Anda di halaman 1dari 8

Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan

dan Kesukubangsaan1

Parsudi Suparlan

(Universitas Indonesia)

Abstract

On the basis of Bruner’s concept of a ‘dominant culture’, the author analyzes the cases of
Bandung, Sambas and Ambon. By comparing the three cases, the author reveals the differ-
ences of adaptation strategies among the Javanese in Bandung, the Madurese in Sambas, and
the BBM (Buton, Bugis, Makassar) in Ambon. The Javanese from the lower classes in Bandung
follow the Sundanese culture as the dominant one, and try to adopt Sundanese ways of behav-
ior. Harmonious relationship between the migrants and the Sundanese as the host population
is thus maintained. On the other hand, the Madurese in Sambas and the BBM in Ambon forced
their rules and principles so as to dominate those from the natives. As a result, conflicts
between the natives and the migrants could not be avoided. The author argues that the domi-
nant culture in a specific setting, with its rules and norms, should be followed by the migrants
and outsiders. However, the challenges to the dominant culture can be diverse in different
societies and settings. The cases in Sambas and Ambon reveal that there is a problem in the
challenge toward the dominant culture in those societies.

Key words: pluralism; dominant culture; ethnicity.

Pendahuluan: hipotesis kebudayaan analisis. Hipotesis kebudayaan dominan


dominan adalah sebuah model substantif yang
Dalam menganalisis perwujudan kesuku- merefleksikan kenyataan hubungan antarsuku
bangsaan di antara para migran di kota bangsa dalam sebuah konteks struktur
Bandung dan Medan, Bruner (1974) telah kekuatan setempat. Produk dari hubungan
menunjukkan kegunaan hipotesis kebudayaan antarsuku bangsa tersebut ditentukan oleh
dominan yang dibuatnya sebagai model corak hubungan di antara suku-suku bangsa
setempat yang ada, dan oleh corak hubungan
1 antara masing-masing suku bangsa tersebut
Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yang
sama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol. dengan struktur kekuatan setempat yang ada.
XXIII, no. 58, 1999, hlm. 13–21. Tulisan ini Dalam hipotesis kebudayaan dominan
disampaikan dalam sesi “Kerusuhan Massal dan Konflik tercakup tiga unsur yang masing-masing berdiri
Antargolongan’ dalam seminar ‘Memasuki Abad ke-
21: Antropologi Indonesia Menghadapi Krisis Budaya sendiri, tetapi satu sama lainnya saling
Bangsa’, 6-8 Mei 1999, di Kampus Universitas Indo- berhubungan, dan menentukan corak
nesia, Depok.

