Resensi Buku
searah. Akan tetapi, yang terjadi saat ini Potret Pendidikan Indonesia Saat Ini
adalah guru ke rumah siswa hanya ketika
siswa tersebut memiliki masalah dalam Pendidikan di Indonesia saat ini masih
proses pembelajaran, atau ketika siswa menghadapi tantangan yang kompleks.
sedang sakit untuk waktu yang lama. Perubahan kurikulum dan standar
pendidikan menjadi perhatian banyak pihak.
Hal ini salah satunya diakibatkan oleh Maka tak ayal, orang tua saat ini cenderung
kurangnya partisipasi pamong1 dalam menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah
kegiatan sarasehan Tamansiswa. Kegiatan yang memiliki akreditasi yang baik dengan
inipun mengalami kemunduran, yang pada nilai yang tinggi. Pada akhirnya, orang
awalnya dilaksanakan setiap bulan pada melihat hasil belajar berdasarkan angka yang
Rebo Wagen dan Selasa Kliwon2, saat ini diperoleh pada nilai akhir, daripada melihat
hanya dilakukan pada saat acara-acara besar proses pembelajarannya. Anak dianggap
saja. Padahal, inti dari pertemuan ini adalah berhasil ketika ia mendapat nilai yang tinggi,
untuk menerapkan Panca Dharma dan dianggap bodoh ketika nilainya rendah.
Tamansiswa, agar pamong memiliki bekal Padahal, tujuan utama pendidikan adalah
untuk mengabdi sebagai teladan (momong), memanusiakan-manusia.
prakarsa (among), dan fasilitator (ngemong)
berdasarkan nilai-nilai yang ada di Pemilihan sekolah berbasis nilai ini terjadi
Tamansiswa. Selain itu, hal yang membuat bahkan sejak anak memasuki usia
Tamansiswa mengalami kemunduran saat TK/PAUD. Orang tua mulai gegeran3
ini adalah karena persaingan dalam kualitas mencarikan sekolah untuk anaknya, dengan
pendidikan yang sulit untuk diikuti. membandingkan TK satu dengan yang lain
Meskipun Tamansiswa merupakan sekolah melalui serangkaian proses untuk melihat
berbasis kebudayaan satu-satunya yang TK mana yang menurutnya lebih baik untuk
tidak perlu diragukan lagi track record-nya, sekolah anaknya. Terdapat agen-agen yang
persaingan kualitas dengan institusi formal mempromosikan sekolah TK dengan
negeri dan swasta sangat tinggi, sehingga hal berbagai macam fasilitas namun dengan
ini berdampak pada menurunnya jumlah harga yang tidak murah. Apa yang dialami
siswa dari tahun ke tahun. Bahkan yang di masa lalu nampaknya tidak bisa dijadikan
terjadi saat ini adalah semakin banyaknya referensi untuk masa kini, karena zaman
ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) yang telah berubah, kebutuhan akan pendidikan
disekolahkan di Tamansiswa, sehingga juga berubah. Jika pada zaman dulu anak
orang tua khawatir anaknya tidak akan fokus memiliki kebebasan untuk memutuskan
belajar karena sibuk membantu teman- akan sekolah di TK atau tidak, maka lain
temannya yang berkebutuhan khusus. dengan kondisi saat ini yang
Sehingga dengan semakin berkurangnya memperlihatkan bahwa TK seakan wajib
jumlah siswa yang masuk pada setiap ditempuh anak agar lebih siap memasuki
angkatan, tidak heran jika saat ini Sekolah Dasar. Selain itu, yang
Tamansiswa mengalami kebangkrutan. melatarbelakangi pengambilan keputusan
untuk menyekolahkan anak di TK adalah
karena orang tua harus bekerja dan anak
harus ada tempat selama orang tuanya
1
Istilah untuk guru di Tamansiswa. Juga terdapat an dalam hal nusa dan bangsa, dan pertemuan
panggilan seperti Nyi untuk pamong perempuan dan Selasa Kliwon untuk mengenang etos kerja Ki Hadjar
Ki untuk pamong laki-laki. Dewantara.
