Anda di halaman 1dari 36

TUGAS MANDIRI

BUNGA RAMPAI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


Disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Administrasi Pendidikan
Dosen Pengampu : Tetin Nurfitri M.Pd

Disusun oleh :
Tia Nur Aini
20.03.025

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) AL – HIDAYAH

TASIKMALAYA

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan
syafa’atnya di akhirat.

Tidak lupa, saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga saya mampu untuk
menyelesaikan resume mata kuliah administrasi pendidikan dengan judul
BUNGA RAMPAI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Saya tentu menyadari bahwa resume ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca , untuk menjadi lebih baik lagi. Demikian apabila terdapat
banyak kesalahan pada tulisan ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

penulis
1. Pembelajaran Anak Usia Dini di Era Adaptasi Kebiasaan Baru

Sejak awal Maret 2020, COVID-19 mulai terdeteksi di Indonesia, dan per tanggal
1 Agustus 2020 terdapat 109.936 kasus dengan jumlah kematan sebanyak 5.193 jiwa. Setap
hari, kasus COVID-19 di Indonesia dan berbagai negara lainnya terus bertambah, karena
sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk mencegah tersebarnya virus tersebut.
Beragam upaya pencegahan dan intervensi yang telah diterapkan di Indonesia mencakup:
karanTIna bagi orang-orang yang diduga terinfeksi, pembatasan perjalanan domestk dan
internasional, larangan berkumpul dalam kelompok dan keramaian, serta penutupan sekolah,
pabrik, restoran, dan ruang publik (UNICEF, 2020a). Pembelajaran anak usia dini selama
pandemi COVID-19 kemudian bergeser menjadi pembelajaran jarak jauh dengan
memanfaatkan teknologi dan internet. Beragam tantangan dirasakan oleh guru dan orang tua
dalam memfasilitasi anak selama belajar dari rumah. Guru merasa kesulitan dalam
memantau dan memfasilitasi kegiatan pembelajaran jarak jauh selama pandemi. Terlebih jika
anak di rumah tidak memiliki akses terhadap teknologi, guru akan kesulitan dalam
membimbing anak. Begitu pula orang tua, di samping keterbatasan akses internet (66% yang
memiliki akses internet), kemampuan dalam mendampingi dan memfasilitasi anak juga masih
kurang (UNICEF, 2020a). Keluarga dengan ekonomi rentan, khususnya, tidak memprioritaskan
tugas pengasuhan anak, karena tuntutan untuk mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga
merupakan hal yang lebih mendesak. Selain itu, lingkungan belajar anak di rumah juga
tdak semuanya mendukung anak untuk berkonsentrasi, bahkan cenderung tidak kondusif.

Pembelajaran di Satuan PAUD

school from home (belajar dari rumah) dan penutupan sekolah yang terlalu lama akan
menimbulkan permasalahan baru bagi kesehatan fisik dan mental anak-anak. Penelitan
menyebutkan bahwa ketika anak-anak tidak bersekolah, mereka secara fisik akan menjadi
kurang aktif, memiliki waktu bermain gadget lebih lama, mengalami pola tidur yang tidak
teratur, dan membangun pola makan yang kurang baik. Meskipun dikatakan TIdak
langsung, pengaruh secara psiko-sosial akibat pandemi COVID-19 menjadi permasalahan
serius. Karanyina di rumah merupakan hal yang sangat menuntut anak secara mental,
daripada fisik. Ditutupnya lembaga pendidikan, kurangnya aktivitas fisik, dan pola makan
dan pola TIdur yang tidak teratur akan mengganggu pola hidup keseharian anak. Akibat
kebiasaan baru yang tidak seperti biasanya tersebut, anak akan rentan terhadap stress,
mudah bosan, dan cenderung tidak sabar. Selain itu, semakin lama anak tidak bersekolah,
kemampuan, keterampilan, serta potensi dari anak tersebut juga akan cenderung menurun

.Pembukaan kembali satuan PAUD memerlukan pedoman yang menyeluruh guna


membantu pengelola dan pendidik dalam perencanaan dan pelaksanaan. UNICEF (2020b) telah
mengeluarkan panduan tersebut dengan mempertimbangkan antara keefektifan pembelajaran,
kesejahteraan, dan kesehatan anak. Panduan pembukaan kembali lembaga PAUD pada
masa pandemi.fokus pembelajarannya yaitu penanaman nilai nilai karakter pada anak usia
dini dan pembelajaran daring. Salah satu bentuk teknologi digital adalah internet, di
mana di dalamnya terdapat aplikasi seperti media sosial. Media sosial merupakan aplikasi
internet yang memperbolehkan pengguna untuk berinteraksi dan menampilkan diri, tanpa
terbatas ruang dan waktu. Pada dunia pendidikan, media sosial dapat dimanfaatkan untuk
mendukung guru PAUD secara tidak langsung. Teknologi digital sendiri sebenarnya tidak
akan pernah mampu dalam mengganTIkan peran guru. Hal ini dikarenakan ada aspek afektif
(perasaan) dari manusia dalam pembelajaran yang belum dapat digantikan oleh mesin
maupun robot. Yaitu aspek bahasa,aspek kognitif,aspek afektif dan sosial.Teknologi digital
sebenarnya menjadi penambah atau pendukung dalam sTImulasi pembelajaran anak usia dini,
baik di lingkungan lembaga pendidikan maupun di lingkungan tempat tinggal/rumah.

Peran orangtua dan Peran pendidik PAUD dalam pembelajaran jarak jauh

Orang tua perlu memberikan kesempatan anak untuk menceritakan apa yang dia
rasakan. Orang tua perlu mendengarkan apa yang diceritakan anak secara tulus dan hangat.
Orang tua perlu menggunakan berbagai metode untuk menenangkan dan membuat nyaman
anak, misalnya dengan membacakan cerita, bernyanyi, bermain bersama. Pujian juga perlu
diberikan kepada anak ketika anak menampilkan kekuatan dan kemajuan. Orang tua juga
perlu meyakinkan anak bahwa orang tua akan menjaga anak tetap aman serta senantiasa
memberikan infor- masi yang benar (bukan informasi bohong) sesuai dengan tahapan
berpikirnya.

Guru memfasilitasi pembelajaran jarak jauh secara luring. Pelaksanaan


pembelajaran luring dengan Menggunakan media buku, modul, dan bahan ajar dari
lingkungan sekitar. Waktu pembelajaran dan pengumpulan hasil belajar disepakati dengan
anak atau orang tua serta menyesuaikan kondisi.
2. Tinjauan Literatur Mengenai Peran Laki-Laki dalam Pendidikan Anak
Usia Dini dan Implikasinya di Indonesia
Bidang PAUD secara global sudah dianggap sebagai ‘ranah’ atau domain perempuan.
Mulai dari guru hingga orang tua, PAUD dipenuhi oleh guru perempuan dan ibu terlihat
seperti lebih banyak bertanggung jawab dalam pendidikan anak. Namun demikian, dalam
beberapa dekade terakhir, peran penting laki-laki dalam kehidupan dan pendidikan anak usia
dini semakin disuarakan. Artikel ini menelusuri kembali literatur yang telah ada dan
meluruskan mitos mengenai peran laki-laki dalam perkembangan anak. Faktanya, ibu dan
ayah atau perempuan dan laki-laki, memiliki kemampuan dan potensi yang sama dalam
mendukung perkembangan dan pendidikan anak. Hal ini selanjutnya juga berimplikasi pada
upaya untuk meningkatkan partisipasi guru laki-laki di institusi PAUD. Meskipun upaya ini
telah lama dilaksanakan, negara-negara di dunia masih mendapati rendahnya proporsi
laki-laki dalam sumber daya bidang PAUD. Hal ini terjadi karena masih rendahnya
kesadaran seluruh elemen PAUD – orang tua, guru perempuan, pemerintah dan pegiat
pendidikan – tentang pentingnya peran laki-laki. ‘Bapak guru’ atau guru-guru PAUD laki-
laki menghadapi banyak tantangan seperti ekspektasi yang tinggi karena mereka berbeda,
namun juga diskriminasi karena mereka berbeda. Di Indonesia sendiri, masih belum ada
langkah konkret yang dilaksanakan secara khusus untuk meningkatkan parTIsipasi laki-laki di
bidang PAUD. Beberapa program telah diluncurkan, namun fokusnya masih lebih mengarah
pada penguatan keluarga untuk mendukung pembelajaran anak dan meningkatkan partisipasi
anak usia dini di institusi PAUD serta meningkatkan mutu tenaga pendidik di satuan PAUD.
Hal ini mungkin terjadi karena PAUD di Indonesia masih dalam tahap peningkatan kualitas
sumber daya manusia yang ada, sehingga inisiatif khusus masih belum terbentuk.
Rekomendasi yang dapat diberikan berkaitan dengan peran penting laki-laki dalam
bidang PAUD adalah melaksanakan kegiatan yang melibatkan ayah di institusi PAUD,
mendukung dan membuka kesempatan kepada laki-laki untuk memilih jalur PAUD sebagai
pilihan karir tanpa prasangka, dan mendukung inisiatif dengan skala besar ataupun kecil agar
mampu menggeser persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan anak. Terakhir, perlu dilakukan penelitian empiris untuk melihat persepsi dan
pengalaman setiap elemen PAUD mengenai topik ini untuk memberikan gambaran dalam
konteks Indonesia.

Terlepas dari peran khusus dalam pembelajaran anak, guru laki-laki dipercaya memiliki
beberapa kelebihan yang dipercaya dapat dibawa ke lingkungan PAUD yang mayoritas
sumber daya di dalamnya adalah perempuan. Kehadiran sosok laki-laki di bidang PAUD
diharapkan memberikan warna baru dalam sistem pembelajaran anak usia dini. Banyak
pemimpin dan pendidik di PAUD mengharapkan peningkatan jumlah guru laki- laki, karena
mereka dapat membawa nuansa baru ke dalam tim. Ada pula yang beropini bahwa tim yang
terdiri atas campuran laki- laki dan perempuan akan lebih baik karena memiliki
keseimbangan. Di sisi lain, guru laki-laki juga diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan
antusias ayah agar bisa lebih aktif dalam pembelajaran anak usia dini dengan memberikan
contoh langsung bahwa laki-laki juga dapat mendukung perkembangan dan pembelajaran
anak (Warin, 2018). Selain itu, ada juga perdebatan bahwa menambah jumlah guru laki-laki di
satuan PAUD dapat meningkatkan status dan status sumberdaya PAUD. Namun, argumen ini
dapat mengundang perdebatan karena menganggap sumber daya PAUD selama ini, di
mana sebagian besarnya adalah perempuan, tidak lebih berharga dari para laki-laki yang baru
masuk ke sektor PAUD.

Pada kesimpulannya, usaha dan upaya untuk meningkatkan jumlah dan partisipasi guru
laki-laki pada jenjang PAUD mungkin terlihat sebagai isu sederhana yang akan selesai
dengan menerapkan kebijakan yang mendorong lebih banyak laki-laki untuk mendaftar
menjadi guru PAUD. Banyak bukti empiris juga menunjukkan bahwa laki-laki memiliki
kemampuan yang sama dengan perempuan dalam mengajar anak- anak. Berbagai usaha,
studi, dan diskusi untuk membahas bagaimana meningkatkan partisipasi dan peran laki-laki
dalam pembelajaran anak telah dilakukan untuk terus menelaah bagaimana PAUD yang
idenTIk dengan domain perempuan bisa menjadi tempat yang nyaman, tidak hanya untuk para
perempuan atau ibu, tapi juga untuk laki-laki dan para ayah. Namun, dalam praktiknya, usaha
untuk meningkatkan partisipasi laki-laki juga tidak dapat dianggap mudah. Bagian berikut
membahas mengapa upaya meningkatkan guru PAUD laki-laki masih belum maksimal,
dengan melihat tantangan yang dihadapi oleh para “bapak guru” ini pada jenjang PAUD.

