Abstract
The Javanese language used by Samin community is something unique because it has
a special significance with Samin community that is not understandable to the general public.
It occurs as the socio-cultural aspects of Samin community is different from others. The
problems formulated in this study are: (1) what Javanese lexicons used by Samin community
in their daily life, and (2) how Javanese lexicons are related to the socio-culture of Samin
community . Several references used to discuss the issues, namely: socio-dialectology,
distinctive dialect, variations in language, speech levels in Javanese language, Javanese
lexicons, and the concept of Samin community culture.
28
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
komunikatif untuk mendukung tradisi diganti dengan “Aku meh melu nganggoké
yang dianutnya. Hal ini sesuai dengan banyumu” yang berarti „Aku akan ikut
fungsi khas bahasa (Sudaryanto, 1990: 21) serta menggunakan airmu‟ maka dengan
setidak-tidaknya yaitu sebagai senang hati air tersebut akan diberikan,
pengembang akal budi dan pemelihara karena orang Samin berpendapat sumber
kerja sama antar penutur-penuturnya. daya alam memang untuk digunakan
Penutur-penutur bahasa Jawa Samin yang bersama-sama manusia lain.
terkait erat dengan tradisi yang dimiliki.Di Dari contoh kasus di atas, terlihat
sinilah hubungan erat antara tradisi bahwa orang Samin sangat memperhatikan
(budaya) dengan bahasa Jawa Samin yang makna leksikal yang terkandung dalam
penuh dengan untaian masalah yang perlu tuturan. Orang Jawa pada umumnya tidak
dipecahkan. akan terlalu peduli dengan perbedaan
Masyarakat Samin yang hidup di penggunaan istilah njalukdan melu
tengah-tengah masyarakat berbahasa Jawa nganggoké selama akibat yang
ternyata mengembangkan variasi ditimbulkan dari dua istilah di atas sama,
kebahasaan yang berbeda dengan bahasa yaitu bisa meminta air dari seseorang.
Jawa pada umumnya. Fenomena ini perlu Bahasa yang dituturkan oleh
dikaji lebih lanjut untuk menghindari masyarakat Samin memperlihatkan adanya
terjadinya kemungkinan salah paham fenomena kebahasaan yang bervariasi jika
antara komunitas Samin dan komunitas dibandingkan dengan Bahasa Jawa Baku.
Jawa di sekitarnya akibat perbedaan Pada tataran leksikon ditemukan beberapa
variasi kebahasaan yang digunakan. variasi bentuk Bahasa Jawa Masyarakat
Orang Samin memiliki keyakinan Samin jika dibandingkan dengan Bahasa
bahwa manusia hanya bisa memanfaatkan Jawa Baku, hal ini terlihat juga pada
sumber daya alam namun tidak bisa leksikon adang akeh [adaŋ akɛh] „punya
memilikinya.Contoh dari implikasi hajat‟, bateh [batɛh] „saudara‟.
keyakinan ini misalnya ketika seseorang
meminta air kepada orang Samin dengan 1.2 Ruang Lingkup
mengatakan “Aku njaluk banyumu” yang Berbicara tentang masyarakat
berarti „Aku minta airmu‟ maka reaksi Samin sesungguhnya berbicara tentang
umum orang Samin adalah menolak masyarakat Jawa, karena masyarakat
memberi karena merasa tidak ikut Samin memang bagian dari masyarakat
memiliki. Namun apabila kalimat tersebut Jawa.Bagian dari kejawaannya itu
29
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
tercermin pada tradisi, bahasa, manusia. Secara praktis tradisi masyarakat
keberadaannya, genealogisnya, dan Samin itu didasarkan pada pandangan
sebagainya. hidup, pribadi, dan lingkungan atau
Tradisi (Poerwadarminta, 1982: masyarakatnya (Geertz, 1981; Mulder,
1088) adalah segala sesuatu (seperti adat, 1985; Koentjaraningrat, 1994).Secara
kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dsb.) yang umum berkaitan dengan pandangan hidup
turun-temurun dari nenek moyang. orang Jawa (termasuk masyarakat Samin)
Berkaitan dengan konsep tersebut, bersifat kosmo-mitis dan kosmo-magis,
budaya/tradisi Samin perlu dikaji dalam menganggap bahwa alam sekitar
makalah ini, karena adanya suatu mempunyai kekuatan dan berpengaruh
anggapan bahwa budaya dan masyarakat terhadap kehidupan masyarakat maupun
Samin yang merupakan warisan turun- spiritual masyarakatnya (Mulder, 1985),
temurun itu menghambat kemajuan (baca: dan tergantung pula watak pribadi
modernitas). Sebenarnya sesuai dengan individualnya.Dalam hal ini masyarakat
arus kemajuan zaman, budaya tradisional Samin memiliki tradisi kuat yang
dapat bersifat dinamis seperti berhubungan dengan petung (nikah,
dikemukakan oleh Michael R. Dove (1985: bercocok tanam, dagang, berkomunikasi)
xv) bahwa kebudayaan tradisional sering dan konsep-konsep yang merujuk pada
dipersepsikan keliru oleh sebagian orang “syariat” Agama Adam.