2 3
Pertemuan yang dilakukan sekali setiap bulan pada Heboh, panik.
hari Rabu Wage untuk pemahaman ke-Tamansiswa-
bekerja untuk membiayai sekolah anak yang Jika dalam gagasan PAUD anak sebagai
tidak murah. pusat dalam pendidikan, dan orang tua harus
melindungi dan mengayomi anak sebagai
Sekolah saat ini nampaknya tidak hanya individu, lain halnya dengan yang terjadi
berdiri sebagai penyelenggara pendidikan, pada anak-anak usia dini pada masyarakat
namun sudah memasuki ranah intim dalam Tanjung di pesisir selatan Ende di Pulau
komunitas. Dengan waktu yang cukup lama Flores, Nusa Tenggara Timur yang
yang dihabiskan orang tua untuk bekerja dan memperlihatkan krisis akulturasi dalam
terpisah dari anak-anaknya, semakin pendidikan di Indonesia. Etnografi yang
memperlihatkan bahwa orang tua mulai ditulis oleh Ami Priwardhani mengenai
kehilangan otoritas atas anak-anak mereka. gagasan tentang anak dalam program PAUD
Peran orang tua diambil alih oleh guru untuk memperlihatkan bahwa posisi anak dalam
mendidik anak-anaknya, sehingga orang tua keluarga dianggap tidak penting dan
harus membayar mahal atas pendidikan suaranya tidak dapat diperhitungkan. Hal ini
putra-putrinya bahkan sejak di TK. Anak terlihat dalam praktiknya dalam kehidupan
tidak lagi memiliki pilihan-pilihan lain sehari-hari, bagaimana ayam goreng sebagai
selain harus mengikuti keinginan orang lauk memiliki nilai simbolis dalam
tuanya untuk mulai bersekolah di TK. Sejak masyarakat Tanjung, ketika orang dewasa
masa pertumbuhan, mereka telah diarahkan mendapat bagian yang besar, sedangkan
ke jalan yang dipilih orang tuanya. anak hanya mendapat bagian yang sedikit.
Anak-anak dianggap tidak penting dalam
Gagasan pendidikan anak dibawah usia 6
keluarga. Apapun yang dikatakannya tidak
tahun telah diprakarsai dan dikembangkan
lebih dari sebuah kebohongan yang tidak
oleh lembaga-lembaga internasional seperti
perlu ditanggapi secara serius.
World Bank dan lembaga internasional lain
yang bergerak dalam bidang anak-anak Akan tetapi, dalam pendidikannya, anak
seperti UNICEF dan Plan Internasional, diharapkan menjadi “pintar”. Pintar disini
sehingga muncullah istilah PAUD mengacu pada kemampuannya dalam
(Pendidikan Anak Usia Dini). Di PAUD, melihat keadaan, bagaimana ia seharusnya
anak-anak diajarkan tentang pentingnya berlaku dalam keluarganya sebagai anak.
individualisme dan kedirian (self-hood) Selain itu, pintar juga diasosiasikan dengan
yang telah dikonsepsikan oleh World Bank. kemampuannya menguasai segala sesuatu
Pendidikan dan pengajaran berpusat pada yang dipelajari di sekolah. Kemampuan
anak. Anak-anak dihargai dan dilindungi anak dalam menggunakan Bahasa Indonesia
sebagai individu. Gagasan mengenai anak di dan mengaji menjadi tolok-ukur apakah
dalam program PAUD ini berdasarkan anak tersebut dapat dikatakan pintar atau
kepada tahap pertumbuhan anak-anak yang tidak. Bahasa juga berhubungan dengan
dianggap sedang dalam masa keemasannya kelas sosial. Sejak PAUD, anak-anak
untuk dibentuk menjadi “pintar” di masa Tanjung sudah belajar menggunakan Bahasa
depan. PAUD hadir sebagai gagasan untuk Indonesia untuk percakapan sehari-hari.
pemberantasan kemiskinan di pulau Sehingga kemudian muncul konsepsi bahwa
terpencil. Pada saat ini anak dianggap tidak anak-anak yang menggunakan bahasa lokal
penting dalam keluarga, namun mereka ketika di sekolah dianggap sebagai orang
memiliki peran penting di masa depan. kampung.