Kontribusi ayah dalam keluarga dapat menggambarkan peran laki-laki dalam PAUD.
Sesuai dengan pendapat Lamb, Golombok dalam Warin juga menyatakan bahwa bentuk
kedekatan ayah dan anak sering kali dilihat hari sifat ayah yang lebih aktif dalam permainan
fisik dan olahraga. Sifat ini selanjutnya juga yang berkontribusi membentuk gambaran
seorang seorang guru laki-laki di TK yang menikmati permainan luar ruangan atau yang
disebut “rough and tumble play”. Selain memberikan gambaran akan bagaimana guru
laki-laki dipandang di satuan PAUD, meningkatkan partisipasi aktif ayah dalam kegiatan
PAUD akan membantu meningkatkan pandangan positif masyarakat tentang laki-laki yang
bekerja dengan anak- anak; sebaliknya, kehadiran guru laki-laki di lembaga PAUD
juga dapat membantu mengajak lebih banyak ayah untuk datang dan ikut berperan dalam
perkembangan pembelajaran anaknya .

Berdasarkan paparan di atas, peran ayah dan guru laki-laki sangat berkaitan
dan memberikan pengaruh terhadap pembelajaran anak pada jenjang PAUD. Hal ini
pula yang menjadi alasan artikel ini dimulai dengan membahas penTIngnya peran ayah
dalam perkembangan anak dalam keluarga. Pada bagian selanjutnya, kita akan membahas
lebih dalam mengenai guru laki-laki pada lingkungan PAUD di berbagai negara dan
Indonesia, bagaimana inisiaTIf setiap negara dalam usaha meningkatkan jumlah dan
kualitas guru laki-laki di lembaga PAUD, serta kendala yang mereka alami. Didasari oleh
paham bahwa ayah berperan penting dalam kehidupan anak, muncul pandangan bahwa
anak laki-laki butuh peran yang menggambarkan seorang ayah di TK atau lembaga PAUD
tempat mereka belajar. Selain itu, kebutuhan akan role model atau tokoh panutan bagi anak
laki- laki juga banyak disebut sebagai alasan penTIng mengapa PAUD butuh lebih banyak
guru laki-laki. Banyak studi yang dilakukan di Inggris yang menyebutkan bahwa guru laki-
laki dibutuhkan di jenjang PAUD agar bisa menjadi ‘sosok ayah’ dengan meningkatnya
jumlah anak-anak yang tumbuh di keluarga tanpa ayah. Guru laki-laki juga diharapkan
menjadi ‘role model’ bagi anak laki-laki, seiring hasil penelitian yang menyebutkan
bahwa anak laki-laki lebih lemah dalam pembelajaran dibandingkan perempuan. Dengan
adanya guru laki- laki di satuan PAUD,diharapkan anak-anak yang tidak memiliki ‘sosok
ayah’ di rumah
bisa mendapatkan akses dan melihat ‘stable male’ atau orang dewasa laki-laki yang
stabilyang dapat mengganTIkan sosok ‘ayah’ yang ideal. Sosok ini diharapkan dapat
berempatti lebih dekat dengan anak- anak, mendukung perkembangan mereka dan juga
menjadi panutan perilaku, sehingga anak-anak ini dapat meningkatkan capaian belajar dan
perilaku mereka Inisiatif dengan motif ini banyak mendapat kritik, karena hanya
mengaitkan rendahnya hasil capaian belajar anak dengan gender guru.

Penelitian yang menilai hubungan antara jenis kelamin guru dengan pencapaian
peserta didik di sekolah tidak menyimpulkan hasil yang jelas. Penelitian lainnya juga
menemukan bahwa gender dan etnis guru tidak terlalu mempengaruhi hasil pembelajaran.
Brownhill dalam beberapa tulisannya juga berpendapat bahwa ekspektasi guru laki-laki
untuk menjadi role model sering kali tidak memberikan karakteristik yang jelas. Selain
mendapatkan peran sebagai penggantin‘ayah’ dan role model, gerakan meningkatkan partisipasi
laki-laki pada jenjang PAUD juga sering kali didasari oleh kebutuhan akan sosok maskulin
dalam pembelajaran anak usia dini, Ada anggapan bahwa guru laki-laki akan lebih
mengakomodasi permainan fisik dan luar ruangan dibandingkan guru perempuan, karena
karakteristik fisik laki-laki yang dianggap dapat memberikan kesan ‘maskulin’.

3. Pendidikan Anak Usia Dini dan Kesiapan Bersekolah

Anak adalah penerus bangsa di masa yang akan datang, sehingga anak-anak harus dididik
secara optimal agar masa depan menjadi jauh lebih baik. Keberhasilan pendidikan anak
menjadi salah satu fokus perhatian orang tua, guru, dan pemerintah. Namun, banyak pihak
yang tidak memperhatikan kesiapan anak untuk bersekolah. Hal ini mengakibatkan, banyak
anak yang jenuh belajar, bahkan tidak mempunyai motivasi belajar.

Sejak tahun 2017, Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan
bahwa semua anak wajib mengikuti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebelum
memasuki jenjang pendidikan dasar.Kesiapan bersekolah merupakan hal yang penting
diperhatikan agar perkembangan anak selalu terfasilitasi dengan optimal. Kesiapan
bersekolah bukan hanya urusan akademik yang mencakup kemampuan membaca, menulis
dan berhitung. Namun, mencakup Kesehatan fisik dan perkembangan motorik,
perkembangan Sosial-emosional, erkembangan kognitif dan pengetahuan umum,
perkembangan bahasa dan kemampuan berkomunikasi, motivasi dan sikap kerja. Persepsi
orang tua tentang kemampuan akademik yang menjadi tolak ukur kesiapan bersekolah
membuat banyak sekali PAUD yang akhirnya menerapkan kegiatan membaca, menulis dan
berhitung menjadi salah satu muatan pembelajaran dan kompetensi yang harus dikuasai.
Seharusnya, PAUD adalah tempat untuk anak mengeksplor berbagai macam aktivitas yang
dapat merangsang perkembangan anak secara komprehensif melalui bermain atau belajar
sambil bermain (play based learning). Sehingga anak justru akan optimal berkembang,
dan siap secara perkembangan nantinya untuk bersekolah. Selain di PAUD, ada beberapa
hal yang bisa dilakukan oleh orang tua di rumah untuk memfasilitasi anak siap
bersekolah dengan cara mengajak bermain ke SD, selalu berkomunikasi dengan anak
tentang aktivitas yang sudah dilakukan, menghargai dan mengapreasiasi semua karya,
keterampilan dan perilaku yang baik dan berkembang.

Kesiapan bersekolah tidak bisa lepas dari tahap perkembangan anak. Hampir seluruh
sekolah hanya menggunakan kriteria usia kronologis sebagai tolok ukur dalam menentukan
kesiapan belajar. Menurut Lewit & Baker (1995), sampai saat ini masih belum ada
kejelasan dan kesepakatan dari para ahli terkait konsep kesiapan bersekolah dan cara untuk
menilai dan mengukurnya. Kagan & Rigby (2003) menyatakan bahwa kesiapan anak terbagi
menjadi dua bagian, yaitu Kesiapan Bersekolah (readiness to school) dan Kesiapan Belajar
(readiness to learn). Kesiapan Bersekolah adalah kesiapan anak untuk memenuhi tuntutan
akademik yang berkaitan dengan aspek-aspek kognitif seperti menulis, membaca, dan
berhitung. Sedangkan Kesiapan Belajar adalah kesiapan anak yang berkaitan den Kesiapan
bersekolah merupakan hal yang penting diperhatikan agar perkembangan anak selalu
terfasilitasi dengan optimal. Kesiapan bersekolah bukan hanya urusan akademik yang
mencakup kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Namun, mencakup Kesehatan fisik
dan perkembangan motorik, perkembangan Sosial-emosional, erkembangan kognitif dan
pengetahuan umum, perkembangan bahasa dan kemampuan berkomunikasi, motivasi dan sikap
kerja. Persepsi orang tua tentang kemampuan akademik yang menjadi tolak ukur kesiapan
bersekolah membuat banyak sekali PAUD yang akhirnya menerapkan kegiatan membaca,
menulis dan berhitung menjadi salah satu muatan pembelajaran dan kompetensi yang harus
dikuasai. Seharusnya, PAUD adalah tempat untuk anak mengeksplor berbagai macam aktivitas
yang dapat merangsang perkembangan anak secara komprehensif melalui bermain atau
belajar sambil bermain (play based learning). Sehingga anak justru akan optimal
berkembang, dan siap secara perkembangan nantinya untuk bersekolah. Selain di PAUD,
ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua di rumah untuk memfasilitasi anak
siap bersekolah dengan cara mengajak bermain ke SD, selalu berkomunikasi dengan anak
tentang aktivitas yang sudah dilakukan, menghargai dan mengapreasiasi semua karya,
keterampilan dan perilaku yang baik dan berkembang.

Berbagai literatur menyatakan bahwa kesiapan bersekolah merupakan sebuah konsep yang
rumit, tidak hanya meliputi keterampilan dan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung
saja, tetapi juga konsep yang bersifat multi dimensional, yaitu kesehatan fisik dan
perkembangan motorik, kemampuan kognitif, kemampuan sosial-emosi, kemampuan
berbahasa, serta motivasi dan sikap kerja anak. Hingga saat ini, definisi kesiapan bersekolah
masih menjadi perdebatan, ada sekitar 150 definisi kesiapan bersekolah yang ditemukan
melalui pencarian dengan ‘Google Scholar’. Dalam arTIkel ini, definisi kesiapan bersekolah
mengacu kepada definisi dari The National Education Goals Panel (1995), yang
menyatakan bahwa kesiapan bersekolah meliputi enam dimensi, yaitu, kesehatan fisik dan
perkembangan motorik, kemampuan kognitif, kemampuan sosial-emosi, kemampuan
berbahasa, serta motivasi dan sikap kerja anak. Anak usia prasekolah mempunyai karakteristik
yang berbeda dengan anak usia pada masa lainnya (Doherty & Huges, 2009). Karakteristik
anak usia prasekolah yaitu:

 Usia Bermasalah, anak-anak di usia ini sudah merasa menjadi individu yang berbeda
dari individu lain sehingga tututan untuk menjadi mandiri sangat besar di dalam
dirinya.
 Usia Menjelajah, rasa ingin tahu anak–anak usia prasekolah sangat besar
terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungannya. Hal ini tergambar dari beberapa
pertanyaan yang sering anak-anak ucapkan misalnya bagaimana itu bisa terjadi,
mengapa hal itu bisa terjadi, mengapa suatu benda menjadi bagian dari benda tertentu,
dan sebagainya.
 Usia Bermain dan Usia Bertanya, anak-anak banyak menghabiskan waktu mereka
untuk bermain, hampir sepanjang hari tampak selalu ingin bermain.
 Usia Prakelompok, di usia ini mereka mulai belajar dasar-dasar perilaku sosial, mulai
belajar bekerjasama, belajar berganTIan, belajar bersaing dengan teman-temannya,
belajar menunda keinginannya, meniru perilaku teman, merasakan simpaTI dan lain
sebagainya.
 Usia Meniru, di usia ini anak sangat suka meniru pembicaraan dan perilaku orang
lain, baik yang dilihatnya langsung maupun lewat media lainnya.