dalam pembangunan atau modernisasi. Bahasa adalah symbolic meaning
Semuanya terkait erat dengan proses system (sistem makna simbolis), begitu
sosial, ekonomis, dan ekologis masyarakat pula halnya dengan kebudayaan yang
secara mendasar. Lebih dari itu dikatakan sebagai symbolic meaning
kebudayaan tradisional bersifat dinamis, system (Casson, 1981: 11-17). Lebih jauh
selalu mengalami perubahan, dan karena ahli ini mengatakan bahwa “Like
itu tidak bertentangan dengan language, it is a semiotic system in which
pembangunan itu sendiri. Bagaimana symbols function to communicate meaning
dengan tradisi masyarakat Saminsekarang from one mind to another. Cultural like
? Lebih lanjut, Koentjaraningrat (1994: symbols, like linguistic symbols, encode a
183-184 dan 224) menyatakan bahwa connection between a signifying form and
wujud kebudayaan berisi kompleks ide, asignaled meaning” (Seperti bahasa, itu
gagasan, norma, nilai, aturan, kompleks adalah sistem tanda yang merupakan
aktivitas dan tindakan berpola dari simbol yang berfungsi untuk
masyarakat, dan benda-benda hasil karya mengkomunikasikan makna dari satu
30
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
31
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
2. Kajian Pustaka lontarkan kaum
Penelitian yang berkenaan dengan priyayi, santri, dan
masyarakat Samin sudah banyak dilakukan santri abangan yang
terutama para ahli sejarah dan antropolog. merupakan lapisan-
Penelitian yang pernah dilakukan antara lapisan
lain: Widiyanto (1983) , Sadihutomo sosiokultural pada
(1996), Sujayanto (2001), dan Sugiharto masa itu, yamg
(2002). berpihak kepada
Penelitian yang dilakukan Belanda dalam
widiyanto (1983), membahas secara umum persoalan
tentang masyarakat Samin di kabupaten pemberontakan..”
Blora. Dari sudut kabahasaan, di dalam (Widiyanto,
artikelnya yang berjudul Samin 1983:60)
Surosemiko dan Konteksnya,ia
memberikan pembelaan tentang fenomena Penelitian yang dilakukan oleh
kebahasaan masyarakat Samin yang Sadihutomo (dalam Tradisi Blora, 1996)
selama ini dipandang negatif oleh lebih difokuskan pada figur Samin
masyarakat secara umum. Berikut kutipan Surosentiko. Samin Surosentiko dipandang
artikel tersebut, sebagai seorang yang kaya akan ilmu
“Tetapi kalau filsafat dan ilmu sastra Jawa. Angger-
Samin Surosentiko Angger Pangucap adalah hukum atau
(atau menurut kaidah berbicara yang diajarkan Samin
ucapan orang Surosentiko kepada pengikutnya.Salah
Blora, tempat asal satu bukti kelebihannya dalam hal sastra
tokoh itu) tetap Jawa adalah kemampuan membuat Serat
disamakan dengan Punjer Kawitan, yaitu buku yang berisi
Samin dalam arti silsilah raja-raja dan ajaran di bidang sosial
„bodoh‟ dan politik dikemas dalam tembang macapat.
sebagainya, itu Sujayanto,dkk (2001) dalam
adalah penelitiannya yang berjudul Samin
keterlanjuran sosial Melawan Penjajah dengan Jawa Ngoko
yang perlu segera menjelaskan bahwa masyarakat Samin
dikoreksi. Sebutan sekarang tidak seperti masyarakat Samin
itu semula di pada saat penjajahan Belanda yang tidak
32
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
33
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
sebagai dialek yang berprestise (lihat biasanya disebut kondangan dan
Fernandez, 1993:6). nyumbung. Ini jelas disebabkan oleh
adanya tanggapan atau tafsiran tang
2.2. Pembeda Dialek berbeda mengenai kehadiran di tempat
Setiap variasi bahasa dipergunakan kenduri itu.
di suatu daerah tertentu, dan lambat laun
terbentuklah anasir kebahasaan yang 4) Perbedaan semasiologis yang
berbeda-beda pula, seperti dalam lafal, tata merupakan kebalikan dari perbedaan
bahasa, dan tata arti dan setiap ragam onomasiologis, yaitu pemberian nama
memepergunakan salah satu bentuk yang sama untuk beberapa konsep
khusus. Guiraud (dalam Ayatrohaedi, yang berbeda. Misalnya leksikal
1983:3) menyatakan bahwa ada lima pawon mengendung dua makna yaitu
macam pembeda dialek, yaitu: dapur dan tempat tungku.