Sehingga sekolah dianggap bukan hanya
sebagai saluran pendidikan dan pengajaran, Anak-anak itu juga mengalami keadaan
namun juga sebagai investasi di masa depan. dimana mereka “dipaksa” untuk mengikuti
kurikulum pendidikan yang berlaku secara
nasional. Mereka harus menghafal realitas menginjak usia remaja. Hasil pendidikan di
yang tidak terjadi dalam kehidupan sehari- sekolah hanya dianggap sebagai
hari, misalnya pada saat guru mengajarkan pengetahuan saja yang tidak perlu
materi tentang gejala alam, mereka harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
menyetujui begitu saja ketika guru menamai Toh, pada akhirnya yang menjadi standar
volume air yang besar itu sebagai “banjir”, nilai benar atau salah dalam aktivitas sehari-
meskipun hal itu tidak terjadi dalam hari tetap saja dikonsepsikan di masyarakat
kehidupan mereka. Mereka adalah anak- dimana ia tinggal. Hal ini dibahas dalam
anak pulau, dengan pemandangan pantai etnografi yang Kiki Koesuma Kristi yang
setiap harinya. Maka ketika mereka berjudul “Seksualitas Remaja dalam Krisis
mengatakan fenomena tersebut sebagai Akulturasi”. Etnografi tersebut menujukkan
“gelombang”, karena hal itu tidak ada dalam bahwa remaja memiliki standar ganda dalam
kurikulum, maka guru mengarahkan mereka kehidupannya untuk menilai mana yang
untuk serta-merta menyetujui bahwa boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan
fenomena tersebut adalah “banjir”. Mereka dalam hidup bermasyarakat. Pendidikan soal
seakan “dipaksa” mempelajari sesuatu yang seks di bangku sekolahan yang
tidak ada hubungannya dengan budaya mengindikasikan bahwa seks itu adalah
masyarakatnya, sehingga penamaan atas perbuatan yang buruk hanya dianggap
realitas tersebut hilang maknanya. sebagai pengetahuan moral sekolahan saja,
pada kenyataannya mereka menganggap
Pemahaman terhadap budaya lokal setempat bahwa melakukan hubungan seks dengan
telah mengalami kemunduran. Anak-anak kekasih adalah hal yang lumrah dilakukan
semakin merasa asing dengan budaya dalam komunitasnya sebagai romantisme
setempat ketika apa yang dipelajari adalah dalam percintaan, sehingga pada akhirnya
budaya nasional, misalnya dalam hal tersebut mendorong maraknya kasus
penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa kehamilan diluar nikah.
Indonesia telah dijadikan sebagai bahasa
ibu, sehingga anak-anak tidak mampu lagi Krisis akulturasi dalam pendidikan dengan
berbahasa daerah yang baik dan benar. kebudayaan terjadi karena pendidikan
Barangkali etnografi mengenai “Krisis dianggap sebagai pengetahuan yang datang
Akulturasi Keluarga Jawa dalam dari luar dan dipelajari hanya pada saaat di
Pendidikan” yang ditulis oleh Transpiosa bangku sekolah saja dan tidak menghadirkan
Riomandha dalam buku ini dilakukan pengalaman, sedangkan budaya komunitas
dengan studi kasus yang terjadi di Jawa. memberikan pengalaman yang bisa
Namun pada kenyataannya, hal ini terjadi dijadikan referensi untuk segala
hampir di setiap penjuru Indonesia. Hal ini kemungkinan yang akan terjadi dalam
memperlihatkan bahwa sesuatu yang kehidupan bermasyarakat.