Transisi pembelajaran dari PAUD ke pendidikan dasar

Transisi merupakan isu penting untuk dibahas. Hal ini sangat berkaitan erat dengan
lingkungan anak khususnya di lembaga PAUD. Peters (2010) menjelaskan bahwa PAUD
berfokus pada perkembangan anak dan pembelajaran yang menyenangkan. sedangkan
pendidikan dasar berfokus pada bidang pelajaran, terutama pada tujuan literasi dan
matematika. Namun, seringkali isu transisi ini belum sepenuhnya disadari oleh orang tua dan
lingkungan PAUD maupun pendidikan dasar. Mwangi (2016) mengungkapkan, pembelajaran
anak usia dini saling terkait dan saling tergantung pada semua aspek perkembangan.
Namun, pada praktiknya, sebagian besar insTItusi PAUD lebih menitikberatkan dan
menjejalkan penguasaan kognitif akademis, sementara afektif dan psikomotori seolah
dinomorduakan. Fenomena ini menciptakan ketatnya persaingan untuk masuk SD berlabel
favorit. Kondisi ini menyebabkan banyak orang tua berupaya meningkatkan kompetensi anak
sejak dini dengan melakukan segala cara. Padahal prakTIk ini mungkin akan
menyingkirkan pengalaman belajar yang seharusnya dapat membantu anak berkembang
sesuai masanya.

PAUD mempunyai peran penting dalam menyiapkan anak untuk bertumbuh-kembang


hingga dewasa, termasuk menyiapkan anak masuk pendidikan yang lebih tinggi. Peran
penting PAUD meliputi penumbuh-kembangan enam aspek, yaitu kognitif, agama dan
moral, fisik-motorik, bahasa, sosial emosional, dan seni. Dalam aspek kognitif, 80
persen perkembangan otak anak terjadi pada usia emas 0-8 tahun dan PAUD berperan selama
enam tahun dari periode usia emas tersebut. Pengembangan aspek-aspek agama dan moral,
fisik-motorik, bahasa, sosial emosional, dan seni juga sudah harus dimulai keTIka anak masih
usia dini sebagai dasar bagi pengembangan aspek-aspek tersebut pada pendidikan di masa
selanjutnya.

Namun, pada kenyataannya, di Indonesia hampir semua lembaga PAUD masih mencoba
mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung dengan alasan tuntutan dari orang tua dan
syarat masuk ke sekolah dasar. Sehingga aktvitas dilakukan berorientasi pada tuntutan orang
tua.

Transisi ke sekolah TIdak hanya melibatkan anak, namun juga keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Transisi dari PAUD ke pendidikan dasar merupakan suatu bentuk transisi
verTIkal, di mana anak berubah status dari jenjang pendidikan yang relaTIve informal dan
nonformal, menuju jenjang pendidikan formal yang lebih TInggi TIngkatannya. Selama fase
transisi ini seorang anak harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, idenTItas
sosial, jaringan sosial, serta metode belajar mengajar.

Aktivitas yang tidak boleh dilakukan

 Memaksa anak belajar menulis, membaca, atau berhitung di saat anak


belum siap. Mengakibatkan anak menjadi tidak menguasai keterampilan dasar
dengan baik, anak cepat merasa bosan belajar, hasil belajar TIdak opTImal, dan proes
perkembangan anak yang tidak dilalui dengan baik.
 Menuntut terlalu tinggi pada anak.

Misalnya, anak harus bisa menulis dengan rapi, padahal secara perkembangan baru
mengenal huruf. Hal ini mengakibatkan anak tidak mempunyai percaya diri karena
merasa tidak dihargai. Anak merasa menjadi orang yang selalu salah dan takut
melakukan sesuatu.
 Membandingkan dengan anak lain. Setiap anak berkembang dan bertumbuh pada
rutenya masing-masing. Secara general, memang ada tahapan perkembangan dan
pertumbuhan berdasarkan usia. Namun, seharusnya tidak perlu khawatir jika anak
masih dalam tahapan perkembangannya walaupun secara kemampuan ada yang lebih
baik dari dia. Seharusnya, fokus terhadap kelebihan yang dimiliki oleh anak
tersebut dan fasilitasi kelebihannya agar menjadi sebuah prestasi.

4. Strategi play based learning untuk pendidikan anak usia dini

Dalam beberapa tahun terakhir, strategi play based learning atau pembelajaran berbasis
bermain menjadi topik yang banyak dibahas, baik secara nasional maupun internasional.
Banyak penelitian membahas tentang manfaat dan kelebihan dari strategi pembelajaran ini, dan
penerapannya pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini. Akan tetapi, data kuantitas maupun
kualitas menunjukkan bahwa penerapan play based learning di PAUD Indonesia belum
menunjukkan hasil optimal. Artikel ini membahas tentang dasar teoritis strategi play based
learning yang kemudian dielaborasi menjadi implementasi kurikulum berbasis bermain di
PAUD, yang terdiri atas peran guru dalam persiapan lingkungan dan material, penyusunan
rencana kegiatan bermain, dan proses asesmen atau penilaian. Artikel ini juga menguraikan
beragam tantangan penerapan strategi play based learning yang sering ditemui dalam
pembelajaran anak usia dini.
Peran guru dalam
Play based learning tidak membatasi dan tidak meniadakan peran orang dewasa dalam
kegiatan bermain anak. Meskipun anak-anak terkadang cenderung tidak ingin ada intervensi
dari orang dewasa dalam bermain, orang dewasa tetap masih memiliki peran penting dalam
meningkatkan kualitas bermain dan belajar anak. Play based learning yang efektif menuntut
orang dewasa untuk memiliki figur kuat sehingga anak menilainya sebagai seseorang yang
mampu, kompeten, dan membimbing dalam kegiatan bermain.

Peran guru dalam penerapan play based learning dalam pembelajaran anak usia dini
sangatlah penting. Sebagai orang dewasa di lembaga PAUD, guru merupakan pihak yang
merancang kegiatan bermain yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dengan tetap
mempertimbangkan tingkat perkembangan anak. Artinya, guru ditantang untuk kreatif dan
menciptakan kebaruan akttivitas bermain dalam keterbatasan fasilitas, waktu, dan tenaga
untuk anak didiknya. Dalam hal ini, konsistensi penerapan play based learning setiap harinya
bukanlah perkara mudah.

Tantangan Implementasi Play Based Learning di Lembaga PAUD


Persepsi orang tua tentang kegiatan bermain
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konteks sosial masyarakat masih menempatkan
pembelajaran akademik pada posisi tertinggi dan menganggap kegiatan bermain hanya
membuang-buang waktu. Banyak orang tua memiliki ekspektasi akademis dan prestasi
TInggi keTIka memasukkan anaknya dalam program PAUD. Keterbatasan pengetahuan orang
tua terhadap pendekatan bermain juga menjadi tantangan tersendiri bagi guru dalam
menerapkan strategi play based learning untuk anak didiknya Orang tua perlu mengubah
mindset bahwa capaian perkembangan anak TIdak hanya berkaitan dengan kemampuan
literasi dan numerasi, melainkan lebih luas dari itu, yaitu: sosial emosional, motorik, moral,
dan seni. Orang tua tidak perlu meminta guru untuk membuatkan Pekerjaan Rumah (PR)
akademik yang cenderung paper-based pada anak PAUD.

Kualifikasi akademik guru PAUD


Banyak guru PAUD yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang terbatas dalam
menerapkan strategi play based learning. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan guru
kemudian menyebabkan kebingungan, bahkan merasa frustasi ketika harus
mengimplementasikan kegiatan bermain dalam kurikulum yang begitu padat, padahal mereka
sendiri juga tidak begitu paham tentang konsep dan manfaat bermain dalam pembelajaran
anak usia dini (Gray & Ryan, 2016). Dorongan untu meminimalisir kegiatan bermain juga
datang dari orang tua, di mana mereka cenderung berpikir bahwa kegiatan bermain itu
dapat dilakukan di rumah, dan apa yang dilakukan di sekolah itu sebaiknya “belajar”.
Perlu pelaTIhan dan proses belajar dari manapun agar guru dapat menerapkan kurikulum
berbasis bermain, dan mengomunikasikan kegiatan bermain tersebut kepada orang tua.

5. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Project-based Learning untuk Anak Usia Dini

keinginan kuat untuk mencetak generasi Indonesia berkarakter di masa depan


ditandai dengan semakin meningkatnya integrasi pendidikan karakter dalam
dunia pendidikan. Penanaman nilai-nilai karakter bahkan telah menjadi salah satu fokus
utama pendidikan sejak dini. ArTIkel ini bertujuan untuk meninjau literatur terkait integrasi
pendidikan karakter dalam pembelajaran anak usia dini dengan menggunakan strategi project-
based learning. Literatur terkait pendidikan karakter, pendidikan anak usia dini, dan project-
based learning masing-masing diuraikan secara deskriptif analitik. Kajian literatur terhadap
kettiga topik tersebut menunjukkan bahwa strategi project-based learning dipercaya
mampu membantu menanamkan nilai-nilai karakter moral dan kinerja sejak dini.
Dalam beberapa waktu terakhir, wajah pendidikan Indonesia tercoreng dengan
adanya kasus penganiayaan siswa sekolah menengah terhadap guru. Banyak faktor melatari
terjadinya fenomena ini. Ada tiga aspek utama yang memengaruhi siswa melakukan tndakan
bullying (perundungan), di antaranya adalah siswa, institusi, dan guru. Faktor lain seperti
keluarga, lingkungan, dan media juga tidak dapat ditafikan. Meskipun ttindakan penganiayan
fisik ttidak dikategorikan sebagai bullying, namun tindakan tersebut sangat dimungkinan
terjadi karena faktor yang sama dengan alasan mengapa siswa melakukan bullying.
Pendekatan yang digunakan untuk menanamkan nilai-nilai karakter
memiliki berbagai variasi (Lickona, 1996). Thomas Lickona, yang dianggap sebagai
pengusung terminologi “pendidikan karakter” merangkum 11 asas atau prinsip
dasar pendidikan karakter. Beberapa ahli dan peneliti lainnya, seperti McDaniel
(1998), Berkowitz (2002), Thompson (2002), Pala (2011), dan McGrath (2018)
juga memaparkan bagaimana cara menanamkan nilai-nilai karakter dengan baik. Meskipun
menggunakan terminologi atau istilah yang berbeda-beda, para ahli tersebut pada
dasarnya memiliki landasan atau pendekatan yang saling berkaitan dan tumpang tindih.
Lickona adalah bahwa pendidikan karakter seharusnya mendorong nilai-nilai ketika
dasar sebagai landasan dari karakter yang baik, dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai
tujuan yang harus dicapai. Jika dikaitkan dengan pendidikan karakter di Indonesia, nilai-nilai
eTIka dasar ini tertuang didalam kompetensi dasar Kurikulum 2013 PAUD. Selanjutnya,
istilah “karakter” harus didefinisikan secara komprehensif dengan tujuan untuk
menegaskan nilai-nilai apa saja yang termasuk ke dalam karakter baik. Prinsip selanjutnya
adalah pendidikan karakter membutuhkan pendekatan yang disengaja, komprehensif, dan
proaktif. Hal ini berkaitan dengan prinsip keempat yang bertujuan untuk mewujudkan
prinsip ketiga tersebut: sekolah beserta elemen- elemennya harusnya dijadikan sebagai suatu
komunitas yang juga berkarakter. Hal serupa juga disampaikan oleh Berkowitz (2002) dimana
salah satu dari tujuh aturan praktis pendidikan karakter adalah semua anggota di sekolah
harus memiliki karakter yang baik Pedoman pendidikan karakter untuk PAUD di Indonesia
tertuang di dalam Kurikulum 2013 dan buku panduan “Pedoman Penanaman Sikap
Pendidikan Anak Usia Dini”. Di dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa pengembangan
kompetensi sikap mencakup seluruh aspek sepertti agama dan moral, fisik motorik,
kognitif, sosial-emosional, bahasa dan seni. Pengembangan sikap atau karakter anak usia dini
yang dipaparkan di dalam buku panduan tersebut ternyata telah sesuai dengan teori yang
diusung Lickona yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu dilakukan dengan terencana secara
terus menerus.
Apa itu project-based learning? Pembelajaran berbasis proyek atau project- based
learning (PBL) bukanlah suatu hal yang baru di dalam dunia pendidikan. Blumenfeld dkk.
(1991) menyimpulkan PBL hadir karena para peneliTI berpendapat bahwa pengetahuan dapat
dikontekstualisasikan. Dengan kata lain, pelajar memahami suatu materi dengan cara
memecahkan masalah dengan bantuan alat kogniTIf, sumber informasi yang beragam, dan
bantuan orang lain. PBL didefinisikan sebagai pendekatan pembelajaran inovaTIf,
komprehensif, dan konstrukTIvis di mana siswa fokus untuk menyelesaikan suatu
masalah dunia nyata (Blumenfel dkk., 1991; Bell, 2010; Trianto dalam Dewi dkk., 2018).
Melalui pendekatan ini, siswa mengeksplorasi suatu hal yang menarik perhatian mereka
(interesTIng) atau berdasarkan pertanyaan (inquiry) (Diffily, 2002; Bell, 2010) dalam batas
waktu yang telah ditentukan.

