Anda di halaman 1dari 5

Bahan esai

Sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 45 pasal 31: (1) Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang. (4)
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Makna dari Pasal 31 UUD 1945 tersebut adalah setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan tanpa kecuali. Pada kenyataannya, dengan kondisi negara Indonesia yang sangat
luas dan terdiri dari ribuan pulau, mulai Sabang sampai Merauke, kita dihadapkan dengan
berbagai permasalahan pelayanan pendidikan bagi masyarakat. Padahal pendidikan merupakan
faktor utama dalam menentukan kemajuan sebuah bangsa. Dengan tingkat pendidikan yang
tinggi, maka akan semakin baik sumber daya manusia yang ada, dan pada akhirnya akan
semakin tinggi pula daya kreatifitas pemuda Indonesia dalam mengisi pembangunan sebuah
bangsa. Namun di Indonesia, untuk mewujudkan pendidikan yang baik dan berkualitas sesuai
dengan standar nasional saja masih sangat sulit.
Berbagai permasalahan seringkali menghambat peningkatkan mutu pendidikan nasional,
khususnya di daerah tertinggal atau terpencil, yang pada akhirnya mewarnai perjalanan
pendidikan di Indoensia. Di suatu daerah terpencil masih banyak dijumpai kondisi di mana anakanak belum terlayani pendidikannya. Angka putus sekolah yang masih tinggi. Juga masalah
kekurangan guru, walaupun pada sebagain daerah, khususnya daerah perkotaan persediaan
guru berlebih. Sarana dan prasarana yang belum memadai. Itulah sederat fakta-fakta yang
menghiasai wajah pendidikan kita di daerah terpencil.

Daerah Sukamandang, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah dan Kecamatan


Luwuk, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah adalah salah satu contoh daerah
tertinggal yang masih sangat kurang dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada anakanak. Di Sukamandang banyak ditemukan fakta-fakta kekurangan pelayanan pendidikan selama
ini. Misalnya kekurangan guru, sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai, serta
biaya operasional pendidikan yang sangat minim.
Sementara itu, di Luwuk, terlihat kekurangan-kekurangan yang sama seperti di Sukamandang
seperti masalah kekurangan guru dan sarana prasarana sekolah yang belum memadai.
Terkait dengan masalah pemenuhan tenaga pendidik, pemerintah kita (melalui dinas pendidikan)
sebenarnya secara khusus telah berusaha melakukan pemenuhan melalui penempatan guruguru Pegawai Negeri Sipil (PNS) baru yang ditempatkan di daerah tertinggal atau terpencil. Akan
tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak guru yang enggan mengajar di daerah
terpencil dengan beragam alasan. Menurut Berg (2006) dalam Riza Diah, AK dan Pramesti
Pradna P., salah satu faktor yang menyebabkan keengganan para guru untuk mengajar di
daerah terpencil atau tertinggal adalah letak sekolah yang sulit dijangkau. Alasan berikutnya
adalah minimnya fasilitas dan hiburan. Di Indonesia, pada umumnya guru yang mengajar di
daerah terpencil tidak betah dikarenakan fasilitas yang tidak memadai. Selain jauh dari pusat
keramaian, fasilitas tempat tinggal guru juga tidak dipenuhi oleh pemerintah. Akibatnya banyak
guru yang merasa tidak nyaman dan mengajukan pindah ke sekolah yang berada di perkotaan.
Dengan adanya berbagai permasalahan penyelenggaran pendidikan di daerah tertinggal atau
terpencil, seharusnya masalah pelayanan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah. Masyarakat luas, melalui berbagai organisasi kemasyarakatan, NGO, dan
organisasi lainnya bisa ikut terlibat dalam membantu mengatasi berbagai kekurangan layanan
pendidikan di daerah terpencil.

Program-program pemberdayaan serta pengembangan kapasistas dan kompetensi guru,


penyediaan sarana prasarana pendidikan, dan lain sebagainya adalah program-program yang
bisa dilakukan untuk membantu ketertinggalan pendidikan anak-anak Indonesia di daerah
tertinggal atau terpencil. Medco Foundation sebagai salah satu lembaga sosial yang bergerak di
berbagai bidang termasuk bidang pendidikan, mencoba berperan lebih aktif dalam membantu
mengatasi berbagai masalah ketertinggalan pendidikan di daerah tertinggal atau terpencil.
Bekerja sama dengan unit usaha Medco Group yang lain, Medco Foundation merintis School
Improvement Program yang berusaha memberikan bantuan penguatan kapasitas dan sistem
pendidikan di sekolah-sekolah di daerah tertinggal. (Oleh Wawan Karsiwan, Program Edukasi
dan Literasi Medco Foundation)
Sumber:
Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 1., 02 Juni 2012

Sekolah-sekolah terpencil: menginspirasi anak-anak


Papua untuk mengenyam pendidikan
Posted by UNICEF Indonesia

Oleh Sarah Grainger

Lima menggunakan sempoa di sekolahnya di daerah rural Wamena, Papua. UNICEF Indonesia/2014/Andy Brown.