Suparlan, Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan 229


kesukubangsaan atau produk dari hubungan kebudayaannya tidak merupakan model
antarsuku bangsa yang terjadi. Unsur-unsur kebudayaan dominan bagi kelompok-kelompok
tersebut adalah: suku bangsa lainnya. Masing-masing suku
• demografi sosial yang mencakup rasio bangsa mempertahankan kebudayaan dan
populasi dan corak heterogenitas serta kesukubangsaannya, hidup mengelompok di
tingkat percampuran hubungan di antara antara sesama suku bangsanya. Kesuku-
suku-suku bangsa yang ada dalam sebuah bangsaan dan agama suku bangsa menjadi
konteks latar tertentu; acuan utama dalam penggolongan di antara
• kemantapan atau dominasi kebudayaan warga penduduk Medan.
suku bangsa setempat, bila ada, dan cara- Bila para migran di Bandung mengambil
cara yang biasanya dilakukan oleh anggota- posisi masing-masing dalam sistem perkotaan
anggota kelompok-kelompok suku bangsa yang mengacu pada kebudayaan dominan,
pendatang dalam berhubungan dengan maka para migran di Medan mengelompok
suku-suku bangsa setempat dan bersama dengan sesama warga suku bangsa-
penggunaan kebudayaan masing-masing nya dan memperkuat posisi kelompok suku
serta pengartikulasiannya; bangsanya dalam hubungan antarsuku bangsa
• keberadaan dari kekuatan sosial dan dan dalam bersaing untuk posisi-posisi yang
pendistribusiannya di antara berbagai ada dalam struktur kekuasaan kota Medan. Bila
kelompok suku bangsa yang hidup dalam kehidupan sosial Bandung ditandai dengan
konteks latar tersebut. adanya keteraturan karena para migran yang
bukan Sunda mengadaptasi diri dengan
Dengan menggunakan model ini Bruner
kebudayaan Sunda dan cenderung menjadi
memperbandingkan Bandung dan Medan.
seperti Sunda, sementara itu, di Medan, masing-
Orang Sunda di Bandung adalah mayoritas dan
masing kelompok suku bangsa menciptakan
dominan, yaitu mereka menetapkan patokan-
keteraturan sosial dalam lingkungan kehidupan
patokan bagi kelakuan yang layak yang harus
masyarakat suku bangsanya. Di tempat-tempat
ditunjukkan di tempat-tempat umum; dan,
umum mereka saling berkompetisi dengan
hampir semua pranata perkotaan Bandung
mengaktifkan masing-masing kesukubangsa-
dikendalikan oleh orang Sunda dan beroperasi
annya. Tawar menawar kekuatan dalam bentuk
sesuai dengan pola-pola kebudayaan Sunda.
konflik atau kerja sama di antara kelompok-
Mereka menduduki posisi-posisi kunci dalam
kelompok suku bangsa dalam memenangkan
struktur kekuasaan kota—dari jabatan
persaingan menyebabkan corak kesuku-
gubernur, wali kota, rektor-rektor universitas
bangsaan di Medan berbeda dengan yang
setempat, sampai dengan jabatan-jabatan
terdapat di Bandung.
kepala-kepala kantor wilayah. Sebaliknya, di
Apa yang terjadi dengan orang Jawa di
Medan tidak ada satu suku bangsa pun yang
Bandung dalam kerangka berpikir yang
dominan secara demografi sosial, dan tidak ada
menggunakan model kebudayaan dominan
kebudayaan dominan seperti yang terdapat di
dapat diperbandingkan dengan yang terjadi di
Bandung. Orang Jawa yang merupakan
Ambon dan Sambas. Tiga lokasi tersebut
mayoritas di Medan bukanlah kelompok
mempunyai ciri-ciri yang sama, yaitu adanya
dominan, karena mereka ini golongan kelas
kebudayaan dominan setempat, walaupun
sosial rendah yang tidak mempunyai kekuatan
Sambas bukanlah daerah perkotaan.
sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu,

