kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh/ holistik untuk meningkatkan kualitas
hidup penderita kanker) dimana produk herbal yang diproduksi berfungsi sebagai ajuvan,
meningkatkan daya tahan/ immunitas dan atau nutraseutikal, dari pada untuk untuk
memproduksi obat kanker / fitofarmaka.
5. Pengembangan obat herbal di Indonesia terkesan lambat oleh karena berbagai peraturan
standardisasi pemerintah (BPOM), sementara itu membiarkan produk-produk herbal luar negeri
terus membanjiri pasar domestik. Sementara itu, peran pengawasan BPOM memang hanya
terfokus terhadap produk-produk dalam negeri.
6. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan herbal antikanker (BPOM): (i) Ketersedian
bahan baku dan kelanjutannya / kelestariannya, (ii) Standardisasi bahan uji, (iii) Kemanfaatan
lebih besar daripada toksik, (iv) Riwayat penggunaan secara tradisional, (v) Kombinasi herbal,
dan (vi) Perlindungan terhadap subjek.
7. Dalam melaksanakan riset, ternyata kerjasama para peneliti dengan industri sudah dilakukan,
misalnya BPPT dengan RS Kanker Dharmais, PT Jamu Jago, PT Nyonya Meneer, UI dengan
PT Nyonya Meneer. Meskipun demikian kerjasama dan koordinasi perlu terus ditingkatkan.
8. Untuk mendukung riset obat herbal antikanker, forum merekomendasikan sebagai berikut:
(i) pengembangan database yang terkait dengan obat herbal dari hulu (tanaman) hingga hilir
(produk),
(ii) strategi arah riset jangka pendek/ menengah yaitu riset yang memberikan dukungan ilmiah
pada jamu yang secara imperis telah digunakan,
(iii) dukungan pemerintah untuk insentif dan kebijakan arah penelitian, kebijakan untuk
mendorong produk dalam negeri yang merupakan hasil riset anak bangsa,
(iv) fasilitas riset secara terpadu, dimana dapat memfasilitasi kegiatan riset dari hulu ke hilir
(v) dengan semaraknya riset obat herbal antikanker, perlu dideklarasikan tahun kebangkitan
obat herbal antikanker,
(vi) OMRC dapat terus dikembangkan sebagai pusat database yang prestigious seperti Scopus,
PubMed atau Science Direct versi Indonesia yang sekaligus berperan sebagai intermediasi
untuk kolaborasi.
48
Gambar 22 Diskusi Obat Herbal Antikanker
Diharapkan forum komunitas obat herbal antikanker ini dapat lebih sering berkomunikasi agar
harapan-harapan seperti yang menjadi hasil rekomendasi diskusi dapat terlaksana.
• Keberlanjutan OMRC
Untuk keberlanjutan sistem informasi OMRC, diperlukan pengembangan kelembagaan
khususnya dalam rangka pengelolaan data dan informasinya. Sebagai bahan pertimbangan,
disampaikan usulan struktur manajemen pengelolaan OMRC sebagai berikut:
49
misalnya IPTEKnet. Dalam kerjasama tersebut, aspek administrasi (Perencanaan, Keuangan,
Sosialisasi, Promosi), Helpdesk dan Konten Informasi tetap ditangani oleh DRN, sedangkan yang di
serahkan pengelolaannya pada pihak lain adalah pengelolaan perangkat keras dan perangkat lunak.
Agar dapat memperkaya konten OMRC, perlu dipertimbangkan untuk melakukan
kerjasama dengan pengelola situs web yang mengumpulkan data iptek seperti Potensi, Garuda
sehingga dapat dilakukan pertukaran data diantara situs-situs tersebut secara otomatis dan cepat.
Mengingat bahwa sumber dana negara untuk alokasi biaya pengelolaan situs web pada
umumnya sangat terbatas, maka patut dipertimbangkan untuk mengusahakan sumber dana lain,
misalnya adalah dengan menjadikan industri sebagai sponsor.
4.3 Koordinasi Kemitraan Riset Antar Lembaga Tingkat Nasional: Kemitraan DRN-DRD
Lembaga yang menjadi mitra bestari dari DRN dalam pengembangan iptek adalah Dewan
Riset Daerah (DRD). DRD dibentuk oleh Pemerintah Daerah dengan tugas memberikan masukan
kebijakan yang berkiatan dengan pengembangan iptek di daerah seperti yang tercantum dalam
Pasal 20 UU No 18 Tahun 2002. Karena mempunyai tugas yang sama, dan dengan memperhatikan
UU No 32 Tahun 2004, maka hubungan DRN dan DRD adalah berbentuk kemitraan koordinatif
fungsional.
Sejak terbitnya UU 18/2002 sampai akhir tahun 2011, ada 26 Provinsi telah membentuk
Dewan Riset Daerah (DRD). Ada beberapa Provinsi yang belum membentuk, terutama Provinsi
pemekaran, antara lain: NAD, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, Maluku Utara,
Paupu Barat dan Bali. Provinsi Bali saat ini memiliki lembaga yang mempunyai tugas seperti DRD.
Gambar 24 Lokakarya Penguatan Hubungan Kemitraan DRN dan DRD 14 Desember 2010
Dalam rangka mencari bentuk kemitraan DRN-DRD yang terbaik, dilakukan beberapa lokakarya
yang mengundang DRD dan Balitbang dari berbagai daerah yang dilaksanakan pada 14 Desember
2010, dan 15 Juni 2011.
Sebagai hasil dari beberapa lokakarya,disepakati beberapa hal sebagai berikut:
1) Permasalahan DRD di Daerah: [a] eksistensi kelembagaan badan litbang, akibat beberapa
peraturan, peranan lembaga litbang menjadi mengambang, [b] Lembaga Non Struktural kurang
mendapat perhatian; persoalan utama di daerah adalah yang selalu dibicarakan adalah
persoalan struktural, sehingga lembaga-lembaga non struktural seperti DRD menjadi lemah; [c]
Iptek-Riset-Inovasi dianggap hanya tugas Perguruan Tinggi; [d] wadah dalam struktur organisasi
terlalu ketat / kaku, terutama berkaitan PP 41 Th. 2007 tentang organisasi perangkat daerah,
dimana banyak lembaga litbang yang ditarik ke Bappeda. Sehingga akan tidak mudah adanya
50
koordinasi antara Bappeda dan DRD. Kemudian, saat ini struktur juga terlalu runcing; [e] UU No.