Desa Maima, Papua, April 2014 - Udara terasa sejuk dan matahari baru saja terbit
ketika Tolaka (8 tahun) dan adiknya Lima (7 tahun) berangkat menuju sekolah pada
pukul 06:00. Jarak yang harus ditempuh adalah 1 jam dari rumah mereka, di dekat tepi
sungai Baliem di Kecamatan Asolokobal, Papua.
Rute yang harus ditempuh menuju SD Advent Maima meliputi padang-padang rumput
yang tergenang air dan hutan-hutan penuh lumpur.
"Saya sudah terbiasa berjalan kaki jadi saya tidak capek sama sekali," kata Tolaka.
"Saya senang pergi ke sekolah. Ada banyak teman di sini, kami suka main lompat karet
bersama."
Ibu Tolaka, Dimika Satai, tahu betapa pentingnya pendidikan yang baik bagi kedua

putrinya. Dia menghadiri sekolah yang sama semasa kecil, tetapi terpaksa berhenti
ketika orangtuanya memutuskan sudah waktunya baginya untuk menikah. Sekarang
suaminya telah meninggalkannya dan ia menanam sayuran seperti jagung, kentang dan
kubis untuk makanan keluarganya, dan menjual sisanya di pasar.
"Jika anak-anak bersekolah, mereka akan bisa melakukan apapun yang mereka inginkan
di masa depan. Saya ingin mereka berdua untuk menjadi pegawai kantoran. Saya tidak
ingin mereka bertani seperti saya. Jangan sampai mereka menyesal tidak mendapatkan
pendidikan, seperti saya," ucapnya.
Namun, memotivasi anak-anak untuk berjalan ke sekolah adalah suatu tantangan.
Seluruh 121 murid di SD Advent Maima tinggal di daerah Lembah Baliem, yang hanya
bisa diakses dengan pesawat atau jalan kaki selama 21 hari dari Jayapura.
Perkembangan di bagian Provinsi Papua ini terhitung lambat. Masih banyak keluarga
yang tinggal di rumah-rumah jerami tradisional bernama honai, serta beternak dan
bertani sebagai mata pencaharian utama. Beberapa murid harus berjalan hingga dua
jam untuk mencapai sekolah.

Tolaka dan Lima berjalan ke sekolah selama satu jam melalui padang rumput dan hutan.
UNICEF Indonesia/2014/Andy Brown

Menginsipirasi pendidikan
UNICEF Indonesia bekerja sama dengan dinas-dinas pendidikan di kabupaten Papua dan
Papua Barat untuk memastikan anak-anak mendapatkan pendidikan dasar yang
berkualitas baik. Tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan yang aman, sehat dan
inspiratif bagi anak-anak.
"Tingkat buta huruf di Papua dan Papua Barat masih tinggi," kata Education Specialist
UNICEF Sri Rezki Widuri, "sekitar 30 persen secara keseluruhan dan sampai 90 persen di
kabupaten-kabupaten dataran tinggi. Bahkan beberapa guru tidak memiliki keterampilan
membaca dan menghitung yang baik. "
Di SD Advent Maima, program pelatihan UNICEF telah mendorong para guru untuk
memperkenalkan sejumlah perubahan. Sekarang, setiap guru menyambut anak-anak
pada apel pagi dengan berjabat tangan dan menyapa. Anak-anak diajarkan untuk
mencuci tangan dan wajah mereka serta menyisir rambut di awal hari.

Di kelas-kelas yang lebih rendah, para guru menggunakan lagu-lagu dan permainan
sebagai metode pengajaran. Ini lebih menyenangkan dan partisipatif untuk anak-anak.
Anak-anak yang lebih tua berbaris di luar kelas setiap pagi dan guru akan bertanya
tentang pelajaran hari sebelumnya sebelum mereka diizinkan masuk ke kelas. Kelaskelas mereka juga menjadi lebih interaktif.
"Pendekatan baru ini telah mendorong anak-anak untuk datang ke sekolah," ucap Anie
Joyce Nirupu, sang kepala sekolah. "Tingkat kehadiran telah meningkat tinggi. Ketika
mereka bersama guru baru yang belum terbiasa dengan metode ini, anak-anak tidak
memiliki hubungan yang sama dengan mereka."

Tolaka dan Lima bersama ibunya di depan rumah mereka. UNICEF Indonesia/2014/Andy Brown.

Dulu Tolaka sering bolos sekolah, tapi setelah gurunya berbicara kepada ibunya tentang
pentingnya kehadiran rutin, kini dia datang ke kelas hampir setiap hari. "Saya paling
suka menyanyi dan menggambar, dan saya ingin menjadi guru waktu besar nanti,"
ujarnya.
Dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, UNICEF
bermitra dengan Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan program sekolah ramah
anak di Papua dan Papua Barat. Hal ini telah membawa perubahan positif dalam
pengalaman belajar anak-anak di sekolah-sekolah perkotaan dan semi-urban. Kemitraan
ini sekarang telah diperluas ke sekolah-sekolah di daerah pedesaan dan terpencil.
Berkat program ini, anak-anak seperti Tolaka dan Lima sudah menerima kesempatan
pendidikan yang lebih besar daripada orang tua mereka. Tapi Papua bukan satu-satunya
provinsi di mana tingkat buta huruf masih tinggi, dan masih banyak lagi anak-anak di
seluruh Indonesia yang membutuhkan bantuan, terutama di daerah terpencil.
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
Labels: Papua, pendidikan, program pendidikan UNICEF, Sarah Grainger, SD Advent Maima, story, UNICEF
Indonesia, Wamena

Anda mungkin juga menyukai