Pembelajaran berbasis proyek ini sedikit berbeda dengan bermain, sebagaimana yang
menjadi dasar PAUD. Blumenfeld dkk. (1991) membagi dua komponen utama dari
suatu proyek, yaitu (1) suatu proyek berawal dari sebuah isu atau pertanyaan yang
mendorong terjadinya suatu kegiatan, dan (2) kegiatan tersebut menghasilkan suatu produk
akhir yang menjawab isu atau pertanyaan tersebut. Selain produk, hasil akhir lainnya yang
diharapkan dari PBL ini di antaranya adalah siswa mampu memahami topik yang dipelajari,
terjadi pembelajaran yang lebih komprehensif, dan meningkatnya motivasi belajar.

Pendidikan karakter dan pendidikan anak usia dini merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Salah satu tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah membentuk karakter atau
akhlak yang baik. Karakter memang semesTInya diasah sejak dini karena anak usia 0-6
atau 0-8 tahun berada pada masa krit\s atau masa “emas” di mana mereka cukup cepat
dalam menerima informasi, dan keadaan ini sebaiknya dimanfaatkan untuk menanamkan
nilai-nilai karakter. Di era globalisasi, kebutuhan terhadap pendidikan karakter semakin
tinggi. Pesatnya perkembangan teknologi dan media harus diiringi dengan sikap yang baik
dan bijaksana untuk menghindari atau menyusutkan dampak negatif teknologi tersebut.

Di Indonesia, pendidikan karakter sudah terintegrasi kedalam kurikulum PAUD.


Sayangnya, terdapat kendala pada tahap pengembangan (Alawiyah, 2012). Pendidikan
karakter di Indonesia cenderung dilakukan dengan metode “pembiasaan” dan “pemodelan”.
Dua metode ini dipercaya mampu mengembangkan karakter anak, terutama yang bersifat
individu. Sedangkan untuk karakter sosial, artikel ini menawarkan project-based learning
(PBL) sebagai alternaTIf pendekatan. Berdasarkan kajian literatur dan penelitian
empirik, PBL terbukti mampu mengembangkan kemampuan anak dari beragam sisi,
terutama sisi sosial. KarakterisTIk PBL yang mengedepankan otenTIsitas, kerja kelompok,
dan pemecahan masalah, dipercaya dapat menunjang perkembangan karakter anak usia dini.
Meskipun strategi ini memberi banyak manfaat dan layak diterapkan dalam pendidikan
karakter, namun studi tentang pengaruh PBL terhadap pendidikan karakter anak usia
dini masih belum tereksplorasi. Penelitian yang tersedia masih sebatas pemodelan
dan semacamnya. Oleh karena itu, hal ini menjadi masukan bagi para peneliti untuk dapat
menindaklanjuti sebagai terobosan baru dalam penyelenggaraan pendidikan karakter.

Berdasarkan kajian literatur yang dipaparkan di atas, terdapat beberapa hal penting yang
dapat dijadikan bahan renungan. Meskipun literatur menunjukkan bahwa pendidikan
karakter merupakan salah satu sorotan utama PAUD, hal ini belum menjadi fokus atau
prioritas yang ditegaskan di dalam peraturan-peraturan pemerintah Indonesia. Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 20/2018 tentang Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) Pasal 1 hanya menitikberatkan pendidikan karakter pada satuan pendidikan
formal yang terdiri atas TK, Sekolah Dasar (SD), dan satuan pendidikan menengah.

6. Implementasi project-based learning pada jenjang PAUD


Project-Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran alternatif
dalam Kurikulum Nasional (Kurikulum 2013). Model ini digunakan mulai dari jenjang
pendidikan anak usia dini hingga pendidikan menengah. Pembelajaran berbasis proyek
menjadi sebuah model yang kian populer lantaran menawarkan konsep belajar berbasis
investigasi (investigation), kerja sama (collaboration) serta pengalaman langsung (learning
by doing). Berdasarkan berbagai karakteristik yang ditawarkannya, PBL dinilai mampu
meningkatkan tiga ranah sekaligus (kognitif, afektif dan psikomotorik) dalam satu waktu,
dan dapat menjadi model pembelajaran yang menjawab kebutuan masa depan. Artikel ini
bertujuan untuk memaparkan tahapan implementasi PBL pada jenjang Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), dikaji dari sisi tahapan per tahapan, yaitu; perencanaan (planning),
implementasi (implementation), dan penilaian (assessment). Penulisan artikel ini
menggunakan kajian literatur yang merujuk pada berbagai jurnal ilmiah, buku, dan beberapa
dokumen model penerapan PBL dari berbagai referensi. Keluaran dari artikel ini diharapkan
dapat menjadi salah satu referensi bagi guru PAUD Indonesia dalam menerapkan
pembelajaran berbasis proyek di satuan PAUD masing-masing.
pendidikan Indonesia terus dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks.
Kompleksitas itu hadir seiring dengan derasnya arus globalisasi yang melahirkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta episode peradaban yang baru (OECD,
2018). Pada konteks ini, pendidikan sebagai bagian dari upaya manifestasi perubahan, mau
tidak mau harus masuk ke dalam kumparan perubahan itu (Rusniati, 2015). Apabila TIdak
ingin terTInggal, proses pendidikan harus terus diperbaharui darwaktu ke waktu, dari
jejang pendidikan pra- sekolah hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Menghadapi seluruh
tantangan yang ada TIdak dapat dilakukan dengan cara-cara konservaTIf. Seluruh pemangku
kepenTIngan pendidikan perlu untuk terus melakukan terobosan pada semua jenjang dan
TIngkat pendidikan, termasuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Namun demikian, data
dari UNESCO (2005) menunjukkan bahwa angka parTIsipasi PAUD di Indonesia berada
pada urutan ke-45 dari 45 negara. Pun demikian dengan kualitas PAUD di Indonesia
yang menduduki peringkat ke-44, seTIngkat di atas India. Menurut UNESCO (2005),
layanan PAUD di Indonesia belum dapat memberikan kontribusi besar terhadap hasil
belajar pada jenjang pendidikan selanjutnya. Tak hanya itu, alokasi dana pendidikan untuk
pengembangan PAUD juga relaTIf masih rendah, yaitu hanya sekitar 1,2% dari total
anggaran pendidikan nasional. Padahal, rata-rata alokasi anggaran pengembangan PAUD
secara internasional adalah 4-5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
(OECD, 2015).
Di sisi lain, tantangan keterampilan global terus menyeruak. Salah satunya adalah
tantangan keterampilan abad 21 (21st century skills) yang menuntut siswa untuk dapat
berpikir kriTIs (criTIcal thinking), memiliki kemampuan memecahkan masalah
(problem solving), mempunyai kreaTIvitas (creaTIvity), melakukan kolaborasi
(collaboraTIon), dan mampu berkomunikasi (communicaTIon) dengan baik (Vinu dkk.,
2011). Hal senada dikemukakan oleh Apollo EducaTIon Group, sebuah perusahaan
penyedia program pendidikan ternama di Amerika Serikat yang
mengidenTIfikasi 10 keterampilan yang diperlukan peserta didik untuk dapat
bersaing pada abad 21, di antaranya adalah: keterampilan berpikir kriTIs, komunikasi,
kepemimpinan, kolaborasi, kemampuan adaptasi, produkTIvitas dan akuntabilitas, inovasi,
kewarganegaraan global, kemampuan dan jiwa kewirausahaan, serta kemampuan untuk
mengakses, menganalisis, dan menyintesis informasi (Barry, 2012). Seluruh keterampilan ini
kian memosisikan pendidikan Indonesia untuk TIdak dapat memilih opsi lain kecuali
“berbenah”. Model pembelajaran project-based learning merupakan model pembelajaran
yang membimbing siswa untuk membangun pengetahuan mereka sendiri dan
mendemonstrasikan pemahaman baru melalui berbagai representasi bentuk (NYC
Departemen of EducaTIon, 2009). Project-based learning ― yang dalam beberapa
istilah lain juga disebut sebagai project approach (pendekatan proyek) (Lihat Helm &
Kants, 2001, Bell, 2010; Danielle, 2017) ― juga diartikan sebagai sebuah proses
pembelajaran eksploraTIf - terperinci mengenai suatu subjek (tema) dalam memberikan
pengalaman penTIng bagi siswa, serta menjadi sebuah pendekatan mutli-tujuan yang
pelaksanaannya menyesuaikan minat dan kemampuan siswa (Beneke & Ostrosky, 2009).
Berdasarkan hal ini, Katz & Chard (2000) menilai PBL sebagai sebuah pendekatan
pembelajaran yang mampu mengakomodir berbagai kebutuhan siswa.

Okudan & Sarah (2004) menambahkan bahwa, PBL berfokus pada prinsip-prinsip dasar
dari suatu disiplin ilmu yang melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan
tugas- tugas bermakna lainya, serta memberi peluang bagi siswa untuk bekerja secara
otonomi dalam mengkonstruki cara belajar mereka sendiri. Puncak dari PBL berupa
produk/karya siswa yang bernilai dan realistik.