berlaku secara global dapat begitu
berpengaruh pada masyarakat dalam skala Pendidikan Berbasis Kebudayaan
kecil ketika sesuatu itu ditransmisikan sejak
Ada sebuah cerita yang menarik dalam buku
dini.
ini, mengenai keberhasilan sebuah
Hasil pengajaran berbasis kurikulum yang komunitas dalam mengangkat isu budaya
tidak menyesuaikan dengan kebudayaannya yang dikolaborasikan dengan pendidikan
sangat memungkinkan menghasilkan sehingga menghasilkan sesuatu yang
generasi yang rentan akan krisis akulturasi. berguna untuk pihak yang terlibat. Adalah
Krisis akulturasi kemudian juga terjadi etnografi Aant Subhansyah yang berjudul
dalam kehidupan setelah anak-anak tersebut “Komunitas Bawa Cara, Sekolah Bawa
Tata”. Etnografi tersebut mengajak kita nasional berbasis kurikulum memiliki pola
menyelami masyarakat yang tinggal di pengajaran yang mungkin hampir
daerah terpencil yang serba kekurangan seluruhnya berbeda dengan realitas yang ada
untuk kemudian menawarkan solusi untuk dalam kebudayaan masyarakat setempat.
memecahkan masalah yang ada dalam Pola pengajaran dan pendidikan dalam
masyarakat melalui pendidikan yang konteks kebudayaan seakan merupakan dua
berbasis pada kebudayaan setempat melalui hal yang berjauhan, sehingga anak-anak
sekolah yang bernama Sekolah Pagesangan harus menyesuaikan dengan kurikulum
(SP). Di sekolah ini, anak-anak tidak hanya pendidikan, bukan kurikulum yang
mengikuti proses pembelajaran seperti yang menyesuaikan dengan budaya masyarakat.
ada di sekolahan, namun di komunitas ini Seharusnya budaya-lah yang dijadikan
mereka turut ambil peran dalam proses patokan pendidikan, karena budaya
penyelesaian permasalahannya. Disini anak- memiliki cara-cara penyelesaian masalah
anak yang menjadi pusat pembelajaran. hidup komunitas. Sehingga sangat mungkin
Mereka bebas menentukan tema yang ingin yang terjadi saat ini adalah hasil pendidikan
dipelajari. Mereka belajar mengidentifikasi dari sekolah yang tidak terpakai dalam
tema-tema pembelajaran yang dianggap kehidupan sehari-hari.
penting untuk kemajuan dan kemandirian
komunitas, kemudian mereka blusukan ke Tari Purwanti
Mahasiswa Program Studi Antropologi,
jalan untuk terus mencari cara memecahkan
FISIP-Universitas Padjadajaran.
permasalahan yang ada dalam
komunitasnya. Dalam contoh konkrit, ketika
mereka berusaha menaikkan harga jual
singkong dengan cara mengolahnya terlebih
dahulu menjadi tepung, tiwul, dan
sebagainya dan dikemas dengan plastik mika
agar awet. Mereka juga belajar menjajakan
makanan tersebut di sekolah, pasar, dan
bahkan belajar melakukan penjualan di
internet. Pada akhirnya hasil proses belajar
dalam komunitas yang berbasis kebudayaan
lokal seperti ini dapat bermanfaat bagi
masyarakatnya secara luas. Dalam proses
belajar di SP, anak-anak tersebut juga masih
sekolah di sekolah formal yang letaknya
jauh dari rumah. Sekolah hanya sebagai
wahana untuk menata-tertibkan siswa.
Sedangkan komunitas memiliki cara untuk
menghadapi berbagai permasalahan yang
ada dalam kehidupan sehari-hari. Ada
kalimat yang sangat menari untuk saya
kutip, yaitu bahwa: “formalisasi telah
menghilangkan kreativitas dan kepekaan
komunitas pada banyak hal”- Aant
Subhansyah.
Kebudayaan dengan pendidikan formal saat
ini seakan tersegmentasi. Pendidikan