230 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006


Model kebudayaan dominan dan Sunda. Dalam kehidupan keluarga, mereka juga
kasus-kasus Bandung, Ambon, dan cenderung menggunakan kebudayaan dan
Sambas bahasa Sunda. Anak-anak mereka yang
Orang Jawa di Bandung dilepaskan oleh orang tua untuk dapat bergaul
Salah satu ciri utama dari ada atau tidak bebas dengan teman-teman di lingkungan
adanya kebudayaan dominan dalam sebuah sekolah dan tetangga di kampung kota
masyarakat ialah adanya aturan-aturan main Bandung cenderung lebih fasih berbahasa dan
atau konvensi sosial dalam saling berhubungan berkelakuan seperti orang Sunda daripada
yang keberadaannya diakui dan digunakan oleh sebagai anak orang Jawa. Anak-anak tersebut
para pelaku dari berbagai kelompok suku cenderung mengidentifikasi diri mereka sebagai
bangsa yang hidup bersama dalam sebuah orang Bandung. Kalau ditanya apakah orang
masyarakat. Dalam masyarakat dengan tua mereka itu orang Bandung, baru mereka
kebudayaan dominan, para pelaku dari menjawab bahwa mereka itu mempunyai orang
kelompok-kelompok suku bangsa yang tidak tua asal Jawa.
dominan menyesuaikan diri dengan—dan Hubungan antara orang-orang Sunda dan
tunduk pada—aturan-aturan main yang orang-orang Jawa memperlihatkan keteraturan
ditetapkan oleh masyarakat setempat yang sosial yang berlaku. Walaupun konflik juga
dominan. Dalam masyarakat yang tidak terjadi di antara mereka yang berasal dari Jawa
mengenal adanya kebudayaan dominan, dengan penduduk setempat, tetapi konflik
aturan-aturan main terwujud melalui tawar tersebut tidak menyebabkan diaktifkannya
menawar kekuatan sosial yang dihasilkan dari suku bangsa sebagai acuan bagi penggalangan
proses-proses interaksi sosial yang ber- solidaritas sosial untuk saling memusuhi dan
langsung dari waktu ke waktu dan dari generasi mengalahkan. Hal itu disebabkan adanya
ke generasi. Aturan main yang telah mantap— aturan main yang ditetapkan dalam kehidupan
yang menjadi acuan bagi kelakuan yang layak sosial yang disetujui bersama dan diikuti
dan harus ditunjukkan di tempat-tempat sebagaimana seharusnya. Begitu juga halnya
umum—dikontrol dan diwasiti oleh masyarakat dengan pelaku orang Jawa yang terlibat dalam
setempat sebagai benar atau salah dari waktu konflik yang lebih menonjolkan jati dirinya
ke waktu. sebagai perorangan (bila yang bersangkutan
Dari penelitian saya mengenai orang Jawa adalah pendatang Jawa) atau sebagai orang
di Bandung (1972) diketahui bahwa para migran Bandung dari kampung setempat (bila yang
Jawa di kota tersebut cenderung untuk menjadi bersangkutan kelahiran Bandung).
seperti orang Bandung dalam upaya mereka Sebaliknya, mereka yang tergolong dalam
untuk menaati aturan yang berlaku di tempat- golongan sosial atas atau golongan elite Jawa
tempat umum. Ini berlaku, terutama, dalam dan keluarga perwira tinggi militer mempunyai
kehidupan orang Jawa yang tergolong kecenderungan untuk tetap mempertahankan
menengah dan bawah. Mereka ikut aktif dalam jati diri mereka yang Jawa, di samping jati diri
kegiatan-kegiatan sosial di kampung tempat kosmopolitan atau modern yang mereka adopsi.
mereka tinggal, sehingga terdapat kesan bahwa Mereka dapat mempertahankan kesuku-
mereka itu berusaha untuk dapat menjadi bagian bangsaan mereka yang Jawa, karena kehidupan
yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka dapat terbebas dari
masyarakat setempat yang berkebudayaan keharusan untuk tunduk dan mengikuti aturan-
aturan main yang berlaku menurut kebudayaan