7. STEAM Untuk Pendidikan Anak Usia Dini Indonesia Tantangan Atau Peluang ?
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu jenjang pendidikan di
Indonesia. PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur formal, informal maupun nonformal.
Apapun jalurnya, tujuan utama penyelenggaraan PAUD adalah untuk menciptakan generasi
Indonesia yang gemilang. Seiring dengan berkembangnya zaman, PAUD menghadapai
beragam tantangan yang mengharuskan modifikasi dan perubahan sumber daya dan
prakTIk pembelajaran. Salah satu tantangan global yang ada adalah bagaimana menemukan
cara agar anak-anak Indonesia memiliki keterampilan abad 21. Keterampilan ini memiliki
hubungan erat dengan sains dan teknologi, dan mengharapkan seluruh perangkat PAUD di
Indonesia untuk menyajikan pembelajaran yang dapat mengasah keterampilan anak sejak
dini, salah satunya melalui STEAM. STEAM adalah integrasi antara seni (Art) dengan
STEM, yang telah banyak diterapkan di berbagai negara. Penggabungan Art dengan
STEAM diharapkan akan membantu lembaga PAUD untuk menstimulasi kemampuan
anak sejak dini. membantu pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental sehingga
anak- anak akan memiliki kesiapan untuk memasuki jenjang pendidikan dasar (Rutanen
dkk., 2019). PAUD di Indonesia dapat diselenggarakan oleh lembaga pendidikan formal,
non-formal dan informal (Saudah, 2015). Banyak penelitian pada bidang PAUD dan anak-
anak usia dini berfokus pada bagaimana anak-anak berinteraksi dengan orang dewasa, dan
bagaimana pengaruh atau hubungan antara interaksi, guru, orang tua dan orang negara,
termasuk di Indonesia, memikirkan bagaimana mengoptimalkan tumbuh dan kembang
anak usia dini melalui berbagai upaya secara optimal dan merata (Chao, 2016).
Pendidikan yang sesuai dalam perkembangan saat ini memerlukan kemampuan setiap guru
dan anak untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dengan pesat. Persoalan seperti ini
perlu diatasi dengan mencari solusi yang tepat untuk digunakan dalam proses pembelajaran
anak usia dini. PAUD mampu memberikan manfaat besar dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak, karena dapat membawa dampak positif yang besar bagi
perkembangan kognitif, fisik, emosi dan sosial anak (Stem, 2017). Anak-anak usia dini pada
zaman sekarang membutuhkan pendidikan yang jauh lebih terhubung dan kontekstual atau
nyata daripada pembelajaran konvensional yang banyak diprakTIkkan di masa lalu:
pendidikan yang TIdak sekadar memberi pengetahuan, tetapi juga menyediakan kesempatan
pemberdayaan
Anak membutuhkan pendidikan yang tujuannya bukan hanya untuk meningkatkan diri
mereka sendiri, tetapi juga untuk memperbaiki lingkungan di mana mereka berada (Manning
dkk., 2017). Rencana pendidikan STEM lima tahun yang dikeluarkan oleh Dewan
Sains dan Teknologi Nasional (Komite Pendidikan STEM) di Amerika Serikat
mengidenTIfikasi lima kunci utama penerapan STEM yang dapat membantu kemajuan
pendidikan STEM di masa yang akan datang. Bagian kedua sencana pendidikan tersebut
menyebutkan bahwa pemerintah Amerika Serikat akan menyediakan pengalaman
pembelajaran STEM sejak dini demi mempersiapkan anak-anak untuk memasuki masa
sekolah selanjutnya.
Pembelajaran anak usia dini berbasis STEAM merupakan salah satu jawaban untuk dunia
PAUD saat ini. Pembelajaran STEAM dipandang sebagai pendekatan yang bertujuan untuk
merangsang kreaTIvitas dan mempersiapkan anak-anak usia dini dalam dunia kerja di
kemudia hari yang penuh dengan inovasi dan penemuan baru (Akturk & Demircan, 2017).
Penerapan kurikulum berdasarkan STEAM menjadi penTIng dan banyak manfaatnya bagi
anak-anak, karena STEAM adalah bagian dari kurikulum yang mengembangkan kreaTIvitas
anak-anak dan berfokus pada kolaborasi, kreaTIvitas, kemampuan verbal dan non-verbal,
peneliTIan, pemecahan masalah dan berpikir kriTIs (DejarneƩe, 2018). Melalui
pendekatan pembelajaran ini, anak-anak TIdak hanya diarahkan untuk menjadi individu
yang pintar secara akademik, tetapi juga cakap dari sisi perkembangan sosial dan
emosional
Penerapan STEAM di institusi PAUD bermula dari guru memahami: (a) konten yang mereka
ajarkan; (b) sifat pemikiran/pengetahuan STEAM bagi anak- anak dan bagaimana
mengembangkannya; dan, (c) memprakTIkkan pembelajaran terbaik untuk memastikan
bahwa pengajaran STEAM sejalan dengan kebutuhan dan TIngkat perkembangan anak
(Chesloff, 2013; Sochacka dkk., 2016). Metode aktivitas berbasis STEAM diterapkan dengan cara
menekankan pembelajaran aktif, menstimulasi anak-anak untuk memecahkan masalah,
fokus pada solusi, membantu cara berpikir logis dan sistematiis, dan mempertajam
kemampuan berpikir kritis (Tabi, 2019).

Penerapan metode STEAM penting untuk melatih pemikiran kritis anak-anak,


membangun cara berpikir logis dan sistematis. Melalui metode ini, anak-anak akan belajar
tanpa menyadari bahwa mereka sedang belajar, karena dikemas dalam bentuk permainan
yang menyenangkan untuk anak-anak.

Anak-anak tentu akan sangat senang jika mereka diajak bermain, dan tanpa sadar
mereka akan belajar banyak hal

Hal yang juga dapat dilakukan oleh guru PAUD dalam mengenalkan anak pada
STEAM adalah dengan menggunakan konsep-konsep matematika kettika berbicara dengan
anak (Yakman, 2018), menggunakan alam dan hal-hal sekitar untuk mengkomunikasikan hal
apa yang dapat diamati dengan alat indera anak demi memunculkan kemampuan
mengamati dalam sains (Haynes Poronsky, 2017), menggunakan open ended question,
membimbing dan megikut kegiatan anak dalam mengeksplorasi dunia sekitar hingga
anak terbiasa membuat hipotesis sederhana, menggunakan buku-buku yang dapat
memperkaya kosakata anak, dan membangun suasana pembelajaran bersama dengan ikuti
aktivitas belajar anak.

Orang tua TIdak diharuskan untuk membelikan mainan atau alat sains yang mahal. Orang
tua dan guru juga TIdak perlu memiliki pengalaman mumpuni untuk mengajarkan STEAM
pada anak-anak mereka. Jadi, mengajarkan anak- anak untuk menggunakan metode STEAM
dapat dilakukan sedini mungkin sehingga akan membantu anak-anak mampu dan
percaya diri untuk mempelajari sesuatu di lingkungan mereka (Akturk & Demircan, 2017;
Jamil dkk.,

2017). Terlepas dari hal di atas, guru dan orang tua juga dapat membantu mengembangkan
keterampilan STEAM melalui kegiatan yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari,
baik di rumah maupun di sekolah, seperTI : bertanya, memfasilitasi anak-anak untuk
bekerja sama, berpikir kreaTIf, memecahkan masalah, menjelajah, atau mencari cara baru
yang TIdak biasa dalam belajar (Lindeman dkk., 2013).

Pemberdayaan STEAM dimulai di lingkungan terdekat anak dan kemudian dapat


didukung oleh lingkungan luar (Perignat & Katz-Buonincontro, 2019). Pemangku
kebijakan diharapkan juga dapat memberikan dukungan dan pendidikan yang lebih kuat
untuk orang tua dan guru; strategi yang lebih selaras di seluruh TIngkat kelas dan antara
lingkungan belajar formal dan informal; melipatgandakan upaya untuk meningkatkan sistem
pendidikan dini secara umum; penekanan dan arahan baru untuk peneliTIan dan
pengembangan; dan, pendekatan baru untuk mengomunikasikan dan menyebarluaskan
temuan peneliTIan (Land,
2013b; Namsone & Cakane, 2016; Tabi, 2019). Pada masa yang akan datang, penerapan
STEAM di Indonesia membutuhkan dukungan dari semua pihak agar dapat mewujudkan
pembelajaran yang berkualitas untuk anak usia dini .

Penerapan STEAM yang telah diterapkan juga memiliki beragam contoh, beberapa di
antaranya yang mungkin dapat di adaptasi oleh guru-guru PAUD adalah sebagai berikut.

Percobaan STEAM dengan topik balon ajaib adalah dengan mencoba membuat balon
dapat menggelembung tanpa harus ditiup. Percobaan ini membutuhkan bahan dan alat
sederhana dan bisa difasilitasi oleh guru sebelum anak-anak memulai pelajaran. Alat dan
bahan yang digunakan adalah 2 botol cuka makan, 2 sdm soda kue balon, botol bekas
air mineral, dan corong.

Langkah pertama, guru membantu anak-anak untuk memasukkan soda kue ke dalam
balon dengan menggunakan corong. Kemudian isi botol dengan cuka, lalu pasang balon ke
mulut botol. Angkat balon yang masih kempes dan biarkan soda kue didalam balon terjatuh
ke dalam botol berisi cuka. Beberapa saat akan timbul reaksi balon menggembung karena
adanya campuran soda kue dan cuka. Anak- anak diajak mengamati peristiwa menarik
dalam akTIvitas belajar mereka di lembaga PAUD. Lalu guru dapat membimbing anak
dengan menanyakan apa yang terjadi pada balon? Dan menjelaskan dengan sederhana
mengapa bisa terjadi hal tersebut. Percobaan ini diharapkan mampu mengasah kemapuan
STEAM anak secara tidak langsung.

8. Peran Teknologi dalam Pembelajaran Anak Usia Dini di Indonesia :


Peluang dan Tantangan
Penggunaan teknologi dalam pembelajaran anak usia dini memiliki berbagai
kontroversi. Beberapa peneliti memandang bahwa teknologi menjadi ancaman terhadap
kegiatan belajar dan perkembangan mental anak (Cordes & Miller, 2000). Dalam
pandangannya, frekuensi dan intensitas yang berlebihan dalam melihat layar gadget dapat
menyebabkan gangguan pada indra anak, di mana anak akan cenderung sulit berkonsentrasi
dalam waktu tertentu, utamanya ketika dia TIdak memegang gadget dan kurang
memperhaTIkan orang di sekitarnya. Selain itu, penggunaan teknologi yang berlebih juga
disinyalir dapat mengakibatkan gangguan perkembangan kerangka otot dan daya visual
anak. Paparan berlebih terhadap teknologi juga dapat melemahkan kemampuan literasi,
menurunkan imajinasi, dan meminimalisir interaksi sosial anak. Selain memiliki dampak
negatif, penggunaan teknologi juga memiliki dampak positif bagi anak. Dampak positif dari
penggunaan teknologi antara lain adalah menjadikan pembelajaran berpusat pada anak
(Blackwell dkk., 2013), meningkatkan motivasi dakemampuan literasi digital (Lindahl, M. G.,
& Folkesson, A, 2012), dan mengembangkan kemampuan sosial melalui kolaborasi dan
membantu anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus (Muligan, S.A, 2003). Meskipun
penggunaan teknologi pada anak usia dini masih menjadi kontroversi, sebagian besar anak
usia dini di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya dewasa ini telah mengenal dan
menggunakan teknologi, baik secara mandiri maupun didampingi orang tua.

Berbagai survei tentang penggunaan teknologi pada anak usia dini telah dilakukan oleh
berbagai lembaga. Survei yang dilakukan oleh Uswitch menunjukkan bahwa lebih dari
25% anak-anak di seluruh dunia mempunyai gadget sebelum berusia delapan tahun. hal
ini, satu dari tiga anak mulai menggunakan smartphone ketika berumur tiga tahun, sedangkan
satu dari 10 anak menggunakan gadget pada usia dua tahun (Murdaningsih & Faqih, 2014).
Survei yang dilakukan oleh Common Sense Media di Amerika Serikat menunjukkan bahwa,
sejak usia 4 tahun, anak-anak sudah mempunyai dan menggunakan smarthphone sendiri
tanpa diawasi oleh orang tua.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Louis (2015), biasanya 25% orang tua
meninggalkan anaknya menggunakan gadget sendiri saat mau TIdur, 33% orang tua
mengaku anaknya yang berusia TIga sampai empat tahun menggunakan lebih dari satu
smartphone, 42% mengaku anaknya yang berusia satu tahun cenderung menggunakan
gadget untuk bermain game, menonton video, dan bermain aplikasi, 70% orang tua
mengaku mengizinkan anaknya yang berusia enam bulan sampai empat tahun bermain
smartphone ketika mereka sedang mengerjakan pekerjaan rumah, dan 65% orang tua
melakukan hal yang sama untuk menenangkan anak saat berada di tempat umum. Hasil
survei tersebut menunjukkan bahwa banyak orang tua belum begitu memiliki kesadaran
tentang batas penggunaan teknologi pada anak usia dini. Padahal, penggunaan teknologi
pada anak usia dini harus dibatasi.

Para peneliti di berbagai negara telah melakukan studi tentang penggunaan aplikasi
dalam pembelajaran anak usia dini. Berikut adalah uraian singkat tentang aplikasi
tersebut.