18 Th. 2002 belum dijadikan acuan dalam penyusunan kelembagaan daerah.
2) Peluang untuk memantapkan Posisi DRD :[a] inovasi dan pengembangan Iptek bersifat lintas
sektor, sehingga dapat masuk melalui sektor terkait dalam diseminasi iptek; [b] pembangunan
iptek adalah wajib, sehingga harus masuk ke dalam Renstrada; [c] Kemenristek adalah pembina
pengembangan iptek di daerah, sehingga DRD dapat menjadi mediator; sebaiknya dikeluarkan
PP tentang pengembangan iptek dengan mencantumkan litbang dan DRD sebagai pelaku
utama.
3) Fungsi DRN dan DRD sebenarnya adalah sebagai Fasilitator, Intermediator dan Regulator.
Ketiga Fungsi ini harus semakin diperkuat terutama dalam Regulasi.
4) Diperlukan adanya penegasan koordinasi antara DRN dan DRD. Terdapat hubungan-hubungan
koordinasi DRN-DRD, antara lain: [a] hubungan fungsional yaitu DRN melakukan kemitraan
dengan DRD, sehingga DRD dapat bekerja secara profesional, [b] hubungan program yaitu DRN
mensosialisasikan dan mendorong agar DRD mengacu prioritas-prioritas riset yang tercantum
dalam Agenda Riset Nasional (ARN).
5) Adanya usulan dari DRD-DRD dan para mitra DRD (Balitbang, Bappeda) untuk membentuk
suatu Forum Dewan Riset di Indonesia. Forum ini dibentuk dengan tujuan untuk memperkuat
jejaring / kemitraan institusi Dewan Riset, baik Dewan Riset Nasional (DRN) di tingkat nasional,
maupun DRD Provinsi dan DRD Kabupaten / Kota di tingkat daerah berdasarkan tugas, fungsi
dan perannya dalam peningkatkan iptek nasional. Dalam forum ini dapat dilakukan komunikasi,
koordinasi dan sharing pengalaman antara Dewan-Dewan Riset dan para mitranya di Indonesia.
Untuk meningkatkan kemitraan DRN –DRD dalam penguatan sistem inovasi, direncanakan
lokakarya pada 14 Desember 2011 dengan tema “Integrasi Sistem Inovasi Daerah dalam Dokumen
Perencanaan Pembangunan Daerah”
Beberapa kegiatan kemitraan DRN-DRD antara lain berupa kunjungan DRN ke forum /
acara yang diadakan oleh DRD yang diharapkan dapat merupakan sarana dalam penguatan jejaring
DRN DRD, seperti:
• DRN menghadiri pelantikan DRD Provinsi Banten, DRD Sumatera Barat, DRD Riau, DRD
Sumatera Utara, dan DRD Kota Palangkaraya sekaligus memberikan informasi hal
kelembagaan iptek baik pusat maupun daerah, dan pengelolaan DRN sebagai pembelanjaran
bagi DRD.
• Berkomunikasi dengan Bappeda Provinsi Lampung untuk mengetahui perkembangan terkini
DRD Lampung dan mengikuti lokakarya yang diselenggarakan untuk itu.
• Dilakukan penjajakan juga untuk pembentukan DRD Provinsi Bangka Belitung
• Kerjasama antara DRN dan DRD Sumatera Selatan dan DRD NTB dalam pengumpulan data
riset yang akan masuk dalam database OMRC DRN.
• Adanya kunjungan Bappeda Jawa Barat ke DRN untuk melakukan diskusi hal pemberdayaan
DRD Jabar.
• Mengikuti diskusi yang berlangsung di Bappeda DKI antara DRD DKI dan DRN untuk
selanjutnya dalam suatu forum DRN Ketua DRD DKI menjadi narasumber.
• Melakukan komunikasi dengan DRD Jawa Tengah yang sudah berlangsung lama dan baik,
dimana DRD Provinsi Jateng beberapa kali diajukan menjadi acuan untuk studi banding bagi
daerah yang mempunyai DRD baru.
51
• Pembentukan DRD DIY pada tahun 2010, diawali dengan kunjungan Ketua DRN ke Pemerintah
Provinsi DIY.
• Mengikuti diskusi yang dilakukan di Bappeda Kabupaten Sleman
• DRN diundang oleh DRD Kota Malang untuk menghadiri pelantikan dan memberikan informasi
hal kelembagaan iptek. Dilanjutkan dengan kunjungan ke DRD Jawa Timur .
• Jalinan DRN dan DRD Kalimantan Timur tetap terjaga dengan saling tukar fikiran dan
menyelenggarakan lokakarya dengan topik tentang daerah perbatasan.
• Bappeda Provinsi Sulawesi Utara berkunjung ke DRN dalam rangka membahas permasalahan
DRD Sulut.
• DRD Sulawesi Tengah diundang hadir dalam forum perkelapaan yang diselenggarakan Komtek
Sains Dasar, karena dikenal sebagai provinsi penghasil kelapa.
• Kunjungan Sekretaris DRN ke Maluku dalam rangka pembentukan DRD, yang menghasilkan
pembentukan DRD Maluku yang dimotori sendiri oleh Wakil Gubernur Maluku.
• Kunjungan Ketua DRN ke Sumatera Utara dalam rangka menghadiri pameran hasil-hasil
kerjasama DRD Sumut dengan Balitbangda Sumut.
Gambar 25 Kunjungan Dewan Riset Daerah (DRD) ke Dewan Riset Nasional (DRN)
4.4 Koordinasi Kemitraan Kegiatan Riset Antar Lembaga Tingkat Nasional: Dewan Pupuk
Indonesia - DPI
Pada 17 Maret 2009 dilaksanakan nota kesepahaman antara DRN dengan DPI (Dewan
Pupuk Indonesia (DPI) adalah untuk pengembangan kebijakan pemanfaatan program dalam rangka
peningkatan pendayagunaan sumberdaya alam sebagai bahan baku pupuk dan energy yang ramah
lingkungan. DPI merupakan organisasi independen yang bersifat nirlaba, dan berperan sebagai
mitra strategis pemerintah dalam mengoptimalkan peran industri pupuk di Indonesia, dalam
mendukung ketahanan pangan maupun pembangunan nasional.
