Resensi Buku
Irman “Sufi” Firmansyah, 2016, The
UntoldStory: Kisah di Balik Sejarah Sukabumi.
Jakarta: Mer C Publishing-Paguyuban
SoekaboemiHeritages. Jumlah halaman x +
388.
ISBN 978-602-71073-7-3
Panumbangan dan tulang belulang banteng di khususnya VOC direspon berbagai reaksi oleh
Cikepuh turut memperkaya keragamana hayati penduduk dan penguasa lokal, baik yang
Sukabumi Purba. Meski sampai saat ini tidak kooperatif maupun menentang. Akibat lain
[belum] ditemukan fosil manusia purba di dari kedatangan asing ini, selain menguasai
Sukabumi, namun beberapa tinggalan dan mengendalikan komoditas per-dagangan,
arkeologis dari masa Megalithik, Mesolithik, mereka juga melakukan pen-jelajahan untuk
dan Neolithik di beberapa tempat di Sukabumi menyingkap misteri yang masih terselubung,
mengindikasikan ada manusia yang pernah dan sudah barang tentu hal ini memberikan
tinggal atau singgah di sana. Namun tidak ada pengetahuan baru mengenai daerah tersebut.
kejelasan siapa mereka dan dari mana berasal, Inilah garis besar paparan yang terkandung
sementara manusia Sukabumi sekarang pada Bab 2 juga berlanjut pada bagian awal
berasal dari daratan Cina Selatan yang disebut Bab 3. Pada setengah bagian Bab 3
Yunnan. Karena keunikan proses geologis ini berikutnya, penulis mencoba menesuri asal-
ditambah keragaman hayati dan budaya yang usul nama Sukabumi. Menurut temuan
kemudian menjadikan Kawasan Ciletuh penulis, nama ini umum dan banyak
sebagai Geopark Nasional dan tengah ditemukan di berbagai tempat di Jawa dan
dikampanyekan menjadi Taman Geologi Sumatera, yang intinya merujuk pada suatu
Dunia. tempat (bumi) yang dianggap nyaman
(disukai) untuk ditinggali sehingga
Lepas menguraikan aspek sejarah dan proses muncullah gabungan kata Suka Bumi. Istilah
geologis dan kehidupan purba, masih di bab Soeka Boemi, menurut temuan penulis,
yang sama penulis beralih menguraikan ternyata sudah ada pada masa VOC pada
pasang naik dan pasang surut kerajaan- sekitar 1686 berdasarkan catatan Hendrikz
kerajaan di Jawa bagian Barat karena dan Cartensz (hlm. 98).
berbagai konflik dan intrik internal, serangan
dari kekuatan baru, khususnya kekuatan Seiring dengan makin banyaknya pendatang
Islam dari Banten, Cirebon, Demak, dan lain Belanda yang merasa nyaman tinggal di
sebagainya, sampai akhirnya masuknya Priangan—termasuk Sukabumi—mereka
orang-orang Eropa, yang diuraikan pada Bab pun membuka berbagai kegiatan ekonomi,
2. Narasi dibangun dari berbagai sumber khususnya perkebunan besar. Ini menandai
baik sumber tertulis, cerita dan wawancara, masa liberasasi ekonomi di Hindia Belanda
termasuk juga napak tilas—yang ditunjukan dengan perkebunan-perkebunan besar
dengan koleksi foto-foto pribadi—pada sebagai moda produksi utamanya, uraian
tempat-tempat kabuyutan, yang yang secara detil diberikan pada Bab 4.
“berkonotasi pertautan antargenerasi Perkebunan-perkebunan besar ini berada di
[dalam] bentangan waktu yang panjang dan hal Dataran Tinggi Priangan yang membentang
ihwal yang dianggap keramat atau suci” (hlm. dari Timur ke Barat (Tasik, Garut, Bandung,
19). Cianjur, dan Sukabumi). Khusus di
Sukabumi, komoditi teh dari Parakansalak
Adanya banyak halangan geografis, seperti dikatakan penulis sebagai salah satu
Gunung Gede di Utara, Gunung Salak di komoditi yang terkenal di Eropa (hlm. 124-
Barat Laut dan Laut Selatan [Samudra 125). Saking tingginya aktivitas perkebunan
Indonesia], membuat keindahan Sukabumi besar, mau tidak mau mengharuskan pengelola
tertutup dari dunia luar. Baru abad ke-17 kebun untuk mendatangkan buruh dari luar
sajalah, bangsa asing, diawali orang-orang Cina daerah, bahkan dari luar, terutama dari
dan Arab dan kemudian dari Eropa, bisa Suriname. Dinamika perkebunan yang tinggi
menginjakkan kakinya di tanah Sukabumi. akhrinya juga mengalami pelambatan atau
Pengelana dari Italia, Portugis menjadi yang dikenal dengan jaman malaise pada paruh
pendatang awal Bangsa Eropa di Jawa, hingga pertama abad ke-20.