1) Perbedaan fonetik yaitu si pemakai 5) Perbedaan morfologis yang dibatasi
dialek atau bahasa yang bersangkutan oleh adanya sistem tata bahasa yang
tidak menyadari adanya perbedaan bersangkutan, oleh frekuensi morfem-
tersebut. Contoh: sungsum [suŋsUm] morfem yang berbeda, oleh kegunaan
dengan sumsum [sumsUm] „isi yang berkerabat, oleh wujud
tulang‟, gendeng [gənDeŋ] dengan fonetisnya, oleh daya rasanya, dan
kenteng [kənTeŋ] „genting‟. oleh sejumlah faktor lainnya lagi
2) Perbedaan semantik, yaitu dengan
terciptanya kata-kata baru, 2.3. Variasi Bahasa
berdasarkan perubahan fonologi dan Pemakaian bahasa tidak hanya
geseran bentuk. Dalam peristiwa ditentukan oleh faktor-faktor linguistik
tersebut biasanya juga terjadi geseran tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik.
makna kata. Geseran tersebut bertalian Faktor-faktor nonlinguistik yang
dengan dua corak, yaitu sinonim dan berpengaruh terhadap pemakaian bahasa
homonim. antara lain faktor sosial dan faktor
3) Perbedaan onomasilogis yang situasional. Kedua faktor tersebut
menunjukkan nama yang berbeda menimbulkan berbagai variasi bahasa yang
berdasarkan satu konsep yang berupa bentuk-bentuk bagian atau varian
diberikan di beberapa tempat yang dalam bahasa yang masing-masing
berbeda. Menghadiri kenduri memiliki pola umum bahasa induknya
misalnya, di beberapa daerah Blora (Poedjosoedarmo dalam Suwito, 1985:23).
34
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
Adpun wujud variasi dapat berupa idiolek, mengikuti unsur yang diperkaitkan (yang
dialek, ragam bahasa, register maupun berbeda).
unda-usuk. Variasi bahasa berdasarkan
Kelonggaran pemakaian bahasa penuturnya ada empat macam, (1) idiolek,
sebagai akibat adanya faktor sosial dan yaitu variasi bahasa bersifat perorangan,
situasional bukanlah berarti merupakan (2) dialek, yaitu variasi bahasa dari
kebebasan untuk melanggar kaidah-kaidah sekelompok penutur yang jumlahnya
kebahasaan, akan tetapi hal ini relatif dan berada pada suatu wilayah, (3)
dimaksudkan untuk menyesuaikan kronolek atau dialek temporal, yaitu
pemilihan bahasa atau variasi bahasa variasi bahasa yang digunakan kelompok
dengan kendala sosial pada diri penutur. sosial pada masa tertentu , (4) sosiolek
Suwito (1985:29) mengemukakan variasi atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa
bahasa ialah sejenis ragam bahasa yang yang berkenaan dengan status, golongan
pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan kelas sosial penuturnya.
dan situasinya tanpa mengabaikan kaidah
pokok yang berlalu dalam bahasa yang 2.4. Tingkat Tutur Bahasa Jawa
bersangkutan, artinya bahwa situasi yang Teori yang digunakan untuk
menyertai suatu peristiwa tutur menurut penentuan tingkat tutur, mengikuti
suatu variasi bahasa tertentu. pembagian tingkat tutur Sudaryanto (1989)
Pada hakekatnya, pemakaian bahasa yang membagi menjadi dua kelompok,
tidak monopolitik melainkan bervariasi. yaitu bentuk ngoko dan krama, yang
Berdasarkan sumbernya Nababan masing-masing diperinci atas bentuk lugu
(1984:15-16) membagi variasi bahasa dan halus, sehingga secara hirarki terbagi
menjadi dua macam, yaitu: variasi atas ngoko, ngoko alus, krama dan krama
eksternal dan variasi internal. Variasi alus.
eksternal ialah variasi yang berhubungan Ada dua hal yang penting yang
dengan faktor-faktor di luar sistem bahasa harus diingat pada waktu akan menentukan
itu sendiri, yaitu: sehubungan dengan tingkat tutur yang akan dipakai. Pertama,
daerah asal penutur, kelompok sosial, tingkat formalitas hubungan perseorangan
situasi berbahasa, dan zaman penggunaan antara penutur dan mitra tutur.Kedua,
bahasa itu. Sedangkan variasi internal ialah status sosial yang dimiliki mitra tutur.
unsur-unsur yang mendahului dan Untuk memilih suatu tingkat tutur
yang sesuai dengan mitra tuturnya, penutur
35
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
harus dapat menetapkan corak hubungan 2.5 Leksikon Bahasa Jawa
atau relasinya dengan mitra Leksikon menurut Kridalaksana
tutur.Penetapan corak hubungan (1993:98) adalah komponen bahasa yang
didasarkan atas tingkat jarak sosial dan menuat semua informasi entang makna
tingkat status sosial. dan pemakaian kata dalam bahasa.Cabang
Apabila penutur berstatus sosial linguistik yang mempelajari kata atau
lebih rendah dibandingkan dengan mitra leksikon disebut leksikologi.
tutur, maka penutur menggunakan bentuk Bahasa Jawa kaya akan
krama. Selain itu, apabila penutur sama perbendaharaan kata atau leksikon. Hal ini
sekali belum mengenal atau tidak akrab disebabkan karena tingkat tutur yang
dengan mitra tuturnya, dan penutur lebih beragam dan wilayah pemakaian bahasa
muda dibandingkan mitra tuturnya juga Jawa yang luas sehingga menyebebkan
menggunakan bentuk krama. leksikon yang ada bertambah variatif.