Nota Kesepahaman tersebut diharapkan juga mencakup LPNK di lingkungan Kementerian
Riset dan Teknologi, menggaris bawahi kerjasama dalam hal sosialisasi dan diseminasi produk
litbang dan teknologi yang terkait dengan bidang pertanian dan ketahanan pangan, khususnya
bidang pupuk dan pemupukan. Disamping itu, kerjasama dilakukan dalam hal perumusan program
riset, pengkajian, dan perekayasaan dalam pengembangan teknologi perpupukan, ketahanan
pangan dan pengembangan energi baru dan terbarukan. Menteri Negara Riset dan Teknologi waktu
itu, menyampaikan dukungannya atas nota kesepahaman ini.
Sebagai tindaklanjut dari Nota Kesepahaman ini telah dilakukan rapat di kantor DPI pada
52
tanggal 24 April 2009, dimana disepakati untuk memanfaatkan dana Program Insentif Riset dari KRT
guna mendukung implemntasinya.
54
Gambar. 26 Halaman iBoP Asia dalam Gambar. 27 Brosur iBoP Indonesia
website www.drn.go.id
Rencana Program iBoP tahap II merupakan kelanjutan dengan mengambil pelajaran dan
pengalaman dari iBoP tahap I (2008-2011). Keterlibatan DRN antara lain mengikuti workshop
Persiapan Tahap ke-2 di Manila 26 April 2011
55
Gambar. 26 Forum Inovasi iBoP Asia 3 Gambar. 27 Workshop 27 Oktober 2010 di
Maret 2010 di Jakarta Manila
Dalam rangka melaksanakan fokus tugas penegakan norma riset ilmiah, DRN melalui
Ketua dan beberapa anggota DRN terlibat aktif dalam memberikan rekomendasi kriteria seleksi baik
berkaitan dengan substansi kriteria maupun kontribusi kriteria dalam kelulusan; serta memberikan
saran Penilaian dan wahana komunikasi bagi Tim Penilai Program Insentif Riset Kementerian Riset
dan Teknologi.
DRN juga menjadi Tim Penilai dalam proses akreditasi Komite Nasional Akreditasi Pranata
Penellitian dan Pengembangan (KNAPPP) yang menilai kesesuaian suatu laboratorium dari segi
peralatan dan pengorganisasian. DRN juga terlibat dalam seleksi terhadap proposal riset
Kementerian Riset dan Teknologi yang merupakan kerjasama dengan luar negeri, antara lain
dengan Belanda, Jerman, Perancis.
Dalam pengusulan penganugerahan iptek, DRN melalui Ketua dan beberapa anggota DRN
diundang sebagai Tim Juri dalam seleksi calon penerima anugerah iptek, baik yang diberikan oleh
Kementerian Riset dan Teknologi maupun lembaga iptek lainnya. Untuk tugas penganugerahan
iptek di lingkungan KRT, diawali dengan mempelajari dan mencermati portofolio dari calon yang
dapat meliputi prestasi dalam inovasi termasuk produk yang dikreasikan. Sebagai Tim Juri juga
melakukan site visit terhadap nominator penerima anugerah, antara lain (Bali dan Palembang).
Penganugerahan iptek dilakukan untuk memberikan apresiasi terhadap para pemangku kepentingan
56
yang telah berhasil dalam mengembangkan budaya inovasi. Kementerian Riset dan Teknologi
memberikan: [1] Anugerah Iptek Prayogasala (Pranata Litbang), [2] Anugerah Iptek Labdhakretya
(Kreativitas dan Inovasi),[3] Anugerah Iptek Budhipura (Pemerintah Kabupaten/Kota), [4] Anugerah
Iptek Widyasilpawijana (Peneliti dan Perekayasa), [5] Anugerah Iptek Widyamaheswara (Tokoh
Panutan Iptek). Anugerah diberikan untuk menghargai keberhasilan dalam berkreasi dan berinovasi,
agar tumbuh kembangnya budaya masyarakat yang kondusif bagi pertumbuhan Sistem Inovasi
Nasional. Budaya yang dimaksud mencerminkan nilai-nilai iptek yang obyektif, rasional, maju,
unggul dan mandiri.
Selain itu, pada tahun 2011, DRN mengusulkan kepada Kementerian Riset Teknologi untuk
mempertimbangkan Dr. Surono (Anggota Komisi Teknis Sains Dasar) sebagai calon penerima
Anugerah Iptek Widyamaheswara, karena kepakaran dan keterlibatan yang bersangkutan yang
sangat intensif dalam berbagai kejadian bencana gunung berapi sehingga sebagai salah satu
contoh, dapat meminimalisasi korban bencana gunung Merapi di Yogyakarta; melalui pendekatan
early warning system.
VI KAJIAN DRN
57
Gambar 28 Buku – Buku yang diterbitkan DRN 2009-2011
Secara ringkas isi dari buku hasil kajian tersebut di atas sebagai berikut:
Lima tantangan dan kecenderungan universal (globalisasi, kemajuan iptek, ekonomi
berbasis pengetahuan, ekonomi jaringan, dan faktor lokal-lokasional) akan terus berkembang secara
dinamis. Kelima hal tersebut beserta konteks spesifik nasional dan daerah di Indonesia semakin
menuntut adanya kemitraan yang efektif antar berbagai pihak dalam penguatan sistem inovasi di
Indonesia. Dalam mendukung kesuksesan pembangunan sistem inovasi, harus terjalin adanya
keterkaitan (linkages), kemitraan (partnership), jaringan (networking) dan interaksi serta sinergi
positif.
Penguatan sistem inovasi sangatlah penting dalam meningkatkan daya saing. Salah satu
ukuran daya saing yang dinilai sangat penting adalah produktivitas. Produktivitas juga
mengindikasikan hubungan antara input dengan output, pengaruh “teknologi” terhadap
perkembangan ekonomi, dan sangat penting dalam upaya meningkatkan standar hidup
(kesejahteraan rakyat). Perkembangan inovasi sangatlah menentukan pertumbuhan produktivitas,
baik pada tataran mikro, meso, maupun makro.
Kemitraan iptek sebagai salah satu bentuk aliansi strategis sangat menentukan
perkembangan sistem inovasi. Untuk dapat mencapai kemajuan dan perkembangan sistem inovasi
sesuai dengan pencapaian tujuan pembangunan, maka pengembangan kemitraan iptek harus
didorong agar sistem inovasi semakin adaptif terhadap dinamika perubahan yang berkembang .