akhirnya Bangsa Belanda. Mereka datang ke
Jawa—dan juga Sukabumi—karena tertarik Akibat akhir dari malaise ini adalah
oleh rempah-rempah. Kedatangan Belanda, bangkrutnya VOC yang kemudian memaksa
adalah adanya laskar-laskar yang tidak satu topik dengan topik lainnya. Pembaca
terkendali. Keberadaan laskar itu sendiri terasa seperti sedang membaca ‘kliping’
merupakan kelanjutan dari kekuatan yang agak ‘melompat’ begitu selesai
perlawanan masa revolusi fisik pada membaca satu bahasan dan pindah ke
pertengahan dekade 40an. Afiliasi dan orientasi bahasan lainnya.
mereka berragam, nama-nama mereka bisa
menjadi petunjuk siapa dan dari mana “Buku ini bukalah teks ilmiah atau tesis
mereka berasal, seperti Bambu Runcing yang meskipun penulis melengkapinya dengan
sebelumnya mereka merupakan Laskar referensi...” (hlm. v, tekanan ditambahkan),
Djakarta, Hizbullah, SP88 (Satuan demikian klaim penulis, namun beberapa hal
Pemberontak 88). Selain berbeda, laskar- yang mungkin agak ‘mengganggu’ terutama
laskar ini juga kerap bersetu di antara mereka bagi pembaca yang ‘serius’ ingin menelusuri
sendiri. Aksi-aksi kejam, memeras, bahkan referensi atau daftar pustaka. Rujukan agak
membunuh lawan ‘politik’ pun kerap sulit ditelusuri karena tidak disusun
dilakukan. Belum lagi tuntas dengan laskar- berdasarkan alfabetikal atau berdasarkan urutan
laskar tak terkendali ini, Republik Indonesia kemunculan rujukan tersebut dalam teks.
harus berhadapan dengan pemberontakan Lebih dari itu beberapa rujukan yang tertera
DI/TII. Sukabumi, terutama hutan-hutan di atau dikutip dalam teks ternyata tidak
bagian Selatan menjadi basis pergerakan ternyata tidak ditemukan dalam referensi.
kekuatan tersebut. Berkali-kali kekuatan Hal lain yang mestinya tidak terjadi karena
DI/TII melakukan aksi perampokan dan ada tim editor—yang saya pikir juga
menyebar teror pada penduduk di daerah memeriksa aspek teknis kebahasaan—adalah
perkebunan yang tersebar di bagian Selatan dan ejaan atau standarisasi penulisan kata baik
Barat Sukabumi. Paparan mengenai kekacauan menurut bahasa aslinya (misalnya Bahasa
ini menjadi pembuka pada awal Bab 10. Inggris atau Belanda) atau Bahasa Indonesia,
Setelah ini diselingi uraian mengenai Pemilu misalnya ada dua bentuk penulisan kata: 1.
1955, penulis memaparkan cerita nasionalisasi “neolithikum” 2. “neolitikum” (hlm. 9), begitu
perkebunan-perkebunan besar berikut cerita juga dengan kata: 1. “meghalitikum” (hlm. 6)
pilu keluarga-keluarga Belanda pemiliknya. dan 2. “megalitikum” (hlm. 9). Pun demikian
Mereka terombang ambing sebelum mereka dengan kesalahan-kesalahan ketik lainnya.
‘dipulangkan’ ke tanah leluhur. Lepas Hal-hal ini terkesan kecil, namun
menguraikan cerita cerita ‘sedih’ pemilik menunjukan banyak hal: kecermatan,
perkebunan, kembali penulis menguraikan ketelitian, juga keseriusan dalam menggarap
cerita pemberontakan PKI dan penumpasan kerja dalam penulisan dan penerbitan buku.
gerakan ini, dan ini menjadi episode akhir dari Wallahualam.
Orde Lama sekaligus mengakhiri buku
Rimbo Gunawan
Soekaboemi The UntoldStory. Tidak ada
‘kesimpulan’ atau catatan reflektif di akhir,
Departemen Antropologi,
kecuali satu alinea berisi empat kalimat
FISIP Universitas Padjadjaran
penulis yang mengakhiri buku setebal 383
halaman. Pesannya, khalayak pembacalah
rimbo.gunawan@unpad.ac.id
yang akan menyimpulkan untuk diri mereka
masing-masing.
Seperti telah disebutkan di atas, buku ini
bersifat ensiklopedik yang tentu memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
utamanya adalah buku ini penjelasan dan
informasi yang mungkin tidak diketahui orang
kebanyakan, sehingga pantaslah diberi tajuk
“theuntoldstory”. Namun, satu yang terasa
kurang adalah ‘jembatan penghubung’ antara