Untuk memilih tingkat tutur mitra Suatu perbedaan disebut perbedaan dalam
tutur akan menyesuaikan diri dengan leksikon, jika leksem-leksem yang
penuturnya. Bentuk tingkat tutur yang digunakan untuk merealisasikan suatu
digunakan oleh penutur berpengaruh makna yang sama tidak berasal dari satu
terhadap bentuk tingkat tutur yang akan etimon prabahasa. Semua perbedaan
digunakan oleh mitra tutur. Apabila mitra bidang leksem selalu berupa variasi.
tutur berstatus sosial rendah dibandingkan Variasi leksikon terjadi karena
penutur, maka mitra tutur menggunakan adanya pergeseran bentuk, perubahan
bentuk krama. Selain itu, apabila mitra fonologi, dan geseran makna (Ayatrohaedi,
tutur sama sekali belum mengenal atau 1979:3). Pergeseran makna yang dimaksud
tidak akrab dengan penutur, dan mitra bertalian dengan dua corak, yaitu: (1)
tutur lebih muda dibandingkan dengan pemberian nama yang berbeda untuk
penuturnya juga menggunakan bentuk linambang yang sama di beberapa tempat
krama. yang berbeda, (2) pemberian nama yang
Apabila penutur dan mitra tutur sama untuk hal yang berbeda di beberapa
ingin menyatakan keakrabannya, maka tempat yang berbeda.
menggunakan bentuk ngoko.Bentuk ngoko Variasi leksikon juga terjadi karena
atau tingkat tutur ngoko mencerminkan adanya perbedaan onomasiologis dan
rasa tak berjarak antara penutur dan mitra semasiologis. Perbedaan onomasiologis
tutur. menunjukan nama yang berbeda
berdasarkan satu konsep yang diberikan di
36
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
beberapa tempat yang berbeda wajib bayar pajak dan penyerahan hasil
(Ayatrohaedi, 1974:4). Misalnya, terdapat pertanian pada lumbung desa yang
dua kata untuk merealisasikan makna dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda
„tapai singkong‟, yaitu tape dan peuyeum. pada waktu itu. Eksploitasi penjajah dan
Perbedaan semasiologis merupakan kerakusan birokrat kolonial bangsa
kebalikan dari perbedaan onomasiologis, bumiputera merupakan pemicu utama
yaitu pemberian nama untuk beberapa munculnya ajaran ini.
konsep yang berbeda. Misalnya [esuk] Ajaran yang muncul dalam tradisi lisan,
mengandung dua makna, yaitu „besok‟ dan antara lain:
„pagi‟. 1) Agama itu gaman, adam pangucape,
Leksikon dalam suatu bahasa dapat man gamang lanang (agama Adam
memperlihatkan kekayaan kata yang merupakan senjata hidup);
berasal dari bahasa tersebut, begitu juga 2) Aja drengki srei, tukar padu, dahpen
dengan leksikon yang berasal dari bahasa kemeren, aja kutil jumput, bedhog
lain yang digunakan dalam bahasa itu. colong;
Masuknya leksikon yang berasal dari 3) Sabar lan trokal empun ngantos
bahasa lain menambah kekayaan leksikon dengki srei...,nemu barang teng dalan
bahasa tersebut. mawon kula simpangi;
4) Wong urip kudu ngerti ing uripe;
2.6 Konsep Sosial Budaya Masyarakat 5) Wong enom mati uripe titip sing urip.
Samin Bayi uda nger niku suksma ketemu
Masyarakat Samin merupakan salah raga;
satu kelompok masyarakat yang 6) Dhek zaman Landa niku njaluk pajeg
mempunyai kebiasaan, tatanan sendiri boten trima sak legane nggih boten
serta adat istiadat tersendiri yang berbeda diwehi. Bebas boten seneng. Ndandani
dengan masyarakat pada umumnya. ratan nggih bebas. Gan gelem wis
Pemikiran dan ajaran Samin dibebasake..jaga omahe dhewe.
Surosentiko diawali oleh kondisi Nyengkah ing negara telung taun
masyarakat akan kebencian perlakuan dikenek kerja paksa;
pemerintahan kolonial Belanda. Hal lain 7) Untuk ajaran ke 7 sampai ke 9
juga bertalian dengan terganggu atau merupakan ajaran moral tentang sikap,
tergesernya status sosial dari kalangan ucapan dan tindakan yang harus hati-
pribumi yang berada akibat penerapan hati, perkawinan, dan konsep
37
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
persaudaraan berdasarkan temukan di sekitar tempat
keanggotaan kelompoknya. semedinya.Buku-buku itulah yang
Ajaran lainnya terdapat dalam tradisi dinamakan Kalimasada.Buku ini pernah
tulisan berupa kitab yang terdiri dari: dimiliki oleh Prabu Puntodewo. Buku
1) Serat Punjer Kawitan, berkaitan inilah yang menjadi pegangan komunitas
dengan ajaran tentang silsilah raja-raja Samin sampai sekarang (Deden
Jawa. Ajaran ini pada prinsipnya Faturrohman, 2003:20-21)
mengakui bahwa orang Jawa adalah
keturunan Adam dan keturunan 2.7. Kerangka Pikir
Pandawa. Bahasa Jawa yang digunakan oleh
2) Serat Pikukuh Kasejaten, ajaran masyarakat Samin merupakan sesuatu
tentang cara dan hukum perkawinan. yang unik karena mempunyai makna
Konsep pokok dalam ajaran ini adalah khusus yang tidak dimengerti oleh
membangun keluarga merupakan masyarakat lain. Bahasa Jawa masyarakat
sarana kelahiran budhi, yang akan Samin sangat erat hubungannya dengan
menghasilkan atmajatama (anak yang aspek sosial budaya masyarakat Samin,
utama). sehingga banyak leksikonnya yang
3) Serat Uri-Uri Pambudi, berisi tentang bermakna filosofis.