Dalam rangka memperkuat kemitraan iptek tersebut, diperlukan strategi yang dirumuskan
atas dasar prinsip-prinsip kemitraan iptek, baik prinsip dasar kemitraan, prinsip bersama dalam
kemitraan, prinsip bagi setiap pihak yang bermitra, maupun prinsip bagi pihak pemerintah. Strategi
itu selanjutnya dapat dipakai sebagai kesepakatan/konsensus acuan bagi para pemangku
kepentingan yang hendak menjalin kemitraan. Suatu kemitraan dalam suatu jaringan pada dasarnya
bersifat dinamis dan adaptif, di mana jaringan ini dapat selalu berkembang seiring dengan
berjalannya waktu.
58
Mengembangkan diri atas
hasil/prestasi yang diperoleh
Mengelola/mengembangkan kekayaan
Menerapkan hasil
intelektual yang efektif
Hasil kajian dengan topik Kemitraan dalam Sistem Inovasi Nasional menyimpulkan antara lain:
• Pada prinsipnya, keberhasilan suatu kemitraan akan ditentukan oleh beberapa faktor kunci
keberhasilan, yaitu: [1] potensi nilai yang diperoleh dari bermitra, [2] rasa saling percaya di antara
pihak yang bermitra, [3] niat baik (good will), komunikasi yang efektif dan komitmen yang tinggi,
[4] sumber daya, kapabilitas/keterampilan, dan manajemen yang tepat, [5] insentif yang memadai
dan komitmen dari manajemen puncak, [6]iklim (termasuk kebijakan pemerintah dan organisasi
para mitra) dan budaya organisasi yang mendukung.
• Koordinasi dalam kemitraan ini juga harus didukung oleh adanya kebijakan yang efektif, baik dari
pemerintah pusat maupun daerah, dalam rangka mewujudkan sistem inovasi nasional dan
daerah yang kuat dan adaptif.
• Hubungan sinergis antara pemerintah pusat dan daerah juga harus terus ditingkatkan dalam
pengembangan kemitraan iptek dalam kerangka penguatan sistem inovasi di Indonesia.
Penguatan sistem inovasi nasional (SINas) tidak dapat dilepaskan dari urgensi penguatan sistem
inovasi daerah (SIDa) dan sistem inovasi tekno-industri, karena SIDa dan sistem inovasi tekno-
industri merupakan bagian integral dari SINas. Salah satu pijakan penting dalam kaitan ini adalah
kesepakatan, komitmen dan konsistensi dalam mengimplementasikan kerangka kebijakan
inovasi, sebagai acuan bersama untuk diadaptasi dan diimplementasikan oleh pemerintah (pusat
maupun daerah) dan para pemangku kepentingan lainnya.
• Adanya kemitraan sinergis dalam penguatan sistem inovasi dari semua pihak yang
berkepentingan, maka proses evolutif penguatan SIDa, sistem inovasi tekno-industri dan SINas
diharapkan dapat dipercepat dan berhasil dengan baik. Percepatan tersebut dapat dilakukan
59
apabila upaya penguatan sistem inovasi beserta pengembangan kemitraan menjadi suatu
gerakan pembangunan di Indonesia .
Berdasarkan hasil studi ini, faktor-faktor yang sangat mempengaruhi (mendorong) terjadinya
jejaring antara lembaga (baik pusat maupun daerah) adalah sebagai berikut : [1] program bersama,
[2] dokumen acuan bersama, [3] biaya kerjasama, [4] kontinuitas pelaksanaan program. [5] informasi
kemampuan teknologi. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat terjadinya jejaring antar lembaga
riset di pusat dan daerah antara lain : [1] tidak adanya atau kurangnya sarana untuk forum
koordinasi antar elemen iptek; [2] tidak adanya program riset bersama di daerah; [3] tidak adanya
program riset bersama antar pusat dan daerah.
Untuk terjadinya jejaring diperlukan adanya beberapa syarat, yakni : [1] adanya dokumen
pelaksananaan riset yang disusun serta disepakati dan diacu oleh seluruh elemen iptek nasional.
Dokumen tersebut, secara formal bisa berupa ARN; [2] ARN tersebut merupakan sebuah dokumen
resmi negara yang disusun di bawah koordinasi Kementerian Negara yang bertanggungjawab
mengembangkan iptek dan inovasi; [3] isi dari ARN tersebut berupa program-program payung yang
melibatkan berbagai aspek riset bagi program prioritas nasional yang telah ditentukan; [4] untuk
60
setiap program payung, dibuat program insentif kompetitif dengan proposal yang dibuat oleh para
peneliti secara lintas instansi pusat dan daerah; [5] proposal program tersebut berlaku multi years
dengan batas waktu maksimal ditentukan oleh pemerintah; [6] untuk pelaksanaan riset antar
lembaga di daerah dapat dibuat analog dengan model nasional, dalam lingkup daerah.
Untuk menjalankan syarat tersebut, terlebih dahulu harus ditetapkan dan disepakati visi
nasional, yang akan menjadi pengikat yang kuat bagi tujuan pembangunan, baik di pusat maupun di
daerah. Dengan adanya visi nasional yang jelas, ARN dan ARD akan menjadi faktor yang sangat
menentukan bagi terjadinya proses jejaring antar lembaga riset, baik di pusat maupun di daerah.
62
Gambar 31 Skema relasi terkait perubahan iklim
Persoalan perubahan iklim sebenarnya adalah persoalan perilaku manusia sehari-hari
dalam beraktivitas, termasuk didalamnya perilaku manusia dalam penggunaan teknologi.
Penggunaan teknologi sangat dibutuhkan demi kelancaran aktivitas tersebut seperti kendaraan
bermotor, penggunaan perlatan elektronik yang membutuhkan energy listrik.
Tantangan terbesar dalam menyikapi persoalan perubahan iklim adalah bagaimana
merubah perilaku masyarakat melalui iptek. Salah satu sektor yang memberikan kontribusi terbesar
terhadap perubahan iklim adalah energi, baik itu transportasi, industri maupun rumah tangga.