Media sosial
Penelitian yang dilakukan oleh Alkhayat dkk. (2020) menunjukkan bahwa
penggunaan sosial media seperti YouTube, Instagram, WhatshApp, dan twiƩer mampu
meningkatkan aktivitas pembelajaran, komunikasi dengan orang tua, dan membagikan
aktivitas di kelas. Meskipun demikian, Alkhayat dkk. (2020) merasa khawatir apabila ada
peserta didik mengakses konten yang mengandung unsur negaTIf. Hal ini menunjukkan
bahwa media sosial mampu dijadikan aplikasi dalam pembelajaran anak usia dini. Namun
demikian, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, penggunaannya harus
didampingi oleh orang yang lebih memahami penggunaan media sosial secara bijak

Electronic book (e-book)

Penelitian yang dilakukan oleh Barnyak dkk. (2016) menunjukkan bahwa penggunaan
e-book mampu meningkatkan kemampuan literasi dan motivasi siswa. Selain itu de Jong &
Bus. (2004) menunjukkan peserta didik lebih memahami isi cerita yang disajikan
menggunakan e-book. Setelah mengenal e-book, anak-anak termotivasi mengunduh e-
book yang disukai untuk dibaca (Meynard,2010). Pada kegiatan sehari-hari, anak- anak
lebih senang membaca menggunakan e-book dibandingkan buku cetak (Meynard,2010). Hal
ini menunjukkan bahwa e-book merupakan salah satu aplikasi yang dapat menjadi sangat
bermanfaat apabila digunakan dalam pembelajaran anak usia dini.

Video modelling (VM)

Penelitian tentang penggunaan VM dalam pembelajaran anak usia dini telah dilakukan
oleh beberapa peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh Obrusnikova & Cavalier (2018)
menunjukkan bahwa penggunaan video modelling mampu meningkatkan kemampuan
motorik siswa. VM menjadikan pembelajaran lebih efisien. Mechling & Chaling (2012)
menyatakan bahwa VM dapat membantu anak usia dini memahami gerakan motorik melalui
pengulangan dengan petunjuk visual. Anak-anak menjadi lebih tertarik dalam menonton
video (Charlop-Christy dkk., 2000). Paterson & Acro (2007) menyatakan bahwasanya VM
mampu diberikan di luar jam sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa VM dapat digunakan
dalam pembelajaran anak usia dini. Memang peneliTIan mengenai penggunaan VM baru
dilakukan di luar negeri, belum pernah dilakukan di Indonesia. Meskipun demikian, para
pendidik anak usia dini di Indonesia berpotensi menggunakan aplikasi VM dalam
pembelajaran. Hal ini disebabkan karena para pendidik anak usia dini sebagian besar

Kurikulum anak usia dini yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Permendikbud No.146/2014 berupaya
mengembangkan berbagai aspek tumbuh kembang anak, termasuk di antaranya moral dan
nilai-nilai agama, fisik/ motorik,kogniTIf,sosialemosionaldankemandirian, bahasa, dan seni.
Ketujuh aspek tersebut dijadikan muatan dalam pembelajaran anak usia dini. Program
pembelajaran yang mengajarkan aspek- aspek tersebut antara lain adalah pembelajaran agama
dan akhlak mulia, sosial dan kepribadian, pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani,
olahraga dan kesehatan.

Pelaksanaan pembelajaran anak usia dini pada banyak lembaga PAUD di Indonesia
selama ini dilakukan secara konvensional tanpa memanfaatkan teknologi (Putri, 2019;
Saripudin, 2017). Pembelajaran umumnya menggunakan benda-benda ramah anak, seperti
buku, pensil warna, bola, dan lain-lain. Namun demikian, berbagai penelitian tentang
penggunaan teknologi dalam pembelajaran anak usia dini dalam artikel ini menunjukkan
bahwa, meskipun harus dibatasi, teknologi dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
berbagai kemampuan anak usia dini. Dalam koridor ini, guru anak usia dini diharapkan
dapat memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran dan pengajaran di satuan pendidikan
masing-masing. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai bagaimana teknologi dapat
diintegrasikan dalam berbagai program pembelajaran.

Program pembelajaran agama dan akhlak mulia mencakup peningkatan potensi


spiritual anak melalui pemberian contoh dari pengalaman guru agar menjadi kebiasaan
sehari-hari, baik di dalam maupun di satuan pendidikan. Pada program ini, guru bisa
memanfaatkan teknologi melalui kerja sama dengan orang tua (Alkhayat dkk., 2020). Dalam
hal ini, teknologi berfungsi untuk menambah pengetahuan, pemahaman konsep,
kemampuan, dan keterampilan anak dalam beragama dan berakhlak mulia. Meskipun
demikian, penggunaan teknologi tetap harus diawasi oleh orang tua. Dewasa ini, terdapat
banyak program yang dengan sangat mudah dapat diakses oleh anak, dengan
bantuan orang tua, seperti Youtube dan sofware media pembelajaran lainnya seperti google
classroom dan edmodo, atau yang dikenal dengan learning management system. Dengan
demikian, anak menjadi lebih paham tentang konsep bagaimana beragama dan berakhlak mulia
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadikan kemampuan anak kian berkembang, dan
anak menjadi lebih terampil dalam bersikap dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana
dianjurkan agama.

Kemampuan literasi merupakan salah satu hal yang sangat penTIng dalam
perkembangan anak. Secara umum, literasi pada anak usia dini dipandang sebagai
keterampilan koginitif yang meliputi keterampilan membaca dan menulis. Menurut Paris
(2005), keterampilan ini mencakup keterampilan yang terbatas dan tidak terbatas. Contoh
keterampilan yang terbatas yaitu pengetahuan huruf, pelafalan huruf, dan bentuk huruf.
Keterampilan ini sangat diperlukan, tapi tidak dapat sepenuhnya diajarkan dalam satu waktu.
Artinya, proses pengajaran tentang huruf yang jumlahnya sudah tetap memerlukan rentang
waktu tertentu sampai anak-anak memahami dengan baik. Di sisi lain, keterampilan yang
tidak terbatas adalah keterampilan berbasis makna, seperti bahasa lisan, kosakata, dan
pemahaman.

Menurut Maureen dkk. (2020), kemampuan membaca dan menulis pada anak
usia dini sebagai kemampuan literasi awal terdiri atas empat hal, yaitu: penulisan nama,
pengetahuan alfabet, kemampuan mengungkapkan, dan kemampuan memahami huruf dan
kata pada tulisan. Keempat hal tersebut dapat diperoleh dengan cara menelaah topik
pengembangan literasi sebagai cara melaTIh kemampuan literasi dasar pada anak usia dini
(Bowles dkk., 2014).

Salah satu kemampuan literasi awal anak usia dini adalah kemampuan menuliskan
nama. Menurut Dunsmuir & Blatchford (2004), nama anak merupakan kata pertama yang
sering dipikirkan dan dituliskan ulang oleh anak. Kemampuan menuliskan

nama merupakan proses perkembangan mental yang dimulai dengan mengenali bentuk-
bentuk alfabet, dan melibatkan konsep bentuk huruf, idenTIfikasi kata, dan menghasilkan kata
(Puranik dkk., 2011), serta pengenalan suara atau fonik.

Kemampuan literasi awal anak yang kedua adalah pengetahuan tentang huruf. Menurut
Powel dkk. (2008), pengetahuan tentang huruf merupakan dasar dari kemampuan literasi.
Artinya, setiap anak dalam waktu yang tepat akan mampu membedakan bentuk dan
pengucapan huruf. Guru bisa mengenalkan bentuk-bentuk huruf, tapi tidak boleh
dipaksakan.

Kesadaran fonologis atau bunyi huruf juga merupakan salah satu kemampuan
literasi awal anak. Menurut Demont dan Gombert (1996), kesadaran fonologis merupakan
kesadaran yang dimiliki anak terhadap bunyi kata-kata yang diucapkan. Artinya, anak
memahami makna dari kata-kata yang diucapkan, bukan sekadar mendengar dan meniru.
Kesadaran fonologis mempengaruhi kemampuan anak pda waktu yang akan datang dalam
membaca kata atau pun kalimat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anthony &
Francis (2005) yang menemukan bahwas kesadaran fonologis berpengaruh terhadap
kemampuan membaca anak. Contoh pengajaran untuk mengembangkan kesadaran fonologis
adalah dengan bertanya: “apa huruf pertama dari kata ikan?”. Kemampuan awal literasi anak
tahap terakhir adalah kemampuan memahami bentuk tulisan. Menurut Justice & Ezell (2002),
kemampuan memahami bentuk tulisan adalah kemampuan yang berkaitan dengan bentuk
dan fungsi huruf. Kemampuan ini berkembang seiring berjalannya waktu dan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

9. Pengenalan Matematika pada Anak Usia Dini:


Kesiapan Kognitif, Konten, dan Strategi
Menurut Piaget dalam Papalia & Feldman (2014), perkembangan kogniTIf manusia
terbagi menjadi empat tahap, yakni sensori motorik (0-2 tahun), praoperasional (2-7 tahun),
operasional konkret (7-11 tahun), dan operasi formal (11 tahun ke atas). Apabila teori Piaget
ini debenturkan pada Permendikbud No. 146 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa rentang
usia anak usia dini adalah 0-6 tahun, maka PAUD sejaTInya ditujukan bagi anak yang berada
pada tahap sensori motorik dan praoperasional. Faktanya, kedua tahapan ini mempunyai
karakterisTIk yang berbeda.

Pada tahap sensori motorik, anak usia dini mempunyai dua isTIlah, yakni bayi
(infant) dan bayi yang mulai belajar berjalan (toddler). Kemampuan kogniTIf pada tahap ini
didominasi oleh kegiatan motorik sebagai respons sensorik dari panca indera anak (Rahman,
2009). Proses utama pemerolehan informasi anak bergantung bagaimana mereka
memanfaatkan panca inderanya. Oleh karena itu, anak tahap sensori motorik masih
terkendala dengan pemahaman yang bersifat observaTIf. Sementara itu pada tahap
praoperasional, Piaget dalam Papalia

& Feldman (2014) menjelaskan ada beberapa kemajuan dalam perkembangan kogniTIf
seperTI mengenal simbol, angka, objek ruangan, dan sebab akibat. Namun, di sisi lain, anak
usia dini pada tahap praoperasional juga masih memiliki beberapa aspek perkembangan yang
belum matang, seperti perkembangan egosentris, alasan transduktif, dan konservasi.

Untuk memahami lebih mendalam, berikut disajikan potensi dan aspek yang belum matang
pada masing-masing tahap perkembangan anak usia dini.

Potensi anak usia dini tahap sensori motorik

Pada tahap sensori motorik, terdapat dua kemampuan yang berpotensi membantu
pembelajaran matematika. Pertama, anak mempunyai kemampuan membandingkan
berdasarkan jumlah dari dua buah kumpulan benda. Anak pada tahap ini menggunakan
istilah “lebih” sebagai kalimat matemaTIka. Menurut penelitian Lipton & Spelke (2003),
infant secara visual sudah mampu membedakan mana yang lebih banyak dari dua buah
kumpulan benda yang mempunyai perbandingan 1:2 (8 objek dibanding 16 objek). Bahkan
pada peneliTIan Nes & Lange (2007), infant sudah memahami perbedaan pada kelompok
benda yang mempunyai perbandingan 1:1,5 (6 objek dibanding 9 objek). Pemahaman
anak secara visual ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu memahami konsep
kuantitas, walaupun belum mampu menghitung satu persatu. Kedua, anak pada tahap ini
telah mampu berpikir spasial sederhana. Beberapa penelitian menyimpulkan hal yang
sama bahwa anak pada tahap sensori motorik memahami bentuk dan lokasi benda pada
ruangan (Anthony & Walshaw, 2009; HuƩenlocher dkk., 1994; National Research Council,
2009; SorariuƩa & Silvén, 2018). Sebagai contoh, anak sudah memahami bahwa boneka
berada di kamar dan mereka mampu mencarinya.