ajaran perilaku yang utama, terdiri Permasalahan yang akan dibahas
dari ajaran: Angger-Angger Pratikel dalam penelitian ini, yaitu: bagaimana
(hukum tingkah laku). variasi leksikon bahasa Jawa masyarakat
4) Serat Jati Sawit, buku yang membahas Samin berdasarkan aspek sosial budaya
tentang kemuliaan hidup sesudah dan leksikon bahasa Jawa masyarakat
mati. Ajaran ini mengenal konsep Samin dalam pemakaian sehari-hari.
hukum karma. Ada beberapa acuan teori yang
5) Serat Lampahing Urip, buku yang digunakan untuk membahas permasalahan
berisi tentang primbon yang berkaitan di atas, yaitu: kajian sosiodialek, pembeda
dengan kelahiran, perjodohan, dialek, variasi bahasa, tingkat tutur bahasa
mencari hari baik untuk seluruh Jawa, leksikon bahasa Jawa, konsep sosial
kegiatan aktivitas kehidupan. budaya masyarakat Samin. Adapun
Kesemuanya itu diperoleh Samin metodologi yang digunakan berupa
Surosentiko, melalui perilaku semedi.Dia pendekatan sinkronis kualitatif dan
menerima wangsit untuk mengambil buku- pendekatan sosiodialektologi.
buku atau kitab kuno yang ternyata dia
38
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
39
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
Teoritis
1.Kajian sosiodialektologi
2. Pembeda Dialek
3. Variasi Bahasa
4. Variasi Pemakaian Bahasa Jawa
5. Teori Tingkat Tutur
6. Leksikon Bahasa Jawa
Latar Belakang Masalah 7. Konsep Sosial Budaya Hasil
Masyarakat Samin
Bahasa Jawa yang 1.Leksikon bahasa Jawa 1.Leksikon bahasa
digunakan oleh masyarakat Samin dalam Jawa Masyarakat
masyarakat Samin di kehidupan sehari-hari. Samin dalam
Desa Klopodhuwur kehidupan sehari-hari.
merupakan sesuatu 2. Variasi leksikon pemakaian
yang unik, karena bahasa Jawa masyarakat Samin 2. Variasi leksikon
bahasa Jawa yang berdasarkan aspek sosial budaya pemakaian bahasa
digunakan oleh Jawa masyarakat
masyarakat Samin Metode Samin berdasarkan
mempunyai makna aspek sosial budaya
1.Menggunakan pendekatan
khusus yang tidak
sinkronis kualitatif dan
dimengerti oleh
pendekatan sosiodialektologi.
masyarakat umum.
2.Pengumpulan data dengan
metode simak dan cakap
dengan tehnik rekam dan catat.
40
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
41
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
Surosentiko yang hidup pada zaman Pojok (tokoh ulama penyebar Islam di
kolonial Belanda (sekitar 1900-an). Ia Blora), dan Pak Engkrek (tokoh Samin dari
menetap di desa Bapangan Kecamatan desa Klopodhuwur).
Menden Kabupaten Blora Jawa Tengah .
Karena ketokohannya, Kiai Samin 3.2 Alat Penelitian
menjadi panutan masyarakat. Perilaku dan Alat penelitian yang dipandang
gaya hidupnya menjadi acuan, sehingga utama dalam penelitian sosiodialektologi
warga yang dengan sepenuh hati mengikuti adalah daftar pertanyaan kebahasaan dan
perilaku dan gaya hidupnya disebut sebagai wawancara.Daftar tanyaan ini dipakai
nyamin (baca:menyerupai samin) – dalam sebagai kendali dalam menjaring data di
istilah bahasa Jawa disebut nunggak lapangan (Suryadi dkk, 1998).Inti dari daftar
semi/dinisbatkan pada nama sang tokoh. tanyaan ini berupa leksikon, frasa dan
Pada waktu pengikutnya semakin banyak kalimat bahasa Jawa ngoko.
dan membentuk komunitas tersendiri,
mereka disebut sebagai masyarakat Samin. 3.3 Informan
Di samping Kiai Samin Surosentiko, Informan yang dipilih dalam
ada tokoh Samin lainnya yang disebut Pak penelitian ini adalah masyarakat Samin,
Engkrek.Tokoh ini bernama asli dengan kriteria (1) laki-laki atau perempuan,
Resodikromo Siman, yang dikenal sebagai (2) berusia 25 s.d 65 th, (3) lahir dan besar
orang yang memperkenalkan Saminisme di di daerah setempat, (4) sehat jasmani dan
daerah Klopo Dhuwur.Pak Engkrek dikenal rohani, (5) pekerjaannya bertani atau buruh,
sebagai orang kaya (sehingga mampu (6) memiliki kebanggan terhadap isolek dan
memberikan fasilitas bagi pengikutnya dari masyarakat isoleknya, (7) berstatus sosial
luar daerah dan lahan untuk bekerja). menengah (tidak rendah atau tidak tinggi)
Masyarakat Samin (khususnya dengan harapan tidak terlalu tinggi
Samin Klopodhuwur) mengenal dan mobilitasnya (Mahsun, 1995:106).