Sektor energi sebaiknya menjadi leading sector dalam mitigasi terhadap perubahan iklim
karena emisi dari pembakaran energi fosil dituding menjadi salah satu sebab utama terjadinya
pemanasan global. Riset tentang energi terbarukan menjad sangat penting dalam hal ini. Untuk
sektor-sektor lainnya, terutama pada sektor-sektor yang menggunakan energi fosil, dilakukan riset
pengembangan dan/atau modifikasi teknologi yang digunakan oleh industri dan masyarakat saat ini
mengikuti sektor energi. Hal ini sekaligus melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Untuk sektor pertanian dan kelautan serta perikanan yang lebih merasakan dampak
terhadap perubahan iklim perlu dilakukan penelitian terhadap bagaimana petani dan nelayan dapat
beradaptasi terhadap perubahan iklim secara lebih intensif lagi. Begitu pula dengan infrastuktur fisik,
apakah ada pengaruh dari perubahan iklim.
Selain itu juga perlu dilakukan pengembangan iptek untuk pemantauan lingkungan,
termasuk cuaca, di Indonesia, mengingat pemantauan terhadap kondisi lingkungan di Indonesia
sangat lemah karena salah satunya adalah keterbatasan teknologi.
6.5 Interaksi Peneliti dan Industri dalam Rangka Implementasi Hasil Riset
Secara ringkas isi dari buku hasil kajian tersebut di atas sebagai berikut:
Penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas) membutuhkan beberapa aspek dasar. Salah
satunya adalah komunikasi dan interaksi yang efektif di antara elemen-elemen SINas. Pemerintah,
pelaku bisnis dan akademisi merupakan tiga elemen penting dalam kesinambungan SINas. Interaksi
dan komunikasi baik antara periset dengan pengguna hasil riset/industri maupun antar periset
tersebut masih sangat minim, yang dapat mengakibatkan tidak terciptanya aliran informasi sebagai
pencetus munculnya inovasi baru.
63
Kendala dalam berkomunikasi yang terjadi merupakan akibat dari berbagai situasi antar
lain: [1] masing-masing komponen inovasi yaitu lembaga penelitian maupun pengguna hasil
mempunyai “bahasa” yang sulit dimengerti oleh pihak lainnya, misalnya akademisi menggunakan
bahasa ilmiah sedangkan praktisi menggunakan bahasa praktis. Selain itu komponen kerja dalam
triple-helix yaitu pemerintah menggunakan bahasa birokratis yang tidak mudah direalisasikan baik
dari segi praktis maupun penelitian ilmiah; [2] adanya proses kelitbangan yang cukup rumit,
misalnya industri biasanya langsung ingin berhubungan dengan periset, sementara lembaga
penelitian biasanya diwakili oleh pihak manajer; [3] dukungan pemerintah terhadap lembaga
intermediasi masih kurang juga kurangnya insentif yang kondusif dalam mengelola proses inovasi,
kurangnya arahan bidang riset yang tegas dan fokus, serta kebijakan-kebijakan pendukung lainnya.
Upaya mencapai koordinasi yang baik antar para periset maupun antara periset –
pengguna hasil riset perlu diperkuat dengan pembentukan unit / lembaga yang mengelola hal
tersebut baik di tingkat lokal / unit maupun untuk tingkat yang lebih luas yang dikenal sebagai
lembaga intermediasi. Unit / Lembaga tersebut dapat mengusahakan kegiatan intermediasi dengan
2 cara yaitu : [1] intermediasi On-line : menyediakan sarana yang merupakan kegiatan pengenalan
hasil – hasil inovasi antara periset melalui media (website) walaupun melalui media lainnya seperti
majalah dan lain – lain; [2] intermediasi Off-line : melalui roadshow untuk menjaring investor dan
calon pengguna hasil riset.
Untuk itu dalam rangka meningkatkan interaksi periset dengan industri maupun antar para
periset, perlu dikembangkan suatu instrumen yang dapat menjadi dasar suatu kerjasama yang
dimulai dari pertukaran informasi. Saat ini sedang dikembangkan oleh Dewan Riset Nasional (DRN)
instrumen yang dimaksud yang dikenal sebagai Open Method of Research Coordination/OMRC
(Metode Koordinasi Riset Terbuka). OMRC mengandung 3 atribut yaitu : a) materi / informasi yang
dipertukarkan, b) cara berkoordinasi (karena secara berkala informasi yang ada akan dianalisis oleh
Tim yang disiapkan untuk dapat menentukan tahapan dan cara koordinasi yang terbaik untuk setiap
topik yang akan dilaksanakan), dan c) tata cara koordinasi dan kolaborasi yaitu antara lain prosedur,
komitmen, hubungan antar lembaga.
Selain itu dibutuhkan strategi pencapaian yang meliputi : [1] perlunya reformasi birokrasi
untuk perencanaan yang sifatnya nasional yang memperhatikan aspek interaksi dan komunikasi
diiringi komitmen yang kuat dari pemerintah untuk secara berkelanjutan mendukung interaksi yang
terjadi serta tindaklanjutnya; [2] perlunya arahan bidang riset yang fokus dan tegas serta konsisten
dilaksanakan secara bertahap dari pemerintah tentang bidang – bidang riset yang diprioritaskan
untuk kemudian diikuti perencanaan sinergis antara para periset dan pengguna; [3] perlunya
disiapkan mekanisme komunikasi secara nasional (yang juga melibatkan daerah) yang
mengarahkan kegiatan – kegiatan riset; [4] perlunya kebijakan – kebijakan pendukung seperti pada
aspek fiskal dan pendidikan yang dilaksanakan secara bertahap dan konsisten; [5] perlu komitmen
pendanaan yang sesuai baik dari pemerintah maupun pihak industri sampai suatu rencana dan
kerjasama riset menghasilkan suatu produk yang berdaya saing terwujud.
6.6 Peran Dewan Riset Daerah (DRD) dalam Penguatan Sistem Inovasi
Secara ringkas isi dari buku hasil kajian tersebut di atas sebagai berikut:
Kementerian Riset dan Teknologi, sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis
(Renstra) Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek) 2010-2014, mempunyai arah kebijakan dalam
menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitasi, dan menciptakan iklim yang
64
kondusif. Tujuan akhir dari arah kebijakan ini disesuaikan dengan tema besar yaitu Penguatan
SINas dan SIDa. Oleh karena itu, SINas dan SIDa dapat diwujudkan melalui beberapa hal, antara
lain: [1] Kelembagaan iptek yang efektif, [2] Sumberdaya iptek yang kuat, [3] Jaringan antar
kelembagaan iptek yang saling memperkuat (mutualistik), [4] Relevansi dan produktivitas iptek yang
tinggi, dan [5] Pendayagunaan iptek yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kelima faktor penguatan SIDa dan SINas tersebut tentunya tidak terlepas dari peran
Dewan Riset dalam memberikan arahan tentang prioritas riset di tingkat nasional dan tingkat daerah
(provinsi dan kabupaten / kota). Arahan ini diterjemahkan dalam bentuk penelitian-penelitian oleh
institusi-institusi yang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Keberadaan lembaga Dewan Riset di Indonesia di tingkat nasional, yaitu Dewan Riset Nasional
(DRN), menuntut terbentuknya jaringan iptek yang semakin luas dan kompleks dan dapat berperan
lebih besar dalam rangka mewujudkan iptek sebagai pendukung perkembangan perekonomian,
peningkatan daya saing dan kemajuan peradaban bangsa.