Potensi anak usia dini tahap praoperasional

Fungsi simbolis

Menurut Papalia & Feldman (2014), kemampuan simbolis pada anak usia dini
berkaitan dengan kemampuan anak untuk membayangkan atau menganggap bahwa suatu
benda dapat menyimbolkan benda atau hal yang lain. Fungsi simbolis juga memungkinkan
anak usia dini memahami bahwa suatu benda dapat mewakili atau serupa secara
bentuk, fungsi, atau karakteristik dengan benda lain. Sebagai contoh, anak usia dini
menggunakan sapu sebagai pedang. Proses analogi antara bentuk sapu dan pedang
menunjukkan bahwa anak usia dini menemukan ada karakterisTIk yang dianggap sama antara
sapu dan pedang.

Menurut Soon (1982), pembelajaran matematika harus diselaraskan dengan kemampuan


simbolik anak. Dalam pembelaran matematika, kemampuan simbolik bermanfaat untuk
memahami konteks bilangan (Aunio dkk., 2016), misalnya penggunaan jari dalam membilang
dan menghitung benda. KeTIka guru menunjukkan ada dua buah permen, maka guru dapat
menunjukkan dua jari sambil mengucapkan kata “dua”. Dalam perkembangannya, anak usia
dini dapat diajarkan proses simbolisasi mulai dari ucapan kata “dua” sampai simbol bilangan
“2”. Pada contoh ini, proses simbolisasi terjadi dari benda konkret, yakni permen menuju
ke benda abstrak, yakni bilangan dua. Dengan belajar simbolisasi, anak usia sudah
matang. Kedua kemampuan ini sangat membantu anak dalam memahami bilangan (Mononen
& Aunio, 2013; NaTIonal Research Council, 2009). Pembelajaran matematika secara verbal
akan membantu anak usia dini memahami konsep simbolisasi yang lainnya. Oleh karena itu,
biasanya proses belajar mengajar anak usia dini TIdak akan lepas dari kegiatan menyanyi
dalam membilang bilangan (Gifford, 2006). Kombinasi simbolik fisik dan simbolik verbal
akan membantu anak memahami konsep matemaTIka secara lebih bermakna. Proses
belajar seperti ini menjadikan anak usia dini tanpa sadar sedang belajar matematika.

Pemahaman objek dalam ruang

Kemampuan pemahaman objek dalam ruang sangat berkaitan dengan kemampuan


penalaran spasial. Menurut Sarama & Clements (2004), penalaran spasial
terdiri atas kemampuan anak mengetahui letak, arah, jarak, dan idenTIfikasi objek.
Pemahaman objek ini juga meliputi bentuk dasar baik dua dimensi maupun tiga dimensi
(Taylor dkk., 2005). Menurut National Research Council (2009), anak usia dini bahkan sudah
mampu membayangkan gambaran visual dari bangun ruang. Hal ini menunjukkan anak usia
dini telah memahami konsep spasial dengan baik.

Kemampuan identitas

Kemampuan idenTItas adalah kemam- puan anak usia dini mengenal dirinya, keluarga,
dan orang terdekat (Papalia & Feldman, 2014). Walaupun kemampuan ini termasuk
dalam perkembangan sosial, namun kemampuan ini dapat menunjang proses belajar
matemaTIka. Sebagai contoh, anak usia dini akan belajar matematika ketika mereka ditanya
usia mereka. Selain usia, mereka dapat belajar matemaTIka melalui konsep TIngkatan
keluarga. KeTIka anak usia dini mampu mengenali ayah, bunda, kakak, adik, kakek, paman
dan seterusnya, maka mereka akan memahami secara sederhana TIngkatan silsilah di
keluarganya. Misalnya, anak usia dini akan memahami jika dirinya mempunyai dua kakak
dan satu adik, maka ia merupakan anak keTIga.

Kemampuan mengategorikan

Kemampuan mengategorikan berman- faat untuk membentuk anak berpikir logis dan
teratur. Menurut WhiƩaker (2014), kemampuan mengategorikan dikembangkan melalui
kegiatan mengatur, menyeleksi, memilah, dan mengelompokkan suatu benda dalam
karakterisTIk tertentu.

Aljabar
Melalui konten aljabar, anak dapat dilaTIh dalam pola pikir aljabar (algebraic
thinking). Walaupun bukan topik utama dalam pembelajaran pada jenjang PAUD, aljabar
sesungguhnya sangat erat dengan akTIvitas anak usia dini. Pada anak usia dini, anak
mengembangkan konsep awal aljabar melalui pengurutan, pengklasifikasian, dan
observasi pola di lingkungannya.

Membuat pola merupakan akTIvitas yang sering dilakukan oleh anak usia 5-6 tahun
(Wijns dkk., 2019). Dengan mengamaTI sebuah pola, anak usia dini dapat mempelajari urutan
sebuah benda dan memprediksi bentuk umum yang ada dalam pola tersebut (RiƩle-johnson
dkk., 2018). Sebagai contoh, anak usia dini dapat dikenalkan pola pada zebra cross melalui
foto atau tayangan video. Anak akan memahami bahwa pola pada zebra cross mempunyai
aturan berulang, yakni hitam lalu puTIh dan kembali ke hitam lalu puTIh lagi dan
seterusnya. Kegiatan sederhana ini akan merangsang anak untuk memahami suatu bentuk
umum sebuah keteraturan atau pola. Tingkat kerumitan pola juga dapat diTIngkatkan sesuai
kebutuhan dan kondisi anak. Guru dapat menggabungkan dua dimensi seperTI warna dan
bentuk. Anak dapat pula ditantang untuk mengamaTI pola yang bersifat double (AA-BB-AA-
dst), pola naik (A-AA-AAA-AAAA- dst) atau pola bolak balik (ABC-CBA-ABC- dst).
Semakin rumit pola yang dibuat akan semakin meningkatkan penalaran anak usia dini.
Melalui pemahaman pola yang baik, anak usia dini akan mencoba menemukan inTI dari
sebuah pola dan membuat sebuah generalisasi secara umum (Clements & Sarama, 2004).

Analisis data

Pada topik analisis data, akTIvitas anak usia dini melipuTI mengklasifikan,
mengorganisakan, menyajikan, dan menggunakan informasi yang tersedia untuk menjawab
sebuah permasalahan (Frye dkk., 2013). Proses analisis data ini diawali dengan mengamaTI
permasalahan yang diberikan, lalu anak akan menggunakan kemampuan seperTI
menyorTIr, menyusun, dan akhirnya menemukan data yang baru. Proses selanjutnya adalah
kemampuan anak merepresentasikan data atau pemahaman baru.
Representasi dapat berupa gerakan fisik seperTI penggunaan jari dalam
konteks berhitung atau sketsa sederhana yang menggambarkan bentuk benda.
Representasi juga dapat berupa kegiatan verbal seperTI presentasi di depan kelas.
Kemampuan representasi ini dapat menumbuhkan kemampuan komunikasi matemaTIka
(NCTM, 1975). Proses terakhir adalah penggunaan data sebagai jawaban untuk
permasalahan yang diberikan. Proses ini lebih berkaitan bagaimana anak usia dini
mengaitkan proses representasi yang ada dengan konteks permasalahan. Dengan imajinasi
dan kreaTIvitas anak usia dini yang beragam, kemampuan pada topik analisis data tentu
memunculkan banyak variasi proses dan jawaban. Terlebih keTIka guru PAUD mampu
memunculkan permasalahan yang bersifat terbuka (open task). Dengan demikian,
pembelajaran topik ini juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreaTIf anak.

Berdasarkan kajian terhadap literatur dan peneliTIan empirik yang dibahas secara
kriTIs deskripTIf pada arTIkel ini, dapat disimpulkan bahwa matemaTIka merupakan ilmu
yang bersifat logis. Oleh karena itu, TIdak mudah dalam mengajarkannya. Hal ini juga
menyebabkan adanya keraguan dan kebingungan dalam merancang pembelajaran
matemaTIka yang sesuai untuk anak usia dini. Terlebih pada anak usia dini yang
mempunyai perkembangan kogniTIf yang belum sempurna. Kondisi kogniTIf seorang anak
usia dini sangat memengaruhi bagaimana persiapan mereka dalam belajar matemaTIka.
Namun, berdasarkan kajian mengenai perkembangan kogniTIf pada anak usia dini,
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matemaTIka sebaiknya mulai diajarkan sejak usia
dini. Meskipun ada aspek kogniTIf lain yang belum matang, pendidik dan orang tua sebaiknya
lebih fokus untuk mengembangkan potensi kogniTIf pada anak usia dini. Hal ini juga dapat
disiasaTI dengan memahami konten matemaTIka dan menggunakan strategi yang tepat
kemampuan seperTI menyorTIr, menyusun, dan akhirnya menemukan data yang baru.
Proses selanjutnya adalah kemampuan anak merepresentasikan data atau pemahaman baru.

Representasi dapat berupa gerakan fisik seperTI penggunaan jari dalam


konteks berhitung atau sketsa sederhana yang menggambarkan bentuk benda. Representasi
juga dapat berupa kegiatan verbal seperTI presentasi di depan kelas. Kemampuan
representasi ini dapat menumbuhkan kemampuan komunikasi matemaTIka (NCTM, 1975).
Proses terakhir adalah penggunaan data sebagai jawaban untuk permasalahan yang diberikan.
Proses ini lebih berkaitan bagaimana anak usia dini mengaitkan proses representasi
yang ada dengan konteks permasalahan. Dengan imajinasi dan kreaTIvitas anak usia dini
yang beragam, kemampuan pada topik analisis data tentu memunculkan banyak variasi
proses dan jawaban. Terlebih keTIka guru PAUD mampu memunculkan permasalahan
yang bersifat terbuka (open task). Dengan demikian, pembelajaran topik ini juga dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kreaTIf anak.

Berdasarkan kajian terhadap literatur dan peneliTIan empirik yang dibahas secara
kriTIs deskripTIf pada arTIkel ini, dapat disimpulkan bahwa matemaTIka merupakan ilmu
yang bersifat logis. Oleh karena itu, TIdak mudah dalam mengajarkannya. Hal ini juga
menyebabkan adanya keraguan dan kebingungan dalam merancang pembelajaran
matemaTIka yang sesuai untuk anak usia dini. Terlebih pada anak usia dini yang
mempunyai perkembangan kogniTIf yang belum sempurna. Kondisi kogniTIf seorang anak
usia dini sangat memengaruhi bagaimana persiapan mereka dalam belajar matemaTIka.
Namun, berdasarkan kajian mengenai perkembangan kogniTIf pada anak usia dini, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran matemaTIka sebaiknya mulai diajarkan sejak usia dini.
Meskipun ada aspek kogniTIf lain yang belum matang, pendidik dan orang tua sebaiknya lebih
fokus untuk mengembangkan potensi kogniTIf pada anak usia dini. Hal ini juga dapat
disiasaTI dengan memahami konten matemaTIka dan menggunakan strategi yang tepat Materi
matemaTIka harus diselaraskan dengan kondisi kogniTIf anak usia dini. Terdapat TIga konsep
utama matemaTIka yang dapat diajarkan pada jenjang PAUD, yakni bilangan & operasi,
geometri, dan pengukuran. Selain itu, terdapat dua konsep penunjang, yaitu aljabar dan
analisis data. Melihat dari karakterisTIk semua konsep matemaTIka, guru TIdak dapat
secara serta merta mengajarkan semua konsep dalam satu model pembelajaran. Guru
sebaiknya memperhaTIkan kogniTIf anak usia dini sehingga tercipta strategi dan kegiatan
prakTIs untuk mengajarkan matemaTIka. Beberapa alternaTIf strategi pembelajaran
matemaTIka misalnya dengan memanfaatkan media di sekitar (kertas dan blok kayu),
kegiatan bermain (play-based learning), sampai dengan memanfaatkan media teknologi yang
canggih (handphone, komputer, dan program lainnnya).