mengakui tiga tokoh yang dihormati karena
mereka menganggap mempunyai tingkat 3.4 Data dan Sumber Data
kualifikasi sebagai seorang Data dalam penelitian ini adalah
pemimpin.Mereka adalah Ndoro Soma tuturan yang mengandung aspek leksikon
(mantan bupati Blora tempo dulu), Sunan
42
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
bahasa Jawa pada masyarakat Samin yang Metode cakap memiliki tehnik dasar
berupa kata, frasa dan kalimat. berupa tehnik pancing.Dikatakan tehnik
Sumber data yang diambil dalam dasar karena „percakapan‟ yang diharapkan
penelitian ini adalah masyarakat Samin yang sebagai pelaksanaan metode cakap itu hanya
tinggal di desa Klopodhuwur Kecamatan dimungkinkan muncul jika peneliti memberi
Banjarejo Kabupaten Blora. pancingan pada informan untuk
Dalam penelitian ini hanya memunculkan gejala kebahasaan yang
mengambil sumber data lisan karena sumber diharapkan peneliti.
lisan memegang peranan yang sangat Pelaksanaan metode cakap ini
penting dalam penelitian dialek dan bahasa dilakukan dengan percakapan langsung
pada umumnya (Ayatroedi 1983:11). antara peneliti dan informan yang bersumber
dari daftar pertanyaan kebahasaan. Apabila
3.5 Metode dan Tehnik Pengumpulan informan tampak ragu dalam memberikan
Data jawaban dan peneliti kurang yakin akan
Pengumpulan data dilakukan dengan jawaban yang duperoleh, maka peneliti
menggunakan metode pupuan lapangan berusaha memancing jawaban dengan
(Ayatroedi, 1983:34).Untuk mendapatkan menguraikan pertanyaannya dan disertai
data yang akurat digunakan juga metode dengan gambar sehingga diperoleh jawaban
cakap dan metode simak beserta tehnik- yang benar.
tehniknya. Dari tehnik dasar dilanjutkan dengan
Metode pupuan lapangan merupakan tehnik lanjutan yaitu tehnik cakap semuka.
suatu metode yang lebih tinggi nilai Dalam tehnik cakap semuka ini percakapan
ilmiahnya.Dalam metode ini peneliti datang dikenali oleh peneliti dan diserahkan sesuai
langsung ke tempat titik pengamatan dalam dengan kepentingannya yaitu memperoleh
mengambil data. data selengkap-lengkapnya sebanyak tipe
Metode cakap berupa percakapan data yang dikehendaki dan informan sadar
dan terjadi kontak antara peneliti dengan akan peranannyasebagai nara sumber yang
penutur selaku nara sumber. Metode ini pada hakekatnya alat memperoleh data itu.
dapat disejajarkan dengan metode Artinya, dia tahu bahwa yang dikehendaki
wawancara (Sudaryanto, 1993:137). peneliti adalah bahasanya dan bukan isi
wicara (Sudaryanto, 1993: 138)
43
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
Dalam penelitian ini juga lanjut.Dalam penelitian ini metode padan
menggunakan metode simak.Dikatakan digunakan untuk menganalisis adanya
metode simak karena berupa perbedaan-perbedaan unsur kebahasaan
penyimakan.Metode simak dengan tehnik bahasa Jawa masyarakat Samin dari bahasa
sadap dan simak libat cakap digunakan Jawa standar.Langkah pertama
untuk menyimak pemakaian bahasa oleh mendeskripsikan perbedaan leksikon dengan
informan.Dalam hal ini peneliti ikut menggunakan tehnik pilah unsur penentu
berpartisipasi dalam pembicaraan sambil sebagai tehnik dasar.
menyimak tuturan dari informan dan Analisis perbandingan bahasa Jawa
sekaligus merekam dan mencatat hal-hal masyarakat Samin dengan bahasa Jawa
yang dipandang penting guna melengkapi standar dimaksudkan untuk mendapatkan
dalam rangka mengontrol data. gambaran yang jelas tentang variasi
leksikal.Kemudian data dibandingkan
3.6 Metode dan Tehnik Analisis Data berdasarkan faktor sosial budaya masyarakat
Dalam menganalisis data, Samin yang berbeda dengan masyarakat
menggunakan metode analisis satuan lingual umum disekitarnya dengan menggunakan
yang pada hakekatnya sama dengan tehnik hubung banding sebagai tehnik lanjut.
menentukan aspek-aspek satuan lingual
yang pada hakekatnya sama dengan 3.7 Metode dan Tehnik Penyajian Hasil
menentukan aspek-aspek satuan lingual itu Analisis Data
didasarkan tehnik-tehnik tertentu sebagai Dalam pemaparan hasil analisis data
penjabaran dari metode yang digunakan digunakan metode formal dan metode
dengan membedakan data-data yang informal.Metode formal digunakan pada
digunakan untuk tujuan itu (Sudaryanto, paparan hasil analisis data yang berupa
1993:2). lambang-lambang bunyi, sedangkan metode
Pada tahap analisis data digunakan in formal digunakan pada pemaparan hasil
metode padan dengan aneka tehniknya yang analisis data yang berupa perumusan dengan
disesuaikan dengan karakter data yang kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145).