Suparlan, Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan 231


Sunda yang dominan di tempat-tempat umum. hidup di desa-desa dari kepala-kepala desa
Mereka mempunyai kekuatan sosial, karena adat—yang dinamakan raja atau latuputi—dari
posisi sosial, ekonomi, dan politik yang berada desa masing-masing tempat mereka menetap.
di luar jangkauan ruang lingkup kebudayaan Mereka hidup mengelompok di antara sesama-
Sunda di Bandung. nya sebagai petani, dan sebagian merangkap
Bahkan pada waktu tokoh-tokoh masya- sebagai pedagang kecil. Hubungan antara
rakat Sunda di Bandung merasakan adanya orang Buton dan orang Ambon dalam
dominasi kebudayaan Jawa pada 1969-1970, masyarakat desa setempat rukun. Mereka
mereka tidak memusuhi orang-orang Jawa yang berada dalam suatu hubungan simbiotis yang
dalam kenyataannya telah menjadi seperti secara ekonomi dan sosial saling menguntung-
orang Bandung, atau menjadi orang Bandung. kan. Orang Buton membangun atau memper-
Mereka memusuhi kebudayaan Jawa, yaitu baiki mesjid orang Ambon. Penduduk setempat
sebuah kategori lawan yang abstrak yang membantu, demikian pula sebaliknya.
mereka tentang secara abstrak pula. Mereka Pada zaman Orde Baru, terutama dalam
lakukan adalah mendirikan perkumpulan- paruh kedua pemerintahan Orde Baru dan
perkumpulan kesenian dan penggalian nilai-nilai setelah kejatuhannya—di mana semangat
budaya Sunda. Mereka berusaha membangkit- kebangkitan Islam di Indonesia menggebu-
kan dan menghidupkan kembali ide tentang ke- gebu—struktur kekuatan masyarakat kota
Sundaan melalui perkumpulan-perkumpulan Ambon dan sekitarnya menjadi berubah.
yang jumlahnya lebih dari seratus buah untuk Struktur kekuatan masyarakat kota Ambon yang
menentang masuk dan digunakannya aturan- Ambon dan Kristen berubah menjadi Islam
aturan yang ada dalam kebudayaan Jawa dalam yang Ambon atau Islam yang Buton, Bugis,
tata kehidupan di Bandung. Makasar (BBM). Jabatan-jabatan politik dan
administrasi kunci—seperti Gubernur, Ketua
Orang Buton, Bugis, Makasar di Ambon Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Wali Kota,
Dari penelitian yang dilakukan oleh tim Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil), Kepala
Universitas Indonesia (Suparlan 1999a), Dinas (Kadis), atau Kepala Direktorat(Kadit)—
diketahui bahwa sebelum zaman Orde Baru, didominasi oleh orang Islam Ambonatau BBM.
kondisi masyarakat kota Ambon dan sekitamya Penggeseran keberadaan kebudayaan dominan
mirip dengan kondisi masyarakat Bandung. dari Ambon Kristen menjadi Islam dibarengi
Ambon dan daerah sekitamya (Kota Madya dengan kedatangan migran dalam jumlah yang
Ambon) dihuni oleh penduduk setempat yang relatif besar asal BBM dibandingkan dengan
mayoritas dalam jumlah dan dominan dalam daya tampung kota Ambon. Pendatang BBM
kebudayaan, yaitu orang Ambon dengan ini mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang
kebudayaan Ambon yang Kristen. Orang Am- diabaikan oleh orang Ambon karena dianggap
bon yang beragama Islam adalah minoritas. sebagai pekerjaan kasar dan tidak bergengsi.
Mereka tinggal di kampung Batu Merah, sebuah Misalnya, tukang becak, kuli pelabuhan,
pemukiman di kota Ambon. Migran dari luar pedagang kaki lima, tukang pembersih dan
Ambon yang telah datang sejak permulaan pengangkut sampah. Dalam waktu sekian tahun
abad ke-20 adalah orang-orang Buton yang para pendatang BBM mengambil alih berbagai
beragama Islam. Mereka tinggal di desa-desa pekerjaan dan jabatan melalui hubungan-
yang terletak di sekeliling kota Ambon. Secara hubungan kerabat dan kesukubangsaan dan
tradisional, mereka memperoleh izin tinggal dan keagamaan. Tempat umum yang semula adalah