Di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten / kota), terdapat lembaga Dewan Riset Daerah
(DRD). Berdasarkan Undang-Undang No 18 tahun 2002, tugas pokok DRD ada tiga hal yaitu: [a]
memberikan masukan kepada Pemerintah daerah untuk menyusun arah, prioritas, serta kerangka
kebijakan Pemerintah daerah di bidang iptek;[b] mendukung Pemerintah daerah melakukan
koordinasi di bidang iptek dengan daerah-daerah lain; [c] mewakili daerah di DRN ( Perpres No
16/2005 tentang DRN ). Belum semua DRD menjalankan ketiga amanat di atas. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah mekanisme penyelenggaraan masing-
masing DRD yang berimbas kepada pola hubungan DRD tersebut dengan mitra-mitranya termasuk
dengan DRN. Di sisi lain, adanya faktor kepemimpinan yang mempengaruhi kinerja suatu DRD
dalam hal mekanisme penyelenggaraan DRD dan pola hubungan DRD dengan mitra-mitra
strategisnya di daerah masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan adanya arahan mekanisme
penyelenggaraan dan interaksi DRD dengan para mitranya.
65
Mitra DRD yang utama pada umumnya adalah Balitbangda dan Bappeda karena erat kaitannya
dengan kegiatan perencanaan penelitian dan pengembangan (litbang) di daerah. Meski demikian,
DRD perlu juga membangun relasi dengan institusi dan organisasi lain, baik lembaga pemerintah,
sektor privat maupun organisasi non-pemerintah. Sebagai contoh, DRD Sumatera Selatan
berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Interaksi ini akan berdampak positif terutama dalam masalah
pendanaan yang seringkali dikeluhkan oleh DRD-DRD lainnya.
Selain itu, koordinasi dan komunikasi antara DRD dengan mitra utamanya di tingkat
nasional, yaitu DRN, sangat penting dilakukan secara berkesinambungan untuk dapat menyamakan
persepsi, visi, misi, serta strategi pembangunan iptek nasional. Melalui kedudukan DRD di DRN,
akses untuk koordinasi dan komunikasi dapat dilakukan secara lebih sistematis. Untuk mendukung
terjadinya koordinasi dan komunikasi tersebut, DRN perlu membangun suatu arahan mekanisme
kerja yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh seluruh DRD.
Kajian ini juga mengelaborasi mekanisme penyelenggaraan DRD dan interaksi antara DRD
dengan para mitranya mendukung penguatan SIDa. Juga dilihat peran DRD dalam memberikan
rekomendasi, diharapkan rekomendasi – rekomendasi yang diusulkan terkait banyak membahas
mengenai permasalahan – permasalahan aktual yang membumi dan berupa problem solving
permasalahan yang ada.
Selain itu, DRD juga harus memperluas jejaring relasi di daerahnya masing - masing. Tidak
hanya bekerja sama dengan lembaga penelitian, namun juga dengan berbagai jenis institusi dan
organisasi seperti institusi keuangan yang dapat membantu pembiayaan kegiatan, atau lembaga
pemerintahan dan organisasi swasta yang menunjang kegiatan DRD. DRD juga perlu melakukan
pemetaan terhadap kompetensi daerahnya, yaitu keunggulan apa yang menjadi nilai lebih daerah
dan produk – produk unggulan daerah. Dari pemetaan ini, DRD dapat melakukan rekomendasi
kebijakan untuk mendukung dari sisi penguatan iptek yang memadai.
Lebih lanjut, diusulkan segera dibentuk organisasi jejaring antara Dewan Riset seluruh
Indonesia, yang terdiri dari para anggota DRN, DRD – DRD Provinsi, dan DRD – DRD Kabupaten /
Kota. Organisasi ini diharapkan menjadi wadah saling bertukar pikiran antara anggota Dewan Riset
dalam memajukan peran Dewan Riset di Indonesia, terutama dalam meningkatkan Sistem Inovasi
Nasional (SINas) dan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) di Indonesia.
6.7 Iptek untuk Adaptasi Perubahan Iklim: Kajian Kebutuhan Tema Riset Prioritas
Secara ringkas isi dari buku hasil kajian tersebut di atas sebagai berikut:
Ancaman perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global merupakan problem yang
harus segera diantisipasi termasuk dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selama ini
kita sering terfokus pada upaya mitigasi, padahal Indonesia sebenarnya termasuk negara yang tidak
terkena kewajiban menurunkan emisi GRK, serta rentan dalam menerima dampak perubahan iklim.
Namun kita masih kurang dalam memberikan perhatian pada upaya adaptasi termasuk dalam
pengembangan iptek adaptasi perubahan iklim.
Pendekatan adaptasi perubahan iklim di Indonesia memang bersifat sektoral. Namun
demikian mengingat permasalahan perubahan iklim adalah kompleks dan tidak dapat diantisipasi
melalui satu sektor tertentu saja, maka kata kuncinya adalah perlunya koordinasi dan pelaksanaan
program yang bersifat lintas sektoral.
Masalah kebutuhan akan keamanan pangan akan sangat terkait erat dengan pemenuhan
gizi untuk mencegah malnutrisi. Ini berarti riset-riset pangan alternatif harus diarahkan untuk
66
mendapatkan pangan dengan kandungan gizi yang tinggi. Demikian pula riset untuk pengelolaan
sumberdaya air termasuk pengolahan air adalah juga dalam rangka peningkatan kesehatan
masyarakat dan keamanan pangan. Kemudian riset-riset terkait upaya perlindungan fisik pantai atas
kenaikan paras muka laut adalah juga untuk memproteksi sumberdaya lahan yang potensial sebagai
sumberdaya pangan. Perlindungan pantai baik fisik dan non fisik merupakan bagian dari
pengelolaan kawasan pantai yang akan meningkatkan kesehatan masyarakat pesisir misal dengan
menekan salinitas air, mencegah berkembangnya vektor penyakit maupun peningkatan sanitasi
lingkungan secara keseluruhan. Contoh keterkaitan ini juga bisa bersifat tidak langsung, seperti
perlindungan terhadap terumbu karang atau penerapan terumbu karang buatan akan meningkatkan
atau memulihkan kembali potensi perikanan, ini berarti menunjang keamanan pangan dan
pemenuhan gizi masyarakat.