diperoleh dan tujuan penelitian yaitu tehnik
pilah unsur penentu sebagai tehnik dasar dan
tehnik hubung banding sebagai tehnik
44
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
1 Dahi [batU?]
[batin]
2 punggung [gɚgɚr]
[entɔɳ-entɔɳ]
3 Rambut ikal [rambut brintI?]
[brintI]
[rambut ɳᴐmba]
[nɚmbaɳ bakoɳ]
4 Panggilan untuk laki-laki tua [yai]
[simbah]
[mbah naɳ]
[mbah]
[mbah kuɳ]
5 Anak tiri [ana? kuwalᴐn]
[ana?]
6 Kakak laki-laki dari ayah/ibu [pak tUwo]
[mak de]
7 Kakak perempuan dari ayah / [mak biyuɳ]
ibu [yuɳde]
45
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
8 Kakak laki-laki [kaɳaku]
[kaɳ]
9 Anak termuda [ragil]
[ruju]
46
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
4.2.1 Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat bagi orang hidup adalah bekerja untuk
Samin dalam Pendidikan Etos mencukupi kebutuhan sehari-hari.Gebyah
Kerja macul yang mempunyai makan „bekerja‟,
Masyarakat Samin sangat kuat menandakan bahwa masyarakat Samin
memegang prinsip bahwa yang paling utama bekerja sebagai petani yang tentu saja
47
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
dengan mencangkul di sawah.Setiap orang adalah bertani yang setiap hari pergi ke
diharuskan mampu melatih diri dan bekerja sawah dan mencangkul.
sejak dini guna mendapatkan kemakmuran
hidup.Dengan akal, manusia mampu 4.2.2 Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat
menetukan hal-hal yang paling tepat bagi Samin dalam Pendidikan
kehidupannya. Seperti bunyi sebuah Kebersamaan
pribahasa di kalangan masyarakat Samin, Rasa kebersamaan merupakan ajaran
“Janma lan sato iku prabédané anéng terpokok yang dikembangkan oleh Samin
jantraning laku. Janma wenang amurba lan Surosentiko. Kaidah yang digunakan adalah
misésa kahanan, déné sato pinurbawasésa sami-sami yang berarti sebagai sesama
ing pranatamangsa.”Artinya, perbedaan manusia harus bertindak “sama-sama”,
antara manusia dan hewan terletak pada sama-sama bertindak jujur, sama-sama adil,
perjalanan nasib yang mengikat.Manusia sama-sama saling menolong, demi
berhak menentukan hal-hal yang paling terciptanya masyarakat yang homogen dan
tepat bagi hidupnya, sementara binatang guyub. Ia menggunakan istilah sedulur
hanya (mesti) tunduk kepada aturan alam (saudara) untuk membahasakan diri sendiri
yang berhubungan dengan musim. kepada orang lain. Siapapun dan dalam
Agar mampu mendapatkan hasil kondisi yang bagaimanapun ketika sudah
yang baik dalam bekerja, manusia menjadi bagian dalam komunitas Samin,
membutuhkan usaha dan kesabaran. Dengan maka ia dianggap sebagai saudara. Ajaran
usaha dan kesabaran tersebut, hambatan tersebut tercermin dalam prinsip
yang merintangi jalan kehidupannya tidak sintenmawon kulo aku sedulur (siapa saja
akan terjadi. Lakonana sabar trokal, sabaré saya anggap sebagai saudara)..Berawal dari
diéling-éling, trokalé dilakoni (kerjakan prinsip itu maka muncul gaya hidup yang
sikap sabar dan giat.Agar selalu ingat bersifat permisif (terbuka) dan egaliter
tentang kesabaran dan selalu giat dalam (persamaan).
kehidupan). Adanya rasa persaudaraan ini
Dalam konsep makna „bekerja‟ mendorong kebiasaan gotong-royong dan
dalam Bahasa Jawa masyarakat Samin saling membantu (lung-tinulung) antar
dituturkan dengan gebyah macul. Leksikon sesamanya. Apabila diantara orang Samin
ini muncul karena mereka pekerjaannya ada yang mempunyai gawé (hajat), yang
48
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
menurut istilah mereka disebut adang akéh, penyebutan terhadap orang yang lebih tua.
dan yang bekerja di tempat yang punya Hal ini terkait dengan latar belakang sosial
gawedikatakankarukunan.Semua kerabatnya budaya masyarakat Samin yang
datang dari segala pelosok dengan menganggap semua orang adalah sama
membawa bahan-bahan mentah yang akan tanpa memandang usia, pangkat, jabatan,
dimasak dan dimakan bersama. Seperti yang kekayaan, dan lain sebagainya.