232 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006


tempat-tempat beroperasinya kebudayaan dipertegas, karena para pendatang BBM
Ambon yang Kristen, sekarang juga menjadi cenderung hidup mengelompok di antara
tempat-tempat beroperasinya kebudayaan Is- sesama mereka yang terpisah dari orang Am-
lam yang BBM. Berbagai patokan aturan main bon yang Kristen. Batas-batas sosial antara
di tempat-tempat umum kota Ambon telah ‘kami’ dan ‘mereka’ menjadi jelas, dan batas-
berubah. Orang-orang BBM menguasai tata batas sosial tersebut dipertegas oleh simbol-
kehidupan pasar eceran, transportasi, perkulian simbol kebudayaan masing-masing suku
dan kerja kasar serta hiburan, dan, bahkan bangsa. Batas-batas ini—yang menjadi acuan
menguasai pula suasana keagamaan kota Am- bagi pembenaran konflik-konflik kecil sebelum
bon yang semula adalah Kristen yang Ambon. terjadinya kerusuhan Ambon—mengungkap-
Mereka juga menguasai kehidupan dunia kan sistem kognisi yang ada dalam hubungan
bawah tanah melalui kegiatan-kegiatan para antarsuku bangsa (Ambon versus BBM)
preman dan tukang palaknya. sebagai hubungan kategorial yang berisikan
Pendatang-pendatang baru BBM ini ciri-ciri stereotip. Masing-masing pihak tidak
memiliki cara-cara hidup dan strategi adaptasi melihat satu sama lainnya sebagai manusia,
yang berbeda dibandingkan dengan cara-cara tetapi sebagai golongan atau ciri-ciri stereotip.
hidup dan strategi yang dilakukan oleh para Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka juga
pendatang Buton yang terdahulu. Bila para tindakan-tindakan kekerasan dan kekejaman
pendatang yang terdahulu itu dianggap oleh yang saling mereka lakukan satu sama lainnya
orang Ambon sebagai orang yang tahu adat, masuk akal menurut kebudayaan mereka, karena
maka para pendatang baru BBM tersebut yang dikerasi atau dikejami itu bukan lagi
dianggap sebagai orang yang tidak tahu adat manusia. ‘Kamilah yang manusia, mereka bukan
dan, bahkan, menjadi sewenang-wenang dan manusia. Kamilah yang suci, mereka itu kafir.’
mau menang sendiri. Bila para pendatang Buton Penusukan sopir angkutan kota (angkot) Am-
yang terdahulu serta keturunannya dianggap bon oleh preman BBM yang menjadi pemicu
sebagai saudara atau kerabat yang lebih muda kerusuhan dapat dilihat dalam struktur berpikir
atau lebih rendah derajatnya oleh warga desa seperti tersebut di atas dan, karena itu, dapat
setempat yang Ambon, maka para pendatang memicu solidaritas suku bangsa dan agama.
BBM yang baru tersebut dianggap sebagai
musuh yang hanya merugikan dan Orang Madura di Kabupaten Sambas
merendahkan derajat orang Ambon. Bila agama Walaupun model kebudayaan dominan
Islam yang dipeluk oleh pendatang Buton sebagaimana yang semula diajukan oleh Bruner
terdahulu dilihat sebagai agama Islam yang hanya untuk daerah perkotaan, tetapi model
cinta damai dan tidak mengganggu orang ini juga relevan dengan permasalahan hu-
Kristen, maka agama Islam pendatang BBM bungan antarsuku bangsa yang ada di daerah
yang baru dianggap sebagai agama yang mau pedesaan dan wilayah administrasi yang
mendominasi kehidupan Kristen mereka. mencakup daerah perkotaan dan pedesaan
Aturan-aturan main yang ada—menurut sebagai sebuah satuan konteks masyarakat.
kebudayaan dominan Ambon yang Kristen— Dalam penelitian yang dilakukan di Kabupaten
telah diobrak-abrik dan diganti serta didominasi Sambas (Suparlan 1999b) diketahui bahwa
oleh aturan main BBM yang Islam. sesungguhnya masyarakat Kabupaten Sambas
Jarak sosial antara orang Ambon yang pada dasarnya mencakup dua wilayah
Kristen dan BBM yang Islam menjadi kebudayaan, yaitu wilayah kebudayaan orang