10.Kepemimpinan Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia: Kajian Literatur

Meskipun kepemimpinan pendidikan sering dianalogikan sebagai sebuah industri besar


yang tengah berkembang pesat di berbagai negara selama 30 terakhir (Bush dan Glover,
2014; Day dkk., 2000; Leithwood, 2007), sebagian besar peneliTIan tentang
kepemimpinan pendidikan terbatas pada pendidikan dasar dan menengah. Banyak di antara
peneliTIan tersebut juga bersifat anekdotal (Aubrey, 2011) dan hanya fokus pada
keefekTIfan model kepemimpinan tertentu (Makel and Plucker, 2014). PeneliTIan tentang
kepemimpinan PAUD masih sangat jarang ditemukan, kecuali di negara-negara seperTI
Amerika Serikat, Australia, Finlandia, Inggris dan Rusia (Hujala, 2004). Masing-masing
negara memiliki fokus peneliTIan yang berbeda. Finlandia dan Inggris, misalnya,
memprioritaskan pedagogi, dan negara-negara lainnya fokus pada peningkatan kapasitas para
pemimpin lembaga PAUD.

Di banyak negara, layanan layanan pendidikan dan perawatan anak seringkali


diselenggarakan secara terpisah (Rood, 2013). Tidak terlalu jauh berbeda dengan yang
terjadi di Indonesia, di Jepang, contohnya, terdapat dua jenis layanan untuk anak-anak usia
dini, yaitu taman kanak-kanak, yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Olahraga, Sains

Teknologi, dan peniTIpan anak, yang diawasi oleh Kementerian Kesehatan,


Tenaga Kerja dan Kesejahteraan (Hujala dkk., 2016). Secara alfabeTIs, berikut adalah
beberapa temuan penTIng dari peneliTIan tentang kepemimpinan PAUD di negara-negara
maju.
Di Amerika Serikat, Talan dkk. (2014) mensurvei 502 peserta program pelaTIhan
kepemimpinan di kota Illinois untuk melihat perkembangan profesi pemimpin Satuan
PAUD di kota tersebut. Mereka menemukan bahwa faktor-faktor penTIng yang
memengaruhi kepemimpinan PAUD di antaranya adalah: kapasitas untuk menerima dan
mengelola perubahan, gaya komunikasi, dan kemampuan untuk bekerja dengan orang lain.
Mereka menyarankan agar program pengembangan profesi pemimpin Satuan PAUD dapat
dilaksanakan secara intensif dan sistemaTIs.

Di Australia, guru memiliki peran penTIng dalam kepemimpinan PAUD, karena


mereka mampu memberikan rasa nyaman dalam memberikan dukungan, serta menyediakan
bimbingan kepada rekan-rekan sejawat di pusat- pusat PAUD tempat mereka bekerja
(Waginayake,
2015). Colmer dkk. (2015) menyelidiki 12 direktur pusat PAUD di Australia, dan menemukan
bahwa kepemimpinan PAUD di negara tersebut berkaitan erat dengan reformasi pendidikan.
Studi mereka juga menunjukkan bahwa kepemimpinan yang terdistribusi merupakan faktor
penTIng yang mampu mereformasi kurikulum PAUD. Meskipun TIdak semua direktur pusat
PAUD memahami konsep kepemimpinan terdistribusi, mereka semua mendorong guru untuk
mengambil peran kepemimpinan.
Dalam konteks PAUD, terdapat beberapa peneliTIan di Indonesia yang telah
dipublikasikan di beberapa jurnal internasional berperingkat kuarTIl satu atau dua. Namun
demikian, TIdak satu pun arTIkel atau studi yang dipublikasi pada jurnal internasioal
bereputasi TInggi meneliTI kepeminpinan PAUD di Indonesia. Beberapa arTIkel penTIng
tentang PAUD di Indonesia yang dapat diperoleh pada jurnal internasional di antaranya
ditulis oleh Thomas (1992), Newberry (2010), Andriany (2018; 2019), Newberry &
Marpinjun (2018), Octarra & HendriaTI (2018), dan Nakajima dkk. (2019). Baru-baru ini
Nakajima dkk. (2019), misalnya, meneliTI pengaruh PAUD pada kesiapan sekolah di
Indonesia, sebagai bagian dari kolaborasi peneliTIan antara Australia, Belanda, Korea
Selatan, dan Bank Dunia. Mereka menemukan bahwa anak-anak yang mengikuTI program
Kelompok Bermain (KB) (usia 3-4 tahun) dan kemudian melanjutkan ke Taman Kanak-
Kanak (TK) (usia 5-6 tahun) memperoleh nilai MatemaTIka dan bahasa yang jauh lebih
TInggi keTIka mengikuTI ujian di SD, dibandingkan anak-anak yang hanya mendaŌar di
KB atau TK saja.
Kepemimpinan dan manajemen pendidikan dewasa ini menunjukan signifikansi global.
Pemerintah di berbagai negara kian mengakui penTIngnya pendidikan sebagai alat untuk
bersaing dalam ekonomi global. Dengan sistem otonomi dan desentralisasi pendidikan
yang diberlakukan di hampir seluruh dunia, para pemangku kebijakan pendidikan juga
kian menyadari bahwa kepemimpinan yang efekTIf merupakan kunci perubahan sekolah.
Di banyak negara, para pemimpin lembaga pendidikan memperoleh status yang TInggi di
kalangan masyarakat, sebagai sebuah bentuk pengakuan atas penTIngnya profesi yang
mereka emban. Hal ini merupakan hal yang baik, tapi apabila disalahgunakan, maka
perubahan pendidikan hanya akan menjadi harapan semata.

Di sisi lain, studi tentang kepemimpinan PAUD di berbagai belahan dunia: barat
maupun Asia, menunjukkan bahwa kepemimpinan
11.Kegiatan Literasi Anak Usia Dini
Literasi harus dikenalkan sejak dini pada anak melalui kegiatan yang menyenangkan
dan sesuai dengan perkembangannya. Dengan cara ini minat dan keinginan anak untuk
membaca dan menulis dapat tumbuh dengan baik. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak
Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kemendikbud mengingatkan,
jenjang PAUD seharusnya TIdak membebani anak dengan kemampuan membaca, menulis,
berhitung (calistung). Metode pendekatan pada jenjang PAUD TIdak didasarkan pada
aspek kogniTIf, tetapi lebih menekankan pengembangan soŌ skill dengan cara bermain.
Mason & Stewart (1990) menjelaskan waktu opTImal bagi kegiatan membaca permulaan
TIdak semata- mata tergantung pada keadaan anak sendiri tetapi banyak ditentukan oleh
sifat program dan metode yang digunakan.
Musthafa (2008) dalam bukunya “Dari Literasi Dini ke Literasi Teknologi” menyebutkan,
literasi dini merupakan proses membaca dan menulis secara informal yang umumnya
bercirikan seperTI demontrasi baca–tulis, kerja sama interakTIf antara orang tua dan
anak, berbasis kepada kebutuhan sehari-hari, dan dengan cara pengajaran yang minimal
namun langsung (minimal direct). Kegiatan membaca bagi anak usia dini bukan hanya
membaca secara langsung melalui buku, melainkan juga kegiatan membaca lingkungan
sekitar, membaca dan mengenal berbagai tulisan-tulisan yang ada di sekitar anak, dan
membawa anak ke tempat- tempat mereka bisa terlibat langsung dengan kegiatan membaca
PengerTIan sederhana dari literasi adalah pengajaran membaca dan menulis. BarraƩ-
Pugh & Rohl (2020) menjelaskan bahwa literasi adalah tentang bagaimana anak
belajar membaca dan menulus. Begitu pula dengan Dharma (2014) yang menyatakan bahwa
literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Literasi merupakan jantung kemampuan
siswa untuk belajar dan berhasil di sekolah, serta menghadapi berbagai tantangan pada abad
21.

Dengan kemampuan membaca dan menulis yang baik, anak dapat diantarkan
untuk mengetahui banyak hal yang sangat diperlukan dalam kehidupannya. Pengenalan
literasi dini sangatlah penTIng dalam kehidupan anak. Namun, kenyataannya literasi pada
anak usia dini, yang sering juga disebut sebagai literacy emergent, disampaikan pada anak-
anak secara formal dan jauh dari kata ramah anak. Berdasarkan kajian studi empiric, berikut
adalah kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi literasi anak. (Hicks,
2002; Buckingham, 2013; BarraƩ-Pugh & Rohl, 2020)

Kegiatan untuk memfasilitasi Print MoTIvaTIon


1. Kegiatan membaca bersama
2. Melakukan akTIvitas membaca di depan anak
3. Mendongeng
4. Mengajak anak ke toko buku
5. Menunjukkan buku-buku yang menarik
6. Kegiatan membaca dengan ekspresif dan jelas
Kegiatan untuk memfasilitasi Phonological
Awareness
1. Kegiatan menyanyi
2. Kegiatan membaca dengan irama
3. Kegiatan tebak kata

Kegiatan untuk memfasilitasi Proses Vocabulary


1. Interaksi dan komunikasi
2. Ketersediaan waktu untuk berinteraksi
3. Memperkenalkan nama benda-benda disekitar
4. Menjawab pertanyaan-pertanyaan anak
5. Kegiatan menambah kosakata

Kegiatan untuk memfasilitasi Proses


NarraTIve skill
1. Kegiatan bermain peran
2. Kegiatan bercerita
Kegiatan untuk memfasilitasi Kemampuan
Print Awareness
1. Mengajarkan cara memegang buku
2. Mengajarkan cara membaca tulisan

Kegiatan untuk memfasilitasi Kemampuan


LeƩer Knowledge
1. Kegiatan Mengenalkan huruf
2. Flash card
3. Kegiatan belajar huruf
4. Bermain tebak huruf

PasTIkan anak-anak mengalami perkembangan literasi secara alami dan tanpa paksaan.
Hal yang perlu diperhaTIkan dalam pengajaran membaca bagi anak adalah program dan
metode serta teknik pengajaran yang
dilakukan harus ramah anak. Jika anak-anak TIdak tertarik dengan literasi, dekatkanlah
mereka pada kegiatan membaca dan menulis dengan permainan dan nyanyian. Melalui
permainan dan nyanyian anak-anak akan mengulang dan mengulang lagi coretan-coretan,
seolah-olah mereka sedang menulis sesuatu, catatan, surat atau menulis sebuah cerita,
sambil bergerak dan menyanyikan lagu.

Keterlibatan orang tua pada proses perkembangan keterampilan literasi anak adalah
peran orang tua yang dimainkan dengan mengadaptasi dari inTI filosofi literasi yang
dimulai dan dilakukan oleh masyarakat melek huruf yang diawali dan ditopang dengan
pembelajaran keaksaraan yang dilakukan dirumah oleh orang tua dan anak. Anak usia dini
perlu memahami mengapa orang perlu membaca dan menulis agar mereka termoTIvasi untuk
mengembangkan kemampuan literasinya (Brown, 2014)

Orang tua memiliki peran penTIng dalam mengenalkan dasar literasi pada anak. Secara
spesifik, keterlibatan orang tua pada proses pengenalan literasi diberikan dengan cara
berinteraksi dengan anak (Fantuzzo dkk., 2004). Selain itu, orang tua juga perlu
memberikan akTIvitas sTImulasi untuk bahsa, membaca dan menulis, serta menyiapkan
lingkungan yang mendukung (kaya akan literasi) selama anak usia dini dan berlanjut pada
usia sekolah dasar dan menengah (Clark, 2007).

Anda mungkin juga menyukai