Guna mengatasi permasalahan yang ada dirumuskan rekomendasi antara lain; [a] Perlu
adanya koordinasi substansi riset; [b] Perlu adanya penggalangan pendanaan internasional untuk
kerjasama riset perubahan Iklim di Indonesia; [c] Membangun suatu lembaga infrastruktur yang
mengkoordinasi pengadaan dan pemanfaatan infrastruktur riset perubahan iklim,; [d] Dalam jangka
pendek perlu dibuat mekanisme koordinasi yang dilengkapi infrastruktur serta berbagai instrumen
penunjang (misal basis data bersama) yang dapat digunakan juga sebagai penunjang kerjasama
atau negosisasi iklim di tingkat internasional; [e] Dalam jangka menengah perlu dibangun pusat-
pusat pembelajaran masyarakat (learning center) guna mengefektifkan diseminasi metode adaptasi
bagi masyarakat yang rentan terkena dampak perubahan iklim bekerjasama dengan organisasi non-
pemerintah yang telah memiliki sistem dan jejaring berbasis masyarakat; [f] Dalam jangka panjang,
seluruh riset maupun kerekayasaan adaptasi perubahan iklim harus terintegrasi dengan program
kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat (community based disaster risk reduction) sebagai
satu kesatuan strategi adaptasi.
Suatu konsep jejaring dalam riset adaptasi perubahan iklim dan diseminasi hasil-hasil
risetnya dapat diilustrasikan dalam Gambar 33.
Internet based
Pusat Informasi Adaptasi
Perubahan Iklim
(DNPI)
Media Komunikasi
Balitbang Media Komunikasi Kel.
Kementerian (mis. Radio komunitas, Nelayan
(mis. OMRC-DRN) internet dll.)
Kel.
LIPI Pemkot/ Petambak
Univer- Komunitas
LAPAN Pemkab
sitas rentan
Gambar 33 Konsep Jejaring Arus Informasi dan Diseminasi Hasil Riset Adaptasi Perubahan Iklim
67
6.8 Pengembangan Pusat Keunggulan Maritim Selat Malaka Menuju Masyarakat Berbasis
Pengetahuan
Secara ringkas isi dari buku hasil kajian tersebut di atas sebagai berikut:
Wilayah yurisdiksi dan pengelolaan di kawasan Selat Malaka yang dimiliki Indonesia
sangatlah luas, dimana daratan pesisir dan kepulauannya mencapai 250.000 km2 ditambah sabuk 4
mil laut dari garis pantai, Indonesia menghadapi tantangan terberat dibandingkan kedua
tetangganya, dalam kemampuan dan kapasitas institusionalnya serta kemampuan keuangan
publiknya, untuk mengendalikan perubahan sosial ekologi di sepanjang pesisir timur Sumatra dan
kepulauannya dengan baik.
Warga di sepanjang sabuk pesisir Sumatera dan Kepulauan Riau saat ini berada dalam
keadaan yang jauh dari ideal. Pusat-pusat produksi sektor primer di wilayah tersebut secara umum
masih bergantung pada moda perburuhan sektor ekstraktif yang sulit diandalkan untuk memenuhi
syarat keselamatan dan keamanan sosial. Pusat-pusat permukiman yang ada sekarang di
sepanjang dataran rendah di pesisir timur Sumatera dapat dikatakan bersifat pedesaan atau semi-
urban.
Munculnya konsentrasi rerantai ekonomi di Kepulauan Riau bagian barat dalam waktu dua
setengah dekade ini, diwakili terutama oleh pulau Batam, dan sekarang akan diikuti oleh rencana
pengembangan untuk Pulau Bintan dan Pulau Karimun, memberikan pelajaran mengenai potensi
sekaligus keterbatasan dari strategi investasi integratif.
Kepulauan Riau sebagai salah satu kawasan terpenting dari fokus spasial PKM-SM
memerlukan sebuah model perancangan perubahan yang mampu menciptakan vektor positif.
Dengan kendala skala ruang dan keterbatasan kemampuan integrasi pengelolaan perubahan saat
ini, prakarsa belajar menuju masyarakat berbasis pengetahuan harus dimulai dengan sebuah
praktek pengelolaan perubahan dengan moda bagi peran, sumber daya dan resiko yang
memungkinkan pengambilan keputusan dan pengerahan energi oleh jejaring kesatuan-kesatuan
belajar setempat.
Pusat belajar institusional PKM-SM dalam wujud Learning Management Unit (LMU) perlu
melakukan Knowledge Management (KM) agar organisasi ini tetap mampu mengelola perubahan
dan memberikan masukan yang cerdas dan tepat khususnya dalam dinamika rerantai ekonomi-
sosial-ekologi di Selat Malaka. Secara diagramatis proses KM dalam agenda PKM-SM disampaikan
dalam Gambar 34.
Pengelolaan pengetahuan terdiri atas berbagai strategi dan praktek yang digunakan dalam
sebuah organisasi untuk mengidentifikasi, menciptakan, menghadirkan, mendistribusikan dan
mengadopsi wawasan dan pengalaman. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa kunci utama
berjalannya knowledge sharing process dalam PKM-SM adalah dengan meningkatkan infrastruktur
TIK serta dukungan administratif lainnya dari instansi pemerintah.
Inti mekanisme dalam PKM-SM adalah produksi informasi dan pengetahuan, berbagi pengetahuan
dan alirannya serta mediasi dalam dinamika jejaring khususnya terkait perubahan-perubahan ketiga
rerantai ekonomi-sosial-ekologi di Selat Malaka untuk selanjutnya dapat dijadikan bahan
pengambilan keputusan. Berbagai pola dan mekanisme kerja dalam pusat belajar dapat dibangun
dengan mengambil contoh yang sudah ada. Sebagai gambaran, mekanisme berbagi pengetahuan
dan peran tiap komunitas bisa dilihat dalam Gambar 35.