Suparlan, Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan 233


Melayu di daerah pantai dan wilayah hidup sebagai petani atau sebagai pekerja
kebudayaan orang Dayak di daerah pedalaman. serabutan. Mereka hidup mengelompok dengan
Secara tradisional, masing-masing suku bangsa sesama mereka yang satu kerabat atau yang
ini mengakui keberadaan dan dominasi setiap berasal dari satu desa. Pengelompokan
kebudayaan di wilayah masing-masing. permukiman mereka biasanya ada di sekitar
Walaupun dalam tradisi politik di Sambas, or- rumah seorang kyai atau guru mengaji yang
ang Melayu lebih dominan daripada orang menjadi tokoh mereka, yang dibangun di dekat
Dayak—melalui kekuasaan kerajaan-kerajaan surau atau mesjid dan madrasah. Orang-orang
Melayu—tetapi dominasi wilayah-wilayah Madura di Sambas tidak memperhatikan atau,
kebudayaan masing-masing tetap diakui, dan bahkan, boleh dikatakan tidak memandang
masing-masing saling menghormatinya. sebelah mata berbagai adat istiadat orang
Mereka hidup berdampingan dalam suatu Melayu atau orang Dayak. Mereka hidup dalam
hubungan simbiotis yang saling menguntung- lingkungan komunitas mereka sendiri yang
kan. Banyak terjadi kawin-mawin di antara terpisah dari komunitas pedesaan orang
mereka. Seorang Dayak yang masuk Islam tidak Melayu. Dalam kehidupan sehari-harinya
dikatakan sebagai masuk Islam, tetapi masuk mereka berbahasa Madura dan berpedoman
Melayu. Dengan masuk Islam, si orang Dayak pada kebudayaan Madura dari Bangkalan.
bukan hanya memeluk agama, melainkan juga Mereka juga mempunyai keyakinan keagamaan
memeluk dan menjadikan kebudayaan Melayu Islam yang berbeda dari yang dipeluk oleh or-
sebagai pedoman bagi kehidupannya. ang Melayu, yang menurut keterangan, adalah
Kebudayaan Melayu adalah acuan bagi jati diri pengikut Tarekat Naqsabandiyah-Khalidiyah.
suku bangsanya. Tidak hanya orang Melayu Mereka juga tidak mempunyai rasa hormat
dan Dayak yang hidup di Kabupaten Sambas, kepada orang Melayu yang mereka anggap
tetapi juga orang-orang asal Bugis Cina dan sebagai penakut dan orang Dayak sebagai
berbagai suku bangsa lainnya dalam jumlah orang kafir. Mereka menganggap remeh
yang kecil. Orang-orang Bugis yang memahami berbagai ketentuan adat setempat dan hukum
adanya kebudayaan dominan Melayu di daerah yang berlaku, termasuk membawa senjata tajam
pantai Sambas cenderung menjadi seperti di tempat-tempat umum. Oleh orang Melayu
Melayu dan setelah sekian generasi menjadi dan orang Dayak di Sambas, orang Madura
orang Melayu. Sebaliknya, orang-orang Cina, dikenal sebagai orang yang dengan cepat
yang karena mempunyai keyakinan agama yang mencabut senjata dan melukai atau membunuh
berbeda, cenderung mempertahankan jati diri orang yang telah menyinggung perasaan
ke-Cinaannya. Hubungan antara penduduk mereka. Sebagian dari orang Madura me-
setempat dan orang Cina berjalan dengan baik, manfaatkan situasi yang ada dalam kehidupan
karena orang-orang Cina menghormati orang Melayu tersebut untuk melakukan
patokan-patokan aturan main yang berlaku di tindakan-tindakan kriminal dengan cara
tempat-tempat umum sesuai dengan kekerasan. Orang Melayu tidak berani atau
kebudayaan dominan Melayu. tidak mau melawannya. Berbeda dengan orang
Para migran asal Madura yang datang ke Dayak yang selalu memberikan perlawanan bila
Kabupaten Sambas sejak 1920-an adalah buruh darah telah tumpah karena perbuatan orang
atau kuli pembuat jalan, buruh tani, petani, Madura. Konflik Madura-Dayak telah ber-
tukang becak, serta sopir kendaraan umum. langsung sebanyak sepuluh kali dan memakan
Mereka yang menetap di daerah pedesaan korban yang tidak sedikit di kedua belah pihak.