diajarkan oleh Samin Surosentiko, bahwa
dalam hidup di masyarakat harus tertanam 4.2.3 Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat
rasa gilir-gumanti .Yakni bila kali ini Samin dalam Pendidikan
dibantu orang lain, maka ketika ada orang Pengolahan Lingkungan Hidup
lain yang membutuhkan bantuan, tanpa Hubungan manusia dengan alam
diharapkan oleh pihak yang bersangkutan, ia lingkungan di masyarakat Samin terjalin
berkewajiban untuk membantu. sangat akrab dan dekat.Hal ini disebabkan
Penanaman rasa persamaan rutinitas kehidupannya adalah sebagai petani
dicerminkan Ki Samin dalam penggunaan sehingga kedekatan dengan alam tidak dapat
bahasa Ngoko (bahasa Jawa kasar) dalam terpisahkan.Baginya, pekerjaan yang paling
setiap percakapan, tanpa mau menggunakan mulia dan sesuai dengan kondisi mereka
Kromo Inggil (bahasa Jawa halus) yang adalah sebagai seorang petani.
memang lebih sering dipakai oleh orang Dalam pengelolaan hasil panen yang
yang berstatus lebih rendah kepada yang diperoleh, mereka membiasakan membagi
lebih tinggi. Misalnya antara anak muda menjadi empat bagian yang sama besar.
dengan orang tua, atau buruh dengan Bagian pertama disediakan untuk bibit pada
majikannya. masa tanam berikutnya.Kedua, untuk
Penyebutan untuk kakek-nenek pangan, yaitu bagian yang disediakan untuk
dalam bahasa Jawa menggunakan tingkat kebutuhan makan setiap hari.Ketiga, untuk
bahasa paling halus (krama inggil) kakung- sandang, yaitu bagian yang disediakan
putri sebagai tanda hormat kepada orang untuk keperluan membeli pakaian dan
yang lebih tua.Fenomena ini tidak muncul sejenisnya.Keempat, ialah untuk upah, yaitu
dalam bahasa Jawa Samin yang justru bagian yang disediakan untuk penggarapan
menggunakan bahasa jawa paling kasar sawah atau ladang dan ongkos menuai atau
(ngoko) lanang-wedhok meski untuk panen.(Hasan Anwar, 1979).Khusus bagian
49
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
yang disediakan untuk bibit, dalam keadaan meminta air kepada orang Samin dengan
yang bagaimanapun, bagian ini tidak boleh mengatakan “Aku njaluk banyumu” yang
dikurangi. Sebab apabila bagian ini berarti „Aku minta airmu‟ maka reaksi
dikurangi untuk menutup keperluan lain, umum orang Samin adalah menolak
maka sudah pasti mereka akan kesulitan memberi karena merasa tidak ikut memiliki.
untuk melakukan penanaman di musim Namun apabila kalimat tersebut diganti
tanam yang akan datang. Dalam hal ini, ada dengan “Aku meh melu nganggoké
semacam tuntutan untuk melestarikan banyumu” yang berarti „Aku akan ikut serta
lingkungan secara berkelanjutan. menggunakan airmu‟ maka dengan senang
Kepercayaan terhadap „karma‟ hati air tersebut akan diberikan karena orang
menjadikan kehati-hatiannya dalam Samin berpendapat sumber daya alam
menjalani kehidupan. Adanya kepercayaan memang untuk digunakan bersama-sama
ini ditunjukkan dalam ungkapan “Sopo kang manusia lain.Dari contoh kasus di atas,
nandur mesti bakal ngunduh, ora ono terlihat bahwa orang Samin sangat
nandur pari thukul jagung, nandur pari memperhatikan makna leksikal yang
mesti ngunduh pari” (siapa yang menanam terkandung dalam tuturan. Orang Jawa pada
pasti akan memanen, tidak ada seorang pun umumnya tidak akan terlalu peduli dengan
yang menanam padi akan menuai jagung, perbedaan penggunaan istilah njaluk dan
siapa saja menanam padi pasti akan melu nganggoké selama akibat yang
menghasilkan padi). (Hasan Anwar, 1979). ditimbulkan dari dua istilah di atas sama,
Barang siapa yang menanam kebaikan, yaitu bisa meminta air dari seseorang.
maka disuatu saat nanti ia akan menuai hasil
kebaikannya. Sebaliknya, barang siapa yang 4.2.4 Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat
menanam benih-benih kejelekan, maka Samin dalam Pendidikan Ahlak
tentunya ia sendiri yang akan menuai Secara keseluruhan ajaran-ajaran
kejelekan itu di suatu saat nanti. Samin Surosenitiko, pada hakikatnya
Orang Samin memiliki keyakinan menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan
bahwa manusia hanya bisa memanfaatkan manusia.Ajaran tersebut digunakan sebagai
sumber daya alam namun tidak bisa pedoman tingkah laku dan perbuatan
memilikinya.Contoh dari implikasi manusia dalam pergaulan.Salah satu hal
keyakinan ini misalnya ketika seseorang yang bisa dicontoh dari ajaran Ki Samin
50
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
51
Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin
Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti)
pemakaian bahasa Jawa masyaraiat Samin kebersamaan, pendidikan pengolahan
dengan bahasa Jawa Baku, antara lain dalam lingkungan hidup dan pendidikan ahlak.
pendidikan etos kerja, pendidikan
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Niels Mulder. 1974. “Saminisme and
Agama. Terjemahan Fransisco Budi Budhisme: A not on Field visit to a
Hardiman. Yogyakarta: Kanisius. Samin Community”, Asian Quartely, A
Journal from Europe, No. 3.
52
CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014
53