68
P K M -S M L M U Internet based
PKM-SM Center
E x te rn a l & (BP Batam)
A g e n d a B e l a ja r Use
In te rn a l
S e n s in g
Gambar 34 Siklus KM Mendukung Fungsi Gambar 35. Diagram Alir Informasi Komunitas dalam
PKM-SM Center PKM-SM
Beberapa rekomendasi tindak lanjut untuk PKM-SM adalah sebagai berikut; [1] Perintisan
pusat belajar institusional beserta jejaringnya, yang melibatkan beberapa institusi pemerintah
khususnya yang berwenang dalam penataan ruang, kegiatan ekonomi, lingkungan hidup dan
pendidikan; [2] Sejak awal PKM-SM didesain sebagai bentuk knowledge based society dengan key
enabler-nya adalah komunikasi, untuk itu pengembangan jejaring pada butir a) di atas perlu
didukung insfrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan media komunikasi lain seperti
radio komunitas untuk menjangkau kalangan warga yang belum tersentuh atau tidak terbiasa
dengan TIK; [3] Sebagai langkah awal perlu dibentuk task force yang mempersiapkan dan mengkaji
aturan lintas sektor, mengembangkan materi belajar serta aktif mengikuti berbagai konferensi atau
seminar terkait Selat Malaka termasuk yang diselenggarakan negara tetangga; [4] Untuk test case
kesiapan sumberdaya manusia dan infrastrukturnya dalam pengelolaan pusat belajar, task force
perlu merintis sebuah kerjasama dalam program skala kecil dan praktis sifatnya dengan beberapa
institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset di wilayah Selat Malaka seperti Dewan Riset Daerah,
Universitas Riau dan Politeknik Batam’ [5] Dalam jangka menengah, pusat belajar PKM-SM perlu
berkolaborasi dengan beberapa lembaga riset internasional seperti di Asia dan Eropa untuk agenda-
agenda riset yang paling mendesak bagi aparat pemerintah di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau; [6]
Melalui dukungan Badan Pengusahaan Batam atau Politeknik Batam selaku calon host bagi pusat
belajar PKM-SM perlu dirintis penerbitan berkala untuk mempromosikan agenda PKM-SM bagi para
pembaca dari berbagai latar belakang.
69
V PENUTUP
Demikian Laporan Pelaksanaan Kegiatan DRN Periode 2009 – 2011 ini disiapkan dan dibukukan
yang ditujukan untuk kesinambungan aktivitas di DRN Periode 2012-2014 baik bagi hal-hal yang
bersifat umum maupun dalam rangka dukungan pelaksanaan oleh Sekretariat DRN. Tentu saja
masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan tugas-tugas yang terkait dengan Kesekretariatan,
yang diharapkan dapat ditingkatkan di masa – masa mendatang.
70
71
LAMPIRAN:
No Nama Instansi
1. Prof. Dr. Ir. Benyamin Lakitan (Ketua) Kementerian Riset dan Teknologi
2. Prof. Dr. Ir. H. Roedhy Poerwanto, MSc Institut Pertanian Bogor
(Wakil Ketua)
3. Dr. Ir. Bambang Setiadi (Anggota) Badan Standardisasi Nasional
4. Ir. Thomas Darmawan Tjokronegoro Dunai Usaha
(Anggota)
5. Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS Institut Pertanian Bogor
(Anggota)
6. Prof. Dr. Ir. Hasbi (Anggota) Universitas Sriwijaya
7. Prof. Dr. Ir. Widjang Herry Sisworo Badan Tenaga Nuklir Nasional
(Anggota)
8. Dr. Ir. M. Indah Ginting, MM (Anggota) Pengadilan Perikanan Medan
9. Dr. Ir. Hermen Malik, MSc (Anggota) Universitas Bengkulu
10. Dr. Ir. Agus Hartoko, MSc (Anggota) Universitas Diponegoro
11. Prof. Dr. Ir. John Haluan (Anggota) Institut Pertanian Bogor
12. Ir. Yusuf Akhyar Sutaryono, PhD Universitas Mataram
(Anggota)
13. Kepala Badan Riset Kelautan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Perikanan /Ex Officio (Anggota)
14. Kepala Badan Penelitian dan Kementerian Pertanian
Pengembangan Pertanian / Ex Officio
(Anggota)
72
2. Anggota DRN Komisi Teknis Energi
No Nama Instansi
No Nama Instansi
73
4. Anggota DRN Komisi Teknis Teknologi Informasi dan Komunikasi
No Nama Instansi
No Nama Instansi
74
Pengembangan TNI AL / Ex Officio
(Anggota)
13. Kepala Dinas Penelitian dan TNI AU
Pengembangan TNI AU / Ex Officio
(Anggota)
14. Kepala Biro Penelitian dan POLRI
Pengembangan POLRI / Ex Officio
(Anggota)
No Nama Instansi
1. Prof. dr. Amin Soebandrio, Sp. MK, Ph.D Kementerian Riset dan Teknologi
(Ketua)
2. Prof. Dr. Wahono Sumaryono, Apt (Wakil Badan Pengkajian dan Penerapan
Ketua) Teknologi
3. Dr. Charles Saerang (Anggota) Gabungan Pengusaha Jamu
4. Prof. dr. Sofia Mubarika, M.Ed.Sc., Ph.D Universitas Gadjah Mada
(Anggota)
5. Prof. dr. Sultana Mh. Faradz, Ph.D Kementerian Riset dan Teknologi
(Anggota)
6. Prof. Dr. Umar A. Jenie, Apt. (Anggota) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
7. Prof. Dr. dr. Suhartono Taat Putra, MS. Universitas Airlangga
(Anggota)
8. Prof. Dr. dr. Handoko Kalim, Sp.PD.KR Universitas Brawijaya
(Anggota)
9. Dr. Ir. Listyani Wijayanti (Anggota) Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi
10. Prof. dr. Irawan Yusuf, Ph.D(Anggota) Universitas Hasanudin
11. dr. Boenjamin Setiawan, Ph.D (Anggota) PT Kalbe Farma
12. Kepala Badan Penelitian dan Kementerian Kesehatan
Pengembangan Kementerian Kesehatan /
Ex Officio (Anggota)
No Nama Instansi
No Nama Instansi
76
Tim Asistensi DRN 2009-2011
77