234 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006


Kebudayaan orang Melayu di Sambas hanya melihat orang-orang Madura sebagai
dapat dikatakan mempunyai kemiripan dengan ciri-ciri stereotip, sehingga perbuatan-
kebudayaan Jawa atau Sunda. Mereka ini perbuatan kekerasan dan kekejaman yang
menekankan pentingnya sopan santun, rukun mereka pelajari dari perlakuan orang Madura
dan saling memaafkan bila terjadi kesalahan, terhadap mereka, mereka gunakan terhadap
menjunjung tinggi budi pekerti, lebih suka orang Madura. Dampak dari hubungan
menghindari konflik, dan taat hukum. Banyak antarsuku bangsa yang didasari oleh ciri-ciri
dari mereka yang menceritakan kepada saya stereotip adalah bahwa hubungan di antara
tentang penderitaan mereka sebagai korban para pelaku tidak ada unsur hubungan
pemerasan dan penipuan yang dilakukan oleh kemanusiaannya.
orang-orang Madura yang kriminal. Bahkan,
ada keluarga-keluarga Melayu yang terpaksa Penutup: kebudayaan dominan dan
harus melarikan diri dari Pemangkat dan Tebas aturan main
ke Pontianak, karena tidak berani melawan Dari uraian di atas tampak jelas bahwa tidak
ancaman-ancaman oknum-oknum preman semua wilayah di Indonesia ini adalah wilayah
Madura setempat. Namun, dalam keadaan tidak bertuan. Medan mungkin merupakan
terpaksa mereka ini bisa mengamuk. sebuah perkecualian. Para migran dari berbagai
Apa yang mereka alami dalam hubungan suku bangsa di Medan dapat hidup untuk
mereka dengan orang-orang Madura di bersaing menentukan aturan-aturan main yang
Kabupaten Sambas adalah pengalaman pahit menguntungkan masing-masing, dan untuk
atas kekalahan yang mereka derita secara tidak menguasai kebudayaan yang berlaku setempat.
adil dan sewenang-wenang dengan tipuan, Kasus orang Jawa di Bandung—bila diper-
paksaan, dan kekerasan yang beresiko korban bandingkan dengan kasus Ambon dan
nyawa mereka. Orang-orang Madura telah tidak Sambas—akan menampakkan dengan jelas
mengikuti aturan main yang berlaku dalam perbedaan dalam strategi adaptasi dari para
wilayah kebudayaan dominan mereka. Bahkan pendatang Jawa di Bandung dengan strategi
orang-orang Madura, yang dilihat sebagai adapasi para pendatang BBM di Ambon dan
pendatang oleh orang-orang Melayu, telah Madura di Kabupaten Sambas. Baik para
mengambil alih aturan-aturan main yang pendatang BBM maupun Madura menerapkan
berlaku di tempat-tempat umum dan meng- prinsip menguasai kebudayaan yang berlaku
gantikannya dengan aturan main cara Madura setempat dan memantapkan patokan-patokan
yang penuh dengan kekerasan. aturan main sesuai dengan kebudayaan mereka
Karena orang-orang Madura itu hidup untuk diikuti oleh suku-suku bangsa lainnya,
menyendiri dalam dunia mereka sendiri, maka termasuk suku bangsa setempat yang semula
orang-orang Melayu ataupun orang-orang dominan.
Dayak tidak mengenal orang-orang Madura Dalam tulisan ini peranan sistem nasional
sebagai orang per orang. Mereka mengenal Indonesia tidak disinggung secara mendalam.
orang-orang Madura sebagai golongan dengan Walaupun demikian, tidak berarti bahwa saya
ciri-ciri stereotipnya, ciri-ciri stereotip yang mengabaikannya. Apa yang ingin saya
tidak ada satu pun yang bagus dalam tunjukkan adalah adanya kebudayaan
pandangan orang Melayu dan Dayak. Karena dominan di suatu masyarakat, dan bahwa
itu, pada waktu terjadi kerusuhan antara orang kebudayaan dominan tersebut menetapkan
Melayu dan Madura, orang-orang Melayu patokan-patokan aturan main yang harus diikuti

Suparlan, Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan 235


oleh semua warga masyarakat yang tercakup Ambon dan berbagai kota kecamatan di
di dalamnya. Dalam kasus-kasus Ambon dan Kabupaten Sambas—terdapat kesan bahwa
Sambas terkesan bahwa sistem nasional tidak para pendatang ini memperoleh beking dari
berdaya dalam berhadapan dengan para sejumlah oknum, sehingga petugas kepolisian
pendatang yang menggunakan cara-cara paksa setempat tidak berani serta tidak mampu
dan kekerasan atau cara-cara preman. menegakkan hukum yang seharusnya menjadi
Bahkan—dari informasi yang saya peroleh di acuan bagi aturan main yang adil dan beradab.

Referensi
Bruner, E.M.
1974 “The Expression of Ethnicity in Indonesia”, dalam Abner Cohen (peny.) Urban
Ethnicity. London: Tavistock. Hlm. 251–288.
Suparlan, P.
1972 The Javanese in Bandung: Ethnicity in a Medium Sized Indonesian City. Tesis M.A.
University of Illinois.
1999a Laporan Kerusuhan Ambon. Laporan Terbatas disampaikan kepada Kapolri. 1999b
Laporan Kerusuhan Sambas. Laporan Terbatas disampaikan kepada Kapolri.

236 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 3, 2006

Anda mungkin